Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 08

Jilid 08

KIRA-KIRA dua-puluh lie kemudian, mereka lantas tampak tembok kota, jalan biar-pun ramai dengan kuda, kereta dan orang banyak. Tanpa merasa Siau Hoo merasakan dadanya berdebaran.

“Suhu, apa itu kota Cie-yang?“ ia tanya gurunya. Cie Kie manggut.

“Benar,” sahut la. “Kau jangan takut, mari ikut aku.” “Aku tidak takut sedikit juga, suhu!“ kata sang murid.

Siau Hoo seperti tak dapat kendalikan diri, kakinya seperti mau bergerak, tangannya seperti hendak hunus goloknya. Sebaliknya gurunya jadi lebih sabar, kudanya- pun tidak dilarikan lagi.

Sebentar kemudian mereka sudah masuk di Say-kwan, pintu kota Barat. Kelenengan kuda terus berbunyi, hingga banyak orang yang perhatikan mereka.

Selang sedikit lama, mereka sampai di sebuah rumah dengan pekarangan yang besar, dimana di tembok di pintu ada tulisan huru-huruf besar: “Ceng Wan Piauw Tiam.”

“Kita sudah sampai!“ kata Cie Kie seraya ia menoleh pada muridnya, kemudian ia majukan kudanya sampai di pintu yang berjeruji. Ketika itu didalam pekarangan disebuah kursi ada duduk seorang yang lagi mengasokan diri, mukanya biru, kumisnya gompiok. Dia adalah Coan-in-yan Liong Cie Teng. Dialah yang dirumah gurunya, sudah kena ditikam oleh Siau Hoo, dan sampai sekarang lukanya masih belum sembuh. Ia dapat lihat Cie Kie, yang ia kenali, ia kaget hingga ia keluarkan seruan tertahan. Ia-pun segera lihat Siau Hoo, hingga ia bertambah kaget dan heran.

Tatkala itu, Cie Kie cabut pedangnya, dan Siau Hoo turut menghunus golok.

“Bagus!” akhirnya Cie Teng berseru, setelah lenyap kagetnya, ia dapat pulang ketabahannya. Hanya ketika itu, buat bebangkit saja ia tidak mampu. “Kau datang untuk menuntut balas, bukan? Siahkan, bunuhlah aku!“

Matanya Siau Hoo mendelik dan jadi merah. Ia loncat turun dari kudanya, ia lompat maju.

“Jangan!“ berseru Cie Kie, membunuh seorang sakit bukannya satu enghiong!“

Hampir itu waktu, dari kantoran tiga piauwsu, yang dua membawa yang satu samber tumbak di para.

Siau Hoo kenal orang yang ke tiga itu, ialah Tan Cie Cun.

“Oh, kau, binatang?” berseru Tan Cie Cun, yang segera lihat kacung itu. Ia lompat maju menikam.

“Jangan,” mencegah kedua suhengnya, Po-long-kauw Kee Cie Beng dan Sin-kun Hauw Cie Hong.

Cie Beng hampiri Cie Kie dan memberi hormat. “Sahabat, apa she dan namamu yang mulia?“ ia tanya.

“Ada urusan apa kau datang kemari?” Belum Cie Kie menyahut, Cie Teng sudah serukan dua saudaranya: “Dia adalah Long tiong-hiap Cie Kie!“

Air mukanya Cie Beng berubah denga segera, juga dua saudaranya.

Cie Kie loncat turun dari kudanya, yang ia serahkan pada Siau Hoo. Ia maju dua-tiga tindak, ia  ulapkan pedangnya, dengan mata bersinar gusar, ia awasi ketiga orang itu.

“Apakah kau ada murid-muridnya Pauw Kun Lun?“ ia tanya. “Ya, kalau kau antar piauw ke Sucoan Utara, segala apa juga kau berani berbuat! Cie Teng dan saudara nya, segala dahulu aku tidak ada di rumah, sudah binasakan dua pegawaiku! Kalau sekarang Cie Teng bukannya sedang sakit, pasti aku sudah lantas bunuh padanya! Kedatanganku sekarang ini ada untuk adu kepandain dengan orang2 Kun Lun Pay, kecuali kau tunduk dan menyerah kalah, hayolah maju satu persatu akan tandingi aku, sampai hidup atau binasa! Dari sini aku nanti cari Pauw Kun Lun sendiri, si  tua bangka!“

Cei Beng dan Cie Hong gusar bukan main karena guru mereka-pun dicaci, mereka loncat menyerang, maka itu, kedua golok lantas saja bentrok dengan pedangnya Long Tiong Hiap.

Tan Cie Cun, yang bersenjatakan tumbak, lantas singkirkan Cie Teng, kemudian, dengan sengit, ia hampiri Siau Hoo yang ia hendak hajar, akan tetapi itu waktu, Hauw Cie Hong telah rubuh terkena pedangnya musuh, maka ia batalkan niatnya, ia lalu serang Cie Kie.

Long Tiong Hiap layani dua musuh itu, baru tiga jurus ia dapat sampok tumbaknya Cie Cun, ujung pedangnya terus meluncur pada bahu musuhnya, hingga musuh ini tak dapat berkelahi lebih jauh. Sekarang mereka bertempur satu sama satu. Tidak kecewa Kee Cie Beng jadi salah satu murid kesohor dari Pauw Kun Lun, ia bisa berkelahi dengan gagah, ia coba hunjuk harga dirinya sebagai Cieyang Sam Kiat, salah satu dari Liga jago Cie-yang.

Tidak gampang2 buat Cie Kie bisa rubuhkan musuh ini, maka seterusuya ia mainkan pedangnya di sebelah atas. Cie Beng repot menangkis, sudah beberapa kali, ia insaf tenaga besar dari musuh, karena lengannya bergemetar dan ngilu, selanjutnya ia tidak heran adu senjata, ia setiap kali berkelit, sedang waktu  musuh serang sasaran kosong, ia balas membacok atau membabat.

Ce Kie mendesak, tapi ia-pun ada awas dan sebat, ia bisa jaga diri dari sesuatu bacokan.

Selama itu, Cie Beng berkelahi dengan main mundur, hingga ia mundur keluar tembok.

“Awas suhu, jangan beri dia kabur?” Siau Hoo teriaki gurunya.

Berbareng dengan itu, dari luar ada menerobos masuk satu orang dengan tubuh besar, mukanya yang hitam jadi tidak keruan warnanya. Dia ini ada Twie-san-houw. Dia kenal musuh, dia lantas menyerbu.

“Oh, Cie Kie!“ ia berseru.

Maka sekarang Long Tiong Hiap kena dikepung berdua pula. Hingga Cie Beng jadi dapat ketika untuk mengumpul tenaga pula.

Cie Kie tidak beri dirinya didesak oleh kedua musuh itu, malah dengan mainkan pedang kekiri dan kanan, ia hendak desak mereka itu. Berselang lagi empat-belas jurus, tiba-tiba Cie Beng menjerit hebat, tubuhnya rubuh, menampak mana, Long Cie Khie lompat mundur, akan lari keluar tembok.

Cie Kie loncati tubuhnya Cie Beng, akan kejar lawannya itu.

Melihat demikian, dengan menuntun kuda memburu keluar.

Di jalan besar, orang jadi kalut dan ribut, semua singkirkan diri jauh2.

Liong Cie Khie lari ke Barat, ketika ia lewat di depan sebuah piauwtiam lain, dari situ muncul kira-kira sepuluh orang yang semua bersenjata, mereka beri Cie Khie lewat, lantas mereka cegat pengejarnya.

Cie Kie tahu ia berhadapan dengan orang-orang Kun Lun Pay, ia tidak perdulikan mereka, malah ia gusar yang  ia dirintangi maka ia serang mereka ini. Dengan lekas ia rubuhkan dua orang, ia buka jalan diantara yang lain- lainnya, lantas ia kejar pula Liong Cie Khie.

Siau Hoo, sambil tuntun kuda gurunya, sedang kudanya sendiri ia telah naiki, coba susul gurunya itu, ia buka jalan di antara orang banyak, goloknya ia pakai menyabet kekiri dan kekanan.

”Jangan kasi dia lolos! Diantara orang2 Kun Lun Pay, dia yang paling jahat!” bocah ini berteriak-teriak, akan anjurkan gurunya.

Liong Cie Khie tidak perdulikan apa juga, ia panjangkan langkahnya akan menyingkirkan diri. Ia lari ke arah Barat. Ia telah lari kira-kira satu lie, lantas disebelah depan ia, ia lihat serombongan penunggang kuda. Mereka itu pada hunus senjata dan mencegat. Twie-san-houw lantas kenali rombongannya keluarga Wan dari Lam-kang, Sucoan Utara. Ia duga mereka ada kawannya Cie Kie, ia jadi gusar, ia lantas serbu mereka itu untuk buka jalan, hingga Wan Yong dan keponakannya serta orang-orangnya layani ia.

Cie Khie dan Kang Siau Hoo mengejar terus, mereka lantas dapat menyandak.

Liong Cie Khie berada dalam bahaya, ia menjadi nekat.

Dengan memainkan senjatanya, ia coba buka jalan darah.

Dalam saat yang berbahaya itu, tiba-tiba dari arah belakangnya ada datang satu penunggang kuda, ini berarti bala bantuan untuk Twie-san-houw, si Harimau Gunung, karena orang itu adalah Lou Cie Tiong, yang menunggang kuda hitam. Dia datang karena permintaan tolong dari orang-orangnya persaudaraan Liong.

Lou Cie Tiong lewati Siau Hoo, ia hampiri Cie Khie, yang ia terus terjang.

Long Tiong Hiap putar tubuhnya akan tangkis serangan itu.

Karena tidak puas bertempur di atas kuda, Cie Tiong loncat turun dari kudanya itu.

Long Tiong Hiap tidak niat bertempur lama, maka itu ia segera keluarkan kepandaiannya. Ia ingin dengan beberapa kali tikam saja, musuh sudah rubuh. Apa mau Cie Tiong ada lihay. Hal ini membuat Cie Khie heran, ia lantas coba mendesak, dengan ubah caranya bersilat.

Cie Tiong dengan goloknya, ia sauggup layani musuh  itu, Long Tiong atau Sucoan Utara.

Liong Cie Khie jadi dapat hati, ia serbu rombongan Wan Yong dengan hebat, ia dapat rubuhkan satu cunteng, kuda siapa segera ia rampas. Setetah berada di atas kuda, ia bukan bantu Cie Tiong, ia hanya kabur ke barat. Melihat orang kabur, orang-orangnya keluarga Wan tidak mengejar hanya mereka lantas kurung Cie Tiong.

Kang Siau Hoo jadi sangat sibuk.

“Jangan serang dia! Jangan serang dia!” ia menjerit berulang-ulang. “Dia ada orang baik!”

Ketika itu, Cie Tiong juga telah berhasil menahan pedangnya lawan.

“Long Tiong hiap, tahan!” ia berseru. “Kau beri keterangan dulu padaku, apa perlunya kau datang menyerang pihak kita disini apa lantarannya?”

Cie Khie suka tahan pedangnya.

“Kau tanya apa latarannya?” ia balik tanya dengan bersenyum dingin. “Apakah kau masih belum tahu? Pihak Kun Lun Pay dalam beberapa tahun  ini suka berbuat sewenang-wenang di Sucoan Utara! Aku sekarang datang untuk takluki kau semua!” Kemudian ia tunjuk pihak keluarga Wan seraya kata pula, “Aku tidak punya sangkutan atau hubungan dengan mereka ini. Bukanlah aku yang perintah mereka bantui aku! Jikalau kau tidak puas, mari maju, kita bertempur satu sama satu!”

Mendengar demikian, Lou Cie Tiong angkat kedua tangannya buat memberi hormat.

“Long Tiong Hiap, sudah lama aku dengar nama besarmu di Sucuan Utara.” kata la. “Umpama diantara kita kedua pihak ada ganjalan, itu perlu dibicarakan terus terang depan berdepan! Kenapa kita mesti datang-datang adu jiwa? Apakah orang tidak akan tertawakan kita karena kesembronoan kita ini?“

Cie Kie tersenyum ewa. “Kau hendak omong secara orang terhormat padaku, ya?“ katanya. “Apakah kau sudah lupa bagaimana persaudaraan Liong telah satroni rumahku dan telah bunuh dua orangku! Sekarang kita baik jangan adu lidah! Kau bersendirian saja, aku tidak ingin layani ... ”

Setelah kata begitu, Ce Kie hampirkan muridnya akan sambuti les kuda. Dengan gesit ia loncat naik atas kudanya, pedangnya ia masukan kedalam serangkanya.

“Mari!“ ia berseru. “Mari kita pergi ke Tin-pa akan cari Pauw Kun Lun!”

Lou Cie Tiong ada sangat mendongkol.

“Kau mesti tahu diri, jangan turuti napsu hatimu!“ katanya dengan sengit.

Siau Hoo merasa sangat tidak enak hati, ia-pun tidak bisa bicara kepada Lou Cie Tiong, dari itu, terus saja ia susul gurunya.

Wan Yong semua lihat apa yang telah terjadi, mereka tidak serang Cie Tiong, mereka larikan kudanya akan susul Long Tiong Hiap. Maka suara kaki kuda jadi sangat berisik, debu mengepul naik. Tujuan ada ke Barat menikung ke Selatan, langsung ke Tin-pa.

Siu-Pa Ong Wan Cu Ciauw susul Siau Hoo.

“Adik kecil, bukankah ayahmu ada Kang Cie Seng?” ia tanya.

Siau Hoo menoleh, air mukanya suram.

“Bear,” ia menyahut, suaranya keras tetapi bercampur sedih. “Persaudaraan Liong adalah musuh2 yang bunuh ayahku itu!”

“Baik kau jangan persalahkan persaudaraan Liong,” Cu Ciauw berkata. “Selama disepanjang jalan, aku telah dengar hal ikhwal ayahmu. Ayahmu itu telah dibinasakan oleh Pauw Kun Lun sendiri. Semua murid Pauw Kun Lun ketahui apa yang sudah terjadi, tetapi hal itu mereka tidak berani omongkan pada orang luar!“

Siau Hoa kaget, sampai ia rasakan hatinya sakit, kepalanya pusing, hingga hampir ia rubuh dari atas kudanya, syukur ia bisa cekal les dengan keras dan kedua kakinya menjepit perut kuda. Dengan tidak merasa lagi, air matanya turun dengan deras.

“Aku memang sudah duga!“ kata ia sambil menangis. “Pauw Kun Lun bukan saja telah bunuh ayahku, dia juga dahulu hendak binasakan aku sendiri, hanya kemudian ... ” ia menggerung2 hingga kata2nya jadi tertunda. Ia melanjutkan, “Oleh karena dia telah bunuh ayahku, Pauw Kun Lun bikin ibuku mesti menikah pula dengan  orang lain! Dan adikku sekarang bukan lagi seorang she Kang. Tuabangka itu pada dua tahun yang lalu  niat membinasakan aku, hanya entah kenapa, kemudian ia justeru ajak aku diperintah angon babi dan piara kuda ... Celaka adalah anaknya, Cie Lim, dia setiap hari caci dan labrak aku!“

Cie Kie dengar keluhan itu ia menoleh.

“Kau jangan menangis! Sekarang juga aku balaskan sakit hatimu!“ berkata bakal guru itu.

“Suhu, aku anggap tidak usahlah kau yang membalaskan sakit hatiku,” kata Siau Hoo dengan masih menangis. “Aku seudiri sanggup binasakan tua bangka she Pauw itu!“

Long Tiong Hiap bersenyum.

“Tidak demikian gampang, anak!” kata ia. Tapi, menghadapi rombongannya Wan Yong, ia kata dengan nyaring; “Kalau sebentar kita sampai di Tin-pa, selagi aku layani Pauw Kun Lun, aku larang kau bantui aku! Jikalau tidak, aku bisa gusar karenanya!“

Cie-bian-say Wan Yong, Si Singa Muka Merah, tertawa gelak2.

“Pasti kita tidak akan bantu kau!“ kata ia dengan keras, “Kita datang kemari untuk menonton keramaian!“

Sementara itu, kuda mereka berjalan terus, kudanya Long Tiong Hiap jalan paling depan. Tujuannya Barat- selatan. Semua kuda lari dengan keras. Kapan satu jalanan gunung telah dilewati, orang telah mulai memasuki daerah Tin-pa.

Ketika itu baru jam empat kira2, semua orang sebenarnya belum bersantap tengah hari, akan  tetapi mereka terus larikan kuda mereka, malah dengan terlebih keras lagi.

Tidak antara lama, Kang Siau Hoo segera lihat kota Tin- pa, menyusul mana ia pun tampak Pauw-kee-cun, hingga sendirinya hatinya menjadi tegang. Ia ingat  musuhnya, ayah dan anak, ia ingat juga Ah Loan. Kemudian iapun ingat ibu dan aduknya didalam kota …

Kapan rombongan ini sudah sampai dimuka kampung, di depan Pauw-kee-cun, di sana sudah menantikan lima atau enam orang, yang semua bergegaman golok. Siau Hoo segera kenali Pauw Cin Hui serta Liong Cie Khie, Ma Ce Hian, Lauw Cie Wan, Cin Cie Po dan seorang yang ia tidak kenal. Pauw Cie Lim tidak ada diantara mereka itu. Nyender pada sebuah pohon ada Pauw Ah Loan tangan siapa menyekal sebatang golok pendek, dan nona ini menuding bocah kita, matanya mendelik, giginya berkerot, nampaknya ada gusar dan sengit. Nona itu dandan serba merah. Mukanya Siau Hoo menjadi merah, sendirinya, ia likat, akan tetapi kapan ia tengok romannya Cin Hui, kedua matanya menjadi seperti menyala.

Tatkala itu Pauw Cin Hui majukan diri sesudah ia berkata2 pada murid2nya yang rupanya ia larang sembarang maju. Mukanya merah padam dan kadang pucat pias, kumis jenggotnya seperti bergerak suatu tanda ia ada sangat gusar tetapi ta coba kendalikan diri. Karena besar dan gemuk tubuhnya, ia seperti sukar bertindak.

“Yang mana satu ada tuan Long Tiong Hiap?” begitu ia perdengarkan suaranya, sebelah tangannya-pun diangkat, menggape.

”Silahkan turun dari kuda!“

Long Tiong Hiap juga tahan rombongannya Wan Yong, ia loncat turun dari kudanya, sambil bawa pedangnya ia bertindak menghampiri jago dari Tin-pa itu, ia hunjuk sikap yang tenang.

“Aku adalah Long Tiong hiap,” ia jawab.

Dengan kedua matanya dipentang lebar2, Pauw Kun Lun awasi jago Long-tiong dari atas sampai ke bawah, kemudian ia angkat kedua tangannya memberi hormat.

“Sudah lama, sudah belasan tahun aku dengar nama besarmu tuan, baru sekarang aku bisa bertemu satu pada lain!“ berkata ia.

Long Tiong Hiap-pun membalas hormat.

“Saudara Cie,” kata Pauw Kun Lun kemudian napasnya sedikit memburu, “hari ini kau datang kemari, adakah itu untuk mewakili Kang Siau Hoo membalas sakit hati ayahnya? Kang Cie Seng memang benar aku yang bunuh, dan itu silahkan saudara Cie bunuh aku saja, tetapi aku mohon dengan sangat agar kau tidak ganggu murid2ku!”

Akan  tetapi Long Tiong Hiap menggeleng kepala. “Itulah  bukan  maksudku,”  ia  jawab.  “Kang  Cie  Seng

adalah  Kun Lun Pay, dari itu permusuhan diatara  kau guru

dan murid tidak ada sangkutannya dengan aku. Memang benar Kang Siau Hoo datang bersama2 aku, tapi aku bukannya hendak bantu dia, seperti dia-pun bukannya berniat nembantu aku! Aku datang cari kau untuk urusanku sendiri!“

“Aku sendiri belum pernah ganggu kau,” Pauw Kun Lun bilang.

“Benar kau sendiri belum pernah ganggu aku tetapi kau telah umbar murid2mu main gila di Sucoan Utara dimana mereka malang-melintang!” Cie Kie bilang.

“Itulah urusan yang gampang diurusnya!” Pauw Cin Hui bilang. Kau tunjuk muridku, yang mana satu sudah berlaku kurang ajar terhadap kau, nanti aku panggil dia untuk mohon maaf padamu!”

“Aku melainkan tidak puas terhadap persaudaraan Liong! Selagi aku tidak ada di rumah, mereka sudah datang menyatroni dan binasakan dua orangku! Maka itu, aku mesti bekuk mereka itu! Liong Cie Teng sedang sakit, aku tidak hendak ganggu dia, tidak demikian dengan Liong Cie Khie! Dia sekarang ada disampingmu, suruhlah dia maju!“

Mendengar demikian, Pauw Kun Lun geleng kepala berulang2.

“Long Tiong Hiap, jangan kau keterlaluan!” ia kata. “Murid2ku ini telah ikut aku banyak tahun, aku pandang mereka sebagai anak2ku sendiri. Jikalau mereka langgar aturanku, yaitu mengganggu perempuan baik2, pasti aku bunuh mereka, tak nanti mereka dapat ampun pula. Akulah yang mesti turun tangan sendiri. Kalau orang lain yang memikir atau ganggu muridku, walau-pun selembar rambutnya. Hm! Hm! Jangankan kau yang termasuk golongan muda di mataku, sekalipun Siok Tiong Liong, Naga dari Sucoan, dan Liong Bun Hiap. Jago dari Liong- bun, jangan harap!”

Mendengar omongan besar itu, Long Tiong Hiap bertindak maju.

Selagi orang bergerak, Ah Loan dibawah pohon teriaki engkongnya: “Engkong, awas. Dia hendak menyerang!”

Pauw Kun Lun menoleh pada cucunya  itu,  ia perlihatkan senyunan meringis, kemudian tangannya digoyang2.

“Jangan kuatir! Long Tiong Hiap bukan bangsanya yang kau maksudkan,” kata ia. Kemudian ia menoleh pada jago dari Long-tiong itu. Ia berkata: “Aku tahu bugeemu ada diatasan semua muridku tetapi aku sendiri rasanya masih sanggup layani kau! Umpama kejadian ini pada duapuluh tahun yang lalu, pasti aku tidak akan ijinkan kau datang ke Cie-yang dan Tin-pa ini untuk malang melintang hingga kau bisa lukai beberapa muridku!”

Berkata begitu, kedua mata besar dari Pauw Kun Lun jadi melotot.

“Sudah jangan terlalu banyak omong!” Long Tiong Hiap membentak, iapun mendelikkan matanya. Mari kita mulai bertanding!”

“Jangan terlalu tergesa2” kata Pauw Cin Hui. “Aku masih hendak sedikit bicara!” Dan ia urut kumisnya. “Aku sudah tahu sekarang, muridku ada banyak, akupun punya anak, semua mereka itu berkepandaian biasa saja, oleh karena itu, aku tidak ingin tanam bibit permusuhan. Jikalau aku terbitkan permusuhan, satu kali aku menutup mata, sudah pasti merea bakal orang hinakan! Maka itu sekali-pun dengan Kang Siau Hoo, aku tidak ingin membuat dendam!

..”

“Jikalau demikian adanya sikapmu,” kata Long Tiong Hiap, mari serahkan persaudaraan Liong untuk aku bawa pergi, dengan kau dan semua muridmu yang lainnya aku tidak punya sangkutan apa2 lagi.”

“Itulah bukannya cara pemecahan!” kata Pauw Kauwsu. “Biar bagaimana aku mesti lindungi murid2ku! Sekarang begini saja … “

Membarengi dengan kata2nya itu, jago tua itu membacok dengan goloknya.

Long Tiong hiap lantas tangkis bacokan itu, ia merasakan bagaimana besar tenaganya jago Tin-pa itu.

Setelah bacokannya itu, Piuw Cin Hui tidak menyerang lebih jauh, hanya sambil melotot pula ia kata  dengan nyaring: “Mari kita bertanding untuk beberapa jurus saja! Jikalau kau bisa menangkan aku dengan cepat, dengan golokku ini nanti aku bunuh diri, setelah itu kau ada merdeka akan bunuh2i sekalian muridku! Tetapi bagaimana bila aku dapat kalahkan kau?”

Long Tiong Hiap jadi sangat mendongkol.

“Untuk selama2nya aku tidak akan datang pula ke Siam- say Selatan ini!” ia menjawab dengan nyaring. “Sebaliknya kau ada merdeka untuk pergi ke Sucoan Utara!”

“Bagus!“ berseru Pauw Kauwsu. “Nah, siaplah!”

Jago tua ini benar2 lantas mulai dengan penyerangannya. Long Tiong Hiap tahu orang punya tenaga besar, ia tidak mau adu seajata, maka datangnya bacokan ia  elakan dengan kelitan, kemudian ia mendesak dengan tusukannya berulang2. Untuk ini, ia ada punya kegesitan.

Buat hadapi tiga tusukan, mau atau tidak Pauw Cin Hui mesti kasi mundur tubuhnya yang besar, akan tetapi ketika tusukan yang keempat menyusul dengan sama cepatnya, mendadak ia hajar pedang itu, goloknya dari atas turun kebawah.

“Traang!”

Suara keras itu menyebabkan pedangnya Cie Kie terpental, akan tetapi jago Long tiong ini ada cukup gesit untuk segera menarik pulang pedangnya, untuk lagi2 menikam pada iga kiri lawannya.

Pauw Kun Lun egos diri kekanan lantas kaki kirinya turut bergerak, menyusul itu, goloknya menyambar pula, hingga karenanya pedanguya Cie Kie kembali kena disampok. Hanya sekali ini, setelah menyampok, goloknya itu diteruskan membacok kearah bawah.

Cie Kie cepat tarik pulang pedangnya, buat segera menangkis pula. Tapi tenaganya jago Tin-pa ada besar luar biasa, goloknya itu tak dapat dibikin terpental sebaliknya pedangnya sendiri kena tertekan. Maka untuk looskan diri, terpaksa Cie Kie mundur dua tindak, lalu ia mendahului menikam pula, sasarannya adalah pada perut yang besar.

Besar ia punya tubuh, tetapi diwaktu yang penting Pauw Kun Lun bisa berlaku gesit, goloknya ada sangat lihay. Demikian, dengan goloknya yang berat, lagi2 ia bisa tangkis tikaman!

Untuk kesekian kalinya, Cie Kie ubah caranya mainkan pedang, menuruti mana, jago tua dari Tin-pa-pun ubah gerakan goloknya akan bisa layani musuh yang tangguh itu, hingga pertandingan mereka jadi seru bukan main. Yang muda gesit, yang tua tidak mau kalah!

Lekas sekali pertandingan melalu lima aenam jurus.

Dikedua pihak, orang menyaksikan dengan perhatian sepenuh2nya. Itu ada pertempuran yang sukar untuk ditonton pula. Semua orang ternganga saking kagumnya.

Selagi orang menonton dengan asyik, tiba2 Long Tiong Hiap loncat keluar kalangan, atas mana,  Pauw  Kauwsu juga tahan goloknya, dia berdiri dengan napas tersengal- sengal.

Dengan muka pucat Cie Kie lari pada kudanya, ia loncat naik atas binatang itu yang ia terus beri kabur.

Kang Siau Hoo dan Wan Yong semua tidak lihat sesuatu yang menyebabkan kemenangan atau kekalahan, mereka jadi sangat heran, tetapi karena jago Long tiong itu angkat kaki, mereka-pun segea menyusul.

Dari jalan besar, Long Tiong Hiap menuju ke Selatan, Siau Hoo semua mengikuti tanpa ada seorang-pun yang berani menanyakan sebab2nya.

Mereka kabur terus, melewati gunung Selatan, terus sampai memasuki daerah Sucoan Utara, sampai disitu baru Long Tiong hiap tahan kudanya.

Siau Hoo segera mendekati guru itu.

“Suhu,” berkata ia, yang tak dapat kendalikan diri lagi bahna herannya, “kau belum kalah, kenapa kau tidak bertempur terus hanya menyingkirkan diri?”

Diatas kudanya, Ci Kie bersenyum meringis. “Kau jangan panggil suhu pula padaku!” kata ia dengan menggoyangkan tangan, kemudian ia angkat lengan kanannya.

Siau Ho terperanjat. Dibawah lengan itu, ia lihat tangan baju tersobek, dari mana ada darah mengalir keluar.

Long Tiong Hiap awasi muridnya itu, ia kata: “Pauw Kun Lun tidak ingin tanam bibit permusuhan untuk muridnya, dan itu ia telah gurat aku secara ringan sekali,  jika kalau tidak tanganku ini pasti bakal jadi bercacat. Dia ada terlebih gagah daripada aku. Dia sudah tua, tubuhnya tak dapat bergerak dengan leluasa, namun dengan tenang ia dapat menangkan aku, apa lagi kalau dia masih muda, sungguh aku bukan tandingannya lagi!”

Mukanya Siau Ho menjadi pucat, Wan Yong semua jadi tercengang.

“Mulai hari ini, aku tidak akan injak Samsay Selatan pula,” Long Tiong Hiap menambahkan, sikanya tetap tenang. Kemudian ia tambahan pada Siau Hoo:

“Jikalau kau turut pelajaran dari aku, untuk selama2nya kau tak akan dapat menuntut balas terhadap Pauw Kun Lun. Kau mesti cari lain guru!”

Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia menangis. “Kemana lagi aku mesti cari guru?” ia tanya.

“Kau jangan putus asa,” kata Long Tiong hiap. “Sekarang juga pergilah kau kekota Kay-hong, disana kau cari Sin-eng Kho Keng Kui si Garuda Malaikat. Dia pandai ilmu menotok jalannya darah, kepandaiannya juga ada diatasan aku. Pada tujuh tahun yang lalu, ketika aku berkunjung ke kay-hong, kita telah berkumpul ditamannya dimana sambil main2, ia pernah pertunjukkan kepandaiannya menotok itu. Jikalau kau peringatkan dia tentang kejadian tujuh tahun yang lalu itu, dia pasti suka terima kau sebagai murid. Jikalau kau tidak yakinkan lainnya ilmu kecuali golok dan pedang saja, ada sukar sekali untuk kaudapat kalahkan Pauw Kun Lun.”

Setelah kata begitu, jago Long-tiong ini manggut2 pada muridnya itu.

“Nah, di belakang hari kau nanti bertemu pula!” kata ia, yang terus saja ajak Wan Yong semua lanjutkan perjalanan pulang.

Siau Hoo terus awasi guru itu, sampai orang sudah lenyap dari pandangan matanya, ia masih menjublek saja. Kemudian baru ia sadar.

“Long Tiong hiap tidak dustakan aku,” ia berpikir. “Kecuali aku pahamkan Tiamhiat-hoat, ilmu menotok jalan darah itu, tak dapat aku berhasil menuntut balas untuk ayahku. Aku ada punya banyak uang, baik sekarang juga aku berangkat ke Kay-hong akan cari Sin-eng Kho Keng Kui!”

Bocah ini loncat naik atas kudanya,ber. bareng mans ii rasakan perutuya Lapar. Baru sekarang ia ingat bahwa is belutn dahar, sedang itu waktn sudah jauh to. hor. Maka ia pikir akan cri ciahulu tern-pat untuk mengisi perut.

Bocah ini mencongklang kudanya kearah Timur. Belum jauh ia telah memasuki sebuah dusun.

“Tempat ini agak sepi, tidak nanti orang2 Kun Lun Pay kejar aku sampai disini,” ia berpikir. Karena itu, terus  ia cari sebuah rumah makan, setelah tambat kudanya. Ia masuk kedalam buat minta nasi dan sayurnya, serta arak. Ia baru tenggak beberapa cawan kembali ia berduka.

“Long Tiong hiap ada satu enghiong, tetapi walau ia gagah, ia masih tak mampu lawan Pauw Kun Lun,” pikirannya melayang-layang. “Sungguh tidak disangka kepandaiannya si tua bangka itu ada demikian liehay!”

Ingat ayahnya, Siau Hoo berduka-bukan main.

“Kecewa saja aku pulang kekampung halamanku,” ia pikir pula kemudian. “Sayang aku tidak dapat ketika akan menemui ibuku ... Tidak perduli dia sudah menikah pula dengan Tang Toa, dia tetap ibu-kandungku. Disana-pun ada Siau Houw, adik kandungku. Biar bagaimana aku mesti ketemui mereka itu! Tetapi, sampai kapan?”

Tanpa merasa, Siau Hoo mengeluarkan air mata, yang ia segera tepas.

“Kalau aku tengok ibu dan adikku, aku mesti hati2,” ia pikir pula. “Kalau aku ketemu orangnya Pauw Kun Lun tentu aku akan ditawan mereka dan dibikin celaka. Sudah pasti mereka sangat benci aku, karena akulah yang ajak Long Tiong Hiap menyatroni mereka. Sampai-pun Ah- Loan nampakuya benci aku ... Da seharusnya tak  membenci akn, ia tokh ketahui kesengsaraan aku selama aku tinggal sama-sama dirumahnya. Sebaiknya, karena aku baik dengan dia, dia jangan rintangi tindakan pembalasan dari aku …

Siaw Hoo hirup pula araknya, tapi air kata2 tidak bisa hiburkan dia, terus ia dahar sembarangan saja, sesudah membayar dengan cepat, ia lantas melanjutkan perjalanan. Ia menuju langsung ke Utara, ia ambil jalanan yang sunyi, akan mencuri lewat di gunung Pa San ia bisa cari jalanan untuk memutari Pauw-kee-cun.

Ketika itu sudah maghrib.

Kota Tin-pa sudah berada dibelakangnya, maka  ia keprak kudanya buat dilarikan dengan keras, kemudian dengan besarkan hati, ia masuk di Tang-mui, pintu kota Timur. Disini segera ia ingat jalan besar dari tempat kelahirannya. Ia merasa masgul, tak keruan rasa. Ia jalan dengan memasang mata, buat lihat ia ketemu atau tidak dengan orang2 yang ia kenal. Tidak lama ia sampai juga di depan rumahnya Tang Toa, yang buka satu toko kecil pandangannya gelap. Kebetulan waktu itu Tang Toa sedang rebahkan kepalanya diatas meja, seperti orang yang ketiduran.

Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat didepan pintu, terus ia bertindak masuk.

Tang Toa angkat kepalanya, ia niat berbangkit, ia  kirakan pembeli.

Siau Hoo lantas saja memberi hormat.

“Tang Toa-siok, kau tentu sudah tidak ingat aku,” kata ia. “Aku Kang Siau Hoo, hari ini kebetulan aku  lewat disini, aku mampir untuk lihat ibu dan adikku ... ”

Tang Toa mengawasi dengan tajam.

“Oh, kiranya kau,” kata ia, romannya gusar. “Apakah kau sudah lupa dengan onar yang kau terbitkan di Pauw- kee-cun? Nyalimu sungguh besar! Hayo pergi, lekas! lbumu telah menikah kepada aku, dia adalah orangku, aku tak dapat ijinkan kau temui kepadanya! Lekas pergi, lekas!  Ayo, aku nanti berteriak bahwa kau adaah yang telah bunuh orang di Pauw-kee-cun!”

Siau Hoo panas bukan main, hinga ia berniat menyerbu kedalam, akan hajar mampus saudagar itu, hanya selagi ia berniat begitu, dari luar ada datang satu orang yang segera jambak ia dari belakang. Ia  kaget, ia  berpaling dengan segera, tapi ia lantas lihat ia punya ie-thio Ma Cie Hian.

“Lekas menyingkir!” Cie Hian kata, suaranya tidak lancar, romannya penuh dengan kekuatiran. “Liong Cie Khie sekarang ada didalan kota! Ah, anak, hari ini kau telah perbesar permusuhan …”

Siau Hoo mengerti bahaya, terus saja ia lari keluar dari warung dan loncat naik atas kudanya, dari situ ia berpaling pada ini Cie hian untuk memberi hormat.

“Ie-thio, sampai ketemu pula!” kata ia, yang terus saja larikan kudanya, buat ke luar dari Say-mui, pintu  kota Barat, akan cari jalan besar untuk kabur ke Utara. Ia baru kasi kudanya lari pelahan2 sesudah ia lewati suatu bukit. Tanpa merasa kedua matanya mengalirkan air.

“Jikalau bukannya si tuabangka she Pauw bunuh ayahku, bagaimana aku bisa sampai tak dapat menemui ibuku dan tak dapat berdiam dikampung halamanku sendiri?” demikian ia pikir. mengingat mana dadanya jadi panas. Karena ini, kembali ia kaburkan kudanya, terus kearah Utara.

Diwaktu sore, dan justeru bulan tidak bersinar terang, ia mampir disebuah dusun untuk cari pondokan, untuk besoknya pagi segera teruskan perjalanannya itu. Sesudah lewati distrik See-hiang, ia  menuju ke Timur. Selagi mendekati tengahari, ia sampai di Cu-ngo-tin, suatu tempat yang ramai. Dari sini menuju ke Utara, ia akan lintasi kali Cu Ngo Hoo, dan lewat pula kira2 lima-puluh lie, ia akan sampai digunung Ciong Lam San. Kalau nanti ia sudah lwwati gunung ini, ia akan sudah berada didaerah Kwan- tiong.

Siau Hoo sudah pikir,  sekeluarnya dari Han-kok-kwan, ia akan menuju langsung ke Kay-hong. Selama diperjalanan, ia sudah dengar2 tentang jalanan, maka ia tahu kemana ia mesti menuju. Tapi waktu itu hawa udara ada panas-terik, ia berdahaga, sedang perutnya juga sudah minta makan, maka itu, ia cari sebuah rumah makan di depan mana ia turun dari kudanya. Selagi ia bertindak masuk, dibelakangnya, ada berjalan seorang lain, tindakan kaki siapa ia dengar nyata. Ia terkejut, ia bercuriga, dari itu segera ia menoleh.

Ternyata orang yang jalan disebelah belakang ini ada seorang tua, umurnya kurang lebih sudah enam puluh tahun, memakai kaca mata, kumis dan jenggotnya sudah putih, kepalanya ditutup dengan kopiah kecil, pakaiannya biru. Dipunggungnya ada menggendol sebuah bungkusan tidak besar.

Siau Hoo lantas cari meja dimana ia duduk, tetapi orang tua itu justru ambil kursi yang berhadapan dengan ia, ketika ia minta arak, si orang tua itu minta arak juga. Kemudian orang tua itu keluarkan sejilit buku dari bungkusanaya,  yang ia baca sambil minum araknya dengan pelahan-lahan.

Bukan main kagumnya Siau Hoo akan tengok orang punya sikap yang tenang itu, hingga ia mengawasi saja.

“Benar2 penting untuk mengenal surat,” pikir ia. “Dengan membaca kitap saja, seorang diri orang bisa hiburkan hatinya … Dan aku, satu huruf-pun aku tidak kenal ... “ Ingat ini, ia tertawa, lantas ia tanya orang tua itu: “Loosanseng, kitab apa itu yang kau baca?“ ia tanya.

Orang tua itu kepinggirkan bukunya, ia angkat kepalanya, diantara kaca matanya, ia pandang orang yang menanya kepadauya.

“Aku membaca Tong Sie,” ia menyahut. Tong Sie ada kitab syair dari jaman Tong. Empe itu berdialek Selatan, yang Siau Hoo dapat mengerti juga.

“Rupanya orang tua ini ada satu siucay, pengertian ilmu suratnya pasti tak dapat dicela,” pikir Siau Hoo.  Ia keringkan dua cawannya, Ia terus mengawasi. Ia lihat orang tua itu asyik sekali dengan kitabnya. Tentu saja ia tidak ketahui, apa artinya dan bagaimana menariknya isi  kitab itu.

“Loosianseng, adakah kau satu siucay?” kemudian Siau Hoo tanya pula, sikapnya sangat hormat.

Orang tua itu menggeleng kepala, ia tidak menjawab, ia terus saja membaca.

Siau Hoo merasa sudah minum cukup, ia minta nasi dan sayurnya, tetapi sebelum ia mulai bersantap ia  tanya si orang tua: “Loosianseng apa kau juga ingin dahar?”

“Oh, tidak, aku tidak niat dahar,” sahut orang tua itu, yang goyangkan tangan.

Mendengar demikian, bocah ini lantas dahar seorang diri.

Sulagi Siau Hoo dahar, empe itu letaki bukunya, ia tambah sendiri araknya, ia menghirup dengan pelahan2, kemudian, ia awasi kawan semeja itu. Melihat demikian, bocah itu tertawa.

“Loosianseng sebenarnya datang dar mana?” ia tanya. “Aku datang dari Kan Lam.”

“Apakah loosianseng memangku pangkat?” Siau Hoo tanya pula.

Orang tua itu menggeleng kepala.

“Belum pernah aku pangku pangkat, aku datang kemari untuk pesiar,” ia jawab.

Siau Hoo manggut2.

“Kau sungguh berbahagia, loosianseng,” ia kata pula. Didalam hatinya bocah ini pikir, seorang dengan kepandainan ilmu surat adalah lemah lembut, maka kalau si empe ini dibandingkan dengan Pauw Kun Lun adalah Giam kun, Si Raja Akherat.

Melihat orang gerece, orang tua itu sekarang balas menanya.

“Anak, kau datang dari mana dan kemana kau hendak pergi?” ia tanya sambil tertawa.

“Aku datang dari Tin-pa, aku hendak pergi ke Kayhong,” Siau Hoo jawab dengan sebenarnya.

Nampaknya orang tua itu heran.

“Aha demikian jauh!“ berkata dia. “Kau sanggup lakukan perjalanan sejauh itu?”

“Aku ada punya kuda,” sahut Siau Hoo seraya  mununjuk keluar.

“Buat urusan apakah kau hendak ke Kay-hong?“ tanya pula si empe. “Apakah ayah dan ibumu bertetap hati kau lakukan perjalanan demikian jauh?”

Pertanyan itu menusuk hatinya Siau Hoo, hingga sebelumnya menyahut, dia sudah lantas menghela napas. Ia geleng2 kepala.

“Aku tidak punya ayah dan ibu, loosianseng,” sahutnya, “Aku ada satu anak yang bersengsara. Aku baru berumur empat belas akan tetapi kesengsraan macam apa juga aku pernah deritanya! Loosianseng, suugguh jarang  ada didalam dunia ini orang tua sebagaimu yang begini manis budi …”

Orang tua itu nampaknya terlebih-lebih heran.

“Apa?” ia kata. “Apakah kerjaanmu sekarang? Dan kau hendak pergi ke Kay-hong hendak cari siapa?” “Untuk cari Sin-eng Kho Keng Kui.” jawab Siau Hoo dengan terus terang. “Long Tiong Hiap dari Sucoan Utara yang titahkan aku pergi cari orang she Kho itu untuk angkat dia menjadi guru. Loosianseng, karena kau ada orang sekolahan barulah aku suka bicara denganmu. Sebenarnya aku ada penggemar ilmu silat, kalau aku bicara tentang bugee, losianseng tentu tidak mengarti, tetapi biarlah aku beri keterangan. Ayahku telah orang bunuh, karenanya rumah tanggaku jadi hancur berantakan, sampai aku tak bisa temui ibu dan adik lelakiku. Aku sekarang mau  pergi  ke Kayhong untuk cari Kho Kung Kui, buat belajar Tiam- hiat-hoat dari padanya, supaya kelak aku bisa menuntut balas!”

Siau Hoo tak dapat tahan kesedihannya air matanya lantas bercucuran.

Kebetulan disitu tidak ada lain2 tetamu.

Setelah mengucapkan demikian, hatinya Siau Hoo agak sedikit lega.

Orang tua itu mengangguk kepala berulang-ulang. “Kau ada punya ambekan, anak,” katanya.

“Loosianseng” kemudian Siau Hoo tanya, “kau ada punya urusan atau tidak di Kayhong? Kalau ada, aku boleh tolong sekalian…”

Orang tua itu menggeleng kepala pula.

“Tidak, aku tidak punya urusan apa2.” jawabnya.

Siau Hoo lantas panggil jongos, akan bayar uang makannya. Ia-pun hendak bayarkan sekalian uang araknya si orang tua, tetapi orang tua itu mencegahnya. “Jangan, terima kasih. Aku masih hendak bersantap, maka masih belum bisa diketahui, berapa jumlahnya nanti.”

Siau Hoo tidak memaksa, ia memberi hormat. “Loosianseng, sampai ketemu pula!” kata ia. Orang tua itu manggut tetapi ia tidak berbangkit.

Siau Hoo bertindak keluar, ia tuntun kudanya ke Utara buat cari tempat kombongan akan piara kudanya, kemudian ia naik atas kudanya itu, buat pergi meninggalkan Cu-ngo- tin. Ia seberangi kali Cu Ngo Hoo, ia menuju terus ke Uatra. Ia telah melalui dua atau tiga-puluh lie, lantas  ia lihat bukit Ciong Lam San di depannya.

Hari masih siang tetapi sedikit orang kedapatan di jalan, malah kereta-pun bisa dibilang tidak ada, maka itu selagi awasi bukit, Siau Hoo jadi bingung juga.

“Gunung Ciong Lam San ini ada berlipat ganda tingginya daripada gunung dikampungku, entah berapa panjang dan jauhnya jalanan dipegunungan ini,” ia beipikir. “Benar sekarang masih siang, tetapi setelah melalui dua atau tiga puluh lie, apa aku tidak akan kegelapan ditengah jalan? Kalau aku ketemu harimau, apa itu bukan artinya celaka?”

Oleh karena ini kesangsiannya ini, Siau Hoo hampirkan seorang petani yang sedang jalan dipingiran.

“Numpang tanya, toako,” ia menegur, “aku hendak pergi ke Kwan-tiong dengan lewati gunung ini, entah aku mesti jalan berapa jauh akan sampai dirumah penginapan”

“Didalam gunung tidak ada rumah penginapan, ada juga rumah penduduk,” menerangkan petani itu. “Di rumah orang dimana saja kita boleh numpang bermalam, hanya kau ada satu anak kecil, kau tidak boleh memasuki gunung sekarang, didalam gunung ... ““ ia  mendekati, terus ia menunjuk keatas gunung. “Seorang diri kau memasuki gunung ini, itu artinya kau antarkan jiwa secara kecewa. Diatas sana ada belasan pasanggrahan berandal, setiap ceecu (pemimpin) ada orang2 kesohor. Umpama Gin-piauw Ouw yang berkepandaian tinggi, nyalinya-pun sangat besar, dia sering menunggang kuda akan pesiar keluar dari gunungnya. Jikalau kau kendak lewati gunung ini, baik kau kembali ke Cu-ngo-tin akan tunggu disana rombongan kereta piauw. Barang kali dalam satu atau dua hari ini bakal ada rombongan yang lewat, lantas kau ikut rombongan itu, dengan begitu kau bisa lewat dengan selamat. Kalau tidak, mungkin kau akan nampak bencana ... “

Mendengar demikian, Siau Hoo berpikir.

“Kereta piauw yang lewat disini kebanyakan ada dari golongan Kun Lun Pay, ada berbahaya buat aku turut mereka,” demikian ia kata dalam hatinya. “Disebelah itu, sekarang ini aku tak boleh sia-siakan waktu. Kenapa aku tidak man pakai lewat sekarang? Barangkali aku tidak akan ketemu berandal ... Umpama aku sampai bersomplokan dengan mereka, barangkali tidak ada bahayanya. Aku ada punya kelenengan dari Long Tiong hiap, aku bisa omong dengan mereka. Kalau orang tahu aku ada termasuk golongan Long Tiong Hiap, apa bisa jadi mereka akan celakai juga diriku?”

Ingat begini, ia beri hormat pada orang tani itu.

“Terima kasih!” kata ia, yang teruskan lari kudanya, hingga si orang tani melengak mengawasi padanya.

Segera ia lihat mulut gunung, terus ia jalankan kudanya memasuki jalan gunung itu. Ia sudah melalui belasan lie dengan banyak pengkolannya, ia nampak gunung ini beda banyak daripada gunung di Sucoan Utara. Disini ada terlebih tinggi, curam dan berbahaya. Rimba-pun ada banyak ada lebat, semua seperti belum pernah terganggu manusia. Selama itu belum pernah ia ketemu seorang-pun juga, ia hanya lihat selat atau lembah2 dimana ada lobang2 guha dan dalam mana mengepul asap. Ia menduga disitu tentu ada ditinggali orang.

Masih saja Siau Hoo jalan terus, sampai lagi dua-puluh lie lebih, waktu mana, ia dapati jalanan makin sempit dan makin sempit, sampaikan kuda seperti tak dapat jalan disitu. Ia berlaku hati2 mengendalikan kudanya. Jalanan- pun nanjak. Justeru itu, tiba2 ia lihat disebelah depan ada berjalan seorang yang punggungnya ada mengendol bungkusau. Orang itu nampaknya berjalan naik dengan leluasa sekali.

“Ah, dia ada terlebih kuat daripada yang menunggang kuda,” pikir Siau Hoo dengan kekaguman. Ia  sendiri bergiris hati, kuatir tergelincir ...

“Apa kata Si orang tani tadi,” pikir ia  kemudian. “Katanya disini ada berandal yang jahat, katanya orang tidak berani jalan sendirian disini tetapi kenapa ada orang berani jalan sendirian saja. Malah dia ada bawa2 bungkusan? Terang dia ini bukannya penduduk gunung sini

… “

Siau Hoo berjalan terus, matanya masih mengawasi orang didepan itu, sampai tiba2 ia  keluarkan seruan tertahan. Ia lihat orang memakai kopiah kecil, baju biru, kumis-jenggot yang putih yang tersampok-sampok angin.

“Ah, dia toh si empe yang aku ketemukan di rumah makan di Cu-ngo-tiu?” kata ia dalam hatinya. “Selagi aku tinggalkan dia, dia sedang hendak bersantap, selama dalam perjalanan aku telah larikan kudaku buat lima atau enam- puluh lie, dan sekarang aku telah memasuki gunung sekian lama, maka kenapa dia justeru bisa mendahului aku? Kenapa dia bisa jalan begitu cepat? Ah, tidak bisa jadi!”

Siau Hoo jadi sangat bersangsi.

“Losianseng!” ia segera memanggil, dengan suara nyaring.

Orang itu sudah sampai di puncak, atas panggilan itu ia berpaling, maka melihat romannya orang itu, hampir Siau Hoo rubuh karena herannya. Tidak tempo lagi ia larikan kudanya untuk menyusul.

“Loosianseng! Loosianseng!“ ia berseru berulang2. “Oh, loosianseng, bagaimana cepat kau berjalan! Tadi kau ada dibelakangku, sekarang kau ada di depan!“

Orang tua itu tidak menyahuti, hanya ia mengawasi sambil tertawa, kumis jenggotnya memain dalam sampokannya sang angin.

Siau Hoo keprak terus kudanya untuk lekas menyandak. ia ada memakai banyak tenaga hingga ia tersengal2, ketika ia akhirnya sampai diatas napasnya sudah senen kemis, kepalanya bermandikan keringat. Sebaliknya ia lihat, orang tua itu tenang saja, tidak berkeringatan, napasaya tidak memburu.

Siau Hoo tahan kudanya, napasnya masih sengal2. “Loosianseng, bagaimara cepat  kau  jalan!“ kata ia pula.

“Oh, kalau  orang punya kau  sepasang kaki seperti kakimu

ini, untuk merantau dikalangan Kang-ouw kau orang tidak membutuhkan kuda lagi!”

Empe itu tertawa.

“Aku potong jalan!“ kata ia dengan sabar. “Oh, loosianseng,” kata si bocah, “jadinya aku ambil jalan tak tepat?”

Empe itu manggut2.

“Benar,” ia menyahut. “Kapan sebentar kau sudah turun dari bukit ini, kemudian lewati pula dua tanjakan, kau akan sampai dijalan yang lega, malah disana ada rumah orang dimana kau boleh singgah untuk minum air!”

Siau Hoo memberi hormat.

“Baik, losianseng. Terima kasih! Nah, sampai berjumpa pula!”

Siau Hoo jalankan kudanya, sekarang dijalanan mudun. Binatang itu berlari2 hingga belum lama ia sudah sampai dibawah. Ia putar tubuhnya akan memandang keatas. Ia tampak si empe masih belum turun. Ia kasih jalan pula kudanya. Ia baru jalan lima atau enam lie, ia lihat ada bukit terlebih tinggi, yang meughalangi ia.

“Inilah hebat.” pikir ia. Tadi ia sudah merasakan kesukaran akan jalan naik. Skarang ia mesti nanjak pula. Selagi ia berpikir, ia dongak pula akan memandang ke atas, atau tiba2 ia keluarkan seruan tertahan.

“Aya!” demikian suaranya.

Di depannya, dijalanan bukit yang nanjak, ia lihat si empe. Tindakannya tetap, sebentar saja empe itu sudah sampai diatas, lantas terlenyap.

Siau Hoo keheranan, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin dan sedikit gemetar.

“Celaka! Dia ada satu dewa atau hantu! ... “ pikir ia.

Tapi bocah ini tidak takut, ia tarik les kudanya, akan beri binatang itu naik. Hanya sekarang kalau ia lihat batu2 gunung yang besar, ia lihat itu sebagai si empe tadi yang sedang nongkrong

Jalanan ada banyak pengkolannya, Siau Hoo jalan terus, sampai ia lintasi dua tanjakan gunung, selama itu, belum pernah ia tengok pula Si empe, hanya seterusnya, ia hunus goloknya. Beberapa kali ia dengar suara seperti burung alas, seperti suitannya berandal. Ia jalankan kudanya seraya ia waspada kesekitarnya. Angin ada menderu deru, awan memain dipuncak gunung.

Jalan lagi Siau Hoo dua pengkolan, Siau Hoo lantas mulai merasa jalanan jadi terlebih lega.

Akan tetapi, belum jauh, ia segera tampak pemandangan yang sangat mengejutkan.

Dijalanan itu ada menggeletak tujuh atau delapan mayat, malang melintang.

“Heran!” kata ia dalam hatinya, yang berdebaran. Dengan   hati2   Siau   Hoo   jalan   melewati   mayat   itu,

disamping   siapa   ada  kedapatan   berbagai   senjata, tetapi

herannya ia tidak lihat ada darah berhamburan.

Selagi ia jalan, ia segera mendengar suara merintih, disusul sama kata2 : “Saudara, lekas kau beri kabar pada ceecu! Kita sudah tidak mampu bergerak.! ... “

Bahna herannya, Siau Hoo tahan kudanya akan mengawasi dengan teliti. Ia menghitung delapan orang, yang semua pakai baju dan celana pendek, pakaiannya singset. Ini ada dandanan berandal, yang ia pernah lihat di Sucoan Utara. Mereka ini bukannya mayat, mereka hanya rebah tidak berdaya, melainkan mata mereka yang masih bergerak2. Ada yang masih bisa bicara, ada yang diam saja. Yang merintih rupanya menderita sangat hebat. Mereka tengkurap, celentang dan miring tak ketentuan. “Kau semua kenapa?“ akhirnya Siau Hoo tanya, sebab terang orang tadi bicara terhadap ia yang dipangil ‘saudara’ “Siapa sudah serang rubuh padamu semua? Dengan senjata apa kau telah diserang?”

Semua mata mengawasi bocah ini sekarang mereka seperti insyaf bahwa orang ini bukan kawan mereka hanya orang yang sedang berlalu-lintas.

“Sahabat, kau berlakulah baik,” berkata satu berandal. “Tolong kau naik kebukit Timur sana untuk menyampaikan kabar, supaya mereka datang untuk gotong kita  pulang. Kita semua ada orang2nya Gin-piauw Ouw Lip Ouw Toa- ceecu, barusan kita ketemu satu tua bangka ubanan, dengan ilmu totoknya dia bikin kita semua rubuh tak berdaya!”

Siau Hoo bengong. Ia-pun heran untuk serangan dengan totokan itu. Itu adalah Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Dan si penyerang ada si “tua bangka ubanan”! Siapa lagi dia itu kalau bukannya si empe yang ia  ketemui berulang2, yang ia anggap ada dewa atau hantu? Setelah sadar, tidak tempo lagi ia larikan kudanya, ia  simpan goloknya.

“Mestinya dia ada satu tay-hiap-kek! Atau dia ada Kho Keng Kui sendiri!“ pikir anak ini, selagi ia larikan kudanya. “Kenapa aku ada begitu bodoh akan kasi dia lewat! Kenapa aku tidak berlutut saja di depannya buat angkat dia jadi guru!“

Ia larikan kudanya, matanya melihat2 kekiri dan kanan, terutama kedepan. Ia merasa tegang sendirinya karena sampai sebegitu jauh, ia belum dapat lihat lagi empe itu. Jalanan juga seperti mengganggu ia, dengan pengkolannya. Tapi ia lari terus, sampai ia  lewati dua tiga tanjakan, sesudah mana, ia merasa letih sekali, kudanya-pun sudah sangat lelah. Waktu itu, matabari sudah turun di Barat, lembah2 penuh kabut, pemandangan disekelilingnya jadi suram. Hanya syukur, justeru di situ bahagian, jalanan ada rata dan lebar.

Dengan susah payab Siau Hoo jalan terus  sampai belasan lie, sampai tiba2 ia dengar orang menegur dari depan: “Dari mana kau datang? Berhenti dahulu!”

Untuk bisa melihat nyata, Siau Hoo maju lebih jauh, hingga ia tampak, dilembah, ada beberapa rumah. Disitu ada serombongan orang, kuda, kereta dan keledai. Ia lihat orang yang menegur dia ada berdandan sebagai satu piauwsu. Ia tahan kudanya untuk memberi jawaban : “Aku datang dari Cu-ngo-tin. Kau sendiri, sahabat? Kau asal mana?”

“Kita ada dari Lie Sun Piauw Tiam dari See-an,” sahut orang itu. “Kita sedang iringi Kat Ciang-kui untuk pergi ke Han tiong …”

Siau Hoo terperanjat.

“Inilah hebat,” pikir dia. “Dsini aku ketemu Kat Cie Kiang yang namanya lebih kesohor dari pada persaudaraan Liong. Bagaimana sekarang?”

Saking berkuatir, ia sampai tak dapat bicara lebih jauh. “Apakah masih ada orang2 dibelakangmu?” piauwsu itu

tanya.

“Tidak, hanya aku seorang diri.” Siau Hoo menyahut. “Kau sendirian?“ tanya piauwsu itu yang agaknya heran.

“Sendirian saja kau berani lewati gunung di depan sana? Sahabat, kau jangan main2, orang yang merantau tidak boleh ngoceh tak keruan! …” Siau Hoo tidak turun dari kudanya, ia kuatir romannya bertambah sibuk.

“Benar, aku sendirian saja,” kata ia. “Aku ada punya urusan penting, aku terpaksa jalan sendirian, aku tidak takut sekali-pun dijalan Cin Nia Too ini ada kwali dengan minyak mendidih ... Aku-pun tidak boleh berhenti lama2 disini, aku mesti lanjutkan perjalananku!”

Lain dengan tidak perdulikan kelelahannya, ia keprak kudanya diberi lari. Ia ingin segera jaubkan diri dari orang2 Kun Lun Pay itu.

Tapi orang di depannya itu segera sambet les kudanya. “Eh, kau benar tidak sayang jiwamu!“ kata ia. “Kau

benar bernyali besar! Kau telah terjang jalanan berbabaya dan tiga puluh lie lebih! Kau lihat, disini ada berhenti berapa banyak kereta piauw, dan Kat Ciang-kui juga ada disini. Namun kami tidak lantas lanjutkan  perjalanan. Itulah sebab kami tak ingin bangkitkan kegusarannya gin- piauw Ouw Lip! Kau hendak menuju ke Utara, hati3lah buat pesanggrahanuya di Utara, Pak-cee. Lewat disana, asal kau dapat dilihat, jikalau bukannya sebatang piauw, kau tentu bakal dipersen batu besar yang akan bikin hancur dan remuk batok kepalamu!”

Siau Hoo mendongkol mendengar kata-kata itu, yang berupa dampratan baginya, tetapi, ia tidak berani terbitkan onar, dengan pakskan  bersabar, ia kata dengan suara dingin. “Sahabat, kau tak usah perdulikan aku! Biar-pun aku mesti binasa, aku mesti selesaikan urusanku!“

Ia tarik les, ia cambuk kudanya, untuk lepaslcan cekalannya orang itu. Ia tidak tahu bahwa dari belakangnya satu serangan menyamber padanya, hingga ia menjerit, dengan tak berdaya ia rubuh dari kudanya! Dibelakangnya terayata ada berdiri  Pauw Cie Lim, putera kedua dari Pauw Kun Lun!

Cie Lim sedang jalankan permintaan dan saudaru Liong buat pergi ke See-an, undang Kat Cie Kiang, dalam perjalanan ke Selatan, ia sekalian iringi piauw, sampai didaerah bukit ini, yang dinamakan jalanan Cin Nia Too. Kebetulan sekali disitu mereka berpapasan dengan Siau Hoo. Walau-pun demikian, Cie Lim masih belum tahu halnya Siau Hoo sudah ajak Long Tiong Hiap menyatroni ke Cie-yang dan Tin-pa, ia hanya benci anaknya Cie Seng ini, yang nakal dan bengal dan nyalinya besar. Selagi orang jatuh, ia barengi juga mendupak.

“Eh, cucunya kura2 kecil!“ mencaci orang she Pauw itu, “kiranya kau masih hidup! Kau tahu, Liong Toaya  yang kau tikam sampai sekarang masih belum sembuh dari lukanya! Oh, anak haram!”

Siau Hoo terus gulingkan tubuh, ia bergulingan kesamping kudanya, kapan ia loncat bangun terus saja ia samber goloknya, yang ia segera bacokkan kepada musuh besarnya itu.

“Hei, anjing haram!“ ia-pun balik mencaci. “Kau berani serang Kang Siau thayya? Siau-thayya justeru lagi cari kau!“

Cie Lim kebetulan tidak bersenjata, karena itu, ia loncat berkelit akan terus lari menyingkir sambil pentang bacotnya lebar. “lni dia yang lukai Liong Toako!“

Atas itu segera muncul tiga piauwsu lainnya dan Lie Sun Piauw Tiam, mereka menyekal golok dan toya, mereka terus serang Siau Hoo.

Anak tanggung ini insyaf ia bersendirian, akan tetapi sudah kepalang seperti itu ia jadi nekat, maka ia  putar goloknya, dengan sengit ia layani penyerang2nya itu. Musuh2 itu bukannya lemah, tetapi kena dirabu, mereka tidak sanggup kurung bocah itu.

Mereka bertempur baru belasan jurus, lantas Cie Lim datang pula bersama seorang lain, roman siapa diwaktu senja itu, tidak lantas terlihat nyata. Hanya dia berubuh besar, romannya garang, goloknya ada sebuah golok Kun- lun-too yang biasa digunai Pauw Kun Lun.

“Tahan!“ orang ini berseru begitu lekas dia dan  Pauw Cie Lim sudah datang dekat, tangannya menunjuk dengan goloknya itu. “Mana dia Kang Siau Hoo?”

Semua orang lantas loncat mundur, hingga didalam kalangan ketinggalan Siau Hoo seorang dengan napasnya memburu.

“Aku Kang Siau Hoo!” ia jawab dengan nyaring. “Kau siapa?“

Cie Lim, yang berdiri disampingnya orang tinggi besar itu, buka mulutnya.

“Eh, binatang, sekali-pun aku punya Liok suko kau tidak kenali!” ia membenak, “Inilah orang didikan sendiri dari ayahku, ketua dari Kun Lun Piauw Tiam, enghiong tersohor Kim-too Gin-pian Tat Pa Ong Kat Liok-thayya!”

Siau Hoo tahu bahwa Kat Cie Kiang adalah murid tersayang dari Pauw Kun Lun. Maka itu ia jadi berkuatir.

“Apa kau mau?‘ ia segera menegur. “Aku tidak ganggu kau, kenapa kau rintangi aku? Kenapa kau hinakan aku? Apa mentang2 aku masih kecil? ... “

Kat Cie Kiang perdengarkan tertawa dingin, ia maju beberapa tindak.

Melihat demikian, bocah itu lekas-tekas mundur. “Letaki golokmu!” kata Kat Cie Kiang dengan bengis. “Kau mesti serahkan diri, beri dirimu diringkus untuk dibawa ke Tin-pa untuk diserahkan pada guru kita. Jikalau kau melawan, aku nanti bacok terbelah tububmu menjadi dua! Ayahmu sudah cemarkan nama baik dari kaum Kun Lun Pay! Dan kau sendiri, bangsat kecil, kau sudah lukai jie-suheng. Sekarang kau hendak lari kemana?”

Cie Kiang maju seraya membacok.

Siau Hoo angkat goloknya menangkis, tetapi berbareng sama beradunya kedua golok, ia rasakan kedua tangannya sakit, goloknya terlepas dengan tak dapat dicegah lagi, maka segera ia putar tubuhnya untuk kabur. Akan  tetapi Kat Cie Kiang mendahului, dengan satu dupakan ia dibikin terpental dan rubuh bergulingan, menyusul mana, beberapa piauwsu lompat menubruk dan tekan padanya, hingga dia tak dapat berkutik lagi, sia-sia saja ia berontak-rontak dan menangis. Ia mirip seekor ayam yang kena dibekuk!

“Ambil tambang! Ambil tambang!“ Ce Lim berteriak2. “Ikat dia! ikat dia!“

Pureranya Pauw Kun Lun ini kelihatan sangat garang. Ia tidak tahu,selagi ia kegirangan, tahu2 dibelakangnya muncul saja orang, tangan siapa disodorkan kearah tubuhnya, menyusul mana dia menjerit. “Aduh”. Ia rasakan sekujur tubuhnya sakit, kakinya lemas, segera juga ia rubuh sendirinya!

Orang dibelakang itu ada seorang tua dengan gendolan bungkusan dibekokongnya.

Semua orang menjadi heran dan kaget, tetapi Cie Kiang menjadi gusar, ia geraki goloknya sambil perdengarkan suara bengis:

“Kau siapa?“ Orang tua itu tidak mundur, ia tidak berkelit kesamping, sebaliknya ketika goloknya Cie Kiang sampai, tiba2 ia angkat lengan kirinya, dengan kedua jarinya ia tahan turunnya golok dan dijepitnya golok itu.

Cie Kian gunakan tenaganya tenaga dari Tiat Pa Ong, atau Couw Pa Ong besi, tetapi tetap golok itu tidak dapat ditarik pulang, pun ketika ia gunakan kedua tangannya, ia tetap tidak peroleh hasil.

Orang tua itu seperti punyakan tenaga dari ribuan kati, sedang ketika kemudian ia membetot, golok lawan lantas saja terlepas, tetap berada dalam jepitan jari tangannya, sesudah mana, golok yang besar dan berat itu ia letaki ditanah yang lantas dijejaknya, atas mana besi itu dalam sedetik menjadi patah dua!

Kat Cie Kiang terperanjat sampai ia keluarkan seruan. “Kau siapa?” ia tanya, air mukanya berubah menjadi

pucat.

Orang tua itu, yang tangan kanannya pegangi buntalan dibebokongnya, menyahut dengan sabar: “Aku adalah gurunya anak ini! Aku tak bisa lihat yang dia diperhina olehmu!“

Semua orang tercengang, hingga Siau Hoo jadi dapat pulang kemerdekaannya, hanya dia-pun diam saja, sebab dia juga tidak kurang herannya.

“Lepaskan dia,” Cie kang lantas perintah orang2nya, ia sendiri-pun tubuhnya bergemetar, kemudian ia memberi hormat pada orang tua itu.

“Loo-cian pwee, sudilah beritahukan namamu yang besar,” ia mohon.

Tapi-empe itu menggeleng kepalanya. “Tidak usah aku beritahukan namaku,” ia jawab. “Hanya kalau nanti kau pulang dan ketemu gurumu, Pauw Cin Hui, kau coba menanyakan peristiwa pada beberapa puluh tahun yang itu, digunung Tong Pek San dia sudah bertemu dengan siapa! Asal kau tanya begitu, dia tentu ketahui namaku!”

“Baik, loocianpwee,” kata Kat Cie Kiang berulang2. Ia sama sekali tidak berani berlaku melit.

Siau Ho sambil menangis, lantas hampiri si empe didepan siapa ia kasi hormat sambil pay-kui.

“Jangan takut,” kata orang tua itu, dengan suaranya yang lemah lembut. “Naik atas kudamu, lanjutkan perjalananmu, aku nanti lindungi padamu!”

Siau Hoo merayap bangun, dengan tidak perdulikan lagi goloknya, ia hampirkan kudanya yang ia tuntun, ia tidak mau naiki kudanya, lalu sambil tunduk ia bertindak akan ikuti si empe, yang-pun sudah lantas berlalu.  Boleh dibilang, berdua mereka jalan ditempat yang gelap, karena rentang2nya senjakala.

Halaman 123 s.d 126 hilang …

“Apakah kita semua tidak bisa yakinkan lebih jauh ilmu silat kita?” berseru mereka. “Apakah kita tidak bisa undang orang untuk bantu kita menantikan kedatangannya dia itu? Umpama kata dia datang bersama gurunya, apakah kita tidak bisa berani kepung mereka?”

Cin Hui masih rebah atas pembaringannya, mukanya yang pucat pelahan2 jadi bersemu merah pula. Tiba2 ia lompat bangun, terus ia tepuk2 dada.

“Ya, jangan takut,“ ia berseru. Ia  angkat dadanya. “Bugeemu semua masih belum sempurna, karena semua itu aku masih simpan ilmu silat Su-touw-kun dan Pat-to-too. Mulai hari ini aku akan wariskan semua kepandaianku, supaya kau semua pandai seperti aku sendiri! Memang, mustahil tiga-puluh Pauw Cin Hui tidak sanggup lawan Kang Siau Hoo seorang? Kenapa mesti takut?“

Kata2 ini membikin semua murid tadi girang, semangat mereka semua terbangun.

Benur juga, sejak hari itu, Pauw Cin Hui kumpulkan empat-belas muridnya. yaitu Long Cie Khie, Kee Cie Beng, Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong, Ma Cit hian, Tan Cie Cuu, Cin Cie Po, Chio Ci Yauw, Biauw Cie Eng, Wan Cie Gie, Wan Cie hiap,Han Cie Sin, Thio Ce Cay serta puteranya pertama, Cie In. Ia kumpulkan mereka semua dirumahnya, untuk mereka itu setiap hari belajar dengan sungguh2. Ia sendiri turut berlatih, hingga tubuhnya yang gemuk. jadi sehat dan gagah. jadi gesit gerak2kannya, hingga muncullah kegagahannya diwaktu muda. Sementara itu, selainnya siang diwaktu malam-pun Pauw Cin Hui didik keras cucunya perempuan, akan tunjukkan berbagai rahasia.

Demikian sejak itu, namanya kaum Kun Lun Pay jadi makin kesohor, akan tetapi disebelah itu, tentang Kang Siau Hou, orang tidak dengar suatu apa.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar