Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 04

Jilid 04

CIE HIAN sibuk sampai ia hendak banting-banting kaki, akan tetapi Siau Hoo jongkok terus di tempatnya.

“Aku tidak takut!” kata ia dengan berani.

Cie Hian sangat jengkel, tetapi ia tidak berani bicara lama-lama, terpaksa ia bertindak masuk.

Tidak lama, didalam terdengar suara orang ramai minum arak. Siau Hoo terus numprah, dengan tangannya, ia coret- coret tanah.

Tidak selang lama, Ah Loan muncul.

“Siau Hoo, kau tidak mau dahar?” tanya nona ini.

Siau Hoo berbangkit dengan malas-malasan, dengan tidak kata apa-apa, ia ikuti si nona masuk, justeru itu ia berpapasan dengan Pauw Cin Hui, yang muncul dari kamar Utara, kedua matanya dibuka lebar, yang bercahaya hingga bocah itu tidak berani memandang padanya, sambil tunduk Siau Hoo jalan terus. Ia ambil semangkok nasi restan, ia bawa itu kepojok tembok dimana ia jongkok.

Pauw Kauwsu menghampiri bocah itu.

“Mengapa kau tidak makan didalam?” tanya orang tua ini, dengan suaranya lemah lembut. “Diluar hawa udara ada sangat dingin!”

Siau Hoo menggeleng kepala.

“Tidak apa aku dahar disini, disini pun sama saja.” ia jawab.

Guru silat itu tertawa.

“Tubuhmu kuat, anak!” memuji ia.

Siau Hoo angkat kepalanya memandang guru silat itu, mulut siapa ada berbau arak. Orang tua itu kemudian kembali ke kamar Utara.

Dari kamar Selatan kembali terdengar suara ramai orang yang sedang bersantap, minum arak dan mengobrol dengan asyik.

Kemudian beruntun kelihatan Cie Hian, Cie Tiong dan yang lainnya, keluar. Sehabis dahar Siau Hoo, kembali ke istal, ia siapkan sehelai sela, kemudian ia pergi ke gubuknya untuk rebahkan diri. Ia ada bersemangat, hatinya tegang.

Tidak terlalu lama cuaca mulai gelap.

Pelahan-lahan anak ini berbangkit, ia bertindak ke rumah besar. Dari pekarangan ia lihat api terang di kedua ruangan Selatan dan Utara, dan kupingnya dengar suara nyaring dan kedua saudara Liong, tapi lagu suaranya seperti orang- orang bertengkar.

“Liong-tiong-hiap Cie Kie si celaka duabelas itu ilmu pedangnya tidak tercela, baiknya kita ada berdua, kalau sendirian, kita bisa rubuh di tangannya.” demikian Siau Hoo dengar.

Kata-kata itu menggerakkan hatinya bocah itu.

“Kalau begitu, ilmu silat Cie Kie mesti ada lebih lihay daripada mereka ini!” demikian Siau Hoo pikir. Sambil berpikir, ia kembali ke gubuknya, untuk pasang sela pada kuda putih, kemudian kuda itu ia tuntun keluar pekarangan kandang, yang pintunya ia buka dengan hati-hati. Begitu lekas ia sudah tutup rapat pintu itu, ia loncat naik atas kudanya yang segera ia beri lari keluar kampung. Ia belum lari jauh, ia tahan kudanya untuk melihat ke sekelilingnya.

Malam segelap itu, disitu tidak ada siapa jua kecuali ia sendiri. Maka ia loncat turun dari kudanya yang ia turun ke pinggir jalan dimana ia lalu tambat di sebuah pohon besar. Ia perhatikan jurusan, kemudian ia perdengarkan tertawa ejekan yang  pelahan. Lalu ia bertindak balik kedalam kampung, ke rumahnya Cin Hui. Ia masuk dari pintu pekarangan kandang, ia tidak palang dan ganjel lagi dengan batu seperti biasanya. Didalam gelap, ia jalan memutari istal kuda, ia dapati semua kuda sudah tidur. Dari situ ia pergi ke gubuknya, hatinya tidak keruan rasa, karena hatinya itu memukul keras.

Di sini Siau Hoo berdiam sampai ia dengar kentongan kampung bersuara tiga kali.

“Ha, sudah tengah malam!” kata ia seorang diri. Terus ia berbangkit, ia cabut “Golok mustika”nya sambil bawa itu, ia jalan berindap-indap ke arah rumah besar. Ruangan Selatan sudah gelap, dari kamar mana terdengar suara menggeros. Tentu itu ada suara menggerosnya dua saudara Liong. Di ruangan Utara, kamar masih terang, terdengar suara batuk-batuk dari Si guru silat.

“Makhluk tua bangka itu masih belum tidur!” kata Siau Hoo dalam hatinya, dengan mendongkol dan sengit. Terpaksa ia kembali ke istal. Ia merasa sekujur badannya panas karena menahan amarahnya yang berkobar-kobar.

Lagi sesaat, kentongan terdengar berbunyi empat kali.

Siau Hoo lantas bertindak pula ke arah rumah, baru ia sampai di pintu tembusan, atau ia dengar pula suara batuk- batuk dari kamar Utara, malah suara batuk itu seperti pertandaan untuk membanguni orang.

“Kurang ajar tua bangka itu!” ia mendamprat dalam hatinya. “Apa bisa jadi dia telah menduga atas niatku malam ini?”

Karena memikir demikian. Siau Hoo jadi berkuatir, hingga hatinya jadi goncang keras.

Lewat lagi sekian lama, sang fajar seperti sudah hendak menyingsing.

Siau Hoo berdebaran, hampir-hampir ia gunai pisaunya akan tikam dadanya sendiri. Ia seperti habis sabar. “Bagaimana sekarang? Sebentar orang-orang  yang belajar silat akan datang berkumpul! Sebentar kedua saudara Liong juga akan bangun dari tidurnya! ... Ah, biarlah!”

Sebagai orang nekat, bocah ini bertindak pula menghampiri kamar Selatan. Ia mendekam di pojok tembok. Ia memasang mata dan kuping. Api di kamar Utara sudah padam, suara menggeros di kamar Selatan terdengar terus. Keadaan di sekitarnya gelap, sedang di langit hanya ada bintang yang berkelak-kelik. Kesunyian memerintah disitu.

Dengan tak berani berayal, Siau Hoo berbangkit akan menghampiri pintu dan kamar yang dipakai kedua saudara Liong. Ia tolak daun pintu, yang tak dapat dibukanya tapi ia tidak mau mengerti, karena hatinya tegang bukan main. Ia jepit goloknya dengan kedua tangan ia tolak daun pintu.

Dilawan dengan kekerasan, pintu itu menjeblak, sampai tubuhnya Siau Hoo jatuh kedalam, ia tersandung sebuah kursi hingga ia terjerunuk ke pembaringan. Dua orang yang tidur disitu tersadar dengan kaget karena suara berisik itu, Siau Hoo kena raba seorang diantaranya, yang telah berbangkit dan duduk. Ia  tidak perduli siapa orang itu, dengan sengit ia menikam.

“Aduh!” demikian satu jeritan hebat, yang disusul dengan rubuhnya satu tubuh.

Berbareng dengan itu, Siau Hoo lari keluar akan kabur. “Ada orang jahat!” begitu terdengar, teriakannya Pauw

Kun Lun.

Siau Hoo ketakutan, ia lari terus, mulanya ke istal, lantas keluar pekarangan. Ia kabur ke pohon dimana ia tambat kudanya, ia loncat ke atas bebokongnya binatang itu, yang ia terus beri kabur tanpa tujuan karena bingungnya. Disaat ia merasa telah lewati jembatan papan, dimana ada banyak pengkolannya, ia dengar riuh tindakan banyak kuda di sebelah belakangnya.

“Celaka, mereka kejar aku!” ia menjerit seorang diri.

Maka dengan tinjunya ia hajar kepala kudanya, yang perutnya pun dijepit, buat bikin kuda itu kabur pula.  Ia tidak tahu berapa jauh ia sudah lari, ia hanya lihat cuaca fajar mulai tertampak, hingga ia dapatkan di kanan ia ada bukit, dikiri ada kali kecil. Jalanan ada jalanan kecil. Ia menoleh ke belakang, ia tidak tampak pengejarnya. Hatinya lantas saja menjadi lega. Ia  lantas duduk diam di atas kudanya untuk melenyapkan lelah, sesudah mana, ia beri kudanya lari pula. Ia segera lihat cahaya merah terang di depannya, dan itu ia mengarti, di depan adalah jurusan Timur. Maka gunung di kanan ia tak salah lagi adalah Lam San.

Sesudah lari lebih dan tigapuluh lie, Siau Hoo lihat hari sudah terang betul. Kebetulan di sebelah kanan ia  ada jalanan gunung, ia ambil jalanan itu. Ia anggap dengan ambil jalan itu, pengejarnya tentu tak akan dapat cari atau candak padanya. Disini kaki kudanya menerbitkan suara nyaring, hingga burung-burung pada kaget dan berterbangan. Baru sekarang ia merasa letih, maka ia beri kudanya jalan pelahan, untuk ia ambil ketika akan beristitahat.

Sekarang Siau Hoa lihat pisaunya yang  berlumuran darah dan darahpun mengenai tangannya, ujung bajunya juga.

“Pasti dia mampus!” pikir ia yang merasa puas. “Sayang aku tidak tahu dia si Liong tua atau Liong muda! Tak perduli siapa, aku toh telah dapat balas sedikit dan sakit hati ayah! Sekarang si tua bangka she Pauw pasti sangat benci aku, tetapi aku tidak takut! Aku sudah sampai disini, mereka tak akan mampu susul aku ...”

Ia jalan terus, tetap masih pelahan, ia lalui beberapa tikungan. Tapi jalanan sekarang semakin naik dan semakin kecil juga.

“Eh, bagaimana ini?” akhirnya ia tanya dirinya sendiri. “Apakah aku salah jalan?”

Ia loncat turun dari kudanya, ia tambat binatang itu pada sebuah pohon tua, lantas ia jalan menanjak ke tempat yang tinggi, hingga ia lantas dapat kenyataan, ia  benar-benar telah ambil jalan buntu.

“Celaka!” ia mengeluh seorang diri. “Kenapa  aku nyasar? ...”

Baru saja ia memikir untuk balik turun kepada kudanya, kupingnya lantas dengar kericikannya air.

“Disitu ada mata  air,” kata ia  yang  terus bertindak menghampiri mata air ini, yang airnya berlegat-legot bagaikan ular. Ia cuci pisau dan tangannya, dengan kedua tangannya ia ambil air buat diminum, hingga ia  lantas merasa segar. Setelah selipkan pisaunya di pinggang, ia turun kepada kudanya. Ia potes sebatang cabang pohon untuk dia jadikan cambuk, kemudian ia loncat naik ke atas kudanya itu jalan balik menuruti jalan yang tadi.

Baru saja anak ini muncul di mulut jalan, ia lihat dari arah Barat kabur seekor kuda, yang penunggangnya melihat siapa bikin ia terkejut. Penunggang itu adalah Lou Cie Tiong! Ia segera kaburkan kudanya ke Timur, tetapi Cie Tiong yang telah dapat lihat padanya segera mengejar.

Sesudah saling kejar jauhnya tiga atau empat lie, Cie Tiong hampir dapat candak padanya. Iapun jadi bingung sekali, karena segera ia dapat kenyataan, jalanan di depannya ada jalanan buntu. Terpaksa ia tahan kudanya, ia cabut pisaunya.

“Biar aku lawan dia!” pikirnya yang menjadi nekat. Ia sudah pikir, kalau paman itu sampai, ia hendak lompat turun dari kudanya buat berkelahi dengan mati-matian!

Ketika itu Cie Tiong sudah datang dekat, akan tetapi untuk keheranannya, ia lihat orang tahan kudanya, sedang di tangan dan kudanya paman itu ia tidak lihat senjata apa juga. Malah dengan suara menyatakan sibuknya, paman itu segera serukan dia: “Kau bernyali besar! Kenapa kau tidak lari terus? Lari ke Timur sana apabila kau lihat gunung, lekas menuju ke Selatan, sekeluarnya dari sana, itulah jalanan ke Sucoan Utara! Lekas, lekas! Kau nanti terkejar mereka!”

Mendengar itu, Siau Hoo mengerti Cie Tiong ada seorang baik hati, terus saja ia kaburkan kudanya ke Timur, sama sekali ia tidak berpaling-paling lagi. Di sebelah depan ia lihat jalanan gunung yang lebih lebar dan rata, ia lantas memasuki jalanan itu. Ia cambuki kudanya berulang-ulang. Beberapa kali ia lintasi tikungan gunung sampai ia lihat tegalan belukar di depan matanya. Ia mengerti, ia sudah lintasi gunung Pa San, dan di depan ia  adalah daerah Sucoan utara. Tapi ia masih kuatir Pauw Kun Lun dan murid-muridnya akan dapat susul padanya, ia larikan terus kudanya. Sekarang ia menuju ke selatan, yang jalanannya lebar dan rata.

Di sepanjang jalan ada kedapatan rumah-rumah orang atau kampung, di jalanpun sudah mulai ada orang berlalu- lintas, maka itu, sekalipun masih kuatir Siau Hoo tidak ketakutan seperti tadi ia beranggapan, di tempat umum seperti itu, umpama orang dapat susul dia, apa orang bisa bikin terhadapnya. “Mustahil mereka berani bunuh aku?”

Maka ia beri kudanya jalan pelahan-lahan pula, dengan begitu iapun jadi bisa menghilangkan lelah.

Setetah melalui lima puluh lie kira-kira, ketika itu sudah tengah hari, Siau Hoo merasa perutnya lapar, maka itu ia minta keterangan pada orang yang jalan didekatnya perihal tempat itu. Ia diberitahukan, belasan lie lagi di sebelah Selatan ada distrik Ban-goan.

Ban-goan ada sebuah tempat besar di Sucoan Utara, letaknya di pesisir Timur dari sungai Houw-kang, sedang Houw-kang ini adalah aliran atas dari Pa-sui dan bisa nyambung dengan sungai Kee-leng-kang, hanya sekalipun ada dibagian udik, air sungai ada cetek, disitu tak ada perahu-perahu besar, hanya banyak perahu-perahu kecil saja, yang angkut barang-barang dari Siamsay Selatan ke Selatan, dari itu, perhubungan jadi ramai, didarat dan di air berbareng.

Begitu ia memasuki kota, Siau Hoo dapat kenyaatan, keadaan kota ada lebih ramai daripada kota Tin-pa, hingga ia jadi gembira.

“Benar lebih enak merantau!” pikirnya, “sekarang aku telah jadi orang kang-ouw! Aku ada punya kuda, ada punya uang, tetapi sayang aku tidak punya senjata panjang, kalau aku menyoren golok atau menggantungkan pedang di pinggangku, siapa bilang aku bukan satu kang-ouw enghiong?”

Karena memikir begini, Siau Hoo hunjuk laga seperti orang dewasa, hingga ia hampir kena tabrak satu orang, walaupun demikian ia mash tidak mau turun dari kudanya, ia jalan terus, sampai disebuah jalan perapatan. Disini ia tahan kudanya di depan sebuah restoran besar dimana ada beberapa kereta piauw yang berbendera putih persegi tiga. Ia tidak tahu piauw siapa adanya itu, karena ia tidak kenal huruf. Ia loncat turun dari kudanya yang ia terus tambat di pelatok, setetah itu, ia bertindak masuk kedalam restoran, terus naik ke tangga, tindakan kakinya menerbitkan suara nyaring ia bawa aksi seperti seorang Kang-ouw tulen.

“Eh, eh, tahan!” satu jongos mencegah. “Kau cari siapa?”

Siau Hoo mengawasi dengan tajam, ia angkat dadanya. “Aku    hendak    minum    arak,“    ia    jawab.    Ia   terus

menghampiri sebuah  meja, ia  jatuhkan diri di atas bangku.

“Mari bawakan aku satu poci!” ia berseru, aksinya baik. “Apakah benar kau hendak minum?” si jongos menegasi. Siau Hoo mendelik.

“Apakah kau menghina aku?” ia tegur. Ia rogoh sakunya akan keluarkan uang lima tail pemberiannya Ma Cie Hian yang mana ia gabruki diatas meja, kemudian iapun tarik pisaunya, akan letaki di atas meja itu.

Jongos itu mengawasi, ia tertawa. Beberapa tetamu lainnya pun turut tertawa.

“Apa kau anggap aku satu bocah? ” Siau Hoo tanya. “Hmm! Aku ada seorang ulung dalam kalangan kang-ouw, di Siamsay Selatan dan Sucoan Utara, namaku terkenal! Kau lihat uang itu, kau jangan kuatir aku akan anglap padamu! Lekas ambil arak dan sayurnya, sehabis dahar aku hendak segera lanjutkan perjalananku! Diluar ada seekor kuda putihku, aku ingin supaya kudaku itu dipelihara baik- baik!”

Jongos itu menyahuti disertai tertawanya pula. Beberapa tetamu lainnya juga turut tertawa lagi. Siau Hoo tidak puas, ia awasi mereka ini dengan mata melotot. meskipun ia tidak tegur mereka, dia toh mengomel seorang diri. Ia anggap orang kang-ouw tidak boleh terhina. Semenara itu, sambil dahar dan minum, ia suka celingukan ke sekitarnya, maka sekarang ia lihat nyata semua tetamu lainnya ada berpakaian bersih dan rapih, kebanyakan mereka mirip dengan piauwsu atau orang-orang kang-ouw, mereka nampaknya keren, tidak demikian dengan dia sendiri yang pakaiannya tipis dan ada yang pecah juga, hingga kelihatan kulit dagingnya, pakaian itu juga kotor dengan tai babi, sedang kakinya, yang sepatunya bobrok, kotor juga. Iapun tidak memakal kaos kaki. Celananya, sudah kotor, pakaiannyapun ada tumanya, yang membikin ia gatal dan menggaruk-garuk ...

“Tidak, dengan pakaian begini macam aku tidak dapat merantau!” pikir ia, yang sekarang insaf atas keadaan dirinya. “Pantas semua orang tertawai aku. sebab aku ada kacung pengemis tukang piara babi, aku tak mirip-miripnya dengan orang kang-ouw!”

Untuk sesaat, bocah ini jadi bingung. Ia berniat membeli pakaian, ia kuatir uangnya tidak cukup. Untuk mencuri saja, inilah ia tidak sanggup lakukan, ia lebih suka binasa kelaparan daripada jadi penjahat, sedang dia mau jadi satu hoohan orang gagah!

Selagi keringi cawannya, Siau Hoo lihat pisaunya. Berbayanglah pada waktu Pauw Kun Lun dan caranya si jago tua persen ia senjata itu pada dua tahun yang lalu di tengah sawah.

“Ya, si tua bangka she Pauw juga bukan makhluk yang baik!” tiba-tiba ia berseru dan memukul meja. “Biar bagaimana aku mesti bunuh padanya!” Di meja sebelah barat ada beberapa tetamu lain, satu diantara datang menghampiri.

“Eh, saudara kecil, kau datang dari mana?” tanya orang itu sambil tertawa dan menepuk-nepuk pundaknya.

Siau Hoo angkat kepalanya mengawasi. Orang itu ada kurus, baju dan celananya hitam tetapi bersih, umurnya tiga puluh tahun lebih, mukanya kuning, matanya kecil, sedang bibirnya tebal. Kuncirnya yang kecil, dililit di kepalanya. Dilihat seumumnya, dia mirip seorang kang-ouw.

Lantas Siau Hoo berbangkit, ia rangkap kedua tangannya memberi hormat. Ia bawa sikap orang dewasa, orang kang- ouw.

“Aku datang dari Tin-pa,” ia menyahut.

Baru ia menyahut atau Siau Hoo sudah menyesal. Dalam hatinya ia kata: “Benar aku sudah menyeberang lain propinsi tapi disini masih dekat dengan Tin-pa, apabila disini ada orang yang kenal baik dua saudara Liong atau si tua bangka she Pauw dan ia mengasi kabar dengan menunggang kuda pasti mereka itu bisa susul aku, inilah berbahaya!”

“Aku datang dari See-an,” ia lantas tambahkan. “Setelah jalan lima hari, aku sampai di Tin-pa dimana aku nginap satu malam, baru hari ini aku sampai disini ...”

Orang itu tertawa. Ia ketahui bahwa jawaban itu tak cocok dengan kenyataan.

“Saudara kecil, apakah she dan namamu yang terhormat?” ia tanya pula.

Kembali Siau Hoo rangkap kedua tangannya.

“Maafkan aku, aku Kang Siau Hoo, gelar ... ” kata ia, yang ingat, orang kang-ouw mesti mempunyai gelar, dan ia hendak pakai gelar yang hebat! “Gelarku adalah Sam-tauw- houw!”

“Sam-tauw-houw” berarti “Harimau Kepala Tiga.”

Orang itu tertawa terbahak-bahak, ia usap-usap kepalanya Siau Hoo.

“Saudara-saudara lihat,” kata ia pada orang banyak, “Ini saudara kecil gelarkan dirinya Sam-tauw-houw! Ha! ha ha!”

Suara tertawa itu disambut oleh tertawanya semua tetamu lainnya.

Siau Hoo melotot, ia cekal tangannya orang itu.

“Kau telah tanya aku, sekarang ada giliranku untuk tanya kau!” ia kata. “Kau she dan nama apa dan apa gelarmu?”

Orang itu menjawab sambil tertawa.

“Aku tak dapat beritahukan kau.” katanya. “Aku tak dapat dibandingkan dengan kau. Aku adalah It-ko-tauw!”

“It-ko-tauw” = satu kepala.

Siau Hoo ketahui bahwa ia sedang digodai, ia lantas saja kepal tangannya dan angkat itu.

“Apa, saudara kecil?” orang itu tanya tetap sambil tertawa. “Apa benar-benar kau hendak bertanding dengan aku?”

Kata-kata itu belum habis diucapkan, sudah dipotong dengan satu suara “Duk” yang nyaring. Kepalan yang kecil dari Siau Hoo sudah menyambar kepala. Kepalan itu kecil tetapi keras dan jatuhnya hebat! Orang itu menjerit. “Aduh!” dibarengi rubuh tubuhnya, memimpa satu kawannya. Semua orang lainnya jadi terperanjat, ada yang menjerit, ada juga yang berseru, “Bagus!” Beberapa orang sudah gulung tangan baju, mereka berbangkit, hendak menghampiri bocah yang sejak tadi mereka tanggap ...

Siau Hoo lihat bahaya mengancam, dia tidak takut, dengan sebat ia sambar pisaunya, sebelah kakinya dipakai menginjak bangku, sebelah tangannya segera menggebrak meja, sedang matanya dibuka lebar-lebar!

“Kau berani permainkan aku?” ia tanya dengan nyaring. “Ketahuilah bahwa Kang Siau-toaya mu sudah merantau belasan tahun lamanya, di Tin-pa dia telah rubuhkan Pauw Kun Lun, dengan pisaunya ini dia sudah tikam persaudaraan Liong dari Cie-yang! Dan sekarang dia datang ke Sucuan Utara ini untuk menemui Long Tiong Hiap! Kau berani main gila terhadap aku?”

Perkataan itu nyata besar pengaruhnya, semua orang menjadi tercengang, sedang yang tadi berniat maju sudah lantas duduk pula.

Si jail, yang kepalanya telah dihajar, yang sekarang mukanya menjadi pucat, menjadi kuncup, dia tidak berani mendekati pula.

Siau Hoo lihat orang jerih terhadapnya, dia merasa sangat puas. Dengan aksinya, ia tancap pisaunya di atas meja, lantas ia hirup pula araknya. Tapi ia baru keringi dua cawan atau di tangga ia dengar tindakan kaki yang naik dengan cepat, hingga, dua orang segera tertampak di muka tangga, keduanya bersenjatakan golok-tautoo.

Dengan matanya yang celi, Siau Hoo segera lihat Cie Tiong dan Cie Cun. “Ha, anak yang baik, kau berada disini!” Cie Tiong lantas saja berseru ketika ia kenali bocah itu, tangannya menuding. “Hayo kau lekas turut kita pulang!”

Akan tetapi sambil mengucap demikian, diam-diam Cie Tiong beri tanda dengan matanya.

Adalah sebaliknya dengan Cie Cun ia segera lompat maju, tangannya diulur untuk cekuk anaknya Cie Seng.

Siau Hoo samber goloknya, ia loncat akan memutari meja.

“Aku ingin lihat, siapa diantara kau yang berani bekuk aku? ” ia menantang. Ia tidak takuti Cie Cun, siapa ia deliki. Akan tetapi berbareng dengan itu, di muka tangga muncul lagi satu orang, ialah Liong Cie Teng dengan mukanya yang hitam dan sepasang matanya yang bengis. Dia maju dengan sebuah golok besar.

Melihat orang yang ketiga ini, Siau Hoo barulah kaget, tetapi ia masih ingat untuk loncat dan lari ke jendela depan, yang daunnya ia segera tolak terpentang.

Cie Teng maju terus, selagi mendekati, ia ayun goloknya membacok.

Dalam keadaan terdesak seperti itu, Siau Hoo tidak berdaya. Untuk lari ke tangga, ketikanya sudah tidak ada, jalananpun telah tertutup, maka ia jadi nekat, di saat goloknya Coan-in-yan terpisah hanya satu kaki dari tubuhnya, ia sudah loncat melewati jendela, hingga di lain saat ia telah berada di jalan besar.

Sekejab saja, rumah nakan itu menjadi kacau.

Siau Hoo lari ke kuda ia tidak sempat buka tambatannya, ia babat les itu dengan pisaunya, ia  loncat naik ke bebokongnya kuda itu, yang terus ia beri kabur. Ia boleh bersyukur, tadi dari atas loteng, ia tidak jatuh ngusruk.

Pun di jalan besar keadaan segera menjadi kacau juga, karena orang kaget dan lari serabutan agar tidak keterjang kuda yang seperti kalap itu.

Dengan kepalannya, Siau Hoo hajar kempolan kudanya ia kabur keluar dari Lam-mui, pintu selatan, disitu ia kabur terus dengan ikuti jalan besar. Ia sudah lari sekian lama, baru ia tahan kudanya dan menoleh ke belakang. Ia tampak debu mengebul jauh di belakangnya, ia mengerti bahwa orang kejar ia, tidak bersangsi lagi, ia keprak pula kudanya untuk diberi lari lagi.

Bagaikan seekor naga terbang, kuda itu kabur, empat kakinya bagaikan tidak menginjak tanah, dan itu, dengan cepat bocah ini telah melalui lebih dari pada enampuluh lie. Sekarang ia jadi sangat lelah, beberapa kali hampir saja ia tergelincir jatuh dari atas kudanya itu, karena ia tidak sanggup menahan larinya, ia paksa ia memeluki dengan keras.

Ditengah jalan, orang-orang pada kaget, ada yang menjerit, tetapi tidak ada seorang juga yang mampu menolongi dengan tahan kaburnya kuda itu.

Kuatir terjatuh dan terluka parah, kemudian Siau Hoo dapat akal. Ia loloskan kedua kakinya dan injakan kaki, kemudian dengan tekan sela, ia gunai sisa tenaganya untuk buang diri ke samping kuda, dengan begitu, ia rubuh ke tanah dengan tengkurap. Ketika ia angkat kepalanya, ternyata hidungnya mengeluarkan darah, rupanya entah kabur kemana. Ia lantas berduduk, ia robek ujung bajunya, untuk sumpel kedua hidungnya, akan cegah darah keluar terlebih jauh. Ia masih sengal-sengal tetapi ia berbangkit untuk berdiri. Ia kehilangan pisaunya. “Apakah kau terluka? ” tanya satu orang.

“Kau pandai menunggang kuda, anak,” memuji yang lain. “Baiknya kau buang diri nyamping, kau jadi cuma luka sedikit di hidung, kalau kau tergelincir dan terinjak kuda sungguh celaka!”

Sedang begitu, seorang lain menuntun kembali kudanya yang dapat dicegat dan ditahannya, hanya kuda itu bukan kuda putih, tetapi kuda hitam mulus dan gagah  sekali. Masih saja kuda itu seperti binal, tapi melihat binatang itu, Siau Hoo girang bukan main.

Beberapa orang membantui menahan kuda itu, Siau Hoo cekal lesnya, dan ditarik ke pinggir jalan, untuk ditambat pada sebuah pohon besar, sekalipun demikian, kuda itu masih berjingkrakan ke empat kakinya menggaruk-garuk tanah, dan mulutnya keluar air liur yang berbusa.

Untuk menghilangkan lelah, Siau Hoo pun numprah di tanah, hidungnya mengeluarkan darah pula, ia tutup itu dengan tangan bajunya. Ia sangat mendongkol, hingga ia mencaci seorang diri. Ia mandi keringat, ia buka bajunya. Kudanyapun basah dengan keringat yang mengalir turun.

Tatkala itu, orang-orang yang tadi membantui dan tonton ia sudah pada lanjutkan perjalanannya, hingga sebentar saja ia jadi tertinggal sendirian. Ia membayangkan pengalamannya tadi, bagaimana ia beraksi di restoran, sampai muncul Cie Tiong dan Cie Cun, dan terakhir Cie Teng serang ia.

“Apakah yang tertikam olehku bukannya orang she Liong itu?” demikian ia seperti melamun. Pengalaman itu bikin ia puas berbareng mendongkol.

Tapi kapan ia ingat Cie Teng bertiga bisa jadi akan menyusulnya, ia jadi kuatir pula, ia tidak berani berayal lebih lama, ia lantas berbangkit dengan pelahan-lahan. Baru jalan dua tindak, ia sudah rasakan kakinya sakit. Rupanya itu ada akibat tadi ia loncat dari loteng, kalau tadinya ia tidak merasakan sakit, pasti itu disebabkan ia lupa akan segalanya.

“Celaka!” ia mencaci pula sambil pakai bajunya, ia ingat uangnya lima tail perak yang ketinggalan di atas meja di rumah makan. Senjatanyapun hilang.

“Dengan kantong dan tangan kosong, dapatkah aku merantau? ” kata ia dalam hatinya. Ingat ini, ia jadi berdiri menjublek. “Apa baik aku jual saja kuda ini untuk beli pakaian dan senjata?” Ia bersangsi. Ia ingat sekarang, kuda itu adalah kudanya Cie Teng yang ia sudah salah samber selagi ia kabur dari rumah makan.

“Ini ada seekor kuda jempolan, sayang kalau dijual ... ” Pikir ia, yang terus hampiri binatang itu, kepada siapa ia tepuk-tepuk dan usap-usap.

Sekarang kuda itu jadi hilang binalnya, Siau Hoo telah lepaskan tambatannya, tuntun beberapa tindak, lantas ia loncat naik ke bebokongnya, akan akhirnya diberi jalan pelahan-lahan, mengikuti jalan besar.

Siau Hoo baru jalan dua lie ketika kupingnya dengar suara tetabuhan, yang makin lama makin dekat, hingga kemudian ia lihat serombongan joli pengantin mendatangi. Ia terus tahan kudanya buat menonton, sehingga ia lupakan kekuatirannya. Ia tidak dapat lihat nona pengantin, yang kehalangan tenda joli. Sebaliknya tukang-tukang musik dan tukang gotong joli awasi ia, karenanya ia jadi mendelu.

“Kurang ajar!” kata ia dalam hatinya. “Apakah kau tak pandang mata  padaku? Apakah kau anggap aku tidak punya tunangan? Hm! Lihat nanti! Aku pun punya tunangan. Ah Loan! Kelak sesudah tamat belajar silat, merantau dan mengumpul uang, sehabis menuatut balas, aku akan pulang untuk rayakan pernikahanku! ...”

Baru ia ingat sampai disitu atau Siau Hoo mendadak jadi sangat berduka. Ia teringat, pada suatu sore, ke rumah Ie- thionya ada datang sebuah joli tanpa tukang musik dan ibunya yang berpakaia merah mengawasi ia dengan air mata meleleh, lantas ibu itu naik ke joli dan dibawa pergi. Ibu itu telah dinikah oleh Tang Toa si saudagar cita. Ia berduka, hingga air matanya meleleh, jatuh ke dadanya ... Siau Hoo seka air matanya itu, ia kertak giginya, lantas ia jalankan kudanya akan lanjutkan perjalanannya. Sampai sore, ia sudah lewati belasan dusun. Ia tidak punya uang, hingga ia tidak bisa beli makanan dan tidak bisa singgah juga di rumah penginapan. Ia jalan terus dalam cuaca magrib dan gelap, perutnya berbunyi keruyukan. Didalam gelap demikian, ia tidak dapat kenali bukit, kampung atau rumah orang. Kembali ia berduka dan mendongkol, ia menghela napas dan mencaci seorang diri.

“Bagaimana sekarang? Kalau aku terus-terusan kelaparan, apa aku tidak akan mampus sendirinya?” ia, “Satu kali aku binasa, habislah! Aku dengar orang cerita, bahwa orang kang-ouw bisa hidup tanpa uang satu chie, dimana dia sampai, disitu ada rumahnya, disitu dia bisa dahar ... Kenapa aku tidak bisa? Mulai mencuri, aku tidak sudi! Kenapa aku tidak mau jual silat saja? Mulai besok baik aku jual silat, dengan tangan kosong pun tidak apa!”

Ingat begini, bocah ini jadi dapat hati. Kebetulan di depannya, di pinggir jalan, ada sebuah kuil rusak, ia mampir disitu. Api tidak ada tetapi itu tidak jadi halangan, di langit toh ada banyak bintang. Ia anggap lebih baik ia singgah disitu. Dengan jalan terus, mungkin orang sangka dia ada satu penjahat. Turun dari kudanya, Siau Hoo bertindak masuk dengan tuntun binatang itu. Ia tidak lihat jalanan, yang tidak rata, ada yang keras dan ada yang lembek. Ia tambat kudanya pada sebuah pohon, binatang itu lantas berbenger, kakinya menggaruk-garuk.

“Kau lapar?” Siau Hoo tanya binatang itu. “Apa boleh buat ... Aku sendiripun masih belum dahar. Besok, setelah aku jual silat dan dapat uang, aku nanti berikan kau rumput.”

Ia bertindak kedalam, dengan raba-raba ia cari meja ke atas mana ia naik sambil berlompat. Ia kena raba boneka, yang sudah lenyap kepalanya.

“Kasihan,” kata ia dalam hati. Ia rebahkan dirinya, ia coba meramkan matanya. Sekarang ia terganggu hawa dingin. Ia niat bangun pula, tetapi ia merasa sangat lelah dan ngantuk, sampai ia menguap beberapa kali, maka terpaksa ia meringkuk. Ia tertidur tanpa ia merasa, tak perduli cahaya rembulan menyoroti mukanya dan sang angin menghembus-hembus tubuhnya.

Sama sekali Siau Hoo tidak tahu ia sudah tidur berapa lama, ia tersadar dengan terperanjat disebabkan berisiknya suara kuda. Ia segera kucek-kucek matanya. Ia dengar tindakan kaki kuda, makin lama makin jauh.

“Bangsat! Bangsat, kau berani curi kudaku?”

Siau Hoo ingat kudanya itu, maka ia lantas loncat turun dari meja dengan niat mengejar. Ia kena injak batu, ia terpeleset jatuh, tapi ia lekas bangun pula ia lari keluar kuil, ia dengar kuda lari ke arah Selatan, tidak bersangsi pula ia lari ke arah itu. Syukur baginya, fajar sudah perlihatkan cuaca remang-remang. Ia sudah lari empat atau lima  lie, tapi suara kuda sekarang lenyap sama sekali. Cuaca telah jadi semakin terang. Buat kekagetannya, di tepi jalan ia lihat rebahnya satu orang tak berkutik sama sekali.

“Apakah orang mati? Apakah ia korbannya penjahat? ” kata ia dengan heran. Ia menghampiri dan tolak tubuhnya orang itu dengan kakinya. Ia benar-benar menghadapi satu mayat, kepala siapapun berlumuran darah. Ia jadi kaget.

Mayat itu pakai baju dan celana pendek, pakaiannya penuh debu, yang mana ada bukti bahwa ia telah bergulingan di jalan besar. Belasan tindak dari mayat  itu ada menggeletak sela kuda. Ketika Siau Hoo lihat sela itu, ia segera mengerti duduknya hal.

“Oh, kiranya kau ada si pencuri kuda!” kata ia dengan mendongkol. “Terang kau telah terjatuh dari atas kuda dan terdupak hingga mampus! Dengan kepandaian begini, kau berani curi kudaku!”

Ia jemput selanya, ia lari terus ke Selatan, dengan niatan mengejar kudanya. Ia baru lari dua puluh  tindak lebih, ketika ia ingat suatu apa, maka segera ia lari balik pada mayat tadi, ia berjongkok di sampingnya dan raba sakunya dari mana ia tarik keluar sebungkus uang dan sedikitnya sepuluh tail perak. Maka ia jadi girang dengan mendadakan.

“Oh, bangsat!” kata ia. “Kau telah sangat temaha! Kau telah punyai begini banyak uang, toh kau masih berkehendak kudaku. Pantas kau mampus!”

Siau Hoo tidak berdiam lama-lama. Dari Utara ia dengar suara roda-roda kereta, lekas ia gendol selanya dan lari pula ke arah Selatan. Ia sudah lari tiga atau empat lie,  langit telah jadi terang sekali, sudah banyak orang dan kereta yang berlalu lintas. Ia masih saja jalan terus sehingga belasan lie, baru ia tampak sebuah kota dusun yang ramai, yang mirip dengan kota Tin-pa saja. Dengan tidak sangsi lagi Siau Hoo mampir di tempat ramai itu, paling dahulu ia cari rumah makan. Ia pesan sayur dan nasi serta arak, lantas ia duduk mengisi perut, ia keringi dua poci arak. Habis itu, ia minta air untuk cuci mukanya. Setelah melakukan pembayaran ia bertindak keluar sambil gendol selanya. Dengan sisa uangnya, yang tak ada sepuluh tail, ia pikir buat jual saja sela itu, agar uangnya bisa dipakai beli pakaian dan senjata.

“Sela! Sela! Hayo, siapa hendak beli sela!” demikian ia berteriak-teriak di tengah jalan. Ia sudah lewati satu jalan besar, tidak ada orang tegur ia, hanya ada orang yang mentertawakannya.

“Rupanya perlu aku sebutkan harganya,” pikirnya  sambil jalan terus. Tadinya ia mengharap dapatkan sedikitnya duapuluh tail perak, supaya ia bisa beli pakaian dan senjata. Ia berteriak pula: “Siapa mau beli sela? Harganya murah! Cuma lima belas tail! Aku membutuhkan uang asal cukup untuk perbekalan!”

Siau Hoo sedang berjalan ketika ada orang jambak  ia dari belakang. Ia kaget ia segera berpaling. Ternyata orang yang jambak ia adalah seorang polisi. Ia jadi mendongkol, ia geraki tangannya.

“Kenapa kau cekal aku? ” ia menegur.

Polisi itu tidak menyahuti, hanya datang dua kawannya, yang satu menyamber sela, yang lain keluarkan rantai dengan apa dia segera kalungi lehernya anak tanggung ini.

Gusar karena perlakuan itu, Siau Hoo cekal rantai itu  dan kakinya menendang.

“Aku tidak langgar aturan, kenapa kau tangkap aku?” ia menegur pula. Tapi salah satu polisi itu, yang tubuhnya tinggi, kirim gaplokannya, hingga mukanya si bocah ini menjadi merah.

Siau Hoo gusar benar, ia hendak melawan, akan tetapi orang polisi yang tadi lantas kalungi ia.

“Bocah, jangan kau melawan! Ikutilah baik-baik pada kita ke kantor, disana kau tidak bakal tersiksa!” kata dia.

“Buat apa aku ikut ke kantor?” Siau Hoo membentak, ia menendang pula, “Aku tidak bersalah! Kenapa kau tangkap orang baik-baik?”

Tiga orang polisi itu tidak mau adu bicara. “Turut kita!” kata mereka.

Yang satu lantas tarik kalungnya, yang lain gendol sela, dan yang ketiga mendorong-dorong dari belakang. Mau atau tidak terpaksa Siau Hoo turut, dengan bikin banyak berisik di sepanjang jalan. Mereka menuju ke Barat.

Sejumlah orang mengikuti, karena mereka merasa heran dan ingin tahu.

“Maling kecil dibekuk!” demikian seorang kata. “Bocah ini galak!” kata yang lain.

Dalam mendongkol dan gusar, Siau Hoo masih mencaci kalang kabutan, ia mengutuk kalang kabutan, ia mengutuk. Beberapa kali ia coba tendang orang-orang polisi itu.

Sekeluarnya dari tempat ramai itu, mereka sampai di tepi kali dimana ada pelabuhan serta banyak kendaraan air. Diseberang itu ada sebuah kota ke arah mana Siau Hoo digusur. Ia berontak-rontak, ia memaki tidak berhentinya, tapi ia tidak bisa loloskan diri.

Pelabuhan kali itu ada ramai dan jadi lebih ramai karena ditangkapnya bocah ini. Siau Hoo dipaksa naik atas sebuah perahu kecil, yang terus digayuh ke seberang. Ia dipaksa duduk, dua orang polisi pegangi ia, dan yang ketiga duduk di depannya.

“Saudara kecil, jangan kau gusar kepada kita,” kata orang polisi ini sambil tertawa, “Kita sedang lakukan tugas sebagai hamba negara, di seberang sana, kota Soan han, kau menghadap kepada koan-thayya dimana kau boleh bicara. Thayya kita itu, orang she Pauw, ada jujur dan adil, dan karena kau ada satu bocah, tidak nanti  dia sembarangan hukum padamu.”

“Aku tidak takut untuk menghadap tiekoan!” kata Siau Hoo, yang masih tetap gusar. “Tapi bilang padaku, sebenarnya aku bersalah apa?”

“Cukup, saudara kecil!” kata pula orang polisi itu. “Kita tidak berhak untuk periksa kau, maka tunggulah sebentar sampai kau sudah menghadap koan-thayya apa saja yang ditanyakan, kau boleh jawab ...”

Masih Siau Hoo menggerutu, bahwa dia tidak bersalah. Tidak lama ia sudah seberangi kali itu, ialah kali Houw

Kang.

Tiga orang polisi itu bawa Siau Hoo mendarat, memasuki kota, terus ke kantor tiekoan, yang letaknya tak jauh dari tepi kali. Disini ia lantas dibawa masuk kedalam sebuah kamar kecil dimana segera orang geledah ia, hingga uangnya kena dirogoh keluar dari sakunya. Ia penasaran, ia hendak rampas uangnya itu.

“Kenapa kau rampas uangku?” ia menegur.

“Kita tidak inginkan ini, kita hendak simpan dahulu!” kata si orang polisi. “Sebentar setelah koan-thayya merdekakan kau, kita akan kembalikan padamu ...” Habis berkata begitu, ketiga polisi itu bertindak keluar dan pintu kamar dikuncinya.

Siau Hoo mendongkol bukan main.

“Celaka!” ia kata seorang diri. “Sudah kehilangan kuda, sekarang aku dapat perkara!”

Ia berdiri sekian lama, lantas ia mengintip di celah-celah pintu. Ia lihat orang-orang polisi mundar mandir, akan tetapi tidak ada seorangpun yang datang padanya. Ia jadi sengit, ia hajar pintu berulang-ulang disertai teriakan- teriakannya: “Buka pintu! Buka pintu! Kalau kau bendak periksa aku, lekaslah periksa! Aku mesti lekas lanjutkan perjalananku! Aku ada punya  urusan, jangan kau bikin gagal padaku!”

Hajaran pada pintu dan teriakan nyaring itu tidak ada yang perdulikan, jangankan orang menghampiri, menolehpun tidak, maka semakin sengitlah ia memukuli pintu, sampai ia berteriak-teriak dengan sekuat-kuatnya, sampai akhirnya ia lelah sendirinya, karena tetap ia tak digubris. Ia lantas numprah di tanah, napasnya sampai sengal-sengal.

Lama Siau Hon dikeram didalam kamar itu, selagi ia tak menduganya, pintu berbunyi dan daun pintu terbuka, hingga sekarang ia bisa lihat sinar layung dan matahari. Ia masih numprah, ia lihat empat opas.

“Bagaimana?” ia tanya.

Empat opas itu tidak kata apa-apa, mereka balik bangun bocah itu, yang terus dibawa keluar dengan separuh diseret dan didorong-dorong, terus sampai ke kantor.

Di samping meja ada berdiri dua polisi lain, dan di muka meja ada berduduk si koan thayya atau camat, orangnya kurus dan kate. Dua pengawalnya sudah lantas beraksi, “Berlutut! Lekas berlutut!”

“Aku boleh berlutut tetapi aku tidak berdosa!” kata Siau Hoo dengan senyum ewa.

“Kau she apa dan apa namamu?” tanya pembesar itu dengan lagu suara orang Selatan.

“Aku bernama Kang Siau Hoo,” Siau Hoo jawab dengan ringkas.

“Kau asal dari mana? Dari mana kau datang?”

“Aku ada orang See-an! Aku datang dari Tin-pa!” jawab kacung itu dengan mata dibuka lebar.

“Kau datang ke Sucoan Utara, apa kau hendak kerjakan?”

“Aku hendak merantau dikalangan kang-ouw!” Siau Hoo jawab terus-terang.

Tiba-tiba, tiekoan itu gebrak meja, “Ngaco!” ia membentak. “Satu bocah hendak merantau di kalangan kang-ouw? Aku lihat, walaupun kau ada satu bocah cilik, perbuatanmu yang jahat mestinya sudah tidak sedikit! Sekarang jawab pertanyaanku. Di Timur sungai sana, kau telah bunuh satu orang, bagaimana kau bunuhnya dia? Kau telah rampas uang dan kuda! Hayo mengaku, atau  nanti aku rangket padamu!”

Siau Hoo gusar bukan main atas tuduhan itu, ia hendak berbangkit, tapi dua opas segera tekan ia, ia dipaksa tetap berlutut, ia berontak dengan sia-sia saja.

“Aku penasaran!” ia menjerit. “Aku tidak bunuh orang! Aku tidak mencuri atau merampas! Adalah  aku  sendiri yang kecurian! Tadi malam aku mondok di kuil tua, disana orang telah curi kudaku!” Baru Siau Hoo mengucap demikian, tiekoan sudah gebrak meja berulang-ulang.

“Macam kau punya kuda?” tiekoan itu berseru: “Jikalau tidak dihajar, kau tidak mau bicara! Hayo, gusur dia, hajar dua-puluh rotan!”

“Kenapa aku hendak dirangket?” Siau Hoo berseru! “Aku tidak berdosa!”

Akan tetapi kedua algojo tidak perdulikannya, dia dipaksa ditengkurapkan. Sesudah mana ia dirangket duapuluh kali dengan papan tek-phe.

Hukuman rangket itu membikin Siau Hoo merasakan sakit pada kempolannya, berbareng dengan itu, ia kuatir, kalau ia dihajar terus dan terluka, bagaimana nanti dia bisa jalan.

“Sudah, jangan siksa aku, aku nanti mengaku!” ia lalu berseru.

Dua algojo beri dia bangun, akan dihadapkan pula di depan tiekoan, dipaksa berlutut lagi.

“Kau mesti bicara dengan sebenarnya!” tiekoan mengancam seraya tepuk meja. “Jikalau kau bandel, kau bakal dirangket pula!”

Siau Hoo tahan mendongkolnya.

“Aku bicara dengan sebenarnya, aku tidak bunuh orang!” ia jawab. “Aku ada anaknya Kang Cie Seng dari Tin-pa. Pada dua tahun yang lalu, ayahku telah ada yang binasakan, hingga karenanya, ibuku telah menikah pula. Aku telah dapat cari tahu she dan nama musuhku itu, maka itu sekarang aku hendak pergi ke lain propinsi buat  cari guru untuk belajar silat, untuk di belakang hari menuntut balas. Ketika aku angkat kaki dari Tin-pa, aku bawa lari seekor kudanya Pauw Kun Lun, tempo akan sampai di Ban-goan, selagi aku bersantap di sebuah rumah makan, aku dikepung oleh orang-orang yang diutus oleh Pauw Kun Lun untuk menangkap aku. Aku dapat meloncati jendela dan kabur. Aku kabur dengan naik seekor kuda. Diluar dugaanku aku justeru kena samber kuda  hitamnya musuhku. Kuda itu nakal sekali, di tengah jalan hampir dia bikin aku tergelincir jatuh dan binasa. Malamnya aku mondok di sebuah kuil tua, karena aku tidak punya uang buat sewa kamar hotel. Selagi aku tidur, ada penjahat yang curi kudaku. Aku terbangun dengan kaget karena aku dengar suara kuda berbenger. Aku segera pergi mengejar. Aku tidak dapat menyandak, hanya di tengah jalan, aku lihat ada satu mayat menggeletak, di sampingnya ada sebuah sela. Aku percaya mayat itu ada mayatnya si pencuri, yang dilempar jatuh dan binasa oleh kudaku itu, karena disitu ada selanya. Aku periksa mayat itu, aku  dapati dalam sakunya uang kira-kira sepuluh tail, aku lantas ambil uang itu, dan dengan bawa sela itu aku lanjutkan perjajalanan kesini. Diluar sangkaanku, tadi orang-orang polisi lantas tangkap aku digusur kemari.”

Setelah dengar pengakuan itu, tikoan terus perintah bawa orang tangkapan ini ke penjara.

“Kau harus berlaku baik-baik,” berkata satu dari kedua oppas yang menggiring, “Jikalau kau tahu diri, kita tanggung kau tidak akan bersengsara. Lihat rangketan tadi betapa entengnya, itu disebabkan kau satu bocah dan aku kasihan kau!”

Siau Hoo menghela napas.

“Dasar sial, sudah hilang kuda, aku mesti dapat perkara,” mendelu ia, tetapi hatinya mendongkol bukan kepalang. Ia lantas dijebloskan kedalam sebuah kamar, kalungnya telah diloloskan tetapi sebagai gantinya, kedua kakinya dirantai. Ia dicampur dengan kira-kira dua puluh pengisi penjara, yang semua pakaiannya butut dan kotor, mukanya dekil, rambutnya awut-awutan, hingga mereka  mirip dengan setan-setan keleleran. Didalam kamar itu pun ada tahang kotoran, yang menyiarkan bau sangat hebat.

Siau Hoo berdiri diam dekat tembok yang demak, dingin bagaikan es. Segera ia dikerumuni oleh rekan-rekannya, yang tanya ia tersangkut perkara apa.

“Jangan tanya!” sahut Siau Hoo dengan mendongkol. “Aku dapat perkara penasaran! Aku tak punya dosa, tapi orang telah tangkap aku, dan dirangket duapuluh rotan! Tiekoan itu ada telur busuk! Tunggu nanti, jikalau aku telah sempurnakan ilmu silat, aku akan bikin perhitungan!”

Lantas ia tolak rekan-rekan itu, ia cari selembar tikar atas mana ia terus duduk seorang diri, hatinya bukan main berduka dan pepatnya.

Sorenya hamba penjara datang antarkan nasi  yang buruk, yang kalah dengan nasi untuk anjing, maka Siau Hoo tidak dahar itu, ia lebih banyak pikiran tentang dirinya. Untuk pertama kali, ia insyaf hidup dikalangan kang-ouw benar sulit. Ia merasa, orang lebih banyak yang tak kenal aturan.

“Kenapa orang perhina aku? Ini tentu disebabkan aku masih kecil dan ilmu silatku belum sempurna!” pikirnya, yang jadi sengit. “Tidak bisa lain, aku mesti lekas angkat kaki, aku mesti lekas cari guru untuk belajar silat!”

Ia tunduk, ia  raba rantai pada kakinya. Tiba-tiba ia terperanjat girang. Ia telah dipakaikan rantai untuk orang dewasa, maka kalau ia loloskan sepatunya dengan gampang ia bisa lepaskan diri dari rantai itu. Ia jadi sangat girang, tetapi ia diam saja. Sekarang tak lagi ia berduka, karena ia tahu, setiap saat ia bisa buron. Lantas saja ia rebahkan diri, ia tidak dahar tetapi malam itu ia  bisa tidur dengan nyenyak.

Keesokan pagi, pintu kamar dibuka oleh satu hamba penjara untuk memerintahkan buang kotoran.

Turut biasanya, tahang kotoran mesti dibuang oleh perantaran baru, dan itu Siau Hoo adalah yang dapat kewajiban, untuk mana ia dibantu oleh seorang lain umur tujuh atau delapanbelas tahun. Mereka gotong tahang itu dengan diiringi oleh hamba penjara itu. Mereka keluar dari pintu samping, di tempat kotoran di sebelah selatan tembok, tahang itu mesti dituang. Rantai di kakinya Siau Ho ada longgar, ia tidak bisa jalan dengan leluasa, justeru begitu, baru sampai diluar pintu, ia sudah terserimpat jatuh, hingga tahang kotoran turut terbanting dan tumpah sehingga mengenai kedua kakinya hamba penjara itu.

“Kacung mau mampus!” ia mencaci seraya dupak tubuhnya Siau Hoo sampai rubuh bergulingan.

Siau Hoo gunai ketika itu, akan loloskan rantai di kakinya. Ketika ia merayap bangun, dengan rantai itu ia hajar si hamba penjara, hingga dia ini yang tidak menyangka jelek, menjerit keras.

Tidak tempo lagi bocah itu lari meninggalkan korbannya. Ia tidak berani ambil jalan besar, ia masuk kedalam gang kecil, tapi baru ia lewati dua gang, ia lihat orang polisi kejar ia, ia lari semakin keras. Ia keluar ke jalan besar, kabur ke arah Lam-mui.

Di jalan besar ada banyak orang, tetapi, mereka menyangka dia ada orang edan atau pencuri, sebab ia ada satu bocah, orang justeru pada minggir, tidak ada yang mencegatnya. Baru Siau Hoo keluar dari pintu kota, di situ seorang polisi cegat ia.

“Eh, bocah, kerapa kau lari-larian?” hamba polisi itu tanya.

Siau Hoo tidak menjawab, karena orang menghalangi di depannya, ia maju seraya menyerang dengan mendadak dengan kedua kepalanya, sampai opas itu rubuh. Sesudah mana, ia lari terus, tetap ke arah Selatan. Satu kali,  selagi lari ia menoleh ke belakang, maka ia telah tabrak sebuah kendaraan keledai, atas mana, ia terguling sendirinya. Syukur ia tak kena dupakan keledai, yang menjentil karena kagetnya. Ia cepat-cepat merayap bangun pula akan lari terus. Ia berlari-lari dengan tak pakai sepatu.

“Cegat! Cegat dia!” demikian teriakan berulang-ulang, dari sebelah belakang. Itulah teriakannya beberapa orang yang mengejar.

Sebagai seekor anjing pemburu sedang mengejar kelinci, demikian Siau Hoo lari sipat-kuping, ia tak perdulikan segala apa, sambil tunduk ia buka kedua tindakannya. Jalanan tidak rata, beberapa kali ia terpeleset dan jatuh, tapi setiap kali ia merayap bangun dan kabur terus. Kakinya telah lecet ia seperti tidak rasakan. Ia tidak tahu berapa jauh ia sudah lari, ia hanya merasa sangat lelah, napasnya seperti mau putus, tenaganya dirasakan habis, kepalanyapun pusing.

Disebelah belakang terdengar nyata tindakan kaki kuda yang mengejar.

Siau Hoo dengar tindakan kuda itu, ia kaget, hingga sambil pentang kedua tangannya ia menjerit, tubuhnya terus rubuh, kepalanya pusing, matanya gelap, sedang dadanya ia rasakan seperti ada yang  tindih. Ia belum pingsan ketika ia merasa ada tangan kuat  yang angkat tubuhnya sehinga selanjutnya, ia tak berdaya lagi.

Berapa lama sudah lewat, Siau Hoo tidak tahu, ia hanya lantas dengar tindakan kaki. Ia buka matanya, ternyata ia berada di atas kuda, dalam rangkulannya satu orang, kedua tangannya turut terpeluk. Orang itu bukannya polisi hanya seorang dengan muka hitam, kedua matanya dibuka lebar, mengawasi padanya sambil bersenyum.

Kuda masih berjalan terus, dengan pelahan.

“Hei, bocah kau benar punsu!” orang itu berkata. “Apakah kau pernah belajar silat? Dengan siapa kau telah belajar?”

Siau Hoo geraki pinggangnya.

“Aku belajar pada Ie-thio Ma Cie Hian ...”

Tiba-tiba orang tua itu gusar, ia lepaskan pelukannya hingga Siau Hoo tergelincir jatuh terbanting ke tanah, sampai kepalanya berdarah.

Siau Hoo mendongkol, ia merayap bangun seraya jemput batu dengan apa ia menimpuk ke arah kuda, kemudian ia lompat berdiri dengan seruannya. “Binatang, kau hendak celakai aku? Mari balik akan piebu dengan  aku!”

Dalam jengkelnya, bocah ini berani menantang piebu (berkelahi tanding).

Orang itu belum berjalan jauh, ia dengar tantangan itu, ia lantas kembali.

“Bocah, aku kagum pada kau!” kata ia sambil tertawa. “Ketahui olehmu, asal kau dengar nama orang muIai dengan huruf “Cie”, lantas kemurkaanku timbul dengan mendadak!” Ia datang lebih dekat, ia loncat dari kudanya. Ia tanya: “Apakah gurumu itu ada muridnya Pauw Kun Lun?”

“Benar,” Siau Hoo jawab sambil mengangguk. “Walaupun demikian, Ie-thio Ma Cie Hian paling benci gurunya, melainkan karena takut, ia tidak berani berbuat satu apa terhadap gurunya itu.”

“Ayahku Kang Cie Seng, pun pernah belajar silat pada Pauw Kun Lun, hanya kemudian ia telah dibunuh oleh gurunya itu. Maka sekarang ini, Pauw Kun Lun semua adalah musuh-musuhku! Pernah dengan bekal golok aku cari Pauw Kun Lun buat adu jiwa! Aku juga pernah serang Liong Cie Beng dan Liong Cie Khie!”

Mendengar demikian, orang itu, yang tubuhnya besar, nampaknya heran.

“Eh, bocah, apa benar-benar kau ada demikian punsu (pandai)?” ia menegur. Kemudian ia  tarik orang punya tangan. “Siapa namamu?”

Siau Hoo tepuk dadanya.

“Aku Kang Siau Hoo!” jawabnya. “Dan kau?” Orang hitam itu ketawa.

“Aku bernama Ngo Kim Piu,” ia jawab. “Orang juluki aku Hek-pa-cu, si macan tutul Hitam. Aku ada asal Eng- san-koan, baru dua hari yang lalu aku sampai di Soan-han sini, sampai sekarang aku masih belum beres dengan urusanku. Aku telah saksikan perbuatanmu sejak tadi di Lam-mui, aku kagum dan suka padamu, maka aku lantas menyusul. Aku lihat kau rubuh, aku lantas angkat dan bawa kau menyingkir ...”

“Syukur kau telah tolong aku!” kata ia. “Aku suka bersahabat kepadamu. Kau ada mempunyai uang atau tidak? Tolong kau beri aku pinjam sedikit. Paling dahulu, aku hendak dahar nasi. Kaupun boleh urus urusanmu itu. Di belakang hari saja kita kelak bertemu pula!”

Hek-pa-cu No Kim Piu tertawa.

“Urusanku sendiri tidak penting!” ia jawab. “Saudara cilik, lebih dahulu aku tanya kau, kau sebenarnya hendak pergi kemana?”

“Aku tidak punya tempat tujuan yang tertentu.” Siau Hoo jawab. “Aku berniat cari Long-tiong hiap. Katanya dia berkepandaian tinggi, aku niat angkat dia jadi guru!”

Ngo Kim Piu tertawa pula.

“Kau benar-benar ada mempunyai ambekan!” kata ia. “Tapi buat cari Long-tiong hiap, kenapa kau menuju kemari? Kalau kau tetap menuju ke Selatan, seumur hidupmu kau tak akan dapat cari dia itu!”

“Eh, Long-tiong itu dimana letaknya?” bocah ini tanya. “Kemana aku mesti menuju?”

Ngo Kim Piu lantas saja menunjuk ke Barat.

“Sesudah kau lintasi Pa-sui, kau lantas berada dalam daerah distrik Long-tiong,” ia terangkan. “Long tiang-hiap Cie Kie ada seorang kenamaan di tempat kediamannya itu, akan tetapi kalau kau langsung cari dia, pasti dia tak akan temui padamu. Untuk menjumpainya kau mesti cari seorang perantara ...”

“Apakah kau kenal padanya?” Siau Hoo tanya penolongnya.

“Tentu sekali aku kenal dia.” sahut Ngo Kim Piu. “Malah aku kenal baik!”

“Kalau begitu, tolong kau antar aku kepadanya,” Siau Hoo minta dengan tidak seejie lagi. Ia  tak sungkan meskipun ia baru kenal orang hitam itu. “Aku minta kau perantarakan agar aku diterima jadi muridnya!”

Akan tetapi Ngo Kim Piu tertawa, terus dia geleng kepala.

“Aku tak dapat jadi orang perantara,” ia  beri tahu. “Bicara terus-terang aku kenal baik Long-tiang hiap, tetapi, apabila aku bertemu dia, sampaikan kepalaku aku tak berani angkat ...”

Siau Hoo heran.

“Eh, apakah kau takut kepadanya?” ia tegasi.

“Bukan melainkan aku, siapa juga jerih terhadapnya!” jawab Ngo Kim Piu. “Buat di Sucoan Utara, dia ada orang yang nomor satu. Aku hanya ada seorang kang-ouw bicara hal uang, pengaruh dan pengetahuan, semua aku kalah daripada dia itu!”

Siau Hoo berdiam, hatinya berpikir.

“Berapa jauhnya Long-tiong dari sini?” ia tanya kemudian.

“Dua-ratus tujuh-puluh lie lebih,” sahut Hek-pa-cu. “Dengan naik kudaku ini, kita masih butuhkan tempo tiga hari.”

“Baiklah!” Siau Hoo bilang kemudian. “Tak usah kau perdulikan lagi padaku, aku hendak cari dia!”

Dan dia lantas buka tindakannya.

Ngo Kim Piu cekal orang punya lengan dan ditariknya. “Saudara kecil, ini bukannya  main-main,” kata  ia. “Kau

tidak pakai sepatu, sebelum sampai disana, kau sudah akan mati karena lelah. Lagipun, tanpa perantara, dia pasti tidak akan perdulikan padamu! Saudara kecil, bukankah sekarang kita telah jadi sahabat satu pada lain? Maka aku harus bantu pada kau. Mari turut aku dahar dan minum arak didalam dusun, setelah itu aku nanti belikan kau pakaian, aku akan cari seorang kenalanku buat pinjamkan seekor kuda untukmu, sesudah itu, kita nanti cari beberapa kenalanku yang lain untuk ajar kau kenal dengan mereka itu. Dengan bantuannya beberapa sahabat itu, baru kau pergi cari Long- tiong-hiap, itu waktu aku percaya, tentulah Long-tiong-hiap suka terima kepadamu!”

Kang Siau Hoo girang sekali mendegar kata-kata itu, ia manggut-manggut.

“Bagus! Baiklah!” ia berseru.

Lantas Ngo Kim Piu tuntun kudanya, bersama Siau Hoo ia bertindak ke Selatan. Mereka jalan belum jauh, lantas mereka tampak satu jalan besar yang menuju  ke Barat. Disini mereka jalan lebih jauh. Pemandangan di kedua tepi, dimana ada air dan sawah, sangat indah, tapi Siau Hoo tidak mempunyai kegembiraan akan menikmati itu, malah ia bertindak dengan cepat. Buat ia, dahar adalah paling penting pakaian tidak seberapa, kecuali sepasang sepatu.

Sesudah jalan belasan lie, mereka sampai di sebuah dusun yang tidak terlalu ramai tetapi warung-warung, warung kelontong, rumah makan dan rumah penginapan bisa didapatkan. Di Selatan jalan besar ada sebuah pondokan dengan mereknya di tembok yang huruf- hurufnya miring mengok.

“Mari kita mampir disana,” kata Ngo Kim Piu. Siau Hoo tidak kenal huruf, ia mengikuti

Kim Pui tuntun kudanya memasuki pekarangan dalam, tiga jongos lantas sambut mereka, ada yang sambuti kuda, ada yang mengundang masuk, kelihatannya mereka kenal baik tetamu she Ngo ini.

“Tolong carikan kamar untuk saudara kecilku ini,” kata Hek-pa-cu pada ketiga jongos itu.

Satu jongos terus saja ajak Siau Hoo ke sebuah kamar Timur, sedang Kim Piu sendiri pergi langsung ke kamar tuan rumah dimana ia lantas pasang omong kepada kuasa hotel atau tuan rumah.

Siau Ho tantas disediakan air, ia terus bersihkan rambut dan mukanya, lengan dan kakinya juga, kemudian ia berebahan untuk beristirahat, hingga sekarang ia bisa layangkan pengalamannya selama dua hari paling belakang. Ia berduka berbareng mendongkol.

“Beruntung aku bertemu dengan Ngo Kim Piu. Da benar ada satu sababat sejati,” pikirnya lebih jauh.

Bocah ini belum rebah lama atau Kim Pui bertindak masuk kedalam kamarnya dengan membawa seperangkat pakaian serta sepasang sepatu.

“Saudara kecil, pakailah pakaian ini!”  kata ia sambiI tertawa. “Kau coba dahulu cukup atau tidak!”

Siau Hoo tidak berlaku sungkan, ketika ia telah pakai pakaian baru itu, cuma ke dua ujung kakinya yang sedikit panjang, tetapi itu boleh ditekuk atau digulung. Adalah sepasang sepatu yang terlalu besar, hingga tak dapat dipakai. Tapi ia tidak kurang akal, ia  robek celananya, dengan robekan itu ia libat kakinya dan ikat  sepatunya. Juga betisnya ia libat.

Menampak kecerdikan itu dan kelucuan juga, Ngo Kim Pui yang mengawasi, jadi tertawa: “Saudara kecil, dengan begini kau jadi mirip dengan satu enghiong!” Kata ia. “Kalau kau telah soren sebatang golok, maka didalam kalangan Lok-lim, siapa berani tidak lihat mata padamu ...”

“Apa? Lok-lim? ” menegasi Siau Hoo “Lok-lim itu tempat apa?”

Enghiong cilik ini masih belum tahu bahwa  Lok-lim adalah Rimba Hijau, kalangan orang gagah  atau penyamun, mirip dengan kalangan kang-ouw, Sungai Telaga.

“Lok-lim ialah Kang-ouw,” Hek-pa-cu beri keterangan. “Lok-lim dengan Kang-ouw tidak ada bedanya.”

Siau Hoo tidak minta penjelasan lebih jauh.

“Eh, kenapa barang santapan masih belum sedia?” ia tanya.

“Nanti aku lihat, akan minta mereka lebih cepat.” kata Ngo Kim Pui, yang terus saja bertindak keluar.

Tidak berselang lama, muncullah jongos dengan barang makanan yang dipesan.

Ngo Kim Piu juga segera muncul pula sambil menyanyikan lagu pegunungan yang umum di Sucoan Utara.

“Mengantar ke kasihku sampai dipaseban Sip-lie-teng di tepi paeban Sip-lie-teng, rumput hijau-hijau!”

Mendengar nyanyian itu, tanpa merasa Siau Hoo lantas ingat Pauw Ah Loan yang gemar nyanyi, hingga dengan tiba-tiba hatinya menjadi tegang sendirinya.

“Aku mesti lekas belajar silat, aku mesti kumpul uang, untuk aku pulang dan nikah Ah Loan,” demikian ia pikir. “Hanya, sebelumnya menikah, aku mesti terlebih dahulu menuntut balas!”

Bersama-sama Kim Piu ia numprah di atas pembaringan, akan mulai minum arak dan dahar nasi, sambil bersantap merekapun bercakap-cakap.

Siau Hoo anggap Ngo Kim Piu ada satu sahabat baik, dengan tidak sembunyikan suatu apa, ia tuturkan hal ikhwalnya.

“Beruntung kau bertemu aku,” Kim Piu lantas beri ingat, “Kalau kau ketemu lain orang yang kenal baik Pauw Kun Lun, ada kemungkinan kau akan dibinasakan olehnya. Pauw Kun Lun serta murid-muridnya itu, buat di Siansay Selatan, boleh dipandang sebagai raja jago sendirian, akan tetapi apabila mereka sampai di Sucoan Utara, sekalipun satu tindak saja mereka sukar berkutik. Kita di Sucoan Utara, baik dikalangan kang-ouw maupun di kalangan Lok- lim, asal dengar hal muridnya Pauw Kun Lun, yang namanya ada pakai huruf ‘Cie’, dia itu adalah musuh kita, dalam sekejap kita akan turun tangan!”

“Memang benar aku kenal mereka itu,” Siau Hoo bilang, “Tetapi mereka telah bunuh ayahku, maka mereka itu adalah musuh-musuhku!”

Selagi mereka keluar, tuan rumah turut mengantar. Ia ada seorang dengan tubuh gemuk, tinggi dan besar, berkumis dan berewokan, hingga romannya jadi bengis. Kim Pui ajar mereka kenal satu dengan lain.

“Ini ada Ie Toa-cianki,” kata Hek-pa-cu. “Ini ada saudara kecilku yang baru.”

Ie Toa-ciangkui ada ramah-tamah, akan tetapi karena romannya, Siau Hoo tak begitu sukai dia. Dengan menunggang kuda, keduanya lekas juga meninggalkan dusun itu.

“Bukankah kau, sudah lihat tuan rumah she Ie itu?” kata Kim Piu pada sahabatnya sambil menoleh, karena ia jalan disebelah depan. “Diapun ada seorang Kang-ouw yang kenamaan, kepandaiannya sempurna.”

Sebenarnya keterangan itu ada menarik hati, akan tetapi Siau Hoo tidak tarlalu memperhatikannya, karena sekarang tujuannya melainkan ada pada Long-tiong hiap Cie Kie kepada siapa ia niat belajar sedikitpun buat dua tahun, supaya kepandaiannya menjadi sempurna.

Mereka jalan ke Barat sampai kira-kira satu hari. Siau Hoo tidak tahu Kim Pui ajak dia kemana, hanya dia dapati jalan mulai menjadi sempit, rumah-rumah tidak ada, orang yang berlalu-lintas jarang, akan akhirnya tak ada sama sekali. Di depan ada tanah pegunungan yang legat-legot, tidak ada batasnya, kelihatan hanya pohon-pohon dengan daun-daunnya yang hijau segar. Adalah di arah Utara kelihatan warna biru dimana ada sejumlah perahu layar, tanda adanya sungai.

-ooo0dw0ooo-

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar