Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 28

Jilid 28

Sekarang Siau Hoo tidak menyingkir terlebih jauh, malah ia-pun tidak lompat kesamping atau ke belakang, hanya menantikan serangan, ia mendek, lalu disaat tubuh harimau itu sampai, ia barengi bangun untuk samber leher binatang itu, untuk ditahan. Tidak perduli binatang itu sudah pentang mulutnya yang besar dan gunai kedua cengkeraman depannya, akan mencakar. Tidak sia-siakan tempo lagi, Siau Hoo gunai tangan kanannya, akan hajar dada binatang tersebut.

Selagi mengaung-ngaung, harimau itu keluarkan jeritan keras, rupanya ia merasakan sakitnya serangan, tubuhnya terus saja rubub jatuh mengelinding dari atas genteng.

Siau Hoo unjuk kesebatannya terlebih jauh, ia jumput dua potong genteng, ia loncat turun ke tanah, lalu dengan sebuah genteng ia menimpuk pada itu binatang liar, hingga kepalanya pecah sampai pada matanya, sekejap saja binatang itu putus jiwanya.

Habis itu, dengan sebuah genteng lagi. Siau Hoo timpuk jendela itu jadi rusak.

“Imam tua yang piara  macan tutul, lekas keluar!” ia membentak.

Sebaliknya dari pada dipentang, daun jendela itu telah ditutup dengan segera!

Kuatir dari dalam kuil nanti keluar binatang lain, Siau Hoo tidak mau berlaku sembrono. Ia cepat-cepat jumput kedua genteng tadi, dengan bawa itu ia bertindak ke pintu pendopo, sembani jalan ia mendamprat.

Dari dalam pendopo lantas terdengar tegoran : “Kau ada penjahat dari mana? Cara bagaimana kau berani mengacau di tempat Sam Ceng yang suci murni?”

Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya gunai sebelah tangannya, akan menolak daun pintu.

Berbareng dengan terbukanya pintu, dari dalam kuil muncul satu imam muda dengan serangannya sebatang pedang. Siau Hoo berkelit dengan loncat mundur dua tindak, atas mana imam muda itu loncat keluar, akan menyusul, lalu kembali ia menikam, pada orang punya dada.

Dengan loncat ke kiri, Siau Hoo luputkan diri dari tikaman yang berbahaya itu, sambil egos tubuh, ia menimpuk dengan sepotong genteng, yang tepat mengenai dadanya. Si imam,yang tak sempat menangkis atau berkelit, hingga tubuh dia ini limbung. Selagi begitu, pemuda kita maju, akan samber orang punya pedang, untuk dirampas.

Imam itu kaget, ia maju akan mencoba rampas pulang pedangnya.

Sekarang ini, Siau Hoo papaki imam itu dengan ia punya tendangan, hingga orang rubuh dengan duduk numprah. Tapi si imam penasaran, ia lompat bangun, untuk menubruk pula, guna mencoba rampas pulang pedangnya.

Sebat sekali, Siau Hoo membabat kearah lawan empunya kepala, sinar pedangnya itu berkelebat putih. Atas ini, si imam berkelit dengan mundur berbareng pinggangnya-pun dilengkungi.

Menyusul itu, dari dalam kuil loncat keluar satu imam lain.

“Tahan!“ dia berseru. “Kau berani buat kacau disini?“

Siau Hoo tarik pulang pedangnya sambil mundur satu tindak, lalu ia awasi imam yang baru keluar ini, siapa ada punya roman tak sembarangan. Umurnya dikira empat- puluh lebih.

“He, toosu, jangan kau orang tidak pakai aturan!“ ia balas menegor. “Aku datang kemari untuk cari orang, aku sampai-pun tidak membawa pedang, karena aku tahu kau orang punya pantangan disini, tetapi selagi aku hormati aturan kau orang, kenapa kau orang sendiri berlaku sangat galak? Baru saja aku sampai atau kau orang telah lepaskan macan tutul untuk menerkam aku! Coba bukannya aku Kang Siau Hoo, asal lain orang, dia tentu sudah kena digigit mampus oleh macanmu, mayatnya-pun bakal lenyap habis!“

Imam itu, yang kurus tubuhnya, terperanjat dengar nama Kang Siau Hoo.

“Oh, kau kiranya Kang Siau Hoo?” ia tegaskan. “Aku dengar kau-pun ada satu akhli waris dari Bu Tong Pay, maka dengan datang kemari, kau harus sedikit kenal aturan, tidak boleh kau kurang ajar terhadap Cou-su!“

“Tetapi Conw-su tak nanti piara macan tutul!“ Siau Hoo membaliki. “Kau orang, didalam kuil, sudah piara harimau yang dijadikan sebagai anjing, maka kau orang tentunya bukan orang-orang baik-baik!“

“Macan tutul itu adalah aku yang piara,” si imam aku. “Biasanya dia tidak pernah ganggu orang, dia ada seekor binatang yang mengerti manusia ... “

Sembari berkara demikian, imam ini memandang kepada binatang piaraannya, yang sudah jadi bangkai, yang kepalanya pecah dan berlumuran darah, agaknyn ia ada terharu berbareng mendongkol.

Si imam muda, yang tadi kena didupak, lantas turut bicara.

“Orang ini datang kemari dengan loncat turun dari atas jurang,” berkata ia. “Aku anggap dia bukannya orang baik- baik, aku lantas lepaskan macan tutul kita ... “

Siau Hoo tertawa menyindir.

“Kau orang sebenarnya siapa?” ia tanya. “Aku ada Tan Kiam Hui,” sahut si imam kurus “Dia ini ada muridku.”

“Aku tahu kau, kau ada salah satu dan Cit Toa-kiam- sian,” berkata Siau Hoo. “Diantara kau orang bertujuh, kecuali Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam semua ada orang- orang baik-baik, tentang ini selama ditengah perjalanan, aku telah cari tahu sampai jelas. Baik kau orang ketahui, sekarang ini aku datang kemari dengan maksud mencari satu orang.”

“Kau cari siapa?” Kiam Hui tanya.

“Aku cari imam perempuan dari Kiu Sian Koan, Too Teng namanya,” sahut Siau Hoo. “Dia telah culik isteriku, Pau Ah Loan, yang dia bawa kabur kemari!”

“Ngaco!“ bentak Kiam Hui dengan ia menjadi gusar dengan tiba-tiba. “Bu Tong San ada satu gunung suci, dimana ada imam dan orang perempuan yang datang kemari!”

“Kau rupanya tidak tahu,” bilang Siau Hoo. “Diatas gunung kau orang ini ada terdapat banyak kuil, jikalau Too Teng datang kemari dan dia sembunyikan isteriku dilain tempat, mana kau ketahui. Kau cuma seorang kecil didalam Cit Toa-kiam-sian! Sekarang aku hendak ketemui Yok Hian Ceng, Thio Hian Hay dan Ma Hian To, kau ajak aku pergi pada mereka, aku hendak minta orang dari mereka itu, dengan kau tidak ada sangkutannya!“

Tan Kim Hui pandang itu anak muda, ia juga awasi bangkainya ia punya macan tutul lantas ia manggut.

“Baik!“ berkata ia. “Sekarang aku sedang bersantap, kau tunggu sebentar, nanti ajak kau ke Gie Cin Kiong!“

Habis berkata begitu, ia terus putar tubuhnya untuk masuk kedalam. Imam muda itu, yang telah terima hajaran awasi Siau Hoo dengan mata mendelik dan muka perongosan, setelah itu, ia-pun bertindak kedalam untuk lanjutkan santapannya.

Dipekarangan itu, kecuati Siau Hoo, tidak ada lain  orang. Ia lantas saja sembunyikan sebuah genteng, sesudah itu, ia pergi periksa ruangan itu, terus kedalam pendopo, akan tetapi ia tak lihat suatu apa yang mencurigai. Ia mendongkol kalau ia ingat imam disitu piara macan tutul yang galak.

Selang tidak lama sehabis dia mundar mandir, Siau Hoo dapati pintu kuil dibuka, lalu masuk lima imam, yang usianya tidak tinggi, mereka rupanya dengar genta dan datang untuk bersantap. Mereka ini terperanjat apabila mereka tampak bangkainya macan tutul disamping siapa ada berdiri seorang tidak dikenal yang tangannya menyekal pedang.

“Kau lagi buat apa?“ satu imam tanya.

“Pergi kau desak Tan Kiam Hui agar dia dahar lekas- lekas!“ demikian ada jawaban menyimpang dari Siau Hoo. “Bilang supaya dia segera antar aku ke Gie Cin Kiong!“

Menampak orang punya sikap garang itu, itu imam tidak berani banyak omong lagi, bersama-sama empat kawannya, ia masuk kedalam.

Siau Hoo ada mendongkol, ia jalan pula bulak-balik beberapa kali.

Tidak antara lama, Tan Kiam Hui muncul bersama dua imam kecil, sekali ini, ia berlaku sungkan. Begitu menghadapi tamunya, ia membeni hormat sambil menjura.

“Sekarang kita antar kau ke Thian Kie Hong,” berkata  ia. “Sesampainya disana, biar bagaimana, menemui guru kita, kau mesti berlaku tahu aturan , jikalau tidak, aku sendiri akan turut-urutan berdosa. Kau juga harus letaki kau punya pedang! Jangan kata orang luar, walau-pun kita, orang dalam tidak diijinkan membawa pedang.”

Siau Hoo manggut.

“Baik!” jawab ia. Lantas ia lemparkan pedang ditangannya hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring.

Segera juga kedua kacung imam jalan dimuka dan Tan Kiam Hui lalu temani tamunya itu.

Sekarang ini kabut tidak setebal tadi, maka itu samar- samar mulai tertampak pepohonan dan jalanan disebelah depan, malah suara burung-pun ada terdengar. Tujuan mereka ada arah Utara. Sambil berjalan, Kiam Hui ajak temannya bicara.

“Sampai pada tahun yang sudah, kami masih belum dengar nama kau,” demikian ia kata. “Adalah mulai tahun ini, ketika ada orang kita pergi keluar untuk pungut derma, ia pulang dengan membawa berita bahwa ia telah dengar orang omong bahwa kau adalah muridnya pendekar  tua dari Hoa San. Entah kabar itu benar atau palsu. Apakah gurumu masih sehat wal’afiat?”

“Baiklah kita kurangi omong hal yang tak ada kepentingannya!” Siau Hoo sanggapi. “Aku datang kemari untuk cari Too Teng, asal aku dapat cari padanya, dengan kau orang aku tak punya sangkutan suatu apa, pasti sekali aku tidak akan terbitkan onar disini!”

“Dengan sebenarnya kegunung kita ini tidak ada datang imam perempuan,” Kiam Hui berikan kepastiannya.

“Apa yang kau bilang, aku tak dapat segera mempercayainya,” Siau Hoo bilang terus terang. “Tidak dapat tidak, aku mesti ketemu dahulu dengan gurumu, baru beres!” Kiam Hui lantas saja tutup mulut.

Jalanan dilembah itu ada sukar sekali, malah makin lama makin sukar. Sebaliknya dari situ, orang akan sampai disebuah puncak, entah tingginya berapa banyak tumbak, karena separuhnya telah terbenam dengan kabut. Disitu ada kedapatan tunggak-tunggak batu, yang dilipati dengan rantai-rantai besi, untuk mendaki, orang mesti pepegangan, melapay dengan bantuannya rantai-rantai itu.

Kedua imam kacung naik lebih dahulu, kelihatannya mereka sudah biasa, mereka bisa manjat secara sewajarnya. Tangga ada tangga batu.

“Inilah Thian Kie Hong,” Kiam Hui beri tahu tamunya. “Dengan mendaki bukit ini, kita akan sampai di Gie Cin Kiong. Bagaimana, kau naik terlebih dahulu atau aku?”

“Kau lebih dahulu!” sahut Siau Hoo sambil bersenyum.

Kiam Hul lantas saja pegang rantai, ia mulai naik. Ia berlaku ayal-ayalan, sembari bertindak atau melapay naik, saban-saban ia berpaling kebelakang, kepada tamunya.

“Hati-hati,” ia pesan, “kalau jatuh tentu mampus! …” Siau Hoo tidak bilang suatu apa, ia diam saja.

Habis ini, barulah muridnya si siucay tua mulai naik. Ia juga gunai dua tangannya, akan menyekal rantai.

Mereka sudah naik dua tiga tumbak, lalu setelah itu, Siau Hoo tidak pegang rantai, ia bertindak naik dengan tubuh hampir nempel dengan tembok gunung, ia mirip dengan cecak.

Satu kali Kiam Hui berpaling pula kebawah, ia tampak perbuatannya tamu ini, ia terkejut hingga air mukanya berubah. Terang sekali, ia kagumi dan herani kepandaiannya pemuda itu. “Tak dapat kau mendaki sebagai ini!”  ia memberi peringatan. “Berbahaya!”

“Jangan kau perdulikan aku, kau naik terus!” Siau Hoo sahuti. “Umpama kata aku jatuh hitung-hitung saja aku ganti jiwanya kau punya macan tutul, tak nanti aku punya roh cari padamu ... ”

Selagi Siau Hoo mengucap demikian, sekonyong- konyong tubuhnya Kiam Hui morosot turun, cepat sekali, menyusul mana, sebelah kakinya dipakai menjejak kepalanya si anak muda.

Tak dapat lagi Siau Hoo perbaiki dirinya, untuk menjambret rantai saja sudah tidak ada ketikanya. Tidak tempo lagi, tubuhnya jatuh kebawah. Akan tetapi, ia punya tubuh tetap berdiri, maka juga, ketika ia sampai ditanah, ia jatuh dengan berdiri, hingga ia tidak kurang suatu apa. Hanya ia ada sangat gusar.

“Bagus, kau hendak celakai aku!” ia berseru, sedang tangannya segera meraba sakunya, akan keluarkan gentengnya dengan apa ia sambit imam itu. Ia telah gunai kepandaiannya, dan tenaganya juga.

Disebelah atas, berbareng dengan satu jeritan ngeri, kelihatan tubuhnya Tan Kiam Hui jatuh turun,  lalu jatuhnya itu disusul dengan jeritannya kedua imam cilik, tetapi mereka ini, dalam kagetnya, sudah lantas lari naik keatas, laganya mirip dengan dua anak kunyuk.

Siau Hoo melihat kepada Tan Kiam Hui, dia ini rebah dengan separuh mati, kepalanya borboran darah. Genteng yang dipakai menimpuk terletak tidak jauh dari orang punya tubuh. Segera juga diatas puncak terdengar suara genta, yang berbunyi dengan tiba-tiba suaranya gencar dan mengaung terus. Siau Hoo insaf artinya bunyi genta itu.

“Sekarang tak lagi dapat digunai aturan!” pikir ia. “Aku telah lukai salah satu dari Cit Toa-kiam-sian, tak mungkin yang lain-lainnya mau mengerti dan sudah saja!”

Oleh karena ini, Siau Hoo segera jumput pula gentengnya akan disimpan lagi dalam sakunya, setelah  itu  ia jambret rantai besi untuk mendaki puncak. Ia  naik dengan cepat luar biasa, sebentar saja sudah hampir sampai di puncak.

Suara genta gencar terus, sekarang terdengarnya nyata sekali, nyaring dan berisik. Disaat pemuda ini lompat naik ke tanab datar, ia lihat tiga atau empat-puluh toosu sedang mendatangi, semua mereka mengenakan pakaian yang pendek dan ringkas, serta tangan mereka mencekal pedang, yang sinarnya gemerlapan. Diantaranya, tiga imam maju paling muka, diantara mereka ini, yang satu  ada berewokan. Ia kenali Cou Kiam Hiang, yalah imam yang dahulu sudah desak Kong Kiat hingga si orang she Kie itu terjatuh kedalam jurang ia dengar, walaupun orang she Cou ini dalam rombongannya ada bertingkat lebih rendah tetapi ilmu kepandaiannya termasuk yang nomor dua. Itu-pun sebabnya kenapa ia dipanggil Jie Cin-jin. Dan sebentar saja, Kiam Hong sudah datang dekat. Kelihatan dia ada sangat gusar, selain kumis-jenggotnya bergerak-gerak, mukanya- pun merongos dan kedua matanya melotot.

“Kau Kang Siau Hoo?” ia tanya dengan bengis, “Kau berani datang ketempatnya Bu Tong Cou-su, untuk mengacau? Cara bagaimana kau berani bunuh aku punya sutee?” “Jangan kau orang tidak pakai aturan,“ sahut Siau Hoo seraya ia menggoyang tangan. Akan tetapi, belum sempat ia tutup mulutnya, atau pedang si imam sudah menyamber. Terpaksa ia berkelit ke kanan. Di kanan ini, pedang sampai pula, hingga ia mesti lekas mengegos kekiri. Tapi juga disebelah kiri lagi-lagi ada pedang menikam, sedang di belakang, jalanan sudah tertutup. Tiga batang pedang, dengan seru merangsek dengan berbareng.

Mendongkolnya Siau Hoo ada bukan alang-kepalang, terpaksa ia enjot tubuhnya, akan loncat tinggi, lewat diatasan pundaknya Cou Kiam Hiong.

Kiam Hiong segera putar tubuh, untuk menyusul dengan tusukannya lebih jauh. Tapi Siau Hoo loncat terus, ke arah rombongan imam.

Dengan serentak, puluhan imam itu geraki pedang mereka masing-masing, mereka menyerang sambil terus mengurung.

Siau Hoo berlaku gesit, ia tubruk satu imam, pedang siapa ia rampas, lalu dengan senjata musuh itu, ia lakukan penyerangan membalas. Disebelah itu, ia-pun bela diri. Ia sekarang berada di tengah-tengah kurungan laganya satu penjual silat antara berkerumunnya banyak penonton.

“Siapa berani maju dia mampus!“ dia berseru. “Dengarlah dahulu perkataanku! Aku hendak menghadap pada Cin Bu Yaya Sam Hong Cousu, untuk mohon maaf yang disini aku mempergunakan pedang, habis itu aku nanti basmi pada kau orang semua, kawanan hantu! Untuk mewakilkan Cousu membersihkan tempat suci ini!”

Baru Siau Hoo mengucap demikian, atau Cou kiam Hiong sudah merangsak dan menyerang ia, terpaksa ia angkat pedangnya, akan menangkis. Kiam Hiong berlompat, pedangnya maju pula, beruntun dengan tiga babatan.

Siau Hoo ada sangat gesit, mengikuti pedang lawan, ia berkelit berulang-ulang. Dan setiap tindak yang Kiam Hiong mendesak, setiap tindak ia mundur. Dengan ini jalan, ia cari tahu gerak dari musuh. Lalu, dengan sekonyong-konyong, ia balas menyerang, rangsekannya mirip dengan keluarnya si raja hutan bengis dari dalam rimba.

Mau atau tidak, Cou Kiam Hiong mesti mundur, tetapi ia gunai pedangnya, untuk menangkis, akan tahan orang punya pedang, atas mana  Siau Hoo gunai ketikanya menekan senjata lawan, sampai imam itu tidak sanggup membuat terpental genggamannya Si anak muda.

Siau Hoo maju, pedangnya dipakai menyamber kebawah.

Kiam Hiong tarik pulang pedangnya, ia berkelit kekiri. Tapi Siau Hoo desak ia, pedangnya kembali menyamber, maka lagi-lagi, ia mesti menangkis. Sekali ini kedua senjata bentrok satu dengan lain, menerbitkan suara nyaring yang melebihkan suara genta hingga mengejutkan siapa yang mendengarnya ...

Masih Siau Hoo tidak mau berhenti, ia mendesak, dua kali pedangnya bekerja, ke atas dan kebawah. Ia telah maju lagi dua tindak, untuk mendesak.

Cou Kiam Hiong, yang dikenal sebagai Jie-cinjin, bisa hndarkan diri dari serangan, akan tetapi, karena hebatnya desakan, nyata ia sudah keteter. Didekat ia  ada empat imam, mereka ini lompat maju, akan perbaiki kedudukan sendiri, untuk lagi-lagi maju pula. Kang Siau Hoo layani lima buah pedang yang mengepung padanya. Ia maju dan mundur, ia  bergerak kekiri dan kanan cepat luar biasa. Tapi ia mesti lewatkan dulu sepuluh jurus lebih ketika ia menyebabkan satu imam menjerit kesakitan, tubuhnya terus rubuh.

“Maju!“ berteriak Cou Kiam Hong, yang ada gusar sekali, ia sendiri memberi contoh.

Siau Hoo dikurung rapat sekali, ia melawan seraya main mundur, ketika kemudian ia sudah mundur sampai disamping kuil dengan tiba-tiba ia enjot tubuhnya, akan loncat naik keatas tembok yang diberi warna merah.

Didalam pekarangan juga ada beberapa imam, yang berdiri menjaga dengan pedang mereka siap sedia, tetapi Siau Hoo terus loncat turun, hingga ia mesti layani mereka itu.

Cepat sekali, Cou Kiam Hiong dan rombongannya telah menyusul masuk, akan hubungi diri dengan kawan- kawannya yang di dalam itu.

Kembali Siau Hoo berkelahi sambil mundur, ini kali, ia mundur sampai di samping cionglau, yalah rangon tempat genta, dimana, dengan gesit ia loncat naik seraya lewati kepalanya sejumlah imam.

Diatas cionglau itu ada satu imam, yang sedang membunyikan genta, ia cekuk imam itu, sebelum orang dapat ketika untuk berdaya, tidak ampun lagi. ia tolak orang punya tubuh sampai si imam rubuh dari atas rangon itu.

Setelah berbuat demikian, Siau Hoo tancap pedangnya dikayu jendela, lalu dengan kedua tangannya, ia angkat lolos dan turunkan genta besar, yang beratnya dua-ratus kati, ia bawa itu ke jendela, untuk dilemparkan keluar. Satu suara hebat adalah kesudahannya itu, akibat jatuhnya genta ke tanah, sampai bumi tergetar, hingga cionglau bergerak, gentengnya berbunyi. Di lain pihak, di bawah, ada terdengar beberapa jeritan menggiriskan.

Genta terbuat dari besi, tetapi waktu  jatuh ketanah, saking kerasnya bantingan, dia pecah dengan segera, menjadi beberapa potong!

Habis itu, Siau Hoo ambil pula pedangnya.

“Siapa berani naik?“ ia menantang seraya buat  main pedangnya itu.

Dibawah, sekalian imam telah undurkan diri, diantaranya ada yang terluka, yang sudah lantas ditolong oleh kawan-kawannya.

Bahna gusarnya, kumis jenggotnya Cou Kiam Hiong bergerak-gerak. Ia berdiri paling muka.

“Kang Siau Hoo.” ia berseru sambil ia menuding dengan pedangnya. “Jikalau kau tidak turun, aku nanti korbankan kuilku ini, aku nanti bakar ciong-lau ini! Aku hendak lihat, kau mampu terbang atau tidak …”

Selagi imam ini perdengarkan ancamannya, Siau Hoo telah keluarkan dia punya  genteng besi, dengan itu ia menimpuk dengan segera. Inilah Kiam Hiong tidak sangka. Ia-pun tidak sempat berkelit, jitu sekali, genteng mengenai kepalanya, maka berbareng dengan terputusnya ia punya ucapan, ia merasakan sakit dan pusing, hingga ia sempoyongan.

Sukur itu waktu, beberara imam sudah pegangi orang punya tubuh, hinga tubuh itu tidak sampai rubuh.

Selagi kawanan imam itu kaget, sibuk dan repot, Siau Hoo lihat mereka dengan tiba-tiba letaki pedang mereka masing-masing, sebagai gantinya penyerangan lebih jauh, mereka pada membungkuk tubuh, pada menjura, kearah pintu.

Lantas, lebih jauh, Siau Hoo lihat dari luar ada mendatangi empat imam, dari yang mana, dua telah putih kumis jenggotnya, yang satu berkumis jenggot hitam, dan yang satu pula, tidak ada kumisnya, umurnya kurang lebih tiga puluh tahun.

“Bagus!“ berseru ini anak muda yang tidak jerih sedikit juga. “Kau orang tentu ada dari rombongan Cit Toa- kiamsian! Tapi kau orang masih kurang satu lagi. Nah, hayolah kau orang maju semua!”

Atas tantangan itu, salah satu imam yang berkumis jenggot ubinan angkat pedangnya, menuding keatas. Ia ini punya potongan tubuh, tinggi besarnya, hampir mirip dengan Pau Kun Lun. Ia kata: “Kang Siau Hoo, kau turun. Mari kita orang bicara!”

Siau Hoo bersenyum.

“Sekarang ini, apa lagi yang mesti dibicarakan?“ kata ia secara tenang sekali. “Jumlah kau orang ada terlalu banyak! Tapi, umpama kau orang maju bergerumutan, aku tidak jerih, aku melainkan tidak tega apabila aku mesti lukai mereka, yang semuanya tidak bersalah dosa. Aku datang untuk hadapi semua Cit Toa kiam sian!”

Imam tua itu bersikap tenang.

“Aku adalah Thio Hian Hay,” ia  perkenalkan diri. “Inilah ada aku punya sutee Ma Hian To.“ ia tunjuk imam disampingnya, yang bersamaan usia dengan  ia. Kemudian ia tunjuk kedua imam lainnya, dengan bergantian, seraya bilang: “Dia ini Nie Kim Tiau, ini Lu Cong Giam. Kami semua tinggal disini untuk sucikan diri, belum pernah kami hinakan lain orang. Sebutan Cit Toa kiamsian bagi kami adalah sebutan belaka dari orang-orang luar, orang berikan itu kepada kami diluar tahu kami, diluar persetujuan kami juga. Dan di gunung kami ini, selama lima-ratus tahun, belum pernah ada orang yang berani datang untuk mengacau, tetapi sekarang kau, Kang Siau Hoo, kau sudah berlaku malang-melintang, kau sudah langgar keangkerannya Cin Bu Yaya! Kenapa kau berani lukai muridnya Sam Ceng?“

Dari atas loteng, Kang Siau Hoo perdengakan sura tertawanya menghina.

“Dan kau orang, muridnya Sam Ceng, boleh piara macan tutul untuk dipakai menggigit orang! Dan kau orang ijinkan satu imam perempuan liar menggendong-gendong orang perempuan rakyat jelata mendaki gunungmu!”

Thio Hian Hay melengak.

“Eh, urusan apa itu yang kaui sebut-sebut?“ tanya ia saking heran. “Kang Siau Hoo, hayo turun! Mari kita bicara! Kita tidak nanti curangi padamu!“

Tanpa bersangsi sedikt juga, seraya putar pedangnya, Siau Hoo loncat turun. Ia tertawa mengejek.

“Siapa jerih terhadap kau orang?“ katanya, tetap secaya menantang. “Adalah aku yang mengharapi agar aku orang tidak mencari mampusmu sendiri!“

Chio Hian Hay ada cukup sabar untuk tidak menjadi gusar.

“Kau bilang kami piara macan tutul, mana dia macan itu?” ia tanya.

“Pergilah kau turun, akan lihat seudiri,” Siau Hoo jawab, “Didalam kuil dari Tan Kiam Hui ada bangkainya seekor macan tutul. Coba aku tidak mengerti silat, pasti siang-siang aku sudah jadi barang makanannya harimau itu, tidak sisanya lagi dan tulang-ulangku juga!“

Thio Hian Hay kaget, mukanya menjadi berubah.

Terang ia ada gusar, ia menoleh kepada rombongannya.

Dua imam segera majukan diri, mereka menjura pada imam tua ini.

“Di kuil bawah ada seekor macan tutul,” berkata satu diantaranya. “Itu binatang dipiara sejak masih kecil oleh Tan Su siok, belum pernah melukai orang ... ”

Mendengar ini, tampangnya Thio Hian Hay tidak semerah padam seperti tadi.

“Kuil dibawah itu ada sangat sepi,” kata ia pada Siau Hoo. “kami kuatir nanti ada orang-orang jahat, yang datang untuk ganggu kami dari itu, kami sudah piara macan tutul. Jikalau kau tidak datang mengacau, tidak nanti binatang itu ganggu padamu. Barusan kau sebut-sebut penculikan perempuan rakyat jelata. Bagaimana duduknya itu? Perempuan siapakah dia itu?“

“Itulah ada urusan kau orang!“ jawab Siau Hoo, dengan mendongkol. “Diantara orang kau disini, ada yang telah buat perhubungan dengan imam perempuan bernama Too Teng dari Kiu Sian Koan dan In Ciat Nia. Imam itu sudah culik isteriku, yang dia bawa lari kemari!“

Begitu dengar keterangan itu, Thio Hian Hay segera berpaling pada Lu Cong Giam, itu imam muda umur kurang lebih tiga puluh tahun yang mukanya putih dan cakap. Dia ini tidak kata suatu apa kepada imam tua itu, ia hanya menghampiri Siau Hoo, untuk terus menjura. Ia ada bawa pedang ditangannya, tetapi ia tidak menyerang, malah ia bersikap tenang sekali. “Pasti sekali kau telah kena orang pedayakan,” berkata ia. “Memang, pada satu tahun yang lalu, pernah satu kali Too Teng datang kemari, tetapi dia datang ke Cia Bu Bio, untuk bersujut, habis itu, dia sudah lantas pergi pula. Kami tidak punya perkenalan dengan dia itu. Disekitar gunung kami ini, yang luasnya seratus lie, ada banyak rumah- rumah suci lainnya, malah di belakang gunung, ada beberapa kampung, maka pergilah kau cari dia disana, tetapi jangan kau ganggu kesucian dan ketenteramannya tempat kami ini.”

Siau Hoo berpikir sebentar, lantas ia menjawab : “Baik, aku nanti pergi mencari kelain tempat, tetapi ingat, apabila aku tak berhasil mendapatinya, aku nanti datang pula kemari untuk minta keterangan lebih jauh! Nah, sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!”

Setelah mengucap demikian pemuda ini putar tubuhnya. Ia baru bertindak, atau dengan sekonyong-konyong Thio Hian Hay loncat kebelakangnya, gerakannya sangat gesit, jari tangannya yang kiri dipakai menotok orang punya bebokong!

Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya gesit. Melihat orang bokong ia! Ia lekas putar tubuh lagi, berbareng dengan itu, ia membabat dengan pedangnya.

Thio Hian Hay tarik pulang tangannya ia batal menyerang.

Siau Hoo sementara itu tertawa mengejek dan berkata : “Apakah kau masih memikir untuk gunai ini macam cara seranganmu terhadap aku? Hm!”

Thio Hian Hay tidak meajawab, ia tak gubris jengekan itu, hanya dengan pedangnya, ia menyerang.

Dengan pedangnya, Siau Hoo tangkis serangan itu. Baru sekarang si imam buka mulutnya, dengan mata mendelik.

“Kang Siau Hoo, kau sudah lukai orangku, kau telah mengacau di puncak Thian Kie Hong ini. Apakah kau kira kau bisa dengan begini saja berlalu dari sini?” kata ia.

“Sedikitnya kau mesti berlutut di depan Cou-su untuk kau pasang hio dan hunjuk kehormatan,” jawab Thio Hian Hay. “Habis itu kami nanti ringkus kau, untuk gotong kau turun gunung, buat diserahkan pada pembesar negara.”

“Cis!“ berseru Siau Hoo, yang segera maju menyerang imam itu.

Thio Hian Hay tangkis itu serangan.

Ma Hian To bersama Nie Kiam juga Cou Kiam Hiong segera akan bantu mengepung.

Selagi orang bertempur, satu dikepung berempat, Lu Cong Giam berdiri saja, sambil menonton.

Siau Hoo tidak jerih barang sedikit walau-pun ia  dikurung empat musuh yang liehay, lebih-lebih Thio Hian Hay dan Ma Hian To.

Selama itu, dari arah luar, ada datang lain-lain imam, hingga jumlah mereka jadi lima atau enam-puluh orang banyaknya. mereka ini bersikap mengurung.

Pertempuran berjalan terus, dengan seru sekali. Entah bagaimana pikirannya Ma Hian To, ia berseru satu kali terhadap sekalian imam, atas mana, mereka ini, semuanya, segera meluruk maju, akan menyerang pemuda kita.

Sedetik saja, Siau Hoo sudah kena dikurung. Ia tidak mau terjang bahaya, maka itu, segera ia membuka jalan, kemudian dengan sebat, ia loncat pula naik keatas cionglau, disini ia tidak berdiam lama, ia hanya loncat turun, keluar tembok pekarangan.

“Maju!“ berseru Cou Kiam Hiong dan Nie Kiam Tiau, yang terus kepalai rombongannya memburu keluar. Kiam Hiong mendongkol, karena ia ditimpuk genteng. Coba ia tidak kelit, niscaya ia akan terluka parah.

Siau Hoo layani musuh sambil terus mundur dengan perlahan-lahan, ia tidak mau kasi dirinya kena dikurung. Karena ia mundur terus, tidak lama ia sudah mendekati tepi jurang yang kita kenal. Begitu ia sudah sampai ditepi jurang itu, ia tunda tindakannya.

“Mari, maju, maju!“ ia segera menantang sambil menggapai-gapai.

Sekalian imam itu maju terus, bagaikan arus saja. Malah diantaranya ada yang melepaskan panah-tangan.

Siau Hoo gunai pedangnya akan sampok jatuh beberapa batang panah, kemudian ia terjang Cou Kiam Hiong dan Nie Kiam Tau, yang maju paling depan. Ia berlaku gesit sekali, ia mendesak, maka, baru beberapa jurus, ia telah buat rubuh pada imam yang belakangan. Sesudah ini. Ia lompat mundur dengan tiba-tiba, ia tertawa bergelak-gelak sesudah mana, tahu-tahu ia enjot tubuhnya, akan loncat turun kejurang, nampaknya tubuh itu seperti terbang melayang ...

Dengan tidak kurang suatu apa, anak muda ini taruh kakinya didalam lembah, tapi menyusul itu, ada beberapa batang panah dan juga batu, yang menyamber padanya, karena mana, ia terus lari  terlebih jauh, kemudian  barulah ia berhenti, akan berdiri diam.

Disini kabut sudah lenyap. Kapan ia menoleh kesekitarnya. Ia tampak beberapa tukang kayu sedang bekerja. Ia perbaiki dahulu napasnya yang  memburu, kemudian ia bertindak menghampirkan tukang-tukang potong kayu itu. Selagi mendekati ia lihat orang punya rambut digelung sebagal kondenya imam, maka itu ia lantas letaki pedarngnya untuk angkat kedua tangannya akan beri hormat kepada mereka.

“Rupanya kau orang lagi repot sekali!“ kata ia dengan manis.

Beberapa tukang kayu imam itu berhentikan kampak nereka, semuanya awasi anak muda ini.

“Ada urusan apa?” tanya salah satu imam yang balas orang punya hormat.

Siau Hoo menghela napas. Ia membawa aksinya.

“Aku adalah satu penduduk Han-tiong,” ia menjawab, “apa lacur, selagi aku hidup tenteram di rumahku tiba-tiba ada datang malapetaka. Diluar dugaanku, aku kedatangan satu imam perempuan yang memungut derma dari Kiu Sin Hoan dan In Ciat Nia, namanya Too Teng. Entah  kenapa ia tertarik oleh isteriku, terus saja ia serang isteriku dan panggul pergi untuk diculik. Aku pergi mengadu pada pembesar negeri, hamba polisi sudah lantas dikirim ke Kiu Sian Koan untuk mencari dan menangkap, akan tetapi sia- sia kita menggeledahnya. Menurut keterangannya orang dalam kuil itu katanya isteriku digondol pergi kemari ... “

Beberapa imam itu nampak kaget.

“Too Teng?” tanya satu diantara mereka. “Kami tahu dia ada su-cie dari Tiat Tiang Ceng. Dia memang bukannya imam baik-baik.”

Habis itu beberapa imam tersebut mulai bekerja pula, kecuali yang barusan bicara, ia bicara terlebih jauh dengan pemuda kita. “Too Teng itu, duluan memang suka ke sini,” demikian katanya. “Tapi dia tidak berani mendaki Thian Kie Hong, Ngo Liong Hong. Sebabnya yalah beberapa kiamsian yaya larang dia datang naik. Maka itu apabila dia datang kemari, dia cuma berdiam di dekat-dekat Kay Kiam Coan dan gunung belakang. Kemarin ketika aku pergi jual kayu didalam kota, aku dapat lihat dia berada di satu jalan besar

…”

“Apakah dia berada didalam kota?” Siau Hoo tanya. “Boleh jadi dia masih berada didalam kota,” sahut sang

imam, “hanya aku tidak tahu dia mondok dimana.” Siau Hoo rangkap kedua tangannya.

“Terima kasih!” ia mengucap. Ia hampirkan pedangnya untuk dijumput, dengan bawa itu ia turun terlebih jauh dari gunung itu.

Pada waktu itu walau-pun kabut telah buyar akan tetapi matahari masih belum muncul. Puncak kelihatan diempat penjuru berlapis-lapis, hingga sukar untuk mencari arah tujuan. Siau Hoo tapinya jalan terus, turun.

Tidak lama pemuda ini dengar suara air jatuh, ia lantas tahu, ia sudah mendekati sumber air Kay Kiam Coan. Ia jalan pula sampai sedikit jauh di depan ia, ditengah gunung ia lihat ada berdiri satu imam, siapa terus menggape terhadapnya, seraya dia itu terus memanggil: “Kang Sie- cu,disini ada jalanan! Mari naik kemari. Aku-pun ingin omong sedikit denganmu!”

Siau Hoo dongak, ia lantas kenali imam itu, salah satu dari Cit Toa-kiamsian, yalah Leng In Kiamkek Lu Cong Giam. Dengan tidak pikir panjang lagi ia bertindak ke arah imam itu, sambil berlompat kemudian dia datang padanya. “Sungguh liehay!” memuji imam itu, yang lihat orang punya loncat tinggi.

Siau Hoo bersenyum. Ia bertindak lagi untuk lebih dekat dua tindak.

“Lu Too-ya,” berkata ia. “ketika tadi aku tempur sekalian imam itu, melainkan kau yang tidak turun tangan untuk bantui mereka, kau ada baik sekali!”

“Sebenarnya aku bukanlah kawan mereka itu,” Cong Giam menjawab. “Adalah orang luar yang tarik aku masuk dalam rombongan mereka. Dengan sesungguhnya aku tidak gembira disebut sebagai satu diantara mereka.”

“Mendengar suaramu, kau bukannya asal sini.” Siau Hoo kata. “kenapa kau jadi berada bersama-sama dengan mereka itu?”

“Bukan saja aku bukannya rombongan mereka, malah imam-pun aku bukannya,” Cong Giam berkata pula dengan penjelasannya. “Pada tiga tahun yang lampau, di kampungku aku telah kena bunuh orang, pembesar negeri cari aku, aku kini menyingkir kemari. Tadinya aku tidak bisa liamkeng dan tidak pernah duduk bersamedhi juga.”

“Kau sebenarnya asal dari mana?“

“Aku ada asal distrik Wie-leng dipropinsi Kui-ciu. Dengan Too Teng aku ada berasal satu kampung halaman. Maka itu untuk cari Too Teng kau seharusnya datang padaku, dengan begitu kau jadi bisa hemati tempo dan kesulitan. Sia-sialah tadi kau mendaki Thian Kie Hong, malah kau jadi tanam bibit permusuhan dengan kawanan imam itu. Kau benar liehay akan tetapi kau belum pernah ketemu dengan Yok Hian Ceng, umpama kata imam tua itu muncul pastilah sudah jiwamu tak bakal dapat dipertanggungkan lagi!” Siau Hoo bersenyum ewa.

“Kau jangan angkat-angkat namanya imam itu untuk gertak aku!” ia bilang. “Aku datang kemari bukan untuk berkelahi. Aku tahu meski-pun kau orang semua ada pada beradat tinggi, kau orang tapinya bukan manusia-sia terlalu busuk. Kau bilang kau kenal Too Teng, nah, apa kau boleh beri tahu dimana adanya dia sekarang? Asal kau bisa ketemui kepadanya, asal dia suka kembalikan isteriku, aku akan buat habis urusan kita, aku janji tidak bakal buat dia celaka.”

“Umpama kau bunuh dia, itulah tidak ada sangkut- pautnya dengan aku,” Cong Giam bilang. “Kendati-pun dia ada seorang asal satu kampung dengan aku, sebenarnya melainkan aku yang tahu dia siapa, dia sendiri, tidak kenal aku. Aku nanti tunjukkan tiga tempat kemana kau bisa cari dia. Yang pertama adalah Cau-hay-pong didistrik Wie-leng di Kuiciu. Yang ke dua ada kelenteng Thay Kek Koan digunung Heng San, dan yang ketiga di Leng-lam …”

“Kau benar cerdik!” pikir Siau Hoo, yang tertawa dalam hatinya. “Rupanya kau hendak buat aku pergi demikian punya jauh ... “ Tapi ia terus mendengari.

“Too Teng jarang datang ke Bu Tong San ini!” demikian Leng In Kiam-kek tambahkan, “Kalau toh dia datang kemari, dia tak berani naik ke gunung ini. Disini kau pasti tidak bakal dapat cari dia!”

Siau Hoo manggut.

“Terima kasih!” kata ia. “Baiklah, nanti pergi lebih dahulu ke Heng San untuk cari padanya! Sampai ketemu pula! Sampai ketemu pula!”

Lantas saja pemuda ini loncat turun lagi, ia jalan, sampai ia ketemu sebuah puncak. Disini ia  mendaki, ia naik ketempat yang tinggi, maka kapan ia putar tubuhnya, ia dapat lihat Lu Cong Giam, yang sekarang berada dibawahan. Dengan ikuti jalanan ditepi gunung, imam itu menuju naik juga, makin lama, dia jalan makin  jauh, sampai akhirnya tidak tertam pak pula.

Siau Hoo perhatikan orang punya tujuan, terutama keletakan bukit itu. Segera juga ia ingat, ia kenali bagian gunung itu. Ketika Kie Kong kiat datang dan bertempur sama sekalian imam, itu adalah tempat dimana orang she Kie itu terjatuh dari atas gunung. Itulah tempat kemana barusan Lu Cong Giam pergi. Tempat itu ada lebih lebat pepohonannya, daun merah seperti memenuhi daerah itu.

Oleh karena ini, Siau Hoo lantas dengari suara air, untuk ketahui arahnya, kemudian ia bertindak, akan menuju kearah air tumpah itu. Ia tidak usah jalau jauh akan dapat lihat jurang kemana air tumpah.

Ketika itu ada dimasa musim rontok, air tumpah tidak sehebat seperti dimusim panas.

Dengan cepat Siau Hoo menuju ke tempat dimana tadi Lu Cong Giam menghilang, Ia dicegat oleh sekelompokan pohon angco yang lebat, maka, untuk membuka jalan, ia guai ia punya pedang, akan babat sesuatu rintangan. Disitu- pun ada banyak pohon oyot. Ia mendaki terus, sampai dua puncak, sehabisnya itu, ia lihat sebuah kuil di depannya. Ia ingat betul, itu ada tempat kemana Kie Kong Kiat telah pergi mengacau. Ia lantas berdiam, untuk memikir.

“Diluar keinginanku, disini aku telah binasakan beberapa orang. Dimata orang-orang yang tidak tahu duduknya, aku pasti dikatakan menghina kawanan imam itu, aku sudah mengacau dan permainkan jiwa orang. Apabila  anggapan itu sampai tersiar, aku bakal dapat nama jelek, orang akan tertawai dan jengeki aku. Inilah aku mesti jaga. Aku percaya, Too Teng mesti berada disini. Kelihatannya, kecuali Lu Cong Giam, lain orang tak ketahui halnya imam perempan itu. Lain-lain imam tentunya tidak sudi bantu aku. Sekarang baik aku kuntit orang she Lu itu, aku percaya aku bakal dapat cari Too Teng …”

Setelah ambil ketetapan, Siau Hoo mundur, ia mencoba mencari jalanan, untuk mendaki. Dengan cepat ia sampai disitu terpat dimana, sambil duduk beristirahat diatas sebuah batu besar, ia lihat nyata kuil tadi, yang sekarang berada disebelah bawah dia. Ia memperhatikan kuil itu.

Kuil itu terbagi dalam dua pendopo, tapi dari situ, tidak tertampak barang satu imam juga.

Siau Hoo tidak putus asa, ia  duduk terus, sambil memasang mata.

Akhir-akhirnya, selang sekian lama, dari pendopo sebelah Barat, kelihatan juga munculnya satu orang. Dia ada memakai jubah gerombongan, tangannya panjang. Itu orang ada satu imam, tindakannya cepat, gesit, jalannya dengan dada diangkat.

Apabila ia telah mengawasi sekian lama, Siau Hoo kenali Lu Cong Giam.

“Benar-benar dia ada disini,” pikir anak muda kita. “Sekarang aku mau lihat, ke mana perginya ini imam tetiron. Dia ada muda, dia beroman cakap, omongnya manis-budi tetapi aku percaya, dia ada terlebih buruk daripada imam-imam lainnya ... ”

Lu Cong Giam berjalan lerus, disebelah bawah, diluar ia punya tahu, Siau Hoo bayangi ia  dan sebelah atas. Rupanya, dia tidak curiga sama sekali karena tadi dia lihat pemuda kita sudah pergi. Dia tidak jalan terlalu cepat. Dia mendaki sampai kemudian dia berada sama tingginya seperti penguntitnya. Dia masih tidak curiga atau lengah.

Siau Hoo terpaksa bertindak dengan pelahan, ia pernahkan diri belakangan, ia berlaku sangat hati-hati, agar imam itu tidak dapat lihat padanya.

Cong Giam jalan terus, tidak pernah dia menoleh ke belakang. Dia jalan naik. Jalanan ada bertambah sukar.

Sesudah naik pula sekian lama, mereka berada diatas, ditempat dimana tidak ada pepohonan. disitu awan seperti bergumpal jadi satu dengan kabut.

Entah berapa jauh mereka itu sudah berjalan ...

“Apa bisa jadi Too Teng tidak berada disini?” akhirnya Siau Hoo sangsi sendirinya. “Atau umpama kata ia benar ada disini, tetapi Ah Loan, dengan lukanya itu, mana bisa naik begini tinggi? Apa tak mungkin, Leng In Kiam-kek Lu Cong Giam lagi pancing aku, karena disini ia sedang pasang suatu jebakan?”

Baru Siau Hoo memikir demikian, atau ia sudah bisa lantas legakan diri.

“Ditanganku ada sebatang pedang, apa yang aku mesti buat jerih?” demikian ia kata pula dalam hatinya.

Oleh karena ini, ia lantas bertindak lebih jauh. Semakin ia mendekati kuil, semakin nyata ia lihat kuil itu ada besar, semuanya terdiri dan tiga pendopo. Ketika ia sudah sampai didekat pintu pekarangan, ia dapati pintu itu tertutup rapat, diatas ada galakgasi dimana-pun ada bangkai cecapung dan lainnya kutu, yang menjadi kurbannya kawa-kawa. Seekor kawa-kawa besar sedang mendekam disarangnya.

Melihat keadaan, rupanya kuil itu sudah lama tidak pernah dibuka, didalamnya seperti tidak ada penghuninya. Maka Siau Hoo-pun sangsi, didalam situ ada orang atau tidak. Ketika ia mencoba dengan ujung pedangnya, akan ketok pintu, sampai beberapa kali, ia tidak dengar jawaban suatu apa dari sebelah dalam.

“Sungguh satu tempat yang bagus!“ Siau Hoo berpikir pula. “ Jikalau Too Teng berkongkol dengan Lu  Cong Giam dan ia gondol Ah Loan kemari, untuk disembunyikan, pasti sekali tidak ada orang yang sanggup mencarinya!“

Anak muda kita penasaran, dari itu, berbareng mendongkol, ia loncat naik ketembok akan loncat lebih jauh, turun kesebelah dalam. Ia pasang kuping. Ia tidak dengar suara apa-apa dari dalam pendopo.

Jendela dari ketiga pendopo tengah, timur dan barat sudah rusak bobrok, walau pun demikian dari dalam situ ada mengebul keluar asap hio atau dupa. Maka itu Siau Hoo bertindak masuk kependopo tengah. Dari ruangan pertama ia memasuki ruangan kedua. Disini tetap tidak ada orang, dari itu ia maju lebih jauh keruangan ketiga.

Adalah disini, barulah Siau Hoo berhadapan dengan satu imam yang lagi berjalan keluar, rupanya dia hendak pergi mencari kayu. Dia heran melihat ada tamu tidak diundang, segera ia berhentikan tindakannya.

“Kau siapa?“ imam itu mendahului menanya.

Siau Hoo angkat kedua tangannya, untuk dirangkapi. “Aku ada seorang she Kang.” ia menyahut dengan sabar.

“Aku datang kemari untuk cari Lu Cong Giam dengan siapa aku hendak bicarakan suatu urusan. Barusan aku lihat dia mendaki gunung ini dan datang kemari, dari itu aku susul dia kesini.” Imam itu mengawasi dengan romannya tetap dalam keheranan.

“Kuilku ini adalah kuil Thay Hian Koan di puncak Cie Siau Hong,“ ia lantas kasi keterangan. “Disini melainkan ada aku sendiri yang melayani Hian Ceng Loo hong tiang yang sedang sucikan diri. Tidak ada orang yang ketiga yang bisa naik kemari. Lu Cong Giam tinggal dipuncak Ngo Liong Hong, kau boleh cari dia disana. Laginya,  kenapa kau naik kemari dengan bawa-bawa pedang.“

Siau Hoo menjadi mendongkol dengan tiba-tiba, karena ia anggap orang sudah dustakan padanya.

“Toh terang sekali aku lihat dia datang kemari!“ kata ia dengan sengit. “Cara bagaimana kau berani menyangkal? Sekarang aku hendak bertemu sama Yok Hian Ceng! Biar dia ada yang nomor satu diantara Cit Toa-kiamsian, aku tidak takut padanya! Jangan dia berkongkol sama imam perempuan busuk menyembunyikan isteriku disini!“

Lalu, dengan sebelah tangannya, ia tolak kesamping pada imam itu, untuk ia maju melewatkan dia.

Baru Siau Hoo jalan beberapa tindak, lalu dari dalam muilie dari pendopo barat, yang kain penutup pintunya berwarna kuning jeruk, terdengar suara pertanyaan: “Ada apa?“ Itu ada suara orang tua tetapi keren.

Dengan cepat Siau Hoo menghampiri muilie itu, yang ia terus singkap dengan ujung pedangnya, maka itu dengan segera ia berhadapan sama satu imam tua, tubuh siapa terlalu besar dan jangkung, tetapi kumis jenggotnya panjang dua kaki lebih, rambutnya sudah-putih semua, dengan dia punya jubah biru dia nampaknya luar biasa sekali aneh.

Dengan tetap cekal pedangnya, Siau Hoo rangkapkan kedua tanganya. “Yok Too-ya,“ berkata ia, yang segera menduga, siapa adanya imam tua itu, “sudah lama aku dengar namamu yang besar, karena kau adalah yang pertama diantara tujuh Toa-kiamsian, kau terkenal untuk kesucianmu. Aku sendiri adalah Kang Siau Hoo, muridnya Loo sianshe  dari  Kiu Hoa San. Aku datang kemari untuk mencari orang. Isteriku, yang bernama Ah Loan, sudah diculik oleh Too Teng Su- kou, dan aku telah dapat keterangan, imam perempuan itu berkongkol dengan Lu Cong Giam, yang juga berdiam di puncak ini. Isterku itu telah disembunyikan disini ... “

“Kang Siau Hoo!” berseru Yok Hian Ceng tanpa tunggu orang tutup mulutnya. Dia-pun segera hunjukan roman gusar sekali. “Kang Siau Hoo, segala perbuatan kau ini hari di Thian Kie Kong, aku telah ketahui semuanya. Bu Tong San ini ada gunung dimana Cin Bu Ya telah peroleh kesempurnaannya, dan sampai sekarang ini, Thong Bie Hian Hoa Cinjin Sam Hong Cousu masih terus hidup ... ”

Siau Hoo pun segera memotong.

“Aku datang kemari bukan untuk mengacau dengan sengaja!“ ia bilang, “Sikapku disebabkan di gunung kau orang ini benar-ada sembunyi orang jahat! Aku juga mengerti aturan, dari itu waktu tadi aku mendaki gunung ini, aku tidak bawa pedang, sedang pedangku ini adalah senjata yang tadi aku dapat rampas dari tangannya kau orang punya murid. Kau lihatlah ini!“

Siau Hoo sodorkan pedangnya pada imam tua itu.

Yok Hian Ceng lihat pada gagang pedang pita warna kuning, ia manggut.

“Baik!” ia jawab. Dan lantas ia membungkuk sedikit, untuk letaki pedangnya itu dipinggiran, hingga senjata itu menerbitkan suara nyaring. Adalah selagi si anak muda sedikit membungkuk itu, dengan kesebatan luar biasa, Yok Hian Ceng maju sambil ulur sebelah tangannya, hingga jerijinya sudah lantas mengenai orang punya tulang iga!

Ini adalah penyerangan yang Siau Hoo tidak pernah sangka, karena datangnya dari satu imam tua yang tersohor namanya. Segera ia merasakan tubuhnya jadi kaku semua, hingga ia rubuh tanpa berdaya lagi, karena kepalanya membentur jendela, jendela ruji jendela yang bobrok menjadi patah. Ia kaget tetapi sudah kasep. Mesti juga ia sudah tidak berdaya, akan tetapi ia masih bisa tertawa terbahak

“Bagus!” dia berseru. “Baru sekarang aku kenal baik kau orang semua Cit Toa-kiam-sian! Nyatanya kau orang semua ada bangsa tikus yang hina dina!“

Biar bagaimana, pemuda ini toh sibuk juga. Ia segera empos ia punya semangat, ia berniat gunai ilmu kepandaiannya sendiri, akan buat punah orang punya totokan jalan darah itu. Ia ada sangat menyesal, karena kealpaannya, ia telah kena dibokong.

Yok Hian Ceng tidak perdulikan orang punya jengekan, ia segera ambil dua potong tambang terbuat dari rumput, dengan itu dengan sebat ia ringkus Siau Hoo punya kedua tangan dan kaki, dililit pada tubuhnya.

Justeru itu dari luar ada imam, yalah imam yang  tadi Siau Hoo tolak mundur.

“Cousu-ya, orang ini bertenaga sangat besar,”  ia beritahu, ”jangan tambang rumput itu tidak cukup tangguh untuk mengikat dia ... “

“Pergilah kau cari lain tambang.” Hian Ceng jawab imam tukang cari kayu itu, “Sekalian kau juga suruh kau orang datang kemari. Dengan aku yang menjagai, dia ini tidak bakalan bisa loloskan diri.

Imam itu menyahuti lalu dengan tergesa-gesa, ia undurkan diri.

“Yok Hian Ceng, pikirlah baik-baik!“ kata Siau Hoo sambil kertek gigi, karena ia  mencoba menahan hawa amarahnya. “Aku ada muridnya Loo Sinshe dari Kiu Hoa San, maka jikalau kau berani main gila terhadapnya, silahkan kau bunuh aku!“

Air mukanya Yok Wan Ceng berubah dari pucat menjadi merah, menjadi merah padam, kulit mukanya juga bergerak-gerak sampai satu kali, lenyaplah kisutannya. Di akhirnya, ia hunjuk roman murka.

“Janganlah kau gertak aku dengan sebut-sebut nama gurumu!“ ia bilang dalam sengitnya. “Jikalau dia datang kemari, aku juga akan ringkus padanya! Tapi di sni aku telah sucikan diri buat lebih dari pada enam puluh tahun, aku tidak hendak ganggu orang punya jiwa. Kau  tunggu saja datangnya muridku, nanti aku perintah mereka gotong kau turun gunung, untuk diserahkan pada pembesar negeri, supaya kau dihukum untuk kedosaanmu sudah mengacau kesucian gunungku ini, buat kau punya pembunuhan terhadap beberapa jiwanya orang-orang suci!”

“Baik, boleh kau buat apa kau suka!” bersecu Siau Hoo dalam murkanya. “Ku jaga supaya aku tidak sampai dapat lolos, umpama aku bisa loloskan diri, sebelumnya aku injak rata kau punya gunung ini, aku belum puas!“

Habis mengucap demikian, Siau Hoo kembali empos semangatnya, ia hendak buat  darahnya mengalir pula seperti biasa, dengan begitu, ia akan bebas dari bahaya totokan, dengan gampang ia akan berontak buat buat putus semua tambang yang melibat tubuhnya. Akan tetapi, belum sempat ia gunai tenaganya. Ia lihat datangnya imam yang tadi bersama dua kawannya, yang ada bawa tambang, yang jauh terlebih kasar daripada yang mengikat dirinya, hingga di lain saat, ia  sudah dibelenggu terlebih jauh, dilapis dengan belengguannya yang pertama.

Kedua toosu yang baru datang itu adalah Thio Hian Hay dan Lu Cong Giam, maka itu, menampak imam itu, yang disebut imam tetiron, gusarnya Siau Hoo bukan kepalang.

“Lu Tiong Giam, manusia busuk!“ Ia segera mendamprat.

Leng In Kiam-kek berpura-pura tidak mendengar dampratan itu.

“Loo cousu,” ia minta kepada Yok Hian Ceng, “tolong kau serahkan orang ini kepadaku untuk aku yang hukum padanya. Supaya dia tidak mengacau pula di Cousu punya tempat suci ini!”

Yok Hian Ceng menoleh pada imam tamu ini.

“Aku tidak bisa antap dia membunuh orang diatas gunungku ini, tetapi kita orang-orang suci tak dapat langgar pantangan membunuh!” berkata ia dengan suara sungguh- sungguh. “Dia ini berlaku kurang ajar, cukup jikalau kita buat dia tidak berdaya! Kau hendak bawa dia, apa kau niat lakukan terbadapnya? Apakah kau ingin bunuh dia diluar tahuku?“

Lu Cong Giam menjura. “Tidak, Loo-cousu” jawab ia.

“Yok Hian Ceng, aku lihat kau masih pakai aturan, kau nyata ada satu imam baik-baik,” Siau Hoo bilang. “Sekarang kau merdekakkan aku, aku tidak nanti satrukan pula kau orang. Aku memangnya cuma hendak cari Lu Cong Giam, aku hendak ajak dia cari Too Teng, untuk aku minta pulang isteriku!“

Mukanya Cong Giam menjadi pucat dengan tiba-tiba. “Jangan merdekakan dia!“ lekas-lekas dia kata pada Yok

Hian   Ceng.   “Aku   kenal  orang   ini!   Didalam kalangan

kangou, tidak ada kejahatan yang dia tidak lakukan!“

“Fui!“ Siau Hoo berludah. “Tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan? Aku bukannya sebangsa kau! Kau sudah berkongkol sama Too Teng, kau bantu imam perempuan itu culik satu perempuan rakyat jelata dibawa lari kegunung ini!“

“Kau punyakan buktinya?“ tegaskan Yok Hian Ceng. “Pasti!“ sahut Siau Hoo. “Di In Ciat Nia aku telah

bentrok dengan Too Teng hingga kami berdua jadi bermusuhan, lantas dia tantang aku datang ke Bu Tong San ini untuk adu kepandaian terlebih jauh! Isteriku telah terlenyap di kuil di In Ciat Nia, imam tua disitu telah kasikan keterangan padaku bahwa isteriku  sudah  dibawa lari oleh Too Teng, dibawa kesini! Barusan aku telah tanyakan beberapa imam di gunung kau ini, yang sedang potong kayu, antaranya ada yang bilangi aku bahwa kemarin dia pernah lihat Too Teng didalam kota, akan tetapi Lu Cong Giam sebaliknya, dengan mendusta, hendak pancing aku ke Kui ciu! Cong Giam terang sudah berkongkol sama Too Teng, maka itu dia mestinya tahu betul dimana isteriku disembunyikan!“

Yok Hian Ceng melotot terhadap orang she Lu itu. “Mulai saat ini, aku larang kau turun gunung,“ ia ancam.

“Kau mesti berdiam disini, sampai aku sudah  selesai dengan   penyelidikanku!   Andaikata   keterangannya Kang Siau Hoo benar adanya, kau harus ketahui aturan digunungku ini!“

Lu Cong Giam menjura pula.

“Semua ini adalah kedustaannya Kang Siau Hoo,” ia masih bela diri. “Aku tidak kenal imam perempuan yang bernama Too Teng itu! Tadi-pun baru saja aku bicara kepada Kang Siau Hoo ini. Silahkan cousu-ya lakukan penyelidikan, jikalau teecu benar ada lakukan suatu pelanggaran, terserah kepada Cousu-ya untuk ambil keputusan!“

Yok Hian Ceng manggut.

“Oleh karena kau kurang ajar, aku terpaksa ringkus padamu,” kata ia pada Siau Hoo kepada siapa ia berpaling. “Percaya, tidak nanti aku buat kau celaka. Kau  tunggu disini selama tiga hari, aku percaya aku akan segera dapatkan segala keterangan yang perlu, apabila kau benar, aku akan merdekakan kau, nanti di depan kau sendiri, aku akan hukum Lu Cong Giam. Bagaimana jikalau kau cuma ngaco-belo, untuk membuat kotor dan mengaco disini?“

Siau Hoo tertawa dingin.

“Karena kealpaanku, aku kena dibokong ditotok oleh kau!“ sahut ia. “Terserah pada kau, kau hendak bunuh aku atau tidak!”

Kembali ketua Cit Tua-kiam-sian itu manggut.

“Baik,” kata ia. “Dalam tempo tiga hari, pasti aku akan dapat buat terang urusan kau ini.”

Lantas imam ini perintah imam pelayannya, bersama- sama Lu Cong Giam, gotong Siau Hoo kesebuah kamar dalam pekarangan yang ke dua dari pendopo timur, karena ketiga pendopo memang berhubungan satu dengan lain. Disitu ada patung suci, ada hiolo dan lain-lain. Dan disitu Siau Hoo diletaki ke jubin, bukan dengan diturunkan dengan pelahan-lahan, hanya dilemparkan tubuhnya, digabruki! Tapi justru ini bantingan telah membuat darahnya si anak muda, semua bisa mengalir pula seperti biasa, lenyap kebekukannya bekas totokannya Yok Hian Ceng! Hanya karena ia dibelenggu keras, ia tak dapat loloskan diri.

Lu Cong Giam, dengan tidak berpaling lagi, ajak  si imam kawannya keluar pula dari kamar itu, pintunya ia segera kunci. Ia didamprat tapi ia diam saja.

Siau Hoo coba geraki tubuhnya akan mencelat  bangun. Ia berhasil berdiri, tapi karena kedua kakinya diikat rapat satu dengan lain, ia tak dapat bertindak. Ia punya kedua tangan juga sukar diulur, untuk dipakai membuka ikatan pada kakinya itu. Maka akhirnya, kembali ia  jatuhkan dirinya, akan duduk dengan kaki melonjor.

Di belakang ini anak muda ada tembok, ia  gusur lengannya ketembok itu, untuk buat tambang terputus, sampai lama, ia tidak peroleh hasil. Dan terus sampai kamar jadi gelap, ia tetap belum mampu loloskan diri. Ia duduk diam sambil beristirahat, tetapi ia punya hati terus bergolak saking panas.

“Asal aku mampu lepaskan diri, aku nanti bunuh habis mereka semna!“ ia berpikir dalam mendongkolnya.

Tiba-tiba ada terdengr suara dipintu, suara dari dibukanya daun pintu , kemudian muncul bayangannya satu orang.

Siau Hoo kaget, ia mengawasi. Ia diam saja.

Orang itu masuk dengan tidak ambil mumat pada si anak muda, ia menuju langsung kemeja, ia  nyalakan api, ia pasang pelita diatas meja, kemudian ia pasang sembilan batang hio dengan apa ia tekuk lutut, akan bersembahyang sambil manggut berulang-ulang, guna hunjuk kesujutannya.

Diantara cahaya pelita, Siau Hoo kenali si imam sebagai imam yang tadi belenggu ia.

“Eh, sahabat!” ia menegor, “Mari kau bukai belengguanku, aku hendak pergi cari Too Teng dan Lu Cong Giam! Dengan kau orang, aku tidak punya urusan apa-apa lagi, jikalau tidak, awas!“

Imam itu tidak menjawab, ia tetap lakuannya ibadatnya, sesudah bersujut, dengan manggut sembilan kali, ia padamkan pelita, terus ia pergi keluar. Pintu segera dikunci pula.

Siau Hoo mendongkol, hingga ia mengumpat-caci. Ia mengawasi ke pintu ia noleh kesekitarnya, tatkala ia lihat sembilan batang hio, yang apinya seperti kelak-kelik. Dalam gelap-gulita, api hio itu tertampak nyata. Tiba-tiba, ia ingat sutatu apa. Tidak tempo lagi, ia geraki tubuhnya, akan loncat bangun pula. Walau kedua kakinya terikat, ia toh bisa berlompotan. Maka itu, sambil berjingkrakan, dalam beberapa kali saja, ia sudah bisa menghampiri meja abu.

Dengan ulur kepalanya, pemuda ini bisa mendekati hio, lalu ia geraki mulutnya, giginya, akan gigit sebatang hio. Kemudian, ia tunduk, ujung hio, yang nyala, ia tujukan pada tambang yang melibat tubuhnya. Api  lantas membakar tambang itu. Hanya belum sampai tambang hangus, apinya hio patah dan jatuh. Tetapi Siau Hoo tidak putus asa, kembali ia gigit sebatang yang lain, akan sulut pula tambangnya. Sekali ini, ia berlaku hati-hati, supaya ujung api tidak tertekan dan patah seperti yang pertama.

Banyak waktu dilewatkan untuk buat putus selembar tambang, maka itu, sebatang hio keburu habis, hingga ia mesti ambil sebatang yang lain. Tambang libatan luar ada kasar sekali, tidak gampang akan bakar putus itu, dari itu, beruntun, sampai enam kali hio telah ditukar. Karena tambang menyala, bajunya Siau Hoo turut terbakar, dari itu, kulitnya turut terkena api juga, hingga ia merasakan sakit. Tapi ia ada kosen, ia menahan sakit sebisa-bisa. Api mengenai dadanya. Pundaknya pun pegal bekas  tunduk saja.

Masih tambang tidak mau putus, masih Siau Hoo ulangi percobaannya. Selama itu, kembali banyak waktu telah diberi lewat.

Tiba-tiba kunci pintu berkelotak, segera daun pintu menyusul terbuka. Di pintu kelihatan satu tubuh manusia, siapa sudah lantas nyalakan api, hingga sekarang kelihatan dia punya tubuh dan roman dengan jelas.

Siau Hoo kaget. Ia kenali orang itu ada Too Teng Su- kou, roman siapa, yang memangnya bengis, menghunjuki rupa yang menakutkan. Dia ada cekal sebatang golok, berulang-ulang dia beri dengar tertawa dingin, tertawa menghina. Dia diam saja, tapi cepat sekali, ia lompat pada anak muda kita, untuk bacok padanya.

Bukan main ancaman bencana itu, akan tetapi sementara itu, tambang telah terbakar banyak oleh api hio, yang sudah menyala melepas, maka, dalam saat sangat berhahaya itu, Siau Hoo geraki seantero tenaganya, akan beronrak. Ia berhasil, tambang putus dari libatan, tubuh dan tangan. Maka itu, ketika golok sampai, sambil mendek ia bisa ulur sebelah tangannya, akan tahan orang punya tangan sebatas siku.

Too Teng menyerang dengan tanan kanan, sekarang tangan itu kena tertahan, hingga bacokannya gagal, dari itu, untuk menyerang lebih jauh, dengan tangan kirinya, yang masih memegangi apinya yang menyala, ia sampok muka musuhnya.

Untuk loloskan diri dari bahaya terbakar, Siau Hoo tolak orang punya tubuh, tubuhnya sendiri mengikuti, maka tempo Too Teng rubuh, ia pun, rubuh, menimpa orang punya badan, hingga si imam kena ketindihan. Sementara itu, sedang sebelah tangannya terus menahan orang punya golok, tangannya yang lain dipakai akan loloskan sisa libatan tambang, terutama libatan pada kakinya.

Oleh karena ia tidak lagi pegangi api, Too Teng gunai tangan kirinya, akan cari sang lawan punya iga, untuk dicengkeram, untuk ini, ia pakai lima jarinya yang dipusatkan tenaga.

Bahan api dari Too Teng, yang terbuat dari kertas yang tergulung. Apinya tidak lantas padam ketika terlepas dari cekalan dan jatuh, malah api itu sudah samber si imam punya jubah yang gerombongan, terus menyala. Bukan main kagetnya dia ini, hingga dia keluarkan jeritan. Akan tetapi ia sangat benci Siau Hou, ia ada sedang sengitnya, melupai bahaya, ia cari musuh punya jalan darah.

Siau Hoo telah lindungi dirinya seraya ia berkutat akan rampas orang punya golok. Ia bertubuh licin, iganya tidak kena dicengkeram atau ditotok, dilain pihak, ia berhasil merampas orang punya senjata. Maka itu, sambil berlompat bangun, terus saja ia kirim bacokannya.

Too Teng lihat ancaman bahaya, dengan bajunya menyala, ia gulingkan diri, akan kelit serangan yang berbahaya itu.

Siau Hoo lihat bacokannya lolos, ia lompat maju, akan mengejar. Dengan baju sucinya terbakar, apinya  menyala, tubuhnya Too Teng tertampak mirip dengan seekor rase yang lagi dibakar hidup-hidup, ia terus bergulingan, ke satu untuk lolos diri serangan, ke dua akan coba buat padam api itu. Tak usah dibilang bagaimana ia mesti menderita sakit karena panasnya api.

Oleh karena tubuhnya si imam perempuan seperti terbungkus api, gampang sekali untuk Siau Hoo lihat dan susul padanya.

Too Teng bergulingan sampai diluar kamar, kemudian dengan paksakan diri, ia enjot tubuhnya akan lompat naik keatas genteng. Dengan bergulingan ia berhasil membuat api ditubuhnya padam, tinggal api yang melepes dan masih menerbitkan sinar merah.

Siau Hoo mengejar terus, ia berlompat naik dengan tidak kurang sebatnya, begitu ia sudah sampai diatas dan datang dekat musuhnya, ia membacok.

“Aduh!”

Itulah jeritan yang mengerikan dari Too Teng, tubuh siapa segera bergulingan pula, untuk jatuh kebawah, terbanting ditanah!

Sekali ini, Siau Hoo tidak mengejar, dia hanya berdiri diam diatas genteng, untuk keluarkan elahan napas, dan leganya hati untuk sekalian menghilangkan lelah.

Dalam saat-saat itu, ia sudah berkelahi dengan ancaman malaekat maut.

Baru saja pemuda ini menghela napas, atau ia menjadi sangat kaget. Di belakang ia ada datang serangan dengan tiba-tiba. Tidak tempo lagi terutama karena tidak ada jalan lain, ia jatuhkan diri, ia gulingkan tubuh, diatas genteng, hingga ia terus menggelinding jatuh ke tanah, mirip dengan jatuhnya Too Teng tadi.

Itulah Yok Hian Ceng, yang menyerang secara mendadak. Ditangannya imam yang liehay ini ada sebatang bambu mirip dengan tongkat kecil. Ia-pun loncat turun kapan ia dapati orang berkelit seraya jatuhkan diri. Begitu menginjak tanah, kembali ia menyerang. Ia mencari orang punya jalan darah!

Siau Hoo punya golok belum terlepas dari tangannya, ia berlompat bangun sambil tangkis serangan itu. Karena ia ada sangat mendongkol, ia menyerang secara hebat sekali.

Yok Hian Ceng tarik pulang bambunya, atas mana, ia di desak. Ia berkelit mundur, lantas ia maju pula, kembali ia menotok. Ia selalu cari orang punya hiat-too, atau jalan darah.

Siau Hoo lihat orang punya berbagai serangan, ia insaf. Ia tidak mau kalah, ia menangkis, ia menyerang, dengan hebat sekali. Ia tidak sudi kasi ketika akan imam itu kena totok padanya, hingga mau atau tidak, Yok Hian Ceng kewalahan juga, dia sudah menyerang tiga-puluh jurus  lebih, hasilnya belum ada.

Selagi layani imam tua yang sangat liehay itu, Siau Hoo lihat cahaya api mendatangi kearah mereka, berbareng dengan mana, suara orang ada riuh. Ia mengerti itulah orang-orangnya si imam, yang sedang cari atau susul ianya. Maka ia pikir untuk tidak berdiam lama-lama disitu. Dengan satu loncatan ia naik keatas genteng.

Ketua Toakiam-sian dari Bu Tong San tidak mau mengerti, ia juga enjot tubuhnya, akan menyusul naik, sembari berlompat, ia membarengi menotok orang punya bebokong. Tapi Siau Hoo tak kurang liehaynya, sambil memutar tubuh, ia membabat, akan tangkis atau halau serangan itu.

“Srat!“ demikian satu suara, dan ujung tongkat bambunya Yok Hian Ceng tersapat kutung!“

Menyusul itu, Siau Hoo maju untuk membarengi menyerang lawan itu.

Yok Than Ceng menyingkir dari golok ia segera loncat turun.

Melihat orang mundur, Siau Hoo tidak mengejar, ia hanya gunai ketika itu akan berlari-lari keatas genteng, untuk menyingkir dari musuh-musuhnya, yang ia tidak sudi layani. Dari lain bagian dari genteng, ia tampak cahaya api dibeberapa tempat, semua menuju kearah dia. Ia mengerti, orang telah cari ia dibeberapa penjuru, rupanya lekas sekali orang dapat tahu tentang lenyapnya.

Untuk menyingkir dari berbagai rombongan itu, Siau Hoo cari tempat yang gelap. Ia turun dari genteng, ia jalan terus, sama sekali ia tidak perdulikan berdesirnya angin musim rontok. Sesudah melalui jurang, yang berselokan, ia cari sebuah batu besar, yang bebas dari serangan angin. Disini ia letaki tubuhnya sesudah ia  lepas goloknya dipinggiran, ia menghela napas lega, ia berpikir.

“Hebat sekali pengalamanku hari ini. Satu hari penuh, aku belum dahar, sama sekali, aku belum minum. Kawanan toosu berjumlah besar, Yok Hian Ceng punya ilmu totok ada liehay sekali, cara bagaimana aku bisa layani mereka? Bagaimana aku bisa cari Ah Loan?“

Bukan saja lelah, pemuda ini menjadi pusing kepalanya memikirkan kesulitannya itu. Ia rebah terus. Saking letih, rokhani dan jasmani, akhir-akhirny ia tertidur sendirinya. Berapa lama ia sudah tidur, ia tidak tahu ia hanya tersadar ketika ia rasakan tubuhnya dingin, apabila ia buka kedua matanya, ia lihat cahayanya sang fajar. Sinar matahari sudah telan kabut di puncak gunung. Ia lantas berbangkit, ia jumput goloknya tetapi, selagi berdiri diam ia berpikir.

“Kemana aku mesti pergi?“ demikian ia tanya dirinya sendiri. “Tidak ada gunanya aku layani sekalian imam itu. Paling benar aku cari Lu Cong Giam seorang. Coba Too Teng tidak mampus diujung golokku, aku perlu cari dia, dia pasti tahu di mana adanya Ah Loan ... ”

Lalu, dengan tenteng goloknya, pemuda ini buka tindakannya. Ia berjalan diantara kabut. Ia  jalan terus, entah berapa jauh, berapa lama, ia telah lewati beberapa tikungan dan puncak. Selagi kabut jadi semakin tebal, tiba- tiba ia dengar suara orang liamkeng, agaknya dekat sekali. Maka ia merandek.

“Tidak perduli tempat apa, aku mesti cari nasi!“ demikian ia pikir.

Maka ia bertindak pula, sekarang dengan arah  tujuan dari mana suara datang.

Tidak jauh dari situ, ada sebuah kuil, yang terkurung tembok. Untuk bia masuk kedalam, ia loncat naik keatas tembok itu, sambil berdiri ia memandang kesebelah dalam.

Suara pembacaan doa keluar dari pendopo kuil itu. “Tidak perlu  aku  ketemui mereka  itu,” pikir  pula  Siau

Hoo, sesudah  mana, ia  loncat  turun  kepekarangan dalam.

Selagi ia bertindak maju, ia  dengar suaranya pesawat penyedot angin, maka ia menuju ketempat suara angin itu, hingga sebentar kemudian ia sampai disebuah kamar dapur. Disitu ada satu imam sedang masak, berasnya lagi bergolak- golak didalam kwali. Imam itu sedang masak bubur.

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar