Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 12

Jilid 12

“SURAT ini disampaikan kepada Liong Cie Teng dan Liong Cie Khie untuk di sampaikan terlebih jauh kepada ayah dan anak she Pau di Tin-pa! Sepuluh tahun telah berselang, tetapi selama itu belum pernah aku lupa akan sakit hati dari ayahku yang binasa terbunuh.

Dahulu ketika aku masih berusia sangat muda, tenagaku lemah, aku telah mesti terima berbagai penghinaan-pun hampir- hampir jiwaku melayang. Ketika itu aku bersakit hati sangat, namun aku tidak bisa berbuat suatu apa.

Kini aku telah masuk usia dewasa, aku telah berhasil mewariskan ilmu silat Sejati dari guruku, aku percaya sekarang aku akan sanggup musnahkan kau sekalian manusia jahat dari kalangan kangouw, buat singkirkan ancaman bencana besar bagi rakyat ramai, sekalian membalaskan sakit hatiku selama dua- belas tahun.

Aku telah mesti sangat menderita, karena ayahku binasa,  ibuku mesti menikah pula, hingga aku mesti berpisah dari ibu dan adikku. Aku-pun mesti bersengsara kelaparan dan kedinginan, aku telah mengalami ancaman golok dan cambuk. Ini adalah suatu permusuhan sangat besar.

Maka itu didalam kalangan Kun Lun Pay, kecuali dua-tiga orang, semuanya adalah musuh-musuhku.

Hari ini juga aku akan berangkat ke Barat, paling dulu ke Cie- yang, kemudian ke Tin-pa. Dengan ini sengaja aku peringatkan kepada kau sekalian supaya siap-sedia, berjaga-jaga.

Hormatnya, Kang Siau Hoo.

Tampangnya si jago tua jadi berubah-ubah pucat dan merah padam, terang ia sangat gusar bercampur kuatir. Selama itu ia berdiam saja.

Juga semua murid Kun Lun Pay berdiam, tetapi nyata mereka sangat murka. Kie Kong Kiat ada soren pedang dipinggangnya,  ia hunus senjatanya itu dan menggebrak meja, hingga terdengarlah satu suara nyaring yang mengejutkan orang banyak.

“Cu-wie jangan takut!“ berkata ia dengan jumawa. “Kang Siau Hoo itu orang macam apa? Biar, tidak usah dia sampai di Cie-yang, aku nanti papaki dia ditengah jalan di Selatan! Aku tanggung dengan tiga bacokan aku nanti binasakan padanya!”

Pau Cie In hampirkan Liong Cie Khie.

“Siapakah yang sampaikan surat ini?” ia tanya saudara itu.

“Pembawa surat itu ada saudagar obat-obatan yang hendak pergi ke Hoolam,” Cie Khie jawab. “Menurut katanya dia ketemu Kang Siau Hoo sendiri di Sin-yang. Dia bilang, namanya Kang Siau Hoo ada menggetarkan Kanglam dan Kangpak, bahwa pedangnya dan ilmunya menotok jalan darah sudah tidak ada yang sanggup tandingi. Hoa-Chio Bang Jie dan Siangyang, Say Ui Tiong Lau Khong dan Sinyang, Sin pian Lou Pek Hiong dari Siangcay, semua telah rubuh ditangannya. Katanya Kang Siau Hoo hendak paling dulu menuju ke Utara akan tempur Thay Bu Siansu dari Siong San, akan lawan Kho Keng Kui dari Kayhong, akan tandingi juga Kie Kong Kiat, kemudian barulah ia akan terus pergi ke Tong-kwan, untuk nanti mutar ke Cieyang dan Tin-pa.”

Mendengar itu, Kie Kong Kiat jadi bertambah-tambah gusar.

“Hm, hm!“ ia perdengarkan suaranya. “Oh, Kang Siau Hoo telah ketahui juga namaku? Bagus, inilah bagus! Kalau dia benar niat datang ke Kwantiong, itu ada terlebih baik lagi, aku jadi tidak usah pengi jauh-jauh akan cari padanya, disini aku nanti ajar dia kenal dengan pedangku!“

Sehabisnya kata begitu, Kie Kong Kiat menoleh pada tunangannya, yang ia awasi dengan roman jumawa.

Tampang mukanya Ah Loan, si bakal isteri, ada biru dan merah-padam, hingga tidak bisa dipastikan dia ada dalam kemurkaan atau berduka, sekian lama dia diam saja, hanya kemudian, dia tolak cawan araknya dan berbangkit, akan terus tinggalkan meja perjamuan, masuk kedalam.

Selagi awasi cucunya itu bertindak masuk, dimatanya Pau Loo-kausu berbayang kejadian dahulu, pada sepuluh tahun yang lalu, pada suatu malam yang bersalju, tempo Siau Hoo bawa-bawa golok untuk membalas sakit hati, bagaimana setelah ia beri keterangan, bagaimana sesudah timpahkan ke salahan pada persaudaraan Liong sebagai pembunuhnya Cie Seng, barulah Siau Hoo mau pergi.

Tetapi Ah Loan segera menyusul keluar, hingga kedua bocah itu bertempur diatas salju. Pertempuran itu ada menggembirakan jago tua ini. Sejak itu, Siau Hoo telah diberi tinggal dirumahnya. Selama itu pun, pernah satu kali ia memikir untuk nikahkan Siau Hoo kepada Ah Loan. Ketika itu-pun ia sudah menyesal akan perbuatannya. Siapa nyana, permusuhan tidak menjadi habis, sekarang musuh itu muncul pula. Maka pastilah, lagi sedikit waktu, satu pertempuran besar dan hebat akan terjadi.

“Apakah Kie Kong Kiat sanggup lawan Kang Siau Hoo?” demikian jago tua ini bersangsi. Karena kesangsiannya itu, ia jadi sangat berduka. Tubuhnya seperti bergemetar.

Cie Tiong lihat roman gurunya menguatirkan, ia segera pimpin gurunya itu. Sekejab saja perjamuan itu jadi kalut.

Digotong oleh murid-muridnya, jago tua itu diletaki diatas pembaringan dimana ia  rebah bagaikan mayat, hingga orang bingung, repot coba menyadarkannya. Selang sekian lama baru ia ingat akan dirinya, ia coba kuatkan hati akan perlihatkan sikap gagah.

Sebenarnya Kang Siau Hoo itu tak usab dibuat takut,” kata ia kemudian. “Kalau dia datang, aku ÿang  nanti sambut padanya. Paling banyak aku akan binasa, setelah aku mati, habislah permusuhan. Satu hal aku hendak pesan padamu sekalian, dalam hidupnya orang tidak boleh tanam bibit permusuhan, dalam segala perbuatan jangan suka melewati batas. Siapa keterlaluan, dia akan menyesal sesudah kasep. Aku sudah tua, kau semua sebaliknya masih muda, maka ingatlah wanti-wanti pesanku ini. Ingatlah dalam segala apa, berlakulah sabar!”

Kemudian orang tua ini menoleh pada Kie Kong Kiat. “Aku sudah serahkan cucuku kepadamu, dengan begitu

kau terhitung keluarga Pau juga,” Lata ia. “Kau juga mesti ingat. Umpama Kang Siau Hoo datang sebelumnya aku menutup mata, akulah yang mesti ketemui dia, aku larang kau campur tahu! Bila dia datang sesudah aku mati, barulah kau boleh menemui dia. Tetapi walau-pun demikian, lebih dahulu kau mesti bicara kepadanya dengan hormat, untuk cari daya pemecahan untuk habiskan permusuhan,  bila tidak ada jalan lain, barulah kau terpaksa angkat senjata. Sekali-pun demikian, selagi bertempur kau juga mesti mengenal batas! ...”

Tapi Kie Kong Kiat ada panas.

“Loo-ya-cu, mengapa kau jadi begini berkuatir?“ kata ia. “Berapakah kepandaiannya Kang Siau Hoo itu? Apakah gurunya sanggup tandingi Siok Tiong Liong dan engkongku Liong Bun Hiap?”

Mendengar itu, Pau Cin Hai mengehela napas, lalu ia bersenyum meringis.

“Hian-sunsay, kan merantau belum cukup lama, kau belum tahu ... “ kata kongco ini. “Pada empat-puluh tahun yung lampau, sekalipun Liong Bun hiap dun Siok Tiong Liong dapat julukan Lau Pak Jie Ciat, tetapi seumur hidupnya Liong Bun Hiap tidak berani seberangi Suagai Tiang Kang dan Siok Tiong Liong tidak berani melintasi selat Sam Kiap. Kenapa begitu? Orang yang  ketahui sebabnya ini ada sangat sedikit. Sebenarnya, diluar Jie Ciat, masih ada It Kie, satu yang gagah luar biasa. Bugeenya kiehiap ini, tinggi sukar dibade, hingga dia dapat permainkan Liong Bun Hiap dan Siok Tiong Liong. Tatkala itu aku sedang mudanya, bugeeku ada terlebih liehay daripada sekarang ini, akan tetapi tempo aku ketemu It Kie digunung Tong Pek San ... Ah, sudahlah, baik aku tidak usah tuturkan lebih jauh, aku menceriterakannya-pun kau niscaya tidak akan mau percaya. Aku Pau Kun Lun telah malang-melintang disuatu jaman, akan tetapi ditangan dia itu, aku masih tak mirip-miripnya dengan seekor semutpun...”

Kong Kiat heran hingga ia awasi kongco itu  dengan mata terbuka lebar.

“Apakah dia itu gurunya Kang Siau Hoo?” ia menegasi. Guru silat yang tua itu kerutkan dahi.

“Umpana Kang Siau Hoo berguru pada lain orang mustahil selama belasan tahun aku jadi begini,” ia jawab. Kat Cie Kiang juga lantas ceriterakan hanya pada sepuluh tahun yang lalu ketika ia ketemui gurunya Kang Siau Hoo itu dipegunungan Cin Nia.

Kie Kong Kiat masih bersangsi, ia tetap mendongkol. Ia coba berpikir, akhirnya ia bersenyum ewah.

“Baiklah Lo-ya-cu jangan terlalu pikirkan ini,” kemudian ia menghibur. “Aku masih ada punya daya-upaya. Besok Looya cu ajak Ah Loan pindah kelain tempat untuk sedikit hari saja. ini bukan berarti Loo-ya-cu mesti singkirkan diri. Kau sudah berusia lanjut, tidak ada harganya untuk kau layani segala bocah, dengan bawa pedang aku nanti pergi ke Timur akan papaki Kang Siau Hoo itu. Biarlah kita berdua yang adu kepandaian!“

Cie Kiang sekalian anggap daya ini ada sempurna, mana mereka lantas membujuki gurunyu supaya suka menurut.

Pau Cin Hui dapat dibujuk, dan itu besoknya, dengan ajak cucunya ia berangkat ke Taysan-kwan, ketempatnya Lou Cie Tiong, sedang Kie Kong Kiat, yang sikapnya agung-agungan, lantas ajak Chio Cie Yau dan Lau Cie Wan pergi ke Timur, untuk papaki Kang Siau Hoo.

-odwo-

Bab 09

WAKTU ITU ada dipermulaan musim panas. Diluar Han-kok-kwan, ditanah datar. diantara sawah ladang gandum yang luas beribu lie sebagai tak ada batasnya, ada melintang sebuah sungai mirip dengan seekor naga yang sedang menghembuskan awan-kabut. Sementara itu, dibukit Tiong-gak Siong San, segala apa ada tenang dan permai, disitu ada rimba-rimba dengan selokan-selokannya. Disini orang seperti pisahkan diri dan dunia yang panas-terik. Di kaki gunung ini ada tinggal satu keluarga pegunungan di dalan mana kebetulan ada menumpang satu tamu.

Tamu itu bukan lain dripada itu orang yang mengacau di See-an, yang dengan sendiran saja mengacau kaum Kun Lun Pay, hanya apa mau dia telah ketemu Kie Kong Kiat, hingga selagi layani orang she Kie itu dan Ah Loan, ia alpa dan kena dilukai. Karena ini, ia meningkir ke Han-kok- kwan.

Lie Hong Kiat ada dari satu keluarga tani di Lam-kiong. Ia ada seorang dengan pikiran merdeka, selain yakinkan ilmu surat, ia-pun pelajari ilmu silat. Dalam ilmu surat ia tidak mengutamakan karang-mengarang, ia hanya perhatikan pada syair-syair dan nyanyian, maka itu ia tidak bisa turut dalam ujian untuk menempuh pangkat. Dalam ilmu silit ia gemar akan pedang, dan tangan kosong, juga ilmu loncat tinggi dan lari keras, juga lari diatas genteng, karena ini, kembali ia tidak bisa turut dalam ujian ketentaraan dimana yang diutamakan adalah kekuatan tenaga, menggunakan golok besar. Demikianlah, meski-pun ia ada bun bu coan cay, namun dua-dua pintu kepangkatan tertutup baginya, hingga dalam umur duapuluh, ia melainkan bisa merantau.

Tidak demikian dengan adiknya yang bernama Lie Hong Keng, ia rajin usahakan sawah dan ladangnya, yang ada beberapa bahu, ia bisa dirikan rumah tangga dengan kecukupan dan tenteram. Adik ini lebih muda satu tahun usianya.

Guru dan siapa Hong Kiat dapat didikan silat dan syair ada satu too-su atau imam yang usianya sudah kira-kira delapanpuluh tahun, yang sebut dirinya Liong San Toojin. Imam ini hidup dalam pengembaraan, tapi dikuil Lu Sian Kok di Ham-tan ia perah tinggal. Sampai dua tahun, adalah diwaktu itu ia angkat Hong Kiat jadi muridnya. Ketika kemudian guru ini berangkat ke Pakkhia, ia panggil muridnya, hingga berdua mereka tinggal lagi bersama setengah tahun lamanya. Dan gurunya ini Lie Hong Kiat dapat tahu hal-hal kefaedahannya Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Kemudan guru ini suruh munidnya coba pergi merantau untuk cari pengalaman. Disaat perpisahan barulah Liong San Toojin tuturkan siapa dirinya sebenarnya.

Kiranya guru ini adalah satu dari Lam Pak Jie  Liong atau Lam Pak Jie Ciat yang namanya termasyhur dikalangan kangouw, ialah Siok Tiong Liong, si Naga Sucoan. Dia-pun telah perkenalkan dua orang kepada muridnya ini, yang satu adalah Tiat-nou Thio Hiong, si Panah Besi, piausu kesohor di Siang-ciu, Kanglam, dan kim-lian Pou-sat Thay Bu Siansu dan Siong San di Hoolam. Dua orang ini ialah bekas sebawahan dari Siok Tiong Liong, mereka jadi kaki-tangan yang berharga selama Naga Sucoan merantau dan menjagoi dikalangan kangouw, buat lakukan banyak kebaikan, akan tindas orang-orang jahat.

Setelah perpisahan dari gurunya di Pakkhia, Lie Hong Kiat lantas menuju ke Siang San dimana ia ketemui Thay Bu Sian-su, kemudian baru ia pergi ke Kang-lam dan  tinggal untuk sekian hari pada Tiat-nou Thio hong, yang masih tetap buka pautiam. Dan ini barulah ia  pesiar kebanyak tempat akan lakukan rupa-rupa kebaikan seperti pesan gurunya, akan tinggalkan syairnya ditempat-tempat yang terkenal yang ia pergikan, hingga namanya lantas jadi kesohor. Dari Kanglam ia telah pergi ke Wie-sui, See-an, akan sambangi tempat-tempat ternama dari jaman Han dan Tong, akan tetapi sesampainya di Thay Gan Tah, dia ketemu Ah Loan dan Kat Siau Kong yang sembrono  dan jail, maka terjadilah berbagai kesulitan, sehingga akhirnya dia dikepung berdua oleh Kie Kong Kiat dan Ah Loan. Kalau pertempuran itu satu sama satu, kesudahannya pasti ada lain. Ia terluka pada lengan kanan, luka itu tidak hebat, tetapi ia kena dikalahkan, ia mendongkol, ia jadi malu berdiam lebih lama di Kwan-tiong, dengan tahan lukanya yang terus mengucurkan darah, dengan naik kuda putihnya ia terus meninggalkan Wie-sui, ia keluar dan Tongkwan, beruntun beberapa hari ia tidak mau singgah atau berisirahat, maka ketika akhiraya ia sampai di kaki gunung Siong San, baru saja ia turun dari kudanya, terus ia rubuh, tak dapat ia bangkit pula. Syukur ia dapat diketemukan oleh Thay Bu Siansu, yang tiaggal dikuil Pek Siong Sie.

Thay Bu Siansu ada punya obat luka yang  mustajab, yang dinamai “Kim Kong Keng Seng San”, Hong Kiat lantas diobati obat itu, belum setengah bulan ia sudah sembuh. Ia nyatakan hendak turun gunung, untuk cari Kie Kong Kiat menuntut balas.

“Baik kau jangan pergi pula,” Thay Bu Siansu menasehatkan, malah dia-pun umpatkan pedang dan pauhoknya Hong Kiat, “Kie Kong Kiat ada cucunya Liong Bu Hiap, pasti sekali ia telah dapatkan segala tipu silat yang liehay dari engkongnya itu.

Kau sendiri cuma belajar dua tahun lebih dari Siok Tiong Liong, tidak heran jikalau ilmu pedangmu ada terlebih rendah. Lagi-pun disana Kie Kong Kiat banyak kawan, kalau kau pergi pula, pasti kau sukar rebut kemenangan. Paling benar kau tinggal terus disini, kau boleh pahamkan terlebih jauh ilmu pedangmu, kau bersababat kepada beberapa orang jujur, kemudian baru kau cari pula Kong Kiat untuk piebu. Buat ini tempomu masih banyak, kau tidak akan terlambat.”

Lie Hong Kiat suka dengar nasehat itu, selanjutnya ia tinggal di Pek Siong Sie. Di Siong San ada banyak rumah suci, Siau Lim Sie adalah berhala yang paling besar, pendetanya juga paling banyak. Kuil yang paling ramai dikunjungi penganut- penganut adalah Thian Cee Bio, di tengah-tengah. Sebaliknya Pek Siong Sie ada kuil paling kecil dan paling jarang dapat kunjungan. Sebab dari ini adalah Pek Siong Sie berdiri disatu puncak tertinggi, hingga tidak sembarang orang yang berani naik demikian tinggi untuk bersujut. Dengan tandu kecil juga orang masih  sukar  mendaki puncak itu.

Thay Bu Siansu sendiri-pun jikalau tidak ada keperluannya, tidak sembarangan turun dari puncaknya itu. Ia atau murid-muridnya, tidak pernah turun guntung buat minta amal, meski-pun demikian, Pek Siong Sie ada cukup segalanya, untuk penghidupannya semua pendeta  disitu. Lie Hong Kiat merasa aneh atas penghasilannya kuil itu. Ia tidak percaya pembilangannya Thay Bu Siansu, bahwa penghasilannya melulu dari  penjualan obat-obatan saja. karena obat bubuk Kim Kong Keng Seng San ada sangat “disayang” oleh imam itu. bukan saja dia lihat Thay Bu tidak mau menjualnya,-pun kalau bukan kepada sahabat kekal, obat itu tidak sembarang diberikan. Maka ia sangka imam ini ada imam yang sucikan diri setengah jalan, sesudah dapat kumpul harta besar, boleh jadi dia disebabkan dia ketemu musuh yang liehay dan ketika dikalahkan lantas dia telah tanam satu permusuhan hebat, atau dia telah lakukan suatu pelanggaran undang-undang negara, hingga dia lari ke “pintu suci” untuk umpatkan diri. Disinipun, dipuncak gunung yang tinggi, kecuali sahabat- sahabat paling rapat yang kunjungi dia kadang-kadang dia tampik menemui sembarang tamu. Cuma, mengenai ini Lie Hong Kiat tidak ingin tanya apa-apa pada imam itu. Ia sendiri-pun diperlakukan baik sekali. Setiap hari Hong Kiat tinggal nganggur diatas puncak, ia sedot harumnya bunga atau mendengari ocehannya burung, ia duduk bercokol membaca kitab atau melatih diri dengan pedangnya. Ia merasakan hidup tenang dan tentram. Atau kalau ia suka, ia turun gunung. 

Pada suatu hari ia merasa iseng, ia turun dari puncak, ia datangi sebuah kampung. Disini ada sebuah kali Beng Kim Kian, dan kampung itu letaknya di Timur kali itu, yang terdapat banyak batu, airnya mengalir tak putusnya memukuli semua batu yang menerbitkan suara berisik, seperti suaranya kim. Disitu Hong Kiat ada titipkan kuda putihnya pada satu penduduk yang hidup dari penjualan kayu bakar. Namanya Tiat-keng-pong Ou Jie Ceng si Pundak Besi. Ia pergi pada tukang kayu ini, ia  ambil kudanya, ia balap sendirinya di kaki gunung. Ia lari mundar mandir sampai ia lelah sendirinya, sedang matahani mulal naik. Waktu itu barangkali sudah jam tujuh atau delapan, jalanan mulai ramai dengan kuda, kereta dan orang.

Hari ini ada Gou-gwee Cee-it, maka sedari pagi-pagi penduduk dari tempat-tempat berdekatan pada  datang untuk bersujut di Thian Cee Bio. Yang teramai adalah dihari ke lima, Cee-gou, ramainya luar biasa, melebihi hari pasar.

Hong Kiat kuatir kena tabrak orang, ia pinggirkan kudanya. Dari situ ia awasi orang banyak, lelaki dan perempuan, tua dan muda dan anak-anak dengan aneka warna pakaiannya, terutama nona-nona dan nyonya- nyonya muda yang berpakalan mewah. Ia bukannya satu gong-kongcu tapi melihat pemandangan itu, ia jadi ingat syair indah yang ia sering baca, maka dengan sendirinya, duduk diatas kudanya, ia membuat sebaris syair, beginilah bunyinya : “Disana tusuk konde indah dengan pakaian merah hijau belang.

Diatas gunung memandang awan permai terbang melayang- layang.

Diatas kuda terbanglah semangatnya seorang gagah perantauan.

Sedang pedang tajam tak dapat selesaikan ruwetnya perselisihan.”

Garis pertarna dari syairnya itu, Hong Kiat artikan orang-orang perempuan dengan dandanan indah. Ia merasa puas dengan syair-nya itu. Ia sedang kesengsam sendiri ketika ia dengar datangnya suara kelenengan dari jurusan Timur, lalu tertampak seekor kuda lari mendatangi, suara kelenengan itu adalah dari kuda itu, suaranya seperti berlagu Penunggangnya kuda itu adalah satu pemuda umur dua puluh lebih, alisnya panjang, matanya besar, romannya cakap dan gagah, karena dia-pun ada punya tubuh tiuggi dan kekar. Di kepalanya ada satu tudung lebar, yang diikatkan dua potong pita hitam dan panjang sebagal tali pengikat, bajunya dan celananya biru, sepatunya caueh (sepatu rumput). Dilihat macannya, dia ada seperti datang dari Kanglam. Yang terutama tarik perhatiannya Hong Kiat adalah pauhok ringan dan pedang dipelana, pedang mana memain tak berhentinya, menerbitkan suara saling sahutan dengan kelenengan.

“Pasti dia bukan orang yang hendak bersujut keatas gunung, dia mesti ada orang yang sedang lakukan perjalanan,” Hong Kiat berpikir. “Tapi ia  datangi gunung, ia hendak cari siapa?“

Sekali-pun ia memikir demikian, Hong Kiat toh tidak ikuti orang itu, yang telah lewati padanya akan ikuti orang ramai. Sesudah mendekati tengahari, baru ia kembali ke Beng Kim Kian, ke rumahnya Ou Jie Ceng. Waktu ia tuntun kudanya masuk kepekarangan yang terpagar, ia lihat tukang kayu itu sedang makan phia.

Orang she Ou ini berumur dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, tubuh dan mukanya semua hitam seperti arang saja, hingga kepalanya mirip dengan sebuah bola besi, karena ia tidak pakai baju, kelihatanlah tubuhnya yang kekar dan kuat daging dan urat-urat pada berjendol besar dan tidak rata. Kulitnya yang hitam itu seperti berminyak, mengkilap seperti cat saja keringatnya.

“Saudara Lie, mari dahar sama-sama!“ mengundang tukang kayu yang sedang caplok phia yang hitam itu. “Lihat phia buatan ibu lezat sekali!”

“Terima kasih, aku dahar dikuil saja,” Hong Kiat menampik.

“Barang makanan dikuil tak selezat seperti kepunyaanku,” Ou Jie Ceng mendesak. “Mari dahar, saudara Lie, didalam masih ada lagi!“ ia lantas tunjuk pikulan kayunya didalam pekarangan itu. Itu ada kayu yang baru dikampak dari atas gunung, beratnya ada seratus lima puluh atau enam puluh katie cuma pundak besinya yang kuat pikul itu. Ia tambahkan: “Kalau aku jual itu, aku akan dapat dua renceng uang, untuk aku dapat beli beberapa kati daging, dan daging itu ada untuk suguhi ibu, untuk undang kau dahar juga!”

Lie Hong Kiat tertawa untuk kemanisan budinya orang itu.

“Jangan kau belikan daging untuk aku!” katanya, “Baiklah, aku dahar phiamu saja.”

Ia lantas tambat kudanya, ia mauk kedalam rumah dari mana ada mengepul asap. Ibunya Jie Ceng ada seorang lumpuh, nyonya tua itu numprah saja diatas pembaringannya kong, atau pembaringan tanah. Di depan pembaringan ada ditaruh perapian kecil untuk ia mematangi phia dan lainnya untuk anaknya. Kamar itu kotor, phia-pun kasar buatannya, akan tetapi karena Hong Kiat lapar dan malas pergi belanja dilain tempat, ia jemput sepotong phia dan dimakannya bersama Jie Ceng sambil mereka bercakap-cakap.

Menurut si tukang kayu, sekarang pekerjaan memotong kayu sudah tidak ada artinya. Pepohonan didalam rimba diatas gunung kebanyakan sudah ada pemiliknya, kalau bukannya pendeta dari bio, tentu hartawan dari kaki gunung. Siapa ambil kayu dengan sembarangan, dia bisa didamprat dan dipukuli.

“Aku sebenarnya niat pergi kekota buat cari lain pekerjaan, hanya sayang aku tidak dapat tinggalkan ibuku,” Jie Ceng nyatakan akhirnya.

“Ibumu tidak bisa jalan, senantiasa dia memerlukan rawatanmu, memang kau tidak boleh kerja dikota,” Hong Kiat bilang. “Baik kau tetap potong kayu saja.  Umpama kau kekurangan uang, kau boleh datang padaku, nanti aku beri pinjam padamu ... ”

“Oh. saudara Lie, jangan kau pinjamkan uang padaku!” Jie Ceng kata seraya goyang-goyang tangannya. “Kalau kau beri pinjam, selainnya aku tidak mampu bayar, juga diwaktu malam, aku tidak bisa jadi tidur, aku pasti akan ingat itu selalu!”

Lie Hong Kiat tertawa. Ia suka akan tukang kayu yang jujur dan polos ini.

Cuma dahar sebelah phia, pemuda ini sudah tidak lapar lagi, dan selama mengaso itu, keringatnya-pun sudah kering pula. Jie Ceng sehabisnya dahar, sudah lantas pergi pelihara kuda tamunya ini.

Waktu sudah lewat tengah hari.

“Jie Ceng, aku bendak pergi sekarang,” kata Hong Kiat pada si tukang kayu. “Sampai besok ya!”

“Baiklah, saudara Lie!”

Hong Kiat lantas keluar dari pekarangan, ia keluar dari kampung itu, dengan mengikuti kali, ditepi mana ia berjalan, kupingnya senantiasa dengar suara ngericiknya air yang seperti suara tetabuhan kim. Di depan kali-pun ada banyak batu, yang saling susun, yang bertumpuk merupakan bukit, sedang dari pepohonan suaranya angin jadi saling sahutan dengan suaranya air.

Ketarik hatinya pemuda tukang syair ini berhentikan tindakannya, berdiri ditepi kali, matanya memandang awan diatas bukit. Timbullah niatnya untuk membuat syair pula. Tapi, selagi memandang kebawah, ia tampak disebelah kanannya ada sebuah batu melintang menyeberangi kali, terus kesatu jalanan gunung, yang banyak tikunganuya. Ia duga disana mesti ada pemandangan alam yang indah, maka batallah ia membuat syair.

“Sudah sekian lama aku tinggal disini, kenapa aku tidak tahu adanya jalanan ini?” kata ia dalam batinya. Ia terus jalan diatas jembatan batu itu, akan pergi ke jalanan gunung itu. Belum lama, ia lihat reruntuknya sepasang sepatu rumput. Lagi sedikit jauh ia-pun tampak kotoran manusia. Maka ia percaya, ini ada jalanan biasa dilalui manusia. Ia mendaki terus.

Disebelah atas, pohon-pohon cemara halangi sinar panas dari matahari. burung berterbangan pergi datang perdengarkan suaranya. “Kenapa aku mesti pergi kedunia ramai akan perebutkan nama dan harta? Kenapa aku mesti turun gunung pula akan membalas kepada Kie Kong Kiat?” tiba-tiba pemuda ini ngelamun. “Guna apa melayani orang orang Kun Lun Pay itu? Bukankah terlebih baik aku berdiam disini dengan mendirikan sebuah gubuk, akan icipi keberuntungan bukit dan rimba?”

Hong Kiat jalan terus, pikirnya masih ngelamun. Kemudian ia sampai dijalan yang terlebih sempit, tetapi disitu burung-burung terdapat terlebih banyak. Ia sedang jalan terus dengan mendengari suara burung, tatkala tiba- tiba ia dengar tangisannya dari seorang perempuan. Ia heran, lantas merandek.

Tangisan itu seniakin dekat dan semakin nyata. Sekarang suara tadi semakin berisik tangisan itu terdengar lebih keras, tercampur dengan cacian juga.

Segera Lie Hong Kiat memburu, maka sekarang ia lihat dan atas bukit ada berlari-lari seorang perempuan, pakaiannya rombeng, rambutnya awut-awutan.

“Tolong! Tolong, ada orang jahat!” -pun segera terdengar jeritannya itu.

Disebelah belakangnya perempuan ini ada berlari-lari seorang lelaki umur kira-kira empatpuluh, mukanya kuning, pakaiannya mewah. Dia agaknya tidak lihat pemuda kita, ia menguber terus, sekarang terdengar suaranya: “Eh, perempuan tidak tahu diri! Toaya sayang padamu, tapi kau justeru bertingkah! Toaya hendak angkat kau supaya kau beruntung.”

Orang ini hampir menyandak, ia  sudah ulur kedua tangannya akan merangkul tetapi perempuan itu lari lebih keras, hanya apa celaka, karena berlompat, ia terus rubuh dengan perdengarkan jeritannya yang mengerikan. Menampak demikian, Hong Kiat jadi gusar, ia lompat maju akan jambak lelaki itu, yang ia tegur: “He, kau hendak buat apa? Kenapa kau ganggu perempuan yang lemah ini?“

Lelaki itu jadi gusar.

“Dia adalah isteriku, kau tidak berhak mencampurinya.”

Tapi ucapan itu belum habis dikeluarkan, kepalannya Hong Kiat sudah melayang, hingga diantara satu suara keras, orang itu rubuh terguling, terus pingsan.

Hong Kiat tidak perdulkan orang itu, ia lari kepada perempuan itu yang ia terus beri bangun.

Perempuan itu berumur tujuh atau delapan-belas tahun, sekarang kelihatan nyata romannya yang elok, meski-pun pakaiannya jelek dan rambutnya kusut, mukanya penuh air mata.

Lekas-lekas Hong Kiat lepaskan kedua tangannya,  karena ia merasa yang ia sudah berlaku lancang.

“Kau jangan takut,” ia lantas kata. “Pergi kau lanjutkan perjalananmu.”

Nona itu berdarah didahinya, darahnya nyampur jadi satu dengan air matanya. Ia masih seguk-seguk dengan tidak kata apa-apa ia lantas bertindak kembali keatas bukit.

“Eh, buat apa kau naik,” tanya Hong Kiat, yang mencegat. ”Apa kau memang tinggal diatas gunung pula?“

Nona itu geleng kepala, ia masih menangis.

“Disana ada nayaku yang ketinggalan ... “ sahutnya. “Mari aku antar kau,” kata Lie Hong Kiat.

Justeru itu lelaki tadi telah sadar akan dirinya, ia gulingkan tubuh untuk berbangkit, tapi berbareng dengan itu, sebelah tangannya meraba tubuhnya dari mana ia keluarkan satu golok pendek, dengan apa ia timpuk pemuda kita.

Si nona menjerit melibat samberan golok seperti piau saja.

Tapi Lie Hong Kiat yang lihat serangan itu segera menyambutinya.

“Apakah kau masih punyakan lain golok terbang?“ tanya ia dengan mengejek.

Orang itu mengawasi dengan bengis, ia keluarkan pula goloknya, sekali ini ia menenimpuk dengan dua hui-too, golok terbang, saling susul.

Hong Kiat ulur kedua tangannya, akan samber dua-dua huitoo itu.

Menampak ini barulah lelaki itu kaget dan ketakutan. “Kurang ajar!“ Hong Kiat  berseru, karena ia-pun  gusar.

Berbareng  dengan  itu, sedangkan  huitoo  diberi melayang,

yang dengan jitu mengenai pipi kirinya orang itu yang tak sempat berkelit, hingga dia ke luarkan jenitan tertahan. Darah lantas muncrat dan lukanya, ia jadi takut bukan main, ia cabut goloknya itu, terus ia  lari. Ia  lari baru beberapa tindak, tiba-tiba ada sepotong batu yang melayang turun dari atas, menimpa mukanya, hingga lagi sekali dia menjerit, tubuhnya rubuh terguling, kembali ia pingsan.

Lie Hong Kiat jadi heran, ia angkat kepalanya untuk melihat.

Dari atas ada terdengar suara orang terawa gelak-gelak, lantas orang itu muncul bersama kudanya, yang dituntun turun. Dia adalah pemuda yang tadi Hong Kiat lihat dijalan besar. Orang itu menghampiri sambil angkat tangannya memberi hormat pada pemuda kita.

“Sahabat, apakah jalan ini terus kebawah bukit?“ ia tanya sembari tertawa. “Apa dengan tuntun kuda aku bisa turun terus kebawah?”

Hong Kiat membalas hormat.

“Jalanan disini ada terlalu sempit, menuntun kuda-pun sukar,” jawab ia. “Sahabat, aku lihat kau datang dari arah Timur, kenapa kau tidak ambil kembali jalananmu yang tadi?”

“Tapi orang hunjukan aku jalanan ini,” sahut orang itu. “Katanya dari sini bisa sampai disebuah kampung di depan gunung dimana ada kuil Pek Siong Sie. Aku hendak pergi kesana untuk cari satu orang yang tinggal dibawahan Pek Siong Sie ... ”

Hong Kiat heran. Ia tahu Pek Siong Sie tidak punya bangunan lainnya, sedang depan gunung adalah arah Utara, letaknya jauh sekali dari tempat dinana mereka berada. Maka ia pecaya, orang ini sudah ditunjukan jalanan yang keliru.

“Kau hendak cari siapa, sahabat?“ ia lantas tanya.

“Aku hendak cari Kim Lian Pou-sat Thay Bu Siansu dari Pek Siong Sie,” sahut orang itu.

“Kalau begitu kebetulan,” Hong Kiat bilang. “Thay Bu Siansu adalah sahabatku, kau boleh turut aku menernui dia. Tapi tunggu sebentar, aku hendak selesaikan dahulu urusan ini ... “

Pemuda itu tertawa. “Baiklah?“ jawab ia. Lie Hong Kiat lantas antar si nona keatas dimana nona itu dapat cari nayanya yang termuat rupa-rupa sayur yang baru dapat dipetiknya.

Melihat pakaian dan isi naya itu, Hong Kiat percaya nona ini ada seorang miskin, ia jadi merasa kasihan.

“Lain kali jangan kau mendaki pula bukit ini,” ia beri nasihat. “Atau kalau kau pergi juga, ambillah jalan  besar. Di sini ada sangat sepi, kalau kau ketemu orang jahat, kau bisa celaka!“

Sambil meleleh air mata, nona itu terima  baik  nasihat itu.

“Coba tanya dimana dia tinggal, lebih baik dia diantar pulang,” kata sianak muda yang menuntun kuda.

Hong Kiat menurut, ia tanya nona itu.

“Aku tinggal disana,” si nona menunjuk dengan tangannya kebawah gunung. Nyata ia menuajuk kali Kim Beng Kian.

“Akupun datang dari sana,” Hong Kiat bilang.  “Mari aku antar kau.” Kemudian ia menoleh pada si anak muda, seraya tambahkan: “Sahabat, tolong kau tunggu di sini sebentar saja, aku akan segera kembali!“

Pemuda itu manggut-manggut. “Baiklah!“ katanya.

Hong Kiat ambil nayanya si nona, siapa ia antar turun. Tapi si nona sukar jalannya karena kakinya yang kecil, tadi- pun ia telah jatuh terguling. Jalanan pun mudun dan tidak rata, Hong Kiat jadi tidak sabaran, tidak perdulikan lagi lam lie siu sin put cin, ia cekal lengannya nona itu. Dengan begitu mereka jadi bisa jalan cepat, hingga sebentar kemudian mereka sudah seberangi jembatan batu, sampai dimuka kampung. Disini Hong Kiat serahkan nayanya si nona.

“Ingat, lain kali jangan kau sembarang mendaki gunung pula!“ ia menasihati pula.

Nona itu berjanji, ia mengucap terima kasih.

Sampai disitu, Hong Kiat lari balik, ia sampai kepada pemuda tadi justeru si muka kuning sudah sadar, dia sedang dipegang dan ditanyai oleh pemuda itu. Ia menghampiri, ia berikan dua gablokan.

“Kau bukannya muda lagi, kenapa kau ganggu satu nona?“ ia menegur. “Kau seperti binatang saja! Lekas pergi! Kau mesti ambil jalanan lain, jangan turun disini!“

Orang itu tidak berani buka suara, sembari tunduk ia ngeloyor pergi, keadaannya mirip anjing terluka.

Hong Kiat awasi orang pergi, baru ia menoleh pada jago muda kita.

“Sahabat, apakah she dan namamu yang mulia?” ia tanya seraya ia mengasi hormat.

Pemuda itu balas horrnat itu. “Aku Kang Siau Hoo.”

Hong Kiat melengak mendengar nama ini. Ia ingat ia seperti pernah dengar orang sebut-sebut nama itu. Tapi segera ia mengucap: “Sudah lama aku dengar namamu itu! Saudara datang dari mana?”

“Aku datang dari Hie-ciu, aku sengaja hendak menemui Thay Bu Siansu,” sahut pemuda itu, ialah Kang Siau Hoo kita. “Tadi aku telah sampai di Pek Siong Sie, tapi satu hwee-shio disana bilang, Thay Bu Siansu baru pergi kuil lainnya dikampung di depan gunung dan aku ditunjukkan jalanan kesini, kebetulan sekali aku lihat lauhia sedang ajar adat pada manusia binatang itu. Kau pandai, lauhia, aku kagum padamu. Apa aku boleh ketahui she dan nama lauhia?“

Lie Hong Kiat perkenalkan dirinya yang sebenarnya.

Pemuda kita nampaknya terperanjat, lantas ia hunjuk roman girang.

“Oh, kiranya kau Lie Hong Kiat, murid terpandai dari Siok Tiong Liong!“ kata ia  sambil berseru. “Selama di Kanglam aku telah dengar halmu, lauhia, yang telah lakukan banyak perbuatan mulia!“

“Kau terlalu memuji, sudara Kang!“ sahut Hong Kiat sambil tertawa.

“Saudara Lie,” kata Siau Hoo kemudian,  “kau  kenal baik Thay Bu Siansu, tolong antar aku padanya. Ada satu sahabatku di Hie-ciu yang telah terluka, lukanya tidak parah tetapi luka itu bengkak dan bernanah, aku dengar Thay Bu Siansu apa punya obat bubuk Kim Kong Keng Seng San yang sangat mujarab, aku pikir untuk minta sedikit guna tolongi sahabatku itu.”

“Memang, Kim Kong Keng Seng San ada manjur sekali,” Hong Kiat bilang. “Baru pada bulan yang lain aku- pun terluka, dengan pakai obat bubuk itu sekarang aku sudah sembuh betul. Hanya Thay Bu Siansu ada sangat sayangi obatnya itu, tidak sembarang orang ia berikan, hendak dibeli-pun dia tidak mau jualkan. Aku nanti coba membicarakannya, aku harap dia suka membaginya padamu.”

Kang Siau Hoo manggut.

“Sahabatku itu juga orang kangouw,” ia beri tahu. “Dahulu Thay Bu Siansu ada seorang kangouw juga, baru belakangan ia sucikan diri, maka sebagai orang suci, seharusnya dia berhati lebih mulia pula. Apakah artinya sedikit obat untuk tolong sesamanya?“

Keduanya lantas berjalan naik, Siau Hoo tuntun kudanya. Mereka jalan sambil terus pasang omong Hong Kiat tanya orang punya asal usul, tetapi Siau Hoo  tidak mau berikan keterangan apa juga, melainkan sambil tertawa manis ia kata :

“Aku ada sebatang kara, aku merantau seorang diri. Bugee-pun aku mengerti tidak seberapa, melainkan cukup untuk jaga diri tidak sampai terhina orang. Sekarang ini aku datang dari Kanglam, di Hie-ciu aku ketemu  sahabatku yang terluka itu, karena itu aku datang kemari cari Thay Bu Siansu. Kalau nanti aku sudah antarkan obat pada sahabat itu di Hie-ciu, aku hendak pergi ke Kwan-tiong akan ketemui beberapa kenalan.”

“Ke Kwan-tiong?” Hong Kiat mengulangi, dengan ia merasa heran. “Saudara Kang, sahabat-sahabatmu di Kwaa-tiong itu berusaha apa?”

“Mereka itu bekerja dalam kalangan pautiam,” Siau Hoo menjawab.

“Piautiam di Kwan-tiong kebanyakan ada kepunyaan orang-orang Kun Lun Pay,” Hong Kiat bilang. “Apakah mereka itu ada sahabat-sahabat kekalmu, saudara Kang?”

“Aku kenal mereka tetapi tidak bergaul rapat.” Siau Hoo beritahu.

Mendengar itu, sikapnya Hong Kiat jadi berubah. Ia mau percaya pemuda she Kang ini termasuk golongannya Kun Lun Pay. Ia menjadi tidak gembira.

“Kun Lun Pay terdiri dan manuSia-sia licik!” ia lantas kata, seraya tertawa dingin. “Mereka cuma kosen karena mengandalkan jumlah yang  banyak. Paling belakang ini disana ada Kie Kong Kiat, cucunya Liong Bun Hiap, yang silat pedangnya bisa dibilang tinggi juga. Dia sekarang bantui Kun Lun Pay. Oleh Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong semua, dia diperlakukan sebagai malaikat saja!”

Kang Siau Hoo kelihatannya terperanjat mendengar namanya Kie Kong Kiat.

“Cucunya Liong Bun Hap?” ia menegas.

“Ya, orang bilang dia ada cucunya Liong Bun Hiap,” Hong Kiat ulangkan. “Aku percaya orang tidak mendusta. Dalam ilmu pedangnya, ada beberapa tipunya yang liehay. Usianya Kong Kiat berimbang dengan usia kita. Hanya ada sangat memalukan, sebagai satu hiap-kek muda-belia, dia telah bantu kaum Kun Lun Pay!”

“Saudara Lie pernahkah kau bertempur dengan dia itu?“ Siau Hoo tanya.

“Ya, untuk beberapa jurus,” sahut Hong kiat sesudah bersangsi sebentar. “Aku malu buat berurusan terlebih jauh kepadanya itu.”

Mereka bicara terus sampai dipuncak paling tinggi dimana kuda tak dapat dituntun terlebih jauh.

“Tambat saja kudamu disini, tidak nanti ada yang curi,” Hong Kiat kata.

Siau Hoo tambat kudanya pada sebuah pohon cemara, ia turunkan pauhoknya yang ringan dan pedangnya, ia gendol itu dibebokongnya. Ia lantas ikuti Hong Kiat, mereka naik melapay antara akar-akar pohon, hingga keduanya mirip dengan dua ekor kunyuk. Untuk kedua kalinya, Kang Siau Hoo sampai pula di Pek Siong Sie yang senantiasa seperti tertutup awan atau kabut.

Hong Kiat ajak Siau Hoo ke kamarnya sendiri. “Kau tunggu sbeiar,” kata ia pada sababat baru ini, setelah mana, ia pergi cari Thay Bu Siansu dikamarnya.

Pendeta dari Pek Siong Sie sedang balik-balik lembaran kitabnya.

“Tadi ada seorang bernama Kang Siau Hoo datang cari kau buat minta oba .t.. kau tahu tidak?” Hong Kiat tanya pendeta itu. “Sekarang dia datang pula.”

Dengan segera Thay Bu perlihatkan roman tidak senang pada mukanya yang bersemu sedikit kuning.

“Eh, kenapa dia datang pula?” dia kata. “Memang tadi dia datang unuk minta Obat. Obat bubukki Kim Kong Keng Seng San disediakan melulu untuk orang-orang dalam kuilku umpama ada yang jatuh selagi mereka turun-naik gunung. Mana itu bisa diberikan pada orang-orang kangouw? Mereka itu, sesudah sembuh, nanti saling bertempur pula atau lakukan kejahatan!”

“Baiklah beri dia sedikit, supaya dia lantas pergi,” Hong Kiat beri pikiran, “Kelihatannya dia ada dari golongan Kun Lun Pay tetapi dia datang dari tempat yang jauh, itulah perjalanan tidak gampang ... “

Mendengar disebutnya Kun Lun Pay, Thay Bu geleng- geleng kepalanya.

“Semakin orang Kun Lun Pay semakin aku tak sudi mengasikannya!” kata pendeta ini. “Ringkasnya, obatku itu aku tak sudi berikan pada orang kangouw! Kau-pun kalau aku tidak kenal baik, lukamu bekas pedang aku tidak akan obati!”

“Kalau begitu, aku suruh dia pergi saja?” Hong Kiat bilang. “Bilang saja aku sedang pesiar, entah kapan kembalinya?” Thay Bu kata. “Bilang bahwa kau tidak tahu obat dimana disimpannya.”

“Tak usah kita bilang demikan, kata saja obat sudah habis,” Hong Kiat usulkan.

Thay Bu Siansu manggut.

“Begitu-pun baik,” katanya. “Obatku memang tinggal sedikit.”

Hong Kiat lantas balik pada sahabatnya.

Kang Siau Hoo telah menantikan sekian lama, ia sudah mulai jadi tidak sabaran ia mulai bercuriga. Ia  lihat pedangnya Hong Kiat digantung ditembok dan di atas meja ada beberapa jilid buku, ia duga orang she Lie itu ada bun bu coan cay.

“Saudara Kang,” kata Hong Kiat, “datangmu tidak kebetulan. Obatnya Thay Bu Siansu sudah habis.”

Siau Hoo bersangsi.

“Obat sudah habis?” kata ia. “Tapi, bolehkah aku pinjam surat obatnya? Aku nanti turun gunung akan belikan dua bungkus saja, lantas surat obat itu aku kembalikan. Aku Kang Siau Hoo berani sumpah, aku tidak nanti salin surat obat itu untuk disiarkan pada orang banyak! Aku melainkan hendak tolongi sahabatku itu!”

“Saudara Kang, baiklah kau pergi saja,” Hong Kiat berpikiran. “Diempat penjuru dunia toh ada terdapat tabib- tabib ternama! Carilah tabib, agar luka sahabatmu itu tidak terlambat diobatinya. Thay Bu Siansu juga dapat obatnya dari lain orang.”

Air mukanya Kang Siau Hoo berubah dengan segera. “Aku tidak percaya!” kata ia, yang lantas goyang-goyang tangannya. “Saudara Lie, aku bukan minta obat darimu. obat juga tidak ada ditanganmu, kau sendiri bukan orangnya kuil ini, kau tidak bersangkut paut! Biar aku cari sendiri si hweeshio.”

Sambil kata begitu Siau Hoo tolak tubuhnya Hong Kiat, ia bertindak keluar kamar.

Hong Kiat terkejut atas tolakan itu, karena ia merasakan tenaga yang besar luar biasa.

Siau Hoo sudah lari kedalam bio mana ia lantas berteriak-teriak: “Thay Bu, jangan kau sembunyikan diri! Mari keluar bicara kepadaku! Kau toh dulunya ada orang kangouw juga! Sahabatku itu terluka, memandang sesama orang kangouw, kau harus keluarkan obatmu itu, kau toh sudah jadi pendeta, sebagai seorang suci, kau mesti welas- asih, kau mesti murah-hati! Dengan simpan saja  obatmu itu, kau tidak bakal jadi Buddha, tetapi dengan berikan aku sedikit obatmu, kau bisa tolong jiwanya sahabatku, terutama dia tidak usah terlalu menderita!”

Hong Kiat lari keluar akan memburu. ia mencoba cegah sahabat baru ini.

“Saudara Kang ... “ katanya, “aku yang ajak kau kemari, dengan kau buat banyak berisik, aku malu ... “

“Orang she Lie, kau jangan perdulikan aku! ini bukannya urusanmu! Sebelum aku ketemu kau, aku sudah datang kekuil ini, disini orang telah dustakan aku! Aku cari Thay Bu bukan untuk berkelahi, aku hendak bicara dengan cenglie. Eh, Thay Bu Hweeshio, kau keluar!”

Siau Hoo-pun banting-bantingkan kakinya.

Dari dalam segera keluar satu pendeta muka kuning yang tubuhnya tinggi-besar. “Apakah kau Thay Bu sendiri?” Siau Hoo segera menegur.

Pendeta itu nampaknya murka.

“Kenapa kau buat berisik disini?” menegur ia. “Aku ada punya obat tetapi aku tak bisa berikan itu pada orang kangouw!”

Mendengar itu Siau Hoo menoleh pada Hong Kiat. “Dengar, dia  punya obat! Kau bantu dia  mendusta!”  ia

kata. Tap ia maju dua tindak pada Thay Bu Hweeshio. “Kau  jangan  gusar dulu!”  ia  kata  pada  pendeta itu, “Aku

Kang Siau Hoo tidak suka berkelahi. Aku hanya mau bilang, ada tidak tepat buat  kau cela orang kangouw! Mustahil kau sendiri dulunya bukan orang kangouw?”

“Benar aku ada orang kangouw, tetapi aku bekerja untuk kebaikan orang banyak!” Thay Bu jawab “Sekarang ini di antara orang-orang kangouw kebanyakan ada manusia-sia jahat dan cabul, jikalau aku berikan obatku dan dia sembuh, dia akan lakukan pula berbagai kejahatan!”

Kang Siau Hoo mendongkol hingga ia banting-banting kaki.

“Bagaimana kau bisa mempersamakan semua orang!” ia berseru. Ia maju, tangannya digeraki. “Jikalau kau tidak berikan obat padaku, aku tidak mau berlalu dari sini! Ya, aku nanti ganggu kesucianmu!“

Thay Bu Siansu bersenyum menghina, dengan tiba-tiba tangannya menyamber kepada pemuda kita.

Kang Siau Hoo tidak menangkis atau berkelit, sebaliknya ia tunggu kepalan orang hampir sampai, segera ia samber lengannya orang itu. “Oho, kau Kim Lian Pou-sat, dewi bermuka emas, hendak tempur aku?” ia kata setelah mana, ia membetot kesamping.

Thay Bu ada punya tubuh kekar sebagai besi, akan tetapi kuda-kudanya (bhesinya) telah tergempur, tubuhnya ikut terpelanting kesamping sampai beberapa tindak.

Hong Kiat lihat itu segera maju akan menghalangi pendeta itu.

“Suhu, kau jangan layani dia,” ia beri nasihat. “Kalau kau sampai rubuh, itulah tidak ada harganya!”

Tetapi pendeta itu ada sangat gusar.

“Biar aku rubuh ditangannya, obatku tak dapat aku berikan padanya!” kata ia dalam sengitnya. Ia lantas buka jubahnya, ia loncat pada pemuda kita seraya kirim pukulannya dengan dua-dua kepalannya.

Sekarang Kang Siau Hoo-pun maju berikan perlawanan, maka disitu keduanya jadi bertempur. Pemuda itu tidak keder sedikit-pun akan kepalan lawan yang keras laksana besi.

Kim Lian Pou-sat Thay Ba Siansu adalah tangan kanan dari Siok Tiong Liong, sekarang ini dia ada salah satu orang gagah yang kesohor untuk propinsi Hoolam. Ia bertubuh besar, kedua tangannya panjang tenaganya besar luar biasa. siapa terkena atau terlanggar itu. dia mesti rubuh.

Disebelah ini, Kang Siau Hoo ada punya kegesitan luar biasa, sama sekali tidak jerih untuk orang punya tubuh atau tenaga besar itu.

Hong Kiat saksikan pertempuran sampai sepuluh jurus lebih, lantas sambil goyang-goyang tangannya ia berseru : “Sudah, sudah, jangan berkelahi lebih jauh!“ Kang Siau Hoo cuma kehendaki obat, maka ketika ia dengar teriakan itu, ia lantas saja mundur, untuk tidak menyerang lagi.

Tapi Thay bu sudah sangat gusar, ia tak perdulikan cegahan, selagi orang mundur, ia lompat maju menyerang.

Melihat demikian, Siau Hoo jadi sangat mendongkol. Ia angkat tangan kanannya menangkis, berbaeng tangan kirinya turut maju, setelah mana, satu suara “Duk!” yang keras terdengar, tubuhnya si pendeta yang besar dan kuat terpental mundur.

Syukur Hong Kiat lantas maju menjaganya, kalau tidak tak ampun lagi pendeta ini mesti rubuh terguling.

Siau Hoo lompat kesamping, napasnya tidak sengal- sengal.

“Apakah kau masih inginkan hajaran? Lekas serahkan obat padaku!” ia kata.

Thay Bu Siansu berdiri dengan muka pucat, hingga warna mukanya jadi terlebih kuning. Ia mengawasi dengan tajam, dari kepala sampai di kaki.

“Siapa yang ajarkan kau bugee?” ia tanya.

“Kau tidak perlu tanyakan itu!” Siau Hoo jawab, “Sudah sepuluh tahun aku belajar silat tetapi aku toh masih tidak ke tahui she dan namanya guruku!”

Sebelum Thay Bu kata apa-apa, Hong Kiat nyelak pula. Ia telah saksikan ilmu silat yang luar biasa dari  pemuda kita, yang buat ia kagum dan heran.

“Sudah jangan bertempur pula, ia kata, “Kelihatannya bugee saudara Kang bukan dari Kun Lun Pay, mestinya itu ada dan golongan Lwee-kee ...” “Kun Lun Pay?“ Siau Hoo memotong. “Orang-orang Kun Lun Pay adalah musuhku semua! Sepuluh tahun aku belajar silat, perlunya itu ada untuk binasakan mereka itu!”

Kemudian ia hadapi Thay Bu : “Hweeshio, kita tidak bermusuhan satu pada lain, kalau tadi kau bicara dengan pantas padaku dan berikan sedikit obatmu, pasti aku sekali tidak sudi layani kau berkelahi. Aku bukannya  seorang yang tidak kenal aturan! Sekarang mari lekas berikan obatmu!“

Mukanya Thay Bu berubah-ubah pula, dadanya turun naik, ia berdiam sebentar, lantas ia manggut.

“Baik, aku nanti berikan obatku!“ kata ia dengan sengit bahna penasarannya. Ia bertindak masuk dengan tindakan lebar, cepat sekali ia keluar pula dengan empat lima bungkus obat yang ia lemparkan ketanah, ia mengawasi Siau Hoo dengan sepasang matanya bersinar tajam. Ia kata, “Inilah semua obatku, aku serahkan semuanya padamu! Terserah padamu, kau boleh kasihkan pada siapa kau suka! Sekarang kau lihat ini ... “ dan tangan kirinya pendetaitu perlihatkan selembar kertas: “Ini adalah surat obatnya! Tanpa surat obat ini aku sendiri juga tidak  mampu  buat obat ini! Sekarang aku habiskan semua dari akar-akarnya! Aku adalah orang suci sejati, aku bukannya tukang buatkan obat pada segala orang kangouw!” Setelah kata  begitu dengan sengit ia robek hancur yoh-thoa itu.  Lalu ia tambahkan pula: “Nah, kau ambil obat itu, lekas kau pergi! Anggap saja bugeemu ada liehay!“

Air mukanya Siau Hoo-pun merah padam, tetapi kelihatan ia bisa kendalikan diri.

“Aku tidak inginkan demikian banyak, sebungkus-pun sudah cukup!‘ ia bilang. “Selebihnya kau boleh sebar itu diantara sampokannya angin!” Setelah berkata begitu, ia jemput satu bungkus, terus ia pergi kekamarnya Lie Hong Kiat buat ambil pauhok dan pedangnya, lalu terus ia keluar dan pekarangan kuil.

Thay Bu Siansu ngeloyor kedalam kamarnya, ia menarik napas panjang pendek

Lie Hong Kiat benahkan sisa obat itu, segera ia pergi kekamarnya akan ambil pedangnya, kemudian ia  lari keluar, akan susul Kang Siau Hoo, siapa ia lihat sudah tungang kuda hitamnya sedang lari turun. Ia berteriak-teriak memanggil dan mengejar, tapi ia tidak berhasil. Maka ia segera lari kearah kali, ia memotong jalan akan pergi ke rumahnya Ou Jie Ceng buat ambil kudanya. Jie Ceng sedang pergi kekota menjual kayunya, ia belum balik. Hong Kiat samber kudanya buat kabur kearah Timur. Ia niat coba susul Siau Hoo. Ia belum keluar dari kampungnya, tiba-tiba dari belakang sebuah pohon murbei yang besar dimana ada temboknya gempur, muncul satu nona. Ia lantas kenali nona itu adalah nona yang tadi ia tolongi, tapi sekarang si nona sudah cuci bersih mukanya, sekali-pun dia masih pakai pakaiannya yang rombeng, toh kelihatan nyata keelokannya. Nona itu nyender ditembok, ia mengawasi pemuda ini, kelihatannya ia sangat bersyukur. Tapi Hong Kiat ada punya urusan, ia tidak sempat memandang nona itu, ia kabur terus dengan kudanya. Dengan cepat ia lewati distrik Teng-hong, ia kabur  terus kearah Timur, sampai duapuluh lie lebih. Disini barulah ia dapat susul kuda hitam itu.

“Saudara Kang Siau Hoo! Tunggu!“ ia berteriak dengan tangannya menggape-gape.

Kang Siau Hoo dengar teriakan itu, ia tahan kudanya, ia lantas berpaling kebelakang. Kudanya Hong Kiat segera menyandak, selagi mereka terpisah baru tiga tumbak, Lie Hong Kiat sudah rangkap kedua tangannya.

“Saudara Kang, aku susul kau untuk haturkan maaf,” berkata ia. “Tadi dikuil aku bukannya bantu Thay Bu untuk dustakan kau, dia kata obat tidak hendak diberikan, aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa. Lain dari itu,  aku  tadinya sangka kau ada orang Kun Lun Pay, aku jadi tidak perdulikan padamu, tetapi sekarang aku dapat kenyataan bugeemu bukan ada pelajaran Kun Lun Pay, kau justru mesti ada muridnya orang pandai!“

Selagi begitu kuda putih sudah lantas datang  dekat sekali.

Siau Hoo juga membalas hormat.

“Saudara Lie, kau terlalu seejie,” kata ia. “Namamu baik, -pun di Kanglam aku telah mendengarnya, maka itu siang-siang aku telah ketahui siapa adanya kau, sedang tadi aku beruntung bisa saksikan kepandaianmu. Sebenarnya aku berniat bicara banyak kepadamu, sayang sahabatku di Hia-ciu itu mesti lekas ditolong, maka aku perlu lekas kembali padanya. Juga setelah itu aku perlu segera pergi ke Kwan-tiong. Aku kira tidak sampai sepuluh hari, aku akan datang pula kemari, itu waktu barulah kita ikat persahabatan yang mendalam. Dikemudian hari kau akan ketahui, saudara Lie, aku Kang Siau Hoo paling gemar bergaul.”

Hong Kiat girang dengan pengutaraan itu.

“Kalau nanti kau datang pula saudara Kang, jangan kau cari diatas gunung!” ia pesan, “dengan begitu kau bisa singkirkan bentrokan pula dengan Thay Bu Siansu. Ditepi kali Kim Beng Kian, didalam kampung ada rumahnya tukang kayu bernama Ou Jie Ceng, kau suruhlah dia cari aku, nanti kita bisa bertemu pula.”

“Baik, baik,” Siau Hoo kata sambil memberi hormat. “Nah, saudara Lie, sampai ketemu pula!”

Lantas pemuda ini larikan kuda menuju ke Hie-ciu. Ia kagumi Hong Kiat, tapi kapan ia ingat Thay Bu  Siansu, yang namanya kesohrn tapi bugeenya “tak berarti”, ia tertawa sendirinya. Toh Thay Bu Siansu kesohor sekali di Selatan dan Utara!

Kita sudah tahu bagaimana Siau Hoo telah bermula ketemu bakal gurunya di Cu-ngo-tin, dalam rumah makan, dan di Cin Nia selagi ia rubuh ditangannya Kat Cie Kiang beramai, gurunya telah tolong ia. Disini ia diterima jadi murid.

Dari Cin Nia orang tua itu ajak Siau Hoo lewati Tiang- an (See-an) dan Han-kok kwan, masuk ke Hoolam dan An- hui, lalu paling belakag ia diajak seberangi sungai Tiang Kang akan pergi kegunung Kiu Hoa San  di Te-ciu. Ternyata empe itu tinggal dipuncak gunung itu, ditempat yang paling sunyi. Disitu dia dirikan sebuah gubuk dengan beberapa bahu sawah-ladang dimana-pun dia bercocok tanam. Untuk itu, dia pakai satu bujang gagu. Karena bujang itu gagu dan sang guru tetap tidak mau beritahukan namanya, Siau Hoo terus tidak tahu she dan nama gurunya itu, sedang untuk menanya melit-melit, ia tidak berani. Ia hanya tahu gurunya ada berkepandaian tinggi.

Empe itu perlakuan muridnya dengan  baik,  tetapi tentang ilmu silat, ia tidak berikan perlatihannya, maka itu, ditahun pertama Siau Hoo, yang tenaganya besar, lebih banyak bekerja di sawah atau kebun. Ia diperintah cari kayu atau tanam teh, ia diperintah angkut batu, hingga dalam satu tahun ia sudah kumpulkan batu umpama tumpukan bukit batunya kecil dan besar.

“Ah, tumpukan batu ini terlalu makan tempat,”  kata sang guru kemudian. “Baik kau singkirkan ini, kau harus dapat singkirkan selama sepuluh hari.”

Itulah hebat, karena batu telah dikumpul satu tahun, sekarang mesti disingkirkan dalam tempo cuma sepuluh hari! Tapi Siau Hoo tidak menampik, sekarang tenaganya telah jadi besar sekali dan terlatih, sekali-pun batu beratnya seratus kati lebih, dengan gampang ia bisa pondong itu. Malah karena bekerja terus siang dan malam, tumpukan itu bisa disingkirkan dalam tempo tujuh hari, semua dibuang keselokan gunung!

Melihat kesudahan itu, empe itu jadi sangat girang, maka mulialah ia didik muridnya dalam ilmu lompat tinggi dan lompat jauh, ia juga ajarkan ilmu surat. Adalah di tahun kedua munid ini baru mulai diberikan pelajaran ilmu silat, beberapa jurus saja, supaya bisa dipahamkan dengan sungguh-sungguh.

Ditahun ketiga, guru itu turun gunung. Selama ini Siau Hoo jadi belajar seorang diri saja. Pelajarannya baru beberapa rupa tapi sangat sulit, hingga ia mesti belajar luar biasa rajin. Selang dua bulan baru ia insyaf pentingnya pelajaran itu, yang ada beda dari pada pelajaran Kun Lun Pay yang ia dapatkan dari Ma Cie Hian. Seorang diri ia yakinkan terus, hingga ia  peroleh kesempurnaan dari beberapa jurus itu.

Selang satu tahun, si guru pulang dengan membawa sebilah pedang yang berat, pedang yang  diberikan pada muridnya serta beberapa jilid kitab, yang menuturkan tentang llmu pedang atau kiam-hoat. Murid itu dipesan, siang mesti baca kitab, supaya lekas  paham, malamnya mesti pelajaran pedangnya.

Siau Hoo tidak sia-siakan pesan gurunya. Belum satu bulan ia sudah bisa baca diluar kepala beberapa buku itu, yang terus diambil pulang oleh gurunya. Maka selanjutnya, ia belajar menurut ingatan otaknya yang tajam dan kuat. Siang malam ia belajar dengan giat.

Selama itu, sang guru  sering berpergian, pergi dan pulangnya tak ketentuan, tetapi kapan ia pulang, ia didik muridnya dan tunjukkan bagian-bagian yang keliru untuk diperbaikinya.

Selain itu Siau Hoo masih gunai ketikanya akan belajar berenang dan selulup dikali kecil hingga pandai.

Baru ditahun ke tujuh, Siau Hoo sudah merasa bahwa ilmu pedangnya sudah melebihi kepandaiannya Long Tiong Hiap dan Pau Kun Lun.

Selama tahun ke delapan dan ke sembilan, sang guru tidak pergi ke mana-mana, maka ia bisa gunakan temponya akan didik muridnya ini, antaranya Khie-kang dan Tiam- hiat-hoat, juga lain-lainnya. Pelajaran surat-pun Siau Hoo tidak diberi alpakan, hingga ia-pun jadi pandai surat.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar