Persekutuan Tusuk Konde Kumala Jilid 10 : Perjalanan di Makam kuno

Jilid 10
“Aku tak tahu tempat tinggal nona itu. Kalau dia berani buka suara dapat mengobati, tiada jeleknya kita beri kesempatan”, timang Han Ping.

“Karena nona itu hendak mengobati, tak apalah kita coba,” serunya nyaring lalu membawa Ting Hong dan tacinya ke arah barisan.

Si dara baju ungu mencabut bambu, lalu perlahan-lahan melangkah ke dalam barisan.

Han Ping tetap ingin mencoba keanehan barisan dara itu. Dia tak mau mengikuti di belakang si dara, terus lari mendahului hendak masuk.

“Jangan terburu-buru masuk ke dalam barisan!” teriak Ting Hong mencegahnya.

Agaknya dara baju ungu itu sudah mengerti isi hati Han Ping. Ia sengaja lambatkan jalannya.

Mendengar teriakan Ting Hong, Han Ping berpaling. Dilihatnya dara itu tengah memandangnya dengan pandang mata meratap kasihan. Diam ia tergerak hatinya.

Pikirnya, jika ia tak menghiraukan tentulah Ting Hong makin gelisah. Dia tak mau menyakiti hati seorang gadis. Akhirnya ia hentikan langkahnya.

Melihat pemuda itu mau mendengar katanya, Ting Hong girang sekali. Wajahnya berseri-seri pula dan cepat ia loncat ke samping Han Ping.

“Apakah engkau marah kepadaku?” tanyanya tertawa.

“Mengapa aku marah?” Han Ping heran. Tetapi pada lain saat ia tersadar, lalu menyusuli kata-kata, “Ah, tidak….”

“Bagus”, kata Ting Hong.

Pada saat itu si dara baju ungu sudah tepi di tepi barisan. Ia ulurkan bambunya dan berseru kepada Han Ping, “Peganglah ujung bambu ini, dan suruhlah anak perempuan itu memegang bajunya ikut masuk ke dalam barisan!”

Han Ping menurut, ia memegang ujung bambu dan Ting Hong memegang bajunya. Mereka melangkah masuk. Di bawah tuntunan si dara, memang barisan itu mudah sekali dimasuki. Dalam sekejap saja, mereka sudah melintasi barisan itu.

Sambil memondong tacinya, Ting Hong berdiri di samping Han Ping dan memandang lekat-lekat pada dara itu. Entah bagaimana, walaupun ia seorang gadis tetapi ia tertarik juga melihat kecantikan dara itu.

Si dara membuang batang bambu, memandang Ting Hong dan Ting Ling lalu berkata seorang diri, “Dia memang parah sekali lukanya!”

Ca Giok yang berdiri di samping dara itu ketika mendengar kata-kata si dara, ia berputar tubuh dan tanyanya, “Kalau begitu, apakah tiada harapan ditolong lagi?”

Tanpa berpaling, dara itu tersenyum, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, asal dia belum putus napasnya saja, aku tentu dapat menolongnya”.

“Kalau begitu silahkan memeriksa lukanya”, kata Han Ping

Dara itu mengangguk dan suruh meletakkan Ting Ling di tanah. Ting Hongpun segera melakukan perintah itu. Sedang Han Ping dan Ca Giok berdiri di belakang Ting Hong, memandang lekat ke arah dara baju ungu.

Si dara segera memeriksa pergelangan tangan Ting Ling. Beberapa saat kemudian ia tertawa, “Dia dilukai oleh pukulan lwekang yang ganas . . .”

Han Ping mengiakan, “Benar. dia memang terkena pukulan Sam-yang-khi-kang!”

“Sam-yang-khi-kang….” dara itu mengulang dan merenung beberapa jenak. Kemudian berkata, “Benar, dalam ilmu silat memang terdapat ilmu semacam itu. Masih untung orang yang melukainya itu belum sempurna kepandaiannya. Jika kepandaian orang itu sudah mencapai tingkat tinggi, orang yang dihantamnya tentu dalam dua jam saja sudah mati”.

Legalah hati Ting Hong mendengar keterangan itu, serunya agak gugup, “Sejak menderita pukulan itu, sampai saat ini sudah lewat empat jam lamanya. Bukankah sukar ditolong lagi?”

“Tak apa”, sahut dara itu, “orang yang melukainya, masih belum sempurna kepandaiannya. Sekalipun beberapa jam lagi, tetap masih dapat ditolong. Tetapi….”

“Apakah kesulitan nona?” buru-buru Han Ping berseru.

“Dalam hutan pegunungan yang sesunyi ini, tiada terdapat obat. Terpaksa harus menggunakan jarum dulu untuk mengusir racun panas. Nanti kutulis resep dan bawalah dia ke kota membeli obat. Setelah meminumkan dan beristirahat 3 hari, tentu akan sembuh!”- habis berkata dara itu mengeluarkan sebatang jarum perak. Sebelumnya ia menanyakan, siapakah di antara rombongan Han Ping itu yang mengerti jalan darah tubuh manusia.

“Aneh, kalau benar dia pandai dalam ilmu pengobatan, mengapa tak mau turun tangan sendiri. Sekalipun sudah mendapat pelajaran dari Hui Gong taysu tentang menutuk jalan darah, tetapi aku tak mengerti ilmu tusuk jarum. Sekali menusuk salah, tentu akan membahayakan jiwa nona Ting”, – diam-diam Han Ping membatin.

Melihat Han Ping meragu, Ca Giokpun tertawa, katanya, “Sedikit-sedikit aku mengerti tentang jalan darah manusia. Tetapi dalam hal ilmu tusuk jarum, sama sekali aku tak mengerti ….”

Dara itu segera angsurkan jarumnya kepada Ca Giok, “Sudah, jangan banyak cakap! Asal mengerti jalan darah, tak mungkin akan keliru”.

Ca Giok menyambuti jarum lalu berjongkok. Diam-diam ia menentukan jalan darah di tubuh Ting Ling.

“Pertama, tusuklah jalan darah Giok-tong di dadanya”, tiba-tiba dara itu berseru.

“Kalau jarum tak masuk yang dalam, tentu racun itu tak dapat dikeluarkan” seru si dara pula.

Ca Giok terpaksa susupkan jarum lebih dalam lagi.

“Engkau pintar” dara itu tertawa, “nah, jarum kedua tusukkan pada jalan darah Siang-jiok di atas pusarnya!”

Ca Giok menurut.

“Jarum ketiga tusukkan pada jalan darah Ngo-ki dan jarum ke empat pada jalan darah Ho-ciat di perut. Lalu jarum ke lima tusukkan pada jalan darah Thian-tho di lehernya!”

Ca Giok melakukan semua yang diperintah dara itu. Setelah selesai jarum itu diminta lagi si dara,

“Bagus, sekarang kalian boleh salurkan lwekang untuk melancarkan darah yang membeku di tubuhnya, Setelah racun panasnya keluar, dia tentu sadar!” habis berkata dara itu berputar tubuh terus melangkah pergi menuju ke sebuah batu di pinggir karang. Ia duduk lagi di batu itu.

Ca Giok meminta supaya Ting Hong mengangkat tubuh Ting Ling karena ia hendak memberikan saluran tenaga murni.

Han Ping cepat menghampiri dan mencegah, “Ah, jangan saudara yang melakukan. Biarlah aku saja!”

Ca Giok tersenyum. Ia mundur tiga langkah. Berpaling ke arah dara baju ungu dilihatnya dara itu tengah memandang dengan terlongong-longong ke arah barisan. Ca Giok menurut arah pandang dara itu. Tiba-tiba berkobarlah amarahnya, “Cara yang ganas sekali!” serunya.

Saat itu Han Ping sudah duduk bersila dan kerahkan tenaga dalamnya. Demi mendengar seruan Ca Giok, terpaksa ia ikut memandang ke arah barisan.

Kiranya Cin An Ki, kepala dari 36 kelompok telaga Tong-thing-ou sedang sibuk mencegah anak buah Ih Seng, tetapi memberi perintah anak buahnya sendiri untuk mengambil dahan kayu kering dan disuruh menumpuk di luar barisan

Karena tadi mencurahkan perhatian untuk mengikuti pengobatan terhadap Ting Ling. Han Ping tak sempat melihat keadaan di sekelilingnya. Kini ternyata di luar barisan itu sudah penuh dengan tumpukan dahan kayu kering dan pekerjaan itu masih terus berlangsung.

Tiba-tiba dara baju ungu itu berbangkit, serunya, “Barisanku memang dapat menahan musuh tetapi tak berdaya untuk menghadapi api. Sekarang masih belum terlambat silahkan kalian tinggalkan tempat ini!”

Ca Giok tertarik oleh kata-kata dara itu. Diam-diam ia menyeringai dalam hati, “Memang tiada lain cara untuk menghancurkan barisanmu yang istimewa ini kecuali dengan api….”

Rupanya si dara tahu apa yang terkandung dalam batin Ca Giok. Ia tertawa mengejek, “Lekas lakukan perintahku tadi agar kalian jangan mendapat kesulitan. Jika terlambat, tentu celaka….”

Perubahan itu tak memungkinkan Han Ping untuk memberi saluran tenaga dalam kepada Ting Ling. Ia berbangkit, serunya, “Kalau benar barisan ini tak tahan api, mengapa nona tak mau keluar bersama-sama kami!”

“Aku sih tak mengapa, lekas kalian berangkat”, sahut dara itu.

Han Ping masih akan bicara tetapi dara itu sudah menghampiri dan memberi perintah, “Setelah memasuki barisan, menyisih ke kiri tiga langkah dan berjalan lurus ke muka. Dengarkan lagi petunjukku tentu kalian takkan tersesat dalam barisan!”

Nadanya angkuh dan dingin. Macam orang memerintah kepada anak buahnya. Sudah tentu Han Ping tak senan. Setelah mengajak Ting Hong, ia terus mendahului berjalan menuju barisan.

Ting Hong memberi hormat kepada dara itu, “Terima kasih atas pertolongan nona kepada taciku!” – ia memanggul Ting Ling lagi dan mengikuti Han Ping.

Demikianpun Ca Giok. Setelah merenung sejenak, ia memberi hormat, “Karena nona dapat mengatasi serangan api, akupun hendak minta diri”.

Sejak kecil, ia diasuh dengan penuh kesayangan dan digembleng dengan kekerasan oleh ayahnya. Maka belum berumur 20 tahun saja, ia sudah mengangkat nama di dunia persilatan. Selama itu, ia tak gemar akan wanita cantik. Kini walaupun hatinya terpikat oleh kecantikan dara itu, tetapi mulutnya sukar untuk menyatakan. Dalam perpisahan itu sesungguhnya ia tak puas kalau meninggalkan begitu saja. Setelah memutar otak, barulah ia menemukan dua buah kata yang akan dikemukakan kepada dara itu. Ia anggap ucapan itu tentu dapat dimengerti tetapi tanpa menyinggung perasaan halus si dara.

Habis berkata, ia terus ayunkan langkah mengikuti Han Ping.

Dara itu tersenyum dan berseru nyaring, “Harap kalian berempat berhenti sebentar….”

Tiba-tiba terdengar ledakan. Dari dalam barisan, keping-keping batu berhamburan ke empat penjuru.

Tetapi Han Ping tetap penasaran terhadap barisan itu. Dia tak mau mendengarkan seruan si dara, terus menyerbu ke dalam barisan itu. Tetapi baru dua langkah masuk ke lingkaran barisan, tiba-tiba matanya berpudar-pudar. Ia merasa berhadapan dengan hutan bambu dan batu-batu yang besar-besar.

“Jelas hanya beberapa batang bambu, mengapa tiba-tiba berubah menjadi hutan bambu! Entah dara itu gunakan ilmu setan apa saja!”- ia menggeram dalam hati dan terus menendang sebuah batu.

Karena mengetahui bahwa batu besar itu hanya suatu khayalan saja karena sebetulaya hanya berasal dari batu-batu kecil, maka ia hanya gunakan sedikit tenaga. Pikirnya, sekali tendang, batu-batu itu tentu berhamburan.

Uh…. demikian mulutnya mendesis kejut ketika batu itu lenyap secara tiba-tiba. Karena tendangannya mengenai angin kosong, tubuhnyapun menjorok ke muka dan jatuhlah ia ke tanah.

Ketika memandang ke muka, ternyata hutan bambu dan batu besar itu masih merentang di hadapannya. Amarahnya makin berkobar. Dengan bernapsu, ia menghantam batu itu….

Han Ping yang sekarang, merupakan seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti hebat. Apalagi diburu kemarahan. Pukulannya dahsyat bukan kepalang. Batu dan debu berhamburan ke udara.

Tetapi setelah debu itu lenyap, hutan bambu dan batu besar tampak kembali.

Tetapi dia seorang pemuda yang angkuh dan keras hati. Walanpun tendangan dan pukulannya itu tiada berhasil, dia malah semakin marah. Tengah ia hendak menerjang ke muka, tiba-tiba lengan bajunya dicengkeram orang. Kuatir kalau bajunya robek, ia menurut saja tarikan orang itu dan menyisih ke samping dua langkah.

Kiranya yang menarik lengan bajunya itu adalah Ting Hong. Saat itu Ting Hong masih memanggul tacinya.

“Harap saudara Ji jangan mengumbar kemarahan. Barisan itu merupakan ilmu Ngo-heng campur Pat-kwa. Sebuah barisan yang berdasarkan ilmu perhitungan gaib. Betapapun cerdiknya, tetapi orang tentu sukar untuk membobolkan. Misalnya aku sendiri, walaupun mengerti sedikit tentang perubahan Ngo-heng-seng-khik (lima unsur bumi) tetapi aku benar-benar bingung terdapatnya batu-batu dalam barisan itu. Aku terpaksa menyerah….”

Tiba-tiba terdengar lengking suara si dara, “Maju lima langkah lalu belok ke kiri tiga langkah….”

Karena kuatir Han Ping tak mau menurut, Ting Hong tetap mencengkeram lengan baju pemuda itu dan setengah menyeretnya diajak jalan.

Kembali dara itu melengking bagai suara kelinting, “Ke sebelah kanan dua langkah lalu maju ke muka empat langkah, Belok ke kiri selangkah lalu lurus ke muka….”

Demikian atas petunjuk si dara, Han Ping dan kawan-kawannya dapat keluar dari barisan.

Pada saat itu Cin An Ki dan rombongan anak buahnya telah melukai dua orang anak buah Ih Seng. Terpaksa anak buah Ih Seng mundur beberapa tombak dari barisan itu. Mereka takut kepada Cin An Ki, tetapi merekapun tak mau meninggalkan pemimpinnya yang masih terkurung dalam barisan itu. Mereka hanya dapat mengawasi dengan gelisah, gerak gerik anak buah Cin An Ki yang masih sibuk menumpuki ranting dan dahan kering di tepi barisan.

Pada saat Han Ping keluar dari barisan, Cin An Ki tengah memerintahkan anak buahnya untuk siap menyulut api.

Selekas keluar dari barisan, Han Ping terus loncat dan lepaskan hantaman ke arah anak buah Cin An Ki yang hendak melakukan perintah pemimpinnya.

Angin pukulan Han Ping itu dahsyat sekali. Belum api menyentuh tumpukan kayu kering, orang dan kayu-kayu kering itu berhamburan kemana-mana. Anak buah Cin An Ki terlempar setombak jauhnya dan rumput serta ranting dan dahan kering berterbangan ke udara….

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekalian orang. Sekalipun si Naga sakti Cin An Ki yang mengepalai 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, diam-diampun terkejut.

Setelah melayang turun ke bumi, Han Ping menghampiri Cin An Ki. Kepala telaga Tong-thing-ou itu diam-diam siap sedia. Ia duga pemuda itu tentu akan menyerangnya. Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Han Ping berhenti pada jarak 2 meter dari tempat Cin An Ki.

“Engkau seorang pemimpin, mengapa engkau hendak mencelakai orang yang sedang terancam bahaya? Apakah engkau tak malu jika perbuatanmu itu tersiar di dunia persilatan?” seru Han Ping,

Kata-kata itu membuat wajah Cin An Ki merah padam. Setelah merenung beberapa jenak, ia berkata, “Engkau benar! Tetapi mereka adalah benggolan-benggolan besar di dunia persilatan. Ganasnya bukan kepalang. Terhadap orang-orang semacam itu, kiranya tak perlu memakai segala pertimbangan yang layak….”

Han Ping menukas dengan tertawa dingin, “Aku paling benci dengan manusia yang pura-pura berbuat baik untuk menutupi kejahatannya dan perbuatan yang mencelakai orang secara curang!”

“Sekalipun dalam dunia persilatan terdapat dua aliran Hitam dan Putih, tetapi perbuatan mencelakai orang yang sedang berada dalam kesulitan, bukanlah laku seorang jantan”, tiba-tiba Ca Giok menyelutuk. Ia memang gelisah kalau anak buah Cin An Ki sampai membakar barisan itu sehingga mencelakai si dara jelita, “apalagi barisan Bambu-batu itu, bukanlah engkau yang membentuk. Meminjam tenaga orang lain untuk mencelakai orang, tentu akan menjadi buah tertawa orang persilatan!”

Cin An Ki mendengus, sahutnya, “Jarum beracun Hong-wi-ciam sudah termahsyur sebagai senjata rahasia yang ganas sekali. Hal itu sudah menjadi cemoohan orang, apakah tak kuatir akan ditertawakan juga?”

Ca Giok tertawa, “Sekalipun jarum Hong-wi-ciam itu ganas sekali tetapi melepaskannya harus menggunakan kepandaian yang ahli benar-benar. Dan lagi orang yang benar-benar sakti, tak perlu takut akan jarum itu!”

“Oh, kalau begitu, jarum marga Ca itu tergolong senjata yang terhormat….” ejek Cin An Ki.

“Mengapa ribut-ribut saja!” teriak Han Ping marah, “lekas suruh anak buahmu menyingkirkan tumpukan rumput dan kayu-kayu kering itu!”

“Jika tak kupindahkan?” Cin An Ki tertawa dingin.

“Engkau harus masuk ke dalam barisan itu untuk merasakannya!” seru Han Ping terus loncat ke belakang Cin An Ki dan menghantamnya.

Kepala telaga Tong-thing-ou itu menangkis dengan songsongkan kedua tangannya.

Ketika kedua tenaga saling berhantam, seketika Cin An Ki rasakan darahnya melanda keras dan tubuhnyapun tersurut ke belakang sampai tiga langkah.

“Terimalah pukulanku ini lagi!” seru Han Ping seraya menyusuli sebuah pukulan.

Benar-benar Cin An Ki tak mengira bahwa seorang pemuda yang masih begitu hijau, ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu sakti. Adu pukulan yang pertama tadi sudah cukup membuatnya meringis. Maka tak berani ia menyambut pukulan kedua dari si pemuda. Buru-buru ia menghindar ke samping.

Pikiran Han Ping tetap terpancang pada keadaan luka Ting Ling. ia hendak menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin. Begitu Cin An Ki menyingkir ke samping, secepat kilat ia maju dan ayunkan tangannya.

Cin An Kipun sudah siap. Begitu menghindar ke samping ia segera menghantam dengan jurus Menjolok naga kuning.

Sejak bertempur dengan Pengemis sakti Cong To, Han Ping telah mendapat pengalaman yang berharga. Begitu Cin An Ki menghantam, ia pura-pura seperti tak dapat menghindar. Tubuhnya menelentang ke belakang sehingga bagian kakinya tak terjaga lagi.

Sudah tentu Cin An Ki tak mau melepaskan kesempatan itu. Serempak mengendapkan tangan, dari pukulan yang lurus, ia turunkan untuk menghantam perut pemuda itu.

Tempi alangkah kejutnya ketika mendadak tubuh Han Ping berputar dengan tiba-tiba dan tangannya kanan secepat kilat mencengkeram. Jurus itu disebut Tali emas mengikat naga. salah sebuah jurus istimewa dari ilmu tangan kosong Kin-na-liong-chiu yang terdiri dari 12 jurus. Selain gerakan luar biasa cepatnya, pun tak terduga sama sekali.

Seketika Cin An Ki rasakan pergelangan tangannya yang kanan kesemutan. Tahu-tahu urat nadi pergelangan tangannya itu sudah tercengkeram oleh Han Ping.

Han Ping diam-diam kerahkan tenaga dalam. Cin An Kipun segera rasakan darahnya menyungsang balik ke arah jantung. Separuh tubuh mati rasa dan tenaganyapun lenyap.

Sekalian jago-jago telaga Tong-thing-ou yang menyaksikan pemimpin mereka dalam tiga jurus saja sudah dibuat tak berdaya oleh pemuda itu, diam-diam terperanjat. Wajah mereka pucat seketika.

Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki itu, di dalam kalangan Hitam daerah Tionggoan, namanya termahsyur. Dia sejajar dengan Kipas besi pedang perak Ih Seng, walaupun keduanya berlainan aliran.

Di wilayah telaga Tong-thing-ou terdapat 36 kelompok. Setiap kelompok mempunyai pemimpin yang berkepandaian tinggi. Dan Cin An Ki adalah ketua dari ke 36 kelompok itu. Orang persilatan daerah Tionggoan, kebanyakan tak berani cari perkara dengan dia.

Maka peristiwa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuat sekalian pemimpin kelompok-kelompok itu tercengang-cengang.

Han Ping tak menghiraukan mereka. Diseretnya Cin An Ki ke arah barisan. Begitu tiba di pinggir barisan, ia mendorong tubuh orang itu ke dalam barisan.

Delapan anak buah Tong-thing-ou yang menyaksikan hal itu, hanya mengikuti dari belakang tetapi tak berani berbuat apa-apa. Begitu Han Ping berputar tubuh, barulah ke delapan jago itu serempak menyerangnya.

“Berhenti!” bentak Ca Giok seraya maju menghadang ke delapan orang itu, “siapa yang hendak mencoba jarum Hong-wi-ciam dari keluarga Ca, silahkan maju!”

Ke delapan orang itu merupakan orang-orang persilatan yang berpengalaman. Tahu juga mereka akan kemahsyuran jarum itu. Merekapun tak berani maju dan hanya saling berpandangan.

“Minggir!” teriak Ca Giok sambil acungkan tangannya kiri yang menggenggam jarum.

Ke delapan orang itu tak berani membantah. Setelah mereka menyisih, Ca Giok segera minta Han Ping berjalan lebih dulu dan ia yang akan melindungi.

“Kemahsyuran nama saudara Ca, sungguh bukan nama kosong”, Han Ping memuji seraya melangkah ke arah kawanan orang itu, Ting Hong sambil memondong tacinya, pun mengikuti. Sedang Ca Giok mengawal di belakang dengan jarum di tangan.

Ke delapan tokoh itu memang jeri akan kemahsyuran jarum Hong-wi-ciam. Mereka membiarkan saja rombongan anak muda itu lewat.

Sekeluarnya dari hutan, Han Ping berhenti. Ia kuatir keadaan Ting Ling makin payah. Lebih baik segera memberi pengobatan saat itu juga.

Ting Hongpun duduk sambil menyangga tubuh tacinya. Kemudian Han Ping minta Ca Giok melindungi, sedang ia memberi penyaluran tenaga dalam pada Ting Ling.

Setelah mendapat kesanggupan Ca Giok, Han Ping segera duduk bersila. Setelah berhasil mengerahkan tenaga, barulah ia lekatkan tangannya ke punggung si nona.

Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dalam waktu yang singkat, Ting Ling segera menjerit kesakitan, “Aduh, bisa mati kepanasan aku….”

Perlahan-lahan ia membuka mata. Rambutnya bertebaran dihembus angin pegunungan.

“Ci Ling….!” saking girangnya Ting Hong menubruk tacinya. Tetapi saat itu Ting Ling masih lemas sehingga ia rubuh terjerembab ke belakang. Untung saat itu Han Ping masih berada di belakang sehingga dapatlah pemuda itu menyambuti tubuh kedua nona itu.

Ting Hong tersipu-sipu malu ia dan tacinya merebah ke pangkuan Han Ping. Buru-buru ia menggeliat bangun dan menarik tubuh tacinya. Tetapi ia terkejut ketika melihat Ting Ling pejamkan mata dan merebah di haribaan Han Ping. Wajahnya tampak lunglai sekali. Buru-buru ia berjongkok dan menanyanya, “Ci Ling, apakah engkau kaget? Karena girang melihat engkau sadarkan diri, aku lupa kalau engkau masih lemah. Ah, aku salah, maafkanlah ci!”

Ting Ling membuka mata tertawa, “Tak apa, jangan kuatir.”- lalu ia suruh Ting Hong menariknya bangun.

Setelah berdiri, Ting Hong memberitahukan kepada tacinya itu bahwa sam-siok merekapun juga muncul.

“Dimanakah beliau sekarang?” Ting Ling tersenyum lunglai, semangatnya masih lemah.

“Sam-siok dikurung dalam barisan Tiok-sik-tin….”

Tiok-sik-tin artinya barisan Bambu-batu.

”Apa? Tumpukan bambu dan batu itu mampu mengurung paman?” Ting Ling terkesiap kaget.

Ia seorang nona yang berotak cerdas. Selalu ia dapat memperhitungkan setiap hal dengan cermat dan tepat. Adalah karena baru saja sadarkan diri dari pingsan, ia merasa telah kelepasan bicara. Buru-buru ia menyusuli pula kata-katanya, “Benar, tentulah barisan itu istimewa sekali!”

“Benar, nona”, Ca Giok tertawa, “barisan itu memang menggunakan batu-batu dan bambu”,

“Dalam dunia persilatan siapakah yang tak mengetahui kemahsyuran nama marga Ca tentang ilmu kepandaiannya dalam soal barisan. Dalam hal ini terpaksa kumohon saudara Ca sudi menolong paman kami”, kata Ting Ling.

Ca Giok tergagap menyahut, “Ah, pengetahuanku dalam ilmu barisan hanya sekelumit saja. Tadipun telah terkurung hampir tak dapat keluar dari barisan itu….”

“Celaka!” tiba-tiba Han Ping memekik, “kita terpaksa harus kembali lagi mencarinya!”

“Siapa?” seru Ting Ling,

“Dara baju ungu yang membentuk barisan itu” sahut Han Ping.

Entah bagaimana perasaan hati Ting Hong ketika melihat kebingungan Han Ping saat itu. buru-buru ia melengking, “Dia kan sudah mengusir kita keluar dari barisan, perlu apa mencarinya lagi?”

“Resep yang diberikan untuk nona Ting Ling aku lupa meminta kepadanya”, kata Han Ping.

Ting Hong tertegun, sesaat kemudian ia menyetujui, “Benar, memang kita harus kembali. Sekalian tolonglah engkau minta kepadanya supaya suka membebaskan paman kami!”

Han Ping agak tergugu tetapi ia tak mau menyatakan apa-apa.

“Adik Hong, apakah itu? Tolong engkau ceritakan yang jelas”, karena tak dapat mengikuti pembicaraan kedua anak muda itu, Ting Ling menyelutuk.

Ting Hong segera menuturkan semua peristiwa yang telah terjadi selama tacinya pingsan.

Ting Ling merenung, kemudian berkata, “Cobalah engkau ingat-ingat lagi apakah masih ada hal yang kelewatan belum engkau ceritakan”

“Ah, tidak ada!”

Ting Ling tertawa, “kalau begitu marilah kita lekas pulang sajalah! Bukankah dia telah mengusir kalian keluar dari barisan? Bukankah ia maksudkan supaya kita membantunya untuk mengusir orang yang hendak membakar barisannya itu. Dengan melemparkan Cin An Ki ke dalam barisan, dia tentu gembira sekali!”

Diam-diam Ca Giok terkejut dan memuji Ting Ling yang disohorkan orang sebagai seorang nona yang cerdik.

“Harap nona berdua tunggu di dalam hutan, aku hendak kesana meminta resepnya”, kata Han Ping terus menuju ke arah barisan lagi.

Rupanya Ting Ling ingin sekali melihat dara baju ungu itu. Sambil berpegangan pada pundak Ting Hong, ia paksakan diri berjalan mengikuti Han Ping.

Han Ping berpaling. Ketika melihat kedua nona itu mengikutinya, ia kerutkan kening. Tetapi tak leluasa melarang mereka. Terpaksa ia berjalan dengan perlahan.

Tiba di luar barisan, ternyata dara itu sudah menanti di tepi barisan. Ting Ling dan Ting Hong memberi hormat serta menghaturkan terima kasih atas pertolongan dara itu.

“Tak perlu”, sahut dara itu, “aku sudah mendapat upah berharga dari kawanmu . . .”- ia mengeluarkan bungkusan sutra putih, “lnilah resepnya”, – habis berkata, terus kembali masuk ke dalam barisan….

Melihat kecongkakan dara itu, Han Ping mendengus ia tak mau membungkuk untuk mengambil resep yang jatuh di tanah itu. Adalah Ca Giok yang mewakili memungut sutra putih itu, Ketika mengangkat muka memandang ke muka ternyata dara itupun tengah berpaling. Mata keduanya saling beradu pandang dan mulut tersenyum hambar.

Kiranya mendengar dengus kegeraman dari Han Ping tadi, dara itu berpaling ke belakang. Saat itu dilihatnya Ca Giok sedang membungkuk untuk menjemput sutra putih di tanah. Tertawalah dara itu dengan nada menggemerincing.

Ting Ling dan Ting Hong juga seorang gadis.

Tetapi entah bagaimana mereka terpikat juga mendengar nada tertawa dara itu. Seolah-olah nada tertawa itu mengandung suatu daya pesona yang luar biasa sehingga hati kedua nona itu berdebar keras. Hanya Han Ping sendiri yang tak kena pengaruh tertawa itu. Ia tetap menengadahkan kepala tak mau memandang si dara.

Sedang Ca Giok, walaupun si dara sudah berputar tubuh dan masuk ke dalam barisan, masih tetap tegak terlongong-longong memandangnya….

Ketika memandang ke sekeliling, Ting Ling dapatkan ke delapan tokoh-tokoh tadipun serupa keadaannya dengan Ca Giok.

“Suara tertawa dara itu rasanya seperti mengandung tenaga gaib. Mungkin bukan tertawa biasa, melainkan suatu ilmu tenaga dalam golongan Hitam”, katanya kepada Ting Hong.

Yang diperhatikan Ting Hong hanya Han Ping. Melihat pemuda itu tenang-tenang saja, ia menyahut kata-kata Ting Ling tadi, “Aneh, mengapa dia tak takut? Orang-orang pada kesima seperti patung, dia tetap biasa saja, sedikitpun tak kena pengaruh!”

Jawab Ting Ling, “Oleh karena dia tak mau melihat dara itu. Coba kalau melihatnya . . .”

“Saudara Ca, apakah sutra putih benar resep untuk nona Ting Ling”, pembicaraan Ting Ling terputus oleh seruan Han Ping secara tiba-tiba itu. Sesungguhnya Han Ping tadi sudah bertanya dengan perlahan tetapi Ca Giok tak mendengarnya dan masih terlongong seperti patung, Terpaksa Han Ping berseru dengan keras.

Ca Giok seperti dibangunkan dari mimpi. Dengan gelagapan ia berpaling, sahutnya, “Benar, benar, Sutra putih ini memang resep untuk nona Ting Ling”

Tatkala mendengar seruan nyaring dari Han Ping, kembali dara baju ungu itu terhenti dan berpaling ke arah mereka. Tetapi kali ini ia tidak tertawa. Wajahnya tidak secerah tadi lagi melainkan mengerut dengan serius sehingga mengunjuk gaya dan sikap yang angkuh dan dingin. Hebat! Sikap galak itu telah menimbulkan perbawa yang hebat sehingga sekalian orang yang terlongong-longong memandangnya tadi, serempak sama tundukkan kepala.

Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya, “Dalam sekejap mata, dara itu dapat mengunjuk sikap yang berlainan sama sekali. Dan dapat pula menggetarkan hati orang. Jika bukan suatu ilmu Hitam, tak mungkin bisa mempunyai pengaruh yang sedemikian hebatnya. Hayo, kita lekas pergi jangan melihatnya lagi! Jika terlambat, siapa tahu dia tentu akan mengeluarkan tingkah laku yang aneh lagi!”

Dengan masih memegang pundak Ting Hong, Ting Ling segera mengajak adiknya tinggalkan tempat itu.

Juga Han Ping tak senang akan sikap dan tingkah dara baju ungu yang angkuh dan congkak itu. Ia tetap tak sudi melihatnya. Dengan demikian dialah yang paling tenang sendiri.

Segala yang berlangsung di luar barisan itu tak lepas dari perhatian si dara, Dengan tertawa dan memberingas, ia mampu membuat tokoh-tokoh itu serasa terbang semangat dan runtuh nyalinya. Satu-satunya yang tak terpengaruh hanyalah Han Ping seorang.

Diam-diam marahlah dara itu. Ia mendengus dingin lalu berputar tubuh dan berkata seorang diri, “Hm, aku tak percaya hatimu terbuat dari baja, panca indramu sudah peka. Nanti tentu pada suatu hari akan kubuatmu meratap-ratap di telapak kakiku!”

Sesungguhnya kata-kata itu adalah isi hatinya. Tetapi karena marah, tanpa disadari ia telah meluncurkannya keluar.

Pada lain saat ia berhenti lagi untuk melihat mereka. Ah, mereka sudah melangkah pergi dari barisan itu. Ca Giok tak henti-hentinya berpaling ke belakang demikianpun kedua nona Ting. Hanya Han Ping seorang yang tak mau berpaling sama sekali.

Setelah melintasi hutan dan tiba di jalan besar, Han Ping berhenti. Katanya kepada kedua nona Ting, “Menilik dara itu paham pengobatan dengan ilmu tusuk jarum tentulah resep yang diberikannya itu takkan salah. Setelah masuk kota, harap nona belikan resep itu di toko obat lalu beristirahat selama 3 hari….”

“Hai, engkau tak ikut bersama kami?” Ting Hong terkejut.

Han Ping tertawa hambar, “Aku masih mempunyai suatu urusan penting yang harus kukerjakan, Maka terpaksa hendak minta diri.

“Mau kemana engkau?” tanya Ting Hong.

Han Ping tundukkan kepala beberapa saat.

Berselang beberapa jenak baru ia mengangkat muka dan menyahut, “Maaf, aku tak dapat memberitahukan”. – Berpaling kepada Ca Giok ia berkata lebih lanjut, “Aku mempunyai sebuah permintaan, entah apakah saudara sudi meluluskan?”

Ca Giok mengiakan.

“Luka nona Ting Ling masih belum sembuh sama sekali. Setelah minum obat, harus beristirahat beberapa hari….”

“Bukankah engkau hendak minta aku supaya menjaga nona Ting sampai sembuh baru boleh meninggalkannya?” tukas Ca Giok tertawa.

Sahut Han Ping, “Sesungguhnya hal itu memang kurang leluasa, tetapi….”

Belum Han Ping menyelesaikan ucapannya, Ting Ling melirik ke arah Ca Giok lalu menukas, “Sau pohcu sendiri tentu masih mempunyai urusan penting, masakan kami berani mengganggu waktunya yang berharga. Berikan resep itu kepadaku, biarlah adik Hong yang menjaga diriku saja!”

Ca Giok menebarkan sutra putih, membaca bunyi tulisan resep, baru menyerahkan kepada Ting Ling, “Jika begitu kehendak nona, akupun menurut saja”.

Ting Ling menyambut sutera itu dan tanpa membaca isinya, ia terus memasukkan ke dalam baju. Kemudian ia menatap Han Ping, tanyanya, “Apakah engkau hendak pergi begini saja tanpa menghendaki barangmu yang hilang itu?”

Han Ping tertegun sejenak, ujarnya, “Dalam waktu singkat, bagaimana mungkin untuk mencarinya, tetapi aku….”

“Kalau engkau memang mempunyai lain urusan yang penting, kita tetapkan saja kapan akan bertemu lagi. Jika aku berhasil merebut kembali barangmu yang hilang itu, kelak tentu akan kukembalikan kepadamu. Jika tak berhasil, sekurang-kurangnya aku tentu dapat mengetahui jejak pencurinya itu!”

“Baiklah, nanti tiga bulan lagi kita bertemu lagi di biara dimana kita pernah berjumpa dengan pengemis sakti Cong To!” kata Kan Ping,

“Bagaimanapun juga, pada saatnya kita harus menepati janji bertemu itu!” sahut Ting Ling serentak.

“Ucapan seorang lelaki, bagaikan gunung kokohnya. Asal hayat masih dikandung badan, aku tentu memenuhi janji!” habis berkata Han Ping memberi hormat lalu melangkah pergi.

Sambil memandang bayangan si pemuda dengan gundah hati, bertanyalah Ting Hong kepada tacinya, “Ci, urusan apakah yang menyebabkan dia begitu tergesa-gesa pergi?”

Ting Ling tertawa, “Bagaimana, mana aku tahu! Tetapi tentulah suatu urusan yang penting….”

Ca Giokpun tertawa memberi hormat, “Harap nona Hong suka merawat luka nona Ling dengan baik. Akupun hendak mengundurkan diri dulu. Mungkin tiga empat hari lagi kita akan berjumpa lagi.”

Setelah pemuda itu pergi, Ting Ling mencoba menyalurkan pernapasannya. Beberapa jalan darah dalam tubuhnya serasa masih tersumbat, belum dapat lancar, Juga dadanya masih terasa agak sakit. Ia hentikan penyaluran itu lalu berpaling. Dilihatnya Ting Hong masih terlongong-longong memandang bayangan Han Ping.

Ting Ling menghela napas panjang, “Ah, ji-ahtau….”

Ting Hong berpaling tertawa, “Taci memanggil aku?”- Sekalipun sudah tahu bahwa dirinya biasa dipanggil dengan sebutan ji-ahtau, namun karena tiada menemukan lain kata, ia terpaksa pura-pura menegas lagi.

Memandang ke langit, berkatalah Ting Ling, “Paman masih terkurung dalam barisan, sedang tenaga murniku masih belum pulih. Bagaimana tindakan kita sekarang ini?”

“Aku mempunyai sebuah rencana entah sesuai atau tidak,” kata Ting Hong.

Setelah Ting Ling menyuruhkan mengatakan, Ting Hong berkata pula, “Pemuda Han Ping itu selalu pegang kata-kata. Kita minta kepadanya untuk menolong paman lalu kutemani taci untuk merawat luka….”

“Tidak bisa”, Ting Ling gelengkan kepala, “dia tak tahan melihat sikap angkuh dari paman. Dan pamanpun geram melihat sikapnya yang congkak. Jangankan dia mau meluluskan, bahkan kalau mau meluluskan untuk menolong pamanpun juga akan menemui kesulitan.”

“Habis bagaimana sekarang ini?”

“Saat ini hanya ada sebuah jalan”, kata Ting Ling, “pergilah engkau ke kota membeli obat, Kutunggu engkau di sebuah tempat yang sukar diketahui orang. Setelah minum obat, aku akan beristirahat disitu dan engkau kembali ke barisan menolong paman”.

“Ah, tetapi luka taci masih belum sembuh. Jika berada disini tentu berbahaya, Lebih baik kuantar taci ke kota mencari rumah penginapan. Setelah itu baru aku pergi menolong paman”.

“Luka dalam yang kuderita amat parah sekali,” kata Ting Ling, “Jika menuju ke kota tentu makan waktu lama sekali. Lekaslah engkau pergi sendiri membeli obat itu!”

Ting Ling berpaling memandang sebuah pohon siong yang tumbuh di tepi jalan, katanya pula, “Pohon siong itu rindang sekali daunnya. Tepat untuk dijadikan tempat bersembunyi. Lekas antarkanlah aku kesana”.

“Apa?” Ting Hong terbeliak kaget. Tetapi Ting Ling sudah melangkah maju. Terpaksa ia menyusul untuk memapahnya.

Wajah Ting Ling tampak mengerut serius. Ia berjalan dengan kepala menunduk. Berulang kali ia kerutkan alis. Suatu pertanda bahwa ia sedang memecah suatu persoalan yang amat pelik.

Tiba di bawah pohon siong itu, Ting Ling menunjuk ke atas sebuah dahan yang penuh silang bersilang, katanya, “Naikkan aku ke atas dahan itu”

Ting Hong kenal watak tacinya. Sebelum dapat memecah suatu persoalan, selalu tak mau menceritakan soal itu kepada lain orang. Bahwa tacinya itu hendak bersembunyi di atas dahan pohon, tentulah mempunyai tujuan tertentu.

Karena percuma saja jika hendak membantah, Ting Hong segera melakukan perintah tacinya. Lebih dulu ia loncat ke atas dahan itu. Setelah mengaitkan kedua kakinya pada dahan, tubuhnya meluncur ke bawah, memegang tubuh Ting Ling. Sekali angkat, dapatlah ia menaikkan Ting Ling ke atas pohon.

Setelah menempatkan diri di sebuah persilangan dahan yang terlindung baik, Ting Ling segera suruh adiknya ke kota membeli resep.

Ting Hongpun segera loncat turun dan lari menuju ke kota, Sedang Ting Ling berusaha menggeliat untuk mencari tiang sandaran pada sebuah dahan besar. Setelah itu ia pejamkan mata bersemedhi.

Tetapi saat itu benaknya masih tercengkam oleh berbagai peristiwa. Sekalipun tahu bahwa bersemedhi itu pantang memikirkan segala urusan, namun ia gagal untuk mengosongkan pikirannya.

Ia menginsyafi bahwa peristiwa yang dihadapi saat itu, benar-benar gawat sekali. Berkumpulnya tokoh-tokoh dari segala partai persilatan itu, entah kelak apakah akan mempengaruhi kedudukan Lembah Raja setan dalam dunia persilatan.

Pula apakah mempunyai akibat dalam dunia persilatan umumnya. Sekali salah hitung, akibatnya tentu hebat.

Diam-diam nona itu menghela napas dan berkata seorang diri, “Ting Ling, ah, Ting Ling…. selama ini engkau membanggakan dirimu sebagai seorang nona yang berotak cerdas. Dunia persilatanpun memuji kecerdasanmu. Sekarang kalau engkau tak mampu memecahkan persoalan ini, menundukkan tokoh-tokoh persilatan dan merebut kitab pusaka dari partai Lam-hay-bun, bukankah engkau akan ditertawakan orang”.

Demikian nona itu tenggelam dalam renungan yang dalam….

Dalam pada itu baiklah kita tinggalkan dulu Ting Ling yang sedang berjuang keras untuk mencari daya upaya mengatasi situasi gawat yang dihadapinya saat ini. Kita ikuti lagi perjalanan Han Ping.

Setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba Han Ping merasa gelisah, katanya, “Seorang lelaki harus dapat menyelesaikan pekerjaan yang dipertanggung jawabkan kepadanya. Bekerja tak boleh kepalang tanggung, ada mulanya tetapi tak ada penyelesaiannya. Soal meyakinkan ilmu silat, tak mungkin selesai dalam waktu tiga empat hari. Saat ini luka Ting Ling belum sembuh sama sekali. Sedang dara baju ungu itu masih terkurung dalam barisan. Tinggalkan mereka begitu saja, apakah sesuai dengan prilaku seorang jantan . . .?”

Pikiran melayang tetapi kakinya masih tetap berjalan. Angin pegunungan berhembus menampar mukanya dan ia agak terkejut. Saat itu ternyata dia berada di atas sebuah puncak. Ia terlongong-longong memikirkan peristiwa yang telah dialami selama ini.

Kembali berbagai kenangan melintas dalam benaknya. Peristiwa pembunuhan ngeri dari mendiang suhunya, menimbulkan bara kemarahan untuk menuntut balas. Seketika dadanya terasa sesak dan tiba-tiba bersuitlah ia senyaring-nyaringnya.

Penghamburan isi hati itu dengan bersuit itu, dapat juga melonggarkan kesesakan napasnya. Tanpa disadari ia sudah termangu-mangu di tempat itu sejam lamanya.

Sejak pertempuran sengit dengan Pengemis-sakti Cong To, ia telah menarik banyak pengalaman. Bukan saja pengalaman berhadapan dengan musuh, pun banyak hal dalam pelajaran dari Hui Gong siansu yang diberikan secara lisan saat itu dapat dipraktekkan. Sejak itu makin menggeloranya nafsunya untuk memperdalam peyakinannya. Banyak pelajaran lisan dari mendiang Hui Gong yang harus ia praktekkan dalam latihan.

Tetapi karena timbulnya peristiwa Ting Ling menderita luka parah, Han Pingpun tak sempat lagi untuk berlatih, Karena ia harus mencari si wanita baju hijau itu.

Kemudian setelah dara baju ungu dapat mengobati luka Ting Ling, barulah hatinya longgar dan timbullah kembali seleranya untuk berlatih.

Dalam ilmu pelajaran silat, uraian dan keterangan tentang cara dan penggunaan setiap gerakan, memang penting sekali. Setelah jelas akan artinya, barulah dapat menggunakan dengan lebih mantap.

Karena waktunya tak mengizinkan maka Hui Gong hanya memberikan pelajaran secara lisan. Berkat ketajaman otak dan kuatnya daya ingatannya, dapatlah Han Ping menerima pelajaran itu. Setiap hari tak jemu-jemunya ia selalu menghafalkan pelajaran lisan itu. Dengan begitu dapatlah ia mengingat setiap patah kata pelajaran itu. Tetapi ia belum dapat menyelami makna dari kata-kata pelajaran itu.

Pada saat bertempur dengan tokoh sakti Cong To, dalam keadaan terdesak, ia kerahkan seluruh daya pikirannya untuk memecahkan arti kata pelajaran itu. Dan memang, dalam saat-saat yang genting, biasanya pikiran kita tentu bertambah tajam. Demikianpun yang terjadi dengan Han Ping. Pertempuran itu telah membangkitkan daya pikirannya secara hebat sekali. Banyak kata-kata dalam pelajaran itu mendadak dapat dimaklumi artinya. Setelah mengerti maksudnya, lalu ia gunakan dengan serentak. Hasilnya, benar-benar mengejutkan sekali. Ia dapat memainkan beberapa jurus ilmu silat yang penuh variasi dan luar biasa anehnya.

Penemuan itu makin membangkitkan seleranya untuk memperdalam dengan latihan. Seketika larilah ia mencari tempat sepi untuk berlatih.

Tetapi ia tak tahu arah. Pikirannya hanya tertuju mencari tempat sunyi. Sepuluh li jauhnya, tibalah ia di sebuah gerumbul pohon jati yang rindang daunnya. Dan sesaat tersadarlah pikirannya. Ternyata tempat itu sebuah tanah kuburan yang terpencil. Luasnya tak kurang dari 20an bahu. Empat penjuru dikelilingi pohon jati, sehingga menambah keseraman suasana.

Sebuah makam besar menggunduk di tengah. Di depan makam besar itu penuh dengan arca kuda dan orang-orangan. Tetapi patung-patung itu sudah rusak keadaannya.

Han Ping anggap tempat itu sesuai untuk melaksanakan latihannya. Kuburan itu tentu jarang dikunjungi orang. Maka segera ia menghampiri.

Biarlah kita tinggalkan dulu Han Ping yang sudah mendapat tempat untuk meyakinkan ilmu silat ajaran mendiang Hui Gong taysu itu. Kita jenguk lagi keadaan Ting Ling.

Setelah merenung beberapa saat, tiba-tiba nona itu rasakan darahnya bergolak keras sehingga hampir ia tak kuat bertahan duduk. Terpaksa ia lepaskan pikirannya dan beristirahat. Dan benarlah, Setelah dapat mengosongkan pikiran dan beristirahat, semangatnyapun makin segar lagi. Ia menghela napas longgar lalu merangkak ke sebuah silang dahan yang lebat. Dari tempat itu dapatlah ia melongok sampai beberapa li jauhnya.

Ternyata empat penjuru pegunungan tetap sunyi senyap. Barisan Batu-bambu tak tampak karena teraling sebuah hutan.

“Ah, apakah dugaanku salah?” katanya seorang diri. Tetapi alangkah kejutnya ketika saat itu ia melihat segumpal asap tebal membumbung ke udara. Arahnya jelas berasal dari Barisan Batu-bambu itu.

Gemetar seketika Ting Ling menyaksikan perubahan yang tak diduga-duganya itu sehingga hampir saja ia tergelincir jatuh ke bawah.

Pamannya yang masih terkurung dalam barisan itu tentu akan mati terbakar…. tetapi ah, saat itu ia masih belum sembuh. Jangankan hendak menolong sedang hendak loncat turun ke bawah saja, ia masih kuatir akan parah lukanya. Hatinya bukan kepalang gelisahnya, tetapi apa daya. Satu-satunya harapan hanyalah agar adiknya lekas kembali membawa obat. Maka tak henti-hentinya ia melongok ke arah jalan.

Sesaat ia memandang ke arah berkobarnya api itu, tiba-tiba tampak 5 orang lelaki berpakaian seperti orang persilatan, tengah berlarian pesat. Karena jaraknya jauh, ia tak dapat melihat wajah mereka. Tetapi ia seorang nona yang memiliki ingatan tajam. Samar-samar seperti mengenal kelima orang itu sebagai tokoh-tokoh yang mengepung di luar barisan.

Setelah merenung beberapa saat, segera ia menyadari apa yang telah terjadi. Diam-diam ia memaki, “Orang menyohorkan Ca Giok itu seorang pemuda licik yang ganas. Kiranya memang benar. Pemimpin Rimba Hijau (golongan penyamun/bajak) dari darat dan air di wilayah Tionggoan, antara lain si Kipas besi pedang perak Ih Seng, Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki, Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun serta pamannya sendiri Imam pencabut nyawa Ting Yan San. Mereka adalah jago-jago ternama. Tetapi saat ini mereka itu akan binasa di bawah api yang disulut Ca Giok….”

Tengah merenungkan hal itu, tiba-tiba ia terbeliak kaget ketika melihat Ca Giok bersama si dara baju ungu, muncul dari hutan. Hal itu makin menguatkan dugaannya bahwa api itu jelas Ca Giok yang melepas.

Kedua anak muda itu berjalan perlahan menuju ke arah pohon siong tempat persembunyian Ting Ling. Sudah tentu nona itu terkejut. Diam-diam ia menimang, “Jika persembunyianku itu sampai diketahui Ca Giok, ah, habislah sudah riwayatku. Sekalipun adik Hong datang, tetapi tentu tak dapat mengalahkan Ca Giok . . .”

Saat itu Ting Ling benar-benar gelisah sekali. Di satu pihak ia mengharapkan adiknya segera datang agar dapat ia suruh menolong pamannya. Tetapi ia kuatir adiknya akan bentrok dengan Ca Giok.

Tak berapa lama, kedua anak muda itupun tiba di bawah pohon tempat Ting Ling bersembunyi. Dari celah-celah daun yang rimbun, ia dapat mengintai gerak-gerik kedua pemuda itu. Tampak wajah si dara baju ungu mengerut serius. Seolah-olah tak menghiraukan Ca Giok. Dara itu berjalan sambil menengadahkan kepala.

Sedang Ca Giok tak menentu sikapnya. Sesaat ia kerutkan alis mengerut dahi. Sesaat wajahnya berseri dan mengulum senyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

Tiba di bawah pohon siong itu, tiba-tiba si dara berhenti. Sambil membelakangi Ca Giok, ia bertanya, “Apakah maksudmu meminta aku datang kesini? Bilanglah….” – nadanya dingin sekali.

Ca Giok menengadahkan kepala dan menghela napas panjang. Setelah berbatuk-batuk sejenak, ia membuka mulut, “Sepuluh tahun berselang Lam-hay Ki-soh membawa seorang dara kecil, datang ke pertemuan besar para tokoh-tokoh persilatan yang berlangsung di gunung Heng-san. Di hadapan seluruh tokoh persilatan Tionggoan, dia telah memberi kecaman tajam terhadap ilmu silat Tionggoan. Nona kecil itu, apakah….”

“Benar, memang aku, lalu bagaimana maksudmu?” tukas dara itu dengan tertawa dingin.

“Ah, kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat”, kata Ca Giok.

“Kawan-kawanmu itu, kemana perginya semua?” seru si dara.

“Ini…. akupun tak tahu….” ia berhenti sejenak lalu tiba-tiba berseru nyaring, “Karena nona orang Lam-hay-bun, tentulah nona tahu tentang kitab pusaka itu?”

Serentak nona itu berbalik tubuh dengan seketika. Menatap lekat-lekat kepada Ca Giok, ia tersenyum katanya perlahan, “Eh, engkau berani sedemikian bengis kepadaku?”

Dara itu mengulum senyum yang luar biasa manisnya, Lebih manis dari sari madunya madu.

Jantung Ca Giok berdebar keras seperti hendak copot dari tempatnya. Seketika lupalah ia akan segala persoalan. Persetan dengan Kitab pusaka Lam-hay-bun, apa itu segala macam urusan tetek-bengek. Ia memandang terlongong-longong wajah si dara. Semangatnya melayang-layang di nirwana.

Karena sampai sekian saat tak mendengar kedua muda mudi itu bicara, Ting Ling tak sabar lagi. Ia menyingkap daun dengan hati-hati sekali dan melongok ke bawah. Ai…. tampak Ca Giok tegak mematung memandang si dara. Heran ia dibuatnya. Ia memberanikan diri menyingkap selembar daun lagi agar dapat melihat keadaan si dara. Tetapi secepat itu juga ia menyurut dan palingkan muka lagi!

Sekalipun ia juga seorang anak perempuan tetapi benar-benar ia tak berani memandang senyum dara itu.

Sepasang bibir merah delima dari dara itu merekah dan memancarkan tawa menggerincing, “Apakah engkau ingin melihat kitab pusaka Lam-hay-bun itu?”

Aneh, benar-benar aneh. Ca Giok geleng-geleng kepala tanpa mampu berkata apa-apa. Hatinya serasa hampa tak tahu apa yang harus dikatakan.

Tiba-tiba dara itu mengerut wajah. Senyumnyapun lenyap seketika. Ca Giok gelagapan seperti dibangunkan dari mimpi. Plak. plak, ia menampar kepalanya sendiri seraya berkata, “Sudah lama kudengar tentang kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun itu….”

“Oleh karena itu engkau ingin mengetahui ilmu silat apakah yang tercatat di dalamnya, benar tidak?” tukas dara itu.

Ca Giok tertegun, “Nona cerdik sekali. Dapat menebak jitu!”

“Tak perlu engkau melihat kitab itu”, kata si dara, “Jika ada hal-hal yang belum jelas, silahkan tanya kepadaku!”

Diam-diam Ca Giok mendamprat dara itu bermulut besar. Pikirnya, ia hendak mengajukan pertanyaan yang sulit agar dara itu kelabakan.

Rupanya dara itu dapat membaca isi hati Ca Giok, serunya, “Silahkan engkau mencari pertanyaan yang sesulit-sulitnya supaya aku terdesak! Ketahuilah, kitab pusaka Lam-hay-bun itu memakai sastra Arab, India dan Tionghoa. Engkau lihatpun percuma saja!”

“Tetapi nona dapat mengerti semua?” tanya Ca Giok.

“Ilmu perbintangan dan ilmu bumi, pengobatan dan ramalan, sedikit-sedikit aku tahu. Silahkan engkau mengajukan pertanyaan yang sulit!”

Mendengar nada dara itu makin lama makin sombong, timbullah rangsangan ingin menundukkan dalam hati Ca Giok. Pikirnya, “Ah, aku tak percaya seorang anak perempuan berumur 18an tahun, memiliki pengetahuan yang sedemikian hebatnya”.

Dengan tersenyum ia berkata, “Bagaimana kalau kita bertaruh?”

“Tak perlu begitu!” sambut si dara, “kalau aku kalah, akan kuberikan kitab pusaka itu kepadamu, Tetapi kalau engkau kalah, katakan sendiri engkau akan bertindak bagaimana?”

Diam-diam Ca Giok terkejut dalam hati. Ia heran mengapa dara itu seperti mengerti semua isi hatinya,

“Kalau aku kalah, aku takkan menginginkan kitab pusaka itu lagi!” sahutnya.

Si dara tertawa dingin, “Apakah engkau tak menyesal menyatakan sumpah begitu berat?”

Merahlah wajah Ca Giok, ia tergugu tak dapat bicara. Tetapi ia malu hati. Mengapa harus menyesal bertaruh dengan seorang dara saja?

Kata si dara pula, “Kitab pusaka itu, setelah nanti seluruh tokoh persilatan daerah Kanglam-Kangpak hadir semua, baru akan kupertunjukkan. Agar kalian dapat melihatnya. Jika sekarang engkau sudah mengangkat sumpah begitu, engkau tentu menyesal nanti!”

Melihat kesungguhan dara itu berkata, diam-diam Ca Giok mengakui bahwa apa yang dikatakan dara itu memang benar.

Tetapi baru ia hendak membuka mulut, dara itu sudah mendahului, “Ah, sekarangpun engkau sudah menyesal, bukan? Tetapi tak apalah. Bukankah disini hanya ada aku dan engkau dua orang? Asal aku tak bilang, masakan lain orang tahu apa yang engkau katakan tadi!”

Sejenak merenung, berkatalah Ca Giok, “Karena kita sudah sepakat bertaruh, jika aku tidak….”

Dara itu menukas tertawa, “Biarlah kuwakili mencarikan suatu cara bertaruh yang enak untukmu. Jika menang engkau bakal memperoleh kitab pusaka itu tetapi jika kalah engkaupun tak menderita kerugian suatu apa!”

Ca Giok tertegun, ujarnya, “Silahkan nona mengatakan agar dapat kupertimbangkan”.

Rupanya Ca Giok sudah kewalahan benar-benar menghadapi dara yang luar biasa cerdasnya itu, ia tak berani omong sembarangan lagi.

“Cara itu mudah saja. Jika engkau kalau setiap kali bertemu aku, engkau harus menemani aku dan mengucapkan beberapa patah kata yang mesra….”

Ca Giok melongo.

“Apa?” ujarnya sesaat kemudian. Mimpipun tidak kalau ia bakal memperoleh pertaruhan yang sedemikian enaknya. Hampir ia tak percaya pada pendengaran telinganya.

“Bagaimana? Apakah usulku itu masih terlalu berat bagimu?” dara itu tertawa.

Diam-diam Ca Giok menimang dalam hati, “Jika ucapanmu keluar dari hatimu yang tulus, lebih baik aku kalah saja.”

Tiba-tiba dara itu tertawa, “Jangan bergirang dulu! Kemungkinan engkau tak mampu mengalahkan aku!”

Ucapan itu membangkitkan nafsu harus menang pada hati Ca Giok. Diam-diam ia yakin, tak mungkin dara itu tahu segalanya. Tetapi iapun menginsyafi bahwa dara itu memang cerdik dan luas sekali pengetahuannya. Jika mengajukan soal yang mudah dijawab, malulah ia. Karena hatinya kesusu, malah sampai beberapa saat belum juga ia menemukan persoalan yang patut diajukan.

Dara itu duduk, katanya tertawa, “Pikirlah dulu perlahan-lahan, Aku akan beristirahat dulu!”-habis berkata ia sandarkan kepala pada pohon siong dan pejamkan mata.

Kita tinggalkan dulu Ca Giok yang tengah sibuk mencari soal untuk diajukan kepada si dara. Mari kita ikuti Han Ping lagi.

Melihat keadaan kuburan yang sudah rusak dan tak terawat itu, diam-diam Han Ping menghela napas. Nama, kegagahan, pangkat dan segala kemewahan dunia, akhirnya hanya berakhir dengan gunduk tanah yang terlantar saja….

Ia dapatkan dirinya saat itu berada di samping sebuah makam dari batu marmer hijau yang besar. Di belakangnya terdapat beberapa patung malaikat penjaga yang sudah rusak. Sedang di sebelah muka terdapat sebuah papan nama dari batu marmer. Tetapi tulisannya sudah tak dapat dibaca jelas. Samar-samar seperti terdapat dua baris kata-kata. Yang satu berbunyi, “Di dalam laut tiada yang tahu”. Dan tulisan yang lain berbunyi, “Di ujung langit hanya terdapat seorang”.

Di tengahnya terdapat 3 buah huruf berbunyi “Makam tunggal”. Karena bagian atas batu nisan itu rompal, maka tak diketahui tulisannya.

Han Ping mendapat kesan bahwa dalam tulisan yang agak bernada congkak itu, mengandung suatu jeritan hati yang merawankan.

“Ah, masakan dalam dunia yang seluas ini, dia tak mendapatkan seorang sahabat karib. Walaupun nasibku juga jelek, sejak kecil ditinggal mati oleh kedua orang tuaku tetapi aku masih mempunyai seorang guru yang merawat dan mendidik aku sampai besar. Begitu pula terdapat beberapa orang yang mau memperhatikan diriku. Misalnya, mendiang Hui Gong siansu, kedua nona Ting dan Ca Giok. Mereka baik sekali kepadaku. Agaknya orang yang terkubur dalam makam ini lebih jelek lagi nasibnya”.

Karena kasihan kepada orang itu, diam-diam Han Ping berdoa di hadapan makam, “Sungguh menyedihkan sekali nasib locianpwe yang selama hidup tak mendapatkan sahabat karib. Sayang pula, kita tak berjumpa. Andaikata aku sudah lahir pada masa itu, aku tentu senang sekali bersahabat dengan locianpwe….”

Tiba-tiba ia memperoleh pikiran. Kalau semasa hidupnya orang itu tiada mempunyai sahabat, biarlah setelah mati ia akan berada disitu untuk menemaninya.

Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera menghampiri ke muka makam. Di atas persada makam itu, terdapat sebuah perapian warna hitam yang masih utuh. Entah terbuat dari bahan apa. Walaupun persada sudah rusak, tetapi perapian itu tak kurang suatu apa.

Han Ping berjalan mengitari makam itu. Sebuah makam yang luar biasa besarnya. Diam-diam ia heran mengapa semasa hidupnya tidak mempunyai kawan, tetapi setelah mati dikubur dalam makam yang begitu besar.

“Adakah sebelum mati dia sudah mempersiapkan makam ini lebih dulu?” pikirnya, atau mungkin kemenakan atau salah seorang keluarganya yang membuatkan. Dan menilik megahnya makam ini, tentulah orang ini seorang kaya!”

Ia memeriksa tempat pendupaan. Ternyata berisi teh dari daun jati. Airnya bening. Han Ping heran. Ketika ia gunakan jari menyusup ke air, ternyata airnya dingin sekali karena sudah membeku jadi es.

Sejak kecil ia hidup dalam kemiskinan. Jarang ia melihat permata dan barang-barang berharga. Maka terhadap tempat pendupaan yang dingin itu, ia tak menghiraukan.

Saat itu matahari sedang berada di tengah. Anehnya air dalam pendupaan itu tetap membeku walaupun tertimpa sinar matahari sehari-harian.

Memikir sampai disitu, barulah timbul rasa herannya dan kembali dia menjamah pendupaan itu lagi. Seketika lengannya terasa dingin sekali. Ia kaget dan mundur dua langkah. Dipandangnya tempat pendupaan itu dengan kesima….

Pada saat itu, Ca Giok yang sedang mencari soal untuk diajukan dalam pertaruhan dengan si dara baju ungu, belum juga berhasil menemukan suatu bahan pertanyaan. Soalnya, karena ia bingung. Dia takut kalah tetapipun takut menang. Kalau pertanyaannya kelewat sukar ia kuatir si dara tak dapat menjawab. Walaupun beruntung mendapat kitab pusaka Lam-hay-bun, tetapi ia tentu gagal mendapatkan dara ayu yang tiada tandingannya di dunia itu. Namun kalau mengajukan pertanyaan yang mudah iapun kuatir dipandang hina oleh dara itu. Maka sampai sekian lama belum juga ia berhasil menemukan suatu bahan pertanyaan yang sesuai.

Tampaknya dara itu tak sabar menunggu lagi. Ia melangkah ke samping Ca Giok dan duduk di atas sebuah batu yang berada di muka pemuda itu.

Tiba-tiba mukanya terasa dingin. Setitik air menetes jatuh mengenai mukanya. Ia segera mengusapnya. Ia mengira tentu butir keringat kepalanya. Dan hal itu bisa saja terjadi apabila orang tengah memikir keras.

Ca Giok sama sekali tak memperhatikan gerak gerik si dara.

Sesungguhnya dara itu amat cerdik sekali. Ia dapat membau air yang dipesut Ca Giok itu memang keringat orang yang menitik dari atas. Tetapi ia tak mau segera memandang ke atas pohon. Ia berbangkit dan berjalan ke belakang Ca Giok kemudian barulah ia melirik ke atas. Tampak seorang nona baju hitam tengah merebah pada sebuah dahan, rambutnya terurai lepas. Tampaknya sedang menderita kesakitan. Ketika memandang teliti, barulah ia mengetahui bahwa nona itu bukan lain Ting Ling yang tadi ditolongnya.

Dara itu tak mau membuat ribut, dengan tenang ia berseru menegur Ca Giok, “Sudah begini lama, mengapa masih juga belum dapat menemukan pertanyaanmu?”

Ca Giok tertawa, “Kepandaian nona dalam hal ilmu silat, sastra, perbintangan dan lain-lain pengetahuan, benar-benar lebih tinggi dari diriku. Tetapi apakah nona juga faham tentang gunung, sungai dan ilmu bumi serta keanehan-keanehan dalam dunia persilatan?”

Karena menginsyafi bahwa kepandaiannya kalah dengan dara itu, maka ia sengaja beralih ke lain soal.

Agak terkesiap dara itu seketika. Katanya kemudian, “Katakanlah! Kalau aku kalah, tentu segera kuserahkan kitab pusaka itu kepadamu!”

Ca Giok tersenyum kecil, “Dalam dunia persilatan Tionggoan terdapat sebuah peristiwa aneh. Tujuh puluh tahun berselang, hidup seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Apabila ia tertawa, orang pasti terpesona seperti orang linglung. Setiap lawan yang berhadapan dengan si jelita, pasti membuang senjata dan rela menyerah. Tetapi jelita itu ganas luar biasa. Setiap lelaki yang menyerah dan menyembah di bawah kakinya, tentu akan ditusuk dadanya dengan pedang pendek yang amat tajam sekali….”

Tiba-tiba Ca Giok berhenti. Ia teringat bahwa cerita itu menyangkut dunia persilatan Tionggoan. Kemungkinan si dara baju ungu tentu tak tahu. Ah, bagaimana kalau dara itu sampai tak dapat menjawab? Bukankah ia akan memenangkan pertaruhan itu?

Aneh, benar-benar aneh. Orang bertaruh tentu menginginkan menang. Tetapi sebaliknya Ca Giok malah takut kalau menang.

Dara itu tersenyum bertanya, “Engkau hendak menanyakan tentang asal usul pedang Pemutus Asmara atau menanyakan tentang orang yang memiliki pedang itu? Harus pilih salah satu saja, jangan dua-duanya!”

Ucapan itu membuat Ca Giok terperanjat sehingga terlongong-longong. Dia tak menyangka sama sekali bahwa dara yang masih semuda itu ternyata mengetahui juga tentang peristiwa itu. Suatu peristiwa yang orang persilatan daerah Tionggoan sendiri banyak yang tak mengetahui.

“Hai mengapa engkau diam saja?” tegur si dara.

Ca Giok mendengus dalam hati dan mendamprat dara itu terlalu sombong. Diam-diam ia akan mencari daya agar dara itu tetap menjawab kedua peristiwa itu.

“Pedang pemutus asmara dengan orang yang menggunakan pedang itu, sesungguhnya tak dapat dipisah-pisahkan. Kedua – duanya mempunyai riwayat yang sama. Semisal, Sebab dan Akibat, keduanya mempunyai tali temali yang erat. Jika memang mampu menjawab, engkau harus menuturkan riwayat pedang dengan orangnya sekali. Jika hanya dapat menerangkan satu, berarti belum lengkap….”

Dara itu menukas dengan tertawa mengikik, “Hi, hik, kiranya engkau ini seorang yang berpikiran seperti setan. Tadi baru saja engkau merasa takut menang tetapipun takut kalah, sekarang mendadak hendak mendesak aku begitu rupa!”

Ca Giok terkesiap. Pikirnya, “Benar-benar seperti siluman. Mengapa yang kukandung dalam hati, dia tahu semua? Rasanya kecerdasan gadis ini jauh berlipat ganda dengan kedua nona Ting itu….”

“Jangan membikin sulit kepadakulah”, kata si dara seraya menatap wajah Ca Giok, “Ya, ya, akan kututurkan semua pertanyaanmu itu.”

Dengan mengulum senyum yang menawan, dara itu segera hendak membuka mulut, tetapi buru-buru Ca Giok mencegah, “Tunggu dulu, di tempat yang begini sepi, hanya terdapat kita berdua. Siapa kalah siapa menang, tiada yang menjadi saksi. Ini….”

“Jangan kuatir kalau aku menyangkal”, dara itu tertawa, “sebenarnya saksinya sudah ada!”

Sudah tentu Ca Giok bingung. Pada saat ia hendak meminta penjelasan, tiba-tiba ia mendengar suara berkeresekan dari atas pohon. Dan menyusul sesosok tubuh berpakaian hitam meluncur ke bawah. Dengan sigap Ca Giok segera menyongsong dengan tangan kanan. Ia kira tentu musuh. Tetapi ketika mengetahui bahwa orang itu ternyata Ting Ling, buru-buru ia merubah tusukan jarinya menjadi gerak menyambut. Dan dengan tepat dapatlah ia menyambuti tubuh nona itu.

Ketika memandang ke muka, tampak si dara baju ungu tengah menutup mulutnya yang tengah tertawa mengikik. Ca Giok terkejut heran, ia duga dara itu tentu sudah mengetahui bahwa Ting Ling bersembunyi di atas pohon.

Belum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan kaget dan menyusul, Ting Hongpun muncul. Dara itu menjinjing sebuah bungkusan besar dan berlari mendatangi. Begitu tiba, dara itu terus berjongkok lalu membopong tacinya, “Ci, apakah engkau jatuh dari pohon?”

Dua kali ia bertanya, tetapi Ting Ling tetap diam saja.

Ternyata ketika mendengar Ca Giok dan si dara baju ungu tengah membicarakan tentang Pedang Pemutus asmara, teganglah pikiran Ting Ling. Karena pikiran tegang, matanya berkunang-kunang dan terperosoklah ia ke bawah, Walaupun dapat disanggapi Ca Giok, tetapi nona itu tetap pingsan.

Melihat tacinya tak sadarkan diri, Ting Hong bingung. Cepat ia berkata kepada si dara baju ungu, “Resep yang engkau buatkan itu sudah kubelikan. Tetapi bagaimana dapat kuminumkan karena dia pingsan lagi begini….”

Si dara menyahut dengan tertawa dingin, “Tak perlu engkau bingung. Dan siapakah yang suruh dia tak menurut nasehatku? Mengapa dia memanjat pohon yang begitu tinggi?”

“Ya, sudahlah, dia pingsan, harap engkau suka lekas menolongnya!” Ting Hong makin gelisah.

Si darapun membungkuk untuk melihat keadaan Ting Ling. Ujarnya, “Dia sendiri yang cari penyakit. Karena terlalu banyak menggunakan pikiran, hawa racun dalam hati, meluap. Ai, sebenarnya sudah hampir sembuh tetapi karena peristiwa ini dia harus menunggu sampai beberapa hari lagi….”

Dara itu bertopang dagu memandang ke arah dahan pohon yang sempal dengan terlongong-longong . . .

* * *

Bagian 17

Rahasia sebuah makam

Setelah termangu – mangu beberapa waktu memandang tempat pendupaan, tersadarlah Han Ping. Bahwa dalam sinar matahari yang cukup terik, tetapi tempat pendupaan itu dapat membuat air membeku dingin, jelas tentu barang mustika yang jarang terdapat di dunia.

Kembali ia memegang tempat pendupaan itu. Ah, airnya memang sedingin es sehingga ia lepaskan lagi. Pikirnya, tempat pendupaan yang aneh itu, biasanya tentu menjadi milik orang kaya, Karena benda mustika itu berada di makam yang terasing, ia anggap biarlah benda itu tetap berada disitu untuk menemani jenazah pemiliknya.

Katanya seorang diri kepada makam itu, “Baiklah, karena kita seperti berjodoh, maka akan kukorbankan waktuku sehari untuk menemani engkau disini. Mudah-mudahan arwahmu di alam baka dapat terhibur….”

Ia segera duduk di samping makam itu. Memandang ke sekeliling penjuru, tampak gunduk-gunduk tanah kuburan bertebaran di sana sini, menimbulkan suatu pemandangan yang indah rawan di saat hari menjelang senja.

Kerawanan itu mempengaruhi jiwa Han Ping juga. Ia segera bersemedhi, mengosongkan pikirannya.

Entah berapa lama ia berada dalam kehampaan itu, tiba-tiba ia mendengar serupa bunyi berdering tajam. Ia terkejut dan mengira kalau persemedhiannya telah tersesat jalan atau yang disebut jip-mo (aliran darah keliru jalannya). Keadaan itu tentu akan membuatnya cacad bahkan bisa mati.

Dirabanya kening dan pipinya, Ah, basah dengan embun musim rontok. Ia menengadah memandang ke langit. Bulan dan bintang-bintang sudah menghias cakrawala. Ternyata hari sudah malam.

“Aneh, mengapa dalam pekuburan yang begini terpencil, terdengar suara macam tetabuhan!” ia heran dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi tak menjumpai apa-apa. Akhirnya ia pusatkan perhatian lagi untuk menangkap bebunyian yang aneh itu.

Dan berhasillah ia mengetahui asal bebunyian itu. Ya, tak salah lagi. Bebunyian itu berasal dari dalam makam besar itu.

Keheranannya makin bertambah besar. Ia lekatkan telinga ke makam itu. Ah, bunyi itu menyerupai air mengalir. Setelah bersemedhi, telinganya tajam sekali. Ia dapatkan bunyi gemercik air itu mengalir di dasar makam.

Segera ia berbangkit dan berjalan mengitari makam itu untuk memeriksa. Tetapi makam itu tertutup oleh rumput yang lebat sehingga tak dapat diketemukan suatu lubang yang mencurigakan.

Serentak ia terkesiap, pikirnya, “Bukankah sekarang sedang dalam musim rontok. Pohon dan tanaman tentu sama rontok daunnya, Tetapi mengapa rumput yang tumbuh di makam itu tetap menghijau sendiri!”

Karena heran timbullah hasratnya untuk masuk ke dalam makam itu. Tetapi ia belum mendapat jalan.

Tiba-tiba angin malam berhembus keras. Daun-daun pohon jati di tanah kuburan itu berderak-derak. Menyusul terdengar suara burung kukuk beluk bersahut-sahutan. Sekalipun memiliki ilmu silat tinggi, tetapi Han Ping merasa seram juga.

Begitu seekor burung hantu atau kukuk beluk berbunyi maka disambutlah oleh kawan-kawannya. Riuh rendah suara burung hantu yang menyeramkan itu menusuk telinga.

“Ah, kiranya memang benar, Orang mengatakan bahwa bunyi burung hantu itu seperti orang merintih-rintih….” pikirnya.

Tiba-tiba kawanan burung hantu itu terbang ke udara lalu melayang-layang mengitari makam besar. Sesungguhnya Han Ping ngeri juga. Tetapi karena ia ingin tahu apa yang akan terjadi, ia segera menyurut mundur dan bersembunyi di balik batu nisan.

Sekonyong-konyong salah seekor burung hantu yang besar, melayang ke bawah dan hinggap di atas tempat pendupaan hitam tadi. Burung itu mengangkat kepala, berbunyi aneh lalu terbang.

Selekas burung itu pergi, maka datanglah burung hantu yang kedua. Juga burung itu hinggap di atas tempat pendupaan hitam, berbunyi sekali lalu terbang. Kemudian burung hantu yang ketiga, ke empat, kelima dan satu demi satu kawanan burung hantu itu terbang dan hinggap di atas tempat pendupaan, setelah mengeluarkan bunyi yang aneh lalu terbang lagi….

Saat itu rembulan bersinar terang. Han Ping memang tak punya pengalaman. Tak habis herannya, mengapa kawanan burung hantu itu berbuat seaneh itu.

Setelah kawanan burung itu pergi, suasana kembali sunyi lagi. Tiba-tiba Han Ping teringat bahwa tujuannya datang kesitu adalah hendak mencari tempat yang sepi guna berlatih silat. Ah, mengapa ia menyia-nyiakan waktu?

Segera ia tenangkan semangat, kerahkan tenaga dalam lalu menghantam ke arah sebatang pohon jati yang besar. Tetapi sebelum tenaga pukulan itu melancar, mendadak ia tarik pulang kembali. Ia dapat memukul dengan cepat tetapi pun mendadak dapat menariknya kembali.

Latihan yang berhasil itu makin menggembirakan hatinya. Sekarang ia mulai lagi dengan menghantam daun pohon jati yang jauh jaraknya. Dan kali ini tak ditariknya lagi. Daun pohon jati itu berhamburan jatuh ke bumi.

Ia memungut sebatang ranting dan diam-diam menghafalkan bunyi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng:

“Jika Sari menjadi Hawa, Hawa menjadi Semangat dan Semangatpun akan kembali ke dalam Kehampaan. Kehampaan itu memancar ketiga arah pemusatan puncak dan jadilah suatu kekuatan dahsyat yang dapat dipancarkan menurut sekehendak hati kita….”

Walaupun berkali-kali diulang Hui Gong taysu dan diberikan juga cara latihannya, tetapi selama ini Han Ping belum mengerti. Adalah setelah ia bertempur dengan Pengemis sakti Cong To, barulah ia menyadari arti ilmu pelajaran itu. Maka dalam kesempatan saat ini, ia berlatih lagi menurut ajaran mendiang Hui Gong. Dan berhasillah ia menguasai tenaga dalamnya….

Han Ping kesima sendiri atas hasil yang dicapainya saat itu. Benar-benar ia tak mengira sama sekali. Ia tak percaya bahwa secepat itu ia telah berhasil menempatkan dirinya sebagai orang yang paling cepat memahami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Adakah ia benar-benar seorang yang berbakat dan paling cerdas di dunia? Ah, tidak….

Berbagai kenangan, lalu lalang di benaknya. Berkecamuk bagaikan gelombang di laut. Tetapi setelah memikirkan dengan tenang, kesemuanya itu tiadalah seperti kenyataannya….

Teringat ia akan kebaikan Hui Gong taysu. Beberapa butir airmata, menitik turun. Bulatlah tekadnya untuk membalas budi padri itu.

Hembusan angin gunung, menyadarkan lamunannya. Malam makin gelap. Rembulan tertutup gumpalan awan. Ketika memandang ke arah persada makam besar, ia agak heran. Tempat pendupaan yang tertimpa sinar rembulan tadi hanya hitam berkilat-kilat. Tetapi setelah cuaca gelap, benda itu memancarkan cahaya mengkilap. Segera ia menghampiri dan terus hendak mengangkat benda itu. Ah, ternyata benda itu tak berkisar sedikitpun juga. Han Ping terkejut sekali. Tanpa disadari ia memutar benda itu ke kanan.

Terdengar bunyi berderak-derak dan mendadak persada batu itu merekah dan terbukalah sebuah pintu. Melihat itu, tanpa banyak pikir lagi, ia terus menerobos masuk.

Ketika memandang seksama, ternyata ia sedang menghadapi sebuah lorong di bawah tanah, terbuat dari batu marmer hijau dan berliku-liku menjurus ke dalam.

Setelah merenung sejenak, ia segera melangkah masuk. Kira-kira tujuh delapan meter, lorong itu membelok ke kiri. Dan serempak pada saat itu, terdengar bunyi berderak-derak. Ketika berpaling dilihatnya pintu batu itu tertutup lagi. Namun ia tak gentar dan tetap teruskan langkahnya.

Terowongan itu gelap dan menyeramkan. Untung tak lembab. Setelah melintasi beberapa tikungan tiba-tiba ia mendengar suara gemercik air mengalir. Kira-kira dua tiga meter jauhnya, terdapat sebuah aliran air yang deras. Jelas berasal dari luar makam.

Ia memeriksa lebih lanjut. Saluran air itu dalamnya antara satu meter, tetapi airnya hanya sedalam tigapuluhan centi. Siang malam air mengalir deras, entah menjurus kemana. Serupa dengan lorong terowongan, pun saluran air itu terbuat daripada marmer hijau.

Diam-diam ia mengagumi cara pembuatannya yang indah serta megah. Ia lanjutkan langkahnya. Memang ia harus melalui beberapa tikungan yang membingungkan. Untung lorong terowongan itu hanya sebuah saja.

Setelah melintasi dua buah tikungan, tiba-tiba di sebelah muka tampak cahaya penerangan. Dan mulai saat itu lorong terowonganpun makin melebar. Selebar dua buah kamar. Dindingnya mengkilap seperti kaca dan putih bersih. Entah terbuat dari bahan apa. Penerangan itu ternyata berasal dari 4 butir mutiara mustika yang dipasang di empat penjuru.

Lorong terowongan itu habis sampai disitu. Kini ia berada dalam suatu ruangan. Pada pintu ruangan situ, terdapat tulisan berbunyi:

“Para tetamu harap berhenti.

- Ko Tok lojin.”

Tulisan itu ditanda tangani oleh Ko Tok lojin atau si Orang tua Seorang diri.

Ruang itu penuh berisi mutiara dan benda-benda kuno yang berharga. Secarik kertas, ditindihi sebuah batu pualam hijau.

Surat itu berbunyi:

“Siapa yang datang kesini, berarti berjodoh. Silahkan mengambil benda berharga yang dikehendaki. Tetapi jangan berhati temaha. Hanya boleh mengambil sebuah.”

Memeriksa benda-benda berharga itu, Han Ping terpesona kagum. Benda-benda itu belum pernah dilihatnya seumur hidup. Diam-diam ia anggap pemilik makam itu benar-benar seorang diri. Karena matipun ia membawa seluruh harta kekayaan ke liang kubur….

Tiba-tiba Han Ping teringat akan sebuah pelajaran ilmu silat. Buru-buru ia duduk bersila melakukan pernapasan.

Ia tak tahu bahwa saat itu di atas makam, Kipas besi pedang perak Ih Seng sedang membawa dua orang anak buahnya memandang keadaan makam itu dengan terlongong-longong. Tetapi mereka tak dapat masuk ke dalam makam.

Adalah karena tak sengaja maka Han Ping dapat menggerakkan tempat pendupaan dan masuk ke dalam makam itu. Tetapi tak tahu bagaimana akan keluar nanti.

Makam itu dibuat oleh 12 tukang yang termahsyur. Dan mereka kini sudah meninggal semua.

Kipas besi pedang perak Ih Seng memang sering berkelana di dunia persilatan. Setelah berhasil menawan si dara baju ungu, rencana hendak dibawa ke makam situ dan d’paksa untuk menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun. Apabila dara itu memang tak membawa, pun akan dijadikan sandera dan akan memaksa pihak Lam-hay-bun untuk mengadakan tukar menukar kitab dengan orang.

Tetapi ternyata di tengah perjalanan menuju ke tempat rombongan Lam-hay-bun bermukim, dia berpapasan dengan Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki yang membawa belasan anak buahnya. Rombongan kelompok telaga Tong-thing-ou itu menghadang di tengah jalan dan berkeras hendak ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu. Hampir saja kedua pihak akan bertempur. Untunglah saat itu Leng Kong siau dari lembah Seribu racun dan Tiga jago dari Kimleng, tiba di tempat itu. Mereka bahkan menambah minyak di dalam api, agar kedua pihak itu bertempur mat-matian. Dengan demikian akan berkuranglah jumlah orang yang ikut dalam perebutan kitab Lam-hay-bun.

Tetapi pada saat itu, Imam pencabut nyawa Ting Yan san dari lembah Raja setan muncul. Kemudian Han Ping dan Ca Giokpun tiba. Kedatangan orang-orang itu telah menyebabkan suasana pertempuran berubah….

Si dara baju ungu meminjam kesediaan Han Ping dan Ca Giok mengawalnya dari serbuan tokoh-tokoh itu, untuk mengatur barisan Bambu-batu. Hasilnya Leng Kong siau dan Ih Seng terkurung dalam barisan aneh itu….

Demikian peristiwa yang terjadi mengapa si dara baju ungu dikepung tokoh-tokoh persilatan.

Setelah lolos dari barisan, Ih Seng membawa dua orang anak buahnya lari ke tanah kuburan. Di tempat yang sunyi itulah ia hendak beristirahat dan merancang siasat lagi.

Dia terkejut melihat tempat pendupaan yang berkaki tiga dan berwarna hitam di atas persada makam besar itu dapat bergerak-gerak sendiri. Dipandangnya dengan seksama. Ah, memang benar. Benda berkaki tiga itu memang berputar-putar perlahan.

Sebagai seorang persilatan yang banyak pengalaman, ia tak mau bertindak tergesa-gesa. Setelah menunggu beberapa saat tiada suatu perubahan apa-apa, baru ia maju menghampiri. Kedua anak buahnya terpaksa mengikuti.

Tiba di depan persada, Ih Seng segera ulurkan tangan hendak memegang benda hitam itu. Tetapi sebelum tangan menjamah, tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak. Sebuah arca batu besar yang melukiskan seorang penjaga makam, bergerak menerjang Ih Seng bertiga. Arca itu lontarkan papan batu yang dipegangnya.

Telinga Ih Seng amat tajam. Begitu mendengar kesiur angin, ia cepat berpaling. Bukan kepalang kejutnya ketika melihat sebuah patung batu dapat bergerak bahkan melontarkan papan batu ke arahnya. Cepat ia menghindar ke samping.

Tetepi salah seorang anak buahnya menjerit ngeri. Papan batu itu tepat menghantam kepala orang itu hingga remuk….

Ih Seng yang loncat setombak jauhnya, ketika berpaling dan mengetahui anak buahnya menjadi korban, kejutnya bukan kepalang. Lebih kaget pula ketika menyaksikan gerak gerik patung batu itu. Setelah melemparkan papan batu, patung itu tetap menerjang dengan deras. Baru setelah tiba di depan persada, patung itu berhenti.

“Ah, terlambat sedikit saja menghindar, aku pasti celaka!”- diam-diam Ih Seng mengeluh. Ia mencari anak buahnya yang lain. Astaga! anak buah itu pun sudah terkapar kaku di tanah. Tentulah karena ketakutan setengah mati, orang itu rubuh pingsan.

Ih Seng sendiri sebenarnya juga takut. Diam-diam ia kerahkan seluruh tenaga dalam, bersiap-siap menghadapi sesuatu kemungkinan lain. Tetapi sampai beberapa jenak, tak terjadi sesuatu apa.

Baru hatinya mulai tenang, tiba-tiba terdengar bunyi berderak lagi. Ia tersirap kaget dan memandang dengan seksama. Ah, ternyata patung penjaga makam yang berada di depan persada tadi, bergerak mundur kembali ke tempatnya semula….

Hanya bedanya, kalau di waktu menerjang tadi amat deras sekali tetapi waktu mundur dengan perlahan-lahan. Anehnya, papan batu yang dilemparkan mengenai kepala sal ah seorang anak buah Ih Seng itupun bergerak-gerak mengikuti patung itu lalu kembali melekat ke tangan patung itu lagi.

Ih Seng benar-benar kesima melihat keanehan itu. Pada lain saat ia teringat akan cerita orang tentang 18 buah patung orang yang berada di paseban Lo-han-tong gereja Siau-Lim-si. Kabarnya patung-patung itupun dapat bergerak dan menyerang orang. Kiranya hal seaneh itu memang bukan kabar bohong. Buktinya, ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri patung-patung batu yang dapat bergerak menyerang tadi.

Setelah memandang persada makam dengan tempat pendupaan kaki tiga itu, timbullah suatu dugaan. Jika makam besar itu dijaga oleh barisan patung batu yang dapat menyerang, tentulah makam itu mengandung sesuatu yang berharga. Kalau tidak harta benda yang berlimpah-limpah tentu senjata pusaka atau kitab pusaka yang tiada taranya.Tempat pendupaan yang terus bergerak-gerak itu, tentulah alat penggerak dari rahasia makam itu.

Segera ia memperhatikan keadaan makam itu dengan cermat. Pikirnya, “Patung batu itu hanya dapat menyerbu sampai di muka persada makam. Jika aku loncat ke tengah persada itu, tentu terluput dari serangan patung!”

Saat itu anak buahnya yang pingsan tadi telah siuman. Tergopoh-gopoh orang itu menghampiri Ih Seng dan berkata dengan tergagap, “Tuan, maafkan….”

Ih Seng tengah mencurahkan seluruh perhatian ke arah tempat pendupaan. Sudah tentu ia tak menggubris anak buahnya itu.

“Menyingkirlah!” bentaknya seraya loncat ke tengah batu persada.

Karena sudah mendapat pengalaman pahit, maka kali ini Ih Seng berlaku hati-hati sekali. Begitu berada di batu persada ia cepat mencabut pedangnya lalu menusuk-nusukkan pada tanah di sekelilingnya. Setelah mengetahui tak berbahaya, barulah ia sarungkan pedangnya lagi. Ia membungkuk dan memegang benda hitam yang berputar-putar itu.

Ternyata kuat sekali tenaga putaran tempat pendupaan itu. Walaupun sudah menggunakan separuh bagian tenaganya, tetapi ia tak mampu menghentikan benda yang berputar itu.

Waktu menghentikan tempat pendupaan, matanya tak lepas memperhatikan gerak gerik patung penjaga yang berada setombak jauhnya dari makam itu. Ia kuatir patung batu itu akan menerjang lagi.

Sepeminum teh lamanya, tetap patung itu tak bergerak. Serentak ia tersadar, “Benar, alat penggerak patung batu itu kalau bukan terletak di persada tempat sembahyangan ini tentulah berada di halaman tanah makam itu. Asal orang hendak mendekati batu persada, sekali menyentuh alat penggerak itu, tentulah patung itu akan menerjangnya. Dengan begitu, benda hitam yang berputar-putar ini bukan alat penggerak!”

Kesan itu makin menambah besar nyalinya. Ia tetap hendak menghentikan perputaran benda hitam itu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak, dari bawah tanah merangsang naik. Buru-buru ia lepaskan benda hitam itu dan siap-siap.

“Hai….” tiba-tiba ia berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terperosok. Seketika ia tak dapat melihat apa-apa kecuali kegelapan yang amat pekat.

Kejutnya bukan main! Buru-buru ia empos semangatnya dan menggeliat ke atas. Tetapi tubuhnya malah meluncur ke bawah lebih deras….

Untunglah ia seorang tokoh yang banyak pengalaman. Walaupun berada dalam bahaya, tetapi ia tak lekas gugup. Ia rentangkan kedua tangannya untuk menghambat tubuhnya yang meluncur ke bawah lalu ia berusaha menggeliat ke samping.

Ah, sebuah dinding yang landai dan rata sehingga tak dapat dibuat pegangan. Terpaksa ia menekan dinding itu. Dengan meminjam tenaga tekanan itu, ia melesat ke belakang sambil berjumpalitan menuju ke lain dinding. Tetapi serupa juga keadaannya. Tak dapat dibuat pegangan.

“Celaka, matilah aku!” ia mengeluh. Karena kecewa dan putus asa, buyarlah pengerahan tenaga murninya. Dengan demikian tubuhnya makin meluncur lebih deras ke bawah.

“Uh….” ia terkejut ketika kakinya menyentuh tanah. Ketika melihat ke sekeliling, ternyata ia berada di sebuah tempat yang terdiri dari dua buah kamar. Satu besar satu kecil. Dinding kamar itu terbuat dari batu yang halus dan licin. Di atas kamar itu diterangi oleh semacam benda yang memancarkan sinar penerangan.

Setelah termangu – mangu beberapa saat, mulailah ia menyelidiki keadaan ruangan itu. Ia akan mencari jalan untuk keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba ia merasakan hawa dalam ruangan itu berubah. Memang bagi orang biasa, perubahan itu sukar diketahui. Tetapi sebagai seorang tokoh silat yang tinggi tenaga dalamnya, ia mempunyai panca indra yang lebih tajam.

Ia memandang dengan seksama ke sekeliling, begitu pula iapun mencoba untuk melakukan pernapasan. Tetapi kesemuanya itu tiada terdapat perubahan apa-apa. Adakah ketika memandang ke atas, baru ia terkejut bukan kepalang. Kiranya langit-langit ruangan yang terbuat dari batu itu, mengendap perlahan-lahan ke bawah.

Saat itu barulah ia kelabakan. Betapapun pengalamannya sebagai tokoh persilatan, tetapi saat itu benar-benar ia gelisah. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia menghantam dinding ruangan. Tetapi dinding itu sedikitpun tak bergeming. Bahkan tangannya sendiri yang sakit.

Dalam pada itu langit-langit ruangan makin menurun ke bawah. Dalam waktu singkat tentu akan menindih dirinya.

“Ah, tak kira aku bakal mati dalam keadaan begini mengenaskan,” diam-diam ia mengeluh.

Sekalipun begitu ia tetap berusaha untuk melawan bahaya maut itu. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia songsongkan kedua tangan untuk menahan langit-langit batu yang menghimpit turun itu. Tetapi langit-langit batu itu teramat dahsyatnya. Ih Seng tak mampu menahannya. Dan akhirnya kakinya melentuk, tubuhnyapun ikut tertekuk ke bawah….

Sepeminum teh lamanya, Ih Seng sudah telentang rebah di lantai. Dia sudah kehabisan tenaga dan tak mau menahan lagi. Dengan pejamkan mata, ia pasrah nasib menunggu ajal.

Tetapi sampai beberapa saat, belum juga ia merasa langit-langit batu itu menindih dirinya. Ketika membuka mata ternyata langit-langit batu itu, berhenti bergerak. Jaraknya hanya beberapa senti dari tubuhnya.

Pada papan batu yang merupakan langit-langit ruangan itu, terdapat tulisan yang berbunyi:

“Sungguh tak terduga sama sekali tuan akan berkunjung kemari. Kami sambut sehangat-hangatnya. Jangan takut, takkan tertindih mati. Tetapi hati-hatilah bisa mati kelaparan.

- Ko Tok lojin.”

Diam-diam Ih Seng memaki, “Jahanam benar Ko Tok lojin itu. Perlu apa dia memasang alat jebakan begini kalau tak mau menghimpit korbannya sampai mati. Rebah disini, berarti akan mati kelaparan juga. Bagi orang biasa, dalam waktu seminggu tentu sudah mati. Tetapi bagi orang persilatan juga hanya dapat bertahan sampai setengah bulan. Ah, betapa hebatnya siksaan selama setengah bulan itu!”

Tetapi ia hanya dapat melampiaskan kemarahannya dengan menghambur makian. Lain dari itu ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Papan batu itu hanya terpisah satu dim dari ujung hidungnya. Jangankan akan menggerakkan tangan, sedang untuk menekuk kakinya saja, ia tak dapat.

Pada lain saat ia menertawakan dirinya sendiri. Bukankah pemilik makam itu sudah mati dulu-dulu. Apa perlunya ia memaki orang yang sudah mati. Bukankah percuma saja?

Tiba-tiba dari sebuah ruangan lain, ia mendengar suara orang membentak, “Hai, siapakah yang memaki-maki itu….!”

Ih Seng terkejut bukan kepalang. Jelas makam itu sebuah bangunan kuno. Masakan di dalamnya terdapat orang yang menghuni. Ih Seng kucurkan keringat dingin.

Dari dinding ruangan itu terdengar bunyi berdebuk-debuk dan suara orang bertanya lagi, “Apakah engkau keliru menginjak alat rahasia makam ini dan jatuh ke dalam perangkap? Mengapa engkau membisu saja?”

Dengan teliti Ih Seng menyelidiki arah suara orang itu jelas berasal dari seorang manusia. Ia duga orang itulah yang menggerakkan alat rahasia sehingga ia tersiksa begitu. Kemarahannya meluap-luap. Serentak ia hendak bangun. Duk…. kepalanya membentur papan batu, hidungnya berdarah dan mata berkunang-kunang! Kesakitan itu menyadarkan kedudukannya. Ia tenang lagi.

Buru-buru ia kerahkan napas untuk menghentikan darah di hidungnya, “Benar, aku memang keliru masuk ke dalam perangkap. Apakah saudara begitu pula?”

Karena dinding ruangan itu tebal sekali, tak mudah mendengar suara orang. Walaupun masing-masing bicara keras tetapi kedengarannya lembut sekali.

Kembali orang di ruang sebelah berkata dengan suara lembut, “Karena selama hidup hanya seorang diri, tiada sanak dan tiada kawan, maka waktu mati dia telah membuat makam besar yang diperlengkapi dengan alat rahasia. Untuk menjaga orang yang hendak mencuri barang-barang peninggalannya….”

Ih Seng hanya melongo. Gila benar orang itu. Masakan dirinya sudah terjebak dalam ruang rahasia, masih membela pada pemilik makam itu. Pikirnya.

“Barang apa sajakah yang berada di ruang saudara situ. Di tempatku sini memang penuh dengan permata ratna mutiara manikam yang tak ternilai harganya,” kata orang di ruang sebelah.

“Apa?” Ih Seng terkejut.

“Jika saudara menginginkan, asal mengambil sebutir saja, tentulah boleh. Ah, sungguh sayang sekali mengapa sekian banyak permata yang ternilai harganya, terpendam dalam makam di sini….”

“Keparat, mengapa engkau mengoceh tak keruan!” tiba-tiba Ih Seng mendampratnya. Ia marah.

“Hai, mengapa engkau memaki aku? Nanti apabila bertemu, tentu paling sedikit akan kutampar mukamu sampai 4 kali!” orang itu berteriak seraya menghantam dinding ruangan beberapa kali. Bum, bum….

Ih Seng terkejut. Hantaman orang itu dapat menggetarkan dinding. Jelas seorang yang berilmu tinggi. Bahkan lebih tinggi dari dirinya.

“Ha, ha, ha,” Ih Seng tertawa mendongkol, “lebih baik jangan bertemu dengan aku. Karena kalau ketemu paling tidak tentu akan kutampar mukamu sampai 8 kali!”

“Hai, jangan lari dulu! Segera akan kucarimu” teriak orang itu makin marah.

Ih Sengpun makin keras tertawa, “Silahkan, kutunggu. Kalau tak mampu mencari aku, engkau benar-benar seorang bangsat tengik”

Ia duga orang itupun tentu dalam keadaan serupa dengan dirinya. Tak mungkin keluar….
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar