Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 15

Jilid 15

AGAKNYA Kie Kong Kiat hendak menulis lebih jauh, tetapi seruannya pemuda kita menyebabkan ia merandek, terus ia menoleh. Ia tampak orang tidak membawa pedang, dan pakaiannya-pun terdiri dan cita kasar, ia tidak curiga, ia tidak ambil perhatian. Tapi karena ini, ia batal menulis lebih jauh, ia lantas bayar uang araknya, terus saja ia bawa pedangnya dan berjalan keluar.

Siau Hoo-pun segera bayar uang araknya, ia keluar menyusulnya. Maka itu, sesampainya dijalan besar, mereka jalan seperti saling susul.

Tidak lama Kie Kong Kiat sampai disebuah hotel kedalam mana dia masuk, malah masuk terus ke kamarnya.

Siau Hoo ikut masuk kedalam hotel itu, setelah perhatikan orang punya kamar, barulah ia pulang kerumah penginapannya sendiri.

Malam itu didalam kamarnya, Kie Kong Kiat duduk menghadapi lampu. Ia berniat mengarang syair, untuk menyambungkan tiga baris yang tadi, supaya nanti dimalam hari pengantin, ia bisa bacakan itu di depannya Ah Loan. Dengan begitu, di depan isterinya ia  bisa banggakan bahwa ia bun-bu coan cay. Apa mau, walau-pun ia sudah berpikir keras, ia  tidak dapat kata-kata untuk syairnya itu. Sebalikhya ia segera bayangkan roman cantik dari si nona, hingga ia jadi tersengsam. Ia girang, ia puas. Ia anggap tidaklah sia-sia hidupnya ini. Siapa nyana, datang ke Kwan-tiong, ia peroleh pasangan nona gagah dan pintar serta cantik.

“Aku menuju ke Selatan ini untuk cari Kang Siau Hoo buat unjukkan Ah Loan tentang kegagahanku,”  kemudian ia ngelamun, “siapa tahu aku sudah lalui ratusan lie”, aku telah tempel pemberitaanku diseratus tempat lebih, tidak juga aku berhasil membuat Siau Hoo panas dan muncul. Semua Lau ryeng Hotiw, Lau Kong dan Pang Jie, bilang bahwa Kang Siau Hoo berada didaerah Hoolam-Oupak ini, tetapi aku tidak juga dapat cari padanya. Terang dia jerih, dia tidak berani datang cari aku. Kasihan Lau Cie Wan dan Chio Cie Yau, sejak itu hari ditoko beras di Cengyang ada orang antarkan uang padaku diwaktu malam, untuk didermakan pada orang banyak, mereka lantas tidak berani berdiam lagi bersama aku dalam sebuah kamar malah tegah jalan Cie Wan-pun senantiasa berkuatir saja. ini menyatakan yang kaum Kun Lun Pay sudah dibuat pecah nyalinya oleh Kang Siau Hoo! Apa artinya Cie  Wan bagiku? Umpama kita ketemu Siau Hoo ditengah jalan, pasti dia tidak akan berani menunjukinya. Secara begitu, seumur hidup tak akan dapat aku ketemu Siau Hoo! Ini tidak saja akan menghabiskan tempo dan tenagaku, Ah Loan di Kwan-tiong juga tentu siang dan malam mengharap aku saja ... Baiklah besok aku berdiam setengah harian disini, akan mendaki Bu Tong San, lalu tengah harinya aku pulang ke Kwan-tiong akan lebih dahulu nikah Ah Loan, setelah itu, aku masih ada punya ketika akan cari terus pada Kang Siau Hoo. Aku juga sekalian perlu cari tahu, orang gagah siapa yang bantu uang padaku diwaktu malam       guna        tolong        kaum       pengungsi.” Lama Kong Kiat berpikir, hingga ia merasa otaknya lelah, tubuhnya letih, maka dengan tidak benahkan lagi perabot tulis, ia lalu tutup pintu dan padamkan api, lantas ia naik tidur. Ia masih pakai bajunya yang putih tadi. Dan sebentar kemudian ia sudah pules.

Malam itu lewat dengan aman, Kong Kiat tidak dengar suatu apa, ia tak merasai gangguan, seantero malam ia tidak pernah mendusi, ketika besoknya pagi ia sadar dari tidunya, ia lihat pintu tetap tenkunci. Hanya, waktu ia berbangkit, ia menjadi heran, melihat pada selimutnya ada air bak yang hitam. Untuk pertama kalinya ia menyangka tadi malam ia sudah berlaku kurang hati-hati hingga air bak mengenai selimutnya itu. Dengan tidak curiga apa, ia buka pintu, ia teriaki jongos untuk bawakan ia air cuci muka.

Dengan lekas jongos datang dengan membawa apa yang dimintanya tapi lantas ia berdiri diam, kedua matanya mengawasi saja pada belakangnya Kong Kiat.

“Lekas ambir air!” Kong Kiat membentak, ia mendongkol. “Kenapa kau diam saja?”

Jongos itu terperanjat, ia lantas berlalu, tetapi, sekali ia masih menunggu lagi.

Kie Kong Kiat bersenyum, ia angap jongos itu lucu ...

Ketika itu muncul Lau Cie Wan, yang sudah bangun tidur. Dia ini ambil lain lkamar.

“Kong Kiat, apa jadi kita pergi ke Bu Tong San?” ia tanya. “Pikirku tidak perlu kita pergi,“ Ia berhenti kata- katanya itu dengan ia terus mengawasi dengan mendelong. “Eh, kenapa kau menulis dipakaianmu?” Kong Kiat heran, segera ia buka bajunya, akan lihat bagian belakangnya. Untuk kekagetannya, ia baca huruf- huruf untuk membekuk Kang Siau Hoo, bunyinya tulisan tepat seperti bunyinya tulisannya sendiri. Lantas saja ia keluarkan keringat dingin, hatinya mencelos. Ia kesima.

“Siapa tulis ini?” kemudian ia kata dalam hatinya. “Tentu, selagi aku tidur nyenyak, ada orang masuk ke kamarku permainkan aku!“

Dan heran dan bingung Kong Kiat lantas jadi mendongkol dan gusar, dengan tidak merasa mukanya jadi pucat, saking panas hatinya.

“Ah,” kata Cie Wan kemudian, “Bajumu ini ada baju mahal kenapa kau corat-coret dengan bak? ... ”

Kong Kiat lantas tertawa dengan dibuat-buat.

“Aku terlalu sening menulis huruf-huruf ini, aku telah menulis terlalu banyak,” kata ia, “maka tadi malam, setelah minum sedikit arak, ingat Kang Siau Hoo, hatiku jadi panas sekali, hingga aku lantas tulis huruf-huruf ini dibajuku!“

Dalam murkanya, Kie Kong Kiat lantas lemparkan bajunya itu, ia kepal-kepal tangannya.

Air mukanya Cie Wan juga lantas berubah, ia mulai bercuriga. Tapi, ia lekas dapat kendalikan diri. Lalu, dengan sembarangan ia kata : “Boleh jadi Kang Siau Hoo sudah dengar kabar dan ia telah lari jauh, maka itu, buat apa kita cari ia secara begini membabi buta? Lebih baik kita pulang saja ke See-an! Aku kuatir disana nanti terjadi suatu apa ...”

Kie Kong Kiat seperti tidak dengar kata-katanya kawan itu.

“Nanti kita pikir pula!“ kata ia dengan uring-uringan. Lau Cie Wan heran, terus saja ia kembali ke kamarnya sendiri.

Sampai sekian lama, Kong Kiat masih berdiri  bengong. Ia ada sangat mendongkol. Selang sekian lama, ia jemput pula bajunya itu. Ia periksa sesuatu huruf itu, yang tulisannya jelek.

“Entah siapa yang tulis ini?“ pikir ia  dengan uring- uringan. Ia gantung bajunya yang sudah lecak itu, ia tukar dengan yang lain, kemudian dengan bawa pedangnya ia keluar dari hotel. Ia jalan dijalan besar dengan sikap gagah. Sanpai sebegitu jaub, ia tidak lihat siapa juga yang mencurigai.

“Aku yang kosen kenapa orang bisa permainkan begini macam?” pikir ia pula.

Kong Kiat jalan dengan tak punya tujuan, sampai ia ingat rumah makan kemarin dimana ia menulis syair. Ia lantas pergi kesana.

“Beri aku arak!” kata ia dengan suara keras selagi ia memanggil jngos. Kemudian ia angkat kepalanya akan memandang ketembok, kebagian dimana kemarin ia menulis syair. Sekarang, dibawahan dari tiga baris syairnya itu, ia lihat ada tambahan dengan buru-buru, yang terlebih besar dari tulisannya sendiri, yang berbunyi sebagai berikut:

Percuma kau mengaku gagah perkasa, sebenarnya bugeemu biasa saja! Tadi malam kalau aku tak berkasihan, sekarang pasti kau telah hilang jiwa!

Kembali Kong Kiat keluarkan keringat dingin, tetapi sesaat kemudian, ia lantas jadi gusar pula. Ia  jambak jongos, yang justeru datang hawa arak. “Kenapa kau antap orang menulis dibawahan syairku ini.” ia berseru.

Jongos itu kaget tetapi ia tidak ketakutan.

“Dia juga berikan aku dua chie!” ia beri tahu. “Akupun tidak tahu apa yang dia tulis ...”

“Bagainiana romannya orang itu’?” tanya Kong Kiat, kepalannya mengancam.

“Dia  ada seorang muda. Dia-pun baru selesai menulis ...


Jongos   itu  belum  tutup   mulutnya,   atau   diluar pintu

terdengar suara tertawa gelak-gelak yang disambung dengan kata-kata nyaring:

“Kie Kong Kiat! Jikalau kau ada punya kepandalan,  mari kita buat pertemuan di Bu Tong San!”

Kong Kiat dengar itu, dalam murkanya ia lantas saja lari, akan berloncat keluar pintu.

“Manusia rendab, jangan lari!” ia berseu.

Kapan ia sampai di depan, ia lihat satu kuda hitam diatas mana ada bercokol seorang dengan pakatan hijau, yang sama sekali tidak menoleh ke belakang, kudanya kabur ke arah Selatan.

Kie Kong Kiat coba memburu, tapi sia-sia saja, dalam beberapa puluh tindak saja ia sudah ketinggalan jauh, maka terpaksa ia lari balik kerumah penginapannya, akan ambil kudanya, yang ia tidak sempat pasanglan dahulu pelananya, dengan tuntun binatangnya ini, ia bertindak cepat menuju keluar pekarangan.

Ketka itu, Cie Wan dan Cie Yau kebetulan ada didalam pekarangan itu. “Eh, Kong Kiat, kau hendak pergi kemana?“ mereka ini tanya.

“Jangan kau perdulikan aku!” Kong Kiat jawab sambil banting kaki.

Sesampainya diluar, pemuda ini loncat naik atas kudanya, yang ia terus kaburkan ke Selatan dan kemadian biluk ke Barat menuju ke Bu Tong San, akan kejar orang tadi yang naik kuda hitam, yang  menantang ia secara menghina.

Sementara itu Kang Siau Hoo ialah penunggang kuda hitam telah sembunyikan diri ditengah jalan, di tempat pepohonan yang lebat. Ia awasi orang merat ke arah Bu Tong San, setelah orang she Kie itu sudah pergi jauh, ia lantas keluar dari tempat sembunyinya, ia larikan kudanya balik. Ia menuju langsung ke hotelnya cucunya Liong Bun Hiap, begitu ia sampai di depan pintu, ia perdengarkan suaranya yang nyaring:

“Lau Cie Wan!”

*** XI

DI DALAM HOTEL, didalam kamar Cie Wan sedang duduk terpekur dengan masygul bersama-sama Chio Cie Yau. Keduanya sedang pikirkan suatu orang gagah yang tidak dikenal, yang rupanya secara menggelap satrukan Kie Kong Kiat, sekali-pun bukan dengan maksud jahat, tetapi juga bukan dengan niatan baik. Justeru itu, Cie Wan dengar suara memanggil ia dan luar itu. Ia menjadi heran ketika dari kejauhan ia tampak, orang itu ada satu pemuda, pakaiannya biru, tangannya menuntun kuda, sedang berdiri dimuka pintu. Segera ia menghampiri. “Sahabat, kau cari Lau Cie Wan?” ia tanya, untuk menegaskan. “Kau she apa? Ada urusan apa kau cari Lau Cie Wan? . . .”

Sementara itu ia sudah datang semakin dekat, kapan ia telah lihat tegas mukanya orang itu,  ia  kaget bukan kepalang hingga ia menjerit: “Oh ...”

Siau Hoo bersenyum.

“Mari turut aku!” kata tangannya menggape, “Aku hendak bicara sedikit kepadamu.”

Mau atau tidak kakinya Cie Wan menjadi lemas. Ia bertindak menghampiri sampai keduanya berdiri berhadapan.

“Kau jangan takut, kita berdua tidak bermusuhan,” Siau Hoo bilang.

Mendengar ini, hatinya orang she Lau itu jadi sedikit lega.

“Saudara,” katanya, untuk bermuka-muka. “Sudah sepuluh tahun kita tidak bertemu, siapa sangka kau telah jadi begini besar dan jangkung! Kabarnya kau telah sempurnakan bugeemu, benarkah itu?”

“Tidak leluasa untuk bicara disini,” Siau Hoo bilang dengan tak perdulikan pertanyaan orang. “Mari kita  pergi ke Selatan sana untuk bicara sedikit, jikalau tidak, tadi malam pastilah aku sudah penggal lehermu bertiga!”

Cie Wan tidak bilang suatu apa, ia mengikuti.

Mereka keluar dari Lam-kwan (kota Selatan), sampai disebuah tegalan dimana ada sebuah platok batu yang kasar, disitu ada terukir beberapa huruf yang menyatakan itu adalah tapal batas tanahnya satu keluarga Thio. Dimuka pelatok itu, Siau Hoo tahan kudanya.  “Mari kita bicara disini,” terus ia berka ta pada Lau Cie Wan. “Ayahku telah dibunuh Pau Cin Hui, dan ketika aku masih kecil tinggal di rumahnya orang she Pau itu, kau ketahui juga bagaimana aku diperhina. Kau sendiri pun tidak bermaksud baik terhadap diriku, tapi juga tidak kandung niatan jahat. Sekarang aku telah sempurnakan ilmu silatku, kau lihat!”

Siau Hoo ayun tangan kanannya ke arah pelatok batu gerakkannya sangat sebat, di antara suara sabat yang keras, pelatok itu telah terpapas kutung! Tangannya Siau Hoo tidak terluka, air mukanya-pun tidak berobah. Ia hanya tertawa dengan tawar.

“Ini baru apa yang dinamai Nge-kang, ilmu pelajaran keras,” kata ia. “Tentang Nui-kun, ilmu pelajaran halus, walau-pun aku mempertunjukkannya-pun kau tak kan dapat mengerti.

Cie Wan kaget, mukanya pucat dengan tiba-tiba. Ia jerih sampai tubuhnya sedikit bergemetar. Adalah dengan sebisa- bisa ia coba berlaku tenang.

“Memang aku sudah tahu, saudara, kau telah belajar sempurna,” katanya. “Baik aku jelaskan kepadamu, adalah terpaksa yang sekarang aku telah turut-serta Kie Kong Kiat. Cie Yau-pun turut dengan terpaksa seperti aku juga. Saudara ketahui sendiri, aturan kaum Kun Lun Pay ada sangat bengis apa yang suhu perintah, kita mesti taati!”

“Jangan sebut-sebut lagi Kun Lun Pay!“  Siau Hoo membentak sambil ia raba gagangnya pedang, “Pau Cie Lim, Kat Cie Kiang, Liong Cie Teng dan Liong Cie Khie semua ada musuh-musuhku, mereka semua mesti aku bunuh! Tapi yang lain-lain bukan musuhku, asal mereka tidak ganggu aku, aku-pun tidak nanti ganggu mereka!”

Lau Cie Wan bergidik, tapi ia bisa menghela napas. “Memang, permusuhan diantara kau kedua pihak tak dapat diredakan pula,” katanya. “Apa daya? Buat aku, asal aku bisa tidak akan campur tahu. Suhu perintah aku ikuti Kie Kong Kiat, aku mesti turut perintah itu, tetapi aku berjanji, andaikata di depannya aku ketemu kau, berhadapan muka, tidak nanti aku tunjuk bahwa kau adalah Kang Siau Hoo ... “

“Baik!” kata Siau Hoo dengan angguk-anggukkan kepala. “Kapan saja dan dimana-pun kau ketemu aku, aku larang kau beri tahu orang siapa adanya aku ini! Tapi kau mesti mengarti, ini bukanlah disebabkan aku takut!”

Cie Wan manggut.

“Aku mengarti,” ia jawab, “Sekarang aku tahu, saudara, siapa yang di Cengyang diwaktu tengah malam sudah mengantarkan uang dermaan tujuh ratus tail perak dan tadi malam di hotel sudah menulis dibajunya Kie Kong Kiat! Saudara, itu adalah buahnya cape-lelah dan keyakinanmu selama sepuluh tahun! Lain orang tidak nanti mempunyai kepandaian tinggi seperti itu. Adalah Kie Kong Kiat, itu bocah yang tolol dan hijau, yang anggap bugeenya ada liehay luar biasa, sedang sebenarnya adalah kau, saudara, yang tidak niat menurunkan tangan jahat terhadapnya! Aku percaya, walau-pun delapan Kie Kong Kiat masih tak ada gunanya terhadapmu!”

“Baik,” kata Siau Hoo, “sekarang aku pergi cari Kie Kong Kiat!”

Pemuda ini loncat nai keatas kudanya, ia  kerjakan cambuknya, kudanya lantas lari kabur membawa ia ke arah Bu Tong San.

Gunung Bu Tong San adalah gunung paling kesohor di Ou-lam dan Oupak Utara, termasuk cabangnya gunung Pa San, luas sekitarnya ada delapan-ratus lie, jurangnya ada tigapuluhenam buah, dan puncaknya ada duapuluh-tujuh. Puncak yang paling tinggi adalah Thian Cu Hong, ialah tempat pertapaannya Cin Bi. Yang lainnya, antaranya ada puncak-puncak Ngo Liong Hong, Cie Siau Hong dan Thian Kie Hong disebelah Selatan dimana semua ada masing- masing kuil buatannya Thio Sam Hong Cou-su.

Thio Sam Hong ada orang asal jaman Kaisar Hui Cong dari ahala Song, dia makan umur tigaratus tahun lebih, karena sampai dijaman Kaisar Seng Cou dari ahala Beng baiuah ia pulang kelain dunia. Dia adalah leluhurnya ilmu silat itu Lee kee - ilmu silat Dalam atau Halus Lemas) sang dikenal sebagai Bu Tong Pay. Oleh karena itu, toosu atau imam-imam diatas gunung semuanya mengarti ilmu silat keturunan asli, adalah disebabkan mereka tidak sembarang pertunjukkan kepandaian mereka, jadi ada sukar untuk mengetahui jelas ilmu silat Bu Tong Pay.

Pada hari itu, selagi kabut belum buyar semuanya dan hawa nyaman, Kie Kong Kiat dan Kang Siau Hoo telah saling susul mendaki gunung Bu Tong San.

Kie Kong Kiat adalah yang sampai paling dulu,  ia sedang mendongkol hatinya sangat panas. Dalam hatinya ia kata : “Siapa berani, permainkan aku - perhina aku cucunya Liong Bun Hiap? Tidak bisa tidak, aku mesti adu kepandaian kepadanya!”

Empat kaki kuda bertindak dengan menerbitkan suara berisik antara batu-batu gunung sampai burung-burung kaget dan berterbangan, kelinci berlompatan kabur.

Sesudah melewati sebuah puncak, Kie Kong Kiat dengar suara air.

Disitu lantas kelihatan empat ekor garuda terbang melayang-layang berputar-putar atau mereka terbang turun kedekat kaki kuda, akan kemudian terangkat naik pula keatas.

“Sayang aku tidak bawa gendewa dan peluru,” pikir Kong Kiat, “dengan lima atau enam peluru, pasti aku akan bisa rubuhkan semua empat ekor garuda ini ...”

Ia majukan terus kudanya naik keatas, matanya melihat kekiri-kanan. Disitu tidak ada orang. Adalah sedikit disebelah depan, ada air mancur yang turun deras, nampaknya mirip dengan rantai perak. Itulah air yang tadi ia dengar suaranya yang nyaring. Air muncrat tinggi dan jauh, hingga Kong Kiat kecipratan. Semua air jatuh kejurang yang dalam, dimana air seperti bergolak merupakan seperti sebuah kali besar.

Selagi dongak ke depan, dibatu gunung Kie Kong Kiat lihat tiga ukiran huruf besar, ialah “Kay Kiam Coan,” artinya “Sumber air tempat meloloskan pedang.”

“Entah ini ada tetinggalan tua untuk apa,” pikir Kong Kiat, yang tidak artikan tiga huruf itu. “Sayang aku tidak bekal perabot tulis, kalau tidak, aku boleh naik kepuncak itu, akan dibatu besar itu menulis kata-kata untuk bekuk Kang Siau Hoo, akan dibawahnya menuliskan namaku, supaya dilain waktu apabila Kang Siau Hoo datang kemari dan lihat tulisanku itu, dia boleh kaget hingga semangatnya terbang dan nyalinya hancur.”

Ia majukan kudanya. Jalanan ada sukar, tapi ia maju terus, sampai di depannya ada melintang sepotong batu besar, hingga menampak itu kudanya menjadi kaget dan mundur, maka ia mesti gunakan cambuknya untuk buat kuda itu melompat maju melewati batu besar itu. Sampai disitu ia loncat turun dari kudanya, ia loncat naik keatas batu besar itu, akan berdiri sambilhbunus pedangnya dan terus berseru: “Hei, manusia rendah, aku Kong Kiat sudah sanpai disini! Diatas gunung Bu Tong San aku nanti perlihatkan kau ilmu silat sejati dari kaum Bu Tong Pay, ilmu pedangnya Liong Bun Pay yang lihay! ...”

Dan lembah-lembah segera terdengar kumandang  : “Ilmu pedang yang liehay!“ seperti juga Cousu Thio Sam Hong sambuti seruan itu.

Ketika itu dua ekor garuda terbang datang, Kie Kong Kiat loncat turun akan jemput sepotong batu, sambil angkat kepalanya ia terus menimpuk, mengenai sebelah sayapnya. seekor diantaranya, yang jadi semper, burungnya terus jatuh melayang ketanah.

Tetapi sesampainya ditanah, burung itu berontak, lalu terbang pula keatas dengan perdengarkan suaranya yang nyaring berulang-ulang, sesudah mutar dua kali, dia lalu terbang jauh.

Kong Kiat puas sekali, hinga ia tertawa terbahak-bahak. Ketika ia sudah berbenti tertawa, ia menoleh ke belakang, diatas puncak, ia tampak satu imam sedang berdiri diam. Imam itu, yang berkumis-jenggot hitam dan  panjang, sambil pegangi pohon cemara melongok ke bawah.

“Toosu,“ segera ia menanya, “pakah tadi kau ada lihat seorang dengap menunggang kuda hitam naik kemari?“

Imam itu buka mulutnya, dia berkemik-kemik, akan tetapi karena berisiknya air tumpah, suaranya itu tak dapat terdengar oleh pemuda ini, suara siapa juga tidak terdengar oleh imam itu.

Kong Kiat tuntun kudanya kepinggiran untuk ditambat pada buah pohon angco, kemudian ia mendaki lebih tinggi. Ia bawa pedangnya.

“Jangan bawa pedang!” imam itu berseru. “Apakah kau tidak lihat itu ukiran huruf-huruf Kay Kiam Coan? Itu ada tulisan asal dari Tong Bie Hian Hoa Cinjin Sam Hong Cousu, yang melarang orang mendaki gunung ini dengan bawa-bawa pedang! Lekas kau lemparkan pedangmu itu, nanti Cin Bu Ya gusar!“

Kie Kong Kiat tidak senang dengan larangan itu, ia melotot.

“Kau bukannya Cin Bu Ya, kau bukannya Thio Sam Hong, cara bagaimana kau bisa larang aku?” ia menegor, “Aku datang kemari karena tantangan orang untuk pie-bu. Aku mengarti silat, aku ada dari Bu Tong Pay. Bu Tong San ini adalah rumah tuaku, apa aku suka aku boleh buat! Siapa-pun tak dapat larang aku!“

Sikapnya imam itu berurbah apabila sudah dengar perkataan itu.

“Kau ada cabang mana dari Bu Tong Pay?“ tanya dia, “Aku tahu Bu Tong Pay, cuma punya tiga cabang. Satu cabang adanya di Kwan-tiong. Dahulu ada Tay-hiap Ong Cong, dia ada punya beberapa murid, hanya setelah berselang hampir seratus tahun lebih, cabang itu terputus sendirian. Satu cabang lagi ada di Un-ciu, ialah Suhu Tan Ciu Tong. turunan siapa adalah Siok Tiong Liong. Cabang yang ketiga adalah Suhu Ong Lay Ham di Oulam Oupak Selatan, tentang siapa tidak terdengar akhli warisnya. Ada juga Tiat Tiang Ceng dan Tiang Kang Gan, tetapi bugeenya mereka itu ada bugee curian dari Bu Tong Pay, bukannya ilmu yang aseli.”

Kong Kiat terkejut, inam ini jadi kenal baik tentang ilmu Bu Tong Pay. Ia percaya orang mestinya pandai silat.

“Kau benar,” kata ia akhirnya sambil tertawa. “Hanya kau tidak insyaf, warisan bugee dari Bu Tong San sudah meninggalkan gunung dua atau tiga ratus talun lamanya hingga apa yang ada diluaran sekarang, sudah beda jauh dari pada apa yang masih terpelihara digunung. Ada beberapa orang tentang siapa kau mestinya belum pernah dengar, serta kepandaiannya orang-orang itu ada melebihi kau sekalian diatas gunung. Aku ada orang she Kie asal Hoo-tong, engkongku ialah Liong Bun Hiap. Kenalkah kau pada Liong Bun Hiap itu?“

Imam itu terperanjat mendengar keterangan terakhir ini, agaknya ia heran.

“Kau jadinya ada turunan Liong Bun Hiap? Inilah terlebih baik pula!” katanya. “Engkongmu itu ada asal murid Siau Lim Sie, belakangan ia yakinkan juga dari Bu Tong Pay, dari itu, kepandaiannya ada genggam keahlian dari kedua golongan, hingga tidaklah kecewa dia menjadi satu jago tua. Pada dua-puluh tahun yang lalu,  beberapa kali engkongmu itu pernah datang ke Bu Tong San ini, setiap kali datang tidak pernah ia bawa naik pedangnya, maka aku tidak mengerti, kau yang jadi cucu kenapa begini jumawa? Kau harus mengerti, keteranganku ini ada dengan maksud baik, karena aku-pun ada orang yang melancong kemari, aku bukan imam asli dari gunung ini. Kalau kau ketemu imam-imam dari Gie Cin Goan, pasti sekali mereka tidak ada demikian baik hati seperti aku!“

Kie Kong Kiat tidak senang dengan nasehat ini.

“Karena kau bukannya orang gunung ini, kau jangan usil aku!” kata ia dengan gusar. “Jikalau Cin Bu Ya muncul, paling juga dia tegor aku dengan kau tidak ada sangkut- pautnya!”

Lantas saja Kong Kiat loncat naik ke tempat terlebih tinggi, ia memandang kesekitarnya, ia  tampak melulu pemandangan gunung, dan lembah serta beberapa ekor garuda yang berterbangan, sama sekali ia tidak lihat itu orang yang dirumah makan di Lam-kwan menantang ia piebu digunung ini. Ia jadi mendongkol berbareng geli.

“Benar-benar pit-hu!” kata ia dalam hatinya. “Dia tantang aku tetapi dia sendiri tidak muncul dia kabur! Mestinya dia ada satu penjahat kangouw, dia cuma menang sedikit dari aku dalam ilmu lari malam, tapi untuk adu pedang, dia tidak berani!”

Kembali Kong Kia berseru beberapa kali, suaranya lenyap dilembah-lembah. Ketika ia menoleh pada Si mam tadi, itu sudah ngeloyor pergi.

“Kudaku tentu tak akan hilang disini, maka baiklah aku naik terus, akan lihat diatas gunung ini ada imam-imam dengan bugee bagaimana liehay,” akhirnya ia pikir.

Dengan tetap bawa pedangnya, ia mendaki.

Disekitar situ ada banyak pohon siong dan pek dan rumput juga, keadaan tenang sekali, hanya manusia tidak kelihatan seorang-pun juga.

Setelah naik sebuah puncak pula, Kie Kong Kiat lihat sebuah tembok merah yang muncul dari antara rimba cemara. Ia lantas cepatkan tindakannya menuju kekuil atau kelenteng itu, yang tidak besar. Sesampai di depan pintu, ia lihat merek “Hian Bie Koan’. Pintunya tertutup. Diatas pepohonan burung asyik berkicau. Tempat itu merupakan suatu tempat suci-murni.

Dengan ujung pedangnya, Kong Kiat mengetok pintu kelenteng. Ia mesti mengulangi sampai beberapa kali, tetap tidak dapat penyahutan, tidak ada orang yang membukakan pintu. Ia jadi tidak senang. Tidak sabar lagi ia  enjot tubuhnya, loncat naik keatas ternbok, dari situ ia memandang kesebelah dalam. Pekarangan ada tersapu bersih tetapi disitupun tidak nampak ada orang. Maka pemuda ini terus lompat turun kedalam pekarangan itu untuk menghampiri pendopo yang sebelah Timur.

“Ada orang atau tidak didalam?“ ia menanya, ia memanggil-manggil.

Dan dalam tidak ada jawaban, hanya dari belakangnya, ia dengar tindakan kaki pelahan-lahan. Ia segera menoleh. Ia lihat imam tadi, yang kumis jenggotnya hitam, bertindak ke arahnya. Imam ini mengenakan pakaian ringkas, sebelah tangannya mencekal pedang. Dengan tidak  kata suatu apa ia ulur tangannya yang kosong, dua jari kedepan untuk menotok bebokong, gerakannya sangat sebat untuk melakukan penyerangan gelap.

Sambil putar tubuhnya dengan gesit sekali, Kong Kiat menangkis dengan pedangnya. Tapi tangkisan ini bentrok dengan pedangnya si imam, yang telah tarik pulang tangannya yang kosong, untuk ditukar dengan tangan yang bergenggam. Satu suara nyaring.

“Bagus benar!” dia berseru. “Oh, toosu, kau bokong aku?”

Imam itu maju pula, dengan tusukannya.

“Lihat pedangku!” dia berseru, dengan suara yang menyatakan amarah besar. “Sudah dua ratus tahun tidak ada orang berani naik kesini dengan bawa pedang, maka siapakah kau yang demikian kurang ajar? Kau ada penjahat dari mana berani aku diri sebagai orang Bu Tong Pay?“

Kong Kiat tangkis serangan itu,  menyusul mana ia dengar suara pintu dibuka, lalu dari pendopo Timur itu loncat keluar satu imam muda, tangannya memegang pedang.

“Pergi keluar!“ imam muda ini mengusir. Cucunya Liong Bun Hiap tidak gubris usiran itu, ia  layani si imam jenggotan, ia layani juga imain muda ini, yang terus serang ia, hingga ia jadi dikepung berdua.

Satu kali aku sudah naik kegunung ini, tidak nanti aku turun pula!“ kata ia dengan jumawa. Ia tertawa. “Bu Tong San adalah rumah tuaku dari pihak ibu! Disini aku hendak perlihatkan kepandaianku untuk kau sekalian iparku, lihat!“

Benar-benar pemuda ini tak jerih sedikit juga, ia mainkan pedangnya dengan gesit dan sempurna, ia tak berikan ketika akan kedua imam desak ia, tidak perduli bugeenya kedua imam itu-pun liehay, permainan pedangnya gagah. Dengan lekas ia mendesak hingga kedua lawannya main mundur.

Itu waktu dari arah belakang ada muncul lagi tiga imam, semua membekal pedang, mereka maju menerjang, membantui dua kawannya mengepung. Maka lima batang pedang sekarang mengurung pemuda itu.

Cucunya Liong Bun Hiap mainkan pedangnya dengan gesit, ke depan, kebelakaug, kekiri dan kanan, untuk halau sesuatu tikaman atau sabetan, dilain pihak ia-pun setiap kali membalas menyerang, hingga sering sekali terdengar suara nyaring dari beradunya senjata-senjata tajam itu.

Sesudah melayani kira-kira dua puluhjurus, Kong Kiat robah caranya bersilat. Ia sekarang main mundur, apabila ia sudah menmendekati pintu pekarangap, dengan tiba-tiba ia loncat mencelat keatas tembok.

Si imam muda loncat naik akan menyusul, pedangnya menikam.

Kong Kiat menangis, selagi suara kedua pedang terdengar nyaring, ia terus loncat turun keluar pekarangan, menuju keatas gunung. Si iman muda menyusul terus, di belakangnya menyusul empat kawannya.

“Mari!” menantang Kong Kiat, setelah ia sampai ditempat tinggi. Disini ia berdiam. “Apakah kau berani naik kemari?”

Ia perithatkan senyuman mengejek.

Si imam jenggotan dan si imam muda merangsak dimuka, setiap kali sambil meronjang mereka menyerang.

Kong Kiat melayani dengan ia senantiasa membungkuk tubuh, walau-pun ia tetap dikepung, orang tak bisa berbuat suatu apa terhadapnya. Dua imam itu dan tiga kawannya tidak dapat ketika untuk menerjang naik.

Kemudian sambil menjaga diri, Kong Kiat naik lebih tinggi.

“Asal kau melemparkan pedangmu, kita akan antap kau pergi dengan merdeka!“ lima imam berseru sambil mendesak. Itu memang maksudnya mereka, sebab mereka mesti bertahan aturan digunung.

Kong Kiat jawab seruan itu dengan tertawanya terbahak- bahak, ia naik terus, setiap kali ia sampok ujung pedang lawannya, hingga ia menyebakan kelima imam itu jadi sangat mendongkol dan guar.

Di tempat yang sedikit rata, lima imam itu mendesak, dan Kong Kiat berbenti di situ untuk melayani bentempur. Ia tidak takut, ia berkelahi dengan gembira. Ia merintang dijalan naik itu, ia tidak beri satu musuh juga melewati ia.

Ketika itu, dari arah belakangnya Kong Kiat dengar bunyinya genta, seperti tiga buah genta berbunyi dengan berbareng, suaranya mengaung nyaring sekali, dan gencar juga. Ia mengarti, itu mesti ada suatu tanda, bahwa tidak lama lawan bakal dapat bala bantuan. Karena ini, ia lompat ke belakang akan lari naik lebih jauh, hingga ia berada diatas bukit yang terlebih tinggi, yang tanahnya tidak rata, disana sini batu melulu.

Di belakang bukit itu ada satu kuil, yang wuwungannya hampir rata dengan pepohonan -pohon cemara - dimana- pun ada kabut bergumpal. Suara genta terdengar  datang dari kuil itu. Malah sekarang dari sana muncul dua imam, yang duanya bawa pedang. Yang satu umurnya empat puluh lebih, dan yang  lainnya, kumis jenggotnya sudah ubanan. Imam yang beruban ini mendahului datang dekat Kong Kiat, sambil lintangkan pedangnya, dia membentak : “Jangan maju lebih jauh!”

Berbareng dengan itu, lima pengejarpun telah menyandak. Kapan mereka ini lihat imam tua itu, semuanya segera berunjuk sikap menghormat, mereka berdiri diam dan menjura.

Segera juga, si imam kumis hitam tuding Kong Kiat. “Dia  ini  ada  sangat  menjemuan!“  berkata  dia kepada

imam  tua  dan  ubanan  itu.  “Dia  perkenalkan  diri sebagai

cucunya Liong Bun Hiap, tetapi sesampainya di Kay Kiam Hoan, dia tidak mau letaki pedangnya, ketika aku beri nasehat padanya, dia justeru berlaku kasar, malah dia  berani juga keluarkan kata-kata tak menghormati Cou-su- ya. Kita beramai coba mengusirnya tetapi tidak berhasil, dia malah naik kemari!”

Mendengar demikian, si imam tua pandang pemuda itu dari atas kebawah, kemudian ia bersenyum.

“Aku tidak sangka bahwa Kie Kun Ie ada punya cucu seperti ini, ” katanya. “Karena kau ada orang Bu Tong Pay juga, sudah selayaknya tak dapat kau semakin tak menghormati aturan digunung ini. Lekas lempar pedangmu kedalam selokan, nanti aku pimpin kau kehadapan Cousu buat pasang hio, untuk mohonkan keampunan bagimu!”

Kie Kong Kiat lintangkan pedangnya,

“Terlebih dahulu kau meski beri keterangan padaku, “ berkaia ia. “Cousumu itu siapa adanya?”

Tampangnya imam tua itu menjadi berobah dengan segera, ia gusar.

“Cousu dari Bu Tong Pay ada Tong Bie Hian Hoa Cinjin!“ jawab ia. “Mustahil engkongmu tidak pernah memberi tahukannya?”

Kong Kiat tetap hunjuk kejumawaannya.

“Apakah Thio Cinjin itu masih hidup sekarang?” dia tanya. “Pergi kau minta dia keluar menemui aku!”

Semua imam disamping si imam tua jadi sangat gusar. “Dia kurang ajar sekali,“ mereka berseru. Mereka-pun

geraki tangan mereka.

Imam tua itu tertawa dingin.

“Sejak sepuluh tahun yang lalu Tiat Tiang Ceng datang mengacau kemari tetapi dengan mengandalkan pengaruh Cousu aku bisa hajar dia turun gunung, belum pernah ada lain orang yang berani datang kemari untuk main gila!“ berkata ia. “Maka aku tidak nyana kau, bocah yang baru terlahir, berani banyak tingkah disini! Kau ada cucunya Liong Bun Hiap pernah atau tidak dengar engkongmu membicarakan tentang Cit Toa-kiam-sian dari Bu Tong San?”

Kie Kong Kiat bersenyum, ia menggeleng kepala.

“Aku belum pernah dengar,” jawabnya lantas. “Aku tiduk percaya di dunia ini masih ada kiam-sian! Atau umpama benar ada, aku toh ingin coba-coba bertanding dengan mereka itu!“

Kiam-sian berarti “dewa pedang,” dan Toa-kiam sian adalah “dewa pedang yang maha suci.”

Imam tua itu tertawa pula, tertawa mengejek.

“Oh, bocah yang tak mengarti tinggi dan rendah!” berkata ia. “Hari ini aku mesti wakilkan Liong Bun Hiap mengajar cucunya! Tapi lebih dahulu aku perlu perkenalkan diri. Aku adalah Cou Kiam Hiong, yang kedua antara Cit Toa kiam sian dari Bu Tong San!”

Kie Kong Kiat tidak perdulikan siapa adanya “Toa-kiam- sian” ini, malah ia menghina.

“Aku tidak perduli kau biruang macam apa!” ia berseru. “Mari kita bertempur.”

Nama “Hiong” dari Cou Kiam Hiong, yang  berarti “jago”, mirip suara huruf “biruang,” maka itu, Kong Kiat sengaja menghina dengan sarui nama itu. Pemuda inipun segera mendahului menerjang. Maka tidak heran kalau si imam tua, walau dia ada sangat sabar, amarahnya toh meluap juga.

Cepat sekali imam tua ini angkat pedangnya menangkis, yang segera di tarik pulang untuk balas menyerang akan memapas lengan kanan lawannya.

Kong Kiat lekas tarik tangannya, lalu dengan memutar sedikit, ia menyontek untuk elakkan serangan lawan. Akan tetapi dengan amat sebatnya imam tua itu memutar pula tangannya, untuk kali ini membacok kepalanya Kong Kiat.

Sebat luar biasa Kong Kiat tangkis bacokan itu, hingga kedua pedang bentrok dengan keras, menerbitkan suara nyaring. Akan tetapi tenaganya Cou Kiam Hiong ada sangat besar, pedangnya tak dapat disampok terpental. Melihat demikian, Kong Kiat lantas mundur, akan tukar sikap untuk mendesaknya.

Cou Kiam Hiong tidak hendak beri ketika pada lawan yang garang dan kurang ajar itu, setelah bacokan yang pertarna, ia menyusul dengan yang kedua dan ketiga.

Rangsakan ini membuat Kong Kiat repot, hingga ia mesti mundur terpaksa, ia  mesti menangkis berulang sebelum ia mampu buat pembalasan. Malah akhirnya ia putar tubuhnya untuk lari menyingkir.

Cou Kiam Hiong-pun berlari-lari akan mengejar.

Kie Kong Kiat tidak lari terus, ketika orang hampir menyandak, dengan sekonyong-konyong ia berhenti bertindak, ia berlompat seraya putar diri akan membarengi membabat batang leher musuhnya.

Cou Kiam Hiong lihat gerakan liehay dari musuh, sambil mendek ia berkelit, sedang dengan pedangnya ia  juga sampok senjata musuh itu, membarergi mana, ia maju setindak, akan dengan pedangnya itu menembuskan menikam iga kanan musuh.

Untuk menyelamatkan diri Kong Kiat mencelat keatas sebuah batu tinggi dan besar, hingga sekarang ia berada disebelah atas musuhnya. Dengan kedudukannya ini, ia setiap kali tangkis ujung-ujung pedang yung menusuk atau membabat ia.

Walau-pun terdesak, tidak pernah cucunya Liong Bun Hiap merasa jerih. Sebaliknya tetap ia berkepala batu.

“Kawanan imam!“ ia berseru, dengan menantang atau mengejek. “Asalkan kau mampu naik kebatu ini aku nanti lemparkan pedangku dan angkat kau menjadi guruku!” “Siapa kesudian terima murid semacam kau!“ Cou Kiam Hiong membentak. Ia ada mendongkol, ia  menyerang kekiri dan kanan, ada kalanya ia mencelat ke belakang, untuk menyerang juga dari arah ini. Setiap kali ia-pun loncat tinggi untuk bisa sampaikan lawan itu.

Ringkasnya, Kong Kiat dikepung disekitarnya. Maka itu ia-pun berkelahi sambil sering-sering berputar diri diatas batu besar itu. Ia sapu setiap serangan, terutama ia merintangi akan orang hendak berlompat naik. Batu besar itu merupakan benteng kuat melindungi padanya. Setiap kali ia-pun ketawa mengejek, hingga ia buat semua musuhnya mendelu sekali.

Memperhatikan caranya berkelahi musuhnya itu, Cou Kam Hiong lantas menggunai daya. Dengan satu tanda ia penintah enam kawannya memutari batu besar itu, kemudian dengan satu tanda juga mereka lompat dengan berbareng, loncat sambil menyerang musuh.

Inilah ancaman hebat untuk Kong Kiat, tak dapat ia menangkis berbareng pada ke tujuh musuh itu, terpaksa ia menangkis serangan di depan sambil membarengi lompat turun, hingga sekarang ia berada dibawah pula.

Tujuh musuh sudah lantas meluruk, tujuh buah pedang menusuk dan menikam. Dengan tidak kurang gagahnya, Kong Kiat layani semua musuh itu, malah selang sepuluh jurus ia berhasil merubuhkan imam berkumis jenggot hitam.

Selagi imam itu rubuh, dan dalam kuil kembali terdengar suara genta, yang disusul dengan munculnya lagi empat imam, juga semuanya menyekal pedang. Mereka ini datang untuk memberi bantuan.

Kong Kiat insyaf dirinya terancam bahaya karena musuh yang berjumlah besar itu, apa pula pedangnya Cou Kiam Hiong harus dimalui. Imam tua ini sudah coba desak ia. Sekarang ia memikir untuk jauhkan diri. Meski begitu, sebeum mundur, ia rubuhkan lagi satu imam. Ia lari ke arah tepi jurang. Disini ia tidak dapati jalanan, di depannya ada jurang yang dalam, didalam situ ada bergumpal kabut, hingga tak ketahuan dasarnya jurang - air atau batu. Terpaksa ia balik pula, ia  berkerot gigi, dengan putar pedangnya ia lindungkan diri dari berbagai serangan.

Tanpa merasa ia sudah berkelahi terlalu lama, ia sudah gunakan tenaga terlalu banyak. Ia baru kaget sesudah tahu- tahu tenaganya berkurang. Ia repot menangkis kekiri dan kanan. Selagi ia terdesak pula ketepi jurang, mendadak ia rasakan matanya gelap, kedua kakinya lemas. Hampir tanpa merasa tubuhnya melayang, segera kupingnya dengar suara nyaring, tubuhnya berasa sakit luar biasa. Sampai disitu ia tak sadar akan dirinya. Selang tak lama ia merasa ada orang pondong tubuhnya, kepalanya dikucuri air dingin, kemudian ia buka matanya. Ia lihat satu pemuda dengan pakaian biru, roman siapa ia seperti kenal, mirip dengan pemuda yang telah tantang ia berkelahi di Bu Tong San, juga orang yang puji syairnya ketika ia menulis syair dirumah makan.

Sementara itu Kong Kiat rasakan tidak terluka parah. Kecuali dilengan kiri dan muka, ia tidak rasakan sakit pada anggota tubuh lainnya. Tenaganya telah kembali pikirannya sadar, maka ia loncat bangun dengan tiba-tiba terus ia jambak pemuda itu.

“Manusia rendah!” ia berseru. “Kau pancing aku kegunung ini, disini kau umpatkan diri, kau antap aku tempur kawanan imam itu sampai setengah harian! Dan Sekarang kau pegang peranan sebagai orang baik hati! Oh, bagus benar perbuatanmu!“

Ucapan itu ditutup dengan satu tonjokan. Pemuda itu menyampok hingga kepalan  musuh terangkat naik, kakinya bekerja, maka tidak tempo lagi Kie Kong Kiat rubuh teruling, tubuhnya kecebur keair selokan hingga menerbitkan suara, air-pun muncrat. Air ada dalam dan deras, Kong Kiat tidak panlai berenang, dua kali ia tenggelam dan timbul.

Sampai disitu pemuda itu, ialah Kang Siau Hoo, terjun keair, untuk samber tubuhnya Kong Kiat, buat seret ketepi. Siau Hoo pandai sekali berenang, dia geraki kaki dan tangannya bagaikan ikan. Ia dapat menolongnya dengan cepat.

Sesudah beberapa kali muntahkan air, Kong Kiat sadar pula. Ia dapatkan telah kuyup seluruh pakaiannya. Sekarang ia seperti kehabisan tenaganya, ia rebah diam saja diatas batu dimana ia diletaki.

“Kau siapa? Bicaralah dengan sebenarnya!“ kata ia dengan pertanyaannya pada pemuda kita yang ia awasi.

Siau Hoo bersenyum.

“Aku Kho Kiu Hoa”, ia menyahut. Tentu saja ia sedang bersandiwara, karena nama itu ada nama palsu dan tidak berarti lain dari pada “gunung Kiu Hoa San yang tinggi.”

Kong Kiat tertawa menghina.

“Namanya satu bu beng Siau cut!“ berkata ia. Ia umpamakan orang dengan satu “serdadu tak dikenal.” Kemudian ia tambahkan : “Aku tadinya sangka bahwa kau adalah Kang Siau Hoo.”

Siau Hoo tertawa.

“Kalau aku Kang Siau Hoo adanya, apa kau kira aku sudi tolongi kau?” ia kata, “Kau niscaya kini masih nyangkut diatas pohon!” Kong Kiat dongak, maka ia  lihat lamping gunung tingginya seratus tumbak lebih di mana ada tumbuh banyak pepohonan dimana-pun awan putih bergumpal-gumpal. Diam-diam ia jadi kaget.

“Jadinya aku terjatuh dari atas yang demikian tinggi dan nyangsang dipohon,” kata ia dalam hati. “Pohon itu-pun ada tinggi sekali tetapi orang ini bisa tolong turunkan aku, pekerjaan itu tidaklah gampang. Kelihaannya dia pandai silat, tenaganya besar luar biasa, dan ia pandai berenang juga, ia mestinya ada satu enghiong yang namanya tidak dikenal ... “

Lantas ia tertawa.

“Aku Kie Kong Kiat belum pernah ketemu  orang semacam kau!” ia kata. “Kau mirip dengan golongan kee- beng kau-to!”

“Apa itu kee-beng kau-to?“ tanya Siau Hoo sambil tertawa. “Kau jangan main bahasa dengan aku, aku tidak kenal mata surat! ...

Kong Kiat heran yang orang itu tidak mengarti surat. Kee-beng kau-to-pun berarti “penjahat anjing yang biasa bekerja diwaktu ayam berkokok.”

“Jadinya kau bukannya orang yang menulis syair di belakang syairku?” ia tegaskan, “Dan tadi malam ... apakah itu juga bukannya kau?“

Siau Hoo tertawa pula.

“Segala apa yang kau timpakan atas diriku?” katanya, “Baiklah aku beri keterangan padamu! Aku telah kuntit kau sejak di Ceng-yang, maksudku adalah ingin adu kepandaian dengan kau, aku ingin sekali ketahui berapa tinggi adanya kepandalanmu yang berniat menawan Kang Siau Hoo. Aku tahu, siapa mendaki gunung Bu Tong San, ia dilarang membawa-bawa pedang, siapa yang memaksa bawa itu, diri bakal hadapi kejadian yang memusingkan kepala, aku pancing kaudatang kemari, untuk buat aku bentrok dengan sekalian toosu itu! Sekarang, buktinya kau nyata tiada punya guna!”

Dengan gusar Kie Kong Kiat berbangkit untuk duduk. “Orang she Kho, tutup mulutmu,” ia berseru. “Kau

berani lihat tidak mata kepadaku? Tadi diatas gunung aku mendapat malu disebabkan aku bersendirian dikepung banyak orang, sebatang pedangku tidak dapat melayani belasan pedang mereka, sekali-pun demikian, tubuhku tidak terluka, sebaliknya aku sudah rubuhkan beberapa di antara mereka! Maka dapat dibilang yang kalah adalah mereka itu, bukannya aku!”

“Semua toh dasar bugeemu tidak tinggi!“ Siau Hoo bilang sambil bersenyum. “Kalau aku, didalam tanganku tak usah ada gegaman, walau-pun belasan pedang mereka serbu aku, aku tidak takut sedikit juga! Aku berani pastikan bahwa aku dapat takluki mereka.”

Kong Kiat tertawa dingin.

“Kau jangan ngaco belo!” ia menegor. “Apakah benar kau berani mendaki gnung ini akan tempur kawanan imam itu?“

“Akan tetapi mereka tidak ganggu aku,” Siau Hoo bilang. “Lagi-pun Bu Tong San adalah tanah suci dan kita kaum Lwee-kee, dihadapannya Thio Sam Hong Cousu, aku tidak berani berlaku kurang ajar.”

Kie Kong Kiat tertawa terbahak-bahak.

“Tidakkah kata-katamu ini akan buat orang tertawa hingga mampus?“ kata ia yang menjeleki. Air mukanya Siau Hoo berubah sedikit, ia tidak senang.

“Sebaliknya kaulah yang harus ditertawai!“ ia bilang. “Dengan macam bugeemu ini, cara bagaimana kau berani hendak menawan Kang Siau Hoo hingga di mana-mana kau berani mencorat-coret? Kang Siau Hoo karena memandang mukanya Liong Bun Hiap, maka dia tak ingin buat kau mendapat malu dimuka umum! Tidak demikian, umpama dia cari kau, hanya dengan dua atau tiga tikaman pedang, kau pasti akan dibuat terluka hebat atau mampus!“

Kong Kiat gusar hingga ia  berlomat turun, kedua tangannya dikepal keras, dengan mata melotot ia lawan orang dihadapannya.

Siau Hoo antap orang umbar amarahnya, ia mengawasi sambil tersenyum.

Tiba-tiba cucunya Liong Bun Hiap tunduk, ia memandang keair yang jernih dimana ia berkaca, hingga sekaranga lihat samar-samar yang mukanya berlepotan darah, rupanya tadi diwaktu terjatuh, ia sudah jadi korbannya cabang-cabang pohon. Ketika ia meraba mukanya, ia merasakan sakit, dan kedua tangannya itu segera penuh darah.

Tapi ia berkepala besar, ia pandang pula Siau Hoo si orang she Kho itu, dan tertawa dingin! Tetapi sekarang ia tidak kata apa-apa lagi, ia sobek baju dalamnya yang sudah basah, untuk pakai itu sebagai saputangan buat cuci dan sekai mukanya. Ia berjongkok dimuka air. Setelah itu ia pandang pula pemuda kita, dengan tertawa dibuat-buat ia kata: “Sudah, sahabat, kita jangan adu mulut pula, kita jangan berselisih. Di Cenyang kau telah mencuri uang, kau bantu aku menderma pada orang banyak, dan tadi kau telah tolong aku, dari itu kita berdua seharusnya menjadi sahabat-sahabat kekal. Tentang bugee kita, siapa lebih tinggi dan siapa lebih rendah, biarlah kita tunda sampai dilain hari, diwaktu mana kita boleh coba-coba. Sekarang kau tunggulah disini, aku hendak pergi naik mengambil kudaku, kemudian kita sama-sama pulang kekota dimana kita boleh bercakap-cakap didalam hotelku.”

Siau Hoo manggut.

“Baik,” menyahut ia. “Pergilah kau ambil kudamu, aku menantikan kau di kaki gunung. Dan sekarang aku hendak ambilkan pedangmu.”

Setelah berkata begitu, Siau Hoo jambret cabang pohon, terus ia naik dengan melapay, tubuhnya enteng sekali, geraknnya gesit bagaikan kera, maka sebentar saja ia sudah sampai dipohon dimana pedangnya orang she Kie itu nyangkut.

“Awas! Sambuti!” kata ia, lalu ia lemparkan pedang itu.

Kie Kong Kiat, yang mengawasi saja, ulur sebelah tangannya akan menyanggapi pedangnya itu.

Siau Hoo bersenyum,

“Nah, sekarang aku akan tungu kau di kaki gunung,” kata ia. Ia tidak turun pula, ia terus melapay diatas pohon, antara akar-akar juga akan berlalu dari situ. Ia naik tinggi dan lenyap.

Kong Kiat mengawasi dengan kagum, ia  menghela napas.

“Dia sungguh kuat, ulet dan gesit,” pikirannya. “Ia benar ada terlebih liehay daripada aku, apabila dia betul-betul ada Kang Siau Hoo, aku boleh putus daya.”

Lantas, dengan soren pedangnya, cucunya Liong Bun Hiap ini berlalu dari situ. Ia manjat dilain jurusan, tetapi baru naik dua tumbak lebih, ia sudah merandak. Disini tidak ada tempat naik lagi, karena tidak adanya pepohonan atau akar.

“Jikalau aku tidak mampu naik, apa bukan berarti aku akan mati kelaparan disini?” kata ia seorang diri. “Pasti sekali orang she Kho itu akan mentertawai aku.”

Kong Kiat turun pula, ia sekarang jalan ditepi jurang akan cari tempat dimana ia bisa manjat. Diakhirnya ia dapati yang tempat naik, untuk mana ia mesti kerahkan antero tenagnya. Ketika ia  sampai diatas, disitu adalah tempat dekat kudanya berada. Hatinya jadi panas pula, ia niat hunus kembali pedangnya untuk cari kawanan imam tadi, tetapi ia rasakan tubuhnya lelah, luka-lukanya juga menerbitkan rasa sakit, maka akhirnya ia cuma bisa melotot mengawasi ke arah atas.

“Ciau Kiam Hong! Kawanan toosu!“ ia kata dalam hatinya. “Tunggu dua hari lagi aku akan datang pula, untuk kita bertempur sampai ada keputusan, siapa jantan siapa betina!”

Setelah pikir demikian, ia masukkan pedangnya kedalam sarung, ia tuntun kudanya akan berjalan turun. Hampir sampai di kaki bukit, ia loncat naik atas kudanya itu.

Tidak jauh di kaki gunung ada serombongan dari dua- ratus ekor lebih kambing, yang sedang cari makan, hingga semuanya kelihatan bagai salju putih saja, diantara itu ada Kang Siau Hoo atau Kho Kyu Hoa yang asyik tuntun kudanya bulu hitam. Pemuda itu berdiri dengan pasang omong kepada dua bocah angon.

“Sahabat, mari!“ Kong Kiat berseru sambil menggapekan. Siau Hoo menoleh, lantas ia tuntun kudanya meninggalkan bocah angon, kemudian dengan naik kudanya itu ia menghampiri cucunya Liong Bun Hiap.

Kong Kiat perhatikan pedang dan cau-ee-nya Siau Hoo, ia bersenyum.

“Mari!” mengajak ia. “Kita pergi ke hotelku dimana kita bisa bercakap-cakap. Disana-pun aku ada punya dua sahabat!”

“Baik!” jawab Siau Hoo sambil manggut.

Segera juga kedua kuda dilarikan ke arah Lam-kwan. Ketika itu di tempat penginapan, Lau Cie  Wan  dan  Cie

Yau  tidak  pergi  ke  mana-mana.  Berdua  mereka berangin

dipekarangan. Cie Wan duduk diam dengan sepasang alis mengkerut, Cie Yau sedang pasang omong kepada kuasa hotel. Justeru itu dua penunggang kuda, yang masing- masing kudanya hitam dan putih, sampai di depan botel, dengan tuntun kudanya itu mereka bertindak kedalam pekarangan. Pakaiannya kedua penunggang kuda basah dan kotor dengan lumpur, terutama menyolok ada si orang she Kie, yang tadinya pakaian sangat mewah tapi sekarang, bajunya tidak dipakai, muka, lengan dan pahanya pada berdarah mengucur.

”Ha, apa yang telah terjadi atas dirimu?” menegor Cie Yau yang bermata satu, ia mengawasi dengan heran.

Cie Wan tercengang, karena ia kenali Siau Hoo.

Kong Kiat segera ajar kenal Siau Hoo pada Cie Wan. Ia kata : “Ini Lau Cie Wan gelar Thay swee Too, murid Kun Lun Pay. Ini Kho Kiu Hoa, sahabat yang baru aku kenal diatas gunung.” Siau Hoo tertawa, ia angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat: Ia-pun ucapkan kata-kata akan puji orang she Lau itu.

Lau Cie Wan tidak berani tidak main sandiwara juga. Begitulah ia membalas hormat sambil menghaturkan terima kasih untuk pujian itu.

Sementara itu, Kong Kiat merasa  sangat kecele, hingga ia hilang kegembiraannya.

“Aku tadinya sangka Kho Kiu Hoa ini adalah Kang Siau Hoo, kiranya bukan.” pikir ia.

Lantas ia ajar kenal Cie Yau.

Cie Yau mengawasi dengan matanya sebelah, ia memberi hormat.

“Kita duduk disini saja, didalam kamar hawa ada panas sekali,” katanya. Malah ia segera tarik bangku buat mereka berduduk.

“Aku hendak masuk kedalam untuk salin,” Kong Kiat bilang.

Cie Wan hendak turut pemuda itu masuk kedalam, tapi Siau Hoo tarik ia.

“Saudara Lau, duduk disini, mari kita bicara!“ kata pemuda ini, yang sengaja menyekal dengan keras, hingga orang she Lau itu merasakan sakit, kepalanya pusing.

“Baik, baik,” sahut ia, yang tidak berani berteriak, hingga ia mesti menahan sakit, sekarang tubuhnya hampir sempoyongan saking tertarik keras. Ketika ia duduk di bangku, Siau Hoo-pun tekan ia dengan keras, hingga ia keluarkan keringat dingin sebesar-besar kacang karena menahan sakit. “Hawa udara keliwat panas, bukan?“ Siau Hoo sengaja tanya.

“Ya, panas sekali,” Cie Wan jawab dengan mulut separuh mewek.

Siau Hoo buka baju dalamnya, hingga kelihatan tubuhnya yang kekar, dengan otot-ototnya yang besar.

“Saudara Kho datang dari mana?“ kemudian Cie Yau tanya. “Saudara kerja apa!”

“Aku datang dan Tie-ciu, Kanglam,” Siau Hoo jawab. “Aku tidak punya pekerjaan yang tetap, sewaktu aku pergi merantau sebagai piausu, ada kalanya aku mengajar silat untuk satu-dua bulan. Atau kalau aku sedang merantau, dimana saja aku sampai, disitu aku membuat kalangan untuk menjual silat. Buat belasan tahun aku berkelana di Selatan dan Utara, belum pernah ada satu hari yang aku kekurangan arak atau nasi atau kudaku tak dapat rumput. Sekarang ini aku tengah berkunjung ke Bu Tong San, kebetulan sekali aku saksikan saudara Kie Kong  Kiat sedang bertempur dengan beberapa toosu. Kie Kong Kiat kena di desak hingga ia jatuh terpelanting kedalam jurang. Aku telah tolongi dia, hingga kita jadi sahabat satu dengan lain ...”

Ketika itu Kie Kong Kiat berjalan keluar dengan sudah sali pakaian yang baru, ia dengar juga perkataannya Siau Hoo, mukanya menjadi merah dengan sendirinya, ia jadi sangat mendongkol.

“Saudara Kho,” berkata ia, “umpama kau tidak ada punya urusan penting, aku hendak minta kau berdiam dua hari disini, supaya kau bisa lihat bagaimana aku pergi pula ke Bu Tong San! Bukan saja aku akan buat Cou Kiaiu Hiong dan kawan-kawannya itu menakluk, juga aku akan buat tujuh toa-kiam-sian bertutut di depan ku!“ Siau Hoo bersenyum.

“Aku kuatir sukarlah untuk terjadi demikian,” kata ia. “Bu Tong San adalah Cou-su-san, gunung suci dari kaum Lwee kee, maka mustahil disana tidak ada imam-imam yang mewariskan ilmu silat sejati dari Thio Sam Hong Cin- jin? Aku tidak tahu nama-namanya tujuh Toa-kiam-sian itu, akan tetapi aku percaya mereka bukannya seperti itu orang- orang kangouw yang kesohor namanya belaka, yang jumawa tak keruan!“

Kong Kiat merasa tersinggung, tampangnya berobah. “Saudara  Kho!”  berkata  ia  dengan nyaring, “Dapatkah

sekarang  kau  turut  aku  pergi pula  ke  Bu  Tong San untuk

lihat aku tempur pula kawanan toosu itu!“

Kong Kiat hendak masuk kedalam, mengambil pedangnya, tetapi Cie Yau sudah lantas mencegahnya.

“Baiklah kita berdamai dahulu dengan sabar,” kata orang mata satu ini. “Toosu diatas gunung berjumlah banyak, walau-pun kita bagaimana gagahpun, ada sulit untuk kita layani mereka!”

Kong Kiat jatuhkan dirinya dikursi dengan masih sangat mendongkol.

Siau Hoo ambil cangkir tehnya, ia minum itu sambil bersenyum.

Kong Kiat masih saja mendongkol sekali-pun ia coba sabarkan diri.

“Saudara Kho, kau berniat pergi kemana?” kemudian ia tanya.

“Aku berniat pergi ke Tiang-an,” jawab Siau Hoo.

Jawaban ini membuat Cie Wan kaget bukan main tapi ia coba tenangkan diri. “Ada urusan apa di Tiang-an, saudara Kho?” Kong Kiat tanya pula.

“Disana aku ada punya beberapa sahabat dengan siapa sudah belasan tahun aku belum pernah bertemu pula,”  sahut Siau Hoo. “Mereka itu ada berhutang sedikit kepadaku, kini aku hendak menagihnya.”

Saking kaget dan kuatir, Cie Wan tak dapat cegah berobahnya air mukanya, hingga keringatnya menetes.

Cie Yau heran atas pengutaran itu.

“Saudara Khu, apa kerjaannya sababatmu di Tiang-an itu?” ia tanya.

“Mereka semua adalah pedagang-pedagang kecil, akan tetapi hutangnya mereka kepadaku bukannya sedikit,” Siau Hoo bilang. “Tak dapat tidak aku mesti menagihnya hingga lunas!“

Keringatnya Cie Wan mengucur terus, tubuhnya menggigil.

Kong Kiat, sambil gigit bibir dan mata dibuka lebar juga pikirkan kata-kata dan sikap luar biasa itu.

“Kau hendak pergi ke Ting-an, apa tak baik kita pergi bersama?” tanya ia. “Aku juga ada punya beberapa sahabat disana, malah keluargaku berada disana juga. Saudara Kho, apakah kau kenal Loo-kausu Pau Kun Lun? Dia sekarang kebetulan berada di Tiang-an. Disana-pun kebetulan berada Siau-Kun-lun Pau Cie In, Twie-san-hou Liong Ci Khie, Kim-too Gin-plan Tiat-Pa-Ong Kat Cie Kiang, Lou Cie Liong, Wan Cie Hiap, Kie Cie Yong dan Tio Cie Liong, sekalian enghiong. Aku nanti ajar kau kenal dengan mereka itu, umpama kau berniat adu kepandaian dengan mereka itu-pun boleh: Aku rasa, kecuali Pau Loo-kunsu  sendiri yang kepandaiannya tinggi, yang kau tak bakal dapat tandingi, dengan yang lain-lainnya mungkin kau berimbang!”

Kang Siau Hoo bersenyum.

“Jikalau aku hendak adu kepandaian, pasti sekali aku akan cari Pau Kun Lun sendiri,” kata ia. “Akan tetapi dia sudah berusia lanjut, apabila aku dapat kalahkan dia, aku tidak akan dipandang sebagai enghiong. Maka itu aku hendak bertempur dengan tangan kosong, sebaliknya dia boleh pakal goloknya, Kun-lun-too! Bila dalam tempo tiga jurus aku mampu rampas goloknya itu dan tak pukul rubuh padanya, aku tak akan sebut lagi diriku satu hoo-han!”

Kie Kong Kiat tertawa menyindir.

“Saudara Kho, kau terlalu tekebur!” katanya. “Jangankan Pau Loo-kausu sendiri, walau puterinya ialah Nona Ah Loan, barangkali kau tidak sanggup mengalahkannya.”

Siau Hoo tersinggung mendengar disebutnya Ah Loan,  ia mendongkol berbareng berduka.

“Apakah Nona Ah Loan juga ada di Tiang-an sekarang?” tanya ia.

“Ya.” Kong Kiat jawab.

“Bagaimana kepandaiannya bila dibandingkan dengan kau?”

“Aku belum pernah bertanding kepadanya tetapi dia barangkali lebih rendah sedikit,” sahut Kong Kiat. “Dia mungkin berimbang dengan muridnya Siok Tiong Liong yang bernana Lie Hong Kiat!”

Siau Hoo berdiam, tampangnya berduka.

“Apakah nona itu sudah ditunangkan?” kemujan ia tanya pula. “Ya, sudah!” sahut Kie Kong Kiat dengan bergembira. Siau Hoo terkejut, hingga ia buka lebar matanya.

“Dia telah dijodokan kepada siapa? Mereka sudah nikah

atau belum?”

Tapi tiba-tiba Lie Kong Kiat gebrak meja.

“Buat apakah kau tanyakan itu?“ ia berseru. “Dia adalah bakal isteriku! Dimusim rontok nanti aku akan sambut dia sebagal pengantinku.”

Siau Hoo gusar hingga ia tak dapat kendalikan diri, tahu- tahu tangannya telah diulur kepada iganya Kie Kong Kiat tanpa Kong Kiat sempat berkelit atau menangkis, hingga cucunya Liong Bun Hiap rubuh seketika, tubuhnya terbanting keras.

Lau Cie Wan dan Chio Ce Yau menjadi sangat kaget, sampai mereka mencelat kepinggir.

Disitu berada tuan rumah penginapan, jongos-jongos dan beberapa tamu lainnya, mereka semua juga kaget sekali.

Siau Hoo berdiri diam, mukanya merah padam, tangannya mengepal keras, giginya berkerot. Ia ada gusar dan sengit, hingga ia berniat hajar mampus pada orang she Kie itu, yang rebah tidak berdaya bagaikan mayat.

“Percuma aku binasakan padanya,” akhirnya ia  pkir. “Untuk seorang perempuan aku bunuh orang, itu bukannya perbuatan satu enghioug. Lagi-pun suhu larang aku sembarang gunakan Tiam-hiat-hoat, sekarang karena kegusaranku aku telah gunakan itu, inilah tidak selayaknya. Sekarang-pun aku terpeugaruh oleh kejelusan ... “

Cepat sekali Siau Hoo insaf, hingga ia segera hunjuk roman menyesal. “Apakah benar Pau Kun Lun, Liong Cie Khie dan Pau Ah Loan berada di Tiang-an sekarang?” ia tanya Cie Wan.

“Ya, mereka semua ada di Tiang-an,” sahut orang yang ditanya dengan anggukan.

“Baik, aku segera cari mereka!” kata Siau Hoo, yang segera dupak Kie Kong Kiat setelah mana cepat luar biasa, dengan mendongkol, ia bertindak keluar. Ia pulang kehotelnya akan ambil pauhoknya dan membayar uang, sesudah itu, dengan lantas ia kaburkan kudanya. Ia mau menuju langsung ke Tiang-an, akan tetapi entah kenapa, kemudian ia beri kudanya jalan dengan pelahan. Baru ia melalui tiga atau empat lie, dari arah belakangnya ada seekor kuda putih yang datang mengejar padanya.

Itulah Kie Kong Kiat yang menyusul, pedangnya dibulang-balingkan.

“Kang Siau Hoo!” berteriak-teriak cucu Liong Bun Hiap itu. “Hai, manusia rendah yang tak betani perkenalkan she dan nama, jangan lari! Kau totok orang dengan Tiam-hiat- hoat itu bukan perbuatannya satu enghiong! Beranikah kau pibu dengan pedang kepadaku?” 

Siau Hoo tahan kudanya, yang ia putar balik! Ia lintangkan pedangnya dihadapannya.

“Kie Kong Kiat!” kata ia dengan bersenyum tawar. “Kau juga ada orang Bu Tong Pay kenapa kita mesti bertempur mati-matian? Adalah mudah sekali untuk aku binasakan kau, akan tetapi aku tidak ingin lakukan itu. Sama sekali kita tidak bermusuhan. Yang aku cari adalah Pau Cin Hui serta persaudaraan Liong!”

Tapi Kie Kong Kiat sedang gusar.

“Dengan adanya aku Kie Kong Kiat jangan kau harap bisa ganggu siapa juga orang-orang Kun Lun Pay!” kata ia dengan jumawa. “Tidak sekali-pun selembar rambut mereka! Lihat pedang!”

Kie Kong Kiat membacok dengan sengit sekali.

Siau Hoo tangkis serangan itu dengan keras, hingga kedua senjata perdengarkan suara nyaring, dan pedangnya Kong Kiat tersampok hingga terpental, beruntung tidak sampai terlepas dari cekaannya. Kong Kiat majukan kudanya untuk lewati, sesudah mana ia  berbalik akan kembali kirim serangan yang kedua.

Siau Hoo menangkis sambil serodotkan pedangnya, hingga ujungnya menyambar lengan musuh, berhubung dengan mana Kong Kiat segera tarik pulang lengannya dan mundurkan kudanya, untuk ia segera loncat turun dari kudanya. Adalah diatas tanah ia hendak melayani. 

Dari atas kuda Siau Hoo menikam dalam gerakan “Tan hong tiau yang,” atau Burung hong hadapi matahari.”

Karena serangan berbahaya itu, Kong Kiat loncat mundur. Ketika ini digunai oleh orang she Kang itu untuk turut loncat turun dari kudanya, untuk segera menyerang pula.”

Lagi-lagi Kong Kiat mundur, malah ia terus lari ke arah Utara sampai beberapa tindak, ketika Siau Hoo hampir menyandak, tiba-tiba ia putar tubuhnya mendahului menyerang.

Siau Hoo tidak beri dirinya di “loh-bee” oleh musuh, ia ada cukup awas dan gesit gerakannya, ia berkelit kesamping, pedangnya dipakai menyampok, maka untuk kesekian kalinya kedua seujata beradu pula dengan keras.

Kong Kiat penasaran, dalam sengitnya ia  berlompat maju menyerang pula, inipun dapat dielakkan, ia menikam pula beruntun sampai dua kali untuk mendesak terus. Semua serangannya itu ada berbahaya sekali.

Siau Hoo hunjuk kesebatannya. dengan leluasa ia senantiasa kelit tubuh, tetapi ketika Kong Kiat tidak kenal puas dan merangsek pula, ia lalu hunjuk ketangkasannya, ia hadapi musuh. Pedangnya dengan hebat menusuk  kebawah, dalam gerakan “Niau coan eng hoan” atau “Burung berputar, garuda jumpalitan.”

Kong Kiat menjadi terperanjat, ia  terdesak, sehingga repot, tetapi justeru ia sudah hampir tidak berdaya, Siau Hoo tidak mau turunkan tangan jahat.

Pemuda she Kang ini kirim satu tusukan sebat, Lawannya coba menangkis, akan tetapi tangkisan  itu justeru disampok, selagi pedang musuh terpental, Siau Hoo maju dua tindak, lalu sebelah kakinya terangkat naik dan mampir diperutnya Kong Kiat.

Semua itu terjadi dengan luar biasa cepat, Kong Kiat telah rubuh terjengkang dan duduk tetapi karena ia bandel dan gusar, ia segera lompat bangun pula, dengan menggunakan kedua tangannya lagi-lagi ia menikam.

Siau Hoo menyampoknya dengan keras.

“Blam-blam.” Kong Kat terperanjat. Ia telah merasakan orang punya tenaga yang besar sekali, kedua tangannya sampai tergetar.

Siau Hoo tertawa mengejek.

“Jikalau aku tidak kuatir kau celaka, sudah sejak siang- siang jiwamu melayang!”

Meski-pun ia berkata demikian, Siau Hoo toh maju menyerang pada dada musuh. Dengan cepat Kong Kiat angkat pedangnya untuk menangkis, namun ia kalah sebat, ujung pedang  telah mendahului mampir didadanya, tapi baru saja ujung pedang itu nempel didadanya, Siau Hoo sudah tarik kembali.

“Pergilah kau pulang!“ Siau Hoo bilang sambil tertawa dingin. “Pergi kau nelusup masuk kelobang kuburan dari engkongmu Liong Bun Hiap, untuk helajar ilmu pedang pula beberapa puluh tahun lamanya!“

Setelah kata begitu, Siau Hoo lari kekudanya yang ia segera tunggangi. Ia menoleh dan tertawa, lalu ia kaburkan kudanya ke Utara.

Kong Kiat berdiri tertegun sekian lama, ketika ia tunduk, ia lihat darah mengalir didadanya, segera ia  merasakan sakit sedikit. Nyata ia telah dilukai secara sangat enteng, hanya lecet saja. Maka diakhirnya Ia menghela napas, lalu ia banting-banting kaki. Ia naik atas kudanya untuk pulang ke hotel.

Cie Wan dan Cie Yau sedang menantikan, begitu berhadapan sekonyong-konyong Kong Kiat serang Cie Wan sehingga sempoyongan rubuh hampir pingsan.

Kong Kiat masih menyerang tetapi Cie Wan bisa menangkis, ketika pemuda itu hendak memukul untuk ketiga kalinya, Cie Yau segera menghalau untuk mencegahnya. Dalam sengitnya Kong Kiat masih hendak mendupak.

“Karera kau kenal Kang Siau Hoo maka aku ajak kau!“ ia berseru. “Tak aku sangka, melihat Kang Siau Hoo kau berpura-pura tak kenal, hingga hampir saja aku kena dipermainkan! Apakah kau hendak mencelakakan aku?“ Cie Wan gusar juga, akan tetapi ia tahu ia ada dipihak bersalah, ia tidak bisa melawan, maka itu, dengan muka merah ia ngeloyor keluar.

Cie Yau bujuki Kong Kiat duduk.

“Dalam hal ini tak dapat Lau Sutee terlalu dipersalahkan,” kata ia. “Coba kau pikir. Kang  Siau  Hoo itu ada anaknya Kang Cie Seng, ketika dahulu mereka tinggal sama-sama, dia masih terlalu kecil, tapi sekarang telah berselang belasan tahun, bagaimana ia masih ingat akan romannya orang?“

Kie Kong Kiat tertawa dingin.

“Jangan kau belai dia!” kata ia dengan nyaring. “Aku tahu kau semua takut pada Kang Siau Hoo seperti orang takuti harimau, hingga karenanya, sekali-pun berbadapan muka, kau telah membungkam! Kau kaum Kun Lun Pay, mulai dari gurumu memang sudah ketakutan! Kalau orang Kun Lun Pay dengar namanya Kang Siau Hoo, semangatnya seperti sudah putus saja! Sungguh malu untuk kekecilan nyalimu sekalian. Kalau tidak karena Nona Ah Loan, sungguh aku tidak sudi bantui kau kaum Kun Lun Pay yang sangat tak punya guna!”

Chio Cie Yau melengak. Kata-kata itu ada hebat sekali. kemudian matanya yang sebelah, yang tinggal satu-satunya, terputar:, “Kie Kouya, jangan kau bicara demikian kepada lain orang,” kata ia dengan masgul. “Kau sendiri-pun akan turut malu. Memang suhu jerih terhadap Kang Siau Hoo. Sudah selayaknya, siapa kepandaiannya makin tinggi dan usianya-pun makin lanjut, nyalinya jadi makin kecil. Hal ini-pun terjadi dengan Cie Wan. Terang dia telah ketahui dan siang-siang akan bugeenya Kang Siau Hoo yang liehay dan kita bertiga tidak akan sanggup lawan padanya, maka dia sengaja tidak mau beritahukan kau hal orang she Kang itu.”

Kong Kiat gusar, hingga ia gebrak meja.

“Tutup mulut!“ ia membertak. “Kau orang-orang Kun Lun Pay boleh takuti Kang Siau Hoo, aku sendiri tidak! Tadi aku kejar dia, kalau aku dapat menyandaknya, aku tentu sudah gantung balik kepalanya diujung pedangku untuk dipertontonkan kepada kau berdua ...” 

Kong Kiat gunai banyak tenaga, dadanya yang terluka bergerak-gerak dan menerbitkan rasa sakit, hinga dengan sendirinya hawa amarahnya menjadi reda, lambat laun ia menjadi sabar dan tenang, sambil kerutkan dahi ia diam saja.

“Kie Kouya, bagaimana sekarang?” Cie Yau tanya kemudian. “Apa tetap kau masih hendak bekuk Kang Siau Hoo?”

“Sudah berhadapan, Lau Cie Wan berpura-pura tidak kenal Siau Hoo, sekarang ke mana kita hendak pergi membekuk padanya? Mungkin sekarang dia menuju ke Utara dan memasuki Tong-kwan, akan pergi ke Tiang-an, maka baiklah kita segera berangkat ke Cie-keng-kwan. Tapi lebih dahulu kita tengok loosuhu di Tay-san-kwan, karena suhu jerih terhadap Kang Siau Hoo, kita boleh minta suhu menyingkir jauh. Kemudian, dari sana barulah kita pergi ke Tiang-an akan papaki orang she Kang itu untuk binasakan padanya. Kita harus pergi lekas, kalau tidak pasti Kang Siau Hoo akan mendahului kita sampai di Tiang-an.”

“Baiklah,” Cie Yau nyatakan setuju. “Mari kita berangkat sekarang juga.” Orang she Chio ini segera masuk kedalam kamarnya dimana ia dapati Cie Wan sedang duduk dipembaringan, tampangnya menyatakan kegusaran atau kemendungkolan.

“Kie Kong Kiat hendak ajak pergi ke Tay-san-kwan akan tengok suhu,” kata si mata sebelah pada saudara seperguruan ini. “dari sana dia mau segera menuju Tiangan guna papaki dan tempur Kang Siau Hoo. Kita hendak berangkat sekarang juga.”

Cie You bicara dengan pelahan, seperti berbisik. Cie Wan tertawa menghina.

“Tempur Kang Siau Hoo? Hm!“ dia kata dengan jemu. “Apakah kau tidak lihat darah didadanya Kie Kong Kiat? Itulah pasti luka tusukan Kang Siau Hoo. Terang sekali Kang Siau Hoo tidak niat celakai padanya, kalau tidak, sejak tadi malam kepalanya pastilah sudah lenyap.”

Cie Yau tidak tahu banyak seperti Cie Wan, ia terkejut, mukanya jadi pucat

“Semua-mua adalah salahnya suhu,” Cie Wan kata pula. “Seumur hidupnya suhu bersikap terlalu ganas, dia telah bunuh terlalu banyak orang, hingga ia undang musuhnya sekarang ini! Entah bagaimaa di hari-hari yang mendatang

... Bukan melainkan kita Kun Lun Pay bakal termusnah malah suhu sendiri, yang usianya sudah lanjut, barangkali dia tak akan luput dari bencana ...”

Cie Wan ada sangat berduka dan kuatir hampir saja ia alirkan air mata.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar