Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 03

Jilid 03

“BUKANNYA kau kerja benar-benar setiap hari, kau justru pergi untuk belajar silat!” demikian isteri ini. “Hingga kini kau sudah belajar enam tahun lamanya, apakah yang kau peroleh sebagai hasilnya? Dan kepandaianmu itu, satu chie pun belum kau menghasilkan uang!” “Kau tidak tahu.” Cie Hian sahuti isterinya disertai elahan napas. Ia memangnya ada masgul. “Sekarang ini aku ada sebagai si penunggang harimau yang sukar turun dari bebokongnya binatang buas itu, tak dapat aku batalkan pelajaranku ... Ketika dahulu aku mulai belajar silat, pikiran mudaku berpendapat, kalau aku pandai silat dan mainkan senjata, bagaimana indahnya itu. Sekarang aku belum sempurnakan pelajaranku, tetapi untuk merantau atau jadi piauwsu, sudah cukup syaratnya. Suhu juga sudah memikir akan kirim aku ke luar untuk jadi piauwsu hanya  aku sendiri pikir, dari pada jadi piauwsu perantauan lebih baik aku diam di rumah mengusahakan terus bengkel besi. Begitulah beberapa kali aku telah lepaskan ketikaku. Sekarang ketika baik itu belum datang, dilain pihak aku tidak berani tidak datang ke rumah suhu. Satu kali saja aku tidak datang tanpa sebab, suhu bisa gusar, akibatnya berbahaya, jiwaku akan turut terancam ...”

“Kenapa kau jerih terhadap gurumu sampai demikian rupa?” tanya Lie-sie. “Dia toh manusia, apa dia bisa bikin? Umpama dia bunuh orang, apakah dia tak usah ganti jiwa orang itu dengan jiwanya sendiri?”

“Apa kau bilang? Ganti jiwa?” Cie Hian mendelong mengwasi isterinya itu. “Dikalangan kang-ouw, siapa bunuh orang, dimana dia bisa ganti jiwa? Kalau begitu, Kang Cie Seng …”

Cie Hian tidak teruskan perkataannya itu, ia berhenti dengan tiba-tiba, ia geleng-geleng kepala, ia  menghela napas.

“Kau tidak tahu apa-apa, umpama aku beri keterangan padamu, kau tetap tidak akan mengerti ... ” kemudian ia tambahkan. “Kau masih sebut-sebut Cie Seng!” berkata Lie-sie. “Dia ada sanak yang baik dari kita! Dia mati, tetapi mayatnya tiada orang dapat lihat, sebaliknya encie piauw nikah Tang Toa, dia sekarang hidup beruntung! Adalah Siau Hoo, itu bocah tak punya guna, setiap hari hanya membangkitkan amarahku! Kenapa dahulu kau pikir untuk beri dia tinggal disini, buat jadi biang bencana? Bagaimana nanti akhirnya.”

“Siau Hoo ada soal gampang,” Cie Hian kata. “Lagi satu atau dua tahun, dia akan sudah dewasa, lantas kita lihat, umpama dia tidak bisa dididik, kita boleh suruh dia pergi dari sini, diluaran tidak nanti dia mati kelaparan ...”

“Sungguh bagus pikiranmu!” Lie-sie menjengeki suaminya.

Jengekan istri itu, Cie Hian bukan baru dengar ini satu kali, maka itu ia tulikan kuping. Ia tidak mau ladeni istri itu, untuk mencegah kemendongkolan istrinya terlebih jauh, terus ia pergi ke tempat kerjanya.

Di musim dingin seperti itu, pekerjaan di bengkel ada sepi, apa pula di hari-hari salju turun lebat. Cie Hian ada mempunyai dua pegawai, sejak beberapa bulan yang lalu ia sudah berhentikan mereka, maka sekarang di bengkelnya tinggal Siau Hoo serta satu bocah yang kerja magang. Dan waktu itu, bocah itu sedang nyalakan api, Siau Hoo tidak kelihatan, entah kemana perginya anak binal itu.

“Benar-benar anak itu tidak dapat diajar!” kata Cie Hian, yang sedang mendongkol. “Ya, biarlah dia pergi ...”

Ia menghampiri magangnya itu, ia duduk di sebelahnya, akan bantu si magang ketoki kuali besi yang mereka sedang kerjakan. Satu kuali itu belum selesai dibikin, atau satu bocah tetangga she Thio, yang pun buka bengkel besi, lari masuk dengan kepala dan pakaian penuh salju.

“Ma Ciangkui, lekas lihat, lekas!” kata bocah ini. “Siau Hoo sedang berkelahi di warung araknya Lauw Sam!”

Cie Hian terkejut.

“Dengan siapa dia berkelahi? ” dia tanya.

“Dengan Tie Louw-cu.” bocah itu jawab. “Dia telah hajar kepalanya Tie Louw-cu sampai borboran darah!”

Kalau tadi dia kaget, setelah dengar namanya si orang she Tie tukang sewakan keledai itu, hatinya Cie Hian jadi lega. Ia terus goyang-goyang kepala.

“Masa bodoh. Biar mereka berkelahi terus!” ia jawab. “Siapa ada punya kepandaian, dia boleh hajar mampus musuhnya!”

Mendengar demikian, bocah tetangga itu lantas ngeloyor pergi.

Tidak antara lama, kelihatan Siau Hoo muncul. Kecuali badannya penuh salju, ia tidak terluka sedikit jua. Malah pada tampangnya tidak ada roman gusar, sama sekali ia tidak menandakan seperti habis berkelahi. Ia ada jangkung, romannya cakap ganteng, hanya kulitnya agak  hitam, hingga ia tak mirip sebagai bocah umur empat belas tahun, dia seperti sudah dewasa saja. Hanya ketika ia lihat sang Ie- thio, ia agaknya malu, ia tundukan kepala.

“Ie-thio, pergilah beristirahat, nanti aku gantikan kau,” kata ia ketika ia sudah datang dekat ipar ayahnya itu.

Cie Hian tidak kata apa-apa, ia berbangkit akan duduk di pinggiran. Dari sini ia awasi keponakannya bekerja, ia lihat orang punya kedua lengan yang kuat dan tubuh yang kekar. Anak ini bekerja lebih sungguh-sungguh daripada hari-hari yang sudah.

Tidak terlalu lama, sebuah kuali itu telah selesai dikerjakan, maka si kacung lantas saja berbangkit untuk pergi kedalam, guna seperti biasanya membantui Lie-sie masak nasi.

Setelah mereka berada berduaan, Ma Cie Hian barulah hendak tanya keponakannya itu, kenapa tadi dia berkelahi di warung arak. Akan tetapi sebelum ia keburu buka mulutnya, Siau Hoo, yang telah letaki martilnya, mendadak cekal lengannya. Matanya anak ini lantas saja mengucurkan air.

“Ie-thio, aku ingin kau bicara terus terang padamu,” kata ia dengan sesengukan. “Pada dua tahun yang  lewat, bagaimana sebenarnya kematian ayahku? Sebenarnya ayah terbunuh oleh siapa?”

Cie Hian terkejut mendengar pertanyaan itu yang ia tidak sangka-sangka. Berbareng dengan itu, ia pun mendadak jadi sedih. Hingga untuk beberapa detik, ia diam saja.

“Apa yang aku ketahui tentang ayahmu adalah aku dengar dari ceritera orang,” kemudan ia menjawab. “Ayahmu itu sudah lakukan satu kesalahan, ia telah langgar aturan Pauw Kauwsu, sudah begitu ia tidak mau dengar nasihat gurunya itu, malah sebaliknya dia sudah lukai kedua suhengnya, Cie Lim dan Cie Po. Setelah itu, karena ia kuatir disatrukan oleh lain-lain murid dan gurunya itu, ia lalu minggat, ia tinggalkan rumahnya dengan tidak terdengar pula kabar ceritanya. Adalah kemudian aku dengar orang mengatakan bahwa dia telah ketemu begundal di gunung Cin Nia San dan kena dibinasakan oleh kawanan berandal itu ...” Mendengar itu Siau Hoo goyang kepala air matanya turun semakin deras.

“Bukan, Ie-thio!” kata ia. “Ie-thio dustakan aku! Tadi di warung araknya Lauw Sam aku kebentrok dengan Ti Sam si tukang sewakan keledai, urusannya ada urusan kecil tapi kita jadi berkelahi. Dia tidak sanggup lawan aku, dia lantas caci aku. Diapun kata ...”

Siau Hoo tak dapat meneruskan kata-katanya, karena ia menangis sangat sedih.

“Sudah, diam, diam ... ” Cie Hian membujuki seraya tepuk-tepuk orang punya pundak.

Siau Ho coba tahan kesedihannya.

“Tie Sam bilang ayahku telah dibinasakan oleh Pauw Cin Hui, Liok Cie Teng, Liong Cie Khie dan Kee Cie Beng berempat,” ia teruskan, “Persaudaraan Liong itu adalah Ie- thio sendiri yang undang dari Cie-yang. Maka itu, aku percaya, tak bisa jadi jikalau Ie-thio tidak ketahui perihal ayahku itu!”

Cie Hian digedor oleh liang-simnya, hingga ia lantas turut menangis.

“Sudah dua tahun aku simpan perkara ayahmu ini,” ia kata kemudian. “Cuma pada ibumu aku pernah omong dengan samar-samar ... Siapa tahu sekarang, juga  orang luar telah ketahui itu.”

Siau Hoo diam mendengari.

Sampai disitu, Cie Hian lantas tuturkan semua apa yang ia tahu.

“Dalam perkara ini kau tidak boleh persalahkan Pauw Kauwsu serta persaudaraan Liong itu,” ia tambahkan, sesudah ia habis menutur. “Ayahmu ada bersalah juga. Pauw Kauwsu beradat keras, terhadap murid-muridnya ia biasa bersikap kejam, semua orang ketahui itu. Katanya, semasa Pauw Kauwsu masih muda, ia dapatkan isterinya main gila, ia sudah lantas bunuh isterinya itu, karena mana ia mesti mendekam dalam penjara. Dia sebenarnya telah dijatuhkan hukuman mati, kemudian ia ketolongan sebab kebelutan terbit huru-hara kaum Pek Lian Kauw, kota kena dirampas, itu waktu dia bisa minggat. Setelah itu, Pauw Kauwsu masuk dalam ketentaraan di mana ia berjasa. Paling akhir baru ia masuk dalam kalangan perusahaan piauw tiam, sampai sekarang ini. Cie In dan Cie Lim adalah anak-anak dari isterinya yang dia binasakan itu. Karena kebusukan isterinya ini, Pauw Kauwsu jadi benci orang yang  suka mogor dan berjina, dalam aturan penerimaan murid, pantangan itu ada yang nomor satu, siapa berani langgar, hukumannya adalah hukuman mati.”

“Ayahmu tahu pantangan itu, dia sengaja langgar, malah karena ia anggap gurunya sudah tua, diapun berani lawan, maka menuruti hawa amarahnya, Pauw Kauwsu sudah titahkan aku pergi panggil persaudaraan Liong dari Cie- yang. Bersama mereka itu ada datang suheng Kee Cie Beng. Aku insyaf, kalau semua suheng itu datang, ayahmu pasti tidak tertolong lagi, akan tetapi aku jerih terhadap suhu, aku terpaksa turut titahnya itu ...”

Cie Hian hendak bercerita terus, Siau Hoo cegah dia. “Cukup,  Ie-thio,  tidak  usah  kau   menutur  lebih jauh,”

kata bocah ini dengan air matanya mengucur deras. “Sudah dua tahun Ie-thio pelihara aku dan ajarkan juga aku ilmu silat, aku berterima beri padamu. Sekarang ini aku bukannya satu anak kecil lagi, aku ingat budi kebaikan Ie- thio. Sekarang aku tidak benci siapa juga kecuali Pauw Cin Hui. Ayahku bersalah tapi dia tak mestinya sampai dihukum mati! Kenapa dia justeru  bunuh  ayahku? Laginya ... ” Bocah ini merogoh kedalam tangan bajunya dari mana ia keluarkan sebilah pisau tajam mengkilap. Ketika ia melanjutkan, suaranya sedih dan sengit. “Ini adalah senjata yang si tua bangka she Pauw memberi padaku pada dua tahun yang lalu. Ingat benar aku pada keadaan di waktu itu. Waktu sudah magrib, sikapnya si tua bangka ada sangat bengis, hanya entah kenapa, dia batal membunuh aku. Selama dua tahun aku ada seperti terbenam, sampai tadi Tie Sam bicara dengan aku, dan barulah aku ingat, sebenarnya tatkala itu si tua bangka berniat membinasaku!”

Siau Hoo jadi sengit luar biasa, matanya jadi mendelik, tangannya menyekal keras pisaunya itu, agaknya ia hendak cari Pauw Cin Hui untuk ditempurnya, untuk mencari balas.

“Sabar,” kata Cie Hian dengan ia goyang-goyangkan tangan. “Kau harus bicara dengan perlahan. Ketika itu hari aku lihat pisaumu ini dan ketahui, kau peroleh itu dari Pauw Kauwsu, hatiku bercekat, diam-diam aku bergidik karena segera aku menduga dia sebenarnya hendak binasakan kau, hanya aku tak mengerti kenapa dia boleh mendadak ubah niatnya itu. Tapi aku terus berkuatir. Inilah sebabnya mengapa aku segera minta ibumu ajak kau pindah ke rumahku ini, dan aku ajarkan kau ilmu silat. Bukan maksudku kau gunai kepandaianmu untuk membalas saki hati, aku hanya ingin kau pakai itu untuk menjaga diri. Hanya selama dua tahun ini perangainya Pauw Kauwsu telah berubah banyak. Dia tahu yang kau tinggal sama aku, ia sering-sering nenanyakan halnya kau. Melihat gerak- geriknya aku percaya dia bukan menanyakan untuk menanya saja, tetapi ia benar-benar bermaksud baik. Menurut aku, dendam sakit hati harus dikendorkan dan dihabiskan daripada diperhebat, sedang juga kita tidak akan sanggup lawan dia. Umpama kau cari dia untuk membalas dendam itu, sudah pasti tidak saja maksudmu tak akan tercapai, sebaliknya kau bisa celaka sendiri, jiwamu bisa menghilang, sedangkan akupun bisa kerembet-rembet karenanya.”

Siau Hoo bengong, ia seka air matanya. Tiba-tiba ia berlutut di depannya Cie Hian, bersoja-kui.

Cie Hian heran, ia lekas beri bangun keponakannya itu. “Kau kenapa?” tanya ia dalam herannya.

Siau Hoo tunduk, air matanya meleleh pula. Ia masih tidak berkata apa-apa.

“Nasi sudah matang!” tiba-tiba terdengar suara dari dalam.

Itulah suaranya Lie-sie, yang mengasih tahu barang santapan sudah sedia.

Cie Hian lantas tepuk pundaknya anak tanggung itu. ”Marilah kita dahar!” kata ia. “Semua pembicaraan kita

ini, kau jangan pikirkan pula, baiklah kau bekerja baik-baik dengan itupun sudah cukup untuk kau balas kebaikan ayahmu.”

Cie Hian tarik tangannya Siau Hoo.

Siau Hoo berbangkit, ia ikut kedalam. Mereka dahar nasi dari beras kuning. Selagi ia sendok nasi, Lie-sie senantiasa mengawasi padanya. Pikirannya masih kusut, ia lupa tutup pula kuali nasi. Melihat demikian, nyonya itu lantas menegur.

“Kau tidak tutup pula kuali, apa kau hendak bikin nasi jadi dingin? Apakah kau memangnya makan sendirian saja?” Biasanya, kapan ia ditegur, sekalipun ia  tidak bikin perlawanan, tapi air mukanya Siau Hoo berubah, akan tetapi sekarang ia tunduk, tampangnya tetap saja, dengan cara hormat ia lekas angkat tutup kuali akan tutupi nasi itu.

“Sudah, sudah,” kata Cie Hian, yang tak sampai hati melihat keponakannya itu. “Ini ada urusan kecil, Siau Hoo, kau daharlah!”

Siau Hoo duduk atas bangku kecil, ia lantas mulai dahar. Kalau biasanya ia gembul, sekarang, baru habis setengah mangkok, ia sudah letaki sumpit dan mangkoknya itu. Ia kata bahwa ia dahar cukup ... Ia berlalu lebih dahulu.

Cie Hian duga pikirannya ipar itu masih kusut.

Sehabisnya mereka bersantap, sang salju masih terus turun. Melihat itu, Cie Hian kerutkan dahi.

“Hujan salju turun demikian besar dan besok pagi-pagi aku mesti pergi ke rumah suhu,” kata ia seorang diri.

Kemudian ia pergi ke tempat kerjanya, dimana kacungnya lagi jongkok di pinggir dapur dan Siau Hoo berdiri diam di satu pojokan, romannya sangat masgul. Ia merasa kasihan pada keponakan itu, ia lalu menghampiri.

“Kau jangan berduka saja,” ia bilang seraya tepuk-tepuk orang punya pundak. “Terimalah ini beberapa ratus chie, untuk kau pergi ke warung arak buat minum disana untuk lenyapkan kedukaanmu. Arak bisa melenyapkan kedukaan dan berbareng melawan hawa dingin ...”

Siau Hoo sambuti uang itu, sambil tunduk ia lantas berlalu.

Ketika itu salju sudah ada enam atau tujuh dim tingginya, di jalan besar, kebanyakan warung atau toko sudah tutup pintu, hingga ketinggalan saja rumah-rumah makan, yang kacanya berlepotan salju tetapi di sebelah dalam, ramai suara orang.

Dengan tindakannya yang berat, Siau Hoo bertindak ditumpukan salju, telah raba pisaunya yang tajam, diam- diam ia telah ambil putusan buat pergi keluar kota ke Pauw- kee-cun, ke rumahnya Pauw Cin Hui, guna bunuh guru silat she Pauw itu, untuk mencari balas bagi ayahnya.

“Aku masih muda, Cin Hui sudah tua, mustahil aku tidak sanggup lawan dia?” demikian pikirnya.

Oleh karena ini, lebih jauh ia berpendapat, bahwa untuk membinasakan Pauw Cin hui adalah gampang sekali.

“Sesudah bunuh musuh itu, aku mesti buron ke tempat yang jauh sekali,” demikian ia sudah pikir rencananya. Umpama aku gagal dan tidak keburu minggat, aku toh akan kehilangan satu jiwa saja. Kalau aku binasa karena hendak membalas sakit hati ayah, orang akan tetap anggap aku ada seorang gagah berani ...”

Ia jalan terus keluar dari Lam-cun, dusun sebelah Selatan. Ia lihat langit, ia anggap sang waktu masih siang. Ia merasa dingin, karena ia hanya memakai baju pendek. Maka ketika ia memasuki Kwan-siang, terus ia menghampiri sebuah warung arak.

“Kau cari siapa?” tanya jogos yang datang adalah satu bocah.

“Aku tidak cari orang, aku hendak minum arak.” Sahut Siau Hoo ia menghampiri meja, terus ia jatuhkan diri atas sebuah kursi. Ia letaki lengannya di atas meja, lebih jauh ia letaki kepalanya di atas lengannya itu, hingga kelakuannya mirip dengan bocah gelandangan.

Melihat demikian, beberapa tetamu pada tertawa. “Kau hendak minum berapa banyak?” tanya jongos yang menghampiri sambil tertawa.

Siau Hoo rogoh sakunya, ia keluarkan uangnya yang ia gabruki di atas meja.

“Kau hitung saja sendiri!” ia bilang. “Sebegitu ada uang, sebegitu kau berikan arak padaku!”

Jongos itu hitung uang tersebut.

“Dengan ini kau dapat empat kati arak.” kata ia kemudian. “Apa kau bisa minum habis demikian banyak?”

“Delapan tailpun aku bisa minum habis!” sahut Siau Hoo.

Mendengar itu, kembali semua tetamu tertawa, tak terkecuali si jongos. Tapi dia ini segera sajikan empat tail arak yang dibeli itu.

Siau Hoo lantas saja angkat cawannya, minum seorang diri.

“Didalam kota warung arak Lauw Sam adalah langgananku,” kata ia kemudian pada beberapa tetamu lainnya. “Setiap hari aku minum setengah kati arak atau duabelas tail, itupun tidak ada artinya. Aku hanya belum pernah datang kemari, dan itu kau tak kenal aku! ... “

“Saudara kecil, di kota kau tinggal dimana? ” tanya seorang, yang duduk dekat bocah itu. “Aku rasanya pernah lihat kau!”

“Aku ada dari bengkel besi saudara Ma,” jawab Siau Hoo, setelah mana, ia nampaknya menyesal. Ia  ingat budinya Ie-thio itu selama dua tahun, dan kalau ia bunuh Pauw Cin Hui, sedikitnya Ie-thio itu mesti nampak kesulitan. Maka selanjutnya ia tidak banyak omong lagi, ia keringi cawannya berulang-ulang, lantas ia bangkit untuk ngeloyor pergi. Ia terus terbenam dalam kemasgulan. Hawa sebenarnya dingin tetapi ia  rasakan tubuhnya hangat, sedikitpun ia tidak merasa sinting. Ia jalan membelakangi angin, kakinya menginjak salju, tujuannya arah Selatan.

Makin lama angin meniup-niup makin keras dan cuaca makin suram dan gelap, sampai gunung Lam San di sebelah depan, tidak tertampak lagi. Dusun, pohon-pohon, juga jembatan telah ketutupan salju. Disitu tidak ada  seorang lain juga yang berlalu-lintas.

Itu ada satu jalanan yang dikenal baik oleh Siau Hoo, maka sekalipun cuaca gelap, sebentar kemudian dia sudah sampai di Pauw-kee-cun. Kampung ada sepi sekali, jangankan orang sekalipun anjing tidak  ada  yang kelayapan.

Siau Hoo lewat di depan rumahnya, ia lihat cahaya api yang dipasang oleh pamannya, sanak yang menempati rumahnya itu. Ia tidak mau mampir,  ia  jalan terus. Sekarang hatinya mulai memukul.

Segera juga bocah ini sampai didalam kampung, di depan rumahnya Pauw Kun Lun. Disini hatinya memukul lebih keras, tetapi sekarang itu disebabkan karena panasnya hatinya itu, saking gusarnya ia lupa agaknya akan bahaya. Ia menghampiri tembok, ia  enjot tubuhnya akan loncat naik. Ia gunai kedua tangannya menjambret tembok yang kate, hingga salju kena tersampok jatuh  melulahan. Dengan, angkat ke dua kakinya, ia sampai di atas tembok. Untuk masuk kedalam pekarangan, ia cuma tinggal loncat turun saja. Sama sekali ia tidak terbitkan suara apa-apa.

Dikedua ruangan Selatan dan Utara ada terdapat cahaya api.

Siau Hoo keluarkan  “Golok mustika”, dengan hati-hati ia bertindak di atas salju menuju  ke kamar Selatan, ia mengintip di jendela. Ia lihat satu nyonya muda sedang menjahit.

“Ah, ini bukan kamarnya si tua bangka she Pauw ... ” Pikir ia, yang terus bertindak dengan cepat ke ruangan sebelah Utara. Disini, diluar kamar, ia dapati Pauw Cin Hui sedang bicara dengan satu bocah perempuan umur dua atau tigabelas tahun. Di samping mereka ada sebuah  lampu kecil. Rupanya orang tua itu sedang gembira sekali, karena mukanya tersungging dengan senyuman berseri-seri.

Tiba-tiba amarahnya Siau Hoo meluap, lupa akan segala apa, ia tarik daun pintu, dengan pisaunya segera ia maju akan serang Pauw Cin Hui.

Si nona cilik kaget sehingga berteriak, tetapi ia segera samber sebatang golok, panjangnya satu kaki lebih yang berada di sampingnya, dengan apa ia mendahului membacok si penyerang itu, yang ia papaki majunya.

Siau Hoo berkelit, ketika ia maju pula, ia tikam Pauw Kun Lun.

Jago tua ini tidak kaget, melihat sikap bocah itu, ia jadi mendongkol, maka tempo bocah itu datang dekat, ia angkat sebelah kakinya mendupak perutnya Siau Hoo yang rubuh seketika.

Segera Siau Hoo bangun berduduk, goloknya tidak dilepaskan. Ia hendak segera berbangkit untuk menyerang pula. Ia benar tidak kenal takut.

Ketika itu, si nona cilik maju seraya membabat dengan goloknya.

“Jangan bunuh dia!” berseru Pauw Kauwsu yang mencegah cucunya, Ah Loan. Dilain pihak, dengan sebat sekali, sebelum Siau Hoo berbangkit, ia sudah rampas orang punya senjata. Dengan satu tendangan, Pauw Cin Hui bikin orang rubuh pula, malah sekali ini penyerang itu tidak segera bangun pula.

“Ah binatang kecil!” ia  membentak, dengan sebelah tangannya tahan cucunya, yang ia cegah menyerang lebih jauh. “Cara bagaimana kau berani datang membokong aku? Jikalau aku tak lihat kau masih terlalu kecil, pasti aku sudah lantas bunuh padamu.”

“Hm, kau berani coba celakai yaya?” Ah Loan pun membentak. “Jangan kau kira sebab pamanku tidak ada di rumah, kau berani main gila! Kau harus ketahui, disini ada aku yang lindungi yaya!”

Siau Hoo berbangkit untuk duduk, ia lantas saja menangis.

“Biar bagaimana, aku mesti bunuh kau semua!” ia menjerit. “Aku mesti balas sakit hati ayahku!” Ia  terus lompat bangun, ia terjang Pauw Kun Lun dengan tinjunya.

Pauw Cin Hui angkat kedua tangannya menangkap tangannya bocah itu, yang ia terus cekal dengan keras.

“Bilang, kau sebenarnya ada punya permusuhan apa dengan aku?” ia tanya dengan sengit.

Tapi meskipun itu menanya demikian, ia toh awasi  orang punya muka, hingga di lain saat, ia jadi terkejut sampai air mukanya berubah, kedua tangannya bergemetar. “Oh, kau!” ia tegasi, kedua matanya terbuka lebar.

Tiba-tiba datang keinginannya guru silat ini untuk melakukan pembunuhan, sebelah tangannya diulur kepada golok cucunya, tapi justeru ia lepaskan cekalannya yang sebelah, Siau Hoo gunai ketika itu akan jambak orang punya jenggot. “Selama dua tahun, aku tidak tahu apa-apa, baru tadi orang bilang kepadaku bahwa kau adalah pembunuh ayahku!” Siau Hoo menjerit. “Aku mesti balas sakit hatinya ayahku!”

Sebenarnya Pauw Cin Hui sudah dapat rampas golok cucunya, apa mau mendadak hatinya menjadi lemah, hingga romannya yang bengis, berubah menjadi sabar pula.

“Ah, anak, orang telah permainkan kau!.. “ berkata ia. “Ayahmu itu bukannya aku yang binasakan ...”

Tapi Siau Hoo jambak keras orang punya jenggot, matanya melotot.

“Semua orang bilang kaulah yang bunuh ayahku!” kata ia dengan sengit. “Cara bagaimana kau hendak menyangkal?”

Ah Loan gusar, dengan kepalannya ia hajar pinggangnya Siau Hoo.

Sementara itu muncul ibu dan encim-nya Ah Loan, mereka itu dengar suara berisik.

“Tiada apa-apa, kembalilah kau ke kamarmu!” jago tua itu kata kepada kedua nyonya mantunya.

Mereka ini tidak berani membantah, mereka lantas mundur pula.

“Sabar!” kemudian kata jago tua itu kepada Siau Hoo, tubuh siapa ia tolak mundur. “Mari kita bicara  dengan pelahan-pelahan ...”

Cin Hui urut rapi kumis dan jenggotnya, iapun jemput orang punya senjata, kemudian ia pandang itu diterangnya api, setelah mana, nampaknya ia ada sangat terharu. Ia pun segera kembalikan pisau tajam itu pada penyerangnya. “Pisaumu ini.” ia  kata sambil bersenyum meringis, “Adalah tahun yang  lalu aku beri persen padamu. Aku tidak nyana hari ini kau pakai senjata ini untuk mencari balas kepadaku. Sayang usiamu masih terlalu muda dan bugeemu, kau masih mesti latih untuk banyak tahun!”

Siau Hoo mengawasi dengan bengis, hanya sekarang ia tidak menerjang pula, meskipun ia telah sambuti senjatanya itu.

Pauw Cin Hui mendekati, ia usap usap orang punya kepala.

“Anak yang baik, belum pernah aku lihat bocah bandel seperti kau,” kata ia pula. “Sekarang kau hendak  bunuh aku, tetapi aku tidak benci padamu. Baiklah aku beritahu kepadamu, orang yang bunuh ayahmu itu bukannya aku, aku  sama sekali tidak niat  membinasakan  dia, hanya Liong

...   ”   ia  berhenti  sebentar,  ia   goyang-goyang tangannya.

“Aku tidak usah beritahukan namanya orang itu, dia ada liehay bugeenya, dia bukannya tandinganmu, jikalau kau cari dia, tidak saja kau tidak akan mampu balas sakit hatimu, malah jiwamu sendiri bakal lenyap dengan sia-sia, karena dia itu tidak ada semulia hati sebagai aku ...”

Siau Hoo berdiam, hatinya berpikir. Kesabarannya jago tua itu membikin ia dengan pelahan-lahan lenyap kemurkaannya.

“Barangkali benar pembunuh ayahku adalah itu persaudaraan Liong dari Cie-yang ... ” demikian ia mau berpikir.

Sampai disitu, cepat sekali bocah ini ubah pikirannya. “Baiklah!”  kata  ia  tiba-tiba,  seraya  ia  banting kakinya.

“Aku   tidak   mau   musuhkan   pula   padamu!   Aku   pergi

sekarang!” Lantas ia balik badannya, dengan bawa pisaunya ia bertindak keluar.

Pauw Cin Hui nampaknya ada sangat berduka.

“Pergi kau bukakan pintu, jangan cegah padanya,” ia suruh cucunya.

Ah Loan menyahuti, dengan bawa goloknya ia menyusul keluar, akan membukakan pintu pekarangan, akan beri si penyerang itu keluar dari situ.

Siau Hoo jalan keluar, tangannya masih pegangi pisaunya, sekalipun ia ada kerutkan dahi, ia toh angkat dada dan kepala. Ia jalan di salju belum ada sepuluh tindak, ketika dari belakangnya dia dengar seruan tajam tapi halus: “Eh, bangsat kecil, tahan!”

Bocah ini menoleh, ia lantas lihat Ah Loan, siapa lari menyusul padanya. Ia putar tubuhnya menantikan.

“Apa kau mau? ” tanya ia secara menantang. “Si tua bangka masih jerih kepadaku, apakah kau hendak tempur aku?”

“Mana yaya takut kepada kau?” sahut nona cilik itu sambil tertawa dingin. “Dia lihat kau kecil, dia tidak tega membunuhnya. Selama ini perangai yaya telah berubah, setiap hari dia liamkeng saja. Seandai kejadian ini terjadi pada beberapa tahun yang lalu, sekalipun orang yang terlebih liehay daripada kau, tentu dia sudah bunuh mati! Yaya suka beri ampun padamu tetapi aku tidak! Kenapa di waktu hujan salju  seperti ini kau lancang memasuki rumahku dengan loncat tembok untuk membunuh yaya?”

Sehabis kata  begitu, si nona loncat maju berbareng dengan bacokannya. Siau Hoo mundur dua tindak, goloknya dilintangkan di depan dadanya, sebelah tangannya yang lain, ia ulap- ulapkan.

“Jangan, jangan kau serang aku!” ia berkata. “Seorang laki-laki tidak layani orang perempuan berkelahi!”

Tapi Pauw Ah Loan tidak perdulikan, ia merangsek dan membacok pula, malah terus berulang-ulang, maka akhirnya, mau atau tidak, Siau Hoo toh bikin perlawanan juga.

Demikian, di atas salju mereka jadi bergebrak.

Mereka bertempur sampai belasan jurus tidak ada satu yang kalah.

“Tahan!” Siau Hoo kemudian berseru seraya loncat ke samping. “Ini bukan namanya kepandaian! Golokmu panjang, golokku pendek! Apa kau berani lawan  aku dengan tangan kosong?”

“Dengan tangan kosong juga aku tidak takut!” Berseru Ah Loan, yang tetap gusar. Ia terus saja tancap goloknya di salju. Tidak buang tempo lagi ia menyerang lebih dulu.

Siau Hoo pun lepaskan pisaunya, ia sambut serangan itu. Ia sudah perhatikan caranya orang bersilat, yang ada mirip dengan pelajaran yang ia peroleh di Cie Hian, dari itu ia tidak kuatir.

Pertempuran di salju tidak leluasa, tetapi keduanya bertarung dengan seru. Dua-tiga kali Ah Loan bisa toyor Siouw Hoo, akan tetapi dia ini, yang tubuhnya kuat, tidak rasakan itu. Siau Hoo hanya cari ketika akan bikin si nona tidak berdaya.

Setelah empat atau lima jurus, Ah Loan lalu robah caranya bersilat, tidak lagi ia arah badan, sekarang ia menjujuh pada muka lawannya. Ini adalah keinginan Siau Hoo. Satu kali si nona loncat memukul, Siau Hoo menangkis, ia tidak mundur, hanya sebelah kakinya berbareng ia angkat, mendupak perut lawannya.

“Aduh!” Ah Loan menjerit dengan tubuhnya rubuh celentang di salju.

Siau Hoo lompat maju, ia hendak berikan hajaran pada nona itu ketika tiba-tiba di belakangnya ia dengar suara tertawa terbahak-bahak, suaranya Pauw Cin Hui hingga ia batalkan niatannya itu. Ia lekas cabut pula pisaunya.

Memang sedari tadi, Pauw Kauwsu telah tonton pertempuran itu.

Ah Loan lompat bangun, ia ambil goloknya.

“Kau ada dua enghiong kecil, sudahlah jangan bertempur pula!” kata Cin Hui yang dekati kedua bocah itu sambil tertawa pula.

“Yaya, dia menghina aku!” kata Ah Loan sambil menagis. “Dia menghina! ...”

“Itulah penghinaan yang tidak berarti!” Pauw Kauwsu jawab sambil goyang-goyang tangannya. Ia dekati Siau Hoo dan tarik tangannya, “kepandaian silatmu ada dari kita Kun Lun Pay, apakah kau dapat pelajarkan dari Cie Hian?” ia tanya.

Siau Hoo geleng kepala.

“Bukan,” ia jawab, “aku pelajari ini dari ayahku.” Pauw Kauwsu angguk-anggukkan kepala.

“Kepandaian silat ayahmu tidak bisa dicela,” ia bilang. “Dia baru belajar tiga tahun kepadaku tetapi dia telah lombai saudara-saudaranya yang sudah belajar lima atau enam tahun. Sayang dia telah berbuat salah dan telah mati siang-siang, kalau tidak, sekarang ini tentu dia sudah lulus dengan sempurna ...”

Mendengar orang sebut-sebut ayahnya, Siau Hoo menangis pula, dengan lengan bajunya ia tepas air matanya.

Jago tua itu menghela napas.

“Sekarang sudah malam, pintu kota pasti sudah dikunci, kau tentu tidak bisa pulang ke kota,” kata ia.  “Baik  kau balik ke rumahku akan tidur bersama kita, besok pagi, setelah salju berhenti, baru kau pulang ...”

“Tidak,” sahut Siau Hoo, “Aku masih mesti pergi ke lain tempat!”

“Kau hendak pergi kemana?” jago tua itu tanya.

“Aku hendak cari guru guna belajar silat lebih jauh!” sang bocah jawab.

Pauw Cin Hui tersenyum.

“Dasar bocah!” ia bilang. “Kau ada anak tak ketahuan asal-usulnya, pergi kemanapun tak nanti orang sudi terima kau. Apa pula untuk belajar silat, lebih-lebih lagi sukarnya! Aku beri tahu padamu, di tiga propinsi Su Coan, Siam say dan Hoo-lam kecuali Lie Cin Hiap dari oa-ciu dan Kho Keng Hian dari Kayhong-hu, melainkan ada aku sendiri Pauw Kun Lun! Maka dari pada kau pergi kelain tempat untuk belajar silat, lebih baik kau belajar kepadaku disini!”

Sehabis kata begitu, sembari tertawa Cui Hui tarik tangannya si bocah buat diajak kembali ke rumahnya, dan sesampainya didalam, ia kembali membujuki, ia berlaku manis budi.

Dasar masih anak-anak, Siau Hoo kena dibujuk, ia lantas saja suka tinggal bersama guru silat ini. Di ruangan selatan ada dua buah kamar, disini biasa tidur murid-murid yang ada urusan dan bermalam, sebuah kamar dipakai oleh Cin Hui untuk murid ciliknya ini. Ia bawakan kasur dan selimut.

Ah Loan lantas disuruh masuk tidur di kamarnya sendiri. Cie Lim telah berangkat ke Cie-yang atas titah ayahnya,

maka itu Cin Hui jadi berada seorang diri di rumahnya itu.

Sebentar kemudian Cin Hui sudah berada sendirian didalam kamarnya. Ia pikirkan halnya Siau Hoo, ia merasakan soal ada sulit.

“Sudah empatpuluh tahun lebih aku merantau,” demikian ia berpikir, “Aku pernah ketemui lawan-lawan yang lebih gagah dan bandel, bukan seorang yang telah binasa di ujung golokku, semua itu belum pernah aku bersangsi atau jerih, mengapa sekarang aku dibikin pusing oleh bocah dari tiga atau empat belas tahun usianya? Dia bikin aku pusing dan sangsi benar-benar ... Jikalau aku tidak bunuh dia, bila nanti dia sudah dewasa, dia bisa jadi bahaya bagiku ... Jikalau aku bunuh dia, dengan sebenarnya aku suka dengan roman dan peranginya, aku tidak tega ...”

Lama jago tua ini bersangsi, lantas ia berbangkit keluar dari kamarnya, jalan diantara salju, ia pergi ke ruangan Selatan. Di muka jendela depan, ia berdiri, ia  pasang kuping. Ia lantas dengar suara menggeros yang pelahan, tandanya si bocah sudah tidur nyenyak.

“Aku terlalu berkuatir tak keruan ... ” kemudian  pikir jago tua ini, ia bersenyum sendirinya. “Dia ada satu bocah, apa dia bisa bikin terhadap aku? Baik, mulai besok, aku beri dia tinggal sama aku di rumahku ini, aku akan perlakukan dia dengan baik agar dia kerasan tinggal disini. Aku tidak akan ijinkan dia pergi belajar silat, aku akan suruh dia rawat babi dan bebek, dan aku nanti beri pelajaran silat secara sembarangan saja, kemudian, selang dua tahun, aku nanti carikan isteri buat dia nikah. Secara demikian, aku  harap dia kelak lupa akan niatnya membikin pembalasan, supaya dia merasa bahwa dia ada sebagai cucuku saja ...”

Setelah berpikir begini, hatinya Cin Hui jadi lega, hinga ia bisa masuk tidur.

Keesokan pagi. Salju berhenti turun. Selagi Cin Hui duduk minum teh, Siau Hoo datang padanya.

“Aku hendak berangkat sekarang!” kata bocah ini, yang sepasang alisya dikerutkan.

“Tunggu dulu!” Cin Hui lantas mencegah, ”kau hendak pergi kemana? Apa kau hendak kembali pada Ma Cie Hian?”

“Tidak!” bocah itu menyahut seraya menggeleng kepala. “Kemarin aku dengar orang bilang bahwa kaulah yang bunuh ayahku, maka aku datang cari kau untuk menuntut balas, tetapi kau bilang bahwa musuhku adalah si orang she Liong, maka itu, aku sudah tidak bermusuh dengan  kau lagi, aku sekarang hendak pergi mencari guru untuk belajar silat, nanti dua atau tiga tahun kemudian, baru aku hendak cari orang she Liong itu buat bunuh padanya!”

Mendengar jawaban itu, didalam hatinya Pauw Kun Lun jerih sendirinya, tetapi diluar ia perlihatkan muka manis, ia tertawa. Ia sengaja usap-usap orang punya kepala.

“Kau ada begini kecil, cara bagaimaia kau bisa pergi merantau? ” kata ia. “Lebih baik kau tinggal disini, akan lakukan pekerjaan-pekerjaan yang enteng, berbareng aku nanti wariskan semua kepandaian silatku kepadamu, aku tanggung dalam tempo tiga tahun, kau akan sudah jadi pandai, itu waktu aku nanti tunjukkan kau tentang musuhmu itu, malah akupun bisa bantu kau melakukan pembalasan ...”

Cin Hui awasi itu bocah, yang ia tidak beri ketika untuk bicara, karena ia lantas menambahkan. “Kau harus ketahui bahwa kau ada satu anak kecil, dan kau tidak punya uang dalam perantauan kau bisa mati kelaparan di kampung orang. Lain dari pada itu,  di tengah perjalanan, di pegunungan, ada banyak berandal, apabila kau tidak dengar nasihatku ini, kejadian di dalam gunung orang bunuh kau sungguh tidak bisa tolong padamu!”

Ucapan yang terakhir ini dikeluarkan dengan sungguh- sungguh, hingga sikapnya guru silat ini jadi keren dan bengis.

Siau Hoo sekian lama tunduk dan berdiam.

“Tidak ada halangannya untuk aku berdiam disini,” kemudian ia menyahut. “Tapi aku tidak mau dianggap yang aku ada muridmu, dan apa saja yang aku lakukan kau tidak berhak campur tahu!”

Pauw Kun Lun bersenyum, senyuman tawar.

“Biarnya kau ingin menjadi muridku, aku sendiri tak nanti terima kau!” ia bilang.

Lantas jago tua ini pergi kedalam akan ambil sepotong pipa besi, dengan kedua tangannya ia  bikin pipa  itu bengkok melengkung, kemudian ketika ia bentur itu dengan dengkulnya, pipa itu lantas patah dua.

“Kau lihat, bukan?” kata ia pula sambil bersenyum. “Kalau kau bisa punyakan kepandaian seperti ini, baru kau bisa mencari balas, jikalau tidak, kau akan buang jiwamu secara kecewa!” Lagi ia usap-usap orang punya kepala, tapi sekarang ia bicara dengan lemah lembut. “Sekarang, anak, pergilah kau keluar membantui menyapu salju, sebentar kau pergi bersantap pagi ...”

Itu waktu Ah Loan muncul dengan bawa-bawa golok tau-too, ia lihat Siau Hoo berdiri diam laksana patung, mukanya pucat, ia tidak perdulikan, ia cuma memandang dengan sepasang matanya yang tajam dideliki, kemudian ia tarik tangan engkongnya.

“Yaya, pakailah baju tebal!” kata ia  seraya dongak, memandang engkong itu. “Hawa ada dingin sekali!”

Cin Hui bersenyum pada cucunya itu.

Siau Hoo tidak perdulikan itu engkong dan cucu,  ia lantas ngeloyor keluar. Ia inyaf sekarang bahwa  bugeenya Si tua bangka she Pauw ada liehay dan ia tidak sanggup lawan dia itu. Tempo ia sampai diluar, beberapa muridnya guru silat itu sudah sapui pekarangan dan para-para senjata pun sudah dibawa keluar. Ma Cie Hian pun sudah datang, ia melengak, ketika dia lihat keponakannya itu, tetapi ia segera menghampiri.

“Tadi malam aku cari kau ubek-ubekan, kenapa kau ada disini?” Ie-thio ini tanya.

Siau Hoo tidak menjawabnya, apa pula Pauw Kauwsu sudah muncul bersama cucunya perempuan, hingga Cie Hian juga tidak berani menegaskan.

“Oh, suhu sudah bangun?” ia kata pada gurunya itu.

Pauw Kauwsu manggut pada muridnya ini, ia bertindak terus kepekarangan, lapangan untuk belajar silat. Disitu sudah berkumpul Lou Cie Tiong, Lan Cie Cun, Lauw Cie Wan dan Cin Cie Po.

“Eh, kau kenal bocah ini atau tidak?” Pauw Kauwsu tanya muridnya itu sambil tunjuk Siau Hoo. “Dia adalah Kang Siau Hoo, anaknya Cie Seng. Entah dia dengar dari siapa, bahwa ayahnya adalah aku yang binasakan!” Selagi berkata begitu, guru ini lirik Cie Hian, hingga Cie Hian takut bukan main, tubuhnya sampai bergemetaran, segera murid ini menghampiri.

“Suhu,” berkata dia, “Anak ini tinggal padaku sejak ayahnya menutup mata, sedang ibunya kini telah menikah pula. Dia adalah sanakku, dan itu, sejak dua tahun aku ajak dia bantui aku bekerja di bengkel. Sampai sebegitu jauh tidak pernah aku bicara kepadanya tentang ayahnya, akan tetapi tadi malam ia menghilang aku tidak tahu bahwa dia telah datang kesini ...”

Guru silat itu bersenyum.

“Kau jangan kuatir, aku pun tidak tuduh kau yang suruh dia datang kemari untuk melakukan pembalasan,” ia berkata. “Aku berani sumpah terhadap Langit dan Bumi, Cie Seng itu bukanlah aku yang bunuh. Dalam hal ini aku tidak berdosa. Di sebelah itu, aku suka sekali anak ini. Tadi malam ia satroni aku dengan loncati tembok pekarangan, dengan goloknya ia coba serang aku, walaupun demikian, sedikitpun aku tidak gusar. Mulai hari ini aku inginkan dia tinggal sama-sama aku di rumahku ini, aku suruh dia ikut belajar silat, tetapi meskipun demikian, dia tidak terhitung sebagai suteemu, aku anggap dia sebagai cucu angkatku yang baru ...”

Setelah berkata demikian, jago tua ini tertawa gelak , hingga murid-muridnya turut tertawa juga, malah Cie Wan dan Cie Cun lantas beri selamat pada gurunya itu.

Cie Hian turut tertawa, tetapi didalam hati, ia berkuatir bukan main.

“Nah, sekarang kau semua boleh mulai berlatih,” kata sang guru kemudian. Ah Loan sudah lantas turut pelajarankan ilmu goloknya.

Siau Hoo masih terus berdiri menjublek, cuma dengan matanya ia awasi beberapa murid itu berlatih. Ia  lihat bahwa semua orang itu ada jauh terlebih gagah daripadanya, hinga ia tambah merasa, untuk mencari balas sungguh bukan pekerjaan gampang.

Sejak itu, setiap hari Siau Hoo menonton orang belajar silat, dan sehabisnya jam latihan, atas pengunjukannya murid-murid ini, ia bekerja membantui mereka. Ia dapat kenyataan, terhadap murid-muridnya, Pauw Cin Hui bersikap keras, tetapi terhadap dia sendiri guru silat ini ada manis budi, sering ia diajak bicara orang tua itu suka usap kepalanya dan tertawa, hingga ia jadi merasa bersyukur kepada jago tua ini dan ia percaya, bahwa ayahnya pasti benar bukan terbinasa di tangannya guru ini.

Juga sikapnya Ah Loan berubah dengan lekas. Sebelumnya, apabila dia lihat Siau Hoo, nona cilik itu mengawasi dengan main metotot, tetapi kini, ia  suka memandang dan tertawa, akan akhirnya mereka berdua jadi sahabat, suka main bersama-sama.

Sikapnya Pui-sie ada lain apabila ia  lihat anaknya perempuan suka main dengan Siau Hoo, terus saja ia panggil masuk anaknya itu dan ditegur. Tidak demikian sikapnya Pauw Kun Lun, ia tidak pernah menghalang- halangi.

Kadang-kadang terjadi, sehabisnya bersantap malam, setelah minum teh dan pasang tiga batang hio di muka patung Buddha, yang ia puja, Cin Hui suka tuntun Ah Loan dan Siau Hoo buat diajak keluar, akan jalan-jalan diluar pekarangan. Bertiga mereka agaknya hidup manis sekali.

Ma Cie Hian tetap datang setiap hari akan berlatih dan bekerja, kalau dia lihat Siau Hoo, ia suka mengawasi saja, agaknya ia hendak bicara banyak akan tetapi toh ia tidak berani dekati keponakannya itu. Ia datang, berlatih dan bekerja, lantas ia pulang.

Belasan hari sejak datangnya Siau Hoo, Cie Lim kembali dari Cie-yang, ketika ia ketemui ayahnya akan beritahukan apa-apa yang dilakukan, Cin Hui lantas tunjuk Siau Hoo, beritahukan ia bahwa bocah ini telah tinggal bersama-sama mereka.

Di depan ayahnya Cie Lim tidak kata apa-apa, akan tetapi, setelah berada didalam kamarnya, dengan suara menyesali, ia kata pada isterinya. “Lihat, ayah jadi semakin pikun. Binatang Cie Seng sudah ganggu isteri orang, dia sudah langgar aturan kita, dia pun sudah lukai aku dan Cie Po, hingga karena itu semua, ayah panggil Cie Teng, Cie Khie dan Cie Beng dari Cie-yang, sampai mereka ini kepung Cie Seng di gunung Utara dimana dia itu dibinasakan. Menurut aku, siapa babat rumput, dia mesti menggali sampai di akarnya, maka sudah seharusnya, anaknya Cie Seng juga mesti disingkirkan dari dunia. Tapi ayah telah tidak berbuat demikian! Sekarang ayah justeru pelihara anaknya Cie Seng itu! Aku lihat anak itu mirip dengan seekor srigala kecil, kalau nanti dia sudah besar, tak dapat tidak, dia mesti gegares orang!”

“Buat apa kau perdulikan dia?” kata sang isteri, Lu-sie. “Gakhu suka terima dia, apakah kau bisa cegah? Lagipun dia ada satu bocah cilik, disini dia dapat di suruh-suruh. Kau selamanya suka bicara  tentang membunuh orang. Sudah ayahnya dibunuh, anaknya hendak  dibunuh sekalian! Kau jangan anggap pembesar negeri tak ketahui ini dan kau lantas percaya, perkara tidak akan terbongkar. Ketahuilah, malaikat ada punya mata!” Cie Lim ada begitu sengit mendengar ucapan isterinya, hingga sebelah tangannya segera melayang kepada orang punya muka.

“Kalau semua orang punya hati sebagai kau, orang- orang kang-ouw boleh mampus kelaparan!” ia berseru. “Apakah kau tahu kenapa ayah kirim aku ke Cie-yang? Disana sudah terjadi satu perkara besar! Saudara-saudara Liong yang antar piauw ke Su-coan Utara, di gunung Kiam Bun San telah dicegat oleh belasan penyamun, hingga pertempuran tak dapat dicegah. Saudara-saudara Liong berbugee tinggi, mereka berhasil melukai delapan atau sembilan berandal, pun berhasil mengantar piauwnya dengan selamat sampai di Seng-touw, hanya apa mau dalam perjalanan pulang, mereka telah ketemu Liong tiong- hiap Cie Kie, seorang kenamaan di Su-coan Utara. Buat urusan perebutan jalan, mereka kebentrok satu pada lain, mereka jadi bertempur. Saudara-saudara Liong tidak dapat melawan, semua kudanya kena ditahan, tetapi mereka penasaran, kemudian mereka satroni rumahnya Cie Kie buat rampas pulang kuda mereka. Mereka tidak berhasil merampas pulang kuda itu, tapi mereka telah binasakan dua orangnya she Cie itu.

“Kau katai lain orang berandal, kau sendiri lebih jahat daripada penyamun!” berseru Lu-sie sambil menangis, seraya ia tutupi mukanya. “Kau semua, di belakang hari tak akan dapat pembalasan baik!”

Cie Lim gusar sekali, ia hendak gaplok pula isterinya itu, tetapi kapan ia lihat muka itu merah dan bengkak, ia tarik pulang tangannya.

“Dasar orang celaka!” ia mendamprat, terus ia ngeloyor keluar. Diluar pintu, Siau Hoo sedang pelihara kuda, ia dupak kempolannya bocah itu hingga jatuh tengkurap. Sudah begini, karena sedang mendongkol, iapun mendamprat, katanya, “Anak celaka, kenapa kau pelihara kuda dengan rumput macam begini, apakah kau hendak bikin kuda mampus karena barang makanannya mencugak perut?”

Siau Hoo gusar diperlakukan kasar demikian, ia hendak melawan, tapi Cie Tiong dan Cie Cun segera datang sama tengah, sedang Cie Tiong tarik bocah itu pergi.

“Apa kabar, sutee?” Cie Cun tanya “Apa kau ketemu Liong jiewie suheng? Mereka itu mendapat luka atau tidak?”

“Tidak, tidak sampai terluka.” Sahut Cie Lim sambil geleng kepala. “Kalau kita murid-murid Kun Lun Pay keluar dan terluka itulah hebat sekali. Saudara Cie Liong dan Cie Khie telah pergi ke Sucoan Utara, benar mereka telah kehilangan dua ekor kuda, akan tetapi nama mereka jadi kesohor sekali, mereka sudah angkat naik derajat kita kaum Kun Lun Pay! Selama sepuluh hari aku berdiam di Cie-yang, setiap hari kedua saudara Liong itu bicarakan secara gembira tentang pengalaman mereka. Mereka pun kagumi Long-tiong-hiap Cie Kie. Kata mereka, syukur Cie Kie ketemu mereka berdua, kalau lain orang, pasti mereka mesti rubuh di tangannya Long-tiong-hiap ...”

Cie Lim bicara dengan gembira  dan bernapsu, kaki- tangannya banyak digerak-geraki, sepasang  alisnya memain, Cie Cun bersama Cie Wan, Cie Pu dan Cie Hian dengari ia, malah Cie Liong dan Siau Hoo pun turut pasang kuping.

“Dua saudara Liong sudah bunuh banyak orang, mereka telah tandingi Long-tiong-hiap Cie Kie, dengan begitu mereka telah tanam bibit permusuhan,” Cie Lim berkata lebih jauh, “maka itu, ketika aku berangkat pulang, suheng Cie Teng telah pesan aku akan sampaikan dan damaikan kepada ayahku, supaya ayah kirim beberapa orang untuk bantu dia. In percaya, kalau nanti dia antar pula piauw ke Sucoan Utara, musuh-musuhnya bakal ganggu ia.”

Kelihatannya semua saudara itu gembira dengan kabar itu.

“Siapa yang suhu hendak kirim?” mereka tanya sambil mereka kerumuni sute ini.

“Ayah belum bilang apa-apa,” Cie Lim jawab sambil geleng kepala. “Cie-yang ada satu tempat cari peruntungan yang baik, dengan menjadi piauwsu saja dalam satu tahun kita bisa kumpul beberapa ratus tail perak, tetapi siapa kepandaiannya tidak berarti, dia jangan mengharap banyak. Mungkin ayah akan kirim aku. Sekarang ini aku telah berusia tigapuluh tahun lebih tetapi aku belum pernah merantau ...”

Semua murid itu tetap tertarik hatinya, mereka senantiasa ingat itu dan mengharap-harap putusan gurunya agar mereka dikirim ke Cie-yang buat bantu persaudaraan Liong. Akan tetapi Pauw Kauwsu tidak pernah timbulkan hal itu, terus sampai lewat beberapa hari, hingga datanglah bulan pertama dan musim Cun dengan hawa udaranya yang mulai hangat dan sawah tergubah daun-daun hijau, pohon-pohon mulai bersemi sedang air sungai mulai berkericikan, karena air beku selama beberapa bulan sekarang lumer dan mengalir pula seperti biasa. Salju di puncak gunung Lam San pun turut lumer, hingga tertampaklah pohon-pohon dengan daun-daunnya yang hijau dan segar.

Sementara itu, Siau Hoo setiap hari ada berduka. Beberapa kali dalam sehari ia suka terima hinaan dari Cie Lim, Cie Wan dan Cie Po juga perlakukan tidak patut. Lain dari itu, ia dapat kenyataan sikapnya Cin Hui menjadi tawar dengan pelahan-lahan, sedang ilmu silat, sama sekali guru silat itu tidak ajarkan kepadanya.

Pada suatu hari, Siau Hoo bantui Cie Hian gosoki para- para senjata, dengan begitu ia jadi dapat ketika akan berada dekat atau berduaan dengan Ie-thio itu.

“Tidak sempurna untuk kau berdiam disini,” kata Cie Hian dengan diam-diam. “Si tua bangka sendiri belum ambil tindakan apa-apa akan tetapi anaknya yang  kedua ada busuk sekali, pasti dia tidak akan antap kau lama-lama. Lagi beberapa dua saudara Liong barangkali akan datang kemari, apabila mereka ketahui kau ada anaknya Ciehu Cie Seng, terang mereka tak akan beri kau hidup. Maka baiklah kau lekas angkat kaki! Untuk sementara kau boleh sembunyi di rumahku, kemudian aku akan dayakan untuk kau menyingkir lebih jauh. Aku akan cari sedikit uang  untuk kau bekal di jalan ...”

Tapi Siau Hoo kepal-kepal tangannya, mukanya menjadi merah dengan tiba-tiba.

“Aku tidak mau pergi!” kata ia. “Aku tidak takut pada mereka!”

Cie Hian jadi kewalahan, ia tak dapat membujuknya.

Siau Hoo seperti sudah atur rencana. Di tempat sepi sering ia gosok pisaunya. Ia pun suka gunai ketika, selagi murid-muridnya Pauw Cin Hui bubar, diam-diam ia tunggang kuda putih, akan belajar menunggang kuda diluar desa. Dalam tempo beberapa hari saja, ia sudah lantas pandai mengendalikan kuda.

Suatu hari selagi Siau Hoo tunggang kuda ketika ia dengar orang nyanyikan nyanyian pegunungan, suaranya halus dan meresap ke hatinya. Ia lantas menoleh, ia lihat tiga bocah perempuan mendatangi sambil bernyanyi, tangannya menenteng naya bambu, mereka pun berpegang tangan satu pada lain. Ia lantas kenalkan salah satu antaranya adalah Ah Loan.

“Merdu, merdu!” ia lantas memuji dengan senyumannya.

“Eh, kembali kau tunggang kuda!” Ah Loan menegur. “Jikalau pamanku pergoki kau, tentu dia bakal hajar padamu! Hayo lekas pulang!”

Siau Hoo geleng kepala.

“Aku tidak mau pulang!” jawabnya sambil tertawa.  “Aku baru mau pulang sesudah dengar cukup nyanyianmu bertiga!”

“Sudah, kita berhenti nyanyi!” kata Ah Loan, pada dua kawannya, ialah anak-anak tetangganya.

Siau Hoo loncat turun dari kudanya, ia tuntun kuda itu hingga melintang di tengah jalan. Iapun pentang kedua tangannya untuk menghalau.

“Jikalau kau tidak menyanyi sampai habis, aku tidak mau pulang,” ia kata. “Dan aku juga tidak akan ijinkan kau pulang!”

Ah Loan mengawasi dengan matanya dibuka lebar, tapi karena itu ia nampaknya jadi terlebih manis.

“Kenapa kau tidak mau beri kita pulang?” ia menegur, kedua tangannya menolak pinggang. “Apakah kau jadi berandal?”

“Benar!” Siau Hoo mengangguk. “Aku penyamun dan kau bangsa piauwsu, nyawamu adalah kereta piauw! Tinggalkan kereta piauw itu, lantas aku ijinkan kau bertiga lewat!”

“Fui!” Ah Loan berludah. Tapi ia terus tertawa cekikikan, lantas ia kata: “Siapa mau main-main dengan kau. Kita hendak pulang, untuk bekerja ... ” Kemudian, dengan sabar ia tambahkan. “Siau Hoo, aku nasehatkan padamu dengan maksud baik lekaslah kau pulang, jangan kau timbulkan kemarahannya pamanku!”

Siau Hoo merasa si nona sangat menarik hatinya, ia tertawa.

“Aku suka beri kau lewat, asal kau bertiga bagi aku semua rumput wangi yang terpilih!” kata ia.

Ketiga nona itu memang baru habis cari rumput wangi. Dua nona, yang kecilan, mendelikkan mata.

“Hak apa kau punya?” mereka tanya.

Ah Loan kedipi mata kepada dua kawannya itu.

“Baik!” kata ia pada Siau Hoo. “Hanya paling banyak kau cuma boleh dapatkan tiga! Sebenarnya buat apa kau dengan rumput wangi?”

“Baik, tiga pun cukup,” Siau Hoo bilang. “Nah, sekarang kau boleh lewat!”

Bocah ini tarik minggir kudanya, atas mana Ah Loan bertiga lantas saja lari lewati dia, sembari lari mereka itu menoleh berulang-ulang dengan tertawanya, kemudian mereka berseru : “Kita dustakan kau! Kita tidak akan bagi

...”

“Ha, kau dustakan aku?” Siau Hoo berseru, terus ia lompat naik atas kudanya untuk mengejar. Tiga nona itu berlaku cerdik, mereka lari ke pematang sawah, masih saja mereka tertawa-tawa, malah kemudian ketiganya menyanyi pula. Ah Loan masih suka menoleh untuk godai Siau Hoo.

Dalam mendelunya, Siau Hoo loncat turun  dari kudanya, ia hendak menguber ke gili-gili, ketika dengan sekonyong-konyong ia dengar bentakan : “Kembali!” ia kaget ia terus berpaling. Segera ia tampak Pauw Cie Lim yang sedang mendatangi dari arah utara. Dengan masih pegangi les kuda, Siau Hoo mengawasi dengan bengong.

Cie Lim lantas menghampiri, terang ia ada gusar, karena datang-datang ia lantas dupak beberapa kali pada bocah itu.

“Cucu kura-kura!” ia mendamprat. “Kembali kau curi menunggang kuda?”

Siau Hoo gusar bukan main, akan tetapi ia ingat yang ia ada terlebih kecil, sukar untuk ia melawan, maka tempo ia ditendang pula, ia berkelit.

Cie Lim masih mendamprat beberapa kali, lantas ia loncat naik ke atas kudanya dan pulang.

Dalam mendongkolnya, murkanya, tetapi tidak berdaya, Siau Hoo lantas duduk numprah di tepi jalan, sembari tunduk, dengan tangannya ia buat main tanah.

Selagi begitu, tiba-tiba Ah Loan menghampiri ia. Nona cllik ini lihat apa yang terjadi ia kasihkan nayanya pada dua kawannya, ia lari pada Siau Hoo. Malah ia terus jongkok di sampingnya Siau Hoo.

“Bagaimana?” tanya ia dengan pelahan. “Berapa kali  kau telah didupak? Sakit atau tidak!”

Siau Hoo tidak menjawab, ia hanya tunduk terus. Ah Loan pegang orang punya  pundak. Ia dekati kepalanya.

“Bagaimana eh? Kau menangis?” tanya ia.

Siau Hoo tidak nangis tetapi pertanyaannya nona itu bikin air matanya meleleh, mengetel jatuh ketanah.

Kelihatan Ah Loan berduka, ia tolong lepaskan orang punya air mata.

“Pendapatku lebih baik kau angkat kaki,” nona ini kata. “Kalau kau terus tinggal disini, lama-lama mungkin kau bisa dipukul sampai mati oleh mereka ...”

Siau Hoo seka air matanya, ia manggut.

“Aku memang niat menyingkir,” sahutnya. “Hanya masih ada sesuatu yang aku belum selesaikan ...”

“Urusan apakah itu?” Ah Loan tanya. “Apakah karena kau tidak mempunyai uang?”

“Aku memang tidak    mempunyai  uang,   tetapi itu bukanlah soalnya, hanya masih ada urusan ...”

Setelah kata begitu ia berbangkit.

Ah Loan pun turut bangun. Siau Hoo cekal orang punya tangan dengan keras.

“Ingat, jangan beri tahu siapa juga yang aku hendak singkirkan diri,” ia pesan dengan wanti-wanti. “Asal kau buka rahasia aku bisa mati ...”

Ah Loan nampaknya takut.

“Tidak, aku tidak akan buka rahasia,” ia  berikan janjinya. “Nah, pergilah pilih akar wangimu, aku sekarang hendak pulang,” kata Siau Hoo. Ia terus bertindak pergi denan pelahan-lahan.

Ah Loan mengawasi, lantas ia kembali pada dua kawannya.

Beberapa hari telah lewat sejak kejadian di atas. Hawa udara telah menjadi bertambah hangat.

Setiap hari di waktu pagi, Ah Loan turut pamannya berlatih silat, siangnya ia main layang-layang. Ia mempunyai layang-layang kupu-kupu yang ia sayangi. Itu ada layang-layang yang ayahnya beli dari Han-tiong dan sengaja kirim padanya.

Ia ada hidup senang dan gembira. Tidak demikian dengan Siau Hoo yang hidupnya makin sengsara. Cie Lim tidak beri lain pekerjaan kecuali memelihara babi, yang pun mesti diangon, dan kalau malam dia disuruh tidur di gubuk rumput di samping kandang babi. Maka, baru lewat beberapa hari iapun sudah mirip dengan binatang rawatannya saja. Pakaiannya kotor, mukanya dekil. Ia sering kerutkan dahi, namun semangatnya tetap berkobar, dan ketika ia dengar kabar persaudaraan Liong dari Cie- yang bakal datang, ia menanti dengan semangat menyala- nyala. Berbareng dengan itu, Cie Han juga berhasil mengumpulkan lima tail perak, yang mana ia sudah serahkan pada keponakannya itu siapa ia anjurkan segera angkat kaki.

Siau Hoo sudah ambil putusan untuk berangkat, akan tetapi ia nampaknya ayal-ayalan. Orang tidak tahu ia hendak tunggu apa. Selamanya ia sembunyikan pisaunya yang sudah diasah tajam.

Itu hari selewatnya tengah hari, Siau Hoo giring belasan ekor babinya keluar dusun, ke empang, dimana semua binatang itu diumbar, ia sendiri duduk numprah di tepi empang itu. Beberapa kali ia tertawa sendirinya, pun kadang-kadang ia kertak gigi. Di tempat seperti itu pasti sekali tidak ada orang yang perhatikan dia. Hanya setelah berselang lama, kelihatan Ah Loan lari mendatangi dengan melintas jembatan dan terus menghampiri.

“Siau Hoo, Siau Hoo, layang-layangku nyangkut di pohon!” kata si nona. “Tolong kau naik pohon itu dan turunkan layang-layangku itu!”

“Ah, masa bodoh!” sahut si bocah dengan geleng kepala. Tapi entah kenapa, asal Ah Loan dekati dia hatinya Siau Hoo terluka, segera lenyaplah semua penderitaannya. Nona itu seperti ada mempunyai ilmu untuk bikin  hatinya terbuka.

Ah Loan datang lebih dekat.

“Siau Hoo, tolonglah,” ia memohon. “Aku sayang betul layang-layang kupu-kupu itu. Hayo, tolongah aku ...”

Nona ini lantas banting-banting kaki, ia campaknya seperti mau mewek.

Siau Hoo berbangkit.

“Bagaimana kalau nanti aku sudah pergi dan sini?” tanya ia. “Kalau layang-layangmu nyangkut pula, siapa nanti panjat pohon untuk menurunkannya?”

“Sesudah kau pergi, langit pun panas, aku tidak main layang-layang pula,” jawab si nona. “Mustahil kau pergi untuk tidak kembali lagi. Aku nanti tunggu sampai kau sudah kembali, baru aku main layang-layang pula ...”

Siau Hoo tidak menjawab, tetapi didalam hatinya  ia kata: “Hm, aku kembali?” Ia terus ambil galanya yang diperuntukkan menggiring babi, ia ikuti si nona. Belum jauh sehabis melewati jembatan, sudah kelihatan sebuah pohon yang-liu yang besar di atas mana layang-layang kupu-kupu itu nyangkut.

“Hayo, Siau Hoo yang baik, tolong turunkan layang- layangku itu!” kata Ah Loan. Nyata bukan main sayangnya ia akan layang-layangnya itu. Ia pentang kedua tangannya, agaknya ia memohon dengan sangat.

Siau Hoo awasi nona ini, tiba-tiba ia berpikir: “Kalau nanti aku pergi, entah kapan aku kembali ... Bila kelak aku kembali, dia tentu sudah dewasa, atau barangkali dia sudah menikah, itu waktu pasti dia tak perdulikan lagi padaku ... Apa ia akan ingat aku sudah panjat pohon akan tolong turunkan layang-layangnya ini.

Ingat ini, ia lantas geleng-geleng kepala. “Tidak, aku tidak bisa panjat pohon ini!” kata ia.

Ah Loan terkejut, ia tarik oang punya tangan.

“Siau Hoo yang baik, kau tolongilah aku,” ia memohon. “Aku tahu kau sanggup panjat pohon itu ...”

Siau Hoo mengawasi, ia kerutkan dahi. Tiba-tiba ia tertawa.

“Tetapi aku panjat pohon tidak dengan percuma-cuma saja,” kemudian ia kata. “Kau mesti berikan suatu  apa padaku ...”

“Sebutkan saja, semua akan terima baik!” sahut si nona dengan cepat.

“Kau terima atau tidak kalau aku panggil ‘istriku’ padamu?”

Mendengar ini, mukanya si nona menjadi merah, ia malu berbareng mendongkol, hampir ia ulur tangannya akan gaplok orang di depannya itu bila ia tidak kuatir Siau Hoo benar-benar akan menolaknya menolongi dia, ia tidak berikan jawaban, cuma sambil gigit giginya, ia manggut.

Segera Siau Hoo jadi semangat ia lempar galahnya. Ia lantas peluk pohon yang-liu itu akan memanjat naik, ia ada gesit seperti kera, sebentar saja ia sudah sampai di atas, akan turunkan layang-layang kupu-kupu itu.

“Lemparkan!” kata Ah Loan, yang dongak mengawasi, kedua tangannya dipentang untuk menyanggapi.

“Hayo, kau lepaslah!”

Siau Hoo tidak mau melepaskan, ia turun dengan pegangi layang-layang itu dengan tangannya yang sebelah, kira-kira lagi setumbak sampai di tanah, ia loncat turun terus ia tertawa.

“Sekarang waktunya aku panggil kau!” kata ia. Tapi mukanya pun menjadi merah. Terus saja ia memanggil, “Oh, istriku ...”

Mukanya Ah Loan jadi terlebih-lebih merah, ia  ulur tangannya akan sambuti layang-layangnya ini, ia melihat kesekitarnya dimana tidak ada lain orang. Ia  gigit pula giginya tetapi ia terus menyahuti, “Ya ... ” Suaranya ada sangat pelahan. Begitu lekas ia sudah cekal layang- layangnya, ia lari dengan segera, ngacir pulang.

Siau Hoo girang bukan main.

“Dia telah jadi istriku,” kata ia dalam hatinya. “Nanti, sesudah belajar sempurna dan selesai menuntut balas, aku akan buka piauwtiam yang besar, dengan menunggang kuda pilihan dan mengenakan pakaian mewah, aku nanti lamar dia ini, aku mesti dapati padanya ...”

Ia pungut galahnya, ia  bubat-babitkan itu, girangnya bukan kepalang. Hampir di saat itu, dan jurusan Timur selatan terlihat debu mengepul naik, diantara suara berketoprakan, kelihatan dua ekor kuda besar dan hitam kabur mendatangi. Dua penunggangnya yang berumur masing-masing tiga- puluh tahun kurang lebih, ada bertubuh tinggi besar, potongannya kekar, romannya bengis. Sebentar saja dua penungang itu lewat di depannya bocah ini, terus masuk kedalam kampung.

Melihat orang memasuki Pauw-kee-cun, Siau Hoo kaget, lantas saja ia giring semua babinya pulang. Di depan rumah Cin Hui ia lihat kedua kuda tadi sudah ditambat.

-ooo0dw0ooo-

Bab 02

SIAU HOO GIRING BABINYA KE kandang, sehabis itu ia lalu balik ke rumah besar. Di ruangan Selatan ia lihat ada orang-orang asyik bercakap-cakap. Ia bertindak menghampiri, ia lihat Tan Cie Cun, Lauw Cie Wan dan Pauw Cie Lim, yang sedang pasang omong dengan kedua orang tadi, siapa dipanggil dengan panggilan Liong Jieko dan Liong Shako. Jadi mereka itu adalah kedua musuhnya yang telah bunuh ayahnya. Maka dengan tiba-tiba amarahnya timbul, hingga kedua matanya mengeluarkan cahaya.

“Hayo pergi!” Cie Lim membentak begitu lekas ia lihat bocah itu, ia perlihatkan sikap sangat congkak dan bengis. “Bagaimana kau berani lancang masuk ke mari! Pergi bawa itu dua ekor kuda dan pelihara!”

Siau Hoo diam, tapi ia putar tubuhnya akan bertindak pergi. Justru itu, Cie Lim lompat padanya, cekal ia dengan keras. Ia menyangka Cie Lim hendak aniaya padanya, ia hendak cabut pisaunya untuk melawan. Tapi Cie Lim  sudah lepaskan tangannya dan tertawa.

“Jiewie koko tentu tidak kenal anak ini?” kata Cie Lim pada dua tetamunya seraya tunjuk Siau Hoo.

“Bocah ini ada anaknya Cie Seng. Koko semua tentu ingat bagaimana cakapnya Cie Seng, tetapi anaknya ini ada begini macam, mirip dengan seekor anjing buduk! ...”

Dua saudara Liong itu tertawa terpingkal-pingkal.

“Nah, pergilah kau!” kata Cie lim, yang dorong bocah itu. Kemudian ia tambahkan pada dua saudaranya itu, “tadinya ayahku sangka bocah ini ada satu anak luar biasa, sekarang baru ayah ketahui dia ini ada satu anak tolol!”

Mendengar itu, kembali dua saudara Liong tertawa, juga yang lain-lain.

Siau Hoo berlalu dengan sangat memdongkoI, ia sampai dipelatok penambat kuda, ketika ia hendak loloskan kudanya kedua saudara Liong itu, mendadak ia lihat Ah Loan muncul dari pintu luar, kapan si nona lihat bocah ini, mukanya jadi merah, segera ia lari terus kedalam. Tapi ia lari sesudah ia tertawa!

“Ah, Ah Loan, kau lihat nanti!” kata anak ini dalam hatinya. “Aku nanti bikin kau kagumi aku!”

Lantas ia tuntun kedua kuda itu ke istal, yang berada dekat kandang babi. Kandang babi ini menyambung dengan batas pekarangan rumah tinggal, untuk itu ada dibikinkan jalan tembusannya, kalau malam, pintunya ditutup dan dikunci.

Seorang diri Siau Hoo beri makan kedua kuda itu, hatinya panas bukan main, seperti api membakar, hingga ia jadi serba salah, duduk salah, berdiri salah. Ia harap-harap sang sore lekas datang, akan tetapi ia rasakan matahari jalannya seperti lambat sekali. Ia pergi ke depan pintu, disitu ia jongkok, pikirannya kusut.

Tidak antara lama Cie Tiong datang bersama Cie Po, mereka masuk kedalam. Tidak lama kemudian, Cie Hian pun muncul. Dengan sikap sangat sibuk, ia kata pada keponakannya : “Ah, anak! Kemarin aku sudah beri uang padamu untuk kau menyingkir, mengapa kau masih belum pergi? Kau sudah berumur empat belas, kemana juga kau pergi, tak akan kau tak dapat makan! Kenapa kau masih diam disini? Lihat, dua saudara Liong sudah datang! Mereka tinggal disini tidak lama, tetapi sedikitnya tentu untuk tujuh atau delapan hari. Selama itu apa kau kira mereka tak akan dapat tahu hal kau? Si tua bangka she Pauw atau Cie Lim, pasti akan berbuat begitu juga! Mereka akan beri tahu kedua saudara itu bahwa kau hendak bikin pembalasan terhadapnya. Apa mereka berdua tidak akan berdaya untuk binasakan kau? Maka, lekas kau angkat kaki!”

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar