Makam Asmara Jilid 09 (Tamat)

Jilid 09 (Tamat)
Anak buah Lam-hay-bun telah mengambil posisi yang rapi. Betapapun Ih Thian-heng dan tokoh2 Tiong-goan itu melancarkan serangan yang gencar dan melontarkan pukulan2 yang dahsyat namun orang2 Lam-hay-bun itu selalu dapat menghindar ataupun menangkis dan akhirnya menggagalkan serangan lawan.

Saat itu suasana dalam ruangan berobah kacau dan acak-acakan. Deru angin pukulan dan lengking teriakan serta bentakan kemarahan dan hawa pembunuhan, telah memenuhi seluruh ruangan.

Pertempuran telah dimulai.

Tiba2 si dara baju ungu yang masih rebah di dada Han Ping berbisik-bisik, “jangan lepaskan aku. Ayah sudah mempersiapkan rencana pembunuhan besar-besaran dalam ruang itu. Sekalipun kepandaianmu sakti tetapi tetap engkau tak dapat melawan. Adanya mereka tak mau segera menjalankan alat pembunuhan itu adalan karena ayah dan Ibu masih saling bertengkar dan juga masih menguatirkan keselamatan diriku.”

Mendengar itu Han Ping amat bersyukur, sahutnya, “tetapi nona begini….”

“Sudahlah saat ini jangan engkau banyak bicara,” cepat si dara baju ungu menukas. “Kalau ayahku mengetahui engkau tak dapat melukai aku, celakalah….”

Han Ping menghela napas panjang dan diam.

Tiba2 Pengemis sakti Cong To berteriak keras, “Saudara2 sekalian, harap berhenti dulu. Pengemis tua hendak bicara!”

Sekalian jago2 segera berhenti menyerang, dan menyurut mundur.

Sejenak Cong To keliarkan mata memandang ke segenap ruangan. Dilihatnya lelaki tua baju biru atau ketua Lam-hay bun masih tetap bersikap dingin terhadap isterinya, wanita cantik berpakaian puteri keraton. Demikian pula sikap wanita cantik itu terhadap ketua Lam-hay-bun. Tampaknya kedua suami isteri yang tak akur itu tak mempedulikan suasana pertempuran disitu.

Melihat itu diam2 pengemis sakti menghela napas, “Hai, kedua suami isteri itu benar2 manusia yang berhati dingin…. “

Kemudian Pengemis sakti berseru kepada sekalian tokoh2 Tiong-goan, “Mereka sudah mengatur kedudukannya dengan rapi, dapat saling memberi bantuan. Apabila fihak kita menyerang secara acak-acakan, bagaimana mungkin bcrhasil membobolkan barisan mereka?”

Sekalian tokoh itu adalah tokoh2 yang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Mendengar kata2 Cong To, segera mereka menyadari kekeliruannya.

Memang anak buah Lam-hay-bun itu mempersiapkan diri dalam tempat2 yang tepat. Walaupun hanya Ong Kwan- tiong bertiga dengan si Bungkuk dan si Kate, tetapi mereka mampu menghadapi serangan dari tokoh ternama seperti Ih Thian-heng, Ca Cu-jing, Nyo Bun-giau, Ting Ko ketua Lembah raja-setan.

Kiranya rahasia dari pertahanan ketiga anak-buah Lam-hay-bun itu tak lain ialah gerak perubahan kedudukan mereka yang begitu lancar dan rapi. Mereka dapat menggunakan siasat ‘meminjam tenaga lawan untuk memukul kembali’. Dengan demikian pukulan2 dari Ih Thian-heng dan tokoh2 lainnya itu, dapat

dimanfaatkan dan dikembalikan kepada pengirimnya. Ketiga orang Lam-hay-bun itu dapat bertahan betapapun lamanya.

Demikianlah dalam waktu singkat, Pengemis sakti Cong To dapat mengetahui rahasia kekuatan orang Lam-hay-bun, lalu berseru menghentikan sekalian jago2 Tiong-goan.

Tiba2 wanita cantik tertawa dingin lalu melangkah ke tempat Bwe Nio. Menepuk beberapa jalandarah pada tubuhnya lalu mengeluarkan sebutir pil diminumkan ke mulut Bwe Nio.

Sesaat kemudian terdengar nenek Bwe itu mengerang pelahan lalu pelahan-lahan duduk.

“Terima kasih cu-bo,” serunya pelahan kepada wanita cantik itu.

Sahut wanita cantik itu dengan dingin, “Sejak aku meninggalkan pulau Lam-hay Toto, telah banyak menerima perawatanmu. Pertolonganku anggaplah sebagai pembalasan jasamu melayani Toto sampai sekian tahun itu.”

“Ah, mana hamba berani menuntut jasa?” kata nenek Bwe, “nona, memiliki kecerdasan luar biasa dan hamba selama mengikutinya banyak sekali mendapat manfaat….”

“Sudah, jangan banyak omong tak karuan,” tukas si wanita cantik lalu berpaling memandang si dara baju ungu, “Toto, ibu hendak pergi, apakah engkau hendak ikut aku? Ataukah engkau akan tinggal disini?”

Tiba2 dara baju ungu itu menjerit, “Aduh…. tulang lenganku hampir pecah, sakit
sekali!” Wanita cantik itu kerutkan dahi dan wajahnya pun segera menampilkan hawa pembunuhan. Dengan tenang ia segera melangkah ke tempat Han Ping, tegurnya dengan nada dingin, “Kalau engkau berani melukai puteriku, jangan harap engkau mampu hidup. Lekas lepaskan Toto!”

Jawab Han Ping, “Asal engkau memberi perintah supaya orang2 itu membuka jalan, aku tentu akan melepaskannya….”

Dan Han Ping lalu menutup kata-katanya dengan melekatkan pedang Penmutus asmara ke leher si dara jelita, serunya, “Apabila nyonya menggerakkan tangan, puterimu terpaksa tentu menjadi mayat.”

Mendengar ancaman itu seketika menyurutlah hawa pembunuhan pada wajah si wanita cantik. Kini wajahnya bertebar keramahan dan matanya pun tampak berlinang-linang. Wajahnya berseri keibuan yang penuh kasih sayang terhadap puterinya.

Sesaat kemudian ia berpaling dan berseru kapada Ong Kwan-tiong. “Kalian menyingkirlah ke samping buka pintu dan lepaskan mereka!”

Ong Kwan-tiong terkesiap, serunya tersekat-sekat, “Ini, ini….”

“Kalian mendengar perintahku atau tidak?” seru wanita cantik itu dengan murka.

Ong Kwan-tiong serentak memberi hormat, serunya, “Ya, murid mendengar.”

“Kalau mendengar mengapa masih tak mau menyingkir ke samping,” seru wanita cantik pula.

“Suhu menitahkan murid menjaga tempat sekuat-kuatnya,” jawab Ong Kwan-tiong, “tak boleh seorangpun melintasinya!”

Wanita cantik itu tertawa dingin, “Baik! Omonganku tadi seperti dianggap angin saja! Hm, dia hendak mempergunakan makam ini sebagai tempat menyembunyikan alat2 rahasia dan benda2 beracun. Dia hendak membasmi seluruh tokoh2 persilatan Tiong-goan. Untuk melaksanakan citacitanya itu, dia tak mempedulikan lagi jiwa anaknya. Tetapi aku takkan membiarkan dia bertindak begitu….”

Wanita cantik itu melangkah ke arah Ong Kwan-tiong dan melepaskan sebuah hantaman.

Ong Kwan-tiong tak berani menangkis, juga tak berani menghindar. Dia hanya berdiri menunggu ajal.

Tiba2 ketua Lam-hay-bun lepaskan sebuah pukulan jarak jauh Biat-gong-ciang untuk menghalau pukulan isterinya.

“Kalian menyingkirlah!” serunya kepada Ong Kwan-tiong.

Ong Kwan-tiong menurut, ia menyurut mundur ke samping. Melihat itu si Bungkuk dan si Kate pun ikut mundur ke samping dan membuka sebuah jalan.

Wanita cantik tertawa dingin, serunya, “Buka Pintu dan lepaskan mereka keluar!”

Ong Kwan-tiong terkesiap. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak.

Tiba2 ketua Law-hay-bun maju menghampiri dan berkata, “Betapa susah payah kubangun makam tua ini. Kalau sekarang hendak engkau kacau, bukankah akan sia2 belaka segala jerih payahku itu….”

Sahut wanita cantik, “Kalau engkau memang mempunyai kesaktian, mengapa engkau tak menantang mereka untuk adu kepandaian? Dengan mengandalkan perkakas2 rahasia dalam makam ini untuk mencelakai orang, bukanlah laku seorang ksatrya!”

“Apa pedulimu!” teriak ketua Lam-hay-bun dengan murka, “siapa suruh Engkau ikut campur?”

Tetapi wanita cantik itu tak gentar, bahkan malah menantang, “Kalau aku senang ikut campur, engkau mau apa?”

“Yah…. mah….,! Aduh aku sakit sekali ini!” tiba2 dara baju ungu berteriak.

Ketua Lam-hay-bun tergetar hatinya. Ia berpaling ke arah puterinya lalu tertawa keras, “Ah…. ternyata Thian tak mengabulkan kehendakku. Hm, apa boleh buat.”

Tiba2 ia menampar dinding dengan tangan. Dinding batu yang licin itu seketika merekah sebuah pintu.

Wanita cantik berpaling dan berkata dingin2 kepada Han Ping, “Pintu sudah terbuka. Seharusnya engkau lepaskan dia!”

Han Ping keliarkan pandang. Dilihatnya mata sekalian tokoh2 Tiong-goan itu mencurah kepadanya dengan sikap yang tegang.

Karena melihat Han Ping masih ragu2, ketua Lam-hay- bun marah dan membentaknya. “Nanti mayatmu tentu akan kucincang sampai hancur lebur agar kebencian hatiku bisa terlampias.”

Rupanya wanita cantik itu memang sengaja hendak cari perkara dengan suaminya. Ia tertawa mencemooh, “Rupanya dia telah mewarisi kepandaian dari Hui Gong taysu. Mungkin engkau tak mampu mengalahkannya.”

Seketika berobah pucat pasilah wajah ketua Lam hay bun. Ucapan isterinya benar2 menyinggung hatinya.

Han Ping menghela napas panjang, serunya, “Lo-cianpwe berdua, harap suka memberi jalan agar mereka yang terluka dapat keluar dari sini. Aku tetap akan tinggal disini. Asal sekalian orang yang menderita luka itu sudah keluar semua, aku pasti akan melepaskan puterimu.”

Ketua Lam-hay-bun saling bertukar pandang dengari isterinya. Kemudian keduanyapun masing2 mundur selangkah.

“Silakan para suhu sekalian keluar dahulu,” seru Han Ping kepada golongan paderi Siau-lim-si.

Rombongan paderi Sian-lim-si itu memandang Han Ping lalu memanggul jenazah Goan-thong dan Hui Ko, kemudian mengangkut Hui In taysu dan keluar dari ruangan itu.

Tiba2 terlintas sesuatu dalam benak Han-Ping cepat ia, berseru, “Suhu sekalian, harap berhenti dahulu.”

Rombongan paderi itu tertegun dan hentikan langkah.

Han Ping segera maju menghampiri. Diam2 ia kerahkan tenaga-murni dan beberapa kali menutuk jalandarah di tubuh Hui In taysu. Kemudian mempersilahkan para paderi itu lanjutkan keluar.

Para paderi menyambut dengan doa, pelahan lalu melangkah keluar.

Sejenak keliarkan pandang, berkata pula Han Ping dengan pelahan, “Siangkwan pohcu, Ting koh-cu berdua, menderita luka parah. Harap lekas2 berobat. Mungkin masih dapat tertolong. Maka silahkan keluar lebih dahulu.”

Mendengar itu Ting Ko lalu memanggul Ting Ling melangkah keluar. Pun Siangkwan Ko juga segera memimpin tangan Siangkwan Wan-ceng, mengikuti di belakang Ting Ko.

Sikap dan keberanian Han Ping menghadapi maut bagai suatu hal yang tak mengerikan, benar2 telah membuat sekalian tokoh2 Tiong-goan kagum dan secara, tak sadar mereka menganggap pemuda itu sebagai pemimpin mereka.

Ketua Lam-hay-bun dan wanita cantik ternyata tak berbuat apa2. Mereka membiarkan saja orang2 itu keluar dari makam.

Tiba2 ketua Lembah-seribu-racun pesatkan langkah dan terus menerobos keluar dari pintu batu itu.

Han Ping kerutkan alis. membentaknya perlahan, “Lo-cianpwe, nanti dulu, giliran yang belakang.”

Saat itu ketua Lembah-seribu-racun sudah hampir dekat pada pintu batu. Ia berhenti mendengar suara Han Ping lalu balas membentak, “Mengapa?”

Kata Han Ping, “Cara lo-cianpwe bergerak mau menyelamatkan jiwa terlalu terburu-buru ….”

Betapapun halnya tetapi ketua Lembah seribu-racun itu merah juga mukanya mendengar kata2 Han Ping. Sahutnya, “Lambat atau cepat toh sama saja!”

Sesungguhnya yang ingin lekas2 keluar dari tempat itu bukan melainkan hanya Leng Kong-siau. ketua Lembah seribu -racun itu seorang. Nyo Ban-giau, Ca Cu-jing dan lain2 juga ingin sekali. Hanya saja mereka tak mau bergerak seperti ketua Lembah-seribu-racun yang begitu tergopoh-gopoh itu.

Ternyata selain sayang akan jiwanya, pun orang2 itu memang mengandung pikiran untuk keuntungan diri sendiri. Mereka mengharapkan supaya lekas

keluar baru ketua Lam-hay-bun itu gerakkan alat perkakas rahasia agar semua orang yang masih berada dalam makam itu tertimbun mati semua. Tambah seorang yang mati dalam makam itu, bagi yang masih hidup berarti suatu keringanan karena berkurang seorang musuh yang kuat.

Ketua Lam hay-bun itu dingin2 saja melihat Han Ping laksana seorang laksamana yang memberi perintah kepada anak buahnya. Demikian pula dengan wanita cantik, ibu si dara baju ungu. Rupanya kedua suami isteri itu terpaksa harus mengalah demi memikirkan keselamatan puterinya yang ditawan Han Ping.

Suasana dalam ruangan sunyi senyap. Tampak Han Ping tengah merenung dan entah apa yang sedang dipikirkan.

Pengemis-sakti Cong To batuk2 pelahan sehingga kesunyian terpecah. Kemudian berkata, “Saudara, apa yang engkau pikirkan?” tegurnya kepada Han Ping.

“Aku tengah berpikir apakah kita perlu tinggal disini atau tidak, untuk menyelesaikan pertempuran dengan pihak Lam hay- bun. Memang kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini dengan selamat, tetapi rasanya persoalan takkan habis sampai disitu saja. Dunia persilatan tentu masih bergolak-golak dan kacau. Entah kelak akan membawa berapa banyak korban yang tak berdosa lagi. Daripada hal itu terjadi besok, lebih baik kita selesaikan sekarang saja. Biar mati atau hidup, tetapi hanya kita beberapa orang ini saja. Tak sampai menyeret lain2 orang yang tak sedikit jumlahnya!”

Cong To tertawa gelak2, serunya, “Benar, soal itu aku sendiripun sampai tak dapat memikir jauh.”

Nyo Bun-giau tiba2 menyelutuk, “Kalau saudara Ji memang bermaksud begitu, kiranya tak perlu tadi saudara melepas Siangkwan Ko dan Ting Ko keluar. Bukan saja kekuatan kita akan berkurang, pun dengan bebasnya kedua orang itu, dunia persilatan tentu tak mungkin akan aman.”

Jawab Han Ping, “Kedua orang itu sudah tua dan menderita kemalangan nasib karena puterinya meninggal dan terluka. Kiranya pelajaran itu cukup mahal. Tetapi kalau memang tak sadar dan tetap berkecimpung dalam kancah dunia persilatan untuk memburu nama mereka pasti akan menderita kekecewaan ….”

Tiba2 Ca Cu -jing menyelutuk, “Kami ayah dan anak, kalau harus mati semua dalam ruang ini, bukankah terlalu penasaran sekali….” sejenak ia berhenti lalu berkata pula, “Anakku, engkau juga harus tinggalkan tempat ini.”

Tetapi Ca Giok menolak, “Tidak yah, aku akan menemani ayah disini….”

Ca Cu-jing membentak marah, “Mau tinggal disini agar ayahmu menderita kedukaan? Lekas pergilah!”

Wut, ia lepaskan sebuah hantaman.

Ca Giok tak berani menangkis. Ia miringkan bahu ke samping untuk menerimanya. Seketika ia rasakan sebuah arus tenaga dahsyat melanda sehingga tubuhnya terdorong mundur beberapa langkah dan tepat tiba di samping pintu batu.

Ca Cu jing cepat menyusuli sebuah hantaman lagi kepada sang putera sehingga Ca Giokpun terdorong keluar dari pintu.

Tiba2 Han Ping menengadahkan kepala dan bersuit nyaring. Ia lepaskan diri dari si dara baju ungu lalu dengan mata berkilat-kilat dan tangan kanan mencekal pedang Pemutus asmara, ia menjura di hadapan ketua Lam-hay bun.

“Lo-cianpwe. aku….”

Ketua Lam hay-bun mendengus dingin, “Apakah engkau hendak menguji aku dengan pukulan?”

Sahut Han Ping tegas2, “Silahkan lo-cianpwe memberi perintah untuk menutup pintu batu dan siapkanlah barisan. Akulah yang pertama ingin mencoba kehebatan dari ilmusilat Lam-hay-bun.”

Kiranya pada saat itu benak Han Ping membayangkan ketika Hui Gong taysu tengah menurunkan pelajaran kepadanya. Walaupun secara resmi dia bukan murid dari Hui Gong taysu, tetapi ia telah menerima pelajaran dari tokoh Siau-lim itu. Ia harus mencurahkan segenap tenaga untuk menjaga keharuman nama Hui Gong taysu sebagai bintang cemerlang dalam angkasa persilatan.

Pikiran aneh dalam hati Han Ping itu, tiada seorangpun yang dapat menduga.
Bahkan Ih Thian-heng yang cerdik, juga tak mengerti.

Sesaat Ih Thian -heng hanya tegak termangu-mangu memandang wajah Han Ping. Beberapa jenak kemudian baru ia berkata pelahan-lahan, “Apakah saudara Ji hendak adu kepandaian di dalam ruangan ini?”

Han Ping menyahut dengan nada bersungguh2, “Walaupun dalam ruang ini terdapat barisan gelap, tetapi kupercaya, Lam-hay Sin-siu lo-cianpwe pasti takkan menggerakkannya.”

Ketua Lam-hay-bun tertegun, serunya, “Apakah di antara kalian ada yang layak menjadi lawanku?”

“Lo-cianpwe hanya karena mendendam kepada Hui Gong taysu maka dengan jerih payah membangun triaLtien tua ini dan memperlengkapinya dengan

segala bermacam alat2 rahasia untuk membunuhi kaum persilatan dunia Tiong-goan,” kata Han Ping, “tujuan lo-cianpwe tak lain yalah karena hendak merebut kembali kehilangan muka dari Hui Gong taysu. Padahal peristiwa lo-cianpwe dikalahkan Hui Gong taysu, kaum persilatan Tiong-goan hanya sedikit sekali orang yang tahu. Apalagi kini Hui Gong taysu sudah meninggal dunia.”

Berhenti sejenak, Han Ping melanjutkan pula, “Seorang lelaki, masakan takut menghadapi kematian? Walaupun tahu bahwa diriku bukan lawan yang layak dari lo-cianpwe. tetapi aku ingin sekali menyerahkan jiwaku untuk menerima pelajaran ilmu kesaktian dari lo-cianpwe. Kalau aku sampai terluka di tangan lo-cianpwe, mungkin dendam kemarahan Lo-cianpwe itu tentu akan mereda. Tetapi kalau aku beruntung dapat mengalahkan lo-cianpwe, kuharap lo-cianpwe benar2 rela mengaku kalah kepada Hui Gong taysu.”

Seketika wajah ketua Lam-hay bun berubah gelap. Pelahan-lahan ia maju tiga langkah, serunya: Hendak kuuji dulu sampai pada tataran manakah Ilmu Pedang terbang yang engkau yakinkan itu?”

Diam2 Han Ping memang sudah kerahkan tenaga-murni. Pedang Pemutus asmara pelahan-lahan digerakkan dalam bentuk setengah lingkaran di muka dadanya. Kemudian berkata dengan serius. “Silahkan lo-cianpwe!”

“Aku akan mengalah sebanyak tiga jurus,” kata ketua Lam-hay-bun.

“Kalau lo-ciaupwe hendak mengalah, kurasa satu jurus saja sudah cukup,” seru Han Ping seraya ajukan tangan melmutar pedang pusaka menjadi tiga kelompok sinar yang sekaligus menyerang pada tiga buah jalandarah di tubuh ketua Lam-hay-bun.

Tampak ketua Lam Hay-bun gatarkan bahu kanannya. Tanpa berkisar kaki dan meliukkan lutut ia menghindari serangan itu.

Han Ping menarik pulang pedang, serunya, “Harap lo-cianpwe suka turun tangan!”-ia terus loncat maju. Pedang Pemutus-asmara berkiblat-kiblat memancarkan lingkaran Sinar bergulung2 bagai ombak mendampar.

Ih Thian-heng yang menyaksikan dari samping diam2 merasa bahwa ilmupedang anakmuda itu dalam waktu yang singkat telah mencapai kemajuan besar.

Rupanya ketua Lam-hay-bun tetap pegang gengsi. Dia tak mau menggunakan senjata dan melainkan menggunakan sepasang tangan untuk menghadapi serangan Han Ping. Tetapi gerakan tangannya memang amat aneh sekali. Benar2 suatu ilmu silat yang jarang terdapat di dunia persilatan.

Ujung jarinya selalu mengarah untuk menusuk ke jalandarah lengan Han Ping sehingga anak-muda itu terpaksa tiap kali harus hentikan serangan pedangnya di tengah jalan.

Sepintas pandang tampak pedang Han Ping itu menyambar bagai bianglala. Dan sambarannya pun sedahsyat gelombang mendampar. Tetapi sesungguhnya, dia harus bertempur dengan susah payah sekali. tangan ketua Lam hay- bun itu seperti ular yang selalu membayangi kemana pemuda itu bergerak.

Pertempuran yang seru dan dahsyat itu membuat sekalian tokoh yang menyaksikan sama membelalakkan mata lebar2. Mereka seperti kena pesona. Perhatian dan mata tokoh2 itu mencurah lekas pada gerak gerik kedua orang yang sedang bertempur. Kerut wajah merekapun berobah-obah tenang tenang menurutkan perobahan2 yang terjadi pada jurus2 pertempuran.

Menyaksikan adegan itu, tiba2 darah si dara baju ungu meluap ke atas kepala, Kepalanya pusing dan rubuhlah ia ke tanah.

Untunglah si wanita cantik tahu dan cepat2 menyambar tubuh puterinya itu lalu dipeluk. “To-ji, to-ji….”

Dalam beberapa waktu yang singkat itu berulang kali si dara baju ungu telah menderita keguncangan perasaan hatinya. Dia memang seorang dara yang bertubuh lemah sehingga mudah pingsan.

Melihat Han Ping bertempur sedemikian dahsyatnya dengan ketua Lam hay-bun, dara baju ungu itu menjadi tenang sekali. Yang satu adalah ayah kandungnya. Dan yang satu adalah pemuda yang amat dicintainya. Siapa pun diantara kedua orang itu yang akan rubuh, tentu akan membuat hati si dara menderita sekali.

Melihat ayahnya dan Han Ping bertempur makin lama makin hebat, hati dara baju ungu itupun ikut meningkat ketegangannya. Darah meluap dan akhirnya rubuhlah ia tak ingat diri….

Mendengar isterinya berseru memanggil puterinya, ketua Lam-hay-bun tanpa sadar memalingkan muka sehingga perhatiannya lengah. Kesempatan itu telah diisi Han Ping dengan Dua buah tahasan telah menutup serangan jari ketua Lam- hay bun itu. Dan kemudian Han Ping menyusuli dengan menamparkan tangan kiri dalam jurus Tengah-malam-memukul-lonceng ke arah bahu kanan lawan.

Ketua Lam-hay-bun hanya memperhatikan serangan pedang Han Ping. Sama sekati ia tak menduga akan menerima pukulan dari anakmuda itu. Kalau ia menghindar, tentu harus loncat mundur. Dan gerakan itu pasti akan dikuasai oleh Han Ping lagi.

Maka ketua Lam hay-bun itu memutuskan. Ia mendengus dingin lalu songsongkan bahunya ke arah tangan Han Ping.

Dukk…. pukulau Han Ping tepat bersarang pada bahu kanan ketua Lam-hay-
bun. Tetapi Han Pingpun menderita, kerugian. Ternyata dalam mengorbankan bahunya itu, ketua Lam-hay-bunpun dengan suatu gerakan jari yang luar biasa anehnya telah berhasil menutuk siku lengan Han Ping sehingga pedang Pemutus-asmara tak kuasa dicekalnya tagi. Tring…. pedang pusaka itu jatuh ke tanah.

Tetapi Han Ping tak mau menyerah begitu saja. Serentak ia tendangkau kakinya dan tangan kirinya balas menutuk.

Cara yang dilakukan Han Ping itu adalah cara adu jiwa. Dia sudah tak menghiraukan lagi apakah pertahanan dirinya terbuka atau tidak. Pokoknya serangan itu harus mengenai lawan.

Sekalian tokoh heran melihatnya. Mereka benar2 tak menyangka Han Ping berbuat begitu nekad. Diam2 mereka menilai, “Hm. ketua Lam hay- bun ini mempunyai kesempatan yang lebih besar. Asal dia menyerang ke sebelah kanan tentulah dapat melukai Han Ping. Aneh, mengapa dia malah menyurut mundur dengan mendadak?”

Tiba2 terdengar ketua Lam-hay-bun itu mendengus dingin. serunya, “Dahulu aku kalah dengan Hui Gong taysu karena menghadapi jurus ini. Berpuluh tahun kemudian engkau hendak mengulang lagi adegan itu, Hm, masakan aku akan dapat terjebak lagi?”

Siku lengannya terkena tutukan, walaupun tak sampai mengenai jalandarahnya tetapi Han Ping rasakan seluruh lengannya kesemutan dan lunglai. Ternyata ujung Jari ketua Lam hay bun itu mengandung tenaga yang Luar biasa kuatnya.

Waktu ketua Lam-hay-bun menyurut mundur, diam2 Han Ping menggunakan kesempatan itu untuk menyalurkan darahnya. Kemudian bersiap-siap lagi untuk menghadapi lawan. Maka apa yang dikatakan ketua Lam-hay-bun itu, ia seolah-olah tak mendengarkan.

Ih Thian-heng berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To dan berkata, “Saudara Cong, jurus yang dimainkan saudara Han Ping itu sungguh tak dapat kuketahui keistimewaannya?”

Cong To tertawa, “Apakah engkau hendak minta penjelasan dari pengemis tua ini?”

“Ya, aku ingin sekali mendengar keterangan tentang hal itu.”

Cong To tertawa, “Jurus yang dimainkan dengan tangan dan kaki itu, sebuah ilmu yang mempunyai nama besar.”

“Apakah mama jurus itu?” tanya Ih Thianheng.

“Itulah yang disebut jurus Lengan-satu-kaki-pincang-memukul-anjing ….”

“Ah, nama itu kurang sedap didengar,” kata Ih Thian-heng.

Cong To tertawa gelak2, serunya, “Kalau hanya ingin mendengar yang bagus2 saja, jangan tanya kepada pengemis tua.”

Ih Thian -heng tersenyum, katanya, “Bersuit bangga di tengah hutan, bicara dengan tertawa-tawa dalam saat diancam kematian. Sikap yang perwira dan saudara Cong itu, sungguh membuat aku kagum.”

Tampak Han Ping mengulurkan tangan menjemput pedang Pemutus-asmara di tanah. Setelah dimainkan sejenak lalu diserangkan kepada ketua Lam-hay-bun.

Tampak wajah Pengemis-sakti Cong To tertawa-tawa tetapi sesungguhnya dalam hati pengemis itu merasa heran juga melihat gerak gerik Han Ping. Diam2 ia mencurahkan segenap perhatiannya kepada anakmuda itu. Dilihatnya wajah Han Ping tampak muram, sepasang matanya pun agak redup tak bersinar dan membelalak lebar2.

“Eh, mengapakah anak itu?” diam2 Cong To terkejut dalam hati.

Rupanya Ih Thian -hengpun mengetahui juga tentang sikap yang tak wajar dari Han Ping. segera ia bertanya kepada pengemis sakti, “Saudara Cong, rupanya ada sesuatu yang tak wajar pada diri saudara Han Ping.”

Cong To batuk2, sahutnya, “Baik, pengemis tua akan menariknya mundur.”

“Engkau seorang tentu bukan tandingannya,” kata Ih Thian-heng, “kalau mau maju baiklah kita bersama-sama. Walaupun sebelah lenganku sudah lumpuh tetapi saat ini tenagaku sudah pulih kembali.”

Tampak gerakan kaki Han Ping meluncur deras seperti air mengalir dan sambaran pedangnya pun sederas sungai bengawan. Gerakannya aneh dan jurus2 permainannya luar biasa, gerak perobahannya selalu berobah-robah tak pernah berhenti. Memang permainan anakmuda itu cepat dan tangkas sekali, tetapi gaya serangannya tampak ngawur tiada menentu sasarannya….

Cong To dan Ih Thian-heng diam2 siapkan diri. Tetapi sampai sekian saat belum juga mereka melihat kesempatan untuk turun tangan.

Sekalian tokoh2 lain makin menggelora semangatnya. Mereka menyaksikan pertempuran itu dengan menahan napas.

Tiba2 Han Ping lempangkan pedang lurus ke muka. Tangan kiripun melepas hantaman.

Seketika wajah ketua Lam-hay-bun berobah. Ia meliukkan jari dan menjentikkannya. Serentak mendesislah sedesir suara tajam ke arah jalandarah lengan kiri Han Ping.

Han Pingpun cepat mengendapkan tubuh ke bawah lalu lontarkan pedang Pemutus asmara.

Sepercik sinar biru melayang dan berputar-putar di udara. Sekali Han Ping melingkarkan tangan kirinya, terus menghantam.

Ketua Lam- hay-bun memutar lengannya untuk menymnbut. Tetapi sekonyong - konyong Han Ping bersuit panjang lalu tangan kanannya serentak menyambar pedang pusaka itu dan diputarnya kencang2.

Sekalian tokoh2 makin melekat perhatiannya. Dilihatnya setiap kali Han Ping memutar pedang itu sampai satu lingkaran, sinar biru pedang itu pun makin bertambah panjang. Tokoh2 itu menyadari apa artinya itu tetapi tak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi.

Sinar biru pedang Pemutus asmara itu, makin lama makin membesar dan dalam waktu beberapa jenak kemudian hampir mencapai semeter panjangnya. Dan Han Pingpun seolah olah lenyap ditelan sinar biru itu.

Tiba2 si dara baju ungu bertanya dengan bisik2, “Apakah itu yang disebut ilmu pedang tataran tinggi?”

Belum sempat ibunya atau si wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton menjawag, tiba2 sinar pedang berobah memanjang seperti sebuah bianglala yang mencurah ke arah ketua Lam-hay-bun.

Tetapi rupanya ketua Lam-hay- bun itu sudah bersiap lebih dulu. Kedua tangannya yang menjulur lurus di muka dadanya, tiba2 didorongkan. Sebuah gelombang tenaga-dalam yang dahsyat segera melanda ke arah sinar pelangi biru itu.

Rupanya pelangi terbang itu seperti tertahan oleh gelombang tenaga dalam dari ketua Lam-hay-bun. Sinar biru itu segera melingkar-lingkar mengitari tubuh ketua Lam hay bun.

Ketua Lam-hay-bun tak henti-hentinya menghantam dengan tenaga dalam tetapi tetap tak mampu menghalau sinar pedang yang melingkari dirinya.

Kira2 sepeminum teh lamanya, muka ketua Lam-hay-bun mulat bercucuran keringat. Dan sinar pedang itu bahkan makin lama makin dekat kepada dirinya. Pada lain saat, tiba2 sinar biru itu menembus, memecah dinding tenaga-dalam dari ketua Lam-hay-bun dan langsung menyusup ke arah dadanya.

Melihat itu tanpa disadari, menjeritlah si dara baju ungu, “Han Ping. jangan melukai ayahku!”

Serentak sinar pedang pun lenyap dan tampaklah pula tubuh Han Ping. Sebelum orang tahu apa yang telah terjadi, tiba2 terdengar sebuah bentakan keras dan sesosok tubuh terhuyung rubuh.

“Han Ping!” Pengemis-sakti Cong To menjerit keras dan terus menyanggapi tubuh itu.

Saat itu si dara baju ungupun lari melihat apa yang terjadi, ia serentak berhenti dan membentak dingin, “Yah, engkau melukai dia!”

“Aku tak keburu menarik pulang tanganku,” sahut ketua Lam-hay-bun dengan tegang.

“Kalau aku tak menyerukan supaya dia hentikan serangannya kepadamu?” seru si dara pula.

Seketika pucatlah wajah ketua Lam hay-bun itu, sahutnya, “Ayahmu tentu akan binasa di bawah pedang Pemutus-asmara yang tiada tandingnya di dalam dunia ini!”

“Ayah!” menjerit si dara baju ungu, “dengan begitu engkau memperoleh kemenangan karena aku menyuruhnya berhenti tadi?”

Ketua Lam hay-bun tak dapat menjawab.

Berkata pula si dara baju ungu dengan tajam, “Mamaku telah membenci engkau seumur hidup Aku sebagai seorang anak, tentu tak dapat ikut-ikutan membencimu mati-matian. Tetapi aku ingin agar engkau merasakan betapa kesedihan hati seorang tua yang kehilangan puterinya….”

Habis berkata dara baju ungu itu terus berlari menghampiri ke tempat Han Ping.

Tampak ketua Lam-hay-bun tegang sekali hatinya. Sejenak ia berpaling memandang kearah wanita cantik atau isterinya.

Wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu hanya mengunjuk wajah dingin. Jelas ia tak mau mencegah kehendak puterinya.

Dalam suasana yang berkabut dengan hawa pembunuhan tercampur dengan rasa kasih sayang antara orangtua dengan anaknya. ditambah pula dengan getar2 asmara murni dari sepasang muda mudi, Berhamburan mencekam suasana.

Perlahan-lahan terlihat jelas, kabut hawa pembunuhan itu mulai menipis dan lenyap.

Ih Thian-heng menghela napas.

“Saudara Cong,” serunya kepada Pengemis-sakti Cong To,” bagaimana keadaan luka saudara Han Ping?”

“Jalandarah jantungnya sudah berhenti, pusat sumber jiwanya sudah kosong.
Rasanya sukar ditolong lagi.

Tiba2 dara baju ungu menangis keras.

“Bagus, bagus! Engkau mati dengan bagus sekali!” serunya.

Mendengar itu Pengemis-sakti Cong To marah, serunya, “Jika engkau tidak memanggilnya-tentulah batang kepala ayahmu itu sudah menggelinding di tanah. Dalam detik2 menghadapi pertempuran maut, dia tetap mencurahkan kasihnya kepadamu. Tetapi mengapa engkau berbalik malah gembira sekali melihat kematiannya, Hm, manusia liar yang tak beradab, ternyata memang tak mempunyai rasa budi kecintaan sama sekali.”

Ih Thian-hengpun marah. la tak tahan lagi melihat peristiwa itu. Sekonyong-konyong ia gerakkan lengan kanannya dan berseru, “Keadilan hari ini, terpaksa memang harus demikian. Hancurkan dulu mana yang dapat dihancurkan, setiap kesempatan harus diisi dengan kemenangan!”

Ca Cu jingpun tak mau banyak pikir lagi. ia menjemput jarum Hong-wi-ciam yang beracun, terus ditaburkan ke arah ketua Lam-hay-bun juga.

Ketua Lam-hay-bun kebutkan lengan bajunya. Serangkum tenaga dahsyat segera menyapu jarum2 Hong-wi-ciam itu sehingga berjatuhan ke tanah.

Kemudian ketua Lam-hay bun itupun gerakkan tangan kanan untuk menangkis pukulan Ih Thian-heng.

Seketika Ih Thian-heng segera rasakan segelombang tenaga-dalam mengembalikan tenaga dari pukulannya. Sedemikian hebat tenaga- membalik itu sehingga Ih Thian-heng rasakan jantungnya berdebar keras.

Ca Cu-jing masih penasaran. Segera ia lepaskan sebuah pukulan Peh - poh-sin ciang atau Pukulan -sakti-seratus-langkah ke arah ketua Lam-hay-bun. Tetapi murid pertama dari Lam-hay-bun ialah Ong Kwan-tiong cepat maju menyongsongnya.

Si Bungkuk, si Kate dan Kaki -buntung baju merahpun segera mainkan senjatanya maju menyerang dan menyambut serangan orang Tiong-goan.

Seketika pecahlah pertempuran hebat antara orang Lam-hay-bun lawan tokoh2 persilatan Tiong-goan.

“Berhenti!” tiba2 ketua Lam-hay-bun membentak, “aku hendak bicara!” Kedua belah fihak segera berhenti dan tegak mendengarkan.

Tampak ketua Lam-hay-bun mengusap jenggotnya yang panjang dan berkata, “Kutahu dalam dunia persilatan ini hanya aku dan Hui Gong taysu yang pantas menjadi lawan. Tetapi dia pun belum tentu dapat meugalahkan aku. Hanya dia ternyata dapat memenangkan setengah jurus dari aku. Sejak itu aku selalu mendendam dalam hati, Siang malam aku memikirkan daya dan rencana bagaimana dapat berjumpa lagi dengan dia dan mengadu kepandaian. Tetapi sayang dia sudah dipenjarakan oleh ketua Siau-lim-si dan tak dapat keluar ke dunia persilatan lagi.

Dia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Beberapa tahun kemudian, aku pernah datang ke gereja Siau-lim-si untuk mencarinya. Malam hari aku menyelundup masuk ke dalam penjara gereja Siau-lim dan menantang bertempur lagi dengan taruhan pedang Pemutus-asmara. Siapa yang menang boleh mengambil pedang….”

Tiba2 ketua Lam-hay-bun itu hentikan kata-katanya dan berpaling memandang ke arah wanita cantik lalu menghela napas.

“Soal urusan peribadi kami, aku tak dapat mengumumkan kepada dunia. Maka baiklah kalian jangan menanyakan hal itu,” katanya sesaat kemudian.

Tiba2 wanita cantik berpakaian seperti puteri keraton itu menghela napas panjang dan tundukkau kepala berdiam diri.

Saat itu Pengemis saktipun sudah letakkan tubuh Han Ping dan siap2 hendak turun tangan. Mendengar penuturan itu, ia segera menyelutuk pertanyaan, “Lalu bagaimana kelanjutan peristiwa itu?”

Kata ketua Lam hay-bun, “Setelah mendengar tantanganku sampai tiga kali barulah Hui Gong taysu keluar meluluskan. Di dalam ruang tempat dia dipenjarakan itulah Aku dan Hui Gong melangsungkan pertempuran adu tenaga-sakti…. .”

Tiba2 nada suaranya berobah pelahan, katanya, “Setengah malam bertempur mati-matian, aku tetap kalah dengan dia….”

Suaranya makin lama makin pelahan sehingga tak kedengaran lagi.

Pengemis-sakti Cong To mendengus dingin, “Adakah kali ini hatimu sudah rela menerima kekalahan tadi?”

Tanpa melihat pada si pengemis, ketua Lam-hay-bun itu menghela napas panjang, ujarnya, “Tempo dulu memang aku masih penasaran karena menderita kekalahan. Maka dari ribuan li jauhnya kutempuh perjalanan untuk

menuju ke gunung Ko-san. Tiba di gereja Siau -lim-si aku pun harus bersusah payah untuk menghindari barisan tersembunyi dari paderi2 berilmu sakti yang menjaga gereja itu. Akhirnya setelah melalui jerih payah, barulah aku berhasil menemui dan menantangnya bertempur. Tetapi dia tetap seenaknya saja duduk dalam ruang tempat penjaranya tanpa banyak mengeluarkan tenaga. Aku letih dan dia masih tegar, sekalipun akhirnya aku menderita kekalahan tetapi hatiku masih penasaran!”

Wajah ketua Lam- hay-bunpun berobah tegang dan sarat. Kemudian ia memandang ke arah tokoh2 Tiong-goan lalu berkata pula, “Hari ini setelah berhadapan dengan Ji Han Ping, barulah aku menyadari akan kebesaran alam dan kegaiban mahluk di dunia ini, tak dapat diduga manusia biasa. Makin banyak tokoh2 sakti dalam dunia persilatan, makin tipislah harapanku untuk merajai dunia persilatan….”

Nadanyapun mengikuti ketegangan wajahnya. Mengalun tinggi kemudian mengendap turun.

Wajahnya makin sarat dan muram kemudian ia menghela napas, “Itulah sebabnya maka aku rela mengaku kalah….”

Pengemis-sakti Cong To tertawa dingin, serunya, “Ho, ternyata engkau masih memiliki jiwa ksatrya!”

Tiba2 ketua Lam-hay-bun menyilangkan kedua matanya. Berkilat-kilat seperti memancarkan api lalu berseru bengis, “Tetapi kalian jangan lupa. Di seluruh dunia ini, jago yang dapat mengalahkan aku, setelah Hui Gong taysu, pun hanya Han Ping seorang saja. Lain orang…. lain orang….”

Perlahan-lahan dia memandang ke bawah dan suaranyapun makin mengendap. Rupanya hatinya sudah tawar dan dingin dan ia pun sudah tak mempunyai selera untuk bicara lagi.

Tokoh2 Tiong-goan itupun juga mempunyai perasaan gelo dan menyesal sehingga merekapun tak buka bicara.

Suasana menjadi hening lelap. Bahkan suara napas orangpun mulai kedengaran jelas.

Beberapa saat kemudian barulah ketua Lam- hay- bun itu mulai berkata pula, “Nafsu berkelahi mencari kemenangan hanya memburu kesenangan hati untuk sesaat tetapi meninggalkan bekas penyesalan ratusan tahun. Tokoh2 ternama yang silih berganti menjagoi dunia persilatan, pada akhirnya tak lain tak bukan hanya menjadi segunduk impian saja….”

Ketua Lam hay-bun itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang. Suitanuya memantulkan suara macam Naga meringkik. Dahi sekalian tokoh2 yang berada dalam ruangan itu pucatlah seketika.

Rupanya ketua Lam-hay-bun ini telah menyalurkan kesesakan dadanya yang telah menghimpit napasnya.

“Mulai saat dan detik ini,” katanya dengan nada sarat, “aku sudah menemukan kesadaran dan penerangan. Aku tak mau mengucurkan darah dan bertempur dengan orang lagi….”

Habis berkata ia terus berjalan dengan langkah berat menuju ke luar ruangan. Seiring dengan langkah kakinya, mulutnyapun berkata dengan pelahan-lahan, “Apabila ada orang yang hendak mencelakai aku, silahkan turun tangan. Tak nanti aku akan membalasnya!”

Sekalian tokoh2 Tiong-goan itu saling berpandangan sendiri. Rupanya perasaan hati merekapun seperti tenggelam dalam laut kedukaan sehingga tak seorangpun yang memikirkan hendak turun tangan kepada ketua Lam hay-bun.

Setapak demi setapak terdengar kaki ketua Lam-hay-bun itu melangkah keluar dari ruang batu dan makin lama pun makin jauh.

Walaupun dalam ruang itu masih terdapat isterinya yang tercinta dam puterinya yang tersayang. namun sekalipun ketua Lam-hay-bun itu tak mau berpaling kepada mereka. Seolah kepergiannya kali itu, dia takkan berjumpa dengan manusia di dunia lagi.

Setelah suara langkah kaki itu lenyap, si Kaki buntung baju merah, Ong Kwan-tiong dan anak buah Lam-hay-bun, tiba2 berlutut ke tanah dan menangis. Sedemikian mengharukan tangis mereka sehingga sekalian tokoh2 Tiong-goan pun ikut rawan.

Wanita cantik berpakaian puteri keraton memandang bayangan suaminya yang lenyap keluar ruangan lalu berkata dingin, “Sebaiknya memang dia pergi….”

Tetapi kata2 itu walaupun diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas pada sepasang matanya berlinang-linang airmata.

Ih Thian-heng memandang kepada lengan kirinya yang lumpuh dan berkata, “Ah, memburu nama itu sungguh menyusahkan orang. Orang gagah tentu pendek umurnya. Saudara Cong, kitapun juga harus pergi dari sini!”

Wanita cantik berpakaian puteri keraton berputar tubuh, mengusap airmatanya lalu berkata kepada puterinya, “To ji, ikutlah kepada mamah! Selama belasan tahun ini aku tak merawatmu. Sejak saat ini aku akan berlaku sayang kepadamu.”

Dara baju ungu gelengkan kepala, “Silahkan mamah pergi sendiri! Aku akan tinggal disini selama-lamanya….”

“Apa?” wanita cantik itu terkejut bukan kepalang.

Sahut si dara baju ungu dengan tenang dan tegas, “Saat ini aku sudah bukan Siau Toto lagi. Ya, sejak saat ini, aku sudah menjadi nyonya Ji Han Ping….”

“Toto!” nenek Bwe menjerit, “mengapa engkau berkata begitu? Bukankah Ji siangkong sudah meninggal?”

Jawab dara itu, “Justeru karena dia sudah meninggal itu. Apabila dia masih hidup….”

“Apakah engkau sudah mengikat janji dengan dia?” ibunya menyelutuk.

Berkata si dara baju ungu, “Sudah lama sekali aku telah menyerahkan hatiku kepadanya. Tusuk Kundai Kumala menjadi pengikat janji, kuberikan kepadanya dalam makamnya. Tetapi tak kuduga-duga ternyata dia masih hidup….”

Sejenak dara itu merenungkan kenangan yang lama dimana dengan secara besar-besaran dan khidmat ia telah melakukan upacara pemakaman dari sesosok jenazah yang dikiranya Han Ping. tetapi ternyata bukan. Han Ping saat itu masih hidup.

Sesaat kemudian tiba2 dara baju ungu itu tertawa keras. serunya “Mah, engkau belum pernah melihat wajah puterimu ini. Apakah engkau sudah pernah tahu bagaimana wajah puterimu ini?”

Wanita cantik berpakaian puteri keraton terkesiap, serunya, “Dahulu pernah aku secara diam2 pulang ke Lam hay. Kala itu kulihat engkau sedang bermain-main di tepi laut. Cuma engkau tak tahu mamah.”

“Apakah mamah masih ingat akan wajahku?” tanya si dara baju ungu pula.

“Jauh lebih cantik dari mamah,” sahut wanita cantik berpakaian puteri keraton itu.

Siau Toto tertawa nyaring lalu pelahan-lahan ia membuka kain kerudung mukanya.

Wajah cantik dari dara baju ungu itu masih meninggalkan bekas kenangan yang tak pernah dilupakan oleh sekalian tokoh2 Tiong-goan.

Pada saat Siau Toto membuka kain kerudung mukanya, sekalian orang pun segera mengarahkan pandang mata ke arahnya.

Tetapi serentak pandang mata berobah membelalak seperti melihat suatu pemandangan yang mengejutkan.

Ternyata wajah dara baju ungu yang dahulu cantik berseri laksana kuntum bunga yang tengah mekar di pagi hari, wajah yang membuat para bidadari di kahyangan mengiri karena telah mendapat saingan. Saat itu, ya saat itu telah berobah…. mengerikan!

Wajahnya yang halus dan secantik bidadari itu telah berhias dergan gurat2 merah, silang menyilang malang melintang.

Melihat itu wanita cantik yang biasanya berhati dingin, saat itu seperti orang yang kehilangan pikiran. Ia menjerit histeris, “Toto, Toto! siapakah yang telah merusakkan wajahmu?”

Dengan bercucuran airmata, dara itu menjawab “Aku sendiri, mah!”

Wanita cantik gemetar tubuhnya, “Engkau sendiri? Mengapa engkau merusak wajahmu sendiri?”

Dara baju ungu itu sejenak memandang ke arah Han Ping yang menggeletak di tanah, sahutnya, “Karena dia sudah meninggal ….”

Tiba2 dara itu meraih pedang Pemutus- asmara dan didekatkan ke dadanya.

“Apabila mamah benar sayang kepadaku, mamah tentu akan mengijinkan aku tinggal disini!” serunya.

Wanita cantik berpakaian puteri keraton yang berhati sedingin es itu, saat itu bercucuran airmatanya.

Beberapa saat kemudian ia mencabut sebatang TUSUK KUNDAI KUMALA dari rambutnya dan berkata, “To-ji, Tusuk Kundai Kumala itu semula ada sepasang. Ketika kutinggalkan Lam-hay, kubawanya sebatang. Tusuk kundai ini terbuat dari batu kumala dingin yang berumur ribuan tahun. Apabila membawanya, dapat membuat wajah tetap tak rusak. Ji siangkong sudah meninggal dunia. Tenaga pukulan ayahmu dahsyat sekali, kemungkinan siangkong sudah sukar disembuhkan lagi. Dengan menggunakan tusuk kundai ini, Jenazahnya dapat terpelihara tak sampai rusak!”

Siau Toto menyambuti. Kemudian sambil membolang-baling pedang Pemutus-asmara, ia berseru, “Silahkan kalian pergi! Dalam waktu sepeminuman lagi, alat perkakas rahasia segera kugerakkan agar pintu batu tertutup. Saat itu tentu kalian akan tertutup di sini dan jangan harap kalian mampu keluar lagi!”

Sekalian tokoh2 Tiong-goan saling bertukar pandang lalu perlahan-lahan mereka mengayunkan langkah keluar dari ruangan.

Saat itu hati sekalian orang memang diliputi rasa sesal dan tawar. Sikap mereka pun tampak lesu, tidak seperti ketika mereka masuk dan berhadapan dengan musuh, begitu beringas dan buas seperti harimau menghadapi musuh.

Pengemis-sakti Cong To setiap melangkah setapak tentu akan berpaling ke arah si dara baju ungu. Dipandangnya dara itu dan tubuh Han Ping yang terbaring di tanah. Dalam hati pengemis tua itu timbul rasa haru dan sayang yang tak terhingga besarnya. Diam-diam ia tak henti-hentinya menghela napas.

Siau Toto, seorang dara jelita yang tiada tara kecantikannya. Boleh diumpamakan sebagai seorang bidadari yang menjelma di dunia. Thian telah menganugerahkannya wajah yang luar biasa cantiknya. Betapa menyengsamkan hati apabila dara itu tertawa. Betapa indah apabila dara itu sedang berkata-kata. Kesemuanya itu menggores kesan yang tak dapat dilupakan seumur hidup oleh Pengemis- sakti.

Tetapi saat itu, wajah ayu dari si dara telah berobah menyeramkan. Seluruh mukanya penuh berhias gurat2 warna merah. Dari seorang bidadari, dia telah berobah menjadi dara yang berwajah seram.

Hanya dalam waktu beberapa tahun Han Ping muncul di dunia persilatan, namanya sudah harum semerbak sebagai seorang jago muda yang gemilang dan Sakti. Tokoh2 dunia persilatan kelas satu, segan dan gentar terhadap dia. Bagaikan mentari pagi, dia muncul dan memancarkan sinar yang gilang gemilang. Merupakan utusan muda dari angkatan yang sudah lalu. Berhati keras tetapi berbudi emas. Secara tak resmi dia sudah diakui sebagai seorang tokoh muda yang berpengaruh dan besar wibawanya. Tetapi nasib menentukan lain. Pemuda yang berbakat dan berotak cerdas itu harus kehilangan jiwa di dalam makam tua.

Kematian Han Ping itu adalah karena ia memikirkan kepentingan dara itu. Demi untuk si dara, Han Ping rela mengorbankan jiwanya.

Si darapun tahu dan membalas pengorbanan itu dengan merusakkan wajahnya yang cantik dan menunggu dalam makam itu selama-lamanya….

Han Ping mengutamakan kepentingan si dara. Demi mematuhi permintaan si dara, ia rela mengorbankan jiwanya. Dan untuk itu si dara pun rela membalas dengan pengorbanan besar. Ia merusak wajahnya yang cantik dan rela menjaga jenazah Han Ping dalam makam itu untuk selama-lamanya….

Tiba2 Ih Thian-heng melangkah balik masuk kembali. Serta merta ia berlutut di hadapan mayat Han Ping. Dengan melintangkan sebelah tangannya ke dada, ia mulai berdoa, “Dunia menganggap aku Ih Thian-heng seorang manusia yang berlumuran dosa setinggi gunung. Tetapi mereka tak tahu bahwa akan siasat buas yang kulakukan itu sesungguhnya pancaran dari hati nuraniku yang baik.

Kebaikan dan kejahatan, sebelum berakhir dengan jelas, memang sukar dibedakan.”

Melihat tingkah laku Ih Thian-heng, sekalian tokohpun hentikan langkah dan mendengarkan kata2 Ih Thian-heng dengan penuh perhatian.

Kedengaran Ih Thian-heng berkata lebih lanjut, “Aku Ih Thian-heng, dalam sepanjang hidup ini, selain kepada Cong To aku menaruh hormat, hanya engkau seorang yang paling kukagumi, Ji Han Ping. Rupanya Thian tak mengijinkan usia panjang kepada ksatrya muda yang luar biasa. Dan kini engkau telah mendahului kita. Kumohon arwahmu yang ksatrya itu dapat memberi berkah kepadaku. Ijinkanlah aku, Ih Thian-heng, menyelesaikan tugas2mu yang belum engkau selesaikan itu. Setelah dunia persilatan tentram dan aman, aku Ih Thian-heng, akan kembali kemari dan tinggal dalam makam ini untuk melewati sisa hidupku menemani arwahmu….”

Dua butir airmata ksatrya, telah menitik turun dari pelupuk matanya.

Pengemis-sakti Cong To menghela napas panjang, serunya, “Saudara Ih, marilah kita pergi!”

Ih Thian-heng berbangkit, mengusap airmatanya terus ayunkan langkah. Ketika hampir tiba di pintu batu, tiba2 ia berputar tubuh dan berjalan masuk kembali.

“Nona Siau,” katanya kepada si dara.

Siau Toto tertawa hambar, serunya, “Soal apa lagi yang akan engkau katakan?”

“Nona memiliki kecerdasan yang luar biasa,” kata Ih Thian-heng, “bagi nona tiada, soal yang sulit di dunia ini yang tak dapat nona pecahkan. Entah apakah di dunia terdapat obat yang mampu menghidupkan saudara Han Ping kembali?”

“Baiklah,” sebut si dara, “tiada halangan kuberitahukan kepadamu. Tetapi aku percaya tentu tak ada orang yang mampu mencarinya!”

“Harap nona suka mengatakan. Aku bersedia mendengarkan dan akan berusaha untuk mencarinya,” kata Ih Thian-heng.

Maka berkatalah Siau Toto mengenai ramuan obat yang dibutuhkan itu, “Ban lian Swat-lian-cu, Cian-lian Tok-coa-tan, Pek-lian Le-hi-hiat. Ho-siu-oh tua. Keempat ramuan itu harus lengkap. Satu pun tak boleh kurang.”

Ban-lian Swat-lian-cu artinya Biji Teratai yang berumur selaksa tahun, Cian-lian Tok-coa-tan artinya Empedu ular beracun yang berumur seribu tahun. Pek-lian Le-hi-hiat artinya, darah ikan lehi yang berumur seratus tahun. Ho-siu-oh semacam bahan tanaman obat yang berkhasiat seperti jinsom.

Pengemis-sakti Cong To tertegun. serunya, “Bila terdapat obat yang mampu menolong saudara Han Ping, tentulah begitu juga akan dapat memulihkan wajah nona.”

Siau Toto tertawa, “Sekalipun wajahku dapat pulih kembali tetapi siapakah yang akan menikmatinya?”

Dara itu berhenti sejenak. “Makam tua ini kusebut MAKAM ASMARA!” serunya.

“Ohh….” terdengar Cong To dan Ih Thian-heng serempak mendesuh.

“Dan pertunjukan dalam Makam Asmara ini sudah selesai. Silahkan saudara2 segera tinggalkan tempat ini,” seru si dara pula.

Wanita cantik berpakaian puteri keraton kedengaran menghela napas panjang.
Nadanya penuh kerawanan yang beriba-iba.

“Anakku Toto, seribu satu macam peristiwa dendam kesumat itu, dari dahulu sampai sekarang, tak lain hanya karena asmara. Baiklah, anakku, mamah hendak pergi….”

“Maaf mah, aku tak dapat mengantar,” seru Toto.

Wanita cantik itu memandang ke arah rombongan anak buah Lam-hay-bun, lalu membentak, “Mengapa kalian masih berada di sini?”

Anak murid Lam-hay-bun saling bertukar pandang lalu ayunkan langkah mengikuti di belakang wanita cantik itu atau ibu guru mereka. Kemudian rombongan tokoh2 Tiong-goan pun berbondong-bondong keluar dari pintu batu.

Belum berapa lama mereka berjalan, tiba2 terdengar suara ledakan yang menggetarkan. Ternyata pintu batu yang amat berat itu tertutup lagi.

Tiba2 dari dalam pintu batu itu berkumandang segelombang nyanyian. Nyanyian yang bernada kedukaan dari rintihan kalbu. Mengalun tinggi, menyayat hati.

Langkah kaki sekalian tokoh itupun terasa makin berat. Hatipun makin tenggelam dalam kehampaan. Nafsu memburu nama. kegagahan, kesombongan dan keangkaraan, lenyap seketika.

Malampun kelam.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar