Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 05


Jilid 05

“EH, sahabat, tempat apakah ini?” tanya Siau Hoo sambil tahan kudanya. Ia lihat tempat itu tidak menyenangkan ia. “Kemana kita pergi?“

Ngo Kim Piu berpaling dan tertawa.

“Lihat disana!” sahutnya sambil tangannya menunjuk. “Disana ada rumah kita! Disana ada sahabat-sahabat kita, lebih daripada duapuluh orang!” Siau Hoo bercuriga juga, akan tetapi ia sudah sampai disitu, maka Ia ambil putusan mengikuti terus. Maka kembali Ia beri kudanya jalan, terus menuju ke Barat.

Sesampainya di kaki bukit, disitu Kim Piu cari jalanan untuk mendaki. Sampai diatas bukit mereka masih jalan tikung-menikung, melintasi sebuah puncak, lantas mereka menghadapi satu rimba pohon cemara. Disini mereka lantas dengar satu suara nyaring, seperti berkowaknya seekor garuda.

“Mari turun dari kuda, sahabat kita sudah datang!” kata Kim Piu pada saudara ciliknya itu, sambil memasukkan dua jarinya ke dalam mulut dan perdengarkan suara suitan mulut yang nyaring.

Siau Hoo heran atas apa yang ia tampak itu.

Mereka tidak usah menantikan terlalu lama akan lihat, dan dalam rimba muncul empat orang, yang semuanya menyekal golok, hingga sekarang barulah Siau Hoo insyaf benar yang ia telah diajak ke sarang penyamun. Karena ini, ia tidak lantas loncat turun dari kudanya.

“He, sahabat, kau ajak aku kemana?” tanya ia. “Jikalau kau suruh aku jadi penyamun, itulah tidak akan aku berbuat!”

“Eh, saudara kecil, mengapa kau mengucap demikian?” Kim Piu mencegah. “Apakah kau sudah tak sudikan jiwamu? Hayo turun dari kudamu, aku nanti perkenalkan kita dengan beberapa sahabat. Segala hal lainnya kita nanti bicarakan belakangan. Kau jangan kuatir, kita telah menjadi sahabat, mustahil aku kandung maksud jahat terhadap dirimu?”

Siau Hoo berdiam, ia kerutkan sepasang alisnya. Lekas sekali, empat orang itu sudah datang  dekat, mereka sambuti kuda.

Kim Piu bicara kepada mereka itu, teapi ucapannya tidak ada yang Siau Hoo mengerti, hingga Ia tak tahu orang bicarakan apa. Hanya ia  lihat empat orang itu lantas tertawa.

“Mari,” mengajak Kim Piu, yang bawa saudara ciliknya memasuki rimba cemara itu, terus sampai di sebuah lembah dimana ada berdiri satu kuil dengan delapan pendoponya, sedang tembok merahnya sudak salin warna, tiang benderanya sudah patah.

Kuda mereka sudah lantas ditambat pada sebuah pohon. Di muka pintu kelihatan ada berdiri dua orang,

pakaiannya semua ringkas, tangannya memegang golok.

“Eh, sahabat, sebenarnya tempat ini tempat apa?” Siau Hoo tanya pula Hek-pacu. Ia masih saja curiga.

Ngo Kim Piu sebaliknya, tetap tertawa saja.

“Sesudah berdiam dua hari disini, kau akan ketahui semua!” ia bilang. “Kita ada sahabat-sahabat, kita ada bangsa penjunjung kehormatan, maka percaya, aku tidak nanti perlakukan tak semestinya kepadamu!”

Tapi Siau Hoo ada mendongkol.

“Sahabat baik!” berseru Ia. “Kau bawa aku ke sarang penyamun! Aku katakan terus terang inilah aku tak dapat lakukan!”

Ngo Kim Piu berhenti bertindak, ia  menoleh. Pada mukanya yang hitam sekarang tertampak roman tidak senang.

“Saudara kecil, kau keliru,” Ia bilang dengan sungguh- sungguh, suaranya tetap. “Siang-siang aku sudah beritahukan bahwa kita ada orang-orang Lok-lim, bahwa aku suka bersahabat denganmu karena aku lihat kau kecil tetapi bernyali besar dan bersemangat gagah. Aku memang ajak kau kemari untuk turut dalam rombongan kita, supaya kau bisa jadi saudara kita. Kau sudah tidak punya rumah kemana kau bisa pulang! Kau berniat cari Long Tiong hiap Cie Kie tetapi Long Tiong Hiap tidak biasanya menerirna murid, sedang juga kau ada asal lain propinsi!”

Mendengar pengutaraan yang terus terang itu, Siau Hoo jadi berdiri menjublek. Ia memandang ke depan kepada kedua kuda, kepada kedua pengawal pintu. Ia berpikir dengan cepat, lantas ia manggut.

“Baik!” ia berikan jawabannya. “Tapi aku tidak sudi yang kau pandang aku sebagai serdadu saja!”

Kim Piu kelihatan menjadi girang sekali, sampai Ia tepuk-tepuk orang punya pundak.

“Apa kau bilang?” tanya ia. “Bukankah kita bersaudara?

Tentu saja kau menjadi siau-ceecu, ketua yang muda!“

Lantas Hek-pacu tarik orang punya tangan, akan ajak saudara cilik itu masuk kedalam.

Di muka pintu, Kim Piu disambut dengan hormat oleh ketua pengawal, yang panggil ia Jie-ceecu. Ia tertawa pada dua orang itu, sambil tunjuk Siauw Hoo ia kata:

“Ini ada kita punya orang baru, Kang Siau ceecu! Mulai hari ini, kau mesti dengar segala titahnya siau-cu ini! Kau jangan lihat ia ada satu bocah, ia mempunyai bugee yang lihay!“

Mereka jalan terus sampai didalam, Siau Hoo lihat tempat tidak miripnya dengan kuil! Disitu ada banyak koper atau peti, diantaranya ada yang terbuka tutupnya. Rupanya itu ada oleh-oleh penyamunan. Diundakan tangga ada berduduk belasan orang, pakaian mereka tidak keruan, tapi mereka sedang berjamu dengan gembira, mereka-pun tertawa-tawa.

Ngo Kim Piu ajar kenal mereka itu pada ketua muda ini, maka Siau Hoo jadi dapat tahu bahwa mereka itu adalah rombongan liauwlo atau rakyat berandal.

Dan situ Kim Piu ajak saudaranya memasuki pendopo dimana paling dahulu Siau Hoo lihat para-para senjata dimana kedapatan golok dan pedang, tumbak dan gaetan, yang semua tajam mengkilap. Patung-patung suci tidak terganggu, tetapi ruangan ada kusut sekali, piring mangkok peti arak dan lain-lainnya diletaki berantakan. Ditembok ada tergantung golok dan pedang, meja suci digeser ke pinggiran, disampingnya ada bangku-bangku butut di atas mana ada duluk beberapa orang, diantaranya satu toosu atau imam hitain dan gemuk yang kumisnya panjang. Kim Piu hampirkan tosu itu untuk perkenalkan dia dengan Siau Hoo, yang asal usulnya dijelaskan semua. Kemudian saudara cilik itu diperkenalkan pada tosu itu, yang ternyala ada toa ceecu atau kepala penyamun, namanya Ma In Siu, gelarnya Thie Lo-couw atau Loo-couw Besi. Satu yang lain ada Sam ceecu Lauw Kie gelar Tiang pie-wan si Monyet Lengan Panjang. Dua lagi yang lain ada sahabat-sahabat Liok Tek Sui dan Phoa Tay Teng yang baru datang.

Semua orang itu ada ramah tamah, lantas saja mereka panggil Siau Hoo “siohia-tee” atau saudara kecil.

“Memang kita kekurangan satu saudara muda,” kata Ma In Siu kemudian. “Ada beberapa utusan yang masih belum diselesaikan, kebenaran kau datang, disini kau bisa bantui kita. Apa yang kau kehendaki, lantas dapat tersedia, hanya satu hal kau harus ingat, kita kaum Loklim paling hargai kehormatan. Kalau kita ketemu saudagar atau kereta piauw yang kita tidak kenal, kita mesti tahan, tetapi asal mereka memberi tanda, kita anggap mereka ada kenalan kita, maka mereka harus diberi lewat tanpa gangguan. Dan kalau ketemu orang perempuan, asal dia bukannya bunga berjiwa, sedikit juga jangan permainkan dia, biarpun didalan keretanya ada uang atau barang-barang berharga  mahal, kita tidak boleh geledah. Jikalau kita lakukan perbuatan kurang ajar, lain-lain sababat kita pasti akan tertawai kita!”

Siau Hoo gembira juga mendengar keterangan itu, keterangan dan pri-kepantasan. Dengan sikap itu mereka ini ada lebih menang daripada Pauw Kun Lun. Maka itu, ia terus turut mereka bersantap dan minum.

Juga Ma In Siu semua gembira dapati saudara cilik ini, sikap siapa mirip dengan seorang kang-ouw yang ulung, maka setiap kali mereka memanggil "lauw-hia-tee” atau "siau-hia-tee". Merekapun tanyakan banyak hal Pauw Kun Lun dan persaudaraan Liong.

Siau Hoo berikan keterangan apa yang ia tahu.

Selagi mereka bersantap, ada datang lagi tiga orang, ialah Su ceecu Hui-piauw Kheng Cong si Piauw Terbang, dan dua liauw-lo. Saudara yang keempat ini melaporkan hal sedang mendatanginya serombongan saudagar dari Utara, yang ada bawa “cat mentah dan lainnya” dalam enam buah kereta, bahwa piauwsunya ada dua, dan benderanya ada bendera Kun Lun Piauw Tiam dari Tiang-an.

Thie Loo-couw Ma In Siu sudah lantas gebrak meja. “Orang-orang  dari  Kun   Lun  Piauw  Tiam  berani lewat

disini?“ dia  berseru, “Mereka  mesti dibegal!” Kemudian ia

tanya saudaranya: “Bagaimana sikapnya kedua piauwsu itu? Apa mereka ada murid-muridnya Pauw Kun Lun?”

“Sikap mereka ada sempurna, hanya kita belum tahu she dan namanya,” sahut Kheng Cong. “Piauwsu dari Kun Lun Piauw Tiam tidak ada yang lembek, kita mesti keluar dengan sedikit banyakan,” kata Ngo Kim Piu dengan sarannya.

“Kita keluar semua!” berseru Ma In Siu. “Kang Siau-hia- tee, kau-pun turut kita! Jikalau dua piauwsu itu bisa dibinasakan itu-pun ada suatu pembalasan sakit hati untuk ayahmu!”

Biar bagaimana, Siau Hoo toh bersangsi. Sekalian muridnya Pauw Kun Lun ada bangsa telur busuk tetapi diantaranya ada Cie Hian dan Cie Hong, dua penolongnya, kalau mereka berdua berada dalam rombongan piauw itu bagaimana ia mesti ambil sikap. Ia-pun pikirkan tujuannya. Ia keluar untuk cari guru silat, tapi ia  sekarang bantu berandal, apa itu tidak memalukan? Sepak terjangnya sekarang ada bertentangan dengan tujuannya.

Sementara itu orang telah repot menyembat senjatanya masing-masing. Ma In Siu, yang sudah loloskan jubahnya, kelihatan dandan dengan ringkas, ia ambil golok Pok-too, terus saja ia bertindak keluar.

Ngo Kim Piu juga turut keluar, tetapi lantas Ia masuk pula. entah apa yang ia bicarakan diluar itu, ia hampiri Siau Hoo dan kata: “Saudara kecil, sekarang kita hendak turun gunung buat berusaha! Ini adalah pengalamanmu yang pertama sedari mulai memasuki dunia kang-ouw. Tapi lebih dahulu daripada itu, mari kita bicara dengan liangsim kita. Kita mesti berlaku terus-terang dan terhormat. Pihak lawan kita sekarang ada orang-orang Kun Lun  Pay, dantara mereka barangkali ada orang atau orang-orang yang kau kenal, oleh karena itu kita ingin kau jangan bersikap ragu- ragu atau serong!”

Siau Hoo tidak puas dengan pengutaraan tanda dan kecurigaan itu. “Jikalau kau tidak percaya aku, tinggallah aku, biar aku jaga rumah saja!“

Kim Pu  berpikir sebentaran, lantas ia manggut. “Baiklah,    kau    boleh    tunggu    rumah!”    Ia    bilang.

“Pekerjaan  sekali  ini  mestinya  hebat,  kau  masih berusia

terlalu muda, selama pertempuran, bisa jadi kita tidak mempunyai kesempatan untuk perhatikain kau!”

Lantas saja Ia bertindak keluar pula dengan tak tunggu jawaban lagi. Dari luar terdengar nyata suara berisik, dan tindakan kaki kuda juga, menandakan orang semua mulai turun gunung, maka dilain saat, Siau Hoo terbenam dalam kesunyian. Ia tidak mau berdiam didalam, ia  bertindak keluar, dari pondopo Ia lihat lima serdadu berandal sedang main dadu. Ia jalan terus sampai di pintu pekarangan.

“Ini adalah ketikaku yang baik,” Siau Hoo lantas beipikir. “Mereka telah turun gunung dalam tempo pendek mereka tak akan kembali, sekarang baik aku angkat kaki. Siapa kesudian bercampur-baur dengan mereka dengan jadi penyamun? Sayang semua kuda telah mereka bawa pergi … Tidak bisa lain, aku mesti merayap turun ...”

Siau Hoo balik pula kedalam, keruang dari pendopo dimana barang ada terletak kalang kabutan, ia ambil uang satu bungkus, ia tidak tahu berapa jumlahnya itu, ia hanya merasakan bungkusan itu berat, terus ia libat itu pada pinggannya. Ia-pun jemput sebatang golok yang bersarung. Ia tidak menunggu lama akan terus keluar pula.

Satu, liauwlo, yang sedang lempar dadu, lihat orang keluar, dia berbangkit.

“Siau-ceecu hendak pergi kemana?“ ia menanya.

“Aku hendak turun gunung untuk bantu mereka,” jawab Siau Hoo, yang terus turun gunung. Beberapa liauwlo itu mengawasi sambil tertawa, mereka tidak dapat duga berapa tinggi ada kepandaiannya ketua yang muda itu.

“Mereka semua mesti ada di depan,” pikir Siau Hoo selagi berjalan turun. “Mereka tentu sedang tempur kedua piauwsu, kalau aku-pun pergi ke depan, aku bakal ketemu mereka. Lebih baik aku ambil jalan belakang ...”

Dan ia putar haluan akan menuju ke belakang. Disini jalanan ada sempit dan tidak rata, berlegat-legot, dari itu tidak heran, sudah sekian lama ia jalan, ia belum ketemu jalanan yang benar, ia seperti tersesat atau kebelinger.

“Inilah hebat,” pikir Ia. Maka ia  tancap goloknya dibebokong, ia hampiri pohon untuk berpegangan dan merayap naik, hampir tak merasa, ia sampai di satu puncak, hingga ia tampak rentetan gunung, sedang di sebelah kanan ada sebuah sungai besar. Di sebelah kiri ada jurang, jalan turun tidak ada. Dibawah ia ada jurang dengan selokannya, yang airnya berkericikan.

“Bagaimana sekarang?“ Ia tanya dirinya sendiri.

Tidak ada lain jalan, ia merayap turun pula, hingga ia tampak dibawah, dijalanan gunung, ada serombongan orang mendatangi. Ia segera mengenali rombongannya Ma In Siu dan Ngo Kim Piu, yang baru saja “berusaha”. Ia  tidak mau ketemu mereka itu, ia umpatkan diri di belakang sebuah batu besar. Ketika kemudian ia muncul pula, ia lihat rombongan itu sudah lewat jauh. Ia  lanjutkan melapay turun. Karena banyak batu tajam dan pohon duri. Ia merasakan banyak kesukaran tidak saja tangannya pada lecet dan berdarah, sebelah sepatunya-pun copot dan hilang. Beberapa kali hampir Ia terpeleset jatuh kejurang, hingga selanjutnya ia mesti kertak gigi. Ketika magrib mulai datang, barulah bocah ini sampal dibawah, di jalanan. Lantas saja ia keluarkan elahan napas lega. Tapi Ia tidak berani diam lama disitu terus saja ia lari dengan sebelah kakinya telanjang, hingga ia mesti menderita dari batu-batu gunung, dan tempo akhirnya ia sampai di jalan yang rata, sekeluarnya dan mulut gunung, ia lari semakin keras. Ia ngiprit dengan tidak tahu berapa jauh Ia sudah lari. Ketika itu di belakangnya Ia dengar suara larinya kuda. Ia menduga orang kejar ia, lantas ia mendekam siap dengan goloknya.

Sang magrib yang remang-remang menolong bocah ini, dia tidak kelihatan. Ia mendekam antara rumput tebal.

Kedua penunggang kuda itu terpisah jauh juga satu pada lain. Siau Hoo antap penunggang kuda yang pertama lewati ia, ketika yang kedua datang dekat, segera ia loncat bangun, akan bacok orang punya kaki kuda pada pahanya.

Sekejab saja, kuda itu ngusruk, hingga penunggangnya bahna kaget, keluarkan jeritan, tubuhnya rubuh terbanting.

Siau Hoo tidak kenal siapa penunggang kuda itu tapi dia lompat maju, menyerang, beruntun dengan dua bacokan, hingga orang itu, yang tidak keburu bangun, menjerit pula. Sesudah itu, Siau Hoo-pun membacok pula paha kuda, hingga kuda itu tak dapat bangun berdiri.

Penunggang kuda yang di depan dengar suara jeritan orang dan kuda juga, ia secepatnya balik akan tengok kawannya.

“Sutee, kau kenapa?“ dia tanya, “Apa kau jatuh dari kudamu?“

Siau Hoo kenalkan itu bukan suaranya kawanan penyamun, secepatnya ia jongkok di samping kuda. Dari situ Ia dengar rintihan korbannya. Penunggang kuda itu sudah lantas sampai, ia  hunus goloknya, ia loncat turun dari kudanya, menghampiri kawannya atau sutee, adik seperguruan.

“Sutee, kau kenapa?“ tanya Ia sambil mendekat.

Dalam cuaca seperti itu, si penunggang kuda tidak dapat bedakan musuh atau kawan, Ia-pun tidak menyangka jelek.

“Siapa suteemu?“ berseru Siau Hoo seraya berbangkit dan angkat goloknya untuk menyerang.

Orang itu kaget dan mundur, ia  menangkis dengan goloknya, hingga Ia luput dari serangan menggelap itu.

Karena ini, keduanya jadi bertempur.

Baru beberapa jurus, Siau Hoo sudah merasakan tidak ungkulan, maka ia lompat mundur ke samping kuda yang terluka, yang masih rebah di tanah.

“Sahabat kau siapa!“ ia tanya.

Penunggang kuda itu tidak menjawab, sebaliknya ia memburu akan menyerang pula.

Siau Hoo tidak mau melayani ia dan mengitari kuda, hingga mereka saling kejar, sampai tiga atau empat putaran. Penunggang kuda itu jadi sengit ia lompati tubuh kuda.

“Berandal, kau hendak lari?“ Ia membentak.

Siau Hoo putar tubuhnya akan lari, ia lari belum jauh, ia dengar tindakan kaki kuda. Ia menyangka orang kejar Ia dengan naik kuda, ia menoleh, tapi ia lihat kuda tanpa penunggang, maka Ia mengerti, itu adalah kuda musuhnya yang lari sendiri, mungkin disebabkan kaget. Ia lantas dapat pikiran. Sembari lari Ia mendekati kuda itu untuk dicegat, lalu dengan gesit ia enjot tubuhnya akan loncat naik ke bebokongnya kuda itu. Disaat itu si pengejar sudah datang dekat goloknya mulai diayun.

Siau Hoo lihat ia berada dalam bahaya, ia  ayun tangannya ke belakang.

“Awas piauw!” ia berseru.

Orang itu kaget, ia lekas mendek untuk berkelit. Ketika ini digunai oleh Siau Hoo buat duduk dengan benar, akan pegang les kuda, yang Ia keprak buat dikasi kabur, hingga diain saat Ia  sudah pisahkan diri jauh-jauh, membuat pengejarnya habis daya akan susul ia terlebih jauh. Sang cuaca-pun sudah jadi semakin gelap, tidak perduli bintang ada biayak dan bulan bersisir.

Siau Hoo antap kuda bawa Ia kabur, ia tak tahu tujuan, hanya selang kira-kira duapuluh lie baru ia coba tahan kuda rampasannya itu. Ia turun dari kuda untuk melenyapkan lelah, agar napasya tak tersengal-sengal terus. Ia lihat sebuah bungkusan tergantung di pelana, ia raba itu, luarnya lembek, dalamnya keras.

“Uang,” pkirnya. ”Uang ini mesti berjumlah besar! Bagus, sekarang aku beruntung! Ada kuda, ada senjata, ada uang juga. Sekarang aku mesti cari tempat bermalam, besok baru aku pergi cari Long Tiong Hiap …”

Lantas uangnya sendiri, goloknya juga, ia cantel disela kuda, ia naik pula atas kuda itu, akan lanjutkan perjalanannya, mengikuti jalan besar. Ia tidak kabur lagi. Sesudah melalui lebih daripada tigapuluh lie, ia sampai di sebuah tempat yang ramai. Itu waktu ada kira-kira jam dua, masih ada rumah yang belum tutup pintu. Demikian seorang, yang menenteng lentera, sudah lantas samperi padanya. “Tuan hendak cari rumah penginapan?“ dia  tanya. “Mari mampir di Thio Kee Tiam, kita ada punya kamar- kamar yang bersih!“

“Baik, aku ingin kamar untuk satu orang!” Siau Hoo jawab. “Perkara sewanya aku tidak pikir!”

Ia terus ikut jongos itu masuk ke pekarangan hotel. Istal berada di sebelah depan, maka Siau Hoo loloskan buntelan dan goloknya, kudanya ia serahkan pada lain jongos, ia sendiri ikuti pengantarnya masuk kedalam sebuah kamar. Sesudah gantung lampu ditembok, jongos itu sediakan alat untuk cuci muka, air teh dan rapikan pembaringan, kemudian ia tanya tetamunya hendak dahar apa.

“Apa-pun boleh, asal ada arak hangat,” jawab Siau Hoo. “Sedikitnya aku ingin empat tail arak.”

Jongos itu menyahuti dan lantas undurkan diri.

Setelah berada sendirian Siau Hoo buka bungkusan yang Ia dapatkan disela, isinya adalah sehelai selimut dan setengah bungkus uang perak serta tiga pucuk surat yang tertutup rapat. Ia tidak mengerti surat, ia tidak ganggu surat- surat itu, yang ia bungkus pula jadi satu dengan uangnya sendiri. Ia gunakan bungkuan itu sebuah bantal kepala. Sesudah ia cuci muka, baru ia  rasakan kakinya sakit. Sekarang ia baru ingat  sepatunya telah hilang sebelah. Maka ia buka sepatu yang satunya, ia naik ke pembaringan akan duduk numprah.

Tidak antara lama jongos datang dengan  barang makanan dan arak, terus saja ia dahar dan minum. Habis bersantap ia tutup pintu kamar dan naik tidur. Ia dapat tidur dengan lekas. Ketika besoknya Ia bangun, cahaya matahari sudah tertampak dijendela. “Lekas sediakan aku barang makanan,” Siau Hoo minta pada jongos, yang ia panggil.

Sehabisnya bersantap, ia tanya jongos tempat itu apa namanya, dan jalan ke Long-tiong masih ada berapa jauh.

“Ini ada dusun Tay-peng-tin,” jawab jongos itu, “kita masuk dalam daerah distrik Tay-tiok. Buat pergi ke Long- tiong orang mesti lintasi sungai Kie Kang, jalanan  darat atau air sama saja, kira-kira dua ratus lie lagi.”

“Aku tidak mau ambil jalan air,” pikir Siau Hoo, “aku tidak bisa berenang, kalau aku ketemu bajak, aku bisa celaka. Aku ada punya kuda, aku harus ambil jalan darat.”

Ia terus lonjorkan sebelah kakinya, kasi si jongos lihat, lalu Ia berikan uang.

“Tolong belikan aku sepasang sepatu,” ia perintah.

Perintah itu dijalankan dengan cepat, malah bocah ini dapatkan sepatu yang cocok.

Setelah dandan dan bayar uang sewa Siau Hoo keluar dari hotel. Ia-pun beli sebatang cambuk. Dari Taypeng-tin  ia menuju ke Barat-utara. Kira-kira tengah hari ia sampai di pesisir Timur dari sungai Kite Kang. Ia cari perahu tambangan untuk seberangi sungai, hingga dilain saat ia sudah sampai di distrik Kie-koan, sebuah kota ramai dalam lingkungan jalan Keng Leng-too. Ia ada mempunyai uang, ia merdeka untuk mampir di rumah makan akan tangsel perut dan tenggak arak. Ia cari toko pakaian, akan beli pakaian baru dari sutera, berikut sepatu dan kopiah malah di toko itu juga ia salin pakaiannya. Sehingga ketika Ia lanjutkan perjalanannya lebih jauh, ia telah beroman lain, cakap dan gagah. Ia berpakaian hijau, ikat pinggang ungu, ban betis hijau, kopiah hijau, begitu-pun sepatunya. Kudanya berbulu merah. Ia beri kudanya jalan tak cepat dan tak lambat, tujuannya Barat utara.

Kebetulan pemandangan alam ada indah. “Benar-benar merantau ada terlebih menggembirakan,” pikir Siau Hoo, “Sekarang aku ada mempunyai segala apa, kalau sekarang aku pulang ke Tin-pa, siapa berani tidak pandang mata padaku? Sayang kepandaian silatku yang aku peroleh dari Ie-thio Ma Cie Hian masih belum berarti, jangankan untuk menuntut balas, untuk hidup di kalangan kang-ouw saja belum cukup.”

Karena ini, keras keinginannya akan lekas sampai di Long-tiong, akan cari Cie Kie.

Jalanan ada ramai, dipinggiran-pun ada orang-orang tani yang bekerja di sawah, banyak antaranya yang awasi bocah ini, yang menungang kuda dan pakaiannya aksi, hingga ada yang menduga-duga dia sebenarnya orang macam apa …

Siau Hoo sendiri jalankan kudanya sambil bersiul.

Sesudah jalan kira-kira tigapuluh lie, Siau Hoo disusul oleh tiga penunggang kuda yang dandanannya ringkas, usianya masih muda. Malah yang satu segera menteriaki: “Eh, bocah, kau sebenarnya hendak berbuat apa?“

Anak ini menoleh, melihat orang punya sikap tidak menghormat, ia tidak ambil mumet. Ia  terus jalankan kudanya sambil bersiul terus.

Tiga pemuda dibelakang itu larikan kudanya, sampai mereka berada di depannya bocah ini, hingga debu mengepul naik menyamber kemuka. Siau Hoo berlaku sabar. Ia Lihat orang ada membekal golok disela, ia percaya mereka  itu   ada   orang-orang   kaum   kang-ouw. “Rupanya mereka tidak lihat mata padaku,“ ia pikir. Ia mau singkirkan persetorian, ia sengaja beri kudanya jalan pelahan, hingga Ia kena dilombai.

Sore itu Siau Hoo singgah di hotel akan keesokannya melanjutkan perjalanannya pula. Ia jalan jauhnya beberapa puluh lie, mendekati tengah hari, ia menghadapi sebuah kota yang ramai.

“Baik aku bersantap disini.” pikirnya.

Terus ia masuk kedalam kota, ia  cari sebuah rumah makan, kemudian sembari dahar dan minum arak ia tanya pelayan, tempat itu apa namanya dan berapa jauh terpisahnya dari Long-tiong.

“Kota ini ada kota Eng-san, dari sini ke Long-tiong masih ada seratus lie lebih,” sahut sang jongos. “Kalau kita naik kuda yang larinya keras, sebentar sore kita bisa sampai disana.”

Siau Hoo girang, ia lantas dahar dengan cepat-cepat. Ia keluar dari kota Utara dan menuju terus ke arah Utara. Ia ikuti jalan besar, ia larikan kudanya, selang belasan lie Ia dapati jalanan mulai sempit dan tikungannya-pun banyak, kemudian ia lihat didepannya ada sebuah kali besar dimana tak kelihatan kendaraan air. Di jalan hanya ada beberapa orang, tidak ada kuda kereta.

“Celaka, aku salah jalan!“ pikir bocah ini. Ia  putar kudanya akan hampiri seorang tapi. Ia tanya jalanan ke Long-tiong.

“Ini memang ada jalanan ke Long-tiong,” sahut orang yang ditanya. “Cuma kapan kau telah sampai di tepi kali itu, kau mesti menuju ke Timur, disana kau akan dapati tempat penyeberangan.”

“Bagus!“ kata Siau Hoo, yang putar pula kudanya diberi lari. Ia sudah jalan dua lie lebih, ia masih terpisah jauh dari tepi kali, ketika ia  dengar di belakangnya ada orang memanggil: “Sahabat, tahan, tahan, tahan! Kita  ingin bicara kepadamu!”

Siau Hoo tahan kudanya, ia balik tubuhnya, maka Ia lihat tiga penunggang sedang mendatangi. Ia kenali tiga orang itu ialah yang kemarin ia ketemui di tengah jalan. Ia jadi berkuatir, tapi ia bisa legakan hati. ia  pikir untuk menggertak. Maka ia putar kudanya, ia  sengaja papaki mereka itu. Ia tidak beri kentara perasaan apa juga pada air mukanya, ia bersikap tenang dan tabah.

Setelah datang dekat, tiga orang itu tahan kuda mereka. “Sahabat,”  kemudian   kata  yang  satu,  yang  tubuhnya

gemuk,   sambil   tertawa,   “kau   datang   dari   mana   dan

sekarang kau hendak cari rejeki dimana?“

Siau Hoo melengak sebentar, tapi segera ia menyahut: “Aku datang dari Tin pa, aku hendak pergi cari rejeki di Long-tiong.”

Kelihatannya tiga orang itu terperanjat.

“Aku numpang tanya namamu yang besar dan kau muridnya siapa?“ tanya pula si gemuk.

Siau Hoo perlihatkan aksi baik. “Aku Kang Siau Hoo gelar Sam-tauw-houw!” Ia jawab. “Aku tidak pernah punya guru dan kepandaianku adalah ajarannya dewa!“

Tiga orang itu tertawa, dengan separuh berbisik mereka bicara dengan menggunakan bahasa rahasia.

Siau Hoo lihat sikap orang mencurigai, ia-pun lantas berpikir. Ia anggap mendahului ada paling baik.

“Hei, sahabat!” Segera Ia menegur dengan air muka keren, “kau telah tanya aku, sekarang ada giliranku untuk tanya kau bertiga!“ “Tidak usah tanya, kita nanti perkenalkan diri, sahut si gemuk tadi. “Aku ada Kauw-tauw Cek Eng si Golok Gaetan. Untuk di Sucoan Utara, kau boleh dengar-dengar namaku, walau-pun anak kecil dia tahu she dan namaku! Kita susul kau juga bukan dengan maksud merampas barangmu. kita hanya ingin kau tinggalkan golok dan kudamu! Uangmu kau boleh bawa semua, satu bun  juga kita tidak kehendaki! Kami bukannya begal! Kami hanya tak dapat ijinkan satu bocah cilik sebagai kau, bertingkah seperti satu hohan saja, disepanjang jalan kau bawa aksimu

…”

“Telur busuk!” Siau Hoo memotong, sebelum orang tutup mulut. “Kang Siau-thayya sedang membuat perjalanannya, apa sangkutannya dengan kau? Hak apa kau punya untuk larang aku bawa-bawa golok dan menunggang kuda? Apakah kau pandang enteng padaku? Jikalau kau ada satu laki-laki, turunlah dari kudamu, mari kita bertempur satu lawan satu! Umpama kau hendak menyerbu bertiga dengan berbareng, aku-pun tidak takut, namun perbuatan itu bukan caranya enghiong!“

Setelah itu, Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia terus cabut goloknya yang tercantel di sela, hingga senjata itu berkeredepan berkilau, kemudian dengan pasang kuda- kuda, ia angkat golok kerangkulannya, setelah itu, dengan menuding dengan sebelah tangan ke depan, ia tekuk kaki kirinya, ia geser kaki kanannya!.

“Hayo turun!“ Ia menantang. “Tidak perduli siapa diantara kau bertiga, siapa yang sangup lawan golok mustikaku ini, aku lantas tak kehendaki lagi semua milikku! Tapi hati-hatilah, jangan kau jadi seperti persaudaraan Liong dari Cie-yang yang berlutut di depanku meminta- minta ampun!“ Tiga orang itu tercengang, terutama karena sikap pasang kuda-kuda dari siau Hoo, sebab dimatanya satu ahli silat, sikap itu ada bukti dari bugee yang tinggi.

Salah seorang yang jangkung, turun dari kudanya, ia menghampiri sambil memberi hormat.

“Sudah, sahabat baik!“ berkata ia dengan hormat. “Kita ada orang-orang kang-ouw, umpama kata kita tidak dapat ikat persahabatan, kitapun jangan bentrok.  Disini-pun bukan tempatnya untuk bertempur.”

“Sahabat, silahkan simpan senjatamu, mari kita cari tempat dimana kita bisa minum arak! Akurkah?“

Siau Hoo girang yang ia bisa gertak ketiga orang itu, ia semakin beraksi. Dengan bersenyum Ia simpan goloknya, kemudian ia menggeleng-geleng kepala.

“Aku tak punya tempo akan kawani kau, aku mesti segera lanjutkan perjalananku ke Long-tiong!“ katanya dengan aksinya. “Nah, sampai ketemu pula lain kali!“

Ia loncat naik atas kudanya, ia rangkap kedua tangan, terus ia jalankan kudanya, ke Utara.

Si jangkung itu naik atas kudanya, bersama dua kawannya ia terus menyusul.

“Saudara Kang, tunggu dulu!“ Cek Eng si Golok Gaetan menanggil. “Kita masih hendak bicara!“

Siau Hoo tahan kudanya, ia berpaling.

“Apa itu?“ tanya ia sambil bersenyum.  “Silahkan bicara!”

“Sebenarnya saudara Kang hendak pergi ke Long-tiong untuk urusan apa?“ Cek Eng tanya seraya Ia rangkap kedua tangannya. “Urusan sebenarnya tidak terlalu penting,” Siau Hoo jawab dengan sabar. “Aku di Tin-pa telah lama dengar nama besar dari Long Tiong Hiap, sekarang aku hendak temui dia!”

“Kalau begitu, kebetulan sekali,“ kata si gemuk itu. “Kami juga sedang menuju ke Long tiong! Kami kenal Long-tiong-hiap Cie Toaya. Sandara Kang, apa kau setuju kita berangkat sama?”

Siau Hoo mengawasi seraya berpikir, tapi ia bisa ambil putusan cepat. Ia anggap baiklah ia  jalan sama-sama mereka, ia memang tidak kenal jalanan, malah umpama di tengah jalan ia dapat gangguan, mereka barangkali bisa membantunya. Pun dengan jalan sama, ia bisa cari tahu halnya Long Tiong Hiap, umpama kata jago Sucoan Utara itu mirip dengan Pauw Kun Lun yang ganas, pasti Ia tak sudi menemuinya, ia lebih suka cari lain guru. Maka ia lantas manggut.

“Baiklah! Mari kita pergi kepenyeberangan, akan cari perahu tambangan,” katanya. Dan ia jalankan kudanya didepan, ia beri tiga orang itu ikuti dia.

Mereka menuju ke Utara, mereka bercakap-cakap sepanjang jalan. Maka itu Siau Hoo lantas ketahui, tiga orang itu ada piauwsu dari Hok Lip Piauw Tiam dari Long- tiong, mereka ada dalam perjalanan pulang dari Hap-ciu dimana mereka telah beri selamat pada guru mereka, Say- un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit, yang rayakan hari ulang tahunnya. Diantara bertiga, Cek Eng adalah toako, saudara tua, dari dua yang lain suteenya, adik seperguruan, Toan-too Yo Sian Tay si Golok Pendek, dan Hoa-too Lu Hiong si Golok berkembang.

Tidak lama mereka sampai ditepi kali, dari situ mereka menuju ke Timur, lewat lima atau enam lie, mereka sampai di pelabuhan dimana ada berlabuh sejumlah perahu eretan. Sian Tay turun dan kudanya, ia berdiri di gili-gili. Lantas dua buah perahu menghampiri, orang-orang  didalam perahu pada menegur sambil tertawa. Nyata piauwsu ini ada dikenal. Berempat mereka pakai dua perahu untuk nyeberang. Siau Hoo naik perahu bersama Cek Eng, siapa sekarang panggil ia “Kang hiatee,” atau “Saudara Kang.”

“Kalau kita sampai di Long-tiong, hia-tee, baik kau jangan pergi cari Long-tiong-hiap Cie Kie,” kata si Golok Gaetan. “Dia belum tentu ada dirumahnya. Lain daripada itu, biar dia berkepandaian tinggi, dia tidak kenal persahabatan. Dipropinsi Sucoan ini, dia pegang nama kosong, dia tidak punya sahabat. Maka sesampainya di Long-tiong nanti, baik kau tinggal sama kita dipiauwtiam. Ciang-kui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun si Malaekat Kimkah, walau namanya tidak sebesar Cie Kie, namun kepandaiannya tidak kalah, sedang dia ada seorang berhati murah dan gemar bersahabat, terutama Ia  kagumi anak muda yang gemar silat. Jikalau kau datang pada ciang-kui, kita hia-tee, pasti Ia akan jadi sangat girang, tentu Ia akan minta kau bantu padanya, satu kali kau jadi piauwsu, kaulah yang nanti bertugas di Sucoan Utara, kemana saja kau pergi, disitu mesti ada sahabat-sahabat. mesti ada yang perlukan membantu kau!”

Siau Hoo manggut-manggut.

“Baiklah,” katanya, “sesampainya kita di Long-tiong, aku mohon kau tolong perkenalkan aku dengan beberapa sahabat untuk aku peroleh nama, sesudah itu barulah aku kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie.”

“Sebenarnya, hia-tee, ada urusan apa kau berniat keras cari Cie Kie?” Cek Eng tanya. “Apa kau ingin coba-coba kepandaiannya?” “Aku ingin temui dia, kalau dia terlebih gagah daripada aku, aku hendak angkat dia menjadi guruku,” Siau Hoo jawab.

Cek Eng tertawa.

“Untuk jadi muridnya, jangan kau mimpikan pula!” berkata ia. “Seumur hidupnya, Long Tiong Hiap tidak terima murid, kepandaiannya dia hanya wariskan kepada anak-anaknya, akan tetapi anak-anaknya semua  masih kecil, tidak ada yang terlebih tua daripada kau, hia-tee.”

Sementara itu, mereka sudah sampai di seberang, mereka mendarat akan lanjutkan perjalanan ke Barat-utara, di distrik Gie-liong mereka singgah untuk bersantap. Selama diperjalanan, mereka tidak omong banyak. Sekarang Yo Sian Tay yakin di depan. Semakin jauh jalanan  semakin sepi, matahari turun semakin rendah di jalanan itu kuda kereta dan orang semakin sedikit. Angin mulai menderu- deru, kawanan gowak terbang pulang ke sarangnya masing- masing. Mereka jalan terus sampai langit gelap, bintang- bintang dan rembulan muncul, hingga di sekitarnya mereka tak tampak suatu apa. Toh mereka tetap larikan kudanya sampai jauhnya tiga atau empat puluh lie.

Siau Hoo mulai merasa lelah, kedua pahanya terasa sakit, tapi juteru itu didepan mereka lihat cahaya api berkelak-kelik, maka jalan pula sedikit jauh mereka sampai di sebuah jalan besar atau straat. Disini Yo Sian Tay lantas tahan kudanya.

“Kita sudah sampai!“ kata Kauw-too Cek Eng seraya menoleh pada Si enghiong cilik. “Mari turun dari kuda!“

Siau Hoo nampaknya dapat semangat, sambil menuntun kuda seperti tiga kawannya, ia bertindak mengikuti mereka lalu menuju ke Barat, tidak seberapa jauh mereka sampai disebuah rumah yang duduknya di Utara jalan besar, yang pekarangannya lebar dan berpagar, pintunya rapat sebelah.

“Ini dia Hok Lip Piauw Tiam,” Cek Eng perkenalkan.

Yo Sian Cay mendahului bertindak masuk, ia panggil dua orang untuk sambuti kuda mereka, tetapi Siau Hoo mau berlaku hati-hati, maka Ia loloskan sendiri golok dan pauwhoknya.

Cek Eng berlaku hormat. Ia persilahkan sahabat baru itu masuk ke ruangan kantor dimana ada banyak orang asyik berkerumun main dadu dengan berisik, ada yang tertawa, ada yang menarik napas, ada juga yang mengutuk seorang diri.

Tubuhnya Siau Hoo tidak terlalu kate tetapi dipadu dengan kebanyakan orang di situ, ia tetap ada paling kecil, tetapi ia beraksi seperti biasa, ia lempar pauwhok ke atas pembaringan, terus ia melihat kelilingan.

Orang sedang asyik adu peruntungan, datangnya empat orang ini tidak ada yang perhatikan kecuali seorang berusia empat puluh tahun kurang lebih, yang pakai baju hijau, yang hampiri Cek Eng bersama untuk diajak bicara, hanya apa yang mereka bicarakan, Siau Hoo tidak mengerti. Kemudian barulah Cek Eng perkenalkan orang itu kepada Siau Hoo, hingga Siau Hoo ketahui orang itu ada piauwsu nama Bie Cu Liang. Maka terhadap orang itu Siau Hoo membalas hormat dan bicara sambil bersenyum, lagaknya mirip dengan orang dewasa saja.

Bie Cu Liong heran, ia awasi bocah itu, kemudian ia seret Cek Eng ke pinggiran, untuk diajak bicara bisik-bisik, hingga Siauw Hoo mengawasi mereka itu.

Pasti orang she Bie itu tak pandang aku.” Ia menduga- duga. “Di depan mereka aku mesti hunjukkan sedikit kepandaianku. Aku percaya mereka semua tidak seberapa kepandaiannya, cukup aku jalankan beberapa jurus dan pengajarannya Ie-thio Cie Hian.”

Yo Sian Tay isikan satu cangkir teh dan Ia suguhkan itu pada Siau Hoo.

“Lauwtee, minum dahulu!“ katanya sambil tertawa. “Ciauw Ciangkui sedang pulang, barangkali dia tidak akan datang pula, kecuali besok pagi. Beristirahatlah disini, kita semua bukannya orang luar. Atau kalau iseng kau boleh turut adu peruntungan, bila kau menang, besok aku minta kau jamu kami!”

Siau Hoo tertawa, tetapi didalam hati, ia kata: “Aku telah sampai di Long-tiong ini, aku mesti angkat nama, jikalau tidak, umpama kata aku berhasil menemui Long Tiong Hiap dan tidak minta Ia terima aku jadi muridnya, belum tentu ia sudi terima aku ...”

Karena ini, kemudian Ia berbangkit akan hampiri orang yang sedang main dadu. Dadunya ada tiga biji, dan di tengah-tengah ada sebuah mangkuk besar warna hijau. Bandarnya ada seorang berbaju biru dan berkumis hitam, di depannya ada tumpukan uang di hadapan bandar ada uangnya mereka yang memasang.

Sekian lama Siau Hao menonton, lihat orang-orang yang menang dan kalah, semua uang ada tangchie dan perak hancur, tidak ada yang  gunai perak potongan. Ia jadi tertarik, ia hampiri bungkusannya akan keluarkan uang kira-kira sepuluh tail. Uang ini ia gabruki di atas meja.

“Aku turut!“ katanya.

Semua orang jadi heran dan mengawasi.

“Bagus! Ini barulah main!” kata bandar, yang tidak perdulikan siapa yang main, ia hanya lihat uang. Ia-pun angkat dadunya, ia angat tangannya tinggi-tinggi, lantas ia lempar dadunya, hingga biji-biji dadu bergerak terputar- putar. Lalu Siau Hoo memasangnya, apa mau ia kalah, sepuluh tail itu ludes.

“Mari satu kali lagi!” katanya, yang lempar sisa uangnya, kira-kira empat-puluh tail.

Semua orang menjadi heran, tetapi bandar, yang dipanggil Tan Cit-ya, jadi semakin gembira. Tapi kesudahannya, setelah mereka adu peruntungan terus, ternyata Siau Hoo yang menang, bandar terlentang.

“Besok kita nanti main pula!“ kata bandar, yang tanya namanya Siau Hoo.

Siau Hoo sedang hitung uang, ia tidak menjawab, maka Cek Eng, yang turut menyaksikan permainan dadu itu wakilkan ia akan beri keterangan. Mendengar ini, semua orang jadi heran, hingga kembali mereka awasi bocah itu.

Siau Hoo masih kacung tetapi Ia beroman cakap dan gagah, dandanannya sempurna, ini membangkitkan orang punya penghargaan atas dirinya, apa pula ia katanya datang ke Long-tiong untuk menemui Long tiong-hiap Cie Kie. Dengan segera tidak ada orang yang berani memandang rendah padanya. ketika uangnya dihitung, ternyata Siau Hoo menang tiga ratu enam puluh tail perak, hingga iapun jadi girang sekali, karena sekarang ia mempunyai harta kira- kira empat ratus tail. Semua uang gin-pio  ia simpan di sakunya, dan uang perak ia hendak bungkus, tapi justru itu seorang bermuka kuning, yang tubuhnya jangkung, sudah angkat dan lemparkan bungkusannya yang diletakan di atas pembaringan sambl mengomel juga: “Siapa punya bungkusan rombeng ini sembarang ditaruh di atas pembaringanku?”

Menampak demikian, Siau Hoo jadi gusar. “Itulah bungkusanku,” katanya dengan mata melotot. “Kenapa kau lemparkan bungkusan itu. Hayo angkat!“

Orang muka kuning itu meagawasi dengan tajam, tangannya di kepal-kepal.

“Angkat? Kau makhluk apa? Kau datang kemari untuk berpura-pura jadi tuan uang, jadi hoohan palsu! Hm! Kau adalah bangsa campuran cilik dari si kelinci besar!”

Siau Hoo gusar bukan main, ia lempar uangnya ke atas meja, dengan mengepal tangan ia maju menghampiri.

“Kau caci siapa?” Ia tanya, kepalannya segera menyambar.

Orang semua kaget dan mundur, tidak ada yang maju untuk memisahkan.

Orang muka kuning itu sudah siap, ia menangkis dengan tanan kiri, tangan kanannya dipakai membalas menyerang.

Siau Hoo berlaku sangat sebat, dengan tangan kirinya ia tangkis tangan kanan musuh, tangan kanannya  sudah ditarik pulang buat dipakai menyerang pula pada muka musuh, hingga si muka kuning itu jadi kaget dan kesakitan.

“Kurang ajar, kau berani serang aku, anak campuran!“ ia mendamprat. Ia maju menerjang.

Siau Hoo berkelit kesamping, dari sini sebelah kakinya mendupak orang punya kempolan kiri, lalu  tangannya bantu menonjok pada lengan kiri musuh, kemudian, selagi tubuhnya orang itu miring, ia dupak pula tunggirnya hingga satu kali ini lawan itu rubuh tengkurap sambil perdengarkan jeritan, “Aduh!“ Tapi dia masih tidak mau menyerah. Ia segera merayap bangun untuk lompat menyambar golok di tembok sebelah Timur. Melihat demikian, Siau Hoo loncat kepada bungkusannya, akan keluarkan goloknya sendiri, maka dilain saat keduanya sudah lantas bertempur. Si muka kuning lompat maju terlebih dahulu sambil membabat, dan Siau Hoo menangkisnya.

Melihat bacokannya ditangkis, si Muka kuning tarik pulang goloknya, justeru itu si bocah desak ia, hingga mau atau tidak Ia mesti mundur. Selagi ia mudur, seorang yang berada didekatnya, terus tarik Ia hingga Ia  terpental ke samping. Orang ini goyang-goyang tangannya kepada Siau Hoo, dan sembari tertawa Ia kata, “Sudah, jangan berkelahi lebih jauh! Aku telah lihat, ilmu golokmu ada ilmu golok Kun Lun Pay!“

Siau Hoo pandang orang itu, tubuh siapa gemuk dan mukanya hitam, kumisnya tebal, sedang pakaiannya ada mewah.

Karena datangnya orang itu, semua orang lantas mundur, sedang Yo Sian Tay dan Bie Cu Liang terus ajak si muka kuning pergi kelain kamar dimana dia itu dibujuki. Tapi Cek Eng terus maju, akan perkenalkan si muka hitam ini pada Siau Hoo.

“Ini dia ciangkui kita, Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun.” katanya. “Dengan memandang ciangkui kita ini, aku harap kau tak bergusar lebih jauh, lauwtee.”

Siau Hoo lepaskan goloknya, ia memberi hormat pada ciangkui atau kuasa piauwtiam itu.

“Aku telah dengar lama nama kau yang kesohor!“ katanya.

Sikapnya Ciauw Tek Cun ada manis budi, ia-pun mendekati. “Orang begini kecil tetapi bugeenya sudah liehay, benar- benar aku belum pernah lihat!”  berkata Ia. “Lauwtee, apakah bugeemu ini kau dapatkan dari Pauw Kun Lun dari Tin-pa?”

“Pauw Cin Hui ada musuhku, cara bagaimana aku sudi belajar silat padanya?” Siau Hoo baliki. “Bugeeku ini aku pelajarkan sendiri, dari cuma aku punya ie-thio Ma Cie Hian yang suka kadang-kadang berikan mengunjukan ..”

Ciauw Tek Cun manggut-manggut.

“Tidak heran!” katanya. “Aku memang dengar, diantara murid-muridnya Pauw Kun Lun kecuali persaudaraan Liong dan Kee Cie Beng, pun ada Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan Ma Cie Hian serta lainnya lagi yang liehay, Lauwtee, sekali-pun kau bukan muridnya Pauw Kun Lun tetapi terhitung kaum Kun Lun Pay ..”

“Tidak, tidak!“ Siau Hoo memotong dengan geleng- gelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak sudi mendapat pengaruh dari Kun Lun Pay! Didalam kalangan Kun Lun Pay itu, kecuali Ma Cie Hian dan Lou Cie Tiong, semua mereka ada musuh-musuhku.”

Selagi begitu Tan Cit-ya, yang belum pergi hampiri Ciauw Tek Cun.

“Saudara ini telah menang banyak sekali,” katanya. “Aku telah bawa empat ratus tail tapi semuanya telah dimenangkan olehnya!”

Ciauw Tek Cun tertawa.

“Kau memang harus kalah!“ katanya. “Kemarin baru kau menang beberapa puluh tail, kau sudah angkat kaki!”

Meski begitu, tuan rumah ini perkenalkan Siau Hoo pada Tan Cit-ya ini, yang Tan Bun Hu, kuasa dari perusahaan bank Lie Thong Tiang Chong, sedang yang lainnya ada orang dagang setempat dan orang-orangnya atau piauwsu dari piauwtiam.

Sampai disitu, banyak orang yang telah bubaran, tapi Ciauw Tek Cun tahan Tan Bu Hu untuk diajak bersantap.

“Orang yang tadi bentrok dengan kau, lauwtee, adalah keponakanku nama Ciauw Eng.” kemudian Ciauw  Tek Cun terangkan pada tetamu ciliknya itu. “Dia-pun jadi piauwsu disini. Kita ada jadi piauwsu disini. Kita ada kenalan-kenalan baru tetapi kita sudah seperti sahabat- sahabat lama. Lauwtee, mari kita bersantap, aku-pun minta Tan Cit-ya menemani kita. Aku pikir untuk ajak Ciauw Eng berjamu bersama, aku nanti minta dia haturkan maaf padamu agar selanjutnya urusan telah selesai dan beres!”

Menampak sikap yang ramah-tamah itu, Siau Hoo lalu manggut-manggut.

“Undanglah dia.” Ia kata. “Tidak usah dia menghaturkan maaf. Anggap saja, tanpa kebentrok kita tak akan kenal satu sama lain.”

“Lauwtee, kau sungguh mulia!“ Tek Cun memuji sambil tertawa.

Tek Cun lantas perintah orang panggil Ciauw Eng dan suruh keponakan ini haturkan maaf kepada Siau Hoo, siapa secepatnya membalas hormat: “Sudah, sudah, tidak apa- apa!”

Tidak lama, barang hidangan sudah mulai disajikan, lantas Ciauw Tek Cun minta Siau Hoo duduk dikursi kepala, ia dan Tan Bun Hu mengapit dikiri kanan, lalu duduk yang lain-lainnya: Cek Eng, Yo Sian Tay, Lu Hiong dan Ciauw Sin, juga dua piauwsu lain. Siau Hoo bawa sikap toapan, ia tidak berlaku seejie, ia dahar dan minum dengan terbuka, sambil bercakapan dengan pihak tuan rumah dan tetamunya. Orang semua tahu dia hendak kunjungi Long-tiong-hiap Cie Kie akan tetapi tidak ada yang tetahui, sebenarnya dia niat berguru pada cabang atas dari Long-tiong itu.

“Sayang, lauwtee datang tidak kebetulan.” Ciauw Tek Cun bilang. Baru selang sepuluh hari, Long Tiong Hiap telah berangkat dari sini. Duduknya hal pasti lauwtee belum ketahui, itu adalah begini: Dalam bulan Cap-gwee, di jalan Kiam Bun San telah terjadi pertempuran. Dua saudara Liong, Cie Teng dan Cie Khie, sudah lukai beberapa hohan sebawahan dari San-lauw-cie Mauw Ceng si Tikus Gunung, bukan begitu saja mereka-pun sesumbar, katanya  mereka tak lihat mata pada semua orang yang mengerti ilmu silat di seluruh propinsi Su-coan. Ketika omong besar itu sampai di kupingnya Long Tiong Hiap, dia ini jadi gusar, seorang diri dia susul persaudaraan Liong itu, dia cegat kereta piauwnya kedua saudara Liong, hingga ke dua pihak jadi bertempur. Lauwtee tentu tahu baik kepandaian dari dua  saudara Liong itu diantara murid-muridnya Pauw Kun Lun mereka yang paling liehay, dari itu, mereka tentu tidak mau kalah dan Long Tiong Hiap, akan tetapi sesudah adu kepandaian, baru mereka insyaf bahwa mereka masih kalah hingga mereka mesti tinggalkan kuda mereka. Cie Kie tidak niat ganggu kereta-kereta piauw, ia-pun antap kedua saudara itu kabur dengan lari merayap di gunung. Diluar dugaan Cie Kie, sebelum ia pulang dua saudara Liong itu sudah satroni rumahnya. Cie Kie ada punya satu putra, karena adanya anaknya itu, dua saudara itu tidak dapat wujudkan pembalasannya, mereka cuma berhasil melukai dua-tiga pegawai, lantas mereka kabur. Waktu Cie Kie pulang ia diberitahukan tentang serbuan pengecut itu, atas mana ia jadi sangat gusar, maka segera ia menyusul. Cie Kie tak dapat mengudaknya, ia pulang lagi untuk tinggalkan pesanan, setelah itu ia berangkat pula. Sejak itu, Cie Kie belum pernah kembali. Kita semua duga Long Tiong Hiap sudah pergi cari dua saudara Liong di Cie-yang, untuk membuat perhitungan!“

Siau Hoo mendengarkan dengan perhatian sangat tertarik. Ia-pun pikir, pantas dua saudara Liong  begitu sibuk, sampai mereka pergi pada gurunya untuk mengumpulkan bala bantuan. Ia hanya tidak tahu kedua pihak itu sudah bertemu dan bertempur atau belum, dan bagaimana kesudahannya. Ia menyesal yang ia tidak mampu saksikan pertempuran itu. Ia  cegluk beberapa cawan.

“Aku adalah seorang yang gemar bergaul.” Ciauw Tek Cun menambahkan kemudian, “oleh karena kegemaranku ini aku jadi dapat nama kosong, karena dalam hal kepandaian, tidak saja aku tidak nempil dengan Long Tiong Hiap, malah guru-guru silat atau hiapkek dan golongan kedua atau ketiga saja di Sucoan ini, aku tidak sanggup lawan. Lauwtee, kau telah datang disini, kau tidak usah tunggui Cie Kie, dia beradat tinggi, dia tidak suka bergaul, lebih baik kau berdiam disini, nanti aku perkenalkan kau dengan beberapa sahabat, kemudian  kau baiklah bantu perusahaanku.”

Siau Hoo berdiam, hatinya kata: “Ciauw Tek Cin tidak ketahui kepandaianku, ia minta aku jadi piauwsu, dia tak ketahui bahwa aku sebenarnya dustai mereka. Kalau dibanding dengan Long Tiong Hiap atau Pauw Kun Lun sebangsanya, aku masih kalah jauh sekali. Aku-pun sudah punya banyak uang, mana aku kesudian hidup sebagai piauwsu? Aku mesti belajar silat, sampai pandai betul!“

Karena ini, kemudian Ia geleng kepala. “Ciauw Ciangkui, terima kasih untuk kebaikanmu.” Ia kata. “Aku telah datang kemari, kau tak pandang aku sebagai bocah, budi kau ini tidak akan aku lupakan. Sekarang aku berputusan akan berdiam satu bulan disini, umpama selama itu Long Tiong Hiap telah kembali, aku nanti temui dia, kalau tidak, terpaksa aku mesti pergi kelain tempat. Sekarang ini usiaku baru belasan, walau-pun aku telah mengerti silat, aku masih belum puas. Aku mesti cari guru yang pandai untuk berlatih pula satu atau dua tahun, sehingga kepandaianku melebihi Pauw Kun Lun, itu waku baru aku pulang untuk menuntut balas, sesudah membuat pembalasan, aku akan merantau pula, akan bertemu dengan kau sekalian!“

Ciauw Tek Cin unjukkan jempolnya apabila ia dengar perkataan itu.

“Oh, lauwtee yang baik, kau sungguh satu enghiong cilik yang bersemangat besar sekali!“ kata ia dengan kagum.

“Dalam hal menuntut balas, kau jangan kesusu. Dalam kalangan Kang-ouw di propinsi Su-coan ini, tidak ada orang yang tidak benci Pauw Kun Lun, maka di belakang hari, siapapun suka bantu kau. Bicara hal cari gnru, ijinkan aku omong terus terang, jangan kau gusar, meski-pun kepandaianmu tinggi, dibanding dengan Long Tiong Hiap kau masih kalah jauh maka umpama kau dapat penghunjukannya, pasti kau akan peroleh kemajuan pesat. Mengenai ini, ada dua hal yang kau perlu perhatikan. Long Tiong Hiap itu tidak saja dia tidak suka bersahabat, muridnya tidak ada satupun. Aku kenal dia sudah dua- puluh tahun, kita tinggal disatu tempat, tetapi setiap kali Ia lihat aku, cukup dengan dia angkat kedua tangannya, dan belum pernah sekali-pun kita duduk minum arak bersama- sama.” “Kedua, sekali-pun ilmunya ada liehay untuk propinsi Su-coan ini, tetapi kalau dia diadu dengan Pauw Kun Lun, aku duga mereka berdua sama saja pandainya.

“Buat belajar silat terlebih jauh, pendapatku cuma Siok Tiong Liong yang cakap untuk jadi guru,” kata Yo  Sian Tay. “Kalau kita dapat satu bagian saja dari sepuluh kepandaiannya Siok Tiong Liong, kita sudah boleh menjagoi, di kolong langit ini sukar ada tandingannya.”

Mendengar itu, bukan main tertariknya Siau  Hoo, sampai ia berbangkit.

“Siok Tiong Liong itu orang macam apa?“ tanya Ia dengan cepat. “Sekarang ini dia tinggal dimana?“

“Ah, dia omong sembarangan saja!” kata Ciauw Tek Cun sembari tertawa. Siok Tiong Liong itu ada  tay-hiap dari Sucoan selama duapuluh tahun yang lalu, dia bukan saja liehay ilmu silatnya, dia-pun mengerti ilmu totok …”

“Apakah itu ilmu totok?“ Siau Hoo tanya dengan cepat. “Aku  sendiri  belum  pernah  lihat  itu.”  jawab  Tek Cun

sambil geleng kepala. “Turut  apa  yang  aku dengar, itu ada

kepandaian rahasia dari Bu Tong Pay, dan orang yang pandai ilmu itu di kolong langit ini sudah sangat jarang. Kabarnya, kalau kita totok tubuh orang, orang bisa rubuh binasa seketika, atau orang akan jadi gagu. Jago tua Siok Tiong Liong itu dengan Liong Bun Hiap adalah dua jago Selatan dan Utara dari jaman duapuluh tahun yang lampau, atau ringkasnya mereka dinamai Jie Liong, Dua Naga. Jago tua itu sudah lama umpatkan diri entah dimana, atau mungkin dia sudah menutup mata, karena sehingga kini tidak ada orang yang ketahui tentang dia.”

Mendengar demikian, Siau Hoo jadi tercengang.

“Apa Liong Bun Hiap masih hidup.“ kemudian Ia tanya. “Tentang dia, pada beberapa tahun yang lalu aku pernah dengar dari satu sahabatku dari Shoasay,” sahut Ciauw Tek Cun. “Katanya Liong Bun-hiap Kie Kun Ie sudah meninggal dunia begitu juga anaknya lelaki, hingga sekarang tinggal janda dan cucunya yang keadaannya harus dikasihani ... Kepandaiannya Liong Bun Hiap ada dari pihak Siau Lim Pay dan belakangan di Kanglam, ia-pun peroleh ilmu yang disebut Bagian Dalam dan Bu Tong Pay, dari itu kepandaiannya tak ada terlebih rendah daripada Siok Tiong Long. Tidak demikian, cara bagaimana mereka bisa dinamakan Dua Naga?”

Hatinya Siau Hoo tertarik tetapi kesudahannya ia masgul bukan main, karena sudah terang jago-jago tua di Su-coan sudah habis, ketinggalan Long Tiong Hiap saja, tapi dia ini- pun melainkan berimbang dengan Pauw Kun Lun ... Ia menjadi lesu, hingga ia tidak punya keinginan untuk minum lebih banyak.

Melihat orang nampaknya lelah, Ciauw Tek Cun lancas tutup perjamuan, Tan Bun Hu pun pamitan, maka ia terus perintah atur pembaringan untuk tetamu ciliknya itu yang tidur bersama-sama Yo Sian Tay dalam kamar kuasa.

Besoknya pagi, Siau Hoo dapat pelayanan dari satu bujang, yang sediakan air dan lain-lain, maka setelah cuci muka dan dandan, ia bisa terus pergi ke pekarangan di mana ia lihat Ciauw Eng asyik berlatih bersama Lu Hiong dan tiga piauwu lainnya. Yo Sian Tay muncul belakangan, ia berdiri disampingnya bocah ini.

“Kepandaian mereka itu semua tidak berarti,“ kata Toan-too si Golok Pendek sambil tertawa, “kalau toh mereka bisa jadi piauwsu dan belum pernah gagal, itu disebabkan pergaulan kami yang luas.”

Siau Hoo tidak kata apa-apa, ia keluar dari piauwtiam. Sian Tay terus ikuti bocah ini.

“Apa kau setuju kita pergi pesiar ke kota?” tanya dia. “Baik.” Siau Hoo manggut.

Mereka memasuki Tang-mui, pintu kota sebelah Timur dengan berjalan kaki. Kota ada ramai, dari itu Siau Hoo sibuk memandang ke kiri dan kekanan. Sebaliknya Yo Sian Tay sibuk dengan konde licin atau muka kelimis!

“Apa kau akur kita pergi keluar Lam-mui?” tanya Sian Tay ketika mereka sampai di Lam Toa-kay, jalan besar Selatan.

“Ada apa diluar kota?” Siatiw Hoo tanya.

“Luar kota Lam-mui ada terlebih ramai!” sahut  Sian Tay. “Disana ada pelabuhan besar, ada hotel, ada toko dan

… eh, Kang Hia-tee, apa kau jarang lihat nona nanis? Nah, disana ada!”

Yo Sian Tay lantas hunjukkan tingkahnya yang binal, ia tertawa-tawa.

“Apa yang dinamakan nona manis?” Siau Hoo tanya. “Nona manis disini ada bunga raya.”   Sian Tay

terangkan.  “Di  tepi  sungai  ada   tiga   puluh   lebih rumah

pelesiran, disetiap rumah itu ada lima atau enam nona manis, yang cantik seperti lukisan gambar saja. Dahulu disini ada satu nona manis melebihi bidadari, dan disebut Tay Siang Go ... Jangan kau omong lagi pada lain orang perihal bidadari itu, karena dia adalah kepunyaannya ciangkui kita. Dan aku kenal satu nona manis yang cukup elok, hanya diwaktu begini dia barangkali belum bangun dari tidurnya. Mari kita minum dahulu, sehabis dahar baru kita  pergi pada  si manis  itu. Kalau  orang  lihat  kau begini muda, cakap dan perlente, dan uangmu yang banyak, oh tentu bagaimana manisnya nanti dia layani kau!”

“Tapi main bunga raya bukannya hal yang bagus,” pikir Siau Hoo. “tidak apa, aku toh hanya lihat-lihat, hitung- hitung cari pengalaman. Namanya masuk dalam kalangan Kangouww tetapi rumah pelesiran aku belum pernah datangi, apa orang tak akan tertawakan aku?”

Demikian mereka berjalan sambil mengobrol, sampai mereka keluar dari Lam-mui, segera mereka tampak airnya sungai Kee Leng Kang, yang jauh lebih besar dari-pada Pa Sui dan Kie Kang, dimuka air ada banyak perahu serta layarnya masing-masing, jumlahnya sukar dihitung.

Dipelabuhan ada sebuah rumah besar serta satu jalanannya yang lebar, tidak panjang tetapi disitu ada banyak toko, hingga keramaiannya melebihi kota, padat orang yang mundar-mandir.

“Benar Long-tiong ada satu kota besar!” kata Siau Hoo, yang jadi genbira sekali.

“Long tiong ada salah satu kota besar dari Sucoan Utara,“ Sian Tay kata. “Ini-pun sebabnya kenapa aku sampai disini dan lantas tak niat pergi ke mana-mana lagi!”

“Sudah berapa fama kau datang kemari?”.. tanya Siau Hoa.

Sian Tay angkat tangan, ia menghitung-hitung.

“Aku datang ke Sucoan dalam umur lima-belas.” kemudian Ia jawab, “Di Hap-ciu aku belajar silat tiga tahun, lantas aku datang ke Long-tiong ini masuk bekerja pada Hok Lip Piauw Tiam, sekarang aku berusia dua-puluh dua tahun, maka aku tinggal disini sudah tiga tahun.” “Jadinya kan bukan asal propinsi sini?” Siau Hoo tanya pula.

“Bukan, aku asal Hoolam.” Sian Tay jawab. “Ayahku sekarang masih tingat di Hoolam. Selama merantau, ayah telah dapat musuh, karena Ia kuatir orang nanti  ganggu aku, maka ia kirirn aku ke Sucoan ini. aku diperintah ikuti dan belajar silat kepada Cu-un-sin Han Keng si Malaikat Penyakit Mabuk. Kepandaiannya Han Keng tidak dapat dicela akan tetapi Ia terlalu gemar minum arak, sehingga Ia tidak bisa mengajar dengan sungguh-sungguh, tiga tahun aku belajar, aku tidak peroleh kepandaian yang berarti,  kalau sekarang aku bisa jadi piauwsu dan merantau, itu disebabkan aku dapat pengaruhnya nama dari guruku itu. Sudah sekian lama aku merasa, hidup cara begini tidak ada artinya, aku sudah pikir untuk pulang ke Hoolam kepada ayahku, disana keadaan ada terlebih baik daripada disini, hanya sayang aku masih belum kumpul cukup uang untuk biaya diperjalanan, karena buat  pulang ke Hoolam aku membutuhkan paling sedikit seratus tail lebih.”

“Tentang biaya perjalanan ada perkara kecil.” Siau Hoo bilang. “Kalau nanti kau niat pulang, kapan saja, boleh beri tahu padaku, aku nanti beri pinjam seratus tail. Kau boleh kembalikan uangku itu kelak bila kau udah beruntung.”

Sian Tay mengucapkan terima kasih, Ia girang buat janji sahabatnya itu. Lantas ia pergi ke pelabuban, akan memandang ke sungai dimana ia kenal banyak tukang perahu, ia bicara dengan mereka, ia perkenalkan sahabatnya ini, yang ia angkat karena Ia kata: “Ini tuan ada Sam tauw-hauw Kang Siau Hoo hoohan dari Han-tiong, ia ada sahabat yang baru dari ciangkui kita.”

Semua orang itu tidak berani pandang enteng pada bocah ini, tubuh siapa ada cukup tinggi dan besar, sedang romannya ada cakap dan gagah, pun pakaiannya merah. Siau Hoo berdiri sekian lama di tepi sungai itu, sampai ia merasakan sesuatu apa.

“Mari kita cari tempat minum arak,” Ia kata pada sahabatnya.

“Mari,” sahut Sian Tay, yang setujui itu. Lantas ia mengajak ke Utara dimana, di tepi jalan sebelah Barat ada sebuah rumah makan, yang mereknya Siau Hoo tidak kenal.

Ketika itu rumah makan itu, yang besar belum banyak tetamunya, karena belum tibanya perahu-perahu saudagar besar serta sekalian piauwsunya. Yang ada hanya beberapa orang. Sian Tay pilih meja dekat jendela, ia pesan arak serta beberapa rupa sayurnya, terus mereka mulai minum dan dahar.

Siau Hoo masih merasa tidak puas, ia  memandang keluar jendela, mengawasi sungai dan perahu-perahu layarnya sekalian, araknya ia tenggak terlebih banyak pula.

Aku orang she Kang, maka sungai besar itu adalab aku!” kata pemuda ini yang seperti melamun. Memang, she “Kang” itu berarti, sungai”.

Yo Sian Tay angkat cawannya dan tertawa.

“Sungai ini tidak terhitung besar, lauwtee belum pernah lihat Tiang Kang?”

Siau Hoo menggeleng kepala. “Belum.” Ia menyahut.

“Tiang Kang ada jauh terlebih besar.” Sian Tay terangkan. “Dipadu dengan sungai Kee Leng sang anak.”

Siau Hoo tertawa, cuma sebentaran, segera ia ingat ayahnya yang binasa secara hebat dan kecewa, dan ibunya yang mesti menikah pula, ia lantas jadi sedih sendirinya. Ia- pun ingat saudaranya, yang mesti berdiam di rumah si saudagar she Tang. Dan berduka, ia jadi mendongkol, ia malu. Tapi sebisa-bisa ia cegah melelehnya air matanya. Ia tenggak araknya, ia lantas nyanyi, nyanyikan sebuah lagu wayang di desanya, disambung dengan lagu pegunungan.

Sian Tay yang duduk hadapi bocah ini, bersenyum sendirinya.

“Ah!“ berseru Siau Hoo seraya ia tepuk meja, ketika ia berhenti nyanyi dengan tiba-tiba, kemudian ia menghela napas panjang.

“Kenapa, lauwtee?” tanya Sian Tay sambil tertawa. “Kau berduka?”

“Aku sebal!” Siau Hoo jawab.

“Jangan kau berduka atau masgul,” Sian Tay menghibur,

,itulah percuma. Satu laki-laki mesti bisa legakan hati. Ada uang, pakailah itu, ada arak, minumlah itu. Urusan bagaimana besar juga, kalau sudah tiba saatnya, baru kita hadapi! Kita orang-orang kang-ouw, tidak mempunyai rumah tangga, tidak mempunyai usaha tetap, tetapi kita ada mempunyai bugee, ada tenaga di kedua belah tangan, apakah yang kita harus jerihkan? Soal apakah yang kita tak sanggup membuat beres?” Kemudian ia tambahkan, “Hayo minum, aku nanti antar kau ke sebuah tempat, disana kita boleh legakan hati kita ..”

“Tempat apakah itu, saudara?“

“Tempat si manis seperti tadi aku katakan,” Sian Tay terangkan. “Disana ada si juwita, bila kau melihatnya, lenyap kedukaanmu itu!“

Sian Tay tertawa. Ia isikan kedua cawan. Siau Hoo manggut. “Baiklah,” katanya, yang pikirannya tetap pepat.

Lantas mereka minum dan dahar, sampai sayurnya habis, hingga keduanya agak sinting. Siau Hoo bayar uang makan itu, lantas Sian Tay mengajak berlalu. Mereka ini ada seperti pasangan: Sian Tay baru berumur dua puluh dua dan Siau Hoo belum cukup lima-belas. Mereka jalan separuh limbung, sampai mereka memasuki sebuah gang kecil dimana ada satu papan merek di kepala gang.

“Lihat itu,” kata Sian Tay seraya menun juk. “Bie-jin- kang!”

Siau Hoo angkat kepalanya, ia cuma kenali hurut yang di tengah. Ia tahu artinya. “Bie-jin-kang” atau Gang si Cantik manis, maka ia jadi berpikir : “Selainnya bugee, aku mesti belajar surat! Bagaimana kalau orang kirim surat padaku dan aku tidak mampu baca?”

Didalam gang itu, mereka lihat beberapa pintu yang dipentang. Rumah-rumah disitu ada rumah-rumah yang bertembok tanah liat dan berkamar bilik rumput. Sian Tay jalan di depan ia ajak Siau Hoo masuk ke sebuah rumah.

Sekali mereka bertindak masuk, seorang perempuan menyambut sambil tertawa.

“Oh, Yo Jie-a!” demikian orang perempuan itu, “Kenapa sudah lama kau tak pernah datang? ... “

Belum Sian Tay menyahut, atau dari kamar timur muncul satu nyonya muda lantas menunjuk kepadanya, separuh tertawa dan separuh gusar, katanya: “Ha! Aku kira kau telah mampus diluaran! …”

Sian Tay jengah tetapi ia  tertawa. “Bagus benar kata-kata sialmu!” katanya.

Perempuan itu cepat cekal orang punya lengan. “Mari masuk!” mengajak Ia. Tapi, ia tunjuk Siau Hoo: “Siapa dia?”

Sian Tay kedipi perempuan itu.

“Inilah Kang Toaya,” kata ia “Kang Toaya ada orang kang-ouw kenamaan!”

Perempuan itu awasi bocah kita dan tertawa dengan manis.

“Oh, mataku lamur!“ katanya. “Toaya maafkan aku!”

Siau Hoo lihat tidak ada yang bisa menggembirakan hatinya, ia jadi masygul pula.

“Ini dia si manisnya?” pikir Ia. “Sedikitnya dia sudah berusia tigapuluh tahun.”

Perempuan itu pakai baju sutera merah, yancie  di pipinya lebih merah daripada kempolannya kera, matanya sedikit juling, hidungnya rada mengok, dan bibirnya yang merah mirip bibirnya Tie Pat Kay!

Perempuan itu ulur tangannya buat tarik si bocah, tetapi Siau Hoo pelototkan mata.

Sian Tay segera dorong perempuan itu.

“Hia-tee, mari masuk!“ katanya pada Siau Hoo.

Siau Hoo masuk, ia lihat ruangan ada bersih juga, meja dan kursi dicat merah, di atas meja ada pot bunga, ada kaca muka, sedang pembaringan memakai ampar indah, bantalnya bersulam. Di tembok ada satu huruf “Hie”, pasangan, seperti kamar penganten saja.

“Kalau nanti aku nikah Ah Loan, tentulah begini macamnya kamar itu …” tiba-tiba Siau Hoo melamun.

Sian Tay dan perempuan itu masuk belakangan, rupanya piauwsu itu sudah pesan apa-apa, mereka bersenda-gurau berdua saja, perempuan itu tidak berani sentuh si bocah, hingga Siau Hoo mesti duduk sendirian saja, hal mana ia jadi tambah tidak bergembira.

“Tidak ada artinya disini, mari kita pulang!“ akhirnya Ia kata.

“Kenapa kesusu, hia-tee?” kata Sian Tay, yang berat untuk segera berpisah pula dari si manisnya itu ... “Apakah tidak baik kita bersantap malam disini?“

Tapi bocah itu berbangkit.

-ooo0dw0ooo-

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar