Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 13

Jilid 13.

DITAHUN kesepuluh, pada suatu hari sang guru tanya muridnya: “Bagaimana kau rasa tentang pelajaranmu?“

“Semua apa yang suhu ajarkan, aku telah belajar dengan baik,” sahut murid itu. Ia ingin sangat turun gunung untuk menuntut balas, maka ia menjawab secara demikian. “Tapi kau telah dapat baru separuh dari semua kepandaianku,” menerangkan gurunya. “Kau masih kalah dengan Ah Pa, dia telah dapatkan enam bagian!”

Dengan Ah Pa dimaksudkan si gagu, si bujang tukang kebun.

Siau Hoo kaget, hingga ia keluarkan keringat dingin. Dalam hatinya ia kata, “Heran! Selama sepuluh tahun aku lihat Ah Pa hanya masak nasi dan tanam teh, dilihat dari romannya, batu-pun dia tidak kuat angkat, siapa tahu dia ada terlebih pandai daripada aku?

Selagi murid ini berpikir, sang guru telah kata pula padanya : “Dia adalah suhengmu, maka kau barus belajar dari dia. Lihat, bagaimana bisa dia umpatkan kepandaiannya! Memang ilmu silat dari Bu Tong Pay tidak boleh sembarang diperlihatkan. Hanya kau sendiri ada lain. Sejak masih kecil sekali kau sudah menderita, kau-pun hendak menuntut balas untuk ayahmu, aku tidak bisa menghalang-halangi, tetapi kau mesti ingat baik-baik pesanku. Pertama, kecuali musuhmu, aku larang kau buat celaka siapa juga. Kedua, kau boleh bertempur dengan siapa juga tetapi kau tidak boleh adu jiwa. Ketiga, kau mesti tolong si lemah, mengasihani si yatim-piatu dan janda- janda. Kepandaianmu ada untuk menolong, bukan untuk buat kaya diri sendiri dengan berbuat jahat. Yang lain- lainnya aku tak usah pesan lagi. Sekarang, pergilah kau turun gunung!“

Siau Hoo lantas benlutut di depan gurunya.

“Sekarang aku belum niat turun gunung,” kata ia, “aku ingin ikuti suhu akan dapatkan pula beberapa macam pelajaran lainnya ... “

Orang tua itu tertawa. “Jikalau kau belajar lebih jauh, lantas akan tak ada orang yang mampu kendalikan kau!” katanya. “Dengan apa yang kau punyai sekarang, itu-pun sudah lebih untuk kau menindih Siok Tiong Liong dan Liong Bun Hiap. Ditanganmu Pau Cin Hui akan jadi seperti anak kecil, maka yang lain-lainnya akan ada seumpama semutpun tidak. Kenapa kau masih tak tahu cukup? Lekas kau turun gunung!“

Kang Siau Hoo tidak berani membantah pula ia beri hormat pada gurunya untuk berpisahan, lantas ia ambil pauhok dan pedangnya terus ia  turun gunung. Ia jalan dengan cepat. Ia jalan belum sampai ditengah gunung, di belakangnya ia dengar berisik suara  “ah ah-uh-uh”, ketika ia menoleh, ia lantas lihat suhengnya (kakak seperguruan), Ah Pa Si Gagu. Ia lekas berhentikan tindakannya, ia beri hormat pada suheng itu.

Ah Pa  gosok-gosok mulutnya, dengan dua jarinya ia menunjuk keudara.

Siau Hoo mengerti, itu ada pesan dari gurunya yang larang ia lancang gunakan Tiam-hiat-hoat, maka ia terus manggut-manggut.

Ah Pa tarik keluar pedang dan pauhoknya Siau Hoo ia hunus itu, terus ia bersilat.

Siau Hoo kagum melihat permainan itu, yang ada seumpama “naga terbang, harimau menerkam”. Bagian inilah yang ia belum diajarkan oleh gurunya. Maka itu, sehabisnya sang suheng bersilat, ia sambuti pedangnya, dan terus ia coba telad suheng itu. Dasar ia berotak terang, sebentar saja ia  telah bisa mainkan ilmu itu, hingga ia tertawa karena sangat girangnya.

Sampai disitu suheng dan sutee lantas berpisah. Siau Hoo lantas ambil jalan besar. Ketika dahulu ia datang, ia ada punya kuda hitam, pada empat tahun berselang binatang itu telah mati. Namun uangnya yang ia dapat menang berjudi pada sepuluh tahun yang lalu, masih utuh, maka ia anggap untuk merantau perlu ia mempunyai kuda.

Ketika itu ada dimusim pertama, Kang Lam menjadi indah sekali. Dimana-mana disawah, ada nona-nona asyik nandur, melihat siapa Siau Hoo lantas teringat pula Ah Loan yang terlahir di rumah musuhnya. Ia duga Ah Loan mestinya sudah berusia dua puluh lebih dan tentunya telah menikah. Kemudian ia ingat  ibunya, entah bagaimana dengan orang tua itu yang usianya pasti sudah meningkat, sedang adiknya mesti sudah dewasa dan besar. Ingat itu semua, ia menghela napas. Tapi kapan sebaliknya ia ingat, ia telah mengerti bugee dan pandai surat juga, ia merasa terhibur. Sekarang ia bukan lagi Kang Siau Hoo “harimau kepala tiga” ...

Maka dengan bersemangat, ia lanjutkan perjalanannya.

Siau Hoo telah dapat beli seekor kuda, pada lehernya binatang itu ia gantungkan kelenengannya dari sepuluh tahun yang lalu. Ia lebih dulu ambil tujuan Kengcou, yaitu propinsi Oulam dan Oupak sekalian. Di Siangyang ia telah rubuhkan Hoa-cio Bang Jie, di Sin-yang ia kalahkan Say Ui.Tiong Lau Khong. Dikota Sin-yang ini ia telah tulis suratnya untuk Pau Cin Hui, surat mana ia kirim pada saat saudagar obat-obat dari Cie-yang untuk disampaikan pada persaudaraan Liong. Dari sini, Ia pergi ke Siang-cay dimana ia tempur Lou Pek Hiong, di Siang-sui ia lawan Lou Ceng Hou. Semua pertempuran itu dilakukan dengan sifat piebu tulen, maka itu, sehabisnya adu kepandaian, mereka lantas ikat persahabatan, tidak bermusuhan. Disini ia  dengar namanya Lie Hong Kiat. Disaat ia hendak menuju ke Barat, akan cari Pau Cin Hui, ada seorang dari kalangan piau-tiam datang kepada Lau Ceng Hou di Siang-sui cari dia. Orang itu adalah orang suruhannya sahabatnya dan sepuluh tahun yang lampau, yaitu Toantoo Yo Sian Tay, yang ia kenal di Long-tiong, siapa telah terluka dalam saat pertempuran. Yo Sian Tay ada orang Hoolam, pada lima tahun yang lalu, ia pulang kekampungnya dimana ia buka piau tiam sendiri. Ia kebentrok kepada satu piausu dan terluka, justeru ia dengar namanya Kang Siau Hoo, lantas ia kirim  orangnya  akan cari sahabat itu. Siau Hoo ingat sahabat ini dengan siapa ia telah pergi ke Gang Biejin, maka itu, segera ia pergi ke Hie- ciu akan tengok sahabat itu.

Yo Sian Tay sedang rebah karena lukanya ketika Siau Hoo datang, ia jadi girang bukan main. Banyak yang mereka bicarakan sejak perpisahan mereka.  Kemudian Siang Tay bicara tentang lukanya itu, ia dapat dengar Kim- Lian Pou-sat Thay Bu Siansu di Pek Siang Siu ada punya obat Kim Kong Keng Seng San yang mustajab tapi tak ada orang yang bisa pergi kesana. Siau Hoo tidak tega dengari sahabat itu merintih saja, ia nyatakan ia suka pergi ke Siang San. Demikian sudah terjadi ia datangi Thay Bu Siansu, hingga disebelah kenal dengan Lie Hong Kiat, ia-pun kebentrok kepada pendeta yang adatnya kukuh itu. Dengan lawan teriknya matahari, dengan kudanya senantiasa perdengarkan kelenengan emasnya. ia kabur pulang ke Hie- ciu. Ketika ia sampai, ia terus obati lukanya Sian Tay, ia- pun tuturkan pengalamannya itu.

“Ah, hia-tee, kau terbitkan onar untuk aku,” kata Sian Tay dengan menyesal. “Tentang Lie Hong Kiat, aku belum tahu suatu apa, hanya Thay Bu Siansu, kenapa kau hajar padanya? Dia ada enghiong nomor satu untuk Hoolam ”

“Jangan kau kua tin,” Siau Hoo hiburkan sababat itu. “Ketika aku minta obat, aku tidak sebut-sebut namamu maka pastilah dia tidak akan cari kau. Hanya aku tidak bisa tunggui kau berobat, sehingga sembuh, aku mesti segera pergi ke Kwan-tiong, ke Tin-pa, ke Cie-yang, untuk bereskan urusanku sendiri. Nah, di belakang hari saja kita bertemu pula!“

Yo Sian Tay memaksa menahan keberangkatannya Siau Hoo, maka kejadian, dua hari Siau Hoo berdiam kepada sahabatnya itu, lalu dihari ketiga barulah ia pergi. Dihari ke tiga itu bengkaknya San Tay sudah kempes, ini membuktikan kemustajabannya obatnya Thay Bu Siansu.

Kepergianaya-pun Siau Hoo tidak pamitan lagi. Tapi paling dahulu ia kembali ke Siong Sian.

Ketika Siau Hoo sampai dikaki gunung, kebetulan hujan turun rintik-rintik. Duduk diatas kudanya, ia pakai tudung lebar, ia tutupi tubuh dengan kain minyak, maka itu, air langit cuma membasahkan pakaian luarnya. Dikiri-kanan kabut menutupi segala apa, hingga disitu tak ada satu manusia-pun yang tampak.

“He, kemana aku mesti cari tahu Kim Beng Kian?“ kata ia seorang diri. Tapi ia  tidak kurang akal, ia  gantung kelenengan emas dileher kudanya, ia kaburkan kudanya ke arah Barat. Kudanya sedang berlari ketika tiba-tiba diantara patihnya uap hujan, ia lihat berkelebatnya satu bayangan orang, suara siapa segera terdengar: “Saudara Kang! Kang Siau Hoo!”

Siau Hoo segera menghampiri orang itu yang pakai tudung lebar seperti ia sendiri, ia segera kenali Lie Hong Kiat.

“Dua hari sejak perpisahan kita, setiap hari aku tunggui kau, saudara Kang,” Hong Kiat beri tahu. “Aku duga kau akan kembali lagi beberapa hari, tak aku sangka bahwa kau datang hari ini, dengan lawan hujan juga!” “Aku sudah janji akan datang pula, sudah pasti aku  mesti datang,” kata Siau Hoo.

“Dan bagaimana dengan lukanya sahabatmu?” Hong Kiat tanya.

“Tidak sampai sepuluh hari, dia akan sudah sembuh,” sahut Siau Hoo. “Obatnya Thay Bu Siansu benar mujarab, aku pikir hendak haturkan terima kasih padanya, aku tidak nanti sebut-sebut hal pertempuran kita, aku hendak bersahabat dengan dia.”

“Kau benar seorang jujur, sahabatku,” kata orang she Lie itu. “Baiklah, aku nanti ajak kau ke Pek Siong Siu. Aku percaya perselisihan dapat dihabisi, Saudara Kang, aku ada satu kabaran untukmu. Aku toh sudah beritahukan kau tentang sahabatku, Ou Jie Ceng, si tukang potong kayu? Nah, seberangkatnya kau hari itu, aku telah pindah kerumahnya. Dikampungnya Jie Ceng ada satu keluara she Tan, anggauta keluarganya tingal ibu  dan satu anak perempuan. Mereka ada sangat melarat. Kau bisa duga, siapa mereka itu?“

“Aku ada orang asing disini aku tak dapat menebak,” sahut Siau Hoo.

“Si nona adalah nona yang kita telah tolongi” Hong Kiat terangkan. “Ibunya ketahui kejadian itu, ia mendesak akan aku ambil anaknya itu sebagai isteri. Aku pikir aku telah merantau lama, aku-pun sudah berusia dua-puluh lebih, aku anggap dirikan rumah tangga-pun ada satu keharusan...”

Siau Hoo lantas tertawa.

“Nah, aku beri kionghie padamu, saudara Lie!” ia kata. “Sekarang aku hendak pergi kekota buat cari pondokan, kalau sebentar hujan berhenti, aku akan datang kemari, akan sekalian tengok enso. Sekarang anggap saja bahwa kita sudah beremu dengan menepati janji.”

Ia rangkap kedua tangannya, ia lantas tarik les kudanya. “Tunggu    dulu,    saudara    Kang!“    Hong    Kiat lekas

mencegah.  “Kau  masih  belum  dengar  semua.  Kita benar

sudah bertunangan tetapi pernikahan akan dirayakan nanti, tanggal delapan yang akan datang, jadi tinggal lagi empat hari. Kau mesti minum arak kegirangan, maka sebelum itu, jangan kau berangkat dahulu. Di rumahnya Jie Ceng aku tambab dua kamar, aku-pun pakai satu pembantu yang pandai masak. Aku sudah sediakan arak yang jempol untukmu. Kau tiba hari ini, selagi hujan, inilah kebetulan, mari kita minum akan hangati tubuh! Kau-pun ada satu enghyong, jangan kau seejiie. Mari ke rumahku, di sana kita minum! Malam ini kau-pun harus nginap kepadaku!“

“Sebenarnya aku cari kau untuk bicara sebentaran saja,” Siau Hoo bilang, “besok aku niat lanjukan perjalanan, karena aku ada punya urusan sangat penting!”

“Tidak perduli kapan kau berangkat. Sekarang kau mampir dahulu padaku!” Hong Kiat mendesak.

Siau Hoo lihat pakaiao arang telah kuyup semua, ia tertawa.

“Baiklah,” katanya, yang terus ikuti sahabat  itu, siapapun ada menunggang kuda.

Diantara hujan mereka sampai di rumahnya Ou Jie Ceng. Hong Kiat masuk lebih dahulu, didalam ada pembantunya Hong Kiat yang sambuti kuda mereka, maka keduanya terus masuk kedalam dimana paling dulu mereka turunkan tudung mereka dan buka baju. Didalam rumah ada dua meja bobrok dan satu bangku, dari itu, Hong Kiat ajak sahabatnya duduk di pembaringan. Bujangnya Hong Kiat datang tidak lama kemudian dengan arak serta satu mangkok besar, karena disitu tidak ada cawan, hingga mereka mesti minum arak itu dengan bergantian! Temannya arak-pun ada beberapa potong ketimun.

“Aku tidak sangka kau bakal datang hari ini, itulah sebabnya kenapa aku tidak punya sayur lainnya,” Hong Kiat bilang. “Sebentar aku nanti suruh orang kepasar akan beli barang makanan dan arak, untuk sebentar malam kita dahar-minum.”

“Begitu-pun baik!“ Siau Hoo nyatakan akur, sama sekali ia tidak berlaku seejie.

“Sudah sepuluh tahun lebih aku hidup dalam perantauan, kadang-kadang saja aku minum kering beberapa cawan arak tetapi tidak ada segembira ini!“

Hong Kiat bersenyum, ia-pun merasa puas.

“Saudara Kang, dimana sebenarnya rumahmu?“ kemudian ia tanya.

“Di Tin-pa, di propinsi Siam-say,” Siau Hoo jawab dengan ringkas.

Hong Kiat kaget, air mukanya sampai berubah. Tapi ia coba bersenyum akan bersandiwara.

“Oh, kiranya kau ada sekampung dengan Pau Kim Lun!“ kata ia pula sambil tertawa.

Tiba-tiba Siau Hoo gebrak meja, hampir meja itu rubuh, sedang arak dimangkok telah ngeplok.

“Jangan sebut dia!” dia kata dengan sengit.

Hong Kiat mengawasi, ia heran. Ia lihat sahabat itu tenggak satu mangkok arak akan kemudian menarik napas panjang. “Kau tidak tahu, saudara Lie,” kata ia yang jadi sabar pula. “Sepuluh tahun aku belajar silat di Kanglam, aku turun gunung belum sampai dua bulan. Memang benar aku telah kalahkan Bang Jie, Lau Khong, Lou Pek Hiong dan Lau Ceng Hou, buat di Hoolam aku sudah dapat sedikit nama, namun masih banyak orang yang belum tahu aku. Tapi kalau kau pergi ke Tin-pa, Cie-yang dan Long-tiong, dimana kau akan dapat dengar, pada sepuluh tahun yang lalu disitu aku sudah angkat nama! Itu waktu aku baru berumur empat-belas tahun tetapi dengan ujung pisauku, aku telah lukai persaudaraan Liong!“

“Oh, jadi dengan Kun Lun Pay kau tidak punya persahabatan?” Hong Kiat tegaskan.

Siau Hoo menghela napas, ia sebenarnya mendongkol dan gusar, tapi dalam suasana seperti itu, ia masih punyai kesabaran akan tuturkan pengalamannya dulu.

“Kenapa aku tidak bisa lambat-lambatan disini?“ kata ia kemudian. “Itulah sebab aku menyesal tidak bia segera pergi ke Tin-pa untuk menuntut blas!“

“Sebenarnya aku harus menuju langsung dari Sinyang ke Siamsay Selatan, tapi aku sengaja tidak ambil jalan itu, aku sengaja jalan mutar, untuk coba angkat sedikit namaku supaya Pau Cin Hui ketahui aku hendak cari padanya, agar dia kumpulkan semua murid-muridnya, siap berjaga-jaga, setelah itu barulah aku datangi mereka, supaya umum-pun tidak katai aku menghina Pau Cin Hui yang sudah tua.”

Hong Kiat manggut-manggut, hatinya-pun lega berbareng kagum, karena sekarang ia ketahui jelas siapa adanya pemuda ini. Maka kemudian, ia  buka kancing bajunya akan hunjukkan iga kanannya dimana ada satu tanda luka. “Lihat lukaku yang baru sembuh ini,” ia beri tahu. “Pada bulan yang lalu, aku tempur orang-orang Kun Lun Pay di Seean. Aku sendirian tapi aku telah lukai enam atau tujuh musuh. Aku belum pernah ketemu Pau Kun Lun sendiri tetapi dengan Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong, aku pernah bertempur. Bugee mereka biasa saja, golok Kun-lun- too-pun bebal. Cuma satu orang yang kita mesti perhatikan di sana, ialah Kie Kong Kiat cucunya Liong Bun Hiap. Di Wielam, bersama-sama satu nona dari Kun Lun Pay, dia telah kepung aku, aku kalah, inilah tanda lukanya, bekas ujung pedangnia Kie Kong Kiat!“

Siau Hoo kelihata heran juga. Tapi ia tidak tanya Kie Kong Kiat.

“Nona, dari Kun Lun Pay?“ tanya dia. “Apa she dan namanya?“

“Aku tidak tahu,” Hong Kiat jawab sambil geleng  kepala. “Aku duga dia ada orang Kun Lun Pay karena ia gunakan sebatang golok dan ilmu goloknya ada diatasan Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan yang lain-lainnya.”

“Bagaimana romannya dan berapa usianya nona itu?“ tanya Siau Hoo, yang nampaknya jadi semakin ketarik.

“Umurnya kira-kira dua-puluh, romannya elok sekali,” Hong Kiat kata. “Karena aku pantang bertempur kepada orang perempuan, aku terpaksa senantiasa menyingkir dari nona itu, hingga aku tidak perhatikan romannya sungguh- sungguh ...

“Dia pasti adalah Ah Loan ... “ kata Siau Hoo, yang lantas jadi masgul, hingga kembali ia menghela napas, lagi- lagi ia tenggak araknya.

Ketika itu hujan turun makin besar, tapi Hong kiat suruh orangnya pakai tudung buat beli daging dan lainnya dipasar, ia sendiri tambahkan araknya, karena keduanya minum terus.

“Besok, walau hujan tidak berhenti, aku mesti berangkat juga!“ kata Siau Hoo kemudian.

“Kau ingin menuntut balas untuk ayahmu, saudara Kang, aku tidak berani cegah kau,” kata Hong Kiat. “Aku juga hendak cari Kong Kiat buat balas tikamannya ini, besok aku hendak turut kau!”

“Tidak, sahabatku,” Siau Hoo balik mencegah. “Kau hendak buat pesta, bagaimana kau bisa pergi ikut aku? Lagi- pun aku ada orang beradat keras, aku tidak suka orang bantui aku. Umpama kau hendak cari Kie Kong Kiat, carilah dia nanti, sesudah aku beres dengan urusanku. Umpama kita pergi berdua dan dapat kemenangan, tak luput kita akan ditertawakan oleh orang kangouw.”

Hong Kiat suka berpikir, ia manggut.

“Bcgini saja,” kata ia, “Kalau besok hujan berhenti, kau boleh berangkat, saudara Kang, kalau tidak, kau diam lagi satu hari disini untuk kita mengobrol terlebih jauh.”

Siau Hoo ternyata setuju, ia angguk-anggukkan kepala.

Hujan masih terus turun, sedang waktu itu baru jam tiga atau empat. Dua orang ini masih bercakap-cakap tentang kaum kangouw, perihal ilmu silat golongan Lweekee.

Dengan tidak merasa lagi satu mangkok arak telah kering, Hong Kiat hendak menambahi, Siau Hoo mencegah.

“Cukup!“ katanya. “Kita tunda sampai sebentar sore diwaktu bersantap.” Hong Kiat tidak memaksa. Ia lantas ke luar, ke rumahnya Jie Ceng, ibu siapa sedang rebah tidur dipembaringan, Jie Ceng sendiri masih belum pulang.

“Apa yang Jie Ceng kerjakan, sehingga hujan demikian dia belum pulang juga?” kata Hong Kiat seorang diri. Ia balik ke rumahnya, ia lihat Siau Hoo sedang rebah sambil ia baca ia punya sejilid syair.

“Tentunya saudara Kang-pun mengarti syair?” tanya ia. “Oh, tidak, tidak,” Siau Hoo jawab sambil geleng kepala,

“Tadinya  aku  tidak kenal satu  hurufpun, kebetulan guruku

mengerti llmu surat juga, ia lantas sekalian ajarkan aku ilmu surat, hingga aku bisa membaca. Dibanding dengan kau, saudara Lie, aku kalah jauh. Aku anggap, asal aku kenal beberapa huruf, itu-pun sudah cukup untuk merantau.”

Berkata demikian, Siau Hoo lantas ingat pengalamannya di Long-tiong, maka ia menghela napas, ia kata pula :

“Siapa tidak kenal mata surat, dia rugi, dia bisa celaka. Dulu selama di Longcong, karena dua pucuk surat, Long Tiong Hiap sampai cunigai aku sebagai mata-matanya Kun Lun Pay ... “ Siau Hoo-pun lalu tuturkan Long Tiong Hiap.

Mendengar Long tiong hiap rubuh di tangannya Pau Cin Hui, Lie Hong Kiat anggap guru silat itu jauh terlebih gagah daripada murid-muridnya, karena namanya Long Tiong Hiap ada sangat kesohor, benar Pau Cin Hui sudah tua tetapi tidak boleh dipandang enteng. Karena ini, ia-pun sangsi apa Siuw Hoo bisa tandingi jago tua itu.

Hong Kiat naik di pembaringan. Mereka rebah berhadap- hadapan, dengan begitu mereka bisa kongkou dengan asyik, sampai daun pintu mendadak terbuka, angin dingin menghembus masuk, Hong Kiat berbangkit ia lihat bujangnya. Bujang ini kuyup meski-pun dia bawa payung. Ia beli daging sayuran dan juga seekor ikan hidup, yang semuanya diletaki diatas meja. Ia bukan melainkan kuyup, napasnyapun sengal-sengal, romannya kaget  atau ketakutan.

“Ou Jie Ceng telah terbitkan onar,” kata ia sesaat kemudian. “Dia telah pukul orang dipasar hingga mati! “

Hong Kiat terkejut.

“Bagaimana itu terjadi?‘ ia tanya.

Siau Hoo-pun berbangkit, ia mengawasi sambil duduk. Bujang itu coba perbaiki napasnya.

“Hari ini turun hujan, Jie Ceng tidak bisa pergi ke gunung, maka itu, ia pergi kepasar untuk menagih,” ia menuturkan. “Di pasar dia ketemu Kau-pie Yu Tou jie si Botak dari Hek-kee-chung, siapa ajak ia kewarungnya si orang she Cie untuk berjudi. Katanya Jie Ceng kalah habis- habisan, karena mana, ia minta Tou-jie pulangkan uangnya. Karena ini, mereka jadi berselisih dan berkelahi. Yu Tou- jie kena ditoyor satu kali, dia rubuh terus mati. Yang berjudi disitu kebanyakan ada orang Hek-kee chung, mereka keroyok Jie Cen. Dia buat perlawanan, dia telah rubuhkan lagi tujuh atau delapan orang. Akhirnya datang semua orang Hek-kee-chung berikut Hek Jie-looya yang bawa gaetannya, Hou-tau-kau. Sekali ini dengan gampang Jie Ceng kena dirubuhkan, dia diringkus terus digusur ke Hek- kee-chung. Orang menduga, Jie Ceng sedikitnya bakal dihajar setengah mati di Hek-kee-chung.”

Hong Kiat menjadi gusar.

“Aku mesti pergi lihat! Tak dapat dibiarkan pihak Hek- kee-chung perhinakan Jie Ceng secara demikian!” Ia lantas melangkah, ia  samber tudung, iapun ambil payung.

Kang Siau Hoo turun dari pembaringan, ia pakai sepatunya.

“Apa penghidupan Hek-kee-chung itu?“ ia tanya. “Apa mereka ada bangsa okpa?”

“Mereka tidak dapat dibilang golongan okpa,”  Hong Kiat jawab seraya geleng kepala. “Hanya di Teng-hong ini, disekitarnya sepuluh lie, tidak ada orang yang berani ganggu mereka. Keluarga Hek terdiri dari dua orang, engko dan adik. Hek Toa ada jadi jenderal, dan adiknya, Hek Jie, diam di rumah sebagai tuan tanah. Dalam beberapa distrik dan gunung Siong San ini, keluarga Hek adalah yang paling berharta. Pek Jie juga mengarti ilmu silat dan sujut pada Buddha, pernah aku ketenu dia di Pek Siong Sie.”

“Kalau kau kenal dia, itulah baik,” Siau Hoo bilang, “aku percaya, kau tidak akan kebentrok satu pada lain, aku jadi tak usah turut pergi!”

“Memang, saudara Kang, tak usah ikut temani aku,” Hong Kiat kata. “Tidak lama, aku akan segera kembali.”

“Nah, kau pakailah baju hujanku,” Siau Hoo bilang. “Tidak usah,” sahut Hong Kiat dengan menggoyangkan

tangan, terus ia keluar. Ia pergi dengan pakai payung.

Siau Hoo berebahan pula, tetapi ia merasa tidak gembira, sedang pengaruh arak-pun mulai bekerja, hingga ia merasakan kepalanya panas. Ia lantas berbangkit, ia pakai baju hujannya, lalu ia pergi keluar. Ia berdiri di depan pintu pagar. Diwaktu hujan demikian, jangankan orang, walau- pun seekor anjingpun tidak tertampak. Orang pada berdiam didalam rumah. Kesunyian atau ketenangan ini, menyebabkan pikirannya melayang-layang, hingga ia lalu teringat pada masa ia selagi berurnur sepuluh tahun kurang lebih, waktu sedang ia turun hujan, didalam rumahnya ia mendengari ibunya dongeng, sebelum ibu itu habis bercerita, tiba-tiba ayahnya pulang dengan memakai tudung lebar. Ayah ini pulang sehabis berlajar silat  dirumahnya Pau Cin Hui. Ia samber tudung ayahnya itu lantas ia keluar. Kejadian itu sekarang terbayang di depan matanya selagi sekarang turun hujan. Kemudian, karena itu berbayang pula hal ayahnya dibunuh Pau Cin Hui, sehingga ia terpisah dari ibu dan adiknya, hidup tersiksa di rumahnya orang she Pau itu. semua itu ada seperti kejadian kemarin, hingga hatinya, dan berduka jadi panas. Air hujan telah menimpa kepalanya, tapi ia tidak merasakan dingin karena panasnya hati.

Itu waktu sang bujang datang membawakan tudung. “Lihat disana, tuan Kang,” kata bujang ini seraya

tangannya menunjuk ke arah sebuah pohon murbei. “Rumah bobrok dibawah pohon itu adalah rumahnya nona Tan. Ayahnya nona Tan ada satu pemburu, selagi ia kejar serigala diatas gunung, dia tergelincir dan jatuh mati dijurang. Kasihan nona itu yang sekarang hanya berdua ibu saja. Lagi beberapa hari, kalau nona Tan sudah menikah barulah keadaannya bisa mendingan ...”

Mendengar bujang in, Siau Ho ingat Hong Kiat yang akan menikah, tapi ia tidak punya barang apa juga untuk tanda   mata.   Ta   merasa   tak   enak    sendirinya.  “Besok aku hendak berangkat, barang apa aku mesti berikan?” kata ia dalam hatinya, “Baiklah sekarang, selagi dia belum pulang, aku pergi kekota akan beli apa saja.”

Ia masuk kedalam pekarangan akan siapkan kudanya. “Eh, tuan Kang, kau hendak pergi kemana?” tanya si

bujang. “Aku hendak pergi kekota beli sesuatu, aku akan segera kembali,” sahut pemuda ini, yang masuk kedalam untuk ambil uangnya. Sebentar kemudian ia sudah berada di atas kudanya yang ia larikan keluar kampung menuju kekota. Jalan besar ada berlumpur.

Empat kali Siau Hoo mundar-mandir di kota Teng-hong, belum pernah ia mampir didalam kota. Ia lihat kota ada besar, toko ada banyak, sekali-pun hujan namun tidak sedikit orang berpayung yang mondar mandir. Ia turun dan kudanya, ia lihat toko. Ia sekarang bingung, apa ia mesti beli.

“Tak tepat aku beli pupur, yancie dan cita,” pikir dia, “Ini tidak saja kelihatan bersifat perempuan, aku-pun belum kenal bakal isterinya. Keperluannya Hong Kiat ada buku dan pedang .. Kalau aku beli buku, buku itu bisa basah ketimpa hujan kalau aku beli pedang, pedang-pun dia sudah punya. Barang apa yang aku harus persembahkan kepadanya?”

Ia jadi berdiri sekian lama, pikirnya lebih baik ia beli ayam saja untuk pesta, atau kalau ayam tidak dipakai, bisa dipelihara. Maka ia terus tanya orang, dimana letaknya pasar ayam.

“Disana, lagi dua jalan besar dari sini,” orang tunjukkan, “namanya yaitu pasar ayam dan bebek.”

Siau Hoo tuntun kudanya, ia lantas dapat cari pasar itu, penjualnya ada empat atau lima rumah. Disitu terdengar berisik suaranya bebek dan ayam.

Siau Ho lantas menghampiri sebuah warung, dimana ia beli seekor angsa, dua ekor ayam biang yang besar, seekor ayam jago. Tiga ekor ayam diikat, digantung di pelana. Tapi angsa ngamuk saja dengan sayapnya, kakinya yang pendek sukar diikat. Tidak ada lain jalan, angsa itu ia peluki dengan sebelah tangan, tangan mana-pun berbareng mencekal les kuda, tangan yang lain memegang cambuk. Ia jalankan kudanya sambil setiap kali berseru, “Numpang! Numpang!’ ia pikir, sekeluarnya dari pintu kota Barat, ia hendak kaburkan kudanya itu supaya lekas sampai di rumahnya Hong Kiat. Apa mau mendadak kudanya jadi binal, dia berjingkrakan, hingga orang jadi kaget dan minggir, waktu itu-pun tiba-tiba dari satu gang muncul satu orang yang berkerodong baju rumput, hingga macamnya mirip dengan landak yang besar. Kudanya Siau Hoo kaget, kedua kaki depannya diangkat tinggi hingga penuaggangnya terus rubuh, karena ia tak menyangka akan hal ini, ia tak sempat berpegang keras. Sekejap saja tiga ayam dibawa kabur dan angsa terlepas dan lari!

Siau Hoo tidak rubuh terguling karena nya, ia bisa melompat dan berdiri  ditanah. tapi karena itu. orang tertawakan ia terbahak-bahak, ia segera menoleh akan lihat, Siapa yang menertawainya.

Orang itu adalah orang yang pakai baju rumput. Siau Hoo jadi mendongkol.

“Jangan mentertawal aku!” kata dia dengan sengit. “Toh baju rombengmu ini yang buat kudaku kaget.”

Saking gusar Siau Hoo memukul.

Orang itu berkelit. Dia bertubuh gesit. Sambil berkelit,- pun dengan tangan kanan ia sampok kepalannya Siau Hoo, dengan tangan kiri, dengan dua jarinya ia balas menyerang dengan totokan kepada iga.

Siau Hoo kaget, ia segera mundur.

“Aha, kau hendak totok aku?” ia menegur. Tapi ia segera maju. Orang itu lekas buka baju rumputnya. ia buat perlawanan, setiap kali ia hendak totok lawannya itu.

Siau Hoo pandai Tiam-hiat-hoat, ia maka setelah melayani empat gebrakan, ia angkat kakinya, buat orang rubuh terguling dilumpur.

“Ha-ha-ha!” tertawa ia, yang-pun mendupak pula. “Hayo bangun!“

Sembari kata begitu, Siau Hoo awasi orang ini, hingga akhirnya ia jadi heran. ia seperti pernah lihat orang ini, entah dimana.

“Eh, aku seperti kenal kau?” ia kata. “Kau she apa?”

Orang kurus itu ada kate dan tubuhnya kurus sekali, ia merayap bangun, pakaiannya penuh lumpur, ia jemput baju rumputnya, romannya ada sangat mendongkol.

“Kau kenal aku? Aku-pun kenal kau.” ia jawab dengan ketus. “Dulu Long Tiong Hiap tidak sudi terima kau bangsa kura-kura, sekarang kau datang kemari, rupanya hendak menjagoi!”

Setelah berkata demikian, dia lantas ngeloyor pergi.

Siau Hoo tidak jadi gusar karena cacian itu, ia awasi orang pergi, ia terus memikirkan, siapa dia itu.

“Siapa dia? Kenapa dia kenal aku? Aku seperti kenal dia juga.”

Sementara itu ada datang beberapa bocah, ada  yang bawa angsa. Mereka ini baik budi dan membantui.

“Terima kasih,” kata Siau Hoo pada mereka itu, yang masing-masing ia persen beberapa ratus chie, sedang satu bocah diminta tolong belikan tambang, buat ringkus angsanya dan ikat dipelana, kemudian ia loncat naik atas kudanya, buat  dilarikan keluar dari pintu kota Barat. Selama itu ia memikirkan orang tadi, ia masih tidak ingat siapa dia itu, hingga ia jadi masygul.

Di depan ia, Siau Hoo samar-samar lihat gunung Siong San.

“Apa orang tadi ada orangnya Thay Bu Siansu?” ia menduga-duga pula. “Tapi kenapa dia ketahui halku dengan Long Tiong Hiap dahulu? Itu ada kejadian dari sepuluh tahun yang lalu, waktu Long Tiong Hiap tidak mau menerima aku jadi muridnya.

Sampai di Kim Beng Kian, Siau Hoo masih tak ingat akan orang itu.

Ketika itu Lie Hong Kiat sudah pulang, ia berhasil menolongi Ou Jie Ceng. Dia ini diikat didalam Hek-kee- chung dan dianiaya, sampai Hong Kiat datang. Ia telah babak-belur dan matang-biru seluruh tubuhnya, kepalanya- pun lecet, ia jongkok dibawah pohon, nampaknya ia masih penasaran, maka ia tak sambuti kudanya Siau Hoo.

“Buat apa kau pergi kekota, saudara Kang?” Hong Kiat tanya seraya menghampiri.

“Besok aku hendak berangkat, aku pergi beli ayam dan angsa untuk bingkisan kepadamu,” Siau Hoo bilang. Ia terus turunkan ayam dan angsanya, ayamnya menggeletak seperti bangkai saja, kepalanya teklok.

Hong Kiat tertawa melihat ayam itu.

“Ayam ini mesti lekas disembelih dan di masak, tak dapat untuk dipelihara,” kata Siau Hoo. “Karena ini aku dapat banyak pusing, aku sampai berkelahi!”

“Apa, kau berkeahi pula?” kata Hong Kiat, yang agaknya terperanjat. “Didaerah Siong San ini, jangan kau sembarangan berselisih. Disini, kecuali Thay Bu Siansu dan Pek Siong Sie, pun Siau Lim Sie ada mempunyai anggota lima-ratus lebih. Aku tahu, aturan kuil ada keras, tidak ada anggotanya yang boleh lancang turun gunung dan berlelahi

...”

Siau Hoo geleng-geleng kepala.

“Aku bukan kebentrok dengan mereka.” ia  bilang. “Orang tadi ada orang asing di sini, aku rasanya seperti kenal padanya tetapi tidak ingat dia siapa, sebaliknya dia kenal aku.”

Siau Hoo tuntun kudanya untuk ditambat, lantas ia buka tudung dan baju hujan nya, ia masuk kedalam.

Hong Kiat mengikuti.

“Kenapa kau berkelahi saudara Kang?“ ia tanya.

Siau Hoo tuturkan sebabnya, lalu ia tambahkan: “Dia bertubuh kecil dan kurus, rasanya aku pernah ketemu dia pada sepuluh tahun yang lalu. Bugeenya-pun  ada sempurna, kecuati aku, barangkali lain orang sukar rubuhkan dia. Aku lihat, dia-pun mengerti Tiam-hiat-hoat

... “

Hong Kiat heran.

“Dia mengerti Tiam-hiat-hoat?” ia ulangi, terus ia berpikir. Kemudian ia tambahkan: “Turut apa yang aku tahu, yang mengerti Tiam-hiat-boat dikolong langit ini melainkan tiga keluarga, ialah yang satu guruku Siok Tiong Liong, yang kedua Liong Bun hiap, engkongnya Kie Kong Kiat, Letapi mereka ini tidak sembarangan turunkan kepandaiannya itu, sekali-pun aku melainkan tahu maksudnya saja. Beberapa kali aku bertempur dengan Kie Kong Kiat, belum pernah aku lihat dia gunakan ilmu itu. Yang ketiga adalah Kho Keng Kui di Kayhong, tapi kepandaiannya ia ini hanya untuk keluarganya saja. Siau Hoo bersenyum sendirinya mendengar sahabat itu, siapa ternyata tak tahu bahwa masih ada guru serta suhengnya, Ah Pa, yang pandai ilmu itu. Ia geleng-geleng kepala, sampai ia seperti tidak dengar Hong Kiat bicara lebih janh, karena ia-pun lantas pikiri pula lawannya tadi.

Tidak lama datanglah si bujang, yang tanya ikan hendak dimasak apa.

“Kecap dan minyak masih belum dibeli, rebus saja,” kata Hong Kiat.

Jie Teng masih bercokol saja, Hong Kiat memanggilnya.

Tukang kayu itu menyahuti tetapi dia tidak berbangkit.

“Jie Ceng, mari!” pemuda she Lie itu memanggil pula. “Mari aku perkenalkan kau dengan satu sababat.”

Atas itu barulah Jie Ceng berbangkit pelahan-lahan, ia menghampiri kepintu. Dia tidak pakai sepatu.

Hong Kiat lantas tunjuk Siau Hoo, ia  kata : “Ini sahabatku Kang Siau Hoo. Bugeenya ada lebih tinggi dari bugeeku.”

Ji Teng tidak masuk, ia hanya mengawasi kedalam, ia tidak berani pandang lama pada tamu itu yang tubuhnya jangkung dan romannya cakap dan gagah, dari pintu ia berikan hormatnya, kemudian iu kembali ke bawah pohon tadi, sama sekali ia tidak perdulikan air hujan.

Siau Hoo panas hatinya kapan ia  lihat tanda-tanda lukanya Jie Ceng.

“Keluarkan Hek itu pasti ada satu okpa!” kata ia dengan gusar.

“Orangnya keluarga Hek itu-pun terpukul hebat.” Hong Kiat bilang. “Jie Ceng memang sering berkelahi.”

Siau Hoo berdiam. Hujan masih belum berhenti betul, langit telah mulai jadi gelap.

Jie Ceng telah berbangkit akan pelihara kuda, sedang si bujang sudah matangi ikan dan sayurnya, hangati arak juga. Nasi-pun sadah matang. Maka sebentar saja semua itu telah disajikan diatas meja. Dua buah  pelita ada menerangi ruangan.

Hong Kiat temani Siau Hoo. Ia panggil Jie Ceng, yang ia silahkan minum. Ia ada sangat gembira, karena besok Siau Hoo hendak berangkat. Ia kata pada sahabatnya ini “Saudara Kang, aku paling hargai orang jujur sebagai kau. Aku auggap, orang liehay bugeenya, kalau dia tidak jujur, dia bukannya orang gagah sejati. Lihatlah orang-orang gagah dalam Yu Hiap Liat Toan dan Cay Su Kong dan orang gagah sebangsa Hiong Jiam Kek dari jaman Tong, mereka barulah orang-orang gagah sejati. Maka itu, aku paling benci orang-orang Kun Lun Pay, yang tidak punya kejujuran sedikit juga. Pertama-tama di Say-kwan di Seean, ke dua di Pa Kio, dua kali mereka tempur aku seorang, setiap kali mereka meluruk dalam jumlah dua atau tiga puluh orang, diantaranya ada orang perempuan.”

Siau Hoo mendongkol mendengar kata-kata sahabat itu, kata-kata siapa membangkitkan kemarahannya, maka ia lantas tenggak araknya, setelah mana, ia menghela napas. Tapi ia ingat si nona yang tempur Hong Kiat, ia minta penegasan dari sahabat ini, bagaimana romannya nona itu, akan tetapi Hong Kiat jawab bahwa dia tidak lihat tegas nona itu.

“Tidak salah lagi, dia mestinya Ah Loan.” ia  pikir. “Apakah ia sudah menikah sekarang? Kalau dia sudah menikah, itulah baik, pelahan-lahan aku bisa lupai padanya, sedang kalau aku nikah dia, aku-pun mesti tunduk terhadap orang-orang Kun Lun Pay. Apa bisa aku matur maaf untuk melamar padanya?“

Lagi-lagi Siau Hoo tenggak araknya, kemudian ia letaki sumpitnya, ia tolak mangkok araknya.

“Aku sudah pusing,” kata ia pada Hong Kiat. “Besok, sekali-pun hujan tak berhenti, aku akan lakukan perjalananku ke See-an, ke Cieyang, ke Tinpa, buat tempur orang-orang Kun Lun Pay, sehabis menuntut balas, mungkin aku-pun akan terbinasa disana ... ”

Hong Kiat heran dan terperanjat.

“Saudara Kang, mengapa kau mengucap demikian?” kata ia. “Umpama kau merasa sukar untuk lawan Kun Lun Pay dan Kie Kong Kiat, aku dapat membantunya! Urusan nikahku ada urusan kecil.”

Siau Hoo bersenyum ewah.

“Delapan Kun Lun Pay, enam belas Kie Kong Kiat, semua aku tidak lihat mata!“ kata ia. “Kesukaranku adalah bukan urusan menuntut balas, hanya suatu urusan lain yang selama sepuluh tahun tak dapat aku lupakan. Aku bersengsara dalam perantauan, aku siksa diri belajar silat diatas gunung, itu bukan untuk menuntut balas saja, juga buat satu urusan lainnya yang ada terlebih sulit daripada urusan pembalasan...”

“Ah, saudara Kang, kali ini kau tidak berlaku jujur,” Hong Kiat bilang. “Ada apa yang kau tidak dapat omongkan kepadaku? Kita belum bersahabat lama tetapi hati kita ada satu. Kalau bukan bsok kau sudah tetap hendak berangkat, aku masih hendak minta kau berdiam beberapa hari pula disini, dan umpama kau tidak mencelanya, aku ingin kita angkat saudara, untuk mati dan hidup bersama-sama!“ “Bagus!“ berseru Siau Hoo. “Karena kau mengucap demikian, saudara Lie, baiklah sekarang juga kita jadi saudara-saudara angkat! Hanya kesulitanku itu tak dapat dituturkan dengan satu atau dua patah kata saja, sedang kalau aku beritahukan juga pasti kau-pun tak akan dapat berbuat suatu apa, atau kau buat aku bertambah sukar. Baiklah kau tunggu sampai aku sudah selesai, nanti aku beri penuturan padamu.”

Setelah kata begitu Siau Hoo lantas rebah di pembaringan.

Hong Kiat mengawai dengan bengong. Ia  sekarang mulai bisa menduga, karena pemuda ini melit tanyakan hal si nona. Disini mesti ada soal cinta. Ya, cinta sejak sepuluh tahun yang lalu. Tapi mereka waktu itu baru berumur sepuluh tahun  lebih. Apa bisa jadi dalam usia muda demikian mereka sudah merasai cinta? Inilah aneh.

Selagi diluar rumah masih terdengar suara menetes air hujan, kedua pelita sudah hampir padam. Dimeja ada sisa makanan, tulang-ulang ikan dan lainnya. Maka Hong Kiat singkirkan itu untuk besok bujangnya benahkan. Sisa minyak dikedua pelita ia jadikan satu dalam satu pelita, pelita yang lainnya ia tiup padam. Kemudian ia tutup pintu, karena ia-pun hendak rebahkan diri.

Justeru itu, Siau Hoo berbalik matanya dibuka lebar. “Padamkan saja api itu,” kata ia tetapi dengau suara

berbisik.

Hong Kiat terperanjat, ia tidak sangka sahabatnya masih belum tidur. Tapi ia terus tertawa.

“Apakah tidak baik akan antap satu pelita ini?“ tanya ia. “Apa bisa jadi akan ada orang datang mencuri?” “Lekas padamkan api, aku dengar suara apa-apa diluaran!“ Siau Hoo berbisik pula.

Hong Kiat kaget, ia segera padamkan api, lalu ia samber pedangnya dari tembok, setelah hunus itu, ia berindap- indap ke pintu, dari celah pintu ia mengintip keluar.

Di luar, langit tidak terlalu gelap, tetapi tak kelihatan nyata hujan sudah berhenti atau belum. Angin meniup keras, menjatuhkan sisa air dari daun-daun pepohonan.

Selagi Hong Kiat hendak membuka pintu, Siau Hoo cegah padanya. Sahabat ini telah turun dari pembaringan dan menghampiri padanya.

“Jangan keluar!” sahabat ini kata. “Kau jangan pusingkan diri. Dia barangkali ada itu orang yang tadi siang bertempur dengan aku, yang datang untuk mengobrol ... “

“Aku tidak dengar suara apa-apa, mungkin kau yang keliru mendengarnya,” kata Hong Kiat sambil tertawa.

“Aku dengar suara orang tolak pintu pagar kita,” kata Siau Hoo sambil tertawa juga. “Aku tidak bisa keliru dengar. Sepuluh tahun lamanya aku belajar silat di Kiu Hoa San, maka kalau sekarang kau lemparkan jarum di tempat jauhnya sepuluh tindak dari aku, aku bisa dengar itu.”

Hong Kiat tertawa, ia tetap kurang percaya. Ia anggap, taruh kata pintu pagar tertolak, itu barangkali ada pekerjaan anjing, bukan oleh orang jahat.

Walau adanya itu semua, Siau Hoo tidak nampak kaget atau kuatir, malah ia ada gembira.

“Pergilah kau tidur!” kata ia pada sahabatnya, pedang siapa ia minta. “Tidak ada perkara besar! Sebentar aku akan perlihatkan permainan yang menarik hati ...”

Mau atau tidak, Hong Kiat turut tertawa. “Baiklah,” ia bilang ... “Aku nanti lihat ... “

Meski demikian, tuan rumah ini sangsikan sahabat itu omong benar-benar atau main-main. Namun ia anggap sekarang ketika baik akan ia lihat kepandaiannya sahabat itu.

Siau Hoo mengintip keluar, lalu ia kembali ke pembaringan rebahkan diri, ia letaki pedangnya. Hong Kiat rebah diam saja di sebelah luar. Keduanya bungkam.

Selang setengah jam, Siau Hoo rupanya sudah tidur, Hong Kiat dengar tindakan kaki didalam pekarangan. Ia hendak berbangkit untuk berduduk, atau Siau Hoo tekan tubuhnya.

“Itulah suaranya Ou Jie Ceng,” kata sahabat ini dengan berbisik.

Hong Kiat pasang kuping, sekarang ia dengar tindakan kaki yang berat, yang lalu disusul oleh suara menguap yang keras. Tidak salah, dia itu adalah Jie Ceng. Rupanya dia masih mendongkol dan tak senang tidur karena luka- lukanya, dia keluar untuk berangin. Karena ini, Hong Kiat jadi kagumi sahabatnya itu.

Jie Ceng terus mondar mandir tindakannya dibuka lebar, sering-sering terdengar elahan napasnya.

Hong Kiat tertawa sendirinya.

“Itulah benar Jie Ceng, biar dia rondai kita!” kata ia. Siau Hoo tidak jawab sahabatnya ini, ia tetap berdiam. Lewat lagi sekian lama, selagi Hong Kiat mulai layap-

layap, tiba-tiba terdengar teriakannya Ou Jie Ceng di dalam pekarangan : “Ada maling!“ Gesit laksana kucing,  Siau Hoo dengan pedangnya lompati tubuhnya Hong Kiat, ia mencelat kepintu, buka itu dan lompat keluar.

Hong Kiat lantas saja ambil pedang, diwaktu mana, ia dengar beberapa kali suara beradunya senjata didalam pekarangan, dan terdengar suaranya Siau Hoo : “Sahabat, jangan kau lari!”

Ketika Hong Kiat memburu keluar, Siau Hoo  sudah kejar lawannya sampai diluar pekarangan ada rebah seorang yang tubuhnya besar, karena ternyata Ou Jie Ceng telah rubuh bekas tertotok jalan darahnya, maka ia lekas tolongi tukang kayu itu, kemudan ia menyusul keluar.

Diluar pekarangan. Siau Hoo tidak kelihatan, maka Hong Kiat memburu terus sampai diluar kampung dimana sekarang ia tampak sahabatnya sedang layani seorang yang bersenjatakan tougkat besi, tongkat mana, kecuali digunakan seperti toya biasa,-pun sering-sering dipakai menotok dadanya sahabatnya itu. Siau Hoo sebaliknya kelihatan sangat gesit, ia loncat sana dan loncat sini, pedangnya seperti terputar-putar, menyambar-nyambar bagaikan kilat. Dengan cara ini lawan itu terpaksa dibuat berkelahi sambil mundur.

Hong Kiat menonton terus sampai belasan jurus telah lewat, sesudah mana, sang lawan rupanya tidak sanggup melawan lebih jauh, dia putar tubuhnya hendak lari. Akan tetapi Siau Hoo seperli terbang lompat melesat, akan  candak lawan itu, bebokong siapa ia jambak, tongkat siapa- pun segera dirampas.

Orang itu putar tubuhnya secara gesit sekali, dengan jari tangannya ia menotok, tetapi Siau Hoo sudah lantas tolak tangannya itu, hingga ia tak dapat capai maksudnya. Justeru itu Hong Kiat memburu, pedangnya telah digeraki.

“Jangan serang dia!“ Siau Hoo serukan kawannya. Kemudian sambil bersenyum, ia kata pada lawannya itu : “Sahabat baik, jangan kau gunakan  Tiam-hiat-hoat terhadap aku! Ilmu menotokmu ini, kau boleh pakai permainkan segala orang kangouw biasa, terhadap aku, jangan kau memikir untuk menggunainya!“

Orang itu rupanya insyaf bahwa ia tidak dapat melawan terlebih jauh, maka sambil bernapas sengal-sengal, dia kata dengan rela:

“Nah, terserahlah padamu! Tapi aku boleh terangkan padamu, datangku malam ini bukan untuk buat kau celaka, aku hanya datang untuk piebu belaka! Pada sepuluh tahun yang lalu, waktu kita bertemu di Lam-kang, kepandaian kita ada berimbang, maka setelah berselang banyak tahun itu, sesudah kita sama-sama berlatih terlebih jauh, aku hendak uji kepandaian kita berdua ... “

Mendengar ini, Siau Hoo segera ingat pula suatu kejadian pada sapuluh tahun yang lalu ketika ia ikuti Long Tiong hiap pergi ke Siamsay Selatan, akan tempur Pau Kun Lun, sesampainya didistrik Lam kang, mereka telah singah di Wan kee-chung dimana mereka liwatkan sang malam. Disitulah Siau Hoo pertama kali bertemu muka dengan Keng Goan. Siapa nyana Keng Goan sekarang satroni padanya.

“Apakah kau bukannya Wan Keng Goan, puteranya Wan Toa-chuncu?“ ia lantas tegaskan. “Kenapa kau berada disini?“

Ditanya begitu, Keng Goan menghela napas. “Keadaan keluargaku malang sekali,”  menyahut ia, untuk menjelaskan. Sejak Long Tiong Hiap dipecnndangi Pau Kun Lun, dia pulang untuk terus tidak keluar merantau pula. Ayahku kandaku, Cu Ciau, mempunyai banyak musuh, karena kami selanjutnya tak dapat bantuan lagi dari Long Tiong Hiap, musuh-musuh itu datang menyatroninya. Dengan saling susul ayah dan kandaku  telah terbinasa ditangan musuh-musuhnya, malah harta benda-pun dirampasnya. Beruntung aku dapat ditolong oleh satu pendeta yang dipanggil Tok Tiang Ceng. si Tongkat Tunggal. Pendeta itu dulunya pernah dapat amal dari ayah, ia ingat budi kebaikan itu, ia  balas dengan tolongi aku sambil dia-pun tolong balaskan sakit hati. Tok Tiang Ceng bawa aku kekuilnya, ia ajarkan aku ilmu silat, diantara-pun Tiam-hiat-hoat. Karena aku dianggap sebagai muridnya, kemudian dia ubah namaku jadi Ceng Hian, ia anjurkan untuk kemudian aku sucikan diri.”

“Baik,” kata Siau Hoo, aku akan pangggil kau  Wan Ceng Hian. Tapi selagi kau kenali aku, kenapa tadi didalam kota bukannya kau lantas tegur aku, kau justeru hendak lantas totok padaku?”

“Sekali-pun aku berbuat demikian, aku tidak bermaksud jahat,” Cen Hian jawab. “Aku telah dengar kau baru keluar dari perguruan, katanya Kie Kong Kiat sudah datang ke Hoolam untuk bekuk padamu, dari itu aku hendak coba- coba kepandaianmu. Maksudku datang kemari adalah untuk kunjungi Siau Lim Sie buat sekalian menemui Thay Bu Siansu.”

Siau Hoo gusar mengetahui Kie Kong kiat sudah datang ke Hoolam untuk bekuk ia.

“Dani siapa kau dengar Kie Kong Kiat bendak bekuk aku?” ia tanya. “Oh, kau jadinya belum tahu? Sekarang ini Kie Kong Kiat sudah sampai di Lokyang, yang diikuti Tok-gan Sianhong Chio Cie Yau dan Thay-swee-too Lau Cie Wan. Disepanjang jalan Kie Kong Kiat ada  tempel pemberitahuan bahwa dia hendak tangkap kau.”

Mendengar begitu, Lie Hong Kiat tertawa.

“Itulah dia punya akal lama!“ kata orang she Lie ini. “Di See-an diapun pernah tempel semacam pemberitahuan untuk bekuk aku!“

“Ya, dengan itu cara dia hendak buat kau gusar supaya kau keluar,” Ceng Hian-pun terangkan.

Tetapi Siau Hoo tetap gusar.

“Tidak usah dia main tempel pemberitahuan! Sekarang juga aku pergi cari padanya! Saudara Ceng Hian, sampai kita bertemu pula! Hari ini aku berbuat salah terhadapmu, tetapi ingat persahabatan kita pada sepuluh tahun yang lalu, aku percaya kau tidak akan persalahkan aku!”

Siau Hoo memberi hormat pada bekas lawannya itu, lalu ia lari ke arah Kim Beng Kian.

“Nah, marilah kau mampir  padaku, saudara Wan!” Hong Kiat undang orang baru itu.

“Terima kasih, tidak usah,” Ceng Hian jawab. “Lagi beberapa hari aku nanti kunjungi kau. Hanya, tolong kau beritahukan Kang Siau Hoo, kepandaian Kie Kong Kiat tidak boleh dipandang ringan!“

Setelah kata begitu, Ceng Hian jemput tongkat besinya dan ngeloyor pergi.

Hong Kiat tidak kata apa-apa lagi, ia lari pulang, ketika ia sampai di rumahnya, ia dapatkan Kang Siau Hoo lagi tuntun kudanya keluar dari pagar pekarangan. Ia lantas mencegah.

“Saudara Kang, kenapa mesti begini terburu napsu?“ kata ia. “Besok masih ada tempo untuk kau berangkat!“

Siau Hoo geleng kepalanya.

“Aku tak dapat menahan pula amarahku,” jawab ia. “Belum lagi aku cari Kun Lun Pay, Kuti Lun Pay sudah mendahului kirim Kie Kong Kiat mencari aku! Malah dia katanya hendak bekuk aku! Jikalau aku tidak segera papaki mereka itu, nyatalah aku ada bernyali kecil seperti tikus, sehingga percuma saja aku belajar silat sepuluh tahun di Kiu-Hoa San!“

Hong Kiat habis daya, ia menyesal. Ia  tidak sangka sahabat ini, satu waktu ada sabar luar biasa, lain waktu ada berangasan sekali.

“Kalau kau tetap hendak berangkat, saudara Kang. aku tidak bisa mencegahnya pula,” ia bilang. “Hanya mengenai Kie Kong Kiat aku hendak peringatkan pada kau, bahwa bugeenya benar liehay, sebab dia dapat warisan  ilmu pedang dari Long Bun Hiap, maka kalau kau hadapi dia, jangan kau memandang enteng kepadanya. Dengan ini aku bukan hendak pengaruhi kau, tidak, harap kau menganti.”

Kang Siau Hoo tertawa dingin.

“Aku justeru inginkan bugeenya yang liehay itu,” dia kata. “Aku akan gunai saja dua atau tiga bagian dari kepandaianku, yang lainnya aku tidak pikir untuk diperlihatkan. Untuk pertama ini aku nanti takluki Kie Kong Kiat, setelah itu baru aku cari Kun Lun Pay untuk menuntut balas. Aku percaya setelah satu bulan, aku bisa datang pula kemari.”

Hong Kiat manggut-manggut. “Baik, baik, aku menungguinya!“ ia bilang.

Keduanya lantas tukar kembali pedang mereka, Siau Hoo loncat naik atas kudanya, kemudian ia angkat kedua tangannya memberi hormat pada sahabatnya siapa lekas balaskan itu. Kemudian ia larikan kudanya  keluar kampung.

Malam ada gelap tetapi Siau Hoo larikan terus kudanya, ia pakai tudungnya yang lebar, ia mengenakan juga baju hujannya. Dengan terbitkan suara di air lumpur, kudanya menuju ke Utara.

***

Bab 10

SATU MALAM PENUH SIAU HOO jalankan

kudanya, ketika besoknya pagi ia sampai disebuah dusun, hujan masih belum berhenti betul. Ia cari sebuah rumah makan untuk berdahar sambil beristirahat juga. Disini ia tidak singgah bermalam, kembali ia sudah larikan kudanya menuju ke Utara. Ia lintasi pegunungan Siong San sebelah Utara, ia memutar ke Barat. Diwaktu magrib ia sampai di Lokyang, disebuah dusun jauhnya tigapuluh lie dari pintu kota Timur. Disini ia cari hotel untuk bermalam. Ia tidur dengan tidak pernah berpisah dari pedangnya, ia  kuatir kalau diam-diam Kie Kong Kiat bokong ia. Keesokan pagi, ia sudah lantas berangkat pula. Hujan telah berhenti sekarang, hawa telah berobah jadi panas, membuat orang gerah dan pepat pikiran, sampai Siau Ho buka bajunya. Ia keprak kudanya akan memasuki Tang-mui, pintu timur.

“Kie Kong Kiat bukannya orang besar, dimana aku mesti mencarinya?” ia pikir. Ia  tahan kudanya sebentar akan berpikir lebih jauh. “Ah, baiklah aku cari sebuah piau- tiam saja untuk minta keterangan ...” Ia merandek di depan pintu kota sekali, lalu ia menoleh kekiri dan kanan. Kebetulan ia baca sebuah merek dengan huruf-huruf lainnya. Ia baca: Thay Peng Piau  Tiam. Kesohor jauh dan dekat”. Kemudian, di tembok yang putih, ia dapatkan tulisan-tulisan yang huruf-hurufnya sudah tidak nyata, tapi toh ia masih dapat baca kata-kata : “Untuk tawan Kang Siau Hoo”.

Membaca itu, Siau Hoo berseru sendirinya.

“Oh, kiranya Kie Kong Kiat yang rendah ada disini!” demikian katanya. Terus ia loncat turun, ia tuntun kudanya akan menghampiri piau-tiam itu ia masuk dengan tidak pakai aturan lagi.

‘Piau-tiam itu ada punya kantoran yang duduknya menghadapi pintu, maka begitu melangkah pintu orang segera sampai dipintu kantor. Ketika itu pinu kantor tertutup, Siau Hoo lantas mendupak, hingga daun pintu menjadi menjeblak, beberapa orang yang masih tidur jadi tersedar dengan kaget. Tiga orang segera merayap bangun.

“Hei, ada apa?” menegur mereka, dengan gusar. “Kenapa kau tendang pintu?”

Kang Siau Hoo hunus pedangnya.

“Bukankah ditembok kau menulis hendak bekuk Kang Siau Hoo?” ia-pun menegur. “Nah, aku adalah Kang Siau Hoo! Binatang mana yang hendak tangkap aku? Lekas menggelinding keluar mari adu kepandaian!”

Semua orang itu menjadi kaget, hingga muka mereka jadi pucat.

“Oh, kiranya urusan pemberitahuan itu,” kata satu diantaranya, yang berumur empat puluh tahun, “Tuan Kang, tolong simpan dahulu pedangmu, mari dengar keteranganku. Pemberitahuan itu bukannya kita yang tulis, hanya Kie Kong Kiat yang menulisnya ketika beberapa hari yang lalu ia datang ke mari. Dia itu ada cucunya Liong Bun Hiap dia datang bersama dua orang Kun Lun Pay ... ”

“Dimana adanya dia sekarang?“ Siau Hoo memotong. “Lekas beri tahu aku!“

“Dia itu sudah pergi sejak kemarin dahulu, tuan Kang,” sahut orang tadi seraya dia pakai bajunya. “Dia pergi sesudah singgah dua hari disini. Selama berada disini didalam dan diluar kota dia main tulis pemberitahuannya itu ditembok orang, tidak ada orang yang berani mencegahnya, karena kepandaiannya yang liehay itu, sedikit saja dia main hajar orang. Kemarin dahulu, begitu lekas dia angkat kaki, kita telah ambil air dan busak pemberitahuannya itu, rupanya masih belum bersih betul hingga tuan dapat lihat itu ...

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar