Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 10

Jilid 10

PERTEMPURAN dilanjutkan diluar kamar, didalam pekarangan, Lie Hong Kiat dikurung, tetapi selang belasan jurus kemudian, tiba-tiba satu tubuh orang mencelat naik keatas genteng.

“Dia kabur! Dia kabur!“ begitu seruannya Cie Kiang.

Atas ini, beberapa orang turut mencelat naik keatas genteng, sedang yang lain-lain segera memburu kepintu, untuk lari keluar hotel.

Dijalan besar ada berkumpul banyak orang, diantaranya ada tamu-tamu hotel yang pada menyingkir keluar.

“Ke Barat, dia kabur ke Barat!“ begitu suara orang memberi keterangan.

Mirip sebagai pemimpin, Ah Loan lari mengejar kearah Barat belasan kawannya mengikuti. Tapi Cie Kiang masuk kembali kehotel, terus kedalam kamar. Ia telah minta api untuk menyuluhi kamar. Tidak ada Hong Kiat disitu, hanya ada enam orang yang rubuh terluka, diantaranya ada Biau Cie Eng yang dadanya tembus, darahnya meleleh keluar, napasnya sudah berhenti jalan.

Tak dapat dicegah lagi, Cie Kiang menangis melihat kebinasaannya sutee itu.

Cie Wan juga turut menangis, ketika ia susul saudaranya itu masuk dan lihat mayatnya Cie Eng, tetapi ia masih bisa kuati hati, untuk bujuki Cie Kiang.

Korban-korban lainnya ada orang-orang piautiam, yang lukanya tidak sampai meminta jiwa.

Cie Kiang banting-banting kaki, air matanya terus menetes keluar.

“Sungguh tidak dinyana,” kata dia ini, yang sangat menyesal, “tadi Biau Sutee susul aku ke Hu-peng, sekarang dia binasa secara begini kecewa. Sakit hati ini mesti dibalas!”

Beberapa pegawai tidak ikut Ah Loan, mereka ini lantas diperintah cari kereta buat angkut semua saudara yang luka itu serta mayatnya Cie Eng juga, dibawa pulang lebih dahulu.

Tidak antara lama Ah Loan kembali bersama Wan Cie Hiap, Kim Cie Yong, Thio Cie Liong dan yang lain-lain. Mereka telah mengejar, sehingga belasan lie, namun mereka gagal, entah dimana sembunyinya musuh  itu. Kapan mereka dengar hal kematiannya Cie Eng, ada yang menangis, ada yang bacoki tanah, bahna sengitnya, ada yang sumpah akan akan menuntut balas.

Ah Loan dalam mendongkolnya sesalkan orang banyak. “Dasar kau semua!“ katanya. “Mengapa kau meluruk tidak keruan? Kalau siang orang banyak ada harganya, tetapi diwaktu malam, cuma-cuma menambah kekalutan. Kalau tadi biarkan aku tempur dia satu sama satu, aku percaya dia tak akan dapat kabur meloloskan diri!”

“Sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut pula,” kata Cie Wan sambil menghela napas. “Mari kita periksa pula, orang she Lie itu ada tinggalkan apa dalam kamarnya ...”

Cie Wan bawa lentera, ia masuk bersama Cie Liong.

Lie Hong Kiat kena bikin ketinggalan bungkusannya yang terisi banyak uang, uang perak dan uang kertas, jumlahnya semua seratus tail lebih. Yang lainnya ada beberapa potong pakaian, pit, bak dan bak-hie, juga serangka pedang serta beberapa jilid kitab serta segulung syair.

Cie Liong mengerti surat, ia balik-balik beberapa kitab dan segulung syair itu.

“Aku tahu sekarang!“ ia berkata. “ia bernama Lie Hong Kiat, asal dari Lamkiong, Tit-lee. Sekarang ia baru berumur dua-puluh tahun, ia ada siucay yang kejeblos ditengah jalan. Gurunya adalah Tong ... aya! ... Siok Tiong Liong! Lihat syairnya ini, syair perpisahan dengan gurunya dikota raja, dipermulaannya ada ditulis ... ‘Dahulu di See Siok  ada rebah Go Liong ...”

Mendengar itu, Kat Cie Kiang ternganga, tapi lekas ia manggut-manggut, katanya : “Siok Tiong Liong, si Naga Sucoan, adalah Tong Ceng Gan. Aku dengar kabar dia sudah meninggal dunia, kenapa dia bisa ada dikota raja? Kenapa dia dapatkan murid semacam ini? ... “

“Siapa itu Siok Tiong Liong?” Ah Loan tanya.

Cie Kiang menghela napas pula, ia ada sangat berduka. “Siok Tiong Liong Tong Ceng Gan ada satu hiap-kek dari tigapuluh tahun yang lampau,” ia  beri keterangan. “Bersama Liong Bun Hiap Kie Kun Ie, dialah yang dinamakan Lam Pak Jie Liong, Dua Naga dan Selatan dan Utara, atau Lam Pak Jie Ciat. Dua Orang Luar Biasa dari Selatan dan Utara.”

Ah Loan lantas saja tertawa dingin.

“Sudah, jangan perdulikan dia ada murid siapa!“ kata nona ini. “Sekarang aku hendak berdiam dihotel ini buat tunggui dia. Jikalau dia berani datang, aku akan bunuh padanya! Jikalau dia tidak datang, besok aku cari dia diempat penjuru, atau kalau dalam tempo tiga hari dia tetap tidak dapat diketemukan, aku hendak susul dia dirumahnya di Lam-kiong, Tit-lee!”

Cie Kiang setujui pikinannya keponakan perempuan ini. “Baiklah,” katanya, yang terus tinggalkan Wan Cie Hiap

dan Tio Cie Liong serta sepuluh pegawai piautiam, ia sendiri bersama yang lainnya lantas pulang kekota.

Malam itu, kecuali dihotel Kit Siang itu, diluar dan didalam kota tidak ada terjadi onar lainnya. Hanya besoknya siang, seluruh kota See-an jadi gempar, disana- sini tersiar ceritera sebagai beriikut :

“Kota See-an telah kedatangan muridny Siok Tiong Liong yang bernama Lie Hong Kiat, Kun Lun Pay lantas nampak kerugian! Kat Cie Kiang berikut cucu perempuan dari Pau Loo-kausu semua telah dibikin tidak berdaya! Seorang diri pemuda she Lie itu sudah tempur dua-puluh orang lebih, diantaranya ada beberapa yang kena dibikin rubuh, tetapi pemuda itu dapat angkat kaki dengan merdeka.” Dalam satu hari saja, di tempat sekitarnya seratus lie, tidak ada orang yang tidak dengar kejadian yang menggemparkan itu, terutama dikalangan piau-tiam, maka dari kalangan ini lantas ada orang-orang yang sambangi Biau Cie Eng, untuk sampaikan hormat penghabisan, buat sekalian nyatakan apabila perlu, mereka suka berikan bantuannya. Namun sebenarnya mereka sendiri jerih, tidak ada yang berani tanam bibit permusuhan dengan Lie Hong Kiat.

Jenazahnya Biau Cie Eng telah dikirim dikuil  Tay Pie Sie didalam kota.

Ah Loan dan rombongannya tetap menantikan dihotel Kit Siang.

Kat Cie Kiang ada berduka dan  berdongkol setiap hari, ia kirim orang kesegala penjuru guna cari Lie Hong Kiat, dia-pun kirim kabar ke Han-tiong, ke Tin-pa dan ke Cie- yang.

Dihari ketiga, didalam kuil Tay Pie Sie dibikin upacara sembahyang untuk rohnya Biau Cie Eng, itu waktu ada datang banyak tamu dari Kwan-tiong guru-guru silat dan piausu. Selagi upacara berjalan, Kat Cie Kiang sudah angkat bicara, “Orang-orang Kun Lun Pay telah hidup dikalangan kang-ou lamanya tiga-atau empat puluh tahun, selama itu belum pernah kita kena orang hinakan, tetapi sekarang telah terjadi hal ini, kita tidak bisa bilang suatu apa kecuali, biar bagaimana kita akan cari dan bekuk Lie Hong Kiat itu, guna balaskan orang yang telah dibinasakan olehnya! Dalam hal ini kita tidak akan hiraukan Lie Hong Kiat ada orang dari golongan mana atau-pun murid siapa juga! Saudara-saudara adalah sahabat-sahabatku dari banyak tahun, walau kita bukan dari satu kalangan, maka itu sekarang aku mohon bantuan saudara-saudara sekalian untuk lenyapkan penasaran dari kita orang-orang yang meyakinkan ilmu silat!”

Mendengar itu, semua tamu telah janjkan bantuannya, diantaranya ada yang sambil angkat sumpah.

Kemudian upacata dilanjutkan, sehingga pendeta- pendeta telah selesai liamkeng, barulah tamu-tamu bubaran.

Kat Cie Kiang telah minum beberapa cawan arak, ia merasakan tubuhnya panas, hingga hatinya jadi panas juga. Ia bertindak keluar dari kuil, ia  naik keretanya. Ia-pun berpikir: “Kapan aku, Kian-too Gin pian Tiat Pa Ong pernah dapat kehinaan semacam ini? Sudah sepuluh tahun sehingga kini, aku yakinkan sungguh-sungguh ilmu silat untuk hadapi Kang Siau Hoo, tak di sangka selagi Kang Siau Hoo tidak datang, Kie Kong Kiat juga tidak kelihatan. Sekarang muncul Lie Hong Kiat ini! Kalau dalam kalangan kang-ou orang antap manusia rendah ini menjagoi, sunguh kaum Kun Lun Pay menjadi, tidak berdaya! Maka aku sumpah akan lampiaskan penasaran ini!“

Cie Kiang naik kereta yang ditarik keledai,  dimalam yang gelap itu ia melihat beberapa gang kecil, sesudah sekian lama barulah ia sampai dipiau-tiamnya. Begitu ia bertindak masuk, Cie Tiong keluar memapaki.

“Liok Su-ko, mari masuk!“ kata sutee she Lou itu. Cie Kiang bertindak masuk kekantornya.

“Cin Tek Gok dan Hoa Ciu Piau  Tiam tadi datang kemari,” Lou Cie Tiong beri tahu, “sekarang dia berdiam dihotel Thio Kee Tiam. Dia kata bahwa Kie Kong Kiat sudah sampai didistrik Leng-po. Dia itu benar ada satu pemuda cakap dam gagah, Bugeenya liehay. Maka itu, Suko, kenapa kita tidak mau kinim orang mengundang padanya supaya ia bantu kita?“ Mendengar demikian, Kat Cie Kiang menggeleng kepala.

“Sutee, dalam Kun Lun Pay kita sekarang ini, adalah melainkan kau dan aku serta peraudaraan Liong yang menjadi kesayangannya suhu, maka kenapa kau mendadak jadi berhati kecil sebagai ini?”

“Bukannya aku berhati kecil, Suko,” Cie Liong terangkan. “Hanya aku merasa, murid-muridnya  Siok Tiong Liong dan Liong Bun hiap bukanlah tandingan kita kaum Kun Lun Pay ...”

Tetapi Kat Cie Kiang jadi mendongkol.

“Walau-pun kita bukan tandingan mereka, kita toh mesti berkelahi, secara mati-matian!” kata ia dengan sengit. “Kalau tidak demikian, murid-murid dan cucu murid Kun Lun Pay semua jangan harap akan dapat hidup pula dalam kalangan kangouw!“

Bahna mendongkolnya, Cie Kiang lantas ngeloyor keluar dari kantornya, akan pergi kepekarangan dalam dimana ada tiga buah kamar, yang Barat ada kamar anak dan  mantunya, karena waktu itu jadi terang dengan cahaya api. Kamarnya sendiri adalah kamar Timur. Sudah sejak dua puluh tahun ia tidur misah dari anak dan iterinya, maka itu, selama ia tidak ada didalam kamarnya, siapa juga tidak berani memasuki kamarnya itu. Dengan masih mendongkol Cie Kiang menuju kekamarnya itu. Baru saja ia ulur tangannya menarik daun pintu, tiba-tiba ia dengar suara didalam kamar, hingga ia terkejut sekali. Segera ia mundur tiga empat tindak.

“Siapa?“ ia menegur.

Jawaban pertama yang terdengar adalah suara tertawa yang pelahan, kemudian menyusul suara penyahutan  : “Aku adalah Lie Hong Kiat!” Cie Kiang bertambah kaget dan heran. Karena ini, seketika juga lenyaplah pengaruh air kata-kata dari kepalanya Ia segera lari kekamar Utara untuk ambil goloknya, kemudian ia lari balik.

Itu waktu, Lie Hong Kiat sudah berdiri diatas rumah, ia perdengarkan tertawa menghina.

“Sahabat, kau jangan pergi dahulu!“ membentak Kat Cie Kiang sambil dengan goloknya ia menuding.

“Baik, aku tidak nanti pergi!“ sahut Lie Hong Kiat, kembali sambil tertawa. “Kau ada mempunyai urusan apa?“

“Sahabat, apakah kau berani turun kemari?“ Cie Kiang tanya.

“Turun ya turun!“ sahut Hong Kiat, yang benar-benar sudah lantas loncat turun. Di depan dadanya ada cahaya berkeredepan, itu adalah pedangnya untuk melindungi dirinya.

Cie Kiang mundur beberapa tindak.

“Kita belum kenal satu pada lain, kita juga tidak pernah bermusuhan, kenapa kau terlalu menghina aku?“ Cie Kiang menegur.

“Belum pernah aku hinakan kau, adalah pihakmu yang tanpa sebab telah menghina aku!” Lie Hong Kiat membaliki. “Di Tay Gan Tah anakmu sudah permainkan aku dengan tantangannya, karena itu aku telah lukai padanya.”

“Kau sebenarnya siapa, sahabat?”

“Tak perlu kau tanya itu,“ Hong Kiat jawab, “Kita bukannya sahabat satu degan lain, tak ada perlunya aku beritahukan hal ikhwalku kepadamu ...” Cie Kiang tertawa menyindir.

“Tetapi ... “ kata ia, yang terus maju satu tindak, sikapnya jadi sangat jumawa, “Kau saharusnya dengar- dengar tentang namaku Kat Cie Kiang, perihal pengaruh kita kaum Kun Lun Pay! Dan guruku, Pau Cin Hui, sampai sekarang masih ada dalam dunia! Pada beberapa  tahun yang lalu, orang gagah nomor satu dari Sucoan Utara, yaitu Long Tong Hiap Cie Kie, telah rubuh ditangannya guruku! Bugeemu memang tidak dapat dicela, akan tetapi apakah kau dapat dibandingkan dengan Long Tiong Hiap? Apa yang terjadi disegera akan sampai dikupingnya guruku itu, apabila dia sudah mendapat tahu, pasti dia akan jadi sangat gusar. Sekarang mari kita omong terus terang. Aku tidak ingin tanan bibit permusuhan orang-orang kang-ou, maka itu, sekali-pun kau telah lukai anakku dan binasakan juga tidak niat celakai padamu! Sekarang aku nasihatkan, lekas kau berlalu dari sini dan selanjutnya, jangan kau datang pula ke Kwan-tiong!”

“Tutup mulutmu!” berseru Lie Hong Kiat. “Dengan omongan besar kau hendak gertak aku? Hm! Dimataku tidak ada Pau Cin Hui, tidak ada Kun Lun Pay! Jikalau kau hendak bertempur, mari kita bertempur, aku Lie Hong Kiat pasti tidak akan menampik! Aku datang kemari  untuk pesiar, selama aku masih belum niat berlalui dari sini, siapa juga tak dapat mengusir aku!”

Cie Kiang menjadi meluap kemurkaannya.

“Oh! oh!” ia berseru, “Aku telah berikan satu jalan hidup bagimu, bukannya kau menyingkir, sebaliknya kau berani menghina guruku?”

Setelah berkata begitu, Cie Kiang maju dengan bacokannya. Lie Hong Kiat tangkis bacokan itu, hingga golok dan pedang jadi beradu degnan keras dan menerbitkan suara yang nyaring dan berisik.

Sebentar saja mereka telah berhantam empat-lima gebrak. Justeru itu dari depan lari masuk satu orang, siapa dengan goloknya, sudah tahan gerakan pedangnya si orang she Lie sambil berseru. “Tahan! Jangan bertempur dulu!”

Lie Hong Kiat tahan pedangnya. “Kau siapa?” tanya ia. “Aku  Lou  Cie  Tiong!” sahut  orang itu, “Aku-pun   ada

orang  dari  lain  tempat  yang  datang  kemari!  Kau  berdua

jangan bertarung dulu, mari kita bicara dengan sabar!” Cie Kiang ada sangat gusar hingga ia berjingkrak.

“Sutee, apakah yang hendak dibicarakan lagi?” ia tanya dengan seruannya. “Aku telah berkan dia satu jalan hidup, supaya dia angkat laki dari Kwan-tiong, tetapi dia tidak mau pergi! Sudah terang dia hendak jadi musuh dari pihak Kun Lun Pay kita!”

“Ya, kau inginkan aku berlalu dari sini, supaya terhadap orang banyak kau boleh sesumbar bahwa aku Lie  Hong Kiat jerih akan pegaruhmu!” kata ia, “Dengan begitu kau hendak lindungi muka terangmu. Tapi hal tidak sedemikian gampang! Hal itu baru terjadi jikalau diantara kau disini ada yang mampu layani pedang ditanganku ini!”

Kat Cie Kiang banting-banting kaki saking mendongkolnya.

“Baik!” dia berseru dan segera ia menyerang. Hong Kiat-pun melayaninya.

Baru satu gebrakan, Cie Tiong sudah nyelak pula.

“Sabar!” kata orang she Lou in. “Sekali-pun piebu, itu tak dapat dilakukan diwaktu malam gelap-petang seperti ini! Baiklah dipilih suatu hari diwaktu mana-pun ada diundang sahabat-sahabat dari kedua pihak untuk menyaksikan!”

“Aku setuju dengan usulmu!” sahut Lie Hong Kiat. “Terapi disini aku tidak punya sahabat, aku tak membutuhkan itu! Perihal harinya kau ada merdeka untuk memilihnya sendiri!”

“Bagaimana kalau besok?” Cie Tiong tanya. “Akur! Dimana dilakukannya?” tanya Hong Kiat.

“Dikota Timur, dua puluh lie, dijembatan sehabisnya

bersantap pagi!” terangkan Lou Cie Tiong. “Kau setuju?”

“Baik!” jawab Lie Hong Kiat. “Sesukamu berapa banyak orang kau hendak bawa, mereka boleh nonton saja atau membantui! Aku hanya berdua dengan pedangku ini!”

Setelah mengucap demikian, dengan gagah Lie Hong Kiat bertindak keluar.

Kat Cie Kiang masih panas, ia hendak menyusul, tapi Cie Tiong mencegahnya.

“Sabar, suheng!” kata sutee ini, yang terus melemparkan goloknya, kemudian ia antar Lie Hong Kiat keluar, tapi sampai dipintu ia kata pada temannya yang istimewa itu; “Saudara Lie, aku ingin bicara pula sedikit denganmu ...”

Lie Hong Kiat balik tubuhnya, dengan begitu ia lihat orang tidak bersenjata. Ia lantas saja masukkan pedangnya kedalam sarungnya.

“Sekali-pun kau telah lukai dan binasakan saudara kita, karena perkara ada sebab musababnya pada kedua pihak, janganlah ini menyebabkan permusuhan yang terlebih hebat,” Cie Tiong berkata. “Karena itu, kalau besok kita piebu di Pa Kio, aku minta kau,  saudara Lie, suka memandang sedikit ...”

Lie Hong Kiat bersenyum.

“Didalam hal ini, lihat saja sikapya mereka besok,” ia menahut. “Aku Lie Hong Kiat tidak nanti berlaku keterlaluan!”

Dipunggungnya Hong Kiat sekarang ada tergendol pula buntalannya, yang baru tadi ia ambil pulang dan kamarnya Kat Cie Kiang. Ia menuju ke Utara.

Lou Cie Tiong-pun kembali pula. Ia lihat cahaya api dikamar Timur dimana Cie Kiang sedang duduk dalam kemurkaan.

“Kenapa kau biarkan Lie Hong Kiat pergi?” suheng ini menegur. “Apakah bisa jadi dua golok kita tidak mampu lawan sebilah pedang daripadanya?”

Cie Tiong hunjuk kesabaran luar biasa ketika ia jawab suheng itu: “Didalam hotel Kit Tiang di Say-kwan, belasan orang masih bukannya tandingannya, maka sekarang apa kita berdua bisa kalahkan padanya? Suheng juga perlu ingat, kita berada dirumah kita, ada jelek sekali apabila kita menyebabkan orang-orang perempuan kaget dan ketakutan. Apalagi kalau dia dapat kalahkan kita, itu akan memalukan kita, dan apabila kita dapat rubuhkan dia, akibatnya kita bisa mengagetkan pembesar negeri ...”

“Aku tidak takut pembesar negeri campur perkara ini!” kata Cie Kiang dalam sengitnya.

“Tetapi ingat, suheng, kita tak membutuhkau pengaruhnya pembesar negeri untuk menghina seorang asing,” Ce Tiong jelaskan pula. “Tentang piebu besok, suheng jangan campur tahu, teruama kau tidak boleh beritahukan pada Ah Loan. Besok aku akan pergi seorang diri ke Pa Kio, disana aku nanti angkat derajatnya kita kaum Kun Lun Pay!”

“Lebih baik kita undang terlebih dulu banyak sahabat,” kata Cie Kiang. “Biarlah aku turun tangan terlebih dahulu, kalau sudah ternyata aku tidak berdaya, lalu kau yang gantikan aku!”

Setelah berkata begitu, Cie Kiang menghela napas panjang untuk melegakan hatinya.

Cie Tiong tidak mau adu bicara, ia tingggalkan suheng itu, siapa terus tutup pintu dan naik tidur.

Besoknya pagi Cie Kiang segera bersiap. Disatu pihak ia kirim berbagai undangan dan guru silat, dilam pihak ia perintah lekas sajikan barang-barang hidangan guna satu perjamuan.

Tidak selang lama datanglah Nio Cin dan Tay Hok Piau Tiam, Thia Hong San dan Tiong San Piau Tiam, Han Pa dari Kwan Tiong Piau Tiam, Cin Tek Giok dari Hoa Ciu Piau Tiam dan guru silat Hay loohou Thio Pat si Harimau Buta dari Pat-kwa-kun Bang Im. Lou Cie Tiong telah datang bersama Kim Cie Yong.

Cie Kiang buka perjamuan dengan tuturkan kedatangannya Lie Hong Kiat semalam hinga diadakan perjanjian piebu sebentar di Pa Kio, jembatan diluar kola Timur.

“Mari kita pergi semua!” kata Thia Hong San sambil gebrak meja. “Aku ingin sekali lihat dia itu orang macam apa! Kita mesti bikin dia mampus! Luka saja, apa pula luka enteng, tidak ada artinya! Kalau terjadi perkara jiwa, biar aku yang tanggung!”

Hayloo-hou Thio Pat lompat berjingkrak. “Sebentar dangan cu-wie turun tangan lebih dulu,” kata ia ... “Biar aku sendiri yang layani padanya! Baru tadi malam aku pulang dari disrik Bu-kong, maksudku yang terutama adalah untuk tandingi binatang itu guna melampiaskan kemendongkolannya saudara-saudara kita di Kwantiong ini!“

Tapi Lou Cie Tiong ulap-ulapkan tangannya.

“Sabar, saudara-saudara, jangan sampai kita bertindak demikian,” katanya. “Tadi malam kita janji untuk piebu sampai hanya kita dapat rubuhkan padanya hingga dia menyerah kalah, tidak usah kita membinasakannya, untuk menghindarkan dendam terlebih hebat. Aku dengar dia ada muridnya Siok Tiong Liong.”

“Saudara-saudara, apa yang Lou Toako katakan benar semua adanya,” Cin Tek Giok dari Hon Ciu Piau Tiam turut bicara. “Sekarang ini kita kaum piausu dari Kwantiong jangan coba terbitkan permusuhan-permusuhan baru dengan orang lain daerah. Kie Kong Kiat  sudah sampai di Leng-po, mungkin dua atau tiga hari lagi dia  akan sudah smpai di Kwan-tiong. Menurut pendengaran diluaran, dia katanya sangat tidak puas terhadap kita kaum piausu dari Kwan-tiong, katanya kita sudah menjagoi sorang diri dikalangan kang-ou, bahwa kita sudah perhina orang-orang dari lain propinsi. Maka umpama sehenar kita dapat lukai Lie Hong Kiat di Pa Kio, siapa tahu Ke Kong Kiat nanti datang untuk tuduh kita dan ia lantas menjadi pembela dari ketidak-adilan? Yang satu muridnya Siok Tiong Liong, yang lain ada cucunya Liong Bun Hiap, mereka berdua tentunya kenal satu sama lain!”

Kata-kata Cin Tek Giok ini menyebabkan Cie Kiang menjadi lemas, maka tidak usah disebutkan lagi yang lain- lainnya, kecuali si Harimau Buta Thio Pat, yang agaknya tidak jerih, dengan jebikan bibir dia kata: “Apa sih Kiat? Tidak perduli siapa yang datang, aku nanti bacok dia, sehingga kutung dua!”

Meski begitu, perjamuan terus berlanjut, sampai Cie Kiang tutup itu, sesudah mana, orang semua keluar dari piautiam hingga mereka memenuhi jalan besar di depan piautiam itu, karena mereka ada yang naik kereta, ada yang tunggang kuda.

Kat Cie Kiang naik atas kuda hitamnya yang besar, dan Lou Cie Tiong atas kuda putihnya, untuk jalan yang  terdepan.

Kim Cie Yong turut dalam rombongan ini tetapi waktu ia keluar dan pintu, lebih dahulu ia kisiki satu pegawai piautiam.

Demikian rombongan itu menuju ke Timur.

Orang banyak telah menyksikan dipinggir jalan, umumnya mereka lantas dapat tahu bahwa “Kat Liok-ya, dengan undang banyak piausu dan guru silat yang kenamaan hendak pergi piebu di Pak Kio.”

Rombongan itu keluar dari pintu kota Timur, setelah lewat Sip-lie-pou, lagi selang sepuluh lie lantas mereka sudah sampai di Pa Kio, Kwaa-tiong punya  salah satu tempat yang tersohor indah. Disitu ada melintang sungai Pa Hoo yang lebar, airnya tidak dalam tetapi bening sekali, menarik hati untuk dipandang. Dikedua tepi dimana ada gili atau galengan ada ditanam pohon-pohon yangliu dengan daunnya yang hijau, yang menambah keindahan. Ditengh kali itu melintang jembatan yang lebar dan panjang beberapa puluh tumbak. Dikedua ujung jembatan, Timur dan Barat, ada dipasangi masing-masing sebuah pay yang tinggi dan besar. Dikedua gili-gili, kecuali rumah-rumah penduduk, ada sawah ladang. Pusat penduduk, adanya disebelah timur, yang dipanggil Pa-kio-tin. Didalam rombongan. Lou Cie Tong adalah yang maju dimuka, terpisahnya dengan rombongannya kira-kira setengah lie. Ketika ia sampai dikepala jembatan, Lie Hong Kiat sudah menantikan sambil mencekal pedangnya. Ia lantas turun dari kudanya, sesudah tambat binatang itu disebuah pohon yangliu, ia maju menghampiri, dengan kedua tangan dirangkap dan diangkat kedadanya, ia terus saja hunjuk hormat.

“Kau telah sampai terlebih dahulu, saudara Lie,” ia menegur.

Lie Hong Kiat balas hormat itu lalu ia memandang kearah rombongan.

“Jumlah yang bukan sedikit!“ kata ia sambil bersenyum. “Sekali-pun     jumlah     mereka     banyak,     yang    akan

bertempur kepadamu adalah aku sendiri, saudara Lie,” Cie Tiong   terangkan.   “Sahabat-sahabatku   itu   datang  untuk

menyaksikan saja. Yang kita maksudkan sekarang ini ada kepandaian aseli, bugee sejati bukannya segala ilmu-ilmu licin atau senjata-senjata rahasia untuk mencelakai satu dengan lain ...”

“Belum pernah aku gunakan senjata rahasia, melainkan pedangku ini,” Lie Hong Kiat beri kepastian.

Selagi   mereka   ini   bicara,   rombongan telah datang semakin dekat.

Cin Tek Giok loncat turun dari kudanya, ia datang menghampirkan, ia terus beri hormat pada Lie Kong Kiat.

“Apakah saudara yang bernama Lie Hong Kiat?“ tanya dia.

Hong Kiat membatas homat secara manggut. “Kau sendiri, saudara, apa she dan namamu yang mulia?“ ia balik tanya.

“Aku Cin Tek Giok,” sahut piausu itu. “Lie Cin Hap dan Hoa-ciu adalah ayah-mertuaku. Maksudku datang kemari ada untuk coba damaikan kedua pihak. Oleh karena kita sama-sama ada orang kangouw, hal apa juga aku harap bisa diurus dengan kata-kata, tak usah itu mesti menyebabkan pertempuran yang memutuskan, hingga kesudahannya melainkan tertanamkan bibit permusuhan yang besar ...”

Rombongannya Kat Cie Kiang-pun telah sampai. “Sekarang aku mohon sahabat-sahabat dan  ke dua pihak

suka berikan  muka  padaku!“ Cin  Tek Giok segera berkata,

dengan suara nyaring. Ia-pun angkat tinggi  tangannya. “Aku minta supaya kedua pihak tidak lantas geraki senjata, karena ilmu silat sejati adalah kaki dan tangan! Tempat disini ada luas, sangat cocok sekali. Aku ingin menyaksikan, siapa tidak berlaku jujur, dia bukanlah sahabat kita, dia bukannya satu laki-laki.”

Han Pa dan Nio Cin setuju usul ini, tetapi tidak demikian dengan Thia Hong San dan Thio Pat, mereka ini sudah hunus senjatanya, mendengar demikian, mereka jadi tidak puas.

Lou Cie Tiong tidak sia-siakan tempo, segera ia perdengarkan suaranya.

“Bagus, bagus,” ia menyatakan. “Tadi malam akulah yang janji kepada saudara Lie untuk piebu disini, maka sekarang akulah yang minta ia suka berikan  pengajaran lebih dahulu.

Sementara itu da”ri sebelah Timur jembantan ada datang sejumlah petani dan orang-orang yang hendak menonton. Lie Hong Kiat terima baik tantangan itu, ia  letaki pedangnya, ia gulung tangan bajunya. Cie Tiong juga lantas bersiap.

Sesudah itu, kedua pihak lain jalan berputar satu putaran, setelah mana, Lie Hong Kiat mulai maju dengan serangannya.

Lou Cie Tiong egoskan tubuh, sebelah tangannya menangkis, guna lindungkan diri, sebelah kakinya maju, disusul oleh jotosannya selaku pembalasan.

Dengan tangan kirinya Lie Hong Kiat tangkis serangan pembalasan itu berbareng dengan itu ia loncat kesamping orang, buat terus hajar punggungnya lawan.

Lou Cie Tiong ulur tangan kirinya sambil putar sedikit tubuhnya, ia sambuti serangan itu, pula mencoba menyekalnya lengan lawan yang kanan, sesudah mana ia menarik dengan keras.

Lie Hong Kiat seperti biarkan tangan kanannya itu ditarik, kedua kakinya berdiri tegak, tubuhnya tidak bergeming, walau-pun demikian, dengan gesit ia lekas tarik pulang tangannya itu, untuk dilain saat ia-pun balas menyerang.

Secara demikian, kedua pihak jadi saling serang. Beberapa kali mereka terpisah, akan jalan putar-putaran pula.

Segera juga Lou Cie Tiong dapat kenyataan, ilmu silatnya Lie Hong Kiat adalah dari pihak Lwee-kee, ahli dalam, yang utamakan kelemasan tubuh, yang tenaganya kebanyakan ada tenaga pinjaman dari lawan, karena ini ia jadi berhati-hati lebih banyak berkelit dan mundur, meski- pun sewaktu-waktu ia-pun balas menyerang dengan tipu- tipu silat Kun Lun Pay. Cie Tiong masih saja mundur sampai mendekati tepi kali, dibawah pohon yangliu. Lie Hong Kiat sebaliknya mendesak, satu tindak dengan satu tindak. Muridnya Siok Tiong Liong ini hunjuk sikap mantap.

Thia Hong San sudah menyaksikan pertempuran itu sekian lama, ia merasa sangat tidak puas dengan sikapnya Lou Cie Tiong.

“Sungguh Lou Cie Tiong bikin Kun Lun  Pay  malu?“ kata ia, yang terus saja lemparkan goloknya dan lompat, akan maju menghampirkan kawannya itu.

Ketika itu Lie Hong Kiat sudah mendesak sangat dekat, hingga ia bisa turunkan kepalan kirinya yang berat akan  hajar kepala lawan. Tetapi Lou Cie Tiong bisa berkelit dengan sebat, akan loloskan diri, ia menyingkir kesebelah kanan, sambil mendek diri sebelah kakinya menyapu. ini gerakan yang liehay, yang berbahaya untuk musuh.

Lie Hong Kiat lihat gerakan musuh. Ia angkat kedua kakinya, akan kasih lewat sapuan itu, tapi disebelah itu kedua tangannya merupakan kepalan, yang terus menyerang musuh.

Ce Tiong lihat bahaya, ia angkat kedua tangannya mengelakkan dua kepalan itu. Ia berhasil mencekal kedua tangan lawannya.

“Bagus!“ bersera Cin Tek Giok, yang kagum menyaksikan pertandingan itu.

Justeru itu Thia Hong San sudah datang dekat, ia anggap ini ada ketika paling baik selagi kedua tangan  musuh pegang memegang dengan Cie Tiong. Tidak tempo lagi ia angkat sebelah kakinya dan dupak orang she Lie itu, yang belakangnya menghadapi dia. Lie Hong Kiat lihat orang maju, ia loloskan tangan kanannya, buat berbalik cekal lengan kanan Cie Tiong, justeru tendangannya Hong San sampai, ia egos tubuhnya, hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.

Lou Cie Tiong lihat kawannya maju membokong, ia jadi sangat sengit.

“Minggir!” ia membentak.

Sementara itu, Lie Hong Kiat yang licin sudah bisa lepaskan juga tangannya yang kiri, hingga dengan kedua tangannya yang-pun pandai meminjam tenaga musuh, ia bisa angkat tubuhnya Cie Tiong dilemparkan sampai jauhnya dua tindak. Meski-pun demikian, orang she Lou itu tidak jatuh rubuh.

Melihat demikian, Hong Kiat lompat maju, akan mendesak pula, kedua kepalannya menyerang dengan cepat saling susul, karena mana, selagi CieTiong repot membetulkan diri, kepalan kanan lawan telah mengenai tubuhnya, sampai ia mesti mundur dua tindak syukur ia cuma sempoyongan dan tidak rubuh terguling.

Tatkala itu Hong San maju pula, maka sekarang Lie Hong Kiat dapat ketika akan layani pembokong ini. Ia tidak ambil tempo lama akan presen satu tinju pada dadanya piausu itu, yang umurnya sudah lanjut. hingga serangan itu kontan membuat ia rubuh terjengkang.

Cie Kiang sementara itu sudah maju, malah ia telah lompat tubruk Hong Kiat hingga keduanya jadi bergulung, hingga untuk sesaat lupalah mereka dengan ilmu silat mereka.

Selagi mereka berguling sampai ditepi kali, Hong Kiat dapat menolak tubuh lawannya dan sebelum Cie Kiang dapat tetapkan badannya, tendangannya Hong Kiat bikin ia terpental rubuh, tubuhnya terus bergulingan kecebur keair di pinggir kali.

Menyusul Bang Im dan Kim Cie Yong menerjang dengan golok mereka.

Lie Hong Kiat bertangan kosong, namun ia tidak menjadi bingung, dengan hunjukkan kegesitan tubuhnya ia layani dua penyerang ini. Setiap kali ia egos tubuh atau berkelit dengan cepat sekali, dan setiap kali ada suatu lowong, kepalannya juga  menyamber. Dua lawan ini berlaku cerdik, mereka coba mengurung, dari depan dan belakang.

Kat Cie Kiang yang kuyup basah telah merayap bangun dari muka air, ia naik ke gili-gili, akan serang pula Lie Hong Kiat. Sekarang ia gunai goloknya.

Hay-loo-hou Thio Pat, meski matanya buta  sebelah tetapi cerdik, ia jemput pedangnya Lie Hong Kiat, ia maju mengepung, tetapi sambil berjingkrakan, ia menganjurkan kawannya: “Bunuh! Bunuh Bunuh padanya!”

Itu waktu Lie Hong Kiat dengan jotosannya berhasil merubuhkan Bang Im, golok siapa ia dapat rampas, maka ketika Cie Kiang serang ia, bisalah ia lawan senjata dengan senjata. Ia tidak jerih sekali-pun ia dikepung berdua Cie Yong.

Tiga batang golok menyamber-nyamber, beberapa kali mereka kebentur satu dengan lain. Pertempuran terus berjalan sampai belasan gebrak. Dengan rupa-rupa tipu golok Kun Lun Pay, Cie Kiang tidak mampu rubuhkan lawannya itu. Disebelah itu Kim Cie Yong  kelihatan keteter.

“Datang! datang!” sekonyong-konyong Lie Hong Kiat dengar selagi ia layani dna musuhnya. Karena semua orang pada menoleh ke Barat, ia-pun ambil ketika akan berpaling ke arah itu, hingga ia tampak satu kuda merah kabur mendatangi, diatasnya ada nona dengan baju merah dan celana putih. Ia segera kenali si nona yang ilmu gooknya ada sempurna, yang tempur ia di hotel Kit Siang.

Kim Cie Yong lari meninggalkan musuhnya, ia lari kepinggir.

“Lekas, lekas!” ia memanggil-manggil si nona.

Ah Loan segera juga sampai, ia  hunus goloknya, ia loncat turun dari kudanya.

“Kat Su-siok, minggir!” ia teriaki paman gurunya.

Cie Kiang memang sedang sibuk, permainan goloknya sudah mulai kacau, maka melihat si nona lekss ia lompat mundur, buat minggir jauh-jauh.

Lie Hong Kiat tidak kejar musuhnya itu, ia  hanya tertawa. Kemudian ia pandang si nona, serangan siapa ia nantikan.

Ah Loan sudah lantas maju dengan serangannya, maka Hong Kiat tangkis bacokan itu. Sekarang, ditepi kali. Di bawah pohon yangliu. sepasang pemuda pemudi bertarung mengadu kepandaian. Tidak kelihatan ada salah satu yang berniat undurkan diri, hingga golok mereka beradu berulang-ulang, menerbitkan suara berisik.

Pertarungan ini berjalan dengan seru dan ulet, mengambil tempo sampai duapuluh jurus lebih, menampak mana, Cie Kiat jadi kuatir keponakan itu nanti lakukan tindakan yang keliru, maka dengan bawa goloknya keduanya maju, untuk membantui. Dengan begitu, Lie Hong Kiat sekarang kena dikepung bertiga, oleh musuh- musuh tak sembarangan. Sesudah melayani lagi lima atau enatn jurus, Hong Kiat kembali main mundur.

Han Pa dipihak lawan gatel untuk tidak turun tangan, ia maju dengan tumbaknya, setelah sudah datang dekat, ia menusuk dengan tiba-tiba.

Lie Hong Kiat loncat mundur, sambil tertawa.

“Sungguh tidak kecewa kau sekalian menjadi enghiong dari Kwan-tiong!” ia perdengarkan ejekannya. Tapi berbareng dengan itu, ia putar tubuhnya untuk lari.

Kim Cie Yong bersama Thia Hong San lari kekepala jembatan untuk mencegat, dan disebelah Barat ada Bang Im bersama Thio Pat dan Cin Tek Giok. Mereka berteriak- teriak: “Jangan beri dia lolos!”

Lie Hong Kiat tidak perdulikan musuh-musuh yang mencegatnya, dia lari ke Barat mendekati rombongannya Bang Im. Begitu datang dekat Thio Pat, ia menggertak, selagi orang angkat tangan akan menangkis, ia teruskan membacok, hingga sambil berteriak si Hariniau Buta lantas rubuh, pemuda ini dapat rampas kembali pedangnya yang si buta ambil tadi. Ia lempar golok rampasannya, ia sekarang mainkan pedangnya itu, hingga ia ada umpama “harimau tumbuh sayap” atau “naga mendapat air.” Dengan sinar pedangnya yang berkilau-kilau ia lawan musuh-musuh yang menyusul dia. Sekali ini suara beradunya senjata terdengar terlebih nyaring, dan sering, karena Hong Kiat tidak bersangsi sedikit juga untuk adu pedangnya yang berat.

Melihat musuh ada demikian tangkas, kawannya Hong San semuanya kena terdesak, karena juga Hong Kiat bergerak sambil loncat sana dan loncat sini, disatu pihak untuk berkelit, dilain pihak untuk menyerang. Leluasa sekali ia geraki pedangnya, hingga ia  bikin orang sukar mendekati padanya. Segera juga ternyata, melainkan Lou Cie Tiong dan Loan yang masih bisa tandingi pemuda ini, yang lainnya semua sudah tak punya guna ...

Diantara jeritan dan kesakitan, segera orang lihat Kim Cie Yong dan Thia Hong San terluka. Setelah  itu  Hong Kiat loncat membabat Han Pa. Dia ini menangkis dengan tumbaknya, tetapi diantara suara nyaring tumbak itu kena terbabat kutung!

Han Pa kaget dan ketakutan, segera ia putar tubuhnya hendak singkirkan diri, akan tetapi Hong Kiat dibelakangnya mencelat cepat luar biasa. piausu dari Kwan Tiong Piau Tiam segera menjerit keras dan tubuhnya rubuh, darahnya mancur.

“Celaka, ada yang mati!“ orang-orang yang menonton pada berteriak.

“Jangan kau lari!“ membentak Ah Loan, yang lari memburu, dan selagi pemuda itu membaliki belakang, ia membacok.

Lie Hong Kiat dengar suara orang memburu padanya, ia balikkan badannya, justru golok musuh sampai ia segera menangkis dengan keras, atas mana, karena beradunya dua senjata. Nona Pau rasakan tangannya gemetar dan ngilu. Meski-pun demikian, ia ada sangat berani, ia ulur tangannya kiri, menjambak si pemuda, sedang dengan goloknya ia susuli dengan satu bacokan pula. Dalam hal ini ia ada sangat gesit.

Lie Hong Kiat lihat datangnya dua macam serangan, sambil egos dirinya ia menyabet dengan pedangnya, guna sampok golok musuh, tapi sementara itu dengan atur kekuatan ditangan, ujung pedangnya terus dipakai menyodok, menikam, kearah dada si nona. Ini adalah suatu tipu silat yang liehay sekali, tangkisan yang sangat berbahaya, yang biasanya suka meminta kurban.

Disaat ujung pedang pemuda ini mengenai sasarannya, dijembatan ada orang keluarkan seruan, mendengar mana, Hong Kiat tarik pulang pedangnya, ia lompat mundur, terus ia menoleh kearah jembatan.

Diatas jembatan ada satu pemuda yang menunggang kuda putih, dialah yang berseru sambil larikan kudanya menghampiri, maka itu Hong Kiat kemudian maju akan papaki penunggang kuda putih itu.

Sambil teriaki akan Ah Loan bertiga Cie Tiong dan Cie Kiang mundur, penunggang kuda itu serang Hong Kiat. Ke dua pedang bersinar berkelebatan.

Mereka lantas bertempur dengan seru, mereka sama gesitnya, mereka loncat sana dan loncat sini, maka lama- lama mereka sudah pisahkan diri diluar seratus tindak dari rombongannya Ah Loan semua, siapa seperti penonton- penonton lainnya, mengawasi dengan kekaguman.  Ah Loan kuatir orang kabur, ia hendak memburu, akan tetapi Cie Tiong cegah ia.

Pertempuran diantara dua orang itu berlanjut sampai tiga puluh jurus lebih, sekarang kelihatannya Lie Hong Kiat mundur ke Selatan, lawannya terus mendesak padanya.

Lagi belasan jurus kemudian, diantara berkelebatnya sinar pedang kelihatan Lie Hong Kiat rubuh terduduk ditanah, pedangnya dipalangkan di depannya untuk menangkis bacokan lawan, pedang siapa dari atas turun kebawah, hanya sekejab kemudian pedang lawannya itu berbalik menikam dada. Hong Kiat gulingkan tubuhnya, ia kelit tikaman itu. Atas ini, pemuda itu lompat maju membabat pinggangnya Hong Kiat, tetapi waktu pedang hampir mengenai sasaran, orang itu hanya tepuk pinggangnya Hong Kiat.

Lie Hong Kiat segera lompat bangun berdiri.

Ah Loan bersama Cie Tiong semua memburu, ketika mereka hampir sampai, mereka lihat mukanya Lie Hong Kiat ada merah, dengan bawa pedangnya dia ini turun kekali, buat sebrangi kali yang airnya sedalam batas lutut, untuk sampai di lain tepi.

Si pemuda lihat orang memburu, goyang-goyang tangannya.

“Biarkan dia pergi!” dia berseru. “Dia insaf bahwa dia sudah kalah!“

Ah Loan tidak perdulikan cegahan itu, ia lari kekudanya, ia berniat akan kejar Lie Hong Kiat.

Melihat sikap itu, pemuda ini lari memburu si nona, dengan sebelah tangan cekal pedangnya, dengan tangan yang lain ia tarik lengannya nona itu.

“Nona, buat apa kau susul dia?“ kata ia sambil ketawa. “Aku berani tanggung, sesudah di seberangi kali, selanjutnya dia tidak akan berani datang pula kejembatan sebelah barat sini!”

Dengan muka merah, saking gusar dan likat, Ah Loan berontak, akan lepaskan lengannya. Ia-pun banting-banting kaki.

“Apakah dia mesti dibiarkan kabur dan lolos sedang dia sudah binasakan orang?“ ia berseru.

Pemuda itu bersenyum. “Sebenarnya adalah pihakmu yang salah sudah kepung dia seorang diri!“ kata ia.

Cia Tek Giok menghampiri akan bujuki si nona.

Lou Cie Tiong hampirkan pemuda itu, untuk mengasi hormat.

“Saudara, apa she dan namamu yang besar?“ dia tanya. “Aku she Kie,” sahut pemuda itu.

Cin Tek Giok terkejut. segera ia tegaa kan: “Apakah saudara bukannya Kie Kong Kiat?”

Pemuda itu mengangguk, ia tersenyum.

Mendengar pemuda itu ada cucunya Liong Bun Hiap, Kat Cie Kiang semua menghampirkan, untuk memberi hormat.

“Sudah lama kita dengar namamu yang besar, saudara,” antaranya ada yang kata.

Kie Kong Kiat membalas hormat, ia ucapkan kata-kata merendah.

Ah Loan juga perhatikan pemuda ini. Ia insaf kepandaiannya pemuda ini ada diatas kepandaiannya Le Hong Kiat, disebelah mengaguminya, ia ada sedikit mendongkol buat sifatnya pemuda ini, Yang ia anggap agak lancang, sedikit ceriwis. Ia lihat Kie Kong Kiat berumur diantara duapuluh empat atau duapuluh lima tahun, sikapnya gagah, tubuhnya kate dan kecil tetapi gesit, mukanya sedikit hitam, pakaiannya biru, sedang pedangnya ada dikasi ronce merah.

Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong lantas saja bekerja, disatu pihak mereka perintah naikkan orang-orang yang terluka ke atas kereta, dilain pihak mereka undang Kie Kong Kiat datang ke Lie Sun Piau Tiam untuk beristirahat dan pasang omong lebih jauh.

“Aku datang kekota ini untuk sambangi pamanku,” berkata Kie Kong Kiat, “maka itu, sedikitnya aku akan berdiam disini dua tiga bulan, masih banyak hari untuk kita duduk berkumpul. Lain hari saja aku ganggu kau dengan kunjunganku!“

Setelah berkata begitu, Kie Kong Kiat pergi kejembatan dimana ada satu bujang memegangi dua ekor kuda putih. Ia-pun sudah lantas masukkan pedangnya kedalam serangkanya.

Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan Cin Tek  Giok kembali menghampirkan. Mereka menanyakan, didalam kota digang mana tinggalnya paman dari pemuda ini.

“Sanakku itu tingal di Jalan Yam-tiam-kay, merek tokonya Kong Ek Hok Cian Chong.” Kie Kong kiat beri tahu, ia loncat naik atas kudanya, ia  memberi hormat dengan rangkap kedua tangannya. “Sampai ketemu  pula!“ ia tambahkan. Kudanya segera diberi lari, yang-pun lantas diikuti oleh bujangnya. Pergi belum jauh ia menoleh dan memberi hormat pula.

Orang-orang yang terluka ialah Thia Hong San, Kim Cie Yong dan Thio Pat telah diangkat naik keatas kereta. Mayatnya Han Pa yang lukanya hebat, juga telah digotong kekereta. Cie Kiang menghela napas, ia menepas air mata menampak kebinasaannya sahabat ini.

Ketika itu ada datang dua hamba negara dari kota, akan tetapi Kat Cie Kiang kata pada orang-orang polisi ini: “Penjahat sudah kabur. Tentang ini tidak usah kau laporkan kepada seatasanmu.” Cie Kiang juga serahkan uang sepuluh tail pada kedua opas itu, buat minta tolong mereka ini bagikan antara banyak penonton itu dengan disertai permintaan agar mereka itu jangan menceritakan pula kejadian itu pada lain- lain orang. Diakhirnya ia naik atas kudanya, akan iringi kereta pulang kekota.

“Nama wangi puluhan tahun dari kita kaum Kun Lun Pay habislah hari ini!“ kata Cie Kiang tengah perjalanan, kembali ia menghela napas. “Satu Lie Hong Kiat saja telah bisa labrak kita hingga dalam dua kali gebrakan, kita mesti dapat kerugian tujuh atau delapan orang-pun ada yang terbinasa. Sebaliknya, dengan datangnya Kie Kong Kiat seorang, lantas Lie Hong Kiat dapat dikalahkan hinga menyerah! Adakah ini tidak sangat memalukan? Bagaimana kita masih bisa usahakan piautiam? Bagaimana kita bisa merantau? Maka aku angap baik kita semua pulang akan menemui suhu, akan menangis di depannya, sesudah  itu kita tutup piautiam kita, kita berhenti berusaha.

Sementara itu, pakaian basah dari Cie Kiang telah kering keanginan dan kejemur matahari, tetapi toh tetap romannya ada tak keruan.

Cie Tiong dan yang  lain-lain, diatas kudanya, pada tunduki kepala, semua bungkam.

Hanya Ah Loan seorang yang ada panas bukan kepalang, mukanya jadi merah.

“Kenapa piautiam kita mesti ditutup?” berseru dia. “Jikalau kau tidak mau, nanti aku yang usahakan! Bukan saja aku hendak menjagoi dikalangan Kangouw, malah lagi dua hari aku hendak cari Kie Kong Kiat buat adu kepandaian! Kemudian, selang lagi beberapa hari aku nanti susul Lie Hong Kiat guna menuntut balas! Kalau tadi kita semua antap aku sendiri yang layani dia, aku tanggung dia tidak bakal lolos! Tapi kau datang mengadu-biru, hingga aku tidak merdeka geraki golokku!“

Mendenaar penyesalan itu, Cie Kiang semua tutup mulut.

***

Bab 08

SESAMPATNYA DI KOTA, Cie Kiang lantas perintah orang antarkan semua kurban ke masing-masing rumahnya untuk segera ditolong atau dirawat, ia sendiri terus pulang kepiautiam beristirahat, tetapi ia ada berduka bukan main.

Ak Loan juga pulang ke kamarnya bagaikan orang kalap, karena tetap ia ada sangat mendongkol. Ia mencaci pulang- pergi, ia tepuk-tepuk meja, ia banting-banting kaki.

Yang lain-lain-pun semua berduka dan lesu, tidak ada yang perlihatkan roman garang seperti biasanya.

Cie Tiong berdiam dikamarnya Cie Kiang, sekian  lama  ia bungkam saja. Ia  lawan kedukaannya dengan tutup mulut, sambil berpikir dengan tenang. Ia akhirnya kata: “Percuma kita berduka tak keruan. Orang punya bugee memang ada yang tinggi ada yang rendah didalam pertempuran mesti ada yang kalah dan yang menang, inilah sudah umum. Sekarang. piautiam kita mesti kita tetap buka, dan merantau mesti kita merantau terus. Disebelah itu sakit hati kita ini memang mesti balas. Umpama Kang Siau Hoo datang, kita-pun tetap harus lawan padanya!”

“Kalau benar Kang Siau Hoo datang aku juga tidak takut.” kata Cie Kiang. “Hanya sekarang, sekarang aku malu ke luar pintu akan menemui orang ... “

“Aku anggap ancaman bencana kelak adalah Kang Siau Hoo,” kata Cie Tiong pula: “Tapi sekarang baik kita jangan sebut-sebut dia pula. Mari kita bicara hal di depan mata. Hari ini barulah kita lihat bugeenya Kie Kong Kiat.  Ia bukan saja ada terlebih lihay daripada kita-pun ada diatasan Lie Hong Kiat, maka tidaklah kecewa dia menjadi cucunya Liong Bun Hiap, nama besarnya cocok dengan kenyataan. kita beramai kepung musuh seorang. memang benar kitalah yang bersalah. Namun Kie Kong Kiat. telah bantu kita, yang dapat mengusir Lie Hong Kiat, itu menyatakan dia hargakan kita kaum Kun Lun Pay. Dia ada ramah tamah, dia berusia masih sangat muda, baiklah kita ikat persahabatan kepadanya. Dengan persahabatan ini, ke satu kita bisa bersedia kalau-kalau Lie Hong Kiat datang pula,  ke dua kitapun sudah siap umpama benar Kang Siau Hoo datang satroni kita.”

Cie Kiang tidak tunggu sampai sutee itu berhenti bicara, dia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kita orang Kun Lun Pay sendiri sudah tak punya guna, lantas kita minta cucunya Liong Bun Hiap bantu kita, dengan begitu nama besar dari suhu selama tigapuluh tahun-pun turut jadi ludas!” kata ia.

“Tidak demikian, suheng,” kata Cie Tiong. “Aku percaya, suhu pasti akur dengan pikiranku ini. Ketika itu huri Suheng Chio Cie Yau antar Ah Loan sampai di Tay- san-kwan, dia telah beritahukan aku bahwa merantaunya Ah Loan ini bukan untuk mencari pengalaman dan bukan pemandangan belaka, tetapi juga untuk cari pasangan pula. Diwaktu mereka mau berangkat, suhu telah pesan pada Chio Suheng, tidak perduli dimana asal pemuda cakap dan gagah yang bugeenya diatasan Ah Loan, pemuda itu boleh diamproki dengan Ah Loan.”

Cie Kiang tertarik oleh keterangan itu, hingga ia bangun sambil berjingkrak. “Memang Kie Kong Kiat ada muda dan cakap!” ia berseru. “Dan bugeenya, jangankan Ah Loan, walau suhu sendiri-pun barangkali tidak sanggup menangkan padanya! Dan bicara tentang keluarga, dia adalah cucunya Liong Bun Hiap Kie Kun Ye yang ternama!”

“Benar, itu adalah jodoh yang sembabat sekali,” Cie Tiong bilang. “Ketika yang baik ini kita tidak boleh beri lewat. Kebetulan Chio Suheng sudah pulang untuk minta Toasuheng datang kemari?”

“Umpama Toasuheng tidak datang, kita-pun berhak untuk rekoki jodoh mereka,” Cie Kiang kata.

Sampai disitu, Cie Kiang pesan akan suteenya jaga baik pada Ah Loan, supaya keponakannya itu tidak kelayapan keluar, lalu segera ia  pergi ke kamar utara untuk salin pakaian, berbareng dengan mana ia perintah siapkan kereta. Ketika sebentar kemudian ia keluar pula  dengan pakaiannya bersih rapi, ia beda sekali dari pada waktu ia merayap naik dari kali! Ia ajak satu bujang buat pergi ke Jalan Yam-tam kay, akan kunjungi Kie Kong Kiat yang tinggal di rumah pamannya itu.

Pamannya Kie Kong Kiat bernama Tio Po Hok. Dia buka perusahaan bank Kong Ek Hok Cian Cong, berkongsi dengan seorang lain, perusahaannya itu tidak terlalu besar. Dikantor dari alamat itu Cie Kiang dapat bertemu Kie  Kong Kiat, siapa sambut ia dengan baik.

Mulanya mereka membicarakan tentang hal-hal dikalangan kang-ou, lalu kemudian Kat Cie Kiang menanyakan orang punya keluarga.

“Ayahku menutup mata mendahului engkong,” Kie Kong Kiat beri tahu. “Engkong telah tawar hatinya mengenai urusan kangouw semasa ayah masih hidup hingga ia lepaskan peryakinan ilmu silat dan tukar itu dengan ilmu surat, apamau dalam kalangan yang belakang ini ia mandek setengah jalan, ia  melainkan sanggup menempuh sebagai siu-cay. Ayah-pun yakinkan ilmu surat, dalam umur limabelas tahun dia sudah jadi siucay. Terhadap ayah engkong tidak mau turunkan ilmu silatnya. Sebaliknya aku diharuskan pelajarkan itu dengan berbareng. Engkong harap, bila aku gagal dalam ilmu surat, biar aku hidup karena ilmu silat. Selang sepuluh tahun,  engkong juga telah tinggalkan aku, hingga di rumahku sekarang tinggal ibu yang janda bersama kakakku cintong dan enso. Aku gagal dalam ujian ilmu surat, karena itu aku pergi merantau untuk cari pengalaman. Selama di Kanglam aku berhasil peroleh beberapa sahabat. Dari Kanglam aku menuju ke Kwan-tiong sini. untuk tengok bou-ku, adik dari ibuku. Pikirku, sesudah dua-tiga bulan, aku hendak pergi kekota raja akan coba cari pekerjaan disana.”

Kat Cie Kiang girang dengar ketetangan itu.

“Saudara Kie, baiklah kau pesiar lamaan disini, jangan segera kau berangkat pula,” berkata ia. “Aku harap kau tidak kesusu pergi ke Pakkhia. Kita baru ketemu satu dengan lain tetapi kita sudah seperti sahabat kekal saja. Lagi beberapa hari barangkali guruku, Pau Kun Lun, akan datang kemari, dia memang ada kagumi kau ...”

Cie Kiang tidak tunggu sampai orang menjawab, ia tambahkan : “Tadi, kalau tidak kau datang mengalahkan Lie Hong Kiat, pasti habislah nama baik kita kaum Kun Lun Pay ... Aku hendak adakan perjamuan dipiautiam akan hunjuk syukurnya kita kepadamu. Keponakanku perempuan juga telah lihat kau, saudara. Dia adalah cucunya guruku, dia masih helum menikah, dia memuji- muji padamu, kemudian dia minta aku jadi perantara untuk ajar kenal satu pada lain, karena ia ingin minta pengajaran silat darimu ..” Kie Kong Kiat bersenyum, ia manggut.

“Baiklah, sebentar sore aku datang kesana,” kata  ia dengan manis. “Disana kita dapat bicara lebih banyak pula. Lihat disini, ruangan kantor ada demikian sempit, orang yang bekerja ada banyak, banyak yang keluar masuk, tidak leluasa untuk kita bercakap-cakap disini.”

Kat Cie Kiang bisa mengerti alasan itu, maka setelah bicara pula sedikit, ia lalu pamitan. Ia tidak terus pulang, ia pergi ke rumahaya Han Pa akan hiburkan keluarganya. kemudian ia pergi ke rumahnya, mereka yang terluka. Ia sangat masgul. Hiburan satu-satunya bagi ia adalah Kie Kong Kiat suka bergaul kepadanya, ia harapkan pemuda itu suka bantu melindungi kaumnya. Apa pula  kalau  Kong Kiat jadi menikah dengan Ah Loan, pasti mereka akan jadi “orang sendiri ...”

Sepulangnya ke piautiam, Cie Kiang perintah siapkan perjamuan untuk sebentar sore.

Sebuah kamar di depan kantoran telah dibikin bersih dan diperlengkapi.

Hari itu Cie Kiang terima kunjungannya beberapa piausu yang jadi sahabatnya, yang menanyakan tentang pertempuran tadi pagi, terpaksa dengan menebalkan muka ia jawab mereka: “Kita telah berhasil pukul pergi Lie Hong Kiat. Akan tetapi karena ia ada muridnya Siok Tiong Liong dan bugeenya liehay sekali, dia telah berhasil melukainya Han Piausu, Thia Piau sit, Thio Pat dan suteeku Kim Cie Yong, malah yang terhebat, Han Piausu telah terbinasa karenanya ...”

Mendengar ini, sahabat-sahabat itu hiburkan Piausu ini. Kemudian orang tanyakan tentang Kie Kong Kiat.

Mengenai ini, Cie Kiang mengebul. “Kie Kong Kiat itu memang aku telah kenal lama. Guruku dan engkongnya adalah sahabat-sahabat kekal. Tadi dia ada dalam perjalanan kekota, selagi lewat di Pa Kio, dia saksikan pertempuran kita. Lie Hong Kiat sudah terkepung, dia tinggal dibikin habis jiwanya. Menampak demikian Kie Kong Kiat datang memisahkan, maka kesudahannya kita lepas Lie Hong Kiat, beri dia angkat kaki.”

Beberapa sahabat itu puji Kie Kong Kiat. Tapi sebenarnya mereka sudah tahu kejadian yang sebetulnya tadi pagi, mereka tidak mau buka rahasia, setelah  itu mereka lantas pamitan.

Seberlalunya sahabat-sahabat itu, Cie Kiang  merasa malu sendirinya. Ia terus masuk kedalam akan tengok anaknya. Luka siapa ada berat  sekali, hingga ia jadi bertambah duka. isterinya beritahukan padanya bahwa Ah Loan hendak keluar, Cie Tiong mencegahnya, hampir saja si nona dan pamannya itu kebentrok. Ia jadi bertambah- tambah masgul. Maka ia lantas pergi kekamarnya si nona.

“Nona, kau sabarlah,” kata ia. “Benar Lie Hong Kiat sudah kabur, tetapi dia toh bakal kena kita tangkap, untuk membalas sakit hati kepadanya! Tadi ada datang orang dari Han-tiong, katanya ayahmu akan berangkat kemari, lagi empat atau lima hari dia pasti akan sampai disini. Disebelah itu aku telah minta pertolongan satu sahabatku pergi ke Tin- pa, akan minta engkongmu juga datang kemari. Sudah banyak tahun suhu tidak pernah keluar, tetapi sekarang, menghadapi musuh besar, tak dapat tidak dia mesti keluar juga.”

Ah Loan percaya keterangan itu, sedikit saja kesangsiannya, dan itu walau-pun ia masih panas hatinya dan mendongkol, namun ia mengangguk. “Baiklah,” katanya. “Nanti bersama engkong, aku pergi cari Lie Hong Kiat. Tidak perlu ada lain orang membantu aku!”

“Dimana tinggalnya Kie Kong Kiat?” ia tanya. “Bukankah orang bilang dia tadinya hendak satrukan kita kaum Kun Lun Pay?”

Cie Kiang geleng kepala, ia tertawa.

“Itu kabar yang disiarkan orang secara keliru,” ia bilang. “Yang benar, dia dan kita ada orang sendiri. Buktinya tadi pagi di Pa Kio dia telah bantu kita melawan Lie Hong Kiat, sehingga orang she Lie itu angkat kaki! Kie Kong Kiat ada satu pemuda cakap dan gagah, umurnya baru duapuluh lima tahun, dia belum berumah tangga. Dia datang kesini untuk sambangi pamannya. Aku memikir hendak ajak dia tiuggal beberapa hari dengan kita disini, agar kita bisa sekalian minta dia ajarkan kita beberapa tipu silat kaum Liong Bun Pay. Aka sudah undang dia buat   sebentar malam berjamu disini, dia telah janji akan datang. Aku harap sebentar nonapun suka ketemui dia ...”

Tapi Ah Loan menggeleng kepala, nampaknya ia gusar. “Aku tidak sudi ketemui dia!” ia kata dengan sengit. “Nona, jangan  gusar,” Cie  Kiang membujuk. “Umpama

kau  di rumahmu  sendiri, siapa-pun  yang datang, aku tidak

bisa minta kau keluar untuk menemui dia, tetapi sekarang kau tengah merantau, jangan kukuh adat-istiadat. Dalam perantauan-pun kau perlu dengan perkenalan, sedang Kie Kong Kiat dan pihak Kun Lun Pay kita ada hubungannya, dan itu kau dan dia bisalah dibilang ada seperti saudara angkat saja, hingga tidak ada halangannya untuk kau berdua bertemu satu dengan lain. ketahuilah, ketika tadi aku kunjungi dia, yang pertama dia tanya adalah : Siapa si nona yang tadi bertempur dengan Lie Hong Kiat di Pa Kio? Aku lantas beri tahu bahwa kau adalah cucunya guruku. Atas itu ia segera nyatakan: “Pantas kepandaannya ada demikian lihay!“

Mendengar ini, Ah Loan merasa sedikit girang. Tapi setelah berpikir sebentar, kembali ia geleng kepala.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar