Makam Asmara Jilid 05 Bara Asmara

Jilid 05 Bara Asmara

Siangkwan Ko hendak marah tetapi tiba2 ia teringat bahwa Ih Thian-heng itu pernah menolong jiwa puterinya. Terpaksa ia menghela napas dan tak lanjutkan kata2nya.

Ih Thian-heng tersenyum, “Harap saudara Siang -kwan jangan salah faham. Sungguh menggirangkan sekali kalian ayah dan anak dapat berjumpa kembali. Tentu banyak sekali yang hendak diceritakan maka silahkan saja. Akupun hendak bicara dengan nona ini….”

Tiba2 ia berhenti tetapi menggunakan ilmu Menyusup-suara, melanjutkan bicara kepada kedua ayah dau puterinya itu, “Kalau bicara disini, kurasa kurang leluasa. Kalau musuh menyerang, kukuatir kalian tentu sukar menghindar.”

“Terima kasih saudara Ih,” Tiba2 Siangkwan Ko menghaturkan terima kasih lalu memimpin Siangkwan Wan-ceng menuju kesudut.

Pengemis sakti Cong To tertawa dingin. Ia mengambil buli2 araknya dan meneguk dua kali.

Ih Thian-heng berpaling kearah pengemis itu, tertawa, “Apakah saudara Cong mencurigai aku mengadu domba saudara dengan saudara Siang-kwan?”

“Hm, mulut anjing tentu tak dapat tumbuh gading gajah,” sahut Cong To.

Berobahlah seketika wajah Ih Thian-heng, “Dengan baik2 aku bicara kepada saudara, mengapa saudara menghina begitu? Apakah saudara kira akan takut kepadamu?”

“Memang bicaraku kasar,” sahut Cong To,” kalau engkau tak suka dengar, jangan bicara lagi dengan aku.”

“Ih Thian-heng,” tiba2 dara baju ungu itu berseru,” apakah perjanjian kita masih berlaku?”

Ih Thian-heng tertawa, “Aku memang hendak bicara penting dengan nona.” “Bicaralah!”

“Kecerdasan nona, aku sangat mengagumi,” kata Ih Thian-heng,” tetapi bahwa dalam makam ini ternyata terdapat penghuninya, adakah nona sudah menduga hal itu?”

“Sebelumnya memang tak tahu,” sahut dara baju ungu.

“Nah. begitulah.” kata Ih Thian-heng, “kepandaian dari pencipta makam ini, bukan saja jauh diatas kepandaianku, tetapipun juga lebih tinggi dari nona.”

“Kalau dinilai dari bangunan yang diciptakan ini, memang benar begitu,” kata dara baju ungu.

“Kalau nona mempunyai anggapan begitu, itu memang benar,” kata Ih Thiang heng pula.

“Apakah engkau bermaksud hendak menasehati aku supaya bekerja-sama dengan engkau untuk membuka rahasia makam ini?” tanya si dara.

Ih Thian-heng berpaling memandang kepada rombongan jago2 silat yang berdiri dibelakangnya, tertawa, “Tokoh2 silat yang berkumpul disini, kebanyakan satu sama lain tentu mempunyai dendam permusuhan. Tetapi pada saat dan tempat seperti sekarang ini, mereka rela untuk melepaskan urusan ptribadi masing2. Dan mereka mau bersatu padu untuk menbungkar rahasia makam ini, menghadapi orang gang menciptakan makam ini.

Apabila nona mau bekerja sama dengan aku, aku siorang she Ih ini tentu yakin akan menang.”

“Jika sudah dapat menciptakan bangunan sehebat ini dengan perlengkapan pekakas2 rahasia yang sedemikian hebat, orang itu tentu sudah mempunyai rencana yang sempurna….” tiba2 dara baju ungu itu berhenti, melangkah dua
tindak kemuka lalu menyandarkan diri pada tubuh nenek Bwe, ujarnya pulA,, “Menilik keadaan saat ini, betapa hebat orang itu menyediakan alat dan orang, tetapi tentu tak mampu mengadu kekerasan dengan kita. Dalam ilmu kepandaian silat saja, merekapun tentu tak dapat mengimbangi kita. Tetapi apabila sebelumnya mereka memang sudah mengatur berbagai alat pekakas rahasia, persoalannya tentu lain lagi. Taruh kata dia kalah, kitapun tentu tak dapat keluar dari tempat ini atau berarti kita akan mati bersama-sama lawan.”

Ih Thian-heng tertegun, serunya, “Ah, aku tak memikirkan sampai langkah itu.”

“Karena itu,” kata dara baju ungu pula, “apa bila kalian hendak mengharapkan kesempatan hidup, kalian harus mendengarkan perintahku.”

Kata2 itu diucapkan dengan nyaring sehingga sekalian orang dapat mendengar jelas.

Ih Thian heng tersenyum, serunya, “Ah, nona terlalu menganggap diri nona kelewat tinggi. Terus terang saja, dalam rombongan tokoh2 yang berada disini, siapapun tak dapat menguasai lain orang. Maka siapapun dapat memberi saran dan pendapat bahkan perintah. Tetapi itupun hanya terbatas pada satu soal yang sedang dihadapi. Pada lain soal dilain saat, sudah tak berlaku lagi.”

“Kalau kalian mau mendengar perintahku, aku bersedia kerjasama. Tetapi kalau tidak mau mendengar perintahku, lebih baik kita kerja mennurut rencana masing2 tanpa saling mengganggu.”

Ih Thian-heng tertawa, “Apa yang kuharap

mengharap agar sebelum rahasia makam ini terbongkar, permusuhan diantara kita dengan kita supaya dihentikan dulu.

“Baik, kami akan menjadi penonton saja,” kata dara baju ungu.

Sejenak Ih Thian-heng memandang kearah tokoh yang bertubuh pendek dan berkata pula, “Aku masih ada sebuah permintaan lagi.”

“Bukankah engkau meminta supaya kubebaskan ketua Lembah-seribu-racun itu?” cepat dara baju ungu menyambuti.

Ih Thian-heng mengangguk, “Entah rahasia makam ini dapat terbongkar atau tidak, tetapi orang2 yang berada dalam makam ini ibarat anak2 yang menerjang api, tentu akan mengalami akhir yang menyedihkan. Dan setelah rahasia makam ini terbongkar, sukar kiranya untuk nona berada di luar garis.”

‘Tak apa,” sahut dara baju ungu, “agar kami dapat melihat kehebatan ilmu silat dari Tionggoan….”

Habis bertata dara itu berpaling dan berkata bisik2 kepada si Pendek, “Oh ay-cu, lepaskan ketua Lembah-seribu-racun itu!”

Oh Ay-cu atau orang she Oh yang pendek, mengiakan lalu mengangkat tangan dan diayunkan ke punggung ketua Lembah-seribu racun. Bluk …. tubuh ketua
Lembahah-seribu-racun yang kate itu segera terlempar sampai lima enam langkah kemuka.

Ih Thian-heng ulurkan tangan menyambuti lengan kiri ketua Lembah-seribu racun, seraya berkata, “Saudara Leng….”

Tepat pada saat Ih Thian-heng berbuat begitu, tangan kanan ketua Lembah-seribu-racun pun berayun menghantam kearah dagu Ih Thian-heng. Pukulan keras, jaraknya dekat. Sekalian orang terkejut dan menyangka Ih Thian-heng tentu terluka. Tetapi sebagian besar, tokoh2 itu malah mengharap, agar pukulan itu benar2 dapat melukai Ih Thian- heng, makin berat lukanya makin baik.

Ketika melihat si dara baju ungu muncul, tergetarlah hati Han Ping. Tak tahu ia bagaimana sesungguhnya perasaan hatinya itu.

Tiba2 ia melihat ketua Lembah-seribu-racun menyerang Ih Thian-heng secara licik. Cepat ia melesat dan menutuk siku lengan ketua Lembah-seribu-racun saat itu.

Tetapi tepat pada saat ia bergerak, tangan kiri Ih Thian hengpun sudah menangkis dengan tangan cepat bum….Tubuh Ih Thian heng agak tergetar,

ketua Lembah seribu racunpun tersurut dua langkah. Tetapi tangan kapannya dapat dicengkeram tangan kiri lh Thian heng keras2 sehingga tak dapat berkutik. Sekali Ih thian heng kencangkan cengkeramannya, pucatlah wajah ketua Lembah-seribu racun itu. Namun ketua lembah Seribu-racun itu masih berusaha untuk bersikap garang agar jangan terlihat orang.

Sejenak memandang kesekeliling, Ih Thian -hengpun tertawa, “Harap saudara2 jangan kuaur. Sebelum saudara2 mati, tak nanti aku mendahului mati lebih dulu.”

Kata2 yang bernada sindiran itu membuat sekalian orang merah mukanya. Kemudian Ih Thian-heng memandang Han Ping dan tertawa, “Sekalipun aku tak dapat menjadi sahabat saudara Ji, tetapi dengan mendapat lawan seorang pemuda yang perwira seperti saudara, akupun merasa bahagia ‘

Sahut Han Ping, “Aku tak bermaksud menolongmu. Hanya aku tak senang melihat perbuatan orang yang menyerang secara gelap.”

Ih Thian-heng tertawa, “Oh, begitu….

Ia beralih memandang ketua Lembah seribu-racun dan berkata dengan serius, “Tetapi saudara Ji salah terka Saudara Leng ini sama sekali bukan hendak menyerang aku dan memang dia bukan orang yang suka melakukan penyerangan secara begitu licik. Adalah karena dari tiga buah jalandarahnya yang tertutuk, baru dibuka dua buah oleh si Pendek itu, maka sekalipun kaki dan tangannya dapat bergerak tetapi kesadaran pikirannya masih belum terang. Sehingga dia melakukan serangan tadi.”

Dalam pada berkata-kata itu, Ih Thian-heng diam2 sudah kerahkan tenaga-dalam untuk membuka jalan darah ketua Lembah-seribu- racun yang masih

tertutuk itu. Kemudian baru pelahan-lahan dilepas.

Ketua Lembah -seribu-racun mundur selangkah berdiri terlongong longong beberapa saat lalu berpaling memandang nenek Bwe dan si Bungkuk serta si Pendek. Tiba2 wajahnya merah padam.

“Ho, bagus orang Pendek!” serunya seraya merentang kedua lengan sehingga terdengar suara berkerotekan dari tulang2nya, lalu maju menghampiri Oh Pendek.

Si Pendek hanya tertawa dingin, serunya, “Bagus orang pendek, kemarilah engkau!”

Ternyata ketua Lembah seribu racun itu juga orang pendek, hanya terpaut sedikit dengan si pendek Oh. Tetapi walaupun keduanya bertubuh kate, mereka memiliki ilmusilat yang keras.

Saat itu keduanya sudah saling berhadapan. Begitu bergerak, tentu akan hebat akibatnya.

Tiba2 Ih Thian-heng melangkah ketengah mereka dan mecegah, “Harap saudara Leng, jangan marah dulu!” Dan ia memandang kearah si dara.

“Oh Ay-cu, mundurlah’“ seru dara baju ungu.

Dalam pada itu lari tumpukan kain bertulisan yang ngelumpruk dlantai, tiba2 dihembas angin dingin sehingga kain2 itu terangkat naik. Dan tampaklah apa yang terdapat dibalik kain2 itu.

Sebuah jajaran lilin, dari kecil hingga makin kebelakang makin besar. Panjang jajaran lilin itu tak kurang dari berpuluh tombak jauhnya. Pada ujung jajaran lilin, terdapat sebuah peti mati hitam. Dikedua samping peti mati itu tergantung dua buah lian (kain bertulis kata berdukacita). Tetapi karena jaraknya amat jauh, sekalian orangpun tak dapat melihat jelas.

Ih Thian-heng memandang kepada dara baju ungu dan berkata, “Sungguh suatu persiapan yang hebat “

“Seorang yang mati, apabila dikubur ditempat semacam ini tentu akan merasa lebih senang mati daripada hidup,” sahut si dara baju ungu.

Kemudian Ih Thian-heng memandang kearah sekalian tokoh2 silat lalu tertawa nyaring, “Rahasia dari makam yang begitu menggemparkan dunia persilatan, segera akan terbongkar. Pada tempat dan saat ini, kuharap saudara2 sekalian tetap menghapus dendam permusuhan pribadi. Dan jangan melakukan rencana gelap untuk mencelakai lain orang. Apabila terdapat orang yang bertindak begitu, dia akan dianggap sebagai musuh kita sekalian. Setiap orang berhak membunuhnya.

Pletek…. tiba2 terdengar letupan kecil dari sebatang lilin yang pecah. Apinya
muncrat kemana-mana lalu padam.

Tetapi menyusul pun lain2 lilin meletus satu demi satu sehingga bunga api berhamburan mememenuhi ruangan. Pada lain kejab ruangan gelap gulita. Sebagai gantinya, batang lilin2 yang tinggi pada jajaran dibelakang sendiri, segera menyala makin terang.

Ih thian heng menghela napas, “Diluar langit masih ada langit, dibelakang orang masih ada orang. Kepandaian orang itu benar membuat aku siorang she Ih harus mengangkat topi.”

Buru2 dara baju ungu menukas, “Sayang ayahku belum datang kemari. Mungkin dialah yang dapat mengimbangi kepandaian pencipta makam ini.”

Jawab Ih Thian-heng, “Dahulu dalam rapat besar di Jang-san, ayah nona telah membantah tentang kehebatan ilmusilat Tiong goan. Kata-katanya yang tajam, sangat menusuk telinga. Memang aku sangat berharap agar dia dapat datang kemari menyaksikan peristiwa yang ramai ini.”

Ong Kwan tiong mendengus dingin, “Hm, jangan meremehkan kepandaian suhuku. Apabila dia mau turun kedunia persilatan, bukan saja pencipta makam ini takkan mampu mengelabuhi orang, pun kalian yang berada disini mungkin tak mempunyai kesempatan untuk hadir disini.”

Mendengar omongan besar itu, Han Ping tak puas. Ia kerutkan alis hendak membantah. Tiba2 hidungnya terbaur angin wangi. Si dara baju ungu melangkah datang. Han Ping memandang dara itu dengan gelisah. Ia hendak membuka mulut menegurnya tetapi tak jadi.

Tetapi ia rasakan angin berhembus dan dara baju ungu itupun melangkah kearah Ting Ling. Ong K-wan-tiong dan nenek bwe ikut dibelakangnya.

Ting Ko cepat melangkah kemuka Ting Ling dan berseru dingin, “Mau apa kalian?”

Ih Thian-heng tertawa gelak2, “Harap saudara Ting jangan salah faham. Kupercaya nona Siau takkan mengganggu puterimu.”

Terdengar dara baju ungu berkata dengan suara lembut, “Nona Ting, engkau terluka.”

Ting Ling menyelinap keluar dari samping ayahnya lalu menyawab, “Aku memang menderita luka parah, mungkin tak dapat hidup sampai beberapa hari lagi”

“Tak apa,” kata dara baju ungu, “aku dapat menyembuhkan engkau. Harap kemari agar dapat kuperiksa bagaimana lukamu itu.”

ting Ling maju menghampiri dan bertanya, “Mengapa engkau mengenakan kain kerudung muka sutera hitam itu? Apakah takut kalau kulihat kecantikanmu yang dapat menilaikan orang2 itu?”

Soal itu, soal wajah si dara baju ungu, memang amat menarik perhatian sekalian orang. Setiap membayangkan betapa cantik dara itu. Tetapi tiada seorangpun yang pernah melihatnya.

Tampak kain selubung muka dara itu bergetaran. Dan entah dari mana, tiba dari dalam selubung muka terdengar suara bersenandung.

Makin lama makin tinggi dan lagunyapun makin sedih. Menggambarkan seorang isteri yang lama sekali-ditinggal pergi oleh suaminya, penuh hamburan pilu, ratapan kalbu.

Suasana sedih itu membuat hati orang seperti disayat-sayat dan airmata turun berderai-derai.

Tak berapa lama nyanyian sedih itupun makin menurun rendah dan akhirnya lenyap. Sekalian orangpun ikut tersadar dari buaian yang rawan.

Tiba2 Han Ping menggembor keras dan muntahkan segumpal darah segar.
Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa kali baru kemudian berdiri tegak.

Ih Thian heng batuk2 dan menghela napas, “Nyanyian itu bagaikan lagu sorga, tiada terdapat didunia, Apabila dulu2 aku mendengar lagu semacam itu, dunia persilatan mungkin akan terhindar dari malapetaka.”

Habis berkata ia terus mengharapiri Han Ping, Melihat itu Pengemis sakti Cong To cepat maju dua langkah, serunya, “Ih Thian-heng, apakah engkau bermaksud hendak melanggar janji yang engkau ucapkan sendiri Sahut ih Thian heng dengan serius, “Kalau hatiku gentar, tentulah akan kugunakan kesempatan saat ini untuk melenyapkannya….” tiba2 ia tertawa, “Tetapi aku
bukanlah manusia serendah itu….”

Pengemis sakti menukis dengan helaan napas, “Durjana dan orang budiman, memang orang2 yang luar biasa. Aku sipengemis tua harus banyak berpikir.”

Ih Thian-heng ulurkan tangan mencengkeram lengan kanan Han Ping. Dirasakannya darah dalam nadi pemuda itu mengalir deras sekali. Jelas pemuda itu sedang menderita goncangan hati yang hebat. Segera Ih Thian-heng memijat keras2 urat nadi Han Ping lalu menepuk punggung pemuda itu seraya berseru, “Dendam sakithati orangtua belum terhimpas, kalau sampai mati tentu masih penasaran.”

Han Ping menggigil lalu pelahan-lahan membuka mata, sahutnya, “Terima kasih ia terus menggeliat, lepaskan tangannya dari cekalan orang dan mundur dua langkah, lalu pejamkan mata mengatur pernapasan.

Ih Thian-heng berpaling memandang kain bertulisan yang berkibar-kibar menyiak kemudian meruntuh kebawah lagi Sinar lilin disebelah dalampun teraling pula.

“Apakah budak perempuan itu? ‘ tiba2 terdengar suara yang aneh melengking.

Sekalian orang serempak berpaling. Kiranya yang berseru itu siorang tua alis panjang atau tabib racun. Sambil tangan kiri mencekal kera bulu kuning emas yang matanya meram, orangtua alis panjang itu memandang lekas2 kearah Siangkwan Wan-ceng.

Melihat sikap orangtua alis panjang tampak begitu mendendam kepada putrinya. Siangkwan Ko marah, bisiknya, “Ceng-ji, jangan takut, akan kuberi hajaran pada si tua itu!”

“Jangan ayah,” seru Siangkwan Wan-ceng gopoh, “lo-cianpwe itu telah melepas budi kepadaku….” ia memandang kearah sitabib alis panjang, berseru
pula, “Apakah engkau hendak menanyakan orang yang menulis resep obat itu?”

“Ya, apakah dara baju ungu itu?” seru sitabib alis panjang.

“Benar, memang dia!” sahut Siangkwan Wan-ceng.

Tabib alis panjang menengadahkan muka tertawa keras, “Bagus! Akhirnya dapat juga bertemu!” Ia terus melangkah kearah si dara baju ungu.

“Berhenti!” cepat nenek Bwe ayunkan tongkat membentak.

“Bwe-ni. biarkan dia,” kata dara baju ungu.

Nenek Bwe menurut lalu mundur kesamping dara baju ungu. Tetapi matanya tetap tak lepas memandang gerak gerik tabib itu. Sekali tabib itu berani berbuat yang membahayakan diri si dara baju ungu, nenek Bwe tentu akan menghancurkannya.

Dara baju ungu menghela napas panjang, tanyanya, “Apakah maksudmu hendak mencari aku?”

Sahut tabib alis panjang, “Seumur hidup kuabdikan diri dalam soal pengobatan. Dan aku bangga kepada diriku, tetapi tak tahu kalau didunia ini masih terdapat orang yang melebihi kepandaianku.”

“Apakah hanya begitu keperluanmu?” tanya si dara baju ungu.

“Baru2 ini aku telah melihat secarik resep. Obat yang ditulis pada resep itu benar2 membuat aku kagum dan tunduk benar2,” kata tabib alis panjang.

Kemudian ia berpaling kearah Han Ping, serunya, “Resep itu sayang telah dihancurkan oleh dia. Aku ingin sekali bertemu muka dengan pembuat resep itu.”’

Dara baju ungu menghela napas, “Ah, usiamu sudah begitu tua, mengapa masih mengandung pikiran untuk memburu kebanggaan?”

tetapi tanpa menghiraukan ucapan si dara, tabib alis panjang itu berseru lantang, “Apakah engkau yang menulis resep itu?’

“Kalau ya, lalu bagaimana?”

“Aku tak percaya!” seru tabib alis panjang, “sepanjang hidupku aku telah mengumpulkan banyak sekali resep obat tetapi tak pernah kulihat resep seperti itu ….”

“Kalau benar aku yang menulis resep itu, lalu engkau hendak mengapa?” “Kalau engkau yang menulis engkau tentu masih ingat isi resep itu.” “Apakah engkau masih ingat ramuan obat pada resep itu?” tanya si dara.

“Walaupun tak dapat mengingat seluruhnya tetapi dapat juga mengingat enam tujuh bagian,” kata tabib alis panjang.

Tiba2 dara baju ungu itu mengucapkan beberapa jenis obat, “I-Long-ong, Pi-he, Hong hoa, Liong yan-hiang…. seluruhnya dia mengatakan duabelas jenis ramuan obat.

Mendengar itu barulah tabib alis panjang mengangguk, “Tepat semua Kalau begitu tak dapat diragukan lagi, resep itu memang engkau yang menulis ia berhenti sejenak tersenyum lalu bertanya pula, “Berapakah usiamu tahun ini?”

“Buat apa engkau tanyakan umurku? Aku berumur 19 tahun,” sahut si dara.

Tiba2 wajah tabib alis panjang itu berobah pucat, serunya, “Aku sudah hidup sampai berpuluh puluh tahun tetapi ternyata tak dapat melebihi kepandaianmu seorang anak perempuan yang bara berumur 19 tahun. Apakah orang semacam aku ini masih ada muka untuk hidup didinia….?”

Habis berkata tiba2 tabib alis panjang itu benturkan kepalanya ke tanah.

Saat itu sekalian orang masih termangu dari buaian nyanyian sedih si dara. Dan merekapun tak menyangka sama sekali bahwa karena selembar resep obat saja, orang tua alis panjang itu telah nekad membenturkan kepalanya ketanah.

Brak…. darah muncrat keempat penjuru ketika batok kepala tabib alis panjang
itu pecah berhamburan ditanah….

Empat orang tokoh silat hendak menolongnya tetapi sudah tak keburu.

“Ah, kasihan orangtua itu…. “ dara baju ungu menghela napas panjang.

Sambil berjongkok untuk mengangkat mayat tabib itu, Ih Thian -heng berkata seorang diri, “Ah, lo cianpwe terlalu terburu2 meninggal dunia. Sebenarnya masih banyak peristiwa ramai yang lo cianpwe dapat saksikan….”

Sambil memondong mayat ia melangkah kearah jajaran kain lian (bertulis). Kira2 dua tiga langkah dari kain lian itu, ia meniup untuk menyiak kain2 itu lalu melangkah maju. Setelah melawati meja, ia berpaling dan berseru kepada sekalian orang, “Aku yang akan menjadi pelopor jalan” berseru pengemis Cong To, “Baik dan Jahat itu hanya sepercik lintasan pikiran. Harap saudara Ih tunggu dulu aku si pengemis tua.

Pengemis-sakti itu apungkan tubuh dan pada lain saat ia sudah berada disamping Ih thian-heng, serunya “Mari kita jalan bersama!”

“Tigapuluh tahun hidup dalam dunia persilatan baru pertama kali ini aku merasakan sikap yang ramah dari saudara Cong.”

Sahut Cong To dengan nada bersungguh, “Sepanjang hidupku, entah sudah berapa banyak jiwa manusia yang kubunuh. Tetapi tidak seorang dari mereka yang kukenang. Satu satunya peristiwa yang tak pernah Kulupakan dalam hidupku ….”

“Bukankah yang ada hubungannya dengan sumoay saudara?” tukas Ih Thian-heng.

“Kata saudara Ih, walaupun tidak tepat tetapipun tak jauh” kata pengemis Cong To, “peristiwa yang selalu menggandul pada pikiranku yalah karena selama ini aku belum dapat mengambil lencana emas lambang pimpinan ketua….”

Ih Thian -heng merogoh kedalam baju, katanya, “Aku dapat menyerahkan lencana emas itu kepada saudara. Sejak ini, saudara Cong tak perlu tunduk pada perintah sumoay saudara.”Ih menyerahkan sebuah lencana emas kepada Cong To.

Cong To melihat lencana emas itu memang lencana dari suhunya yang hilang.
Ia terkesiap.

Peraturan dari perguruan Kim pay bun yalah harus menghormati lencana emas lambang perguruan. Setiap murid yang melihat lencana emas itu harus berlutut memberi hormat seperti berhadapan dengan suhunya.

Sejenak tertegun, Cong To terus berlutut memberi hormat dengan khidmat seraya menyambuti dengan kedua tangaanya.

berkata pula Ih Thian -beng, “Kalau aku beruntung dapat keluar dari makam ini dengan masih hidup, aku bersedia akan membawa saudara ber temu dengan sumoay saudara.

Cong To menghela napas, “Ah. peristiwa lampau seperti impian. Asal sudah mendapatkan lencana-emas itu kembali, aku tak ingin bertemu muka lagi dengannya.”

Ih Thian heng tertawa meloroh, “Walaupun, aku sendiri tak melakukan kebaikan tetapi anak buahku kebanyakan gemar melakukan kejahatan. Sumoay saudara telah kupenjarakan dalam sebuah gua. Apabila aku tak dapat keluar dari makam ini, sumoay saudarapun tentu tak mungkin dapat keluar dari guha itu. Dan itu memang sudah layak sebagai akibat dari perbuatannya.

Sambil berkata Ih Thian hengpun terus melangkah kemuka Cong To mengikuti dibelakangnya. ia kerahkan tenaga dalam bersiap siap. Setelah meragu sejenak, sekalian orangpun segera menyusul. Hanya orang Lam hay-bun yang tetap tinggal ditempatnya. Begitu pula Han Ping yang masih berada disitu karena sedang melakukan penyaluran napas. Kim loji berdiri didamping pemuda itu dengan penuh perhatian. Hendak bertanya bagaimana keadaan pemuda itu tetapi akhirnya tak jadi karena kuatir mengganggunya.

Tampak dada pemuda itu berkembang kempis, wajahnya tetap pucat lesi.

“Heran, sungguh heran sekali. Orang bertanya mengapa dara itu terus menyanyikan lagu sesedih itu?” gumam Kim loji.

Tiba2 nenek Bwe gentakkan tongkat bambunya, berseru, “Hai apa yang engkau sebut mengherankan itu!”

“Kumaksudkan orang yang bertingkah mengherankan,” seru Kim loji.

Nenek Bwe berseru dingin, “Orang semacam engkau, juga berani…. …. “

Dara baju ungu menghela napas, “Sudahlah Bwe Nio, jangan menghiraukannya.”

Kim loji masih mendengus geram, “Walaupun aku….”

Tiba2 Han Ping membuka mata dan menghela napas panjang, “Paman Kim, engkaupun harap jangan bicara lagi!”

Kim loji dan nenek Bwepun diam. Tetapi mata mereka masih saling berpandang. Yang seorang setiap saat bersedia berkorban jiwa untuk Han Ping. Dan yang satu seorang inang pengasih yang amat taat dan sayang kepada si dara baju ungu. Keduanya sama2 mentaati perintah momongannya.

Pelahan-lahan dara baju ungu melangkah kemuka Han Ping lalu berputar jalan balik kembali. Kemudian terlonjong longong memandang pemuda itu. Rupanya hati dara itu tegang sekali. Sinar matanya bertamburan seperti hendak menumpah keluar dari balik kain kerudungnya. Slnar mata yang ipenuh dengan ribuan kata.

“Nak, apa yang hendak engkau katakan, bilanglah, tak perlu takut,” kata nenek Bwe dengan menghela napas.

Dara baju ungu mengangguk. Dilihatnya Han Ping memandang dirinya dengan mata merentang lebar. Dara itu menghela napas, ujarnya, “Mengapa hatimu masih mengenang aku? Apabila engkau anggap aku sudah mati, alangkah baiknya.”

Han Ping tetap menutup mulut rapat2. Tetapi kerut wajahnya makin tegang.

Kata si dara pula, “Kalau hatimu melupakan aku, tak mungkin tadi engkau sampai begitu tegang sehingga…. sehingga…. ah!”’

Tiba2 dara itu beralih memandang Kim loji. katanya pula, “Nyanyianku tadi sama sekali bukan hendak melukai hatinya. Hanya dalam hatiku memang penuh dengan hal yang duka tetapi tak dapat kutumpahkan dengan kata2. Maka terpaksa kucurahkan melalui nyanyian itu.”

Kim loji terlongong, katanya, “Nona amat cerdas sekali, mengapa tak dapat menumpahkan kesedihan yang menghuni dihati nona?”

Dara baju ungu itu tertawa, “Ada kalanya aku mengharap diriku ini seorang tolol saja. Seorang yang tolol, tentu lebih tenang pikirannya dan lebih sedikit pula kedukaan hatinya.”

Tiba2 Han Ping menyelutuk, “Kalau engkau menganggap aku sudah mati, kesedihan hatimu mungkin tentu banyak berkurang….”

Tampak pemuda itu dengan paksakan diri baru dapat mengucap kata2 itu.

Kala dara baju ungu, “Ada kalanya aku benar2 mengharap engkau meninggal dalam makam yang kubangun dengan tanganku sendiri. Tetapi…. tetapi nasib mempermainkan orang dan membuat aku sering berjumpa dengan engkau.”

Dalam mengucapkan kata2 itu, tampaknya si dara mengerahkan ketabahan hatinya. Sesungguhnya kedua muda mudi itu masing2 dicengkam oleh getar2 Asmara. Namun selama itu, mereka hanya menyimpan dalam hati tak mau mengutarakan.

Tetapi kini. karena menyadari bahwa hidup mereka sudah takkan lama lagi, kesempatan untuk berjumpapun tak banyak, barulah mereka tak tahan dan menumpahkannya.

Nenek Bwe memberi isyarat agar Lam-hay-bun menyingkir. Tiba2 nenek itu menegur Kim Loji yang masih tak pergi, “Hai, mengapa engkau tak mau pergi?”

Kim loji sejenak memandang Han Ping lalu memandang dara baju ungu. Dengan perasaan yang campur aduk, diapun terus ayunkan langkah, menuju ke sudut ruang. Tetapi beberapa saat kemudian ia tak tahan keinginan hatinya dan berpaling lagi.

“Hai, lihat apa!” bentak neneK Bwe. Tetapi nenek itu sendiripun tak henti-hentinya memperhatikan keadaan si dara baju ungu.

Kim lojin berputar tubuh dan menghadap tembok. Tetapi berulang kali ia tak tahan dan berpaling kebelakang.

Demikianlah besarnya rasa sayang nenek Bwe kepada si dara baju ungu dan rasa sayang Kim loji kepada Han Ping.

Saat itu tinggallah Han Ping dan si dara baju ungu saling berhadapan dan beradu pandang. Tetapi kedua hanya tegak seperti patung yang tak dapat bicara.

Tiba2 nenek Bwe berseru keras, “Hai, tahukah kalian tentang pepatah kuna yang mengatakan” Sedetik itu berharga seribu mas? Pepatah itu hendak mengajarkan kepada orang betapa berharganya sang tempo. Walaupun tak seluruhnya tetapi sebagaian besar pepatah itu memang tepat sekali!”

Sekalian anak buah Lam-hay-bun heran dan saling berpandangan. Mereka tak tahu apa yang dimaksudkan nenek Bwe. Tetapi mereka terpaksa menyambut, “Ya, tepat, tepat sekali….”

Dara baju ungu menghela napas, ujarnya kepada Han Ping, “Ah, Bwe Nio menganjurkan kita bicara?”

“Lalu mengapa engkau tak bicara?” sahut Han Ping.

“Bicara apa….?” kata si dara. “Bicara apa….?” kata Han Ping pula.

“Pada hari itu aku bertemu Ih Thian-heng. Dia mengatakan kalau engkau sudah meninggal,” kata dara baju ungu.

Han Ping menghela napas, “Ah, memang ada orang, walaupun mati tetapi masih seperti hidup. Tetapipun ada orang yang walaupun masih hidup tetapi seperti mati….”

“Usiamu masih muda.” kata si dara, “tetapi setiap orang persilatan yang mendengar namamu Ji Han Ping itu, kalau tidak memuji dalam hati, tentu diam2 mengakui bahwa engkau seorang tunas muda yang amat cemerlang. Walaupun sampai seratus tahun lagi namamu tetap akan diucapkan orang. Dengan demikian walaupun engkau sudah meninggal, tetapi masih hidup. Mengapa engkau mengatakan walaupun masih hidup tetapi sudah seperti mati?”

Han Ping terdiam beberapa jenak, lalu berkata pelahan, “Engkau …. engkau
masakan tak tahu diriku?”

“Aku…. aku bagaimana tak mengetahui engkau,” sahut si dara.

Keduanya lalu menundukkan kepala. Walaupun tidak mengucap apa2 lagi, tetapi dalam hati kedua remaja iu sudah saling bersentuhan rasa, saling merasakan suatu pancaran Asmara murni yang mengalir dalam hati masing2.

Saat itu mereka rasakan suatu saat yang paling bahagia dalam hidupnya….

Asmara terpendam.

“Ada orang yang menggunakan kata2 untuk menguturakan maksud hatinya. Tetapi menurut yang dilalukan kedua remaja itu, ternyata bahasa yang paling halus dan paling menyentuh perasaan hati, bahasa yang paling berharga dan paling indah, adalah bahasa hati. bahasa yang tak diucapkan dengan mulut melainkan dengan pancaran mata. Dan getar2 alunan halus dari Asmara terpendam….diam2 Kim loji yang menyaksikan pertemuan Kedua remaja itu, mendapat kesan yang mendalam.

Tengah dia melamun, tiba2 nenek Bwe berseru melengking, “Hilang dan tumbuh, ada dan tiada, dari manakah datangnya?”

Han Ping si dara baju ungu terkesiap dan serempak berpaling.” Dibawah kain lian, tegak seorang dara baju biru yakni Siangkwan Wan ceng.

Walaupun dara itu berusaha hendak menenangkan hatinya, tetapi kedua kakinya yang gemetar keras itu tak dapat menyembunyikan lagi luapan hatinya yang bergoncang keras.

Dara baju ungu menghela napas pelahan lalu menghadap kemuka lagi.

“Huh, anak perempuan yang tak tahu diri,” teriak nenek Bwe. Tetapi Siangkwan Wan-ceng tak menghiraukannya. Pandang matanya makin kabur dan kabur, seperti terbungkus kabut.

“Nona Siangkwan….” baru Han Ping menegur, tiba2 dari belakang tumpukan
kain lian itu terdengar suara bentakan keras. Jelas berasal dari rombongan tokoh2 yang masuk kedalam tadi. Mereka tentu menghadapi kesulitan.

Tetapi kesemuanya itu tak dihiraukan Siangkwan Wan ceng. Dunia ini bagi Siangkwan Wan-ceng sudah tak dirasakan apa2 lagi. Ia tak mengacuhkan segala apa.

Oleh karena nona itu berdiri mengalingi sinar lilin dibelakang deretan kain2 bertulisan itu. maka orang yang berada diruang muka, tak dapat melihat apa yang terjadi diruang dalam.

Tiba2 dara baju ungu menghela napas, serunya kepada Han Ping, “Dia tentu bersikap baik sekali kepadamu. Selama beberapa hari ini berada bersama-sama, apakah kalian tidak gembira?”

Kata Han Ping, “Ah, dia seorang nona yang baik….”

“Kalau begitu mengapa engkau tak memanggilnya kemari.” kata si dara baju ungu, “dia telah minum racun buatan perguruan Lam-hay-bun yang bekerjanya pelahan. Dia hanya dapat hidup selama satu bulan saja…. “

“Apa?” Han Ping terkejut.

“Dia hanya dapat hidup sebulan lagi,” kata dara baju ungu. “Oleh karena itu dia sangat menghargakan sekali waktu yang tak berapa lama itu….”

“O, kiranya begitu,” seru Han Ping.

Kembali dari ruargan dibelakang jajaran kain lian itu terdengar suara tertawa panjang dan bentakan keras. Dan lilin yang menerangi tempat itupun tiba2 padam.

Seiring dengan suasana gelap, tiba2 hidung Han Ping tebaur bau yang harum. Dara baju ungu menghampirinya dan pada lain saat terdengarlah bisikan lembut ditelingannya. Sedemikian dekat suara itu sehingga hampir menyentuh pipi Han Ping, “Dalam beberapa waktu terakhir ini, aku telah membohongi diriku sendiri. Aku telah mengubur engkau ditanah pegunungan itu. Pun telah kubakar banyak sekali kertas-uang untukmu. Dan kubangun sebuah makam yang indah bagimu agar engkau dapat hidup bahagia di alam baka…. .”

Han Ping tertawa lawar . “Sayang orang yang engkau kubur itu bukan aku….
tetapi orang itu benar2 mempunyai rejeki besar….

“Aku mengharuskan diri untuk mempercayai bahwa yang kukubur itu adalah engkau. Walau pun kutahu engkau masih hidup tetapi aku harus berusaha mengelabuhi diriku sendiri….”

“Mengapa?” tanya Han Ping.

“Karena selama ini belum pernah ada orang orang yang bersikap begitu dingin kepadaku.”

Han Ping tak menyahut melainkan dalam hati berkata, “Ah, kapankah aku bersikap dingin kepadamu….”

Kata2 itu diucapkan dalam hati tetapi entah bagaimana si dara baju ungu rupanya seperti mengerti. Segera ia berkata pula, “Ah, aku salah omong. Aku hendak mengatakan bahwa selama ini tiada seorangpun yang tak mengalah kepadaku. Tetapi engkau tak mau mengalah kepadaku….”

Han Ping tertawa, “Mengapa aku harus mengalah kepadamu?”

Tiba2 dara baju ungu itu ulurkan tangan dan berbisik, “Aku tak minta engkau mengalah Seorang anak perempuan memang harus bersikap lemah lembut. Ai, aku memang terlalu manja.”

Pada saat tangan si dara bersentuhan dengan tangan Han Ping, seketika jantung Han Ping barguncang keras sehingga ia menarik diri kebelakang.

Dara itupun perlahan-lahan menarik kembali tangannya lalu berbisik, “Sekarang aku baru menyadari bahwa betapa hebat dan luar biasa kecerdasan dan bakat yang dimiliki seseorang, namun akhirnya sukar juga untuk menentang kodrat alam. Lihatlah, peristiwa2 pada waktu lampau, betapapun orang dapat mengerjakan usaha2 besar, namun tiada seorangpun yang mampu untuk memutar balik jalannya rembulan dan matahari. Dan tak mungkin pula dapat mengembalikan tempo yang telah lalu. Walaupun perjumpaan kita ini belum terlalu terlambat, tetapi ruangan ini tak dapat memuat dua orang yang suka membawa kemauannya sendiri. Yang lampau biarlah berlalu, biarlah seperti sang tempo yang takkan dapat kembali lagi….”

Berkata Han Ping dengan nada bersungguh, “Apa yang nona katakan memang benar. Aku masih menyandang dendam sakithati orangtuaku yang belum terhimpas. Saat ini musuhku berada disini. Kami tentu akan menghadapi suatu pertempuran maut. Dan siapa yang akan menang masih sukar diketahui. Apa yang akan terjadi dihari depan masih belum pasti, kuharap nona suka menjaga diri baik2. Nah, akupun hendak mohon diri….”

Habis berkata Han Ping terus ayunkan langkah kedepan.

Tunggu,” seru dara baju ungu. Han Ping berhenti lalu berpaling, “Adakah nona masih hendak memberi pesan lagi?”

“Nasib akan menentukan orang. Dunia ini penuh dengan orang yang ingin mancari nasib dan ingin melepaskan nasib. Inilah dua butir pil penawar racun. Berikanlah kepada nona Siangkwan itu. Kuberinya minum racun karena aku cemburu dan iri hati. Hendak kusuruh dia merasakan derita siksaan yang hebat sebelum mati. Sekarang berikanlah pil itu kepadanya. Agar dia tetap hidup dengan penderitaan kehidupannya.”

Sambil menyambuti pil, Han Ping berkata, “Ucapan nona penuh dengan ujar2 yang bernilai tinggi sehingga orang harus mengcamkan benar2.”

“Lebih baik engkau jangan terlalu mengerti, lekas pergilah,” kata si dara baju ungu.

Han Pingpun segera lanjutkan langkah.

Siangkwau Wan ceng masih berdiri diam dibelakang jajaran kain lian itu. Ia terlongong-longong seperti patung. Ketika Hati Ping datang, nona itupun menyonsongnya, “Orangtua alis panjang itu telah menolong jiwamu, tetapi dia yang mati lebih dulu “

“Hendak kuminta jenazah tabib itu dari Ih Thian-heng,” kata Han Ping, “apabila kelak aku dapat keluar dari makam ini, tentu akan kubangun sebuah makam untuknya.”

“Dia seorang sakti yang menyembunyikan diri dipegunungan sepi,” kata Siangkwan Wan-ceng, “karena hendak menyertai engkau masuk kedalam kancah pergolakan dendam disini, dan berakhir dengan kehilangan jiwa “

“Engkau telah memberiku minum racun, kebaikanmu lebih besar dari tabib itu,” kata Han Ping.

“Tetapi aku mempunyai pamrih agar selalu dapat bersama engkau. Sebaliknya tabib itu tak ada pamrih apa2. Bagaimana engkau mengatakan kebaikanku melebihi kebaikannya?” bantah si nona.

Sesaat Han Ping tak dapat menyelami kata2 si nona. Perlahan lahan ia mengangsurkan pil, “Nona Siau pesan kepadaku supaya menyerahkan pil penawar racun ini kepadamu.”

“Apakah dia menghendaki aku supaya mengalami penderitaan hidup selama beberapa tahun lagi?”

“Dia memang mengatakan begitu,” kata Han Ping, “tetapi aku tak mengerti maksudnya.”

Siangkwan Wan-ceng menghela napas, ujarnya, “Tak perlu memikirkan hal itu,” katanya, “engkau harus menyapu semua keruwetan pikiran dan tumpahkan seluruh perhatian untuk membalas dendam ayahbundamu. Ih Thian heng bukan seorang tokoh biasa. Dalam pertempuran nanti, sukar ditentukan siapa yang akan menang….”

Berhenti sejenak ia melanjutkan pula, “lekas pergilah, jangan memikirkan budak setan dari Lam-hay- bun itu lagi. Karena hal itu akan menyebabkan engkau kesengsam dengan kecantikannya. Suatu hal yang akan menyebabkan engkau lengah dalam kewaspadaan terhadap musuh.”

Han Ping terdiam sejenak, lalu mengucapkan terima kasih dan terus melangkah ke muka.

Diam2 ia telah merenungkan ucapan Siangkwan Wan-ceng. Memang sejak berhadapan muka dengan si dara baju ungu, pikirannya selalu terbayang akan wajahnya yang cantik dan senyumnya yang mengikat suksma. Kekerasan hati untuk membalas dendam sakithati orangtuanya seolah-olah terpudar oleh bayangan si dara jelita itu. Beberapa patah kata Siangkwan Wan-ceng itu telah menyadarkan hatinya.

Jalan terowongan itu gelap sekali dan amat sunyi pula. Seolah olah orang2 yang masuk kesitu tadi, hilang lenyap ditelan suatu tenaga gaib.

Han Ping berhenti dan diam2 menyalurkan tenaga-dalam, Kegelapan suasana yang mencengkam aneh itu seolah-olah membawa firasat akan sesuatu yang

mengejutkan. Dalam suasana yang seperti orang, indera perasaan orangpun makin bertambah tajam.

Dalam waktu akhir2 ini, bukan saja tenaga-dalam Han Ping telah mencapai kemajuan pesat, pun pengertiannya tentu ilmu bernapas menurut ajaran kitab Tat-mo ih-kin-keng bertambah maju. Dua kali bernapas, ia sudah dapat menjernihkan pikiran dan mempertajam kelima inderanya. Secepat itu pula ia dapat mendegarkan suara napas dari tokoh2 yang berada disitu.

Han Ping melangkah maju lagi, langkah kakinya tangkas sekali, seringan kapas jatuh ketanah, sama sekali tak mengeluarkan suara apa2. Dan indera penglihatannyapun bertambah tajam. Dilihatnya para tokoh2 tadi tengah tegak berdiri bersiap-siap2, seperti menunggu sesuatu.

Han Ping melintasi mereka terus menuju kesamping Ih Thian-heng. Tiba2 Ih Thian heng ulurkan tangan kiri; Harap saudara Ji, jangan buru2 masuk.”

“Mengapa?” tanya Han Ping agak kurang puas.

Ih Tbian heng tersenyum, “Pemilik makam sudah mengeluarkan pernyataan, suruh kita menunggu dulu “

Han Ping mendengus, “Biasanya engkau angkuh sekali, heran mengapa sekarang engkau mau menurut kata orang?”

“Aku benat2 kagum kepada pemilik makam ini,” kata Ih thian-heng, “kupercaya dia tentu takkan mengelabuhi secara licik….

Dalam pada itu tiba2 terdengar ngiang suara yang halus tetapi cukup jelas, “Sepeminum teh lamanya lagi, pintu Seng si bun akan terbuka dayang2 cantik akan menyambut dan melayani para tetamu….”

Berhenti sejenak, suara lembut itu berkata pula, “Sungguh tak kusangka kalau tuan2 datang begitu cepat. Tetapi kaum persilatan Tiong goan tak pernah kehabisan orang sakti. Karena salah menafsirkan kekuatan saudara sehingga tak sempat mengadakan penyambutan. Harap dimaafkan.”

Han Ping kerutkan alis, berseru, “Siapakah orang itu?”

“Menilik nada bicaranya, tentulah pemilik makam ini,” kata Ih Thian-heng.

Han Ping tertawa nyaring, “Apakah kita begini banyak orang harus mendengar saja omongannya?”

“Kegagahan saudara Ji, membuat aku kagum,” kata Ih Thian-heng” kalau kita dapat menempur pemilik makam, hanya tinggal pertempuran kita berdua. Apabila engkau dapat mengalahkan aku. dengan mudah engkau pasti akan mendapat kehormatan sebagai pemimpin dunia persilatan….”

Terdengar beberapa kali tertawa dingin dan dengus menggeram, “Mungkin tak begitu.”

Ih Thian-heng tertawa tawar, serunya, “Harap saudara jangan percaya omonganku. Tetapi soal itu memang aku tak dapat berbuat apa2. Tetapi aku teringat akan suatu hal yang terpaksa harus kuberitahukan lebih dulu. Siapa yang dapat menghadapi Pedang-terbang dialah yang mem ilmu pedang terbang itu.”

Ilmu pedang-terbang itu, bukan saja termasuk ilmu pedang yang paling hebat, pun dalam kalangan ilmu kepandaian dunia persilatan, jarang sekali orang yang memilikinya.

Sekalian tokoh2 itu terdiam.

Ih Thian-heng tertawa dan berkata pula, “Tetapi pada saat ini diantara kita, terdapat seorang yang memiliki ilmu kepandaian itu. Dia bukan lain seorang pemuda yang masih muda belia yalah Ji Han Ping….”

“Perlu kuceritakan lagi,” kata Ih Thian -heng pula, “bahwa pada pertama bertemu dengan saudara Ji itu bukan aku menyombongkan diri, tetapi memang dia jauh sekali tingkatnya dengan aku. Tetapi setiap kali bertempur dengan dia, dia tentu memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Belum sampai setengah tahun, dia sudah dapat mengimbangi kepandaianku. Hal yang tak wajar dalam cara meyakinkan ilmusilat itu, benar2 membuat orang….”

Tiba2 terdengar gelaran keras sehingga ucapan Ih Thian heng terputus. Dua buah lentera berayun keluar.

Dan sebuah suara yang parau, segera meluncur, “’Pintu Seng-si-bun telah kubuka, silahkan para tetamu masuk. Sebelum masuk, harap saudara2 tahu akan dua buah larangan. Para jelita yang menyambut tetamu itu, dara2 yang luar biasa cantiknya. Tetapi mereka tak mengenakan pakaian yang dapat mencelakai suadara. Apabila saudara2 yakin takkan terpengaruh oleh kecantikan dara2 itu, silahkan masuk, tetapi kalau hati saudara tak kuat dan tersengsam dengan bidadari2 itu, silahkan pilih saja yang mana dan ajaklah bersenang-senang dalam kamar sampai puas. Ha, ha…. ha, ha, ha”

Setelah tertawa, orang itu berseru pula, “Tetapi janganlah sekali kali saudara mencelakai mereka.

Apabila ada seorang saja yang melanggar pantangan itu, seluruh rombongan akan kuhancurkan.

Dan akupun tak mau lagi bertemu muka dengan saudara2 Segera akan kubuka alat rahasia dan melepaskan ratusan ribu tawon beracun, tiga ribu ular berbisa, kupadamkan penerangan dalam ruangan ini agar saudara menderita serangan

tawon dan ular beracun. Betapapun kesaktian saudara, tetapi dalam tempat sepanjang sepuluh tombak ini dan ditempat yang gelap, tak mungkin saudara dapat menghindarkan diri dari serangan binatang2 itu. Inilah larangan yang pertama.

Harap saudara suka mematuhi, agar jangan terjadi hal yang tak diinginkan,”

ih Thian-heng berpaling kearah rombongan tokoh2, katanya, “Ular tanpa Kepala tentu tak dapat berjalan. Burung tanpa sayap tentu tak dapat terbang. Baiklah kita mengangkat seorang pemimpin rombongan untuk menjawab tuan rumah. Silahkan saudara menunjuk siapa yang layak menjadi wakil rombongan ini.”

Sambil mengambil buli2 arak dan meneguknya Pengemis-sakti Coag To berkata, “Menurut pandangan pengemis tua, engkaulah yang paling tepat menjadi pemimpin rombongan kita.”

“Ah, tetapi aku kuatir tak dapat memenuhi harapan saudara2,” kata Ih Thian-heng.

Han Ping mendengus, “ Ih Thian- heng, jangan lupa bahwa kita masih mempunyai hutang piutang darah yang belum diselesaikan….

Ih Thian-heng tertawa, “Ditempat langit dan bumi buntu semua seperti ini, masakan engkau takut aku akan melarikan diri.”

“Jembatan kembali pada jembatan, jalanpun kembali pada jalan,” kata Cong To, “kecuali Ih Thian-heng rasanya tiada orang yang lebih sesuai lagi.

Tiba2 suara parau itu terdengar berseru lagi, “Setelah melalui ruangan bunga sepanjang sepuluh tombak. Saudara2 akan berhadapan dengan pemandangan luar biasa yang belum pernah saudara jumpahi. Benda aneh, permata2 yang indah tiada taranya. Walaupun benda berharga dan permata itu memang sedianya hendak kuhaturkan kepada saudara2 tetapi kuminta harus diambil dengan cara yang terang, jangan secara menggelap. Setelah aku bertemu muka dengan saudara2, mungkin diantara saudara2 terdapat orang yang bakal memiliki harta karun itu bila ada orang yang berani mempunyai hati jahat hendak mengambilnya, saudara2 semua akan menerima hukuman yang paling ngeri dan kejam….”

Dengan girang Ih Thian heng berseru nyaring, “Hukuman ngeri yang bagaimana, dapatkah memberitahu dulu agar Kami dapat bersiap siap?”

Terdengar tertawa panjang, “Akan kugerakkan pekakas rahasia, untuk mengurung saudara2 dalam sebuah kamar batu. Kemudian akan kuhamburkan asap beracun agar kesadaran dan semangat saudara2 hilang dan saling bunuh membunuh sendiri,”

“Cara itu memang paling ngeri dan akupun percaya kalau engkau memiliki asap beracun semacam itu. Baiklah, kami setuju untuk mentaati kedua pantangan itu. Apabila ada angauta rombongan kami yang melanggar, tak usah engkau turun tangan, kami akan dapat menindaknya sendiri!”

“Bagus, kita anggap saudara2 sudah setuju mentaati perjanjian itu,” kata suara parau itu pula.

Seiring dengan lenyapnya suara parau itu tiba2 ujung peti mati besar yang berada didalam ruangan, mereka pecah.

Ketika sekalian orang memandang kearah peti mati itu ternyata disebelah dalamnya terang sekali dan sosok2 tubuh pun tampak berkelebatan.

Pengemis-tua Cong To kerutkan alis, serunya, “Adakah kita barus masuk melalui peti mati itu?”

Ih Thian-heng tersenyum, “Biarlah aku yang berjalan dimuka.” ia terus endapkan tubuh dan melangkah maju “

Sekalian tokohpun segera mengikuti dibelakangnya.

Ternyata peti mati besar itu merupakan sebuah pintu dari lorong terowongan yang panjangnya empat lima tombak. Tiba diujung lorong, pemandanganyapun berobah. Mereka tiba disebuah pintu bercat merah. Pintu itu ditulisi tiga buah huruf besar ‘Seng-si-bun’ atau Pintu Mati-hidup.

Dibelakang pintu itu merupakan sebuah ruang yang luas, terang benderang dan penuh dengan gadis2 cantik.

Sambil masih memondong mayat tabib alis panjang, Ih Thian-heng melangkah masuk seraya berseru nyaring, “Nona2 sekalian, harap memberi jalan agar janganlah pakaian nona terlumur darah merah!”

Kawanan gadis2 jelita yang berdiri dengan kepala menunduk itu, mengenakan pakaian warna warni, merah, kuning, biru putih dan hitam.

Jaraknya satu sama lain menurut ukuran tertentu. Sepintas merupakan jajaran yang berbunyi Si atau mati.

Tiba2 terdengar suara tambur. Dan kawanan gadis jelita yang menunduk kepala itu, serempak mengangkat kepala, tertawa cerah.

Mereka cantik sekali, bibirnya semerah delima merekah, raut wajahnya bagai kuntum bunga mekar bersen. Alis melengkung bagai bulan muda. Kecantikannya benar2 dapat menyebabkan orang tua, merasa muda kembali. Bahkan orang yang tengah meregang jiwa dapat bangun lagi.

Ih Thian -heng berpaling kearah rombongan tokoh2, tertawa, “kalau saudara2 merasa tak Kuat bertahan untuk melintasi ruangan sepanjang sepuluh tombak ini, lebih baik saudara berjalan dengan menutup mata….”

Seiring dengan kata2 Ih Thian-heng itu, kawanan gadis2 jelita itupun mulai pelahan-lahan bergerak.

Oleh karena sebelumnya sudah mendapat peringatan maka rombongan tokoh2 itupun sudah bersiap. Berhadapan dengan kawanan bidadari cantik itu, buru2 merekapun sudah mengempos semangat dan mengerahkan tenaga-dalam untuk menguasai perasaan hatinya.

Gerakan kawanan gadis2 itupun mulai makin cepat, saling bersilang berpindah tempat sehingga menimbulkan hamburan warna yang menyilaukan.

Dengan mengandalkan tenaga dalamnya yang sakti Ih Thian heng tak terkecoh dengan kecantikan gadis2 itu. Sambil memandang kesekeliling ia tertawa nyaring dan melangkah maju.

Sekalian tokohpun mengikuti rapat2 dibelakangnya, Tiba2 kawanan gadis cantik yang takhenti-hentinya bergerak itu, berhamburan menyisih ke kanan kiri sambil melepaskan pakaiannya. Dalam sekejab saja, merekapun sudah tak berpakaian lagi.

Ih Thian-heng batuk2 dan berseru nyaring, “Majikanmu sudah memberi perintah, tak boieh kami melukai kalian. Tetapi kalianpun jangan menghadang jalan….”

Ia tertawa lagi, lain berkata, “Silahkan nona sekalian beraksi sekehendak hati nona agar kami dapat menikmati melihatnya.”

Dalam pada itu kawanan gadis cantik itupun sudah membentuk diri dalam sebuah barisan. Masing2 menduduki tempat yang tertentu. Dan salah seorangpun segera berderu dengan suara yang merdu, “Silahkan tuan2 lewat ditengah barisan kami. Dalam saat tuan2 lewat nanti, mereka akan menggunakan kepandaiannya untuk merayu dan memikat agar tun2 suka memilih mereka….”

Ketika ih Thian heng memperhatikan dengan seksama, dilihatnya sinar mata kawanan gadis cantik itu memancarkan harapan kasih, bagaikan musafir di padang pasir yang mengharapkan air….

Tiba2 hati Ih Thian-heng tergerak. Berpaling kearah rombongannya ia berkata, “Selain memang luar biasa cantiknya, gadis2 itu lelah minum semacam obat. Apabila diantara saudara yang merasa tak kuat menahan nafsu, lebih baik pejamkan mata. Dengan mengandalkan pendengaran, ikutilah dibelakangku.” Habis berkata ia terus pelahan-lahan melangkah maju.

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak2, “Selama hidup, belum pernah pengemis tua menyaksikan pemandangan yang begini hebat Apa yang terlihat saat ini, matipun sudah puas!

Ia terus maju mengikuti dibelakang Ih Thian-heng.

Ting Ling tiba2 cepatkan langkah menyusul kesamping Han Ping lalu membisiki, “walaupun kawanan gadis2 itu cantik sekali tetapi kalau dibanding dengan dara baju ungu puteri ketua Lam-hay-bun itu, masih kalah jauh sekali. Asal engkau curahkan pikiranmu mengenangkan wajah dara baju ungu itu, tak mungkin hatimu terpengaruh oleh kawanan gadis2 itu.”

Karena seumur hidup belum pernah menyaksikan pemandangan yang sedemikian hebat, tanpa disadari Han Pingpun memandang lekat kepada mereka, ia baru gelagapan ketika mendengar kisikan Ting Ling. Buru2 ia kerahkan semangat dan tenangkan hati lalu melangkah maju.

Berjalan beberapa saat memang mereka tak merasakan suatu apa. Tetapi setelah beberapa saat kemudian, mereka merasa ada sesuatu yang tak wajar. Bau harum dari tubuh gadis2 cantik itu berhamburan menusuk hidung dan menggetarkan hati. Pelahan-lahan hati merekapun mulai tak tenang….

Tubuh yang putih mulus dan bau yang harum, sudah cukup membuat hati orang kebat kebit dan darah merangsang. Apalagi gadis2 cantik yang telanjang itu mulai memancarkan tertawa yang menggelitik kalbu.

Rombongan tokoh2 itu berjalan dengan menutup mata. Tetapi saat itu telinga mereka seperti mendengar suara napas yang lembut dan bisik2 yang merdu…. , sesaat napas dan suara itu seperti dihembuskan dari tenggorokan, sesaat dari dada dan sesaat pula dari hidung.

Sekalipun dapat menutup mata tetapi rombongan tokoh itu tak dapat menutup telinga. Oleh karena itu, walaupun sudah menutup mata, tetapi karena mendengar bisik2 lembut yang penuh dengan cumbu rayuan menantang kecabulan, mereka tak tahan lalu membuka mata lagi.

Ih Thian heng berpaling kebelakang. Tampak wajah mereka berobah merah, mata bersinar lain. Bahkan ada yang dahinya bercucuran keringat dan geraham digigitkan erat2 seperti orang yang tengah menahan nafsu.

Kebalikannya mereka yang biasanya hidup dengan cara tak teratur, tampak bahkan lebih tenang. Karena mereka banyak pengalaman, jadi sudah biasa dengan pemandangan semacam itu. Dan mereka yang biasa hidup baik, saat itu seperti dibakar api panas rasanya.

Sekonyong-konyong terdengar suaru menggerung keras dan Theng Ban-li terus memeluk seorang gadis telanjang itu lalu dibawa lari kebelakang. Gadis jelita itu tertawa menggelitik dan menyerahkan diri dibawa lari oleh jago tua itu.

ih Thian-heng menghela napas, “Ah, sungguh tak kira, seorang jantan seperti dia, akhirnya harus menyerah pada paras cantik….”

Tiba2 dari samping terdengar orang menyelutuk, “Walaupun dia tak dapat keluar dari makam ini tetapi dia telah dapat merobah keadaannya. Dan seorang yang paling menderita menjadi orang yang paling bahagia didunia.”

Ih thian-heng kerutkan sepasang alis lalu beralih pandang. Tampak Ca Giok sedang kepalkan tinju dengan geram tetapi tubuhnya gemetar. Matanya buas seperti seekor serigala lepas, memandang seorang dara ayu yang telanjang.

‘Fui!” ih thian-heng menbentaK dan menampar punggung pemuda itu.

Ca Giok tergetar dan tertegun beberapa saat. Kemudian ia menjurah, “Terima kasih, cianpwe.” ia terus mengikuti dibelakang Ih Thian-heng, melanjutkan langkah.

Barisan dara2 telanjang itu walaupun tak berapa menyeramkan tetapi jalanan yang harus ditempuh, melingkar lingkar dan berbiluk-biluk. Langkah kaki orang2 itu makin sarat. Sampai sekian lama belum juga mereka keluar dari barisan itu. Sepanjang hidup, belum pernah mereka menempuh suatu perjalanan seberat itu.

Tiba2 Ih Thian heng membentak keras lalu menyanyi dengan suara nyaring. Lagunya lagu bersemangat dan keras, seperti palu besi menghantam batu. Seketika tergugahlah semangat sekalian orang. Merekapun lalu tegakkan kepala, busungkan dada melangkah kearah jalan yang dirintis Ih Thian-heng.

“Seumur hidup aku tak pernah mengagumi orang. Tetapi hari ini aku harus memberi hormat kepadamu karena belum pernah aku bertemu dengan orang seperti engkau,” seru Pengemis-sakti Cong To kepada Ih Thian heng.

Ih Thian heng tak menyahut melainkan tetap menyanyi dan tersenyum. Tak berapa lama mereka pun dapat melintasi barisan itu.

“Sungguh berbahaya….”Ca Cu jing menengadah dan menghela napas
pangjang.

Wajah Ih Thian-heng berobah serius, serunya, “Barisan paras cantik, walaupun Kita sudah berhasil melintasi tetapi masih ada sebuah rintangan yang tak kurang hebatnya yalah Harta. Mungkin godaan ini jauh lebih hebat dari paras cantik. Peribahasa mengatakan, “Semut mati di gula, manusia mati di harta. Harap saudara2 ingat hal itu.”

Rombongan Ih Thian-heng melanjutkan perjalanan kemuka. Setelah membiluk sebuah tikungan, tiba2 disebelah muka tampak terang. Sederet lentera istana, bergelantungan tinggi diatas lorong terowongan. Cahayanya terang benderang seperti hari pagi. Papan batu yang menonjol dari kedua tepi lorong terowongan itu, penuh bertabur batu2 permata yang berkilau-kilauan cahayanya.

Makin berjalan mendekati, makin hebat perhiasan yang menantang. Semua terdiri dan benda2 berharga yang jarang terlihat manusia. Setiap macam benda, cukup untuk menimbulkan rangsang keinginan orang.

Tak henti-hentinya Ih Thian -heng menghambur pujian, ujarnya, “Benar2 sebuah istana permata yang hebat. Walaupun istana raja belum tentu dapat menandingi tempat ini.”

Nyo Bun-gian memberi sambutan, “Ah, intan permata, zamrud ratna mutu manikam yang jarang terdapat diduma! Selama berpuluh-puluh tahun telah mengumpulkan barang2 permata. Dimana terdapat permata yang aneh, tentu kubeli tanpa kuhiraukan harganya. Semula kukira kumpulan benda2 permata yang berada di rumahku itu sudah paling banyak dan lengkap. Tetapi apa yang kulihat saat ini, benar? menghapus kebangaanku itu. Seperti langit dengan bumi atau bukit dengan gunung bedanya….”

Tiba2 ia hentikan kata-katanya dan melangkah maju, lari melampaui Ih Thian-neng, terus menyelinap masuk kedalam sebuah ruang besar.

Didalam ruang besar yang diterangi dengan lampu dan lilin itu, penuh bertumpukan benda2 kuno dan zamrud permata yang tak ternilai indahnva.

Tiba2 terdengar suara orang berseru kaget, “Hai, Tenggoret-kumala dan Kupu2 Emas….!”

Sekalian orang terbeliak, mengangkat muka. Tampak diatas meja yang dibuat dalam bentuk istimewa, terdapat kedua benda pusaka yang menggemparkan dunia persilatan itu.

Tenggoret Kumala, putih seperti salju, berbuat dari batu kumala yang bening dan cemerlang. Sepasang matanya sebesar kedele berwarna merah bercahaya seperti benar2 hidup.

Sedang Kupu2 Emas itu lebih besar dari Tenggoret Kumala. Panjangnya tak kurang dari tigapuluhan senti. Entah terbuat dari apa, kedua sayapnya amat tipis sekali. Sepasang matanya berkilauan jernih sekali.

Saat itu seseorang sudah menyelimpat ketempat kedua benda pusaka itu. Sambil berteliku tangan, dia tegak berdiri dimukanya, memandang lekat2 pada kedua benda pusaka itu. Dari pandang matanya jelas dia itu mengiler sekali melihat kedua pusaka itu.

Ih Thian-heng cepat dapat mengetahui bahwa orang yang berada didepan meja itu yaiah Nyo Buti-giau. Dan yang berteriak kaget tadi, tentulah orang she Nyo itu juga.

Ih Thian hengpun memperhatikan, kecuali Pengemis-sakti Cong To seorang, yang lain2 memandang lekas2 pada kedua benda itu dengan sinar mata penuh keinginan.

Kedengaran Nyo Bun -giau menghela “napas panjang, ujarnya, “Orang mati karena harta, burung mati karena makanan. Rupanya pepatah kuno itu memang benar. Memperoleh pusaka yang hebat ini, rasanya matipun puas “

Habis berkata ia terus ulurkan tangan hendak mengambil kedua benda pusaka itu.

“Tahan!” tiba2 Ca Cu-jing berteriak seraya maju menghampiri.

Nyo Bun giau memandang ketua marga Ca itu, serunya dingin, “Mau apa engkau?”

Ih Tbian-heng berseru, “kalaupun mati atau hidup saudara Nyo tidak perlu disayangkan, tetapi kami semua tak mau menenami mati….” Ia berhenti
sejenak ia berkata pula . “Apakah engkau tak mendengar kata2 pemilik makam itu?”

Kata Nyo Bun-gian, “Ini….”

‘Kalau saudara Nyo tetap hendak mengambil, dikuatirkan sekalian orang yang berada disini takkan membiarkan saudara.”

Pengemis sakti Cong To tertawa gelak2, “Nyo Bun-giau, berpalinglah kemari!”

Ketika Nyo Bun-giau berpaling, dilihatnya berpuluh mata sekalian tokoh2 itu mencurah kepadanya. Jelas mereka sudah bersiap-siap hendak bertindak apabila Nyo Bun-giau berani mengambil kedua pusaka itu.

Tetapi kebalikannya, saat itu Nyo Bun-giau malah tenang2 memandang sekalian orang, serunya, “Apakah saudara2 sungguh percaya akan omongan pemilik makam ini tadi? Kalau dia memang hendak membunuh kita, sekalipun kita tak megambil benda disini, dia tetap akan turun tangan juga.”

“Tak peduli omongannya benar atau tidak,” seru Ih thian-heng, “harap saudara Nyo jangan temaha. Apabila saudara hendak mengambil kedua pusaka itu, sekalian orang disini termasuk aku sendiri, tentu akan mengambil jiwamu.”

Nyo Bun-giau terdiam lalu melangkah ke muka. Ih thian-heng tetap tegak tak bergerak. Setelah sekalian tokoh2 berjalan keluar barulah ia mengikuti dari belakang.

Sekeluarnya dari ruang harta permata itu mereka menghadapi sebuah lorong panjang lagi. Dan pada ujung lorong, terdapat sebuah pintu batu yang setengah terbuka.

Pada pintu itu terdapat selembar kertas putih yang ditulis, Masuk pintu ini, semua larangan hapus. Silahkan mengeluarkan se luruh kepandaian untuk menjaga serangan. Apabila dapat melintasi Jalan maut sepanjang tigabelas tombak ini, baru dapat berjumpa dengan pelik makam ini.

Sekalian orang mengerumuni dan membaca kertas itu. Ih Thian- hengpun menghampiri. Satelah meletakkan tubuh tabib alis paujang, ia berkata, “Saudara2 tentu sudah membaca tulisan itu. Mau tak mau atu harus mengagumi kelicikan pemilik makam ini. Dia benar2 dapat mengetahui kelemahan2 orang dan sudah memperhitungkannya….”

Berhenti sejenak ia melanjutkan berkata, “Atas kepercayaan saudara2 yang telah menganggap aku sebagai pemimpin darurat dan rombongan ini, kuanggap telah kuselesaikan. Sampai ditempat dan saat ini, pimpinan rombongan akan kukembalikan kepada saudara2 lagi.”

Habis berkata ia terus miringkan tubuh dan menyusup ke pintu batu.

“Ih Thian-heng, lekas mundur’“ teriak Ting Ling.

Ih Thian -heng yang sudah berada didalam, karena teriakan si nona, lalu keluar lagi dan tersenyum, “Nona cerdik, apa yang engkau pikirkan.

Ting Ling berkata dingin, “Kepintaran besar seperti tolol, Kejahatan besar pun seperti bijaksana. Apabila menilik gerak gerikmu selama berada dalam makam ini, memang sukar orang untuk percaya bahwa sebenarnya engkau ini seorang durjana besar….”

In Thian heng kerutkan alis, serunya, “Kalau mau omong, bicaralah yang baik, jangan memaki orang.”

Ting Ling maju menghampiri kesamping Ih Thian-heng, serunya, “Ya, memang aku memakimu. Apakah engkau berani membunuh aku?”

Ih Thian -h;ng mengangkat tangan kanan keatas, serunya, “Mengapa tak berani . , . .” tiba2 ia menurunkan tangannya lagi, “engkau seorang gadis muda, kalau aku membunuhmu, bukankah aku akan ditertawai seluruh kaum persilatan?”

Ting Ling mengangguk, “Benar, bukannya engkau lak mau membunuh aku. Tetapi engkau merasa tak leluasa untuk turun tangan pada saat dan tempat seperti ini.”

Ih Thian heng hanya tersenyum.

Ting Ling berpaling kearah rombongan tokoh2 persilatan itu dan berkata pula, “Ih Thian-heng telah membawa kita melintasi barisan gadis2 telanjang dan ruang harta karun. Tetapi pada saat tiba ditempat yang segawat ini, bukan saja dia lepas tangan bahkan terus hendak ngacir pergi, meminjam golok untuk membunuh orang….”

Wajah Ih Thian-heng agak berobah. Dahinya tiba2 mengerut hawa pembunuhan dan berserulah dia dengan suara yang sarat, “Saudara Ting, jika engkau tak dapat mengajar putrimu yang nakal ini, terpaksa aku akan mewakili saudara untuk memberi hajaran kepadanya….”

Ting Ling tertawa mengikik, serunya, “Apakah engkau takut? Kukatakan kepadamu, aku taK percaya dalam saat dan tempat seperti ini, engkau akan membunuh aku….”

Tiba2 Ih Thian-heng gerakkan tangannya menutuk, “Kalau tak percaya, cobalah ini ‘.”

Tetapi serempnak dengan gerakan itu. Ih Thian-hengpun mendengar dua buah gelombang angin pukulan menyambar kearahnya. yang satu melanda dada, yang satu menggempur jarinya yang akan menutuk Ting Ling.

Ternyata kedua orang yang turun tangan menolong Ting Ling itu, Han ping dan Pengemis-sakti Cerig To. Han Ping menolong, Cong To menyerang.

Kecuali kedua orang itu yang lain2 karena tak menyangka kalau Ih Thian -heng benar2 akan turun tangan. Maka mereka hanya tertegun dan tak sempat berbuat suatu apa. Bahkan Ting Ko sendiri juga tertegun dan tak menyangka hal itu.

Walau Han Ping bertindak cepat tetapi gerakan Ih Thian-heng itupun lebih cepat dan tenaga-dalam yang dipancarkan pada pukalan itu juga teramat dahsyatnya. Sekalipun dapat dihalangi Han Ping tetapi sisa tenaganya masih dapat menembus dan mengenai tubuh Ting Ling sehingga nona itu gemetar, berguncang lalu rubuh kebelakang….

Ting Ko cepat menghampiri, “Ting-ji. apakah engkau terluka?”dengan tangkas ia menyambuti tubuh putrinya.

Ting Ling batuk2 lalu dengan menahan kesakitan menjawab, “Parah sekali….”

Ca Cu-jing mendengus dingin, “Hm, tak kira kalau….

Ting Ling cepat memberi isyarat tangan, serunya, “Harap kalian jangan bicara.
Dengarkan sampai aku bicara habis. Kalau tidak sia2 aku menderita….

Ia paksakan diri melakukan pernapasan, lalu melanjutkan berkata, “Pemilik makam ini memang ganas sekali. Setelah dapat melalui dua buah rintangan Harta dan Paras cantik, dia sudah mempersiapkan Jalan maut ini. Dia me

manfaatkan terjadinya permusuhan sewaktu melintasi dua macam rintangan tadi, lalu menghendaki agar disini kita saling berbunuhan sendiri. Disitulah letak kelemahan orang, terutama orang persilatan yang paling mengutamakan soal balas dendam. Ih Thian-heng hendak menggunakan kepercayaan yang telah diperolehnya selama memimpin rombongan melintasi kedua buah rintangan tadi, untuk mencelakai orang yang paling ditakutinya —-”

Ting Ling pejamkan mata, menghela napas dan berkata pula, “Tetapi seharusnya dia tak perlu mengatakan hal itu sehingga aku terpaksa harus merangkai dugaan untuk meneropong isi hatinya. Sepandai tupai melompat, sesekali terpeleset juga. Ih Thian-heng lengah memperhitungkan kalau Ting Ling berada disini….”

Berhenti sebenar ia tertawa, “Apabila dia tak terasang kemarahannya dan memukul aku, mungkin saudara2 takkan percaya pada omongan Ting Ling ini.”

Setelah menangkis pukulan Pengemis-sakti Cong To, Ih Thian heng berseru, “Pemilik makam itu berada disekeliling Jalan Maut ini. Dia tentu diam2 sudah mempersiapkan jago2 sakti.

Apabila kita masuk kedalam pintu batu ini, serangan secara terang maupun gelap, tentu akan segera melancar.

Pemilik makam itu hendak menggunakan jalan yang gelap ini untuk membasmi kita.”

Ting Ling berusaha mengangkat kepalanya dari pelukan sang ayah, serunya, “Engkau hendak memancing ikan di air keruh. Engkau lebih dahulu hendak masuk lalu bersembunyi ditempat gelap dan menggunakan kesempatan itu untuk menyerang orang, Dengan kepandaian yang engkau miliki, sudah tentu mudah sekali engkau melaksanakan rencanamu itu….”

Ting Ling tak dapat melanjutkan kata-katanya karena kerongkongannya serasa tersumbat oleh hawa panas.

“Nak, engkau memang terluka berat,” kata Ting Ko lalu menepuk punggung puterinya. Ting Ling batuk dan muntahkan ludah kental campur darah.

“Dengan meminjam tempat yang gelap ini, engkau hendak membunuh orang yang paling engkau takuti,” kata nona itu pula.” setelah itu baru engkau akan menghadapi pemilik makam. Orang yang ikut masuk kedalam ruangan itu tentu tak tahu apa yang telah terjadi.Mereka hanya mengira engkau. Ih Thian heng. benar2 telah menjadi pelopor untuk membuka jalan. Sudah tentu mereka akan

berterima kasih kepadamu. Engkau sudah mengucapkan sumpah yang bagus. Sekalian rombongan patuh mendengar perintahmu. Uh, hebat benar siasatmu itu! Sayang Ting Ling dapat membongkarnya”’

Wajah Ih Thian-heng makin membesi, serunya, “Budak setan, memang benar2 cerdik….” tiba2 pula ia tertawa nyaring, “Sayang masih ada sedikit yang belum
dapat engkau, pikirkan. Keadaan saat ini, sudah serba sukar. Maju, menghadapi Jalan Maut yang belum diketahui bagaimana keadaannya. Mundur pun terbentur jalan ke matian. Ibarat anakpanah sudah direntang pada busur, mau tak mau harus dilepas.”

Ting Ling tertawa, “Jangan coba memaksakan dirimu bersikap tenang. Kutahu hatimu sudah gelisah resah.”

Ih Thian-heng mengangkat tangan kanannya, berseru dingin, “Engkau sudah ibarat seperti lampu kehabisan minyak. Cukup kugerakkan tanganku pelahan-lahan saja, tentu jiwamu sudah melayang.”

Seiring dengan gerakan tangan Ih Thian heng, Han Ping dan Cong Tongpun serempak tampil melindungi di muka Ting Ling.

Ih Thian -heng tertawa, “Tanpa kulepas hantaman, dia toh takkan hidup.” Habis berkata ia terus berputar tubuh dan menyelinap kedalam pintu batu.

Ting Ling tiba2 berdiri dan berkata kepada nya, “Yah, aku hendak pergi.

Dalam pertemuan ini aku belum dapat menunaikan kewajiban bhaktiku kepada ayah tetapi malah menyuruh ayah mengantar kepergianku….”

Serta merta nona itu terus jatuhkan diri berlutut dihadapan ayahnya, “Yah, terimalah hormatku….”

Dalam tempat dan suasana yang seperti itu, berapa ganas hati ketua Lembah Raja-setan Ting Ko, namun tak urung orangtua itu mengucurkan airmata juga. Cepat ia ulurkan kedua tangan dan mengangkat puterinya.

“Ling, engkau terluka dibagian mana?” tanyanya, “lekas beritahu kepada ayahmu. Demi membongkar kelicikan Ih Ihian-heng engkau sampai menderita luka, tentu sekalian orang yang hadir disini takkan tinggal diam. Nak, lekas bilanglah, dibagian mana engkau terluka?”

Ting Ling tertawa rawan, “Tak usah ayah sibuk, aku tahu bagaimana keadaan lukaku…. .” ia berpaling kearah Han Ping. Tampak pemuda itu tengah memandangnya dengan pandang keharuan.

Tiba2 dari dalam pintu batu itu terdengar dua buah bentakan keras dan menyusul gelombang tenaga dahsyat mendampar keluar.

Cong To cepat menghantam dan tenaga dari dalam pintu batu itupun terdampar kembali.

Sejenak Ting Ling memandang kepada rombongan tokoh2 itu. Ia memegang tangan ayahnya dan berdiri. Wajahnya mengerut kesakitan, ia melambai kearah Han Ping, serunya, “Aku sudah hampir mati. Entah apakah engkau mau mendengarkan dua patah pesanku?”

“Silahkan nona bilang, apabila mampu, aku tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksakakan,” kata Han Ping.

Ting Ling mengangguk, katanya, “Engkau harus baik2 merawat adikku si Hong.
. . dia seorang anak perempuan yang tulus dan masih kekanak kanakan….” tiba2 ia batuk dan hentikan ucapannya.

“Jangan kuatir, nona,” kata Han Ping, “nona Hong sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dalam hidupku ini, dia adalah adikku sekandung.”

Berkata Ting LiDg dengan sedih, “Kutahu engkau selalu pegang janji. Dengan memperoleh janjimu itu, aku dapat mati dengan meram….”

Tiba2 darah dalam tubuhnya meluap, menyumbat kerongkongannya sehingga ia tak dapat bernapas. Dan rubuhlah nona itu.

Ting Ko menyambut! tubuh puterinya dengan kedua tangan, “Ling, Ling….”

Tetapi Ting Ling sudah pejamkan mata Wajahnya pucat lesi dan jiwanyapun melayanglah….

“Puteri sakti dari Lembah Setan, bermulut tajam, berotak cerdas, Disohorkan orang sebagai gadis yang licin banyak muslihat.

Tetapi tipu muslihat demi budi kebajikan, kelicinan demi kebaikan,” seru Pengemis-sakti Cong To,”

sayang Tian tak memberinya umur panjang sehingga kematiannya sangat disayangkan sekali.

Aku sipengemis tua Cong To, paling merasa kagum pada orang begini. Harap nona tunggu sebentar, terimalah sembahhormat pengemis tua….”

Tokoh yang menggemparkan dunia parsilatan, to k oh yang mendapat peindahan dari kaum persilatan, saat itu dengan serta merta menjurah dan memberi hormat dihadapan jenazah Ting Ling.

Demikian pula Han Ping. Teringat akan budi kebaikan nona itu, Han Pingpun mengucurkan airmata dan berlutut memberi hormat dalam2, “Nona banyak

melepas budi kepadaku tetapi slama itu aku belum dapat membalas Terimalah hormat Han Ping yang tulus ihklas….”

Sekalian tokoh2 yang lain amat penasaran. Disamping timbullah rasa syukur yang tak terhingga terhadap nona itu yang dalam detik2 terakhir masih memberi peringatan kepada sekalian orang, betapa licik dan jahat siasat hati ih Thian-heng yang sebenarnya terhadap mereka itu.

Sekalian tokoh2 yang ternama dalam dunia persilatan itu serempak menjurah memberi hormat yang terakhir kepada Ting Ling.

Tiba2 ketua lembah Raja-setan Ting Ko tertawa keras, serunya, “Anakku Ling, setelah meninggal engkau mendapat penghormatan dari seluruh tokoh2 persilatan begini rupa, sungguh jauh lebih hebat dari aku. Matimu, Ling, adalah mati yang terhormat, mati yang disayangkan oleh sekalian tokoh persilatan. Engkau akan terkubur dalam hati mereka!”

Kim loji tiba2 menghela napas panjang, serunya, “’Sayang tabib alis panjang itu sudah mati Kalau tidak, mungkin dia tentu dapat menghidupkan engkau.”

tiba2 terdengar suara melengking, “Ah, tak mesti begitu. Apakah didunia ini tak terdapat orang yang lebih pandai dari dia?”

Sekalian orang berpaling kebelakang. Tampak dara baju ungu yang berkerudung muka melangkah masuk dibawah pengawalan dari jago2 Lam-hay- bun Han Ping, Kim loji dan Cong To diam2 girang dan berkata dalam hati, “Ya, benar, mengapa melupakan dia?”

Cepat Han Ping maju selangkah dan berseru gembira, “Sungguh menggirangkan sekali engkau datang Kalau engkau tak datang, aku sungguh….”

“Engkau girang karena aku datang, bukan?” tukas dara baju ungu itu.

“Ya, tentu,” sahut Han Ping.

“Engkau girang karena melihat aku, atau karena kedatanganku ini akan dapat menolong nona Ting “ kata si dara pula.

Han Ping tercengang. Sampai beberapa saat ia tak dapat menjawab.

dara itu terdengar mendesah pelahan lalu perlahan-lahan melangkahkan kaki.
Han Pingpun menghela napas dalam2.

Saat itu nenek Bwe Nio sudah berada disamping Han Ping dan berkata pelahan, “Anak itu memang luar biasa pintarnya. Dalam menghadapi setiap persoalan, cara berpikir, membahas dan menyimpulkan, tak ada seorang

persilatan didunia ini yang mampu menandingi. Tetapi…. ah, betapa pun dia itu
tetap seorang anak perempuan.”

Kembali Han Ping terkesiap. Walaupun mulut diam tetapi hatinya diam2 berkata, “Ah, sudah tentu aku tahu kalau dia seorang anak perempuan masakan….”

Belum sempat ia merenung lebih lanjut, nenek Bwe sudah melanjutkan berkata lagi, “Betapapun pintarnya seorang anak perempuan itu apabila dia itu seorang anak perempuan, tentu masih mempunyai hati cemburu. Terutama terhadap orang yang dicintainya. Memang itulah penyakit dari anak perempuan, apakah engkau sudah mengerti?”

Han Ping tegak seperti patung. Dia memandang seorang pemuda yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengajar ilmu kesaktian agar danpat menuntut balas atas kematian kedua orangtuanya Terhadap pergaulan dengan anak gadis, hampir dikata ia masih hijau.

Tiba di samping Ting Ling, sejenak dara baju ungu mengeliarkan pandang kearah sekalian orang yang mengunjuk rasa sedih atas ke matian Ting Ling.

“Ah apabila aku mati, entah apakah ada orang yang berdukacita seperti itu?”

Kemudian ia berpikir lebih lanjut, “ia seorang anak perempuan, mengapa bisa mendapat perhatian besar dari tokoh2 itu? Karena ia telah mengorbankan diri untuk menolong lain orang. Lalu aku ini?….”

Memang seorang yang cerdik dan cerdas, perasaannya makin keras, pikirannya makin luas. Orang2 begini, memang sukar dirabah hatinya. Dalam banyak hal, memang orang sukar mengerti isi hatinya. Dia seorang manusia yang mempunyai perasaan kuat sehingga dapat menindas perasaan hatinya sendiri.

Mata sekalian tokoh itu mencurah kearah dara baju ungu. Tampak dara itu berjongkok dan memeriksa dada Ting Ling dan pergelangan. tangannya. Lalu membuka kelopak mata nona itu, menengadah memandang keatas dan dara itupun merenung diam.

“Bagaimana, apakah dapat ditolong?” karena tak kuat menahan hatinya, Ting Ko segera bertanya.

Dara baju ungu itu tundukkan kepala dan menghela napas pelahan, “Ah, tiga urat besar sudah berhenti, itu delapan nadi putus. Walaupun mendapat pil dari dewa tetap sukar untuk menolongnya.

Sekalian tokoh terkejut dan terkesiap. Dara baju ungu itu merupakan satu-satunya harapan mereka. Dan keterangan dara itu, membuat lenyap harapan itu…. .

“Tetapi,” tiba2 dara baju ungu itu melanjutkan berkata lagi, “walaupun aku tak berdaya untuk merebut jiwanya tetapi aku mempunyai cara untuk merawat jenazahnya agar tak rusak selama-lamanya. Dengan demikian engkau dapat….”

Tiba2 kata -kata dara itu terputus oleh suara teriakan keras. Serentak tokoh2 itu berpaling. Tampak Han Ping melangkah maju dengan gopoh dan tegang. Ketika berhenti, tubuhnya masih gemetar.

“Ping ji. engkau kenapa “ seru Kim loji terkejut.

Han Ping memandang lekat2 pada tubuh si dara baju ungu dan berserulah ia dengan keras serta tersendat-sendat, “Engkau…. engkau, engkau…. engkau mengapa tak mau menolongnya?

Mengapa hatimu begitu ganas….”

Dara baju ungu tegak; berdiam diri.

‘Eh, saudara, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Pengemis-sakti Cong To, “nona Ting sudah putus jiwanya. Hanya dapat menyalahkan nasib, mengapa engkau menyalahkan orang?”

“bukan begitu!” bentak Han Ping lalu menuding pada dara baju ungu,” karena dia merasa Cemburu, mencemburui nona Ting maka dia tak mau menolongnya.”

Ujung jari dari itupun tampak gemetar, ujar, nya, “Engkau…. sangka aku ini….
orang macam begitu?”

”Benar orang semacam itu atau tidak, hanya engkau sendiri yang tahu. Asal tiap malam engkau merenung dan merasa hari itu tak berbuat sesuatu yang menyalahi orang, orang tentu takkan dapat berbuat apa2 terhadapmu “

Tampak sekalian tokoh mengerut dahi. Mereka bersangsi dan kesangsian itu jatuh pada diri si dara baju ungu.

“Ji Han Ping!” seru nenek Bwe dengan bengis, mengapa seenakmu saja engkau berani menghina anakku ‘

Tetapi diam2 nenek itupun sudah tahu akan watak si dara yang angkuh dan keras kepala. Diam ia sendiripun juga mempunyai setitik kesangsian. Maka walaupun menyemprot Han Ping dengan keras tetapi nadanya tidak marah.

Ting Ko berbangkit, serunya, “Nona, asal engkau dapat menghidupkan anakku ini, apapun yang hendak engkau perintahkan, aku ketua Lembah Raja-setan akan menurut perintahmu untuk selama-lamanya…. .”

Tubuh dara baju unga itu gemetar. Kain kerudung yang menutupi mukanyapun ikut berguncang ketika ia menjawab, “Apakah kalian mengira aku dapat menolongnya?”

Sekalian tokoh tak menjawab. Diam mereka mengakui pernyataan dara itu.

Tiba2 dara itu menengadahkan muka dan tertawa nyaring, “Mengapa aku harus menghidupkan dia? Mengapa yang lain orang tak mampu melakukan, kalian suruh aku mengerjakan? Kalau aKu tak mampu, kalian terus menuduh aku berhati iri dan cemburu, berhati kejam dan ganas….”

Mendengar itu sekalian tokoh terkesiap. Tampak dara itu terus menerus tertawa sampai pada akhirnya ia terkulai rubuh.

Nenek Bwe Nio terkejut. Cepat ia memeluk tubuh dara itu.

“Ai…. engkau…. kenapa…. ah….”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar