Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 17

Jilid 17

KETIKA Itu Ah Loan menoleh, hingga kelihatanlah rantai emasnya yang bergemerlap. Tak tahan hatinya Kong Kiat, ia ulur tangannya akan raba itu. “Apakah ini terbuat dari emas?” tanya ia. “Dimana dibuatnya? Di Tin-pa tidak nanti ada tukang sepandai ini!“

Ah Loan tolak orang punya tangan, atas mana  Kong Kiat balik cekal itu.

“Sebenarnya kenapa kau tak hendak baik dengan aku?“ tanya ia tetapi sambil tertawa.

Ah Loan tarik pulang tangannya, ia samber goloknya yang tergantung ditembok.

Kong Kiat kuatir ia nanti diserang pula, segera ia-pun samber pedangnya.

Sinona, atau si “Isteri,” ambil goloknya untuk kembali bercokol diatas pembaringan, ia hunus itu buat  terus digosoki dengan saputangannya yang merah.

Melihat itu, Kong Kiat tertawa sendirinya, lantas  ia letaki pula pedangnya. Ia sebenarnya niat dekat isteri itu untuk dajak bicara, tapi ia  sangsi, ia kutitir “ketemu pakunya”. Maka ia jadi berdiri diam. Hanya kemudian, dengan jumawa ia kata: “Malam ini belum tentu Kang Siau Hoo datang! Jikalau dia toh datang, kebetulan sekali. aku memang sudah siap untuk melayaninya! Tidak tunggu sampai dia dapat lihat aku, aku akan buat dia mampus! Kemudian ... “

Dia ingin lanjutkan bahwa ia hendak wakili Kun Lun  Pay menyinkirkan musuhnya. bahwa setelah mana ia hendak pergi “terbang melayang,” karena ia  toh tak hiraukan lagi “Isteri” itu, akan tetapi, ia berhenti dengan tiba-tiba karena Ah Loan, yang deliki ia, sudah loncat turun dari pembaringannya. sambil bawa goloknya nona itu pergi keluar.

Kong Kiat cepat menyusul, hingga ia masih dapat lihat isterinya itu menjejak tanah akan loncat naik keatas genteng. Ia tertawa sendirinya. Ia-pun lalu melesat naik untuk menyusul.

Disebelah depan merkea, dibalik tembok, ada pegawai piaukiok yang sedang pasang mata sambil sembunyi, dia tidak lihat suami istri itu. tahu-tahu dia tampak ada orang di atas genteng, karena dia tidak dapat melihat roman orang, terus saja dia berteriak : “Ada penjahat!“ Tangannyapun lantas menyusul memalu gembreng.

Kong Kiat terkejut, ia mendongkol, ia lompat turun pada pegawai itu, terus ia berikan dupakan, hingga orang rubuh terguling berikut gembrengnya yang kembali menerbitkan suara berisik.

“Orang tolol!” pemuda itu mendamprat. “Apakah kau benar tidak lihat kamarku masih ada apinya dan aku baru keluar dari kamar!”

Itu waktu berisiklah suara orang didalam piau-tiam itu, segera muncul Kat Cie Kiang bersama Tio Cie Liong, Tan Cie Cun, Yo Cie Kie’, Wan Cie hiap dan lain-lain, yang semua bersenjata lengkap. Sedang diantara pegawai- pegawai ada yang telah nyalakan tanglung. Yang hebat adalah pegawai yang bunyikan paso tembaga dengan seru.

“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!“ Kong Kiat segera berseru berulang-ulang. “Bersama isteriku aku naik keatas genteng untuk meronda, tapi si tolol ini sudah lantas palu gembrengnya! Sebenarnya dia belum melihat nyata! ... ”

Ketika itu si pengawal merayap bangun tetapi Kong Kiat dupak pula padanya hingga ia kembali ngusruk jatuh, kemudian pemuda itu sentil kupingnya pegawai yang memain paso seraya mendamprat juga.

Cie Kiang mendongkol berbareng malu kapan ia sudah ketahui duduknya hal. “Sudah, jangan berisik!” kata ia, “Kalau orang luar dengar ini, kita malu! Kita toh ada bangsa piausu? Akh!”

Cie Kiang minta semua orang undurkan diri, tapi jusrru itu, pintu depan terdengar tergedor hebat. Inilah sebab suara gembreng tadi telah dapat didengar oleh orang ronda, siapa sudah lantas lari kekantor untuk beri laporan pada para pembear negeri, hingga Sin-na Teng Jie datang bersama orang-orangnya, semua membawa gaetan dan thie-chio, Teng Jie sendiri siap dengan goloknya.

“Mana penjahatnya?” tanya orang polisi ini, apabila ia telah dibukakan pintu dan nerobos masuk kedalam.

“Penjahat sudah kabur,” sahut Cie Kiang dengan terpaksa, mukanya merah. “Tadi orangku ada dengar suara diatas genteng, ketika aku datang, penjahat itu sudah lenyap kabur ... “

“Pasti dia ada satu penjahat terbang,” nyatakan Teng Jie. “Bisa jadi dia belum kabur jauh.”

Ia terus perintah ambil tangga dengan itu ia naik sendiri keatas genteng. Tapi benar seperti katanya Cie Kiang, penjahat tidak ada. Maka ia lantas turun pula.

“Jangan kuatir, Liok-ya,” orang polisi ini menghibur tuan rumah. “Aku nanti tinggalkan beberapa orang untuk bantu kau buat penjagaan.”

“Jangan, tidak usah,” Cie Kiang menampik. “Kita disini ada yang jaga malam, orang-pun tidak sedikit. Pendeknya asal kita sudah kurung si penjahat, kita nanti bunyikan gembreng, itu waktu Jie-ko barulah datang bersama orang- orangmu untuk membantu!”

Teng Jie berpikir. “Begitu-pun baik,” kemudian ia kata. “Tapi aku percaya penjahat tidak akan berani datang pula ... “

Lantas kepala polisi ini ajak orang-orangnya berangkat pulang.

Kong Kiat masuk ke kamarnya, tak lama lagi Ah Loan- pun menyusul masuk.

“Lihat, semua orang itu tak ada gunanya!” kata suami itu dengan sangat mendongkol. “Aku benar-benar tak mengerti, selama beberapa tahun ini piau apa yang mereka lindungi? Bagaimana orang-orang tak berguna itu bisa merantau dalam dunia kangouw? Tadinya aku dengar Kat Liokya ada satu hoohan kenamaan, sekarang ternyata begini saja Kim-too Gin piau Tiat Pa Ong itu ... Kalau tidak ada mereka yang membuat kacau, pasti sekali aku sudah mampu bekuk Kang Siau Hoo.”

Ah Loan antap orang ngoceh, ia  diam saja, tetapi mukanya merah, ia lemparkan goloknya keatas meja, ia jatuhkan diri keatas kursi disamping meja itu, dimana ia bertopang dagu dengan sebelah tangannya.

Kong Kiat masih mendelu, ia menggerutu  dalam hatinya:

“Benar-benar gila! Aku telah bantu orang-orang Kun  Lun Pay, apa yang akn harap? Pau Lootaucu nikahkan cucunya perempuan padaku, tetapi aku seperti bukan menikah saja! Teranglah orang telah tak pandang mata padaku, aku jadi sia2kan hari depanku! Apakah dengan begini aku tetap ada satu laki-laki?“

Ia lemparkan pedangnya keatas pembaringan.

“Masa bodoh sekarang!” ia  menggerutu pula, tetap dalam hati. “Aku tidak mau campur pula urusan disini, besok aku berangkat dari Kwan-tiong ini!” Baru ia pikir sampai disitu, pikirannya segera berubah pula.

“Itulah aku tak dapat lakukan,” demikian datang pikiran baru, “Secara begini benar-benar aku dipaksa kabur oleh Kang Siau Hoo, sampai-pun isteriku aku tinggal pergi! Apakah itu tidak memalukan?”

Ia lirik Ah Loan disampingnya, ia nampak orang dengan kuncirnya yang menarik hati, yang menambah kecantikannya, hingga ia merasa berat untuk meninggalkanya. Walau-pun si nona sendiri tidak mencintai kepadanya. Maka ia jadi masgul.

“Dasar si tua bangka she Pau yang liehay!“ akhirnya ia berpikir pula. “Aku telah terjebak tipu Bie Jin Kee, tipu perempuan cantik! Sekarang aku bukan meulu mesti jaga diri dari Kang Siau Hoo, juga dari mereka orang-orang Kun Lun Pay terhadap siapa aku tidak mestinya berlaku jujur lagi ...”

Lebih jauh ia-pun ingat pula hatinya ketika hendak berangkat dari Tay-san-kwan, selagi berpisahan Pau Kun Lun telah serahkan padanya dua pucuk surat untuk kat Cie Kiang dan Kang Siau Hoo, tetapi dalam suratnya Cie Kiang itu-pun terlampir untuk Kang Siau Hoo pula. Ia  lalu menduga-duga: Ada apa bedanya diantara dua buah surat itu?”

Saking penasaran dan ingin tahu, Kong Kiat segera cari surat itu yang ia terus buka, di depan api ia baca. Demikian bunyi nya:

“Kepada

Kang Siau Hoo yang terhormat!

Kau pasti hendak menuntut balas dan membunuh aku, baiklah aku nanti kurbankan jiwa tuaku ini! Aku undang kau ke San-im- kok di distrik Lokyang. disitu aku akan serahkan padamu kepalaku yang sudah ubanan! Aku tidak akan menyesal!

Hormatnya Cin Hui.”

Setelah tabis membaca, Kong Kiat bawa surat itu ke depan Ah Loan, tetapi karena ia kuatir si nona tidak mengarti surat, ia terus bacakan bunyinya, sesudah mana, ia tertawa secara mengejek, sedang surat itu ia robek hancur.

“Kau sudah lihat sekarang!” kata ia, Loo ya-cu  pesan aku, apabila sudah sangat terpaksa, surat ini aku mesti sampaikan pada Kang Siau Hoo! Tapi aku tidak akan lakukan itu! Umpama pedangnya Kang Siau Hoo sudah menancap didalam di dadakupun tidak nanti aku bocorkan tempat sembunyinya Loo-ya-cu! Aku tahu, dengan bantu Kun Lun Pay, bagiku tiada faedahnya. Terus-terang aku katakan bahwa bugeenya Kang Siau Hoo  ada  terlebih liehay dari padaku, walau-pun demikian, satu kali aku bantu kau, aku akan membantu sampai di akhirnya! Aku berhenti membantu sesudahnya Kang Siau Hoo bunuh aku! ini bukan berarti aku sangat tolol dan dogol tetapi aku hendak pegang kepercayaan dan kehormatanku!“

Lantas ia-pun tidak mau tinggalkan bekas2nya surat itu, ia bawa ke api dan dibakar menjadi abu, kemudian ia putar tubuhnya akan menghampiri pembaringan, sembari pegang pedangnya ia rebahkan diri.

Sikap gagah dari si pemuda membuat Ah Loan heran dan kagum, bukannya ia gusar, ia justeru menoleh akan mengawasi. Itulah orang muda dengan siapa dia sudah jalankan upacara terhadap Langit dan Bumi, ialah sebagai suaminya yang syah. Sekarang pemuda itu tidur tetapi dengan cekal pedang dan tidak salin pakaian, tidak lepaskan kaos kaki dan sepatu, maka umpama kata ketika itu Kang Siau Hoo muncul disitu, pasti dia akan lompat bangun akan bertempur mati2an ... Kalau dia sampai binasa, apa tidak kasihan?

Lantas nona ini berpikir lebih jauh.

Pertama terhadap Lie Hong Kiat, kalau tidak suami ini yang bantu menangkis orang she Lie itu, entah berapa banyak kurban lagi akan rubuh dipihak Kun Lun Pay?

Sekarang terhadap Kang Siau Hoo. Apakah yang akan terjadi? Suaminya hendak membela mati pula! Tetapi ia telah perlakukan tidak bagus kepadanya, ia pandang suami itu bagaikan musuh saja.

Ah Loan jadi sangat berduka. Ia turun dari pembaringannya. Ia niat menghampiri dan bangunkan suami itu untuk mereka bicara dengan manis. Ia  ingin utarakan cinta-kasihnya.. Tapi tiba ia bersedih hati, airmatanya terus turun, maka ia duduk pula, dengan kedua tangannya ia tutupi muka. Ia menangis.

Kong Kiat tidak hiburkan isterinya itu. Waktu itu kalau dia berbangkit dan menghampirinya, dengan manis-budi dan lemah-lembut dia menghiburkan, bisa jadi si nona menangis dalam rangkulannya. Tetapi dia telah tertidur. Hingga lewatlah satu ketika yang baik ...

Ah Loan berbangkit pula, ia ingin mendekati suami itu untuk selimuti tubuhnya. Akan tetapi disaat itu tiba-tiba ada suatu perasaan yang cegah ia, hingga ia jadi berdiri diam saja.

Sesudah tadi piau-tiam sangat berisik, sekarang segala apa ada sunyi-senyap. Justeru itu didalam pekarangan dalam ada terdengar suatu suara sangat keras  bagaikan bukit ambruk. Saking terperanjat, Ah Loan samber goloknya, akan tetapi sebelum ia loncat ke luar, Kong Kiat yang terbangun dengan kaget, dengan bawa pedangnya, sudah mendahului ia lompat keluar kamar.

Pegawai yang memasang mata tadi-pun kaget, tetapi ia ingat akan pengalamannya, ia tidak berani palu gembrengnya ia hanya kabur kedalam, gembreng dan pukulannya ia lemparkan ketanah.

Kong Kiai sampai dipekarangan akan tampak suatu batu besar terletak melintang, ia lantas teriaki orang untuk bawakan lentera.

Ketika itu Kat Cie Kiang muncul bersama Thio Cie Liong, Tan Cie Cun, Yo Cie Kin dan yang lain2, disusul oleh pegawai lain lantas bunyikan gembrengnya.

Orang segera kenalkan batu itu adalah tugu disudut tembok diluar piau-tiam, yang berukiran “Tay Sin Sek Kam Tong.” Orang menjadi heran sekali, semua menduga-duga, siapa sanggup cabut dan angkat itu dan membawanya kedalam piau-tiam. Semua orang ternganga.

“Pasti Kang Siau Hoo telah datang!“ akhirnya Kong Kiat bilang. Kemudian lompat naik kegenteng untuk  mencari. Yo Cie Kin dan yang lain2 segera menyusul.

Mereka mencari kesegala penjuru, akan tetapi Kang Siau Hoo tidak kedapatan.

Tidak antara lama, Sin-na Teng Jie-pun datang bersama sejumlah polisi. Mereka pasang tangga untuk turut naik keatas genteng. Datangnya orang polisi ini membuat piau- tiam jadi tambah berisik.

Ah Loan, yang telah turut keluar, tidak ambil tindakan apa-apa malah ketika ia dengar dugaannya Kong Kiat, bahwa yang datang adalah Kang Siau Hoo. Ia sampai malas angkat goloknya. Begitulah ia memikir untuk lantas kembali ke kamarnya. Dengan lesu ia bertindak kedalam. Akan tetapi ketika ia melihat jendela kamarnya, ia terkejut. Ia ingat benar, ketika tadi ia susul Kong Kiat memburu keluar, ia tidak tiup padam api dikamarnya, akan tetapi sekarang kamarnya itu tak ada penerangan. Orang semua sedang kaget, heran dan sibuk, tidak ada yang perhatikan kamar si nona ini.

Dengan merasa heran tetapi-pun dengan hati2, sedang goloknya siap-sedia, Ah Loan bertindak dengan pelahan- lahan masuk kedalam kamarnya itu. Ia tidak dapat lihat suatu apa, ia tidak dengar suaa apa-pun yang mencurigai. Ia dapat jemput bahan api untuk dinyalakan, buat ia pasang lampu.

Kemudian ia tutup pintu, kembali ia perhatikan seluruh kamarnya, sampai-pun ia longok kolong pembaringan. Ia tidak lihat atau dapatkan apa juga! Ia tengah memeriksa, Kong Kiat telah kembali dan terus masuk kedalam kamar.

“Kau cari apa?” tanya suami ini.

Isteri ini berdiam, mukanya jadi merah tetapi ia tidak menyahut, ia diam saja..Ketika ia  telah angkat  kepalanya, ia tercengang. Ditembok ada tertempel sehelai surat. Ia hendak lompat akan ambil itu, siapa tahu, Kong Kiat sudah mendahuluinya. Sebab suami ini-pun telah dapat lihat surat itu. Ia tidak senang, ia lompat terus samber kertas itu dari tangannya sang suami, disebelah itu, ia angkat goloknya.

“Beri aku lihat!” ia minta sambil mengancam.

Kong Kiat tidak perdulikan ancaman itu, ia tidak mau menyerahkannya, dan itu keduanya jadi bergujangan, hingga kertas jadi tersobek dua. Dengan bawa sobekannya yang sebelah, Kong Kiat loncat keluar kamar.

Ah Loa yang dapat sobekan yang sebelahnya, dengan napas sengal-sengal ia bawa itu kedepan api, ia beber dan baca :

“Adik Ah Loan yang baik,

Sepuluh tahun kita sudah berpisahan, setiap saat aku memikir untuk ... urusan telah sampai disini ... kita berdua mesti lebih dahulu ...

Besok ...

Kang ...

Ah Loan cuma bisa baca demikian, kata-kata lainnya berada dalam sobekan yang dirampas Kong Kiat, akan tetapi, inipun sudah cukup untuk ia  dapat mengarti maksudnya surat itu. Jadi Siau Hoo tidak pernah lupai dia

... “ Tanpa merasa air matanya lantas bercucuran. Walau- pun demikian, ia toh segera bakar sobekan surat itu.

Dilain pihak Kong Kiat sudah pergi kelain kamar, akan baca sobekan surat itu tanpa gangguan. Ia cari api, dimuka itu ia membaca:

... bicara ... pagi2 ... kita bertemu ... di jembatan Pa Kio.

... Siau Hoo.”

Masih ada dua huruf lain yung tidak nyata, tapi rupanya itu ada kata-kata:

“Dengan ini ...

Kong Kiat menduga, itu dimaksudkan tugu yang dilemparkan itu, untuk hunjuk tenaga besar dan orang yang melemparnya. Ia bersenyum ewa. Ia  padamkan api, ia kembali kepekarangan. “Pasti Kang Siau Hoo sudah kabur, pergi lekas susul padanya!“ dia kata pada Cie Kiang beramai. Kemudian ia sendiri lantas kembali kekamarnya. Ia dapatkan isterinya sedang rebah diatas pembaringan, tapi ia terus berkata : “Kang Siau Hoo sudah gunakan ketika orang ribut diluar dan kanar kita ini kosong, ia masuk ke dalam untuk meningglkan suratnya. Mana sobekan yang sebelahnya lagi? Mari beri aku lihat!“

Ah Loan tidak menjawab, ia tidak bangun, hanya ia cekal goloknya.

Kong Kiat tidak berani dekati isteri itu.

“Surat itu sangat penting!“ katanya, agaknya ia sangat sibuk, hinga ia banting kaki. “Hal ini ada mengenai kalah- menangnya kaum Kun Lun Pay, penting mengenai mati- hidupnya engkongmu! Lekas beri aku lihat surat itu!”

Dengan mendonglol Ah Loan jawab:

“Aku sudah bakar itu!”

Kong Kiat melengak, tetapi cuma sebentar saja, lalu ia kata-kata: “Janganlah kau goda aku!. Kalau urusan jadi hebat, itulah tidak mengenai aku, aku paling juga lepas tangan.”

Ah Loan angkat kepalanya, ia melotot.

“Apakah kau memang tak dapat tak membantunya? Apakah kau memang tak boleh tak lepas tangan?” tegaskan ia.

“Nah, itulah sebabnya!“ sahut Kong Kiat dengan tertawa dingin. “Pertama2 adalah kepercayaan dan kehormatan seperti aku bilang tadi, dan kedua oleh karena kita berdua sudah jadi suami-isteri?” Ah Loan tertawa mengejek. Tapi ia ada sangat berduka, ia rebahkan pula kepalanya.

Kong Kiat kewalahan, ia menghela napas.

“Jangan kau bersikap demikian,” kata ia kemudian. “Secara begini kau ganggu aku, kau buat aku tidak dapat menahannya. Surat tadi walau-pun sudah terobek dua, aku toh dapat bade makudnya. Dia telah tantang kita untuk besok pibu di Pa Kio, tapi besok kau tidak usah pergi, kau tunggu saja disni, tidak sampai tengah hari pasti aku akan dapat lukai Kang Siau Hoo dan tawan padanya! Baiklah, cukup sampai disini!“

Kong Kiat putar tubuhnya dan pergi keluar. Ah Loan terkejut, ia menjadi lebih2 berduka.

Kong Kiat pergi keluar akan terus kumpulkan Cie Kiang semua, berikut Sin-na Teng Jie si Malaikat Tukang tawan. Mereka berkumpul dikantoran untuk bermupakatan. Kong Kiat dengan terus-terang kata pada mereka itu :  “Tadi, selagi kekalutan disini, Kang Siau Hoo sudah masuk kedalam kamarku, setelah meninggalkan sehelai surat, dia angkat kaki.”

Semua orang menjadi heran dan kaget.

“Kepandaian Kang Siau Hoo sebagai hui-cat, si bandit terbang, memang ada tinggi sekali,” Kong Kiat tambahkan, “Maka kita harus atur akal atau lukai dia dengan senjata rahasia. Aku ada punya beberapa batang piau, sayang semua ada piau buatan-sudah-jadi, bukannya piau pesanan. hingga tak cocok untuk aku, hanya lumayan saja. Asal aku bisa berdiri berhadapan dengan dia, satu kali saja aku ayun tanganku, aku pasti dapat melukai padanya.

Piauw dan kaum Liong Bun Pay tidak sembarangan digunakan, tetapi satu kali digunakan, seratus kali lepas, seratus kali tak akan gagal. Suratnya Kang Siau Hoo tadi

...“

“Ya, mana surat itu?” Teng Jie memotong.

“Selagi murka, aku telah robek itu,” sahut Kong Kiat. “Dia menulis ringkas saja, ialah ia janjikan aku untuk besok kita adu kepandalan di Pa Kio.”

Mukanya Kat Cie Kiang jadi pucat, ia jerih dengan lantas. Duluan melawan Lie Hong Kiat mereka sudah tdak berdaya, apapula melawan Kang Siau Hoo, ia percaya pasti mereka akan kalah.. Ia merasa bahwa piau dan Kie Kong Kiat tidak dapat diandalkan. Kalau besok mereka tidak pergi ke Pa Ko, tentulah mereka akan ditertawakan, atau Kang Siau Hoo akan datang cari mereka.

Sebaliknya apabila mereka pergi, untuk sambut tantangan, entah berapa banyak kurban akan rubuh, kurban2 terbinasa atau terluka. Dan kalau sekali ini mereka kena dijatuhkan pula, celakalah Kun Lun Pay, tidak usah sampai Siau Hoo datang untuk binasakan mereka semua, mereka akan sudah mati sendirinya karena malu ...

Selagi Cie Kiang sibuk sendirinya. Kong Kiat dan Teng Cie sudah bicara bisik2, maka ia segera mendekati untuk dengar pembicaraan mereka itu. Mereka damaikan daya untuk bekuk Kang Siau Ho. Teng Jie tidak terlalu gagah akan tetapi pengalamannya sebagai orang polisi membuat ia mempunyai banyak akal, maka sekarang ia hendak gunakan tipu, mendengar mana, Kong Kiat, dan Cie Kiang juga jadi kagum. Malah kekuatirannya piausu she Kat ini jadi lenyap dengan segera.

“Baiklah, besok aku harapkan Teng Jieya saja!“ berkata ia. “Tentang ini kita jangan bicarakan pada lain orang, bukan kita kuatirkan orang nanti bocorkan kepada Kang Siau Hoo hanya dikuatirkan Kang Siau Hoo sendiri yang dapat curi dengar ...”

Cie Kiang berkata-kata dengan suara perlahan sekali. “Jangan  terlalu  berkuatir, Kat  Susiok!”  kata  Kong Kiat

sambil  goyang-goyang  tangan.  “Aku  lihat kepandaiannya

Kang Siau Hoo tak aakan melebihi apa yang ia  telah perlihatkan. Sekarang silahkan Teng Jie-ya pulang, disini kita akan perintah beberapa orang untuk berjaga-jaga terus, besok kita boleh bertemu pula di Pa kio. Aku percaya kita pasti akan dapat bekuk Kang Siau Hoo!”

“Melainkan satu hal aku hendak jelaskan,” berkata Teng Jie. “Kang Siau Hoo mesti kita tangkap, tetapi kesalahannya tidak seberapa, dia tidak dapat dibuat mati!“

“Kita juga inginkan cukup asal dia dapat dibekuk,” Kong Kiat bilang. “Kita kehendaki, sebagai hui-cat dia nanti mendekam dalam penjara untuk empat atau lima tahun, supaya selama itu ia tidak dapat ketika akan latih ilmu silatnya, agar kemudian setelah ia merdeka pula, hilanglah kepandaiannya itu hingga kita tidak usah kuatirkan pula padanya ...”

“Memang sudah cukup asal dia mendekam empat atau lima tahun dalam penjara,” kata Cie Kiang.  “Siapa mengerti silat, apabila dia tak dapat ketika akan berlatih, urat dan tulang-ulangnya akan jadi kaku sendirinya, selanjutnya dia tak akan mampu berlatih pula.”

Sampai disitu, Teng Jie berangkat pulang bersama orangnya.

Ketika Cie Kiang semua kembali kepekarangan,  tugu tadi sudah disingkirkan oleh orang-orangnya. dikembalikan ketempat asalnya. Ingat batu itu, diam-diam Cie Kiang berkuatir pula. “Besar luar biasa tenaganya Siau Hoo.” pikir ia. “Dia demikian liehay, umpama dia dapat dibekuk besok, aku kuatir dia bisa buron pula dari penjara, pasti dia akan datang mencari balas, itu waktu, bisakah aku hidup lebih lama?”

Bukan main berdukanya piausu ini. Maka ia minta Cie Liong semua membantu buat penjagaan2, ia sendiri mauk ke kamarnya untuk tidur dengan pintu dikunci dan dipalang juga, dengan pakai meja untuk menjaga daun pintu itu. Walau-pun demikian, karena kekuatirannya untuk piebu besok, ia tak dapat tidur.

Kie Kong Kiat pun, setelah meronda lagi diatas genteng, lalu masuk kedalam kamarnya dimana ia dapati isterinya tidur dengan gotok ditangan, nampaknyn isteri itu sedang tidur nyenyak. Ia bawa api kemuka isterinya yang demikian cantik, hingga menggiurkan hatinya, maka itu, bukan main menyesalnya ia, karena ia tidak mampu  dapati nona ini ... Ia tidak berani mengawasi lama2, ia kuatir isteri itu bangun dan bacok ia, ia letaki api dimeja. Ia masih berdiri diam, hatinya bekerja ...

“Jikalau aku tetap baiki padanya, mungkin dia jadi bertambah benci padaku,” berpikir suami yang tidak beruntung ini. “Baiklah besok, sehabis bekuk Kang Siau Hoo aku beritahukan dia bahwa aku hendak pergi, barangkali dia nanti cegah aku berangkat, dan akan berbalik mencintai aku ...”

Habis berpikir demikian, Kong Kiat tutup pintu, ia padamkan api, terus ia naik ke pembaringan untuk tidur, pedangnya ia letaki disamping tubuhnya. Ia sengaja rebah jauh dari isterinya, ia harap ... si isteri mendekati dan tanya ia ... Tapi ia tidur belum lama, sang fajar sudah datang, ia bangun, ia buka pintu dan pergi keluar. Pagi itu langit mendung, hujan gerimis turun..

“Siapkan kuda!“ ia perintah satu pegawai piau-tiam, ia sendiri lantas cari Cie Kiang diruangan dalam.

Kat Piuasu juga sudah bangun dari tidurnya, ia sedang cuci muka.

“Buat apa cuci muka lagi?“ pemuda itu mendesak. “Kita mesti segera! Kalau kita ayal2an, nanti tipu-daya kita yang sudah diatur menjadi gagal. Kang Siau Hoo tentulah kabur!”

“Ya, aku akan segera siap!”sahut Cie Kang dari dalam kamarnya, “Tunggulah aku diluar!”

Kong Kiat menurut, ia pergi keruangan luar akan tengok yang lain2. ia dapatkan Cie Liong, Cie Hiap, Cie Kin, Cie Cun dan Cie Yong sudah dandan rapi, maka ia  terus kembali kekamarnya untuk dandan juga. Ia pakai celana hijau, ia tidak lupa pada piaunya, dengan tenteng pedangnya ia lekas keluar pula.

Cie Kiang, dengan bawa goloknya sudah muncul didalam pekarangan dimana ia dongak memperhatikan cuaca, hingga ia dapat perasaan, juga sang alam ada berduka terhadap mereka ... Tapi ia kuatkaa hatinya.

“Saudara-saudara,” ia berkata, “kepergian kita sekarang ini ke Pa Kio untuk tempur Kang Siau Hoo, ada beda dengan halnya dahulu kita lawan Lie Hong Kiat. Melawan Lie Hong Kiat adalah untuk muka terang dan Lie Sun Piau Tiam kita, tetapi kali ini kita hendak tangkis musuhnya seluruh kaum Kun Lun Pay, kita hendak singkirkan musuh besar dari suhu! Sekalinya ini kita pergi dengan tidak ada orang luar diantara kita. Kalau perlu, kita mesti adu jiwa kita, kita lukai dia, bunuh dia, atau tawan hidup? tetapi jangan sekali kita antap dia lolos!.” “Sudah cukup, Kat Su-siok!” Kong Kiat kata dengan tidak sabaran. “Sudah, jangan omong terlalu banyak, lekas kita berangkat!.”

Tujuh atau delapan ekor kuda sudah siap diluar pintu pekarangan, maka Cie Kiang semua lantas pergi keluar, tapi Kong Kiat kembali kekamarnya dimana ia dapatkan Ah Loan masih tidur nyenyak, goloknya tetap terletak disampingnya, ia kerebongi istri itu dengan selimut, kemudian setelah pakai tudung rumputnya yang besar, ia bertindak keluar. Di luar Cie Kiang semua sudah bercokol atas kuda mereka masing-masing.

“Lekas, lekas!” mereka itu balik mendesak.

Kong Kiat masih titahkan pegawai piau-tiam tutup dan kunci pintu pekarangan, baru ia loncat  naik  atas kudanya. Ia yang membuka jalan, yang lain mengikuti padanya.

Berisik sekali adalah suaranya kaki kuda mereka, yang melewati kota yang ramai, terus menuju keluar kota. Diwaktu masih demikian pagi, dengan gerimis halus, mereka kabur ke arah Pu Kio. Mereka baru berhenti setibanya dimuka jembatan, dengan hati masing-masing tegang, mereka hanus golok mereka. Kong Kiat setiap kali raba piaunya, matanya mengawasi keempat penjuru, juga ke pepohonan dan kemuka air.

Dijembatan, kecuali satu-dua orang, yang memakai payung dan menenteng keranjang, tidak ada orang  lain yang berlalu-lintas.

“Kita datang terlalu pagi,” kata Cie Kiang.

“Apakah Kang Siau Hoo tak dustakan kita?“ tanya Cie Cun.

Kong Kiat diam saja, ia terus memasang mata kesekitarnya. “Mari kita cari tempat untuk beristirahat,” Cie Yang usulkan. “Disebelah Timur sana ada warung teh.”

Usul itu dapat kesetujuan, dengan lintasi jemnbatan mereka pergi kesebelah Timur dimana ada dua  buah warung teh, yang memasang tetarap atau gubuk atap, meja dan kursinya sembarangan saja, Hari masih pagi tetapi kedua-dua warung teh itu sudah ada banyak juga tetamunya. yang terdiri dari tukang buah  dan tukang sayuran, mereka itu minum teh sambil dahar. Tapi Kong Kiat tahu, mereka adalah orang-orang polisi dari See-an-hu yang sedang menyamar, bersedia unsuk tawan Kang Siau Hoo.

Cie Kiang kuatir orang curigai mereka.

“Baik kita pergi kepasar saja,” kata ia. “Disini ada terlalu banyak orang!”

Baru mereka mau pergi kepasar, lantas dari jurusan Timur mereka lihat mendatangnya satu orang yang memakai payung, sebelah tangannya yang lain menenteng satu kurungan burung hoa-bie, terapi ketika orang itu telah datang dekat, ternyata dia dalah Sin-na Teng Jie yang sedang menyamar.

Selagi mendekati, Teng Jie berpura-pura menegur Cie Kiang, habis itu, ia kata dengan pelahan: “Jaring sudah dipasang. Aku sudah ketahui Kang Siau Hoo ambil tempat di Hok Goan Tiam dikota Timur akan cetapi tadi malam dia tidak pulang kepenginapannya itu, barangkali dia akan pulang tak lama lagi. Disini disekitarnya lima lie, disemua kampung, sudah ada orang-orang kita, maka kecuali dia bisa terbang. dia tidak bakal lolos. Baik kau singgah disini saja, aku-pun akan menantikan disini. Umpama Kang Siau Hoo datang, beri tanda lirikan padaku, lantas kita turun tangan.” Kong Kiat dapat dengar perkataannya orang polisi itu.

“Apabila benar Kang Siau Hoo datang, kau jangan kesusu tak keruan,” ia kata. “Satu atau dua orang boleh maju akan menghampiri padnya. tapi jangan lantas turun tangan, bicara dahulu padanya untuk ulur tempo, selama itu kita semua maju mengurung, untuk segera ...”

Kong Kiat belum bicara habis atau segera semua orang dengar suara kelenengan kuda, yang datangnya dari arah Timur, apabila semuanya berpaling. Mereka lihat itu penunggang kuda sedang mendatangi, Kudanya hitam, orangnya memakai baju hijau dan tudung rumput, tubuhnya tinggi,’ usianya muda. Dia adalah Kang Siau Hoo yang dinantikan itu!.

Sudah sepuluh tahun Tan Ce Cun berpisah dari puteranya Kang Cie Seng, dia toh masih kenali bocah itu yang sekarang telah jadi satu pemuda gagah, maka juga ia lantas tarik tangannya Kat Cie Kiang.

“Kang Siau Hoo datang! Itulah dia!“ Katanya dengan roman kuatir.

Mendengar itu, Sin-na Teng Jie lantas menyingkir dari rombongan piausu itu.

Semua mata lantas diarahkan kepada Si penunggang kuda hitam itu.

Kang Siau Hoo mendatangi dengan tenang, malah tampangnya bersenyum-senyum, pedangnya menerbitkan suara diantara suara kelenengannya. Ia lewat terus melewati Kat Cie Kiang semua menuju ke Barat, akan mendaki jembatan, kemudian dari atas kudanya ia palingkan tubuh, tangannya menggapaikan Kie Kong Kiat.

“Mari!” ia memanggil sambil bersenyum. Ke Kong Kiat sudah raba piaunya, akan tetapi menampak orang bersikap sangat tenang dan mereka itu, ia batalkan maksudnya untuk membokong.

“Hati2 jangan sembarangan turun tangan!” ia pesan Cie Kiang semua. “Juga larang orang-orang polisi lancang bergerak! Siau Hoo pandai berenang dan selulup, jikalau dia terjun ke air kita tidak berdaya lagi untuk bekuk padanya

...”

Setelah itu, ia-pun beri kudanya naik ke jembatan, untuk menghampiri.

“Sahabat,” berkata ia, “hari ini ada hari yang memutuskan kemenangan atau kekalahan atau hidup dan mati, dari itu baiklah lebih dahulu dijelaskan, kita hendak bertempur dengan cara apa? Sambil naik kuda atau ditanah saja?“

Kang Siau Hoo mengawasi, agaknya ia tidak mengarti. “Eh, siapakah yang berjanji menantang kau datang

kemari untuk adu kepandaian?” tanya ia.

Kalau orang ada sabar, Kong Kiat segera menjadi gusar. “Toh kau yang janjikan!“ ia berseru “Tadi malam kau

telah tinggalkan surat didalam kamarku!” Siau Hoo tertawa.

“Aku bukannya janjikan kau!“ kata ia. “Aku datang ke

Kwantiong adalah mencari musuh untuk menuntut balas. Aku tidak cari siapa juga kecuali Si orang she Pau dan si orang she Liong!.”

Kong Kiat cekal gagang pedangnya, ia  gusar bukan kepalang. “Surat tadi malam toh ada suratmu?“ Ia berseru. “Dengan itu kau janjikan aku akan kita piebu pagi ini! Apa benar itu bukan tulisanmu?”

Siau Hoo angkat kepalanya dengan angkuh.

“Tidak salah, surat adalah aku yang tulis,” ia menjawab. “Akan tetapi aku bukannya janji dengan kau!”

Matanya Kong Kiat mendelik.

“Habis kau janjikan siapa?” ia tegaskan. “Siau Hoo unjuk air muka yang keren.

“Yang aku janjikan adalah Pau Ah Loan, cucu

perempuan Pau Cin Hui!” jawab ia dengan nyaring. “Aku tidak punya sangkutan apa juga dengan kau sekawanan orang-orang rendah yang tidak ada harganya untuk diladeni berkelahi! ...”

Tidak tnggu sampai orang tutup mulutnya, Kie Kong Kiat sudah hunus pedangnya dan menikam dengan segera mengarah dada. Kemurkaannya Kong Kiat bukan  main besarnya.

Siau Hoo kedut kudanya, untuk menyingkir sedikit dari tusukan itu.

Dalam sengitnya, Kie Kong Kiat kirim tikaman yang kedua.

Sekali ini Siau Hoo cabut pedangnya dan menangkis.

Sampai disitu Cie Kiang majukan kudanya dengan sebelah tangan pedang ruyung kongpiau dan sebelah yang lain golok Kunlun-too, sikap ini segera ditelad oleh Cie Liong, Cie Kin dan Cie Cun semua. Mereka menyerbu kejembatan akan desak Siau Hoo. Selagi pemuda she Kang itu hendak layani semua musuh itu, yang tidak membuat hatinya gentar, tiba-tiba kelihataa dari arah Barat mendatanginya satu penunggang kuda, siapa terus saja menuju ke jembatan. Ia lantas saja kenali Ah Loan. Karena itu ia lintangkan pedangnya.

“Jangan turun tangan dahulu!” ia berseru. “Dia itu adalah orang yang aku janjikan! Dia sudah datang, aku hendak bicara sedikit padanya, setelah itu, barulah kita bertempur!”

Ia lantas majukan kudanya kedekat loneng jembatan, dengan pedang terus melintang ia mengawasi ke arah Ah Loan, siapa datang dengan dandanan sebagai satu gadis- remaja, bukannya sebagai satu nyonya. Sepasang kucirnya telah diubah menjadi satu saja kuncir yang panjang, hingcg ia tampaknya jadi terlebih menarik hati, hanya sekarang ia tidak memakai pupur atau yancie. Ia berpakaian serba hijau dengan sepasang sepatu sulam yang indah. Dibebokong kudanya yang berbulu merah ada tergantung golok, bukan golok kong-too yang pendek buatan Keluarga Ma tapi gotok Kunlun-too.

Kiau Hoo awasi nona itu, tanpa merasa ia  tertawa meringis.

“Nona Pau, sepuluh tahun kita sudah tidak bertemu, apakah kau masih kenali aku?” ia mendahului menegur.

Tampangnya Ah Loan ada muram, tetapi kedua biji matanya yang hitam ada terbuka lebar, dari mana ada air mata yang melainkan mengembeng. Ia tidak mengucap apa- apa, hanya tubuhnya sedikit gemetar. ketika itu hujan gerimis turun lebih besar, maka mukanya si nona, rambutnya dan bajunya turut basah juga, air hujan mengalir kemukanya. Tentulah air matanya turut air hujan itu mengalir turun ...

Cie Kiang semua sudah kurung Siau Hoo, akan tetapi karena datangnya si nona, aksinya mereka jadi terhalang, malah melihat sikapnya si nona dan Siau Hoo itu, mereka jadi heran. Maka semua melainkan mengawasi saja.

Kie Kong kiat panas bukan main, dengan tiba-tiba ia tikam pula Siau Hoo. Ia memang berada cukup dekat dengan lawan itu.

“Trang!” demikian satu suara keras nyaring. Itulah tangkisannya Siau Hoo.

Menjadi sangat sengit karenanya, Kong Kiat hendak menyerang pula. tapi sekarang Ah Loan menghalau dengan ia menghunus goloknya.

“Aku larang siapa juga turun tanan!” ia berseru seraya hadapi kong Kiat semua, sikapnya, suaranya, dan keren. “Cuma aku yang akan bunuh padanya! Sekarang aku hendak tanya dulu dia!”

Siau Hoo juga perdengarkan suaranya.

“Benar! Urusan kita kedua keluarga Kang dan Pau tidak ada sangkut-pautnya dengan orang luar!”

Kong Kiat masih tetap sengit, hingga ia tertawa menyindir.

“Tetapi kau harus ketahui!“ ia beri ingat, “Dia adalah isteriku. Kita sudah jalankan upacara nikah secara syah! Jikalan kau hinakan dia, pedangku akan segera buat kau mampus.”

Siau Hoo tertawa meringis, ia pandang Ah Loan.

“Kita mest cari tempat dimana kita berdua bisa bicara,” kata ia pada si nona. “Pembicaraan dari sepuluh tahun ada terlalu banyak, kila mesti lakukan itu dengan pelahan-lahan, sehabis itu, kalau aku bisa, aku nanti ujudkan pembalasanku, jikalau tidak, umpama aku terbinasa ditanganmu sekalian, aku tidak akan menyesal!” Ah Loan menangis.

“Aku-pun hendak cari kau untuk kita bicara,” jawab ia. “Kita mesti bicara dengan jelas. Nah, marilah kita pergi ke sebelah Timur jembatan!”

Siau Hoo manggut.

“Baik, marilah!” ia nyatakan akur. Ia lantas memberi hormat pada Cie Kiang beramai, ia  tambahkan pada mereka: “Tuan-tuan tunggu sebentar aku hendak pergi bersama nona Pau ke Timur sana untuk bicara beberapa patah kata.”

“Jangan ikut dia pergi, Pau Kohnio,” Yo Cie Kin mencegah. “Dia tidak kandung maksud baik!”

Cie Kiang juga hendak ajak kawan2nya akan ikuti Ah Loan, ia kuatir nona itu kena didustakan, tetapi Kie Kong Kiat cegah mereka.

“Jangan perdulikan mereka, biar mereka pergi pasang omong!“ kata suami ini, yang segera timbul cemburunya. Meski begitu, ia juga lirik semua kawan itu untuk memberi tabda.

Ah Loan sementara itu sudah jalankan kudanya ke arah Timur. Cie Kiang semua membuka jalan.

Siaw Hoo jalankan kudanya mengikuti si nona, ia baru turun dari jembatan dan jalan belum ada sepuluh tindak, tiba-tiba ia dengar samberan angin. Maka segera ia mendekam diatas kudanya, menyusul mana sebatang piau lewat diatasan kepalanya.

Menyusul itu, Kong Kiat sndah ayun tangannya, hingga piau yang kedua menyamber pula, akan tetapi kali ini Siau Hoo, yang telah putar tubuhnya, sambuti itu dengan dua jari tangannya. Kong Kiat majukan kudanya beberapa tindak, kembali ia kirim penyerangan yang  ketiga kali, ia telah menjuju dengan baik.

Siau Hoo lihat itu, ia-pun ayun tangannya, piau musuh ditangannya itu lanias melesat, menyamber piau musuh yang ke tiga, hingga ditengah jalan kedua piau telah bersomplokan, dengan terbitkan suara keras kedua piau jatuh ketanah.

“Apakah masih ada lagi?“ ia tanya sambil tertawa.

Akan tetapi sebagai jawaban, sejumlah orang meluruk padanya, berbagai galah gaetan menyamber padanya. Tiga gaetan menyamber kaki kuda, gaetan yang ke empat maju kelengannya yang kanan.

Untuk tolong lengannya itu, Siau Hoo gunakan tangannya yang kiri. Tetapi berbareng dengan itu, dua batang piau samber ia  saling-susul, hingga berbareng ia mesti berbalik jaga diri dari sasaran piau. Selagi ia loloskan diri dari bahaya piau, kudanya telah kena digaet musuh.

Menyusul itu, Cie Kiang semua maju menyerang. Demikian tipu daya mereka itu untuk bekuk lawannya.

Siau Hoo menghadapi ancaman bahaya besar, tetapi walau demikian, meski-pun kudanya sudah lantas rubuh hingga ia turut terpelanting, tubuhnya sendiri tidak ikut terguling ditanah, karena dengan satu gerakan sebat, ia bisa lompat berdiri. Hanya gaetan yang tajam telah menancap didagingnya. hingga ia mendapat luka juga. Dengan menahan sakit, ia sekarang gunakan pedangnya untuk buat perlawanan. Ia telah mesti layani Cie Kiang, Kie Kong Kiat, Tio cie Liong, Kim Cie Yong, Wan Cie Hiap, Yo Cie Kin dan Sin-na Teng Jie serta polisi2 lainnya, yang telah dengan sebat datang berkumpul hingga pertempuran jadi berjalan dengan sangat seru.

***

XIII

AH LOAN yang berjalan dimuka sudah mendekati pasar, pikirannya kusut, ia sedang memikirkan apa yang ia mesti ucapkan sebentar. Ia ada berduka dan bingung. Ia sama sekali tidak menyangka yang Kie Kong Kiat akan gunakan tipu. Ia terkejut ketika ia dengar suara berisik, dan apabila ia menoleh, ia dapatkan justeru Siau Hoo sedang terpelanting dari atas kudanya, karena kudanya itu rubuh tergaet, dan lengannya berdarah. Maka segera ia putar kudanya untuk dilarikan balik. Sementara itu Siau Hoo sudah rubuhkan Cie Hiap dan Cie Kin, setelah membuka jalan, ia lompat keluar kalangan akan menyingkir keatas jembatan.

Kie Kong Kiat mengejar, ia dapat menyandak dengan segera, karena ia masih tetap bercokol diatas kudanya, keduanya bertempur secara kipah, satu diatas kuda, yang lain berjalan kaki. Kendati demikian, Siau Hoo tidak jerih sedikitpun, malah dijurus kelima, ia tusuk rubuh lawan itu dari kudanya, berbareng dengan mana ia loncat naik atas orang punya kuda itu, yang segera ia beri kabur kesebelah Barat jembatan.

Ah Loan coba candak pemuda kita.

“Siau Hoo! Siau Hoo!” ia memanggil2 suaranya sangat berduka.

Mukanya Siau Hoo merah padam. ia ada mendongkol dan gusar. Ia sangka Ah Loan telah bersekongkol bersama Kong Kiat semua untuk perdayai padanya, hingga ia kena dibokong. Ia tabas kutung secabang yangliu, di antara hujan gerimis ia pandang si nona sambil bersenyum ewa.

“Bagus!” kata ia. “Kau dan kawan2mu sangat pintar dan telengas sekali. Ah Loan oh, perempuan hina-dina! Kau sudah lupa akan janjimu bahwa kau hendak jadi isteriku, sekaran setelah selang sepuluh tahun ... “

Berkata sampai disitu, Siau Hoo rasai hatinya sakit, lebih sakit, lebih sakit dari pada luka dibahunya itu.

Justeru itu diarah Barat itu ada mendatangi polisi serombongan orang polisi yang menunggang kuda, sedang disebelah Timur. Kat Cie Kiang mendatangi bersama Sin- na Teng Jie dan yang lain2.

Menampak demikian, Siau Hoo timpuk Ah Loan dengan cabang yangliunya, lantas ia kaburkan kudanya, sama sekali ia tidak mau menoleh lagi, karena hatinya sangat panas. Ia menuju ke arah Selatan.

Ah Loan berkelit dari cabang yangliu itu, iapun kaburkan kudanya untuk menyusul.

“Siau Hoo, Siau Hoo!” ia memanggil berulang-ulang, “Siau Hoo, mari.”

Siau Hoo kabur terus, menoleh-pun tidak.

Ah Loan menyusul sampai kira-kira satu lie, sia2 saja, pemuda itu sudah pergi semakin jauh bersama kudanya Kie Kong Kiat, dengan terpaksa ia tahan kudanya, air matanya mengucur bercampuran air hujan.

Tidak lama rombongannya Cie Kiang dan Sin-na Teng Jie telah dapat susul si nona. Kepala polisi itu menunggang kuda ia diikuti oleh orang-orangnya.

“Sudah, jangan kejar!” kata Ah Loan. “Siau Hoo telah terluka ... “ “Ini ada urusan polsi, kita tidak dapat mencegahya,” Cie Kiang bilang, “Kie Konya semua telah terluka, kita mesti lekas bawa mereka kekota untuk diobati! Nah, marilah!“

Cie Kiang mengucap demikian selagi Teng Jie dan orang-orangnya mengejar teus.

Dengan terpaksa Ah Loan menurut, ia ikuti susok itu kembali.

Dijembatan Pa Kio, beberapa orang polisi telah siapkan dua buah kereta sewaan, orang-orang yang terluka ialah Yo Cie Kin, Wan Cie Hiap dan Kie Kong Kat, telah dinaikkan keatas kereta. Cie Hiap adalah yang terluka paling berat, yang paling enteng adalah Kong Kiat. Kalan dua yang lain rebah diam saja sambil merintih, Kong Kiat tidak  mau diam, ia hendak loncat turun dari keretanya. Ia terluka pada paha kiri darahnya membasahi pakaiannya. Ia ada sangat gusar, maka juga ia berteriak2 minta kudanya, pedangnya juga, katanya ia hendak kejar pula pada musuh.

Kapan Ah Loan kembali, Kong Kiat awasi isteri itu sambil tertawa dingin.

“Isteriku, kau lihat!” berkata ia dengan ejekannya, “Untuk kaum Kun Lun Pay aku Kie Kong Kiat sudah mendapat luka! Darah ini merah, sama dengan warnanya kun yang kau pakai diwaktu kita menikah!” Ia tepuk2 dadanya, ia tambahkan: “Jangan kau lihat saja bahwa suamimu terluka, tetapi ingatlah, suamimu ada satu laki- laki sejati! Besok atau lusa, aku-pun akan berikan semacam tikaman kepada Kang Siau Hoo, supaya dia dapat  luka yang terlebih hebat daripada lukaku ini!”

Kat Cie Kiang berduka.

“Sudah, sudah,” kata ia sambil menghela rapas. “Kouya, kau jangan bergusar lebih lama. Mari kita pulang dahulu untuk beristirahat. Teng Jie-ya beramai sedang kejar Kang Siau Hoo, dia tentu akan berhasil membekuknya, sebab Kang Siau Hoo juga terluka berat dan ia pasti tidak mampu lari jauh.”

Ah Loan diam saja, ia masih berduka. Melihat lukanya Kong Kiat, ia terharu, ia merasa kasihan. Ia merasa bahwa ia sudah bersikap keterlaluan terhadap suami itu. Maka akhirnya ia masukkan goloknya kedalam serangka, ia mendekati kereta.

“Sudah, kau jangan gusar,” katanya, yang berhenti menangis, dengan rada likat, “Mari kita pulang. Kau telah menderita untuk kita, aku merasa tak enak hati ...”

Mendengar kata-kata itu, Kong Kiat merasa puas, hatinya menjadi lega, hingga ia seperti rasakan lukanya hilang sakitnya. Ia lalu bersenyum.

“Aku tidak menderita,” katanya. “Untukmu, untuk luo- ya-cu, untuk sababat2 Kun Lun Pay, jangankan baru terluka, Walau-pun terbinasa, bagiku tidak ada artinya. Tidaklah aku malu menjadi cucunya Liong Bun Hiap!”

Ah Loan berdiam, ia seka kering air matanya. “Marilah!“ Ce Kiang lantas mengajak berangkat.

Kedua kereta segera dijalankan, Cie Kiang dan Ah Loan semuanya luntas mengiringnya. Di belakang mereka ada tujuh atau delapan orang polisi. Rombongan ini terdiri dari mereka yang naik kuda dan berjalan kaki.

Hujan, yang turun lebih besar, masih belum mau berhenti. Dari kejauhan kota Tiang-an seperti terbenam kabut.

Mereka kalah tetapi Cie Kiang tidak begtu malu dan tak terlalu berduka seperti waktu mereka dipencudangi Lie Hong Kiat, karena sekarang, Kang Siau Hoo telah kena dilukai. Ia-pun mengharap-harap, dengan bantuannya pembesar negeri, Kang Siau Hoo nanti kena dibekuk. Kekuatirannya adalah apabila orang she Kang itu bisa lolos. Ia dapat kenyataan, dalam ilmu pedang, dalam ilmu menyanggapi piau, Siau Hoo ada jauh terlebih liehay dari pada Lie Hong Kiat. Karena itu, ia kagumi pemandangan luar biasa dari gurunya, yang sejak sepuluh tahun yang lalu ada berkuatir untuk pembalasannya Kang Siau Hoo. Ia insaf, walau gurunya liehay, guruu itu masih tak dapat bandingkan dengan puteranya almarhum Kang Cie Seng itu.

Satu hal lain juga membuat Cie Kiang berpikir. Itulah sikapya Ah Loan terhadp Kang Siau Hoo, sebagaimana tadi ia saksikan sendiri. Mau atau tidak, ia jadi bercuriga.

“Apakah artinya ini?” tanya ia dalam hatinya. “Dimasa kecilnya Siau Hoo pernah tinggal di rumah suhu. Apa mungkin ia selama itu ia telah buat perhubungan rahasia dengan Ah Loan?”

Demikian ia memikirkan hal itu sehingga mereka sampai di piau-tiam dimana segera ia urus tiga orang yang luka itu, yang masing-masing dapat sebuah kamar. Cie Liong beramai lantas berikan obat, sedang beberapa pegawai diperintah undang tabib istmewa untuk luka-luka.

Tidak lama ada datang beberapa sahabat piausu, guru silat dan orang dari kantor negeri, yang dengar perihal pertempuran itu, untuk meghibur dan  menanyakan jalannya pertempuran. Setelah mereka pulang Cie Kiang baru tengok Cie Hiap dan Cie Kin, melihat siapa, hatinya sedikit lega, karena dua saudara itu tidak terancam jiwanya. Kemudian ia tengok Kong Kiat yang sedang bicara dengan Ah Loan. Air matanya Ah Loan masih mengembeng, ia berduka. “Bagaimana?“ ia tanya pemuda itu.

Kong Kiat lantas berduduk, dengan tangannya yang kanan ia tepuk2 lukanya.

“Tidak ada artinya!“ kata ia sambil tertawa. “Jikalau sekarang Kang Siau Hoo datang pula, aku pasti bisa tempur dia seperti tadi!“

Meskipun ia bersikap gagah, namun mukanya Kong Kiat pucat dan keringat menetes turun dari dahinya, suatu tanda bahwa ia menahan sakit.

“Sudah, jangan kau bergusar lagi,” Cie  Kiang menghibur. “Aku percaya orang-orang polisi bisa bekuk padanya. Atau umpama ia bisa lolos, selanjutnya ia akan jadi pemburon, lambat-laun ia bakal kena ditangkap juga. Sekarang kau baik2 rawat lukamu, setelah kau sembuh, kita nanti berdamai pula.”

Diam-diam Cie Kiang lirik Ah Loan, makudnnya ialah buat minta nona ini merawat dengan telaten, karena dimatanya lukanya Kong Kiat tidak enteng. Namun Ah Loan melainkan hanjuk kemsgulannya.

Dengan masgul Cie Kiang undurkan diri, ia  pergi kekantornya, disini ia duduk bersantap bersama Cie Liong dan Cie Cun.

Selagi orang bersantap, Sin-na Teng Jie pulang dengan napas memburu, baru ia loncat turun dari kudanya, Cie Kiang telah sambut padanya.

“Apakah Kang Siau Hoo dapat ditangkap?” tanya piausu ini dengan bernapsu.

“Tidak, tidak,” jawab Teng Jie-ya dengan menggelengkan kepala. “Binatang itu benar liehay! Sudah dua puluh tahun aku bekerja sebagai polisi, aku pernah tangkap Co Siang Hui, aku pernah bekuk. In Lie Pa, akan tetapi belum pernah aku hadapi penjahat selicin ini! Kudanya Kie Kou-ya tidak terlalu kuat larinya, akan tetapi ditangannya kuda itu bisa kabur bagaikan terbang. Aku telah mengejar tigapuluh lie lebih, sudah lintasi beberapa hutan-rimba dan dua aliran sungai, entah bagaimana, tahu- tahu kita telah kehilangan padanya! Dia datang dari luar kota tetapi heran, dia ketahui lebih baik dari pada kita tentang keletakan dan keadaan tempat kita ini ...”

Cie Kang masgul sekali dan berkuatir mendebgar keterangan itu.

“Dengan lolosnya dia, dia meninggalkan ancaman bencana untuk dikemudian hari,” kata Teng Jie kemudian. “Syukur kalau dia datang pula sebentar malam. Apabila dia dapat lolos pula, aku nanti meletakkan jabatan2ku! Sekarang aku hendak kembali kekantor untuk beristirahat. Kat Liok-ya, jangan kau kuatir, sebentar malam aku nanti datang pula bersama orang-orangku untuk berjaga.”

Cie Kiang manggut2. Ia mohon perhatiannya Teng Jie, yang setelah itu lantas berlalu.

Kemudian orang duduk bersantap.

Sesudah dahar cukup. Cie Kiang undang Cie Cun datang kekamarnya sendiri, untuk mereka berbicara berdua saja.

“Sutee, kau lihatkah tadi tingkahnya Ah Loan ketika ia berhadapan Kang Siau Hoo dijembatan Pa Kio?” tanya suheng itu. “Biasanya kalau kita sebut2 Siau Hoo, tampangnya tentu berubah2, atau ia  kertek gigi atau melelehkan air mata, maka aku menduga satu kali mereka berbadapan, mereka mesti jadi musuh hesar. Akan tetapiapa yang ternyata tadi? Siau Hoo melawan tertawa saja, dia sebaliknya hanya menangis, dia tidak segera cabut goloknya untuk menyerang secara mati2an! Bahkan sebaliknya dia ajak Kang Siau Hoo pergi untuk mereka bicara diluar tahu kita. Dan lagi, ketika Teng Jie-ya ajak orang-orangnya mengejar, katanya Siau Hoo sudah terluka, tak usah dikejar pula. Sikapnya Ah Loan buat aku heran dan curiga. Apakah bisa jadi ia telah berobah adat sekarang? Atau dia bukan benar-benar membenci Siau Hoo. Bisa jadi lebih dahulu daripada ini, dengan Siau Hoo dia sudah punya satu perhubungan! Hanya mengenai, dugaan yang belakangan ini, aku sangsi benar ...”

Tan Cie Cun pun heran, hinga ia berdiam sekian lama. “Mengenai  ini  aku  tidak  berani  bilang  apa-apa namun

melihat  sikapnya tadi aku  juga heran,” menyatakan sinshe

ini. “Memang benar, selagi masih kecil Siau Hoo dan Ah Loan tinggal dan sering bermain bersama, hanya ketika itu Siau Hoo baru berumur empat belas dan Ah Loan dua belas tahun.”

Cie Kiang bertambah bingung.

“Yang satu berumur empat-belas dan yang lain dua belas, sesama kecil itu mereka bukannya belum tahu apa- apa!“ kata ia.

Cie Cun mengeleng kepala.

“Aku percaya tak mungkin sudah  terjadi sesuatu,” kata ia pula. “Disebelah penjagaan keras dari suhu, Siau Hoo- pun tidak tinggal lama pada suhu, begitu ia telah lukai Liong Tiong-ko, ia lantas buron. Aku-pun telah saksikan sendiri ketika Siau Hoo datang bersama Long Tiong Hiap, Ah Loan gusar berkerot gigi. Tak mungkin  ada perhubungan rahasia diantara mereka berdua, dan aku  lihat, dengan suaminya, Kie Kong Kiat, dia ada mencinta sekali ...”

Masih Cie Kiang tak dapat lepaskan kesangsiannya. Selanjutnya mereka lalu bicarakan soal penjagaan sebentar malam, kemudian Cie Cun pergi ke depan.

Diwaktu lohor itu hujan berhenti turun, melainkan cuaca tidak lantas menjadi terang.

Cie Kiang tetap masgul, dan ketika sang sore mendatangi, alisnya mengerut semakin rapat, karena kemasgulannya. Selagi malam mendatangi, piausu ini seperti terasa bahwa suatu raja iblis bakal datang kepadanya.

Lain2 orang semua coba empos semangat mereka, tetapi didalam hatinya mereka toh berkuatir juga, mereka terkejut sendirinya apabila mereka dengar suara apapun.

Sore itu walau-pun baru habis bersantap, Cie Kiang masih suruh koki siapkan beberapa rupa sayur untuk dikantor, arak tak berkecuali, katanya untuk mereka yang jaga malam. Ia harap-harap kedatangannya Sin-na Teng Jie serta rombongan orang-orang polisinya.

Sampai jam dua lewat barulah muncul seorang kepala polisi she Thio serta belasan opas. Kepala polisi she Tho itu kata: “Teng Jie-ya masuk angin, ia tidak bisa datang, dia titahkan aku yang bantu Liok-ya membuat penjagaan. Dikantor juga telah disiapkan polisi cadangan, asal mereka dengar suara gembreng, mereka bisa segera datang kemari.”

“Datang beberapa orang-pun sudah cukup,” Cie Kiang bilang, dengan paksakan diri. “Belum tentu malam ini akan terjadi sesuatu. Kang Siau Hoo terluka bukannya enteng, dia-pun lelah berikut kudanya, barangkali dia tidak bisa segera datang pula ...”

“Jikalau Kang Siau Hoo sendirian saja, masih tidak sukar,” kata si orang she Thio itu, “asal dia jangan datang sambil ajak2 Le Hong Kiat, itulah sulit.” Cie Kiang paksa tertawa.

“Dunia kangouw ada luas, orang yang pandai silat ada banyak,” berkata ia, “Siau Hoo dan Lie Hong Kiat itu pastilah tidak kenal satu dengan lain.”

“Dua2 mereka memang berbugee sempurna,” Cie Cun turut bicara, “akan tetapi mereka sama-sama terluka, aku kira mereka tidak akan dapat berbuat banyak, kita kaum Kun Lun Pay tidak nanti sampai membuat apa-apa yang memalukan.”

Cie Kiang merasa tidak enak hati, ia lantas simpangkan pembicaraan. Ia-pun lantas tempatkan orang she Thio ini dan orang-orangnya berdiam didalam kantorannya, Cie Cun bersama Cie Yong ditugaskan menemani mereka minum arak, dilain pihak ia sudah pesan koki untuk jangan sediakan banyak arak, ia kuatir bila datang saat perlu, mereka itu nanti sudah sinting dan tak dapat bergerak bangun. Sekawanan setan mabuk mana sanggup bekuk Kang Siau Hoo?

Lekas sekali sudah jam tiga. Dikantoran itu api ada menyala terang.

Orang ada banyak, arak sedikit, akan tetapi seluruh ruangan ada ramai, karena orang bercakap2 dengan asyik. Diantaranya ada yang keluarkan dadu untuk lewatkan tempo.

Didalam pekarangan ada dinyalakan dua tanglung besar, “khiw-su-hong” namanya, artinya lentera yang tak dapat padam meski-pun ada angin besar sekali. Disamping itu ada berduduk empat pegawai piau-tiam dengan sebuah gembrengnya yang besar. Yang tiga sedang ngelenggut, yang satunya memasang mata kesekitarnya, kadang2 saja ia menoleh keatas genteng disebelah belakangnya, agaknya ia kuatir ada orang dari genteng menyerang itu dengn batu! Disebelah depan ada kamarnya Kie Kong Kiat dan Ah Loan.

Sampai waktu itu Kong Kiat masih belum tidur. Ia tak dapat tidur karena hatinya senantiasa pikirkan Siau Hoo, dari siapa ia hendak berjaga-jaga. Luka dipahanya menerbitkan rasa sakit yang sangat, akan tetapi di depan isterinya ia coba tidak perdengarkan rintihan, beberapa kali ia gulak gulik.

Ah Loan juga belum tidur, ia duduk diatas pembaringannya menyender pada tembok, pikirannya sedang kusut, diam-diam ia menangis didalam hati.

Dikamarnya sepasang suami-isteri itu api telah dipadamkan, akan tetapi dari jendela ada menembus cahaya api dari luar.

Melihat orang yang sedang rebah di depannya, nona Pau merasa terharu. Iapun memikiri engkongnya yang berada ditempat jauh. Orang tua itu mesti hidup dalam perantauan, dengan hati tidak tentam. Ia juga ingat Kang Siau Hoo, belum ia sempat bicara kepada Siau Hoo, Siau Hoo sudah kena dibokong. Syukur dia itu punya bugee liehay. Kalau tidak dia tentu telah terbinasa dijembatan Pa Kio itu, atau sedikitnya kena ditawan. Ia percaya, lukanya Siau Hoo tidak hebat, hanya ia kenapa dia itu nampaknya sangat benci padanya.

“Dengan cabang yangliu dia sambit aku, apa itu bukannya tanda dari kebenciannya kepadaku?” tanya ia pada dirinya sendiri. “Tapi toh dia bilang, kata-kata sepuluh tahun ada terlalu banyak dan untuk itu ada dibutuhkan pembicaraan2 yang jelas, maka teranglah diapun tidak pernah lupakan aku ... Pasti sekali dia tidak ketahui bahwa aku menikah dengan terpaksa. Bisakah dia memaafkan aku? Dia tak tahu bahwa dilahir aku ada jadi isterinya Kong Kiat, akan tetapi dalam batinku hal yang  sebenarnya tidaklah demikian ...”

Selagi si nona ngelamun demikian, datang pertanyaan dari luar jendela: “Apakah Kie Kouya sudah tidur?“

Terputusnya lamunannya Ah Loan, kenali itulah suaranya Cie Kiang.

“Dia sudah tidur,” ia lekas menyahut. “Apa ada urusan, Kat Su-siok?“

“Tidak,” ada jawabannya sang paman guru. “Aku hanya hendak beritahukan agar dia tetapkan hati, supaya ia beristirahat dengan tenang. Sekarang dikantorku ada belasan orang polisi membantu buat penjagaan. hingga kita tdak usah berkuatir lagi. Kang Siau Hoo tentu tidak berani datang pula.”

Tiba-tiba Kie Kong Kiat tertawa. Hanya baru tertawa sebentar, ia sudah berhenti dengan lantas. Karena lukanya mendatangkan rasa sakit.

“Aku belum tidur,” kata ia kemudian dengan pelahan. “Aku duga pasti malam ini Siau Hoo bakal datang pula. Aku sedang tunggui dia untuk lakukan pertempuran yang memutuskan!“

Cie Kiang dengar perkataan itu dengan bergidik, tadinya ia sudah pikir untuk pergi tidur tetapi segera ia robah itu, ia jadi tidak berani pergi beristirahat.

“Kau jangan kuatir,” kata ia dengan paksakan tertawa. “Malam ini pasti tidak akan terjadi suatu apa! ...”

Habis berkata begitu, Cie Kiang mencelat keatas genteng untuk meronda, kemudian ia masuk kepekarangan dalan dimana ada dinyalakan sebuah lentera khie-su-hong. Disini Tio Cie Liong menjaga bersama satu pegawai. Didalam kamarnya ada ia punya isteri besama sanak dan mantunya. Didalam kamar masih ada cahya api dan ia sangka itu adalah tanda dari kekuatiran, mereka tak dapat tidur.

Masih Cie Kiang meronda kelain2 bagian. Hujan gerimis turun halus sekali.

“Biarlah hujan turun semakin besar,” kata ia dalam hati. ia duga kalau hujan turun secara besar Kang Siau Hoo tentu tidak bisa datang. ia menguap dua kali ketika ia menghampiri Cie Liong.

“Aku sangat mengantuk, aku ingin tidur,” kata ia. “Sebentar aku nanti gantikan kau.”

Lalu dengan langsung ia menuju ke kamar Timur. Disini tidak ada pelita atau lilin, sinar terang masuk dari jendela. Ia terus tutup pintu, sambil manguap ia naik atas pembaringannya. Ia bercokol diatas pembaringan untuk buka sepatunya. Ia baru loloskan sebelah sepatunya, atau dari kolong pembaringan muncul sebelah tangan yang mencekal pedang berkilauan hingga ia kaget bukan main, tanpa merasa lagi ia keluarkan jeritan tertahan. Ia memikir buat loncat turun dari pembaringan guna lari kepintu dan terus lari keluar. Akan tetapi sudah kasep!

Kang Siau Hoo sudah mendahului muncul dari kolong pembaringan, ia tekan murid Kun Lun Pay itu, untuk cegah dia berbangkit.

Karena ia berseru dan beriontak, Cie Kiang menerbitkan suara, hingga Cie Liong lompat menghampiri ke jendela.

“Ada apa?“ dia tanya.

Cie Kiang ada bertubuh besar, tenaganya-pun besar sekali, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Kang Siau Hoo, ia mirip dengan seekor tikus di depan seekor kucing. Siau Hoo tekan tubuhnya pada pembaringan dan pedangnya ditandalkan pada tenggorokannya. Cie Kiang bungkam saking takutnya,hingga ia tidak jawab Cie Liong.

“Aku tidak akan bunuh kau, asal kau bicra secara terus terang,” Siau Hoo kata dengan berbisik. “Dimana sembunyinya Pau Cin Hui dan dua saudara Liong? Setelah kau beri keterangan, aku segeta berlalu dari sini!”

“Aku nanti beri tahu, kau lepaskan dahulu padaku,” kata piausu ini.

“Aku nanti lepaskan kau,” bilang Siau Hoo sambil terawa perlahan. Ia-pun angkat pedangnya.

Cie Kiang berbangkit, ia terus duduk. Ia-pun menghela napas.

“Saudara Kang, kita tidak bermusuhan, kenapa kau mengarah aku?“ ia tanya.

“Bagaimana kau bilang tidak bermusuhan?” Siau Hoo baliki, sambil tertawa mengejek. “Pada sepuluh tahun yang lalu, dihalaman bukit Cie Nia, apakah aku tidak ditolongi guruku, pasti aku telah terbinasa ditanganmu! Tapi itu ada permusuhan kecil, aku sudah tidak pikirkan itu. Yang aku cari adalah si tua bangka she Pau dan dua saudara Liong! Lekas kau beri tahukan aku dimana adanya mereka itu?”

Dengan samping pedangnya, Siau Hoo ketok orang punya kepala.

“Sampai sekarang Cie Teng telap berada di Cie-yang,” sahut Cie Kiang dengan terpaksa. “Cie Kie baru beberapa hari yang lalu telah berangkat dari rumahku ini, aku tidak tahu dia menuju kemana. Suhu sendiri sudah pergi menyingkir ke rumah sahabatnya. Suhu ada punya banyak sahabat, entah kepada sahabat yang mana suhu menumpang tinggal. Turut katanya Ah Loan, engkongnya itu berangkat sendirian saja, hinga ia-pun tidak ketahui kemana engkongnya sudah menuju ... “

Siau Hoo bersenyum sindir.

“Akan tetapi Ah Loan ada bawa sepucuk surat engkongnya yang dialamatkan untukmu.” Cie Kiang tambahkan. “Surat itu sekarang ada dikantoranku, jikalau kau ingin lihat, nanti aku ambilkan.”

Siau Hoo manggut.

“Ya, aku hendak lihat apa yang ditulisnya dalam surat itu,” ia bilang. “Aku ikut kau kekantormu.”

Ia buka pintu, ia suruh Cie Kiang jalan di depan, ia sendiri mengikuti dengan pedang terhunus.

Ketika itu diluar kamar sudah berkumpul banyak orang, semua sudah siap sedia dengan galah gaetan, piau dan panah. Melihat mereka, Kat Piausu menjadi kaget dan kuatir, hingga ia berlambat dengan tindakannya.

“Jangan takut!” Siau Hoo kata dengan tenang, sambil tertawa, tetapi sebelah tangannya dipakai menjambak punggung Cie Kiang. “ Selama mereka tidak serang aku, aku-pun tidak akan serang padamu!”

Cie Kang segera hadapi semua kawannya.

“Jangan sembarang bergerak!“ ia serukan mereka. “Kang Siau Hoo datang tidak bermaksud jahat, dia cuma ingin bicara kepada kita” ia  rogoh sakunya dan keluarkan serenceng anak kunci, yang ia terus lemparkan pada Cie Liong kepada siapa ia segera kata : “Sutee, tolong kau buka peti besar dikantoran, kau ambilkan suratnya suhu untuk Kang Siau Hoo, dia ingin baca itu. Lekas!“

Cie Liong telah sambuti anak kunci itu, ia lantas pergi kekantoran yang berada diruangan depan. Itu waktu semua orang, pegawai-pegawai piau-tiam dan orang-orang polisi, sudah kurung Siau Hoo, tetapi karena Cie Kiang berada dibawah pengaruh, mereka sangsi untuk turun tangan, malah mereka tidak berani datang terlalu dekat. Semua mata mengawasi tetamu tidak diundang itu.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar