Jilid 16
“SUDAHLAH, lekas siap!“ kata Cie Yau kemudian. “Mari kita lekas pergi ke Tay-san-kwan!“ Apa yang Kong Kiat bilang tidak salah, dia hendak minta suhu singkirkan diri. Aku-pun anggap tempatnya Cie Tiong tidak terlalu aman, paling baik suhu pergi menyingkir ke Sucoan Utara.”
“Tetapi di Sucoan Utara ada Long Tiong hiap!“ Cie Wan peringatkan.
Cie Yau bungkam tetapi ia bebenah, maka sadaranya turut juga.
Kong Kiat sementara itu sudah bayar uang hotel dan telah perintah jongos siapkan tiga ekor kuda mereka.
“Lekas, lekas!” demikian ia memanggil-manggil. “Kita berangkat sekarang!”
Dengan tengteng masing-masing Pauhoknya Cie Yau dan Cie Wan bertindak keluar, bungkusan itu mereka ikat dipelana kuda. Mereka mulai perjalanan mereka ke Utara.
Kong Kiat ada tidak sabaran, Cie Wan sebaliknya jalankan kudanya pelahan-lahan, maka Kong Kiat cela kawan itu, dan mencari juga, sampai ia hendak hunus pedangnya untuk paksa orang she Lau itu larikan binatang tunggangannya!
Cie Wan bukannya tidak mau larikan kudanya dengan keras, ini dikarenakan ia jerih terhadap Kang Siau Hoo, yang ia percaya belum pergi jauh. Kalau pemuda itu dapat dicandak, apa itu bukan kembali suatu pertempuran hebat? Ia sendiri tidak kuatir akan dirinya, tetapi apabila Kie Kong Kiat keok, apa boleh ia tidak membantu? Apa bisa ia menonton sambil peluk tangan saja? Dan kalau ia membantu, bagaimana nanti jadinya dengan dirinya sendiri? Mereka sudah melalui perjalanan empat atau lima puluh lie, tiba di belakang mereka ada berlari-lari datang empat penunggang kuda, yang kemudian ternyata, dua diantaranya ada orang-orang polisi, dua yang lain berpakain preman. Dua yang belakangan ini kemudiaan dikenali adalah cinteng-cintengnya hartawan she Ku dan Ceng-yang dengan siapa mereka malam-malam pernah bertempur serta belakangan dapat diketahui, keduanya adalah Liu-cu-hiap Yo Kong Kiu dan Hoa Lian Pacu Lau Eng.
Kie Kong Kiat tahan kudanya untuk diputar balik, pedangnya sudah lantas disiapkan.
“Hati?“ ia pesan Cie Wan dan Cie Yau. “Dua cinteng dari Kau-kee-chung itu ada punya bugee yang tidak tercela.”
Sementara itu, Yo Kong Kiu berempat sudah datang dekat, mereka telah siap dengan senjatanya.
“Kie Kong Kiat!” orang she Yo itu bentak Kong Kiat sambil menuding dengan goloknya.
“Letaki pedangmu dan turun dari kudamu, supaya kita bisa belenggu kau untuk diserahkan pada pembesar negeri!“
“Belenggu aku dan pergi pada pembesar negeri?“ sahut Kong Kiat sambil tertawa. Dan tiba-tiba ia segera menerjang.
Walau-pun separuh dibokong, namun Yo Kong Kiu bisa gunai goloknya menangkis pedang musuh.
Lau Eng segera maju menyerang, maka Kong Kiat jadi dikepung berdua.
Bertempur diatas kuda ada tidak leluasa, tidak lama bertiga pada loncat turun dari kudanya untuk lanjutkan pertempuran di atas tanah. Lau Cie Wan dan Cie Yau lihat ada orang-orang polisi, mereka tidak berani turun tangan untuk bantui pihaknya.
Kie Kong Kiat telah perlihatkan kepandaiannya mainkan pedang, selang sepuluh jurus ia buat Lau Eng rubuh. Sementara itu ia lihat Cie Yau dan Cie Wan diam tidak membantui, ia jadi mendongkol. Ia segan melayani Yo Kong Kin lebih jauh ia lari pada kudanya, dan terus kabur dengan binatang tunggangannya itu. Setelah lari cukup jauh, ia menoleh ke belakang, ia dapatkan Yo Kong Kiu bersama dua opas telah kurung Cie Yau dan Cie Wan, yang kemudian dibawa pergi. Menampak itu, Kong Kiat menyengir puas. Sama sekali ia tidak pikir untuk menolongi kedua kawan itu, sebaliknya, ia kaburkan kudanya ke Keng- cie-kwan. Demikian ia lintasi Keng cie kwam, lewati gunung Siang San, terus menuju ke Cin Nia. Ia lakukan perjalanan cepat sekali, siang dan malam, di antara terangnya rembulan dan bintang-bintang dan itu tidak sampai tiga hari, ia sudah di Tay san kwan. Terang sekali ia ada lelah dan letih, maka sesampainya di Kun Lun Piau Tiam, ia segera loncat turun dari kudanya, ia letaki cambuknya terus, ia jatuhkan diri atas pembaringan, untuk beristirahat.
Lou Cie Tiong sedang duduk dikantoran ketika ia lihat orang pulang sendirian saja ia jadi heran, tetapi ia tunggu dulu sampai orang sudah hilang lelahnya, baru ia menghampirinya.
“Kie Kouya, kau dari mana?“ tanya ia, “Apa kau berhasil mencari Kang Siau Hoo? Mana Cie Wan dan Cie Yau, kenapa mereka tak pulang bersama?”
Kong Kiat tidak menjawab, hanya ia mencelat bangun: “Loo-ya-cu dan Nona Ah Loan ada di mana?” ia balik
menanya. “Mereka berada di belakang,“ sahut Cie Tiong.
Kong Kiat segera bertindak keluar, separuh berlari ia menuju ke belakang, ketika ia telah masuki sebuah pintu kecil ia lantas dapat tampak Ah Loan dengan bajunya warna dadu sedang bersilat dengan golok Kun Lun-too, berlatih jurus “Twie-hong-liang-tian” atau “Mengejar angin menyamber kilat” dan “Hok hou cian Liong” atau “Harimau mendekam naga sembunyi.”
“Kou nio!” ia segera berseru, sambil tertawa.
Nampaknya ia ada sangat niang.
“Aku telah dapat carikan Kang Siau Hoo di Bu Tong San, aku telah bertarung sampai empat ratus jurus, jikalau dia tidak sipat kuping dengan ceburkan diri ke dalam selokan gunung pastilah hari itu aku bisa bawa kepalanya untuk kau cingcang lebih jauh dengan golokmu!“
Ah Loan berhenti bersilat dengan segera, air mukanya berubah ketika ia awasi Kong Kiat.
Kong Kiat awasi tunangannya sambil terus bersenyum- senyum.
Ketika itu Pau Cin Hui muncul dari dalam, dia tidak puas melihat sikapnya sepasang tunangan itu yang ia anggap ada centil, tidak kepantasan, sedang diain pihak ia heran menampak pakaiannya Kong Kiat yang tak karuan, penuh debu dan basah dengan keringat, demikian pula mukanya.
“Bagaimana caranya kau ketemu Kang Siau Hoo?” ia tanya. Ketika ia sebut namanya Siau Hoo, mukanya pucat mendadak.
“Sekeluarnya dan Han-kok-kwan,” jawab Kong Kiat, yang terus karang cenitera bohong, “dimana aku sampai, aku tulis pemberitahuan untuk bekuk Kang Siau Hoo. Dia jerih, dia senantiasa menyingkir dari aku. Diluar dugaan aku berhimpasan dijalan besar di Kok-shia-koan di Siang yang Utara. Dia aku diri sebagal Kho Kiu Hoa, terhadap aku dia bersikap sangat manis budi dan menghormat, agaknya dia sangat ingin bersabahat. Aku bisa juga akal muslihatnya itu, lalu aku desak dia sampai di Bu Tong San. Diatas gunung, Siau Hoo minta bantuan sekalian imam, hingga aku kena dikepung. Sesudah bertarung tiga atau empat ratus jurus, aku paksa Siau Hoo memepet ketepi jurang, disini aku bacok dia hingga ia terjun kedalam jurang yang dasarnya merupaka selokan dia lalu berenang untuk menyingkir. Dadaku pun mendapat sedikit luka. Ketika aku turun gunung, aku tegor Lau Cie Wan, hingga dia hampir bertengkar. Setelah meninggalkan Kok-shia-kwan lima putuh lie jauhnya, aku ditinggalkan oleh Cie Wan dan Cie Yau, entah kemana perginya mereka. Selama aku tempur Siau Hoo, dia pernah pentang bacot bahwa dia hendak pergi ke Tiang-an untuk cari Loo ya-cu untuk mencari balas bagi ayahnya. Lantaran aku kuatir, aku berangkat malam- malam pulang kemari. Pikirku baiklah Loo-ya-cu cari satu tempat dimana Loo-ya-cu bisa menyingkir untuk beberapa hari, aku sendiri bersama Ah Loan hendak pergi ke Tiang- an guna papaki padanya.”
Kong Kiat sebut ia dan Ah Loan sebagai suami isteri.
Ketika itu Cie Tiong masuk kedalam, ia dengar ocehannya Kong Kiat, ia kaget hingga air mukanya berobah saking kuatir.
Pau Kun lun menggigil akan tetapi dia memaksanya bersenyum.
“Kemana lagi aku mesti pergi menyingkir?“ kata ia dengan sengit. “Tidak ada tempat lagi kecuali lobang kubur! Setelah keadaan jadi begini rupa, tidak ada lain jalan, aku mesti pergi ke Tiang-an untuk sambut dia, untuk serahkan jiwa tuaku ini!”
Sambil melotot jago tua ini titahkan Lou Cie Tiong untuk siapkan kudanya, karena dia hendak berangkat dengan segera.
“Tidak, ya-ya,” Ah Loan mencegah. “Ya-ya tidak boleh temui Siau Hoo. Paling benar aku yang pergi cari dan bunuh padanya, hanya sebelum bunuh dia, lebih dahulu aku mesti tanya padanya ...”
Dengan tiba-tiba air mukanya nona ini berobah, ia kelihatan berduka berbareng gusar, air matanya-pun segera turun menetes. Ia lantas menangis dengan membanting- bantingkan kaki.
“Ya, ya-ya jangan cegah aku,” dia tambahkan. “Aku hendak pergi sendirian untuk ketemui dia! Sekarang juga aku pergi! ... ”
Benar-benar dengan bawa goloknya nona ini lari keluar untuk pergi keistal akan siapkan kudanya.
Kong Kiat lari menyusul, ia cekal lengan tunangannya, tetapi Ah Loan putar tubuhnya sambil membabat dengan goloknya, hingga Kong Kiat mesti lompat berkelit.
Si nona jadi sengit atau kalap, ia ulangkan bacokannya, matanya mendelik.
Kong Kiat geser kaki kekiri, tubuhya mendek, tangannya menahan orang punya bahu dan cekal pergelangan tangan guna rampas golok itu.
Ah Loan tidak mau mengarti, ia loloskan tangannya, ia membacok pula. Disaat itu ia hendak bunuh tunangannya ini. Lou Cie Tiong lihat keadan yang hebat, ia ambil goloknya dengan apa ia tangkis bacokannya si nona.
Pau Kun Lun-pun jadi gusar.
“Ah Loan, tahan!” ia bereru ... “Dia adalah suamimu!“
Mendengar tegoran engkongnya, Ah Loan lempar goloknya, lalu sambil tekap mukanya dan menangis, ia lari kedalam kamarnya.
Pau Kun Lun tertawa gelak-gelak.
“Lihat, Cie Tiong!” ia kata pada muridnya she Lou itu. “Aku ada punya cucu dan cucu mantu yang pandai ilmu silat, mustahil aku benar-benar jerih terhadap Kang Siau Hoo!”
Cie Tiong berdiam, untuk berpikir.
“Kalau begitu, suhu,” kata ia kemudian, “Sekarang baik suhu tetap diam disini, kita minta Kong Kiat saja pergi ke Tiangan supaya disana ia bisa berdamai kepada Kat Suheng bagaimana caranya untuk hadapi Kang Siau Hoo. Aku-pun akan berdiam disini, umpama benar Kang Siau Hoo datang, biar aku sendiri yang menemui padanya.”
Kong Kiat berdiam sejak tadi, mukanya merah karena sikap tunangannya itu, tetapi mendengar pengutaraannya Cie Tiong, ia lalu campur bicara.
“Tidak, itulah tidak sempurna!” kata ia sambil bertindak menghampiri guru dan murid itu. “Kita tidak takut jikalau Kang Siau Hao datang secara berterang, kita hanya kuatir ia bekerja secara menggelap. Aku pernah bertempur kepadanya, dalam limu pedang dia tak dapat lawan aku, tetapi kepandaiannya entengkan tubuh ada melebihi aku. Ditengah jalan aku dengar orang cerita bahwa Kang Siau Hoo ada satu hui-cat, penjahat terbang, karena kepandaiannya jalan malam yang istimewa liehay. Disini letaknya dekat Tiangan, umpama dia ketahui Loo-ya-cu tinggal disini, dia bisa datang diwaktu malam akan bunuh Loo-ya-cu dengan cara menggelap. Mengenai ini kita tak dapat tidak berjaga-jaga! Loo-ya-cu kesohor didunia kangouw apabila kejadian Loo-yacu binasa terbokong, apa itu tidak penasaran dan memalukan? Maka pikirku lebih baik Loo-yacu cari satu tempat yang lain orang tak dapat ketahui, untuk menyingkir untuk sedikit hari saja, aku bersama Ah Loan nanti pergi ke Tang-an. Pasti aku berdua sanggup binasakan padanya!”
Mendengar halnya Kang Siau Hoo pandai entengkan tubuh dan lari diwaktu malam, kembali tubuhnya Pau Kun Lun mengigil, bulu romanya berdiri.
“Baiklah suhu turut pikirannya Kie Kouya,” kata Cie Tiong kemudian, setelah ia berpikir sekian lama. “Biar aku temani suhu pergi ke Sun Im Kok di Lok yang, kerumahnya Ho Tiat Siong. Dulu suhu pernah tolong jiwanya, dua- puluh tahun lamanya ia tinggal menyendiri di lembah yang sangat sunyi itu, sedang keadaan keuangannya ada kuat. Kita menumpang tinggal dua atau tiga bulan, apabila tidak ada orang yang mengasi tahu, walan bagaimana-pun Kang Siau Hoo tidak akan dapat cari kita!”
Mendengar murdnya menyebut nama Ho Tiat Siong, mengingatkan Pau Kun Lun pada sahabatnya lama itu dengan siapa sudah belasan tahun dia tidak pernah surat menyurat, kelihatannya ia ketarik dengnn usul itu, akan tetapi kemudian ia menggeleng kepala.
“Tidak, aku tidak bisa pergi kesana,” kata ia. “Jikalau aku pergi, pastilah murid-muridku bakal dibinasakan oleh Kang Siau Hoo. Apa artinya aku hidup sendiri? Tak tega aku kepada murid-muridku semua ...” “Asal Loo-ya-cu pergi, segala apa gampang diurus,” Kie Kong Kiat bilang. “Ketika aku tempur Kang Siau Hoo di Bu Tong San, dia pernah bilang padaku, bahwa dia tidak akan bunuh habis orang-orang Kun Lun Pay, karena yang dimaui ialah Loo-ya cu sendiri serta persaudaraan Liong
...”
Pau Cin Hui menghela napas. Segera berbayang di depan matanya itu kejadian pada belasan tahun yang lalu di Pak San, (gunung Utara) dimana dengan mengepalai murid- muridnya. persaudaraan Liong ia telah kejar Kang Cie Seng hingga murid murtad ini terima kebinaaannya secara menyedihkan. Cie Seng sudah tinggalkan anak isterinya, rumah tangganya, akan tetapi kenapa ia desak dan binasakan padanya secara ganas? Kenapa ia tidak antap Cie Seng menyingkirkan diri? Maka kalau sekarang Kang Siau Hoo datang mencari balas apakah itu tidak selayaknya saja?
Kembali jago tua ini menghela napas, kedua matanya menjadi merah, hampir ia keluarkan air mata. Diakhirnya, ia manggut-manggut.
“Baiklah,” kata ia kemudian, “biar aku dan Cie Tiong pergi cari tempat untuk menyinggir. Dan kau Kong Kiat, lekas pergi ke Tiang-an cari Cie Khie, kisiki dia ajak pulang ke Ci yang, supaya dia ajak engkongnya dan Kee Cie Beng pergi umpatkan diri juga. Kau-pun pesan semua muridku, tidak perduli siapa, bila mereka ketemu Kang Siau Hoo, jangan ia semberono lawan Siau Hoo bertempur, kecuali sudah sangat terpaksa, baru mereka boleh adu jiwa. Di Hoaciu ada Lie Cin Hiap, dia adalah sahabat baikku, dan bugeenya tidak disebelah bawahku dia boleh diminta kirim murid-muridnya buat bantu mereka ... “
Habis berkata jago tua ini jadi lesu, seperti juga ajalnya tinggal tunggu waktu, lenyap semangatnya laki-laki. Kong Kiat manggut.
“Satu hal aku ingin terangkan,” kata ia kemudian. “Kalau aku pergi ke Tiang-an, walau-pun dalam pertempuran dengan Kang Siau Hoo aku merasa pasti aku bakal mendapat kemenangan, namun suatu kekuatiran tak dapat dielakan. Aku kuatir Lie Hong Kiat nanti datang mengacau, apabila dia datang membantu Kang Siau Hoo, aku bakal repot dan sukar berdaya. Bukannya aku tak padang mata murid-muridmu, Loo-ya-cu, tetapi aku merasa Kat-cie Kiang semua tak punya guna. Dan itu aku anggap perlu akan ajak Ah Loan pergi bersama, dengan dia bantu aku, aku boleh tak kuatirkan apa jua!”
“Sudah seharusnya aku perintah Ah Loan pergi bersama kau,” kata Pau Kun Lun, yang setujui saran itu, “melainkan
... “ Ia merandak sebentar, ia berpikir. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh ia lanjutkan : “Kau tentunya ketahui, walau-pun keluarga kita hidup dalam kalangan kangouw, kita tetap ada orang-orang terhormat maka itu, selama cucuku belum syah jadi isterimu, tak dapat aku suruh jalan bersama-sama kau dan tidur dalam satu rumah atau satu kamar. Itulah akan mencemarkan kehormatan kita! Tapi baiklah diatur begini saja: Justeru sekarang aku berada disini, kau berdua boleh jalankan upacara nikah, kalau besok aku kerangkat ke Lokyang, kau berdua sebagai suami isteri boleh pergi ke Tiang-an ... ”
Kong Kiat girang mendengar kata-kata jago tua itu.
Lantas saja ia menyatakan akur.
Pau Kun Lun perintah Lou Ce Tiong segera siapkan kamar pengantin dan atur juga ruangan upacara nikah, kemudian ia kembali kedalam, kepada cucunya yang sedang menangis sedih. “Kau jangan berduka, anak, kau jangan sesali aku,” engkong ini segera menghibur. “Semua adalah salahku, yang dulu sudah bertindak terlalu kejam, hingga sekarang aku mesti terima pembalasan, juga rembet-rembet anak cucu dan murid-murid sekalian, hingga semua turut mendapat malu! Walan-pun Kang Siau Hoo mendesak untuk binasakan aku, aku toh kagumi dia! Dia adalah satu laki-laki sejati! Aku telah berumur tujuh puluh tahun, akan tetapi belum pernah aku dapatkan lain orang yang keras hati sebagai dia, yang semangatnya besar. Besok aku hendak pergi ke Lokyang kerumahnya sahahatku. Ho Tiat Siong di Sun Im Kok untuk singkirkan diri sementara waktu,” ia tambahkan, “apabila aku berhasil menyelamatkan diriku, kita engkong dan cucu pasti akan bersua pula satu dengan lain. Umpama aku tak dapat lolos, dari kematian, binasa ditangannya Kang Siau Hoo, aku tidak penasaran. Aku tetap kagumi dan puji Kang Siau Hoo!“
Ah Loan menangis, ia berbangkit akan cekal tangan engkongnya.
“Aku hendak ikut ya-ya,” kata ia.
“Kau tak dapat ikut aku,” kata Pau Cin Hui sambil goyangkan tangan “Sudah cukup Cie Tiong seorang yang turut aku. Kau harus bantu Kie Kong Kiat pergi ke Tiang- an untuk Lindungi Kat Susiokmu beramai. Hanya untuk buat kau dan Kong Kiat merdeka dalam perjalanan, sekarang juga aku hendak nikahkan kau satu pada lain, supaya menjadi pasangan yang syah ... ”
Ah Loan terkejut mendengar kabar itu.
“Tidak, engkong . ... “ kata ia dengan menggeleng- gelengkan kepala. “Biar bagaimana kau mesti turut pengaturanku,” kata sang engkong, “Dengan perlekaskan pernikahanmu, hatiku akan menjadi tetap, umpama aku mesti binasa, aku akan meninggal dunia dengan, mata tertutup ...”
Tanpa tunggu jawaban lagi Pau Kun Lun lantas pergi pula keluar, akan lihat berbagai pegawai piau-tiam sedang bekerja dengan repot. Kong Kiat pun, dengan gembira turut bekerja atau atur ini itu, lenyap keletihan dan ngantuknya.
Cie Tiong tidak punya anggauta keluarga, tetapi didalam perlu ada orang-orang perempuan, terpaksa ia undang isteri- isterinya beberapa pegawai negeri yang ia kenal untuk mohon bantuannya, begitupun bantuannya isteri-isteri dari sekalian pegawainya. Mereka inilah yang menghiasi kamar penganten.
Segala apa disiapkan secara kilat, tidak kecuali pakaian pengantin.
Ah loan biarkan dirinya dihiasi, beberapa nyonya pujikan keberuntungannya tetapi ia ada sangat berduka, air matanya mengalir saja.
“Jangan nangis, nona! Ini ada kejadian yang menggirangkan,” orang membujuk dan menghibur. “Memang satu nona yang mau menikah dia mesti menangis, karena dia tidak tega berpisah dari ayah- bundanya, akan tetapi orang-tuamu tidak ada disini, sedangkan-pun kau menikah bukannya untuk dibawa pergi. Kenapa mesti berduka? Jikalau kau menangis matamu akan jadi merah dan bengal, melihat mana baba pengantin mungkin akan berduka ...”
Ah Loan mendongkol mendengar ocehan itu, ia lompat bangun, ia banting cermin, ia patahkan sisir, ia lemparkan kun, sedang kondenya, ia betot terbuka, hingga rambutnya jadi awut-awutan, kemudian ia lempar diri atas pembaringan dan menangis.
Semua orang perempuan menjadi kaget, mereka pada lari keluar. Agaknya mereka kuatir diamuk oleh nona yang kosen itu.
Pau Kun Lun dengar suara berisik, kapan ia ketahui duduknya hal, ia menghela nafas. Ia masuk kedalam.
“Ah Loan,” kata ia pada cucunya. “Kau kenapa? Kenapa kau gusar? Bangun anak, jangan kau buat susah pada engkongmu yang harus dikasihani ...”
Ah Loan dengar suara berduka dari engkongnya, ia menangis semakin sedih. Ia menyesal.
“Tidak apa-apa, engkong, aku hanya berduka,” kata ia seraya angkat kepalanya, mukanya basah dengan air mata. “Aku sebal dengar ocehannya mereka itu ... ”
“Apa boleh buat, anak,“ egkong itu membujuk. “Dalam hidupnya seorang anak perempuan mesti menikah, dari itu biarlah untuk segala upacara yang memusingkan, apapula pernikahanmu ini yang dilakukan secara kesusu. Segala apa sangat terpaksa, aku-pun tidak sudi berbuat begini macam. Meski demikian, kita toh tidak boleh abaikan upacara kau harus jadi nona pengantin, kau tak boleh jadi itu macam nona kangouw yang menikah, tapi pakaian pengantinpun tidak dipakainya, terus saja ikuti si lelaki ... ”
Jago tua ini sedang berduka, akan tetapi kata-katanya yang terakhir diucapkan dengan keras, menandakan ia tidak sukai orang perempuan binal. Kemudian ia pergi keluar, ia menjura kepada nyonya-nyonya tadi.
“Maafkan cucuku,” kata ia. “Ia kurang pikir. Sekarang tolong kau hiasi pula padanya ...” Nyonya-nyonya itu kehilangan kegembiraannya, akan tetapi terpaksa mereka masuk pula ke dalam, sekali ini mereka tidak ngoceh lagi, sedang Ah Loan-pun jinak ...
Pau Kun Lun masuk pula, hatinya lega melihat cucunya itu diam dihiasi orang. Tetapi ketika ia pergi keluar, alisnya tetap mengkerut, beberapa kali ia menghela napas.
Kong Kiat sebaliknya terus bergembira, apa pula kapan kemudian Cie Tiong pulang dengan bawa bungkusan yang terisi pakaian pengantin, pakaian mana kemunian ia pakai: Syukur pakaian itu cocok bagi tubuhnya.
Mulai jam empat, tetamu sudah mulai datang. Mereka ada bangsa piausu, pegawai negeri sebawahan dan pemilik- pemilik perusahaan kereta, yang semua ada sahabat atau kenalannya Cie Tiong, yang datang untuk sekalian berkenalan kepada Pau Kun Lun.
Cie Tiong dan beberapa pegawainya, dengan dandanan rapi menyambut dan melayani semua tetamu, yang pun ia ajar kenal dengan taba pengantin dan gurunya juga.
Lucu ada romannya si jago tua, yang seumurnya tak pernah pakai thungsha, Selagi ia bertubuh besar dan gemuk, ia beli baju-jadi yang terlalu kecil untuknya terlalu pendek juga! Dengan cekal kipas bulu angsa, ia sambut semua tetamu dengan tertawa atau senyum paksaan.
Cie Tiong tahu benar gurunya bergirang dengan terpaksa, sedang hatinya guru ini senantiasa tidak tenteram, setiap kali ada tetamu muda, guru ini selalu tanya muridnya tentang she dan nama serta pekerjannya tetamu itu. Guru ini selalu curiga nanti dia orang jahat yang nyelip antara tetamu-tetamu, untuk bokong padanya.
Kie Kong Kiat tetap bergembira, ia bicara banyak kepada sekalian tetamu, ia menceriterakan tentang engkongnya, Liong Bun Hiap, dan perihal pengalamannya sendiri juga, terutama halnya sekarang ia hendak bekuk Kang Siau Hoo. Iapun tak lupa obrolkan hal ia sudah desak Siau Hoo di jurang di Bu Tong San ...
Sekalian tetamu percaya obrolannya baba pengantin ini, terutama karena orang ketahui baik tentang Liong Bun Hiap yang kenamaan. Melainkan Cie Tiong tetap sangsikan hal kekalahannya Kang Siau Hoo, apapula sampai itu waktu Cie Wan dan Cie Yauw tidak ada kabar ceriteranya. Hanya dalam keadaan seperti itu, orang she Lou ini belum sempat pikir banyak-banyak.
Selama itu, Cin Hui duduk seorang diri disuatu pojok, dahinya tetap mengkerut, ia rupanya tidak mampu kesampingkan ke dukaan, kemendongkolan dan kekuatirannya.
Kapan sebentar sampai saatnya upacara, Kong Kiat sudah siap, sedang Ah Loan dipimpin keluar oleh dua nyonya untuk langsungkan upacara nikah itu. Satu juru upacara setiap kali sebutkan apa yang sepasang mempelal mesti lakukan, terutama untuk menghormati Langit dan Bumi, leluhur dan engkong. Setelah dentuman petasan, sejumlah bocah pengemis merubul masuk akan perdengarkan nyanyian keselamatan dan kegirangan.
Perjamuan sudah lantas dimulai.
Ah Loan diantar masuk ke kamar pengantin, sedang Pau Cin Hui lantas beristirahat dalam sebuah kamar yang tenteram.
Cie Tiong dan beberapa pegawainya layani semua tetamu.
Kong Kiat tidak beri dirinya diloloh arak, ia ingin lekas masuk ke kamar pengantin tidak urung ia toh menenggak banyak juga, hingga ia merasa sedikit pusing. Ia ingin supaya semua tetamu lekas bubar. Tapi selagi sang malam mendatangi, sesudah bersantap dan minum, sang tetamu pada berjudi.
Cie Tiong masgul karena orang terus berkumpul akan adu peruntungan, tetapi ia dapat akal, ia minta satu sahabatnya, seorang she Nio. ajak mereka itu berjudi dilain tempat, maka ia bisa sudahi pesta dan tutup pintu. Ia-pun larang orang “mengacau” kamar pengantin, untuk godai sepasang mempelai.
Jam dua telah menjelang, Pau Cin Hui tidur dikantoran.
Kecuali diruangan upacara tadi, dimana sepasang lilin maih menyala, penerangan satu-satunya adalah yang menembus keluar dari kamar pengantin yang punyai kain jendela warna merah, karena didalam kamar itu dinyalakan terus “tiang beng teng,” lampu panjang umur, yang menurut aturan, tak boleh padam seantero malam itu.
Kie Kong Kiat telah loloskan pakaian pengantinnya sedari siang-siang, sekarang ia mengenakan pakaian mewah dari sutera, kaos kaki putih, sepatu hijau, wajahnya berseri- seri. Malam ini, adalah malam kegirangan yang ia belum pernah alami seumurnya.
Setelah selesai salin dengan tindakan berat, Kong Kiat bertindak kejendela. Dengan perdengarkan suara tindakannya itu ia mau beri tanda pada si nona pengantin bahwa ia telah datang. Ia-pun bertindak dengan lambat- lambatan. Akan tetapi ketika ia sampai di depan jendela, mendadak tiang-beng-leng padam, ia terkejut. Tapi kemudian ia bersenyum.
“Dia pada sntu nona kangouw, dia bukannya belum pernah ketemu dengan aku, malah kita telah sama-sama kepung Lie Hong Kiat, kenapa sekarang dia jadi likat?” pikir ia. “Inilah lucu ...”
Ia menghampiri pintu, ia batuk-batuk dengan pelahan selagai bertindak masuk. Kamar ada gelap petang, sebuah kursi memanjang di tengah, Kong Kiat kena terjang itu hingga ia hampir kenyunyuk.
“Ah, kau godai aku?“ kata ia sambil tertawa. Ia maju pula baru dua tindak, ia sudah injak paso air. hingga paso itu, yang terbuat dari tembaga, jadi terbalik dan airnya muncrat, sepatu dan kaos kakinya baba pengantin menjadi basah.
“Ah ...“ ia menghela, tapi ia maju terus, hingga ia sekarang sampai di muka pintu kamar tidur. Ketika ia raba dan menolak, ternyata pintu dikunci.
“Buka pintu!“ ia segera perdengarkan suaranya. “Buka pintu!“
Tidak ada jawaban.
“Buka pintu!‘ ia kata pula sambil mengetok-ngetok pintu dengan pelahan. “Jangan malu-malu nona pengantinku ...”
Kembali tidak ada jawaban. Kong Kiat jadi tertawa.
“Buka pintu!” ia kata pula, seraya tolak pintu. Jangan main-main eh, kini sudah jauh malam!“
Tiba-tiba datang jawaban, yang tdak disangka-sangka. “Pergi! Jangan datang kemari!“ demikian jawaban itu,
yang keras. “Pergi! Jangan kau tolak pintu!“ Kong Kiat tertawa. “Oh, nona yang liehay!“ kata ia. “Bagaimana baba pengantin bisa diusir pergi? Oh, Ah Loan, isteriku yang manis malam ini ada malam kita yang indah ...”
“Pergi!” kembali ada usiran dari dalam.
Kong Kiat tertawa makin geli. Tapi ia tidak tolak pintu pula, ia terus berpikir. Kemudian ia berdongko, dengan pelahan-lahan ia angkat kedua daun pintu yang sesaat kemudian menjeblak, rubuh menimpa bangku yang dipakai menganjal dari sebelah dalam. Menyusul itu, baba pengantin berbangkit untuk lompat masuk kedalam, akan tetapi berbareng dengan itu juga, dan dalam berkelebat menyamber sinar putih. Saking kaget, baba pengantin ini lompat berkelit, hingga kursilah yang telah terbacok!
“Ha!“ seru Kong Kiat. “Hendak piebu dahulu baru menikah?“ kata ia. Ia ulur tangannya akan merampas golok.
Nona Pau tarik pulang tangannya, berbareng dengan itu, sebelah kakinya mampir pada orang punya perut, hingga sambil keluarkan seruan tertahan, Kong Kiat rubuh ke belakang. Apa celaka kepalanya membentur lemari!
Ah Loan masih gusar, ia maju bersama babatan lain.
Dalam gugupnya Kong Kiat gulingkan tubuh, dua tangannya digeraki untuk peluk orang punya kedua kaki, tetapi Si nona mendahului menendang dan mengenai mata kirinya, atas mana pemuda itu hampir menjerit kesakitan, tapi segera ia berguling pula.
Untuk kesekian kalinya Ah Loan membacok lagi, tetapi sekarang suaminya itu bisa loncat keluar kamar, hanya karena satu bacokan susulan, belakang golok telah mengenai bahunya, sedang pinggangnya sebelah belakang kena tertendang, hingga ia jatuh ngusruk. Ia lekas berbangkit, napasnya sengal-sengal.
“Ah Loan, apa artinya ini?” ia menegor. “Apakah kau hendak bunuh aku. Aku toh suamimu? Toh engkongmu yang nikahkan kau padaku?”
“Pergi! Pergi!“ ada jawabannya Ah Loan, yang geraki pula golokuya. Aku tidak kenal kau!“
Kong Kiat gusar, tetapi sedetik saja, ia tertawa.
“Dasar anaknya satu piausu ... “ pikir dia. “Tidak heran kalau dia jadi sangat manja! Kalau aku tidak gunakan kekerasan, mana dia takluk kepadaku dan rela nikah aku? Baik, biar kita bertempur dulu, barulah saling menyinta ... “
Lantas ia pergi ke kamarnya, untuk ambil pedang. Iapun nyalakan sebuah lentera. Ia kembali ke kamar pengantin. Pintu sudah dikuci pula. Ia letaki penerangannya dilantai. Tadinya ia niat bongkar pintu tapi ia sangsi. Untuk sesaat, ia berdri diam, ia pasang kuping. Ia dengar suara tangisan, hatinya jadi lemah. Kembali ia berdiri bengong.
Itu waktu seorang kelihatan masuk Kong Kat lihat orang itu adalah Cie Tiong. Cie Tiong rupanya ketahui hal pertarungan tadi, maka ia menghampiri seraya goyang- goyangkan tangan.
“Kie Kouya, sabarlah,” kata piausu itu dengan pelahan, suaranya berduka. “Memang sejak masih kecil adatnya nona Loan ada keras, benar hari ini ada hari kegirangan akan tetapi dia memang sedang bersusah hati. Bukankah besok engkong dan cucu bakal berpisah? Bukankah sang engkong, dalam usia lanjut, hendak pergi jauh, untuk menjauhkan diri dan ancaman bahaya, guna sembunyi ditanah pegunungan? Bagaimana hati si nona bisa lega? Maka dengan kouya gusari padanya, lagi beberapa hari dia akan jadi baik sendirinya. Selama Kang Siau Hoo belum dikalahkan, selama engkong dan cucu belum tinggal berkumpul pula, tidak nanti si nona bisa bergembira ... Baik kouya bersabar ...”
Kong Kiat manggut, tetapi sepasang alisnya mengkerut. “Tidak apa ... “ sahut ia, sedang dalam hatinya ia niat
bilang bahwa si nona pengantin sudah berlaku keterlaluan,
bahwa goloknya ada berbahaya. Kalau ia utarakan kemendongkolannya itu, piausu ini bisa katakan ia cupat pikiran. Maka ia tambahkan saja! “Pergilah beristirahat, susiok, aku tidak gusar. Aku tahu dia memang sedang uring-uringan ...”
Cie Tiong mengawasi, hingga ia lihat pakaiannya Kong Kiat sudah lecek dan basah, rambutnya kusut, sedang matanya yang kiri, biru. Ia tidak berani menggodai, ia putar tubuhnya dan pergi.
Kong Kiat masih berdri diam sekian lama, kemudian ia menghampiri pintu, buat ditolak. Ia tidak dengar cacian hanya tangisan pelahan.
“Ah Loan, jangan berduka,” kata ia dibalik pintu. “Aku tidak gusar terhadap kau. Kau nikah aku karena engkongmu yang jodohkan, bukan aku yang lamar, walau- pun demikian, kau tolak aku, tidak apa. Aku mengarti kedukaanmu karena keluarga Pau sangat di desak oleh Kang Siau Hoo, sampai tak ada jalan lain. Aku suka maafkan kau. Hanya kau harus percaya aku, aku tanggung tak sampai sepuluh hari, pasti aku akan berhasil membinasakan Kang Siau Hoo. Lihat saja nanti! Sekarang aku tidak mau bicara banyak ...” Rupanya Ah Loan jadi semakin berduka, tangisannya jadi semakin sedih. Kong Kiat mendongkol berbareng berduka, maka ia seret kursi diatas mana ia jatuhkan diri. Ia senderkan tubuh dengan pikiran kusut, tubuhnya letih dan ngantuk, hingga tak lama kemudian ia tertidur.
Secara demikan malam pengantin dibiarkan lewat begitu saja ...
Keesoknya pagi Kong Kiat tersedar dengan tampang tidak gembira, ia lihat Ah Loan buka pintu dan bertindak keluar, kedua matanya merah, tanpa menoleh padanya isteri itu bertindak terus ke belakang! Nona itu ada pakai baju merah.
Suami ini jadi sangat tidak puas.
Ketika itu ada satu bujang, yang muncul diruangan itu. “Kie Kouya, semalam ada ribut-ribut apa dalam
kamarmu?” tanya dia sambil tertawa. “Samar-samar aku dengar suara gedubrakan ... Kouya sungguh senang! Eh,” tambahkan ia apabila ia lihat orang punya mata, yang ia terus tunjuk. “Matamu itu biru! Apa kau sakit? Itulah berbahaya, nanti aku belikan obat mata!“
Kong Kiat gusar karena ucapannya orang itu, ia menyangka ia sedang digodai. Tinjunya segera melayang, atas mana bujang itu menjerit keras.
Justru itu, Cie Tiong muncul. Ia tahu apa sebabnya kejadian itu.
“Suhu menanyakan jam berapa kouya hendak berangkat?” kata ia dengan sabar. “Ia hendak suruh Nona Ah Loan siap sedia”
”Sekarang juga!“ ada jawaban ringkas dari orang she Kie itu. “Aku menyesal tidak bisa di ini detik menemui Kang Siau Hoo, supaya bisa didapat keputusan, dia mampus atau aku hidup!”
Tanpa bilang apa-apa lagi Cie Tiong kembali pada gurunya.
Kie Kong Kiat lantas suruh orang siapkan kudanya ia sendiri masuk kekamarnya akan siapkan pauhoknya, ketika ia sudah selesai, Ah Loan juga sudah siap, dengan pakaiannya yang berwarna merah, nona itu menantikan sambil duduk dipekarangan dalam.
Suami itu menjadi sabar pula, lenyap kemendongkolannya apabila ia lihat orang punya roman yang elok, kemudian ia bisa bersenyum.
Pau Kun Lun tengok cucunya itu, juga cucu mantunya. “Bagus!” ia berkata. “Kau berdua bakal jadi wakilku
untuk hadapi musuhku! Tapi senjata tajam tidak ada matanya, belum tahu bagaimana akan jadinya, dari itu,
walau-pun hatiku tidak tetap, apa boleh buat. Kenapa kau ada demikian tak beruntung sudah menjadi cucuku dan cucu mantu? Begitu lekas kau berdua berangkat juga untuk menyingkir ke rumah sahabatku. Aku sudah begini tua, siapa tahu sebelum aku sampai disana, ditengah jalan aku akan sudah menutup mata ...“
Selagi berkata begitn, jago tua ini lihat cucunya menangis.
Tapi Kong Kiat angkat dadanya.
“Loo-ya-cu, jangan kau ucapkan kata-kata demikian!“ kata ia dengan jumawa. “Sekarang ini mungkin Kang Siau Hoo sudah sampai di Tiang-an, aku berdua rasanya pasti akan dapat bunuh padanya. Kepergianmu ke Barat ini hanya sebagai pesiar saja, dan itu tak usah kau bersusah hati, terutama tidak perlu akan kau kuatirkan aku berdua.” Pau Kun Lun bersenyum meringis, dari sakunya ia keluarkan dua pucuk surat.
“Dua pucuk surat ini kau boleh bawa ke Tiang-an.” ia kata. “Yang satu untuk Cie Kiang, yang kedua ini kau mesti simpan sampai keadaan sudah sangat terpaksa. apabila kau telah kewalahan melayani Kang Siau Hoo. baru kau serahkan padanya ...”
Kong Kiat menyambuti. Ia dapatkan surat unuk Cie Kiang ada luar biasa tebal. Dua-dua surat ada tertutup rapat. Ia lantas simpan itu.
“Loo-ya-cu. tak usah kau banyak memesannya,” katanya. “Aku tahu apa yang aku mesti lakukan, Aku hendak berangkat sekarang juga, nah, sampai ketemu pula!“
Cucu mantu ini lantas hunjuk hormatnya.
Ah Loan menangis, ia beri hormat pada engkongnya, kemudian ia ikuti suaminya, yang bertindak keluar dengan sikap gagah.
Dimuka piau-tiam sudah siap dua ekor kuda. Ah Loan loncat naik atas kuda merah, menghadapi Pau Kun Lun dan Cie Tiong sekalian, air matanya lantas meleleh.
“Ya-ya dan susiok, silahkan masuk!“ ia minta.
Kong Kiat gantung pedangnya dipelana, dengan gesit ia loncat naik atas kudanya.
“Semua silahkan masuk! Sampai ketemu, sampai ketemu pula,” kata ia dengan angkat kedua tangannya memberi hormat.
Semua orang memandang dengan kagum pada sepasang mempelai yang cantik dan cakap itu, yang sama-sama gagah, mereka mengawasi sampai orang sudah pergi jauh diarah Utara. Ah Loan sering-sering menoleh, ia masih menangis, beberapa kali terdengar suaranya: “Ya-ya, silahkan masuk!”
Kong Kiat larikan kudanya disebelah depan. Bab 12
BEGITU LEKAS IA TELAH LEWATI Tay-san-kwan,
Ah Loan segera ingat akan dirinya sendiri pada sebulan yang lalu sudah lakukan perjalanan seorang diri ke Tiangan, Seean. Ia ingat bagaimana bersemangatnya ia ketika itu. Tapi sekarang, ia ada berduka. Air matanya meleleh pula tempo ia dengarkan goloknya terumbang-ambing dengan menerbitkan suara. Ia mencoba empos semangatnya.
“Aku mesti lekas sampai di Tiang-an! Aku mesti bunuh Siau Hoo begitu lekas aku ketemui ia, kemudian aku akan bunuh diri! Atau, biarlah dia yang bunuh aku! Aku tidak mau jikalau dia tidak bunuh aku, aku nanti tubrukkan tubuhku kepada pedangnya! tetapi sebelum aku binasa aku mesti bicara padanya, aku mesti jelaskan tentang hal ikhwal kita pada sepuluh tahun yang berselang. Dia mati, aku mati, tapi sebelumnya mati, kita mesti jelas duduknya hal ...
Ngelamun begitu air matanya nona pengantin ini jadi bercucuran.
Kong Kiat menoleh, melihat orang menangis, ia tertawa.
“Ah Loan!“ berkata ia. “Tadinya aku sangka kau ada satu nona gagah luar biasa dari jaman ini, bahwa kau ada keras hati bagaikan jantan, siapa tahu sekarang kau ada lemah sekali, kau mirip dengan nona-nona yang kebanyakan. Kau kaum Kun Lun Pay, sudah takut takuti diri sendiri, sedang Kang Siau Hoo bukannya seorang terlalu luar biasa! Kau tunggu, sesampai kita di Tiang-an tak seberapa hari Kang Siau Hoo pasti akan datang juga, maka kau akan saksikan, bagaimana aku akan buat dia tunduk!” Ah Loan tidak meojawab, air matanya masih meleleh dikedua pipinya.
“Kemarin ada hari paling baik bagi kita berdua,” Kong Kiat melanjutkan, “tetapi kau sudah berlaku keterlaluan sekali kepadaku. Kalau aku tidak bisa menahan sabar, tentulah kita suami isteri telah berubab menjadi musuh- musuh besar. Aku bukan takut padamu, malah aku cinta padamu. Sekarang kita keluar bersama-sama, diwaktu berjalan dan bermalam kita akan bersama pula. Kita sekarang tidak berangan-angan lain, sudah seharusnya kita bersikap seperti dahulu diwaktu kita sama-sama tempur Lie Hong Kiat dijembatan sungai Wie Sui. Kita mesti bersatu hati akan lawan Kang Siau Hoo. Setelah itu, aku ingin ajak kau pulang ke Liong-bun untuk menemui keluargaku, kemudian kita berangkat pula untuk merantau. Paling akhir aku berniat pergi ke Pakkhia untuk turut dalam ujian kemeliteran. Dengan sepenuh tenaga aku hendak peroleh kemajuan, supaya di belakang hari kau bisa menjadi satu itpin hujin!”
Tapi Ah Loan angkat kepala, ia mengawasi dengan melotot.
“Sudah jangaa ngoceh saja, jalan!” ia membentak. “Lekas!”
Kong Kiat pandang isterinya, ia tertawa. Ia tidak merasa terhina dengan bentakan itu. Sebaliknya kata-kata “kau” dari Ah Loan membuat urat-uratnya jadi lemas. Bentakan itu ditelinganya agaknya terdengar sangat merdu ...
Lantas suami ini beri kudanya lari. Ia hendak membanggakan kepandaiannya menunggang kuda.
Ah Loan-pun cambuk kudanya buat beri lari juga. Dengan begitu, dengan tidak bicara satu pada lain, suami-isteri itu seperti sedang berpacu. Tujuan mereka ke Timur. Diwaktu sore mereka sampai didistrik Hinpeng. Ah Loan ingin jalan terus, agar diitu hari juga mereka sampai di Tiangan, tetapi Kong Kiat mencegahnya.
“Tak dapat kita jalan terus sekarang,” suami ini beri keterangan. “Kalau sebentar kita sampai di Ham-yang, disungai Wie Sui sudah tidak ada perahu penyeberangan, atau umpama kita paksa dapatkan itu, pintu kota sendiri sudah ditutup.”
Terpaksa, dengan terus bungkam Ah Loan ikuti suami itu, yang ajak ia akan cari rumah penginapan. Kong Kiat sengaja minta satu kamar dalam mana hanya ada sebuah pembaringan, meja juga tidak ada.
Begitu masuk dalam kamar, Ah Loan bercokol diatas pembaringan dengan tidak buka sepatu lagi, goloknya diletak. disampingnya.
Kong Kiat tertawa melihat tingkah istrinya itu, pada jongos ia minta barang nakanan serta arak.
Jongos siapkan makanan yang dipesannya serta sepasang cawan arak.
Kong Kiat segera isikan kedua cawan, cawan arak yang lain ia angsurkan pada isterinya.
“Malam ini kita minum pula arak pengantin!” berkata ia sambil tertawa. “Aku harap kau bisa legakan hatimu!”
Tapi Ah Loan sampok cawan itu sampai terlepas jatuh kepembaringan, isinya menyiram celana sutera dari suaminya.
Mau tidak mau Kong Kiat toh mendelu juga. “Apa artinya ini?” tanya ia. “Kalau kau tidak hendak minum, sudah saja, kenapa kau sampok arak ini? Sejak kita menikah kemarin, kecuali mencaci aku, belum pernah kau mengucap lain! Apakah kau tidak hargai aku Kie Kong Kiat? Apakah kau tidak sudi jadi isteriku?”
Ah Loan angkat kepalanya, matanya mendelik, tangannya meraba gagang goloknya.
“Siapa isterimu?” ia berseru. Kong Kiat tertawa.
“Kau, kan adalah isteriku!” jawabnya. “Kemarin kita
berdua sudah jalankan upacara nikah, sekarang kau ikut aku buat perjalanan, kau adalah orangku dari Keluarga Kie. Kau ada isteriku, isteriku!”
Kata-katanya Kong Kiat ini, disusul dengan terhunusnya Kun-luntoo, maka lekas ia berkelit dengan lewati pembaringan, ketika golok itu sudah menyambar lewat, ia terus loncat keluar kamar. Isterinya tidak menyusul, tetapi ia ada sangat gusar.
“Benar gila! Isteri siapakah yang perlakukan suaminya demikian macam?” kata ia dalam hatinya. “Jikalau ia tidak suka kepadaku kenapa ia sudi jalankan upacara nikah?”
Dalam sengitnya pemuda ini pikir buat siapkan kudanya akan pulang ke Tay-sankwan atau susul Pau Cin Hui di Lokyang, untuk tanya mertua itu, atau minta simertua tanyakan maksud cucunya. Tetapi sesampainya diistal, baru saja ia pasang pelana, pikirannya jadi sangsi, ia turunkan pula pelana itu.
“Kalau aku pergi pada mertuaku, perkara jadi besar, Suami-isteri tak akan dapat akur pula,“ demikian ia berpkir. “Di kolong langit ini mesti ada nona-nona yang mengerti silat, akan tetapi dimana dapat cari nona seelok Ah Loan?” Kecantikannya nona Pau berbayang didepan matanya pemuda ini, yang hatinya terus jadi lemah pula. Maka ia lantas kembali kedalam, ia tarik daun pintu dengan pelahan, ia mengintai, ia dapati isterinya sedang menangis, goloknya si nona berada disampingnya. Ia menghela napas, ia bertindak masuk, tetapi ia tidak berani mendekati.
“Jangan kau berduka,” ia kata. “Aku tahu kau tidak suka aku, tetapi aku ada satu laki-laki sejati, maka apakah kau kira, tidak boleh tidak, aku tentu dapatkan cintanya seorang perempuan? Baik kau ketahui, aku bantu pihakmu melawan Kang Siau Hoo bukan karena aku kemaruk oleh parasmu yang elok, aku hanya belai keadilan, aku tidak dapat antapkan satu anak muda perhinakan engkongmu, satu guru silat yang sudah lanjut usianya! Baik aku jelaskan padamu, di Bu Tong San aku sudah tempur Kang Siau Hoo, ilmu silat pedangnya ia tak dapat layani aku, tetapi tiam hiat-hoatnya benar-benar liehay, maka kalau nanti kita bertemu pula di Tiang-an, entah siapa binasa atau siapa hidup! Umpama aku terbinasa, aku jadi sudah berkorban untuk Kun Lun Pay, untuk lookausu, aku tidak penasaran atau menyesal. Andaikata aku berhasil membinasakan Kang Siau Hoo, aku akan angkat kaki, untuk selamanya aku tidak akan kembali ke Kwan-tiong, kau ada merdeka untuk nikah pula atau jadi janda tua, aku sendiri tidak akan menikah lagi, aku akan merantau, merantau terus, bila usiaku sudah lanjut, bisa jadi aku akan sucikan diri, atau hidup menyendiri ...”
Kong Kiat bicara dengan sikap gagah, setelah itu ia duduk disamping pembaringan akan bersantap seorang diri, tidak akan perdulikan isterinya itu.
Ah Loan menangis.
“Siapa yang kau suruh bunuh Kang Siau Hoo,” kata ia. “Kau tidak boleh bunuh padanya! Dia ada musuh dari keluargaku, tidak perlu kau yang binasakan dia. Jikalau kau bunuh dia, aku nanti bunuh padamu!”
Dengan terpaksa Kong Kiat tertawa, tetapi lantas ia menghela napas.
“Sudahlah, kau jangan bicara lebih jauh,” katanya. “Bukankah kau tidak sudi bicara kepadaku? Namanya kita menjadi suami-isteri, benarnya kita ada orang-orang ditengah jalan! Sekarang kau tidak ketahui aku Kie Kong Kiat ada orang macam apa, kelak barulah kau akan ketahui itu.”
Ia terus dahar dan minum, kemudian ia teriaki jongos akan singkirkan bekas bersantap itu, kemudian lagi, ia tutup pintu. Ia cabut pedangnya, ia duduk menyender disudut tembok untuk tidur. Ia pisahkan diri jauh-jauh dari Ah Loan, ia picingakan mata, ia tidur sambi cekal pedang itu.
Kira-kira tengah malam, Kong Kiat pentang matanya. Api masih belum padam hanya minyaknya yang sudah mulai kering. Ah Loan, dengan tidak salin pakaian, tidur sambil duduk diatas pembaringan, goloknya melintang dipahanya, nampaknya ia tenang sekali, dan kondenya yang baru disisir, meroyot turun di depannya dua tabung rambut bagus didahinya. Dia tidur dengan napasnya yang halus. Dengan pakaian serba merah, dengan sepatunya yang indah, dia menarik sangat hatinya sang suami. Hatinya Kong Kiat memukul, ia dapat ingatan akan singkirkan golok itu, untuk menakluknya si isteri dengan paksa. Ketika ia coba ulur sebelah tangannya, matanya Ah Loan dibuka, hingga ia batalkan niatnya, ia lantas duduk dipinggir pembaringan menyender akan berpura-pura tidur. Sekarang kepalanya berada dekat kakinya si nona. Sebentar kemudian, ia ulur pula tangannya ke arah golok, tapi mendahului ia, Ah Loan geser goloknya, dan tubuhnya juga, lalu dia padamkan api. Kong Kiat lalu berpura-pura tidur dan ngingo, ia tumbak pembaringan, ia damprat Kang Siau Hoo. Tapi lama ia menantikan, sampai akhirna ia tertidur sendirinya. Ia tersadar besoknya pagi mendapatkan Ah Loan sedang duduk dimuka jendela dimana, menghadapi kaca kecil yang dia bawa, isteri itu asyik sisir rambutnya ia tidak tanya isteri itu, ia-pun kepang sendiri kuncirnya, sesudah mana, sendirian juga ia bersantap, hanya setiap kali ia melirik dari arah belakangnya Ah Loan.
Ah Loan juga kemudian dahar.
Kong Kiat keluar akan suruh siapkan kudanya begitu lekas isterinya sudah selesai dahar, ia-pun bayar uang sewa kamar dan makanan, lalu mereka lanjutkan perjalanan. Tidak lama mereka sampai ditepi sungai Wie Sui di Ham- yang, disini mereka naik perahu menyebrang, sesudah mana mereka teruskan perjalanan didarat ke arah selatan. Mendekati tengah hari mereka tiba didaerah See-an, memasuki koa Tiang-an.
Selama diperjalanan, tidak pernah Kong Kiat bicara sama isterinya itu, ia hanya sering-sering melirik dengan otak bekerja, memikirkan daya untuk buat nona pengantinnya itu tunduk kepadanya.
Mereka menuju langsung ke Lie Sun Piau Tiam. Beberapa piausu, yang berada di depan piau-tiam nampaknya heran melihat pemuda ini yang bersama Ah Loan, apabila si nona telah berkonde dan dandan sebagai pengantin baru.
Kong Kiat loncat turun dari kudanya, ia serahkan kudanya pada jongos, ia memberi hormat pada piausu itu, kemudian ia ajak isterinya bertindak masuk.
Dikantoran. Kat Cie Kiang ada bersama Wan Cie Hiap, Tan Cie Cun, Yo Cie Kin, Tio Cie Liong dan Kim Cie Yong, mereka asyik bicara, rupanya urusan penting, tapi melihat Kong Kiat berdua, mereka lekas berbangkit untuk menyambut.
“Oh, Kie Kouya, pernikahanmu dengan Loan Kou-nio sudah disyahkan?“ Cie Kiang tanya, “Mari masuk.”
Mukanya Ah Loan jadi kemerahan, dengan likat ia ikut kedalam.
“Mana Cie Yau dan Cie Wan?” Cie Liong tanya Kong Kiat, “Kenapa mereka tidak turut pulang?”
Kong Kiat tidak menjawab, ia jatuhkan diri dikursi dengan napas memburu, ia diam saja, sesaat berselang barulah ia tuturkan bagaimana Pau Kun Lun telah nikahkan ia dengan Ah Loan. Ia-pun tuturkan hal pertempurannya denan Kang Siau Hoo di Bu Tong San dimana katanya ia dapat kalahkan orang she Kang itu.
“Dengan Cie Wan dan Cie Yau aku berpisahan ditengah jalan,” ia cerita lebih jauh. “Rupanya mereka tahu Kang Siau Hoo bakal darang ke Tiang-an, mereka sengaja umpatkan diri akan melihat gelagat ... “
Ia keluarkan dan serahkan suratnya Pau Cin Hui untuk Cie Kiang. Surat untuk Siau Hoo ia simpan terus.
Cie Kiang lihat, kecuali surat untuk dia sendiri, didalam sampul itu ada dilampirkan seucuk surat lain, yang alamatnya ada. untuk Kang Siau Hoo. Ia lantas serahkam surat untuknya kepada Cie Liong, untuk saudara angkat ini yang bacakan. Dan Cie Liong lalu membacanya dengan keras sambil kalau perlu menambahi dengan keterangannya.
Pau Kun Lun memberitakan pernikahannya Ah Loan dengan Kong Kiat di Tay-san kwan,yang dirayakan dengan kesusu, maksudnya adalah setelah menikah, mereka berdua merdeka melakukan perjalanan ke Tiang-an, bahwa ia telah menyingkir, bukan karena takut tetapi lantaran menuruti saran dari Cie Tiong dan cucu perempuannya.
Cie Liong-pun bacakan surat untuk Siau Hoo, bunyinya antaranya:
“ ... Apa yang rerjadi pada sepuluh tahun yang lalu itu, aku sangat menyesal. Tapi Cie Seng pantas terima ke binasaannya itu, karena ia sudah pincuk dan sembunyikan orang punya isteri. Maka itu, apabila kau mengarti duduknya hal dan suka menghabiskannya, kita ke dua pihak boleh tetap menjadi sahabat-sahabat satu dengan lain, selanjutnya kita tak usah timbul-timbulkan pula perkara itu. Umpama kau tetap hendak menuntut balas, inilah gampang. Silahkankan jelaskan bahwa kau tidak akan ganggu murid-muridku, aku nanti serahkan jiwaku padamu.”
Mendengar itu, sekalian murid itu menjadi kaget, ada yang berduka ada yang gusar.
“Surat ini tak boleh diserahkan pada Kang Siau Hoo!” ada antaranya yang berseru, “Kalau kita ketemu Kang Siau Hoo, kita mesti tempur padanya, kita mesti adu jiwa!”
Ah Loan berdiam, ia keluarkan saputangan akan seka air matanya.
Kong Kiat-pun berdiam, tetapi ia cekal gagang pedangnya sambil tertawa.
Cie Kiang simpan surat-urat itu.
“Kelihatannya urusan gampang untuk diurus,” kata ia. “Umpama benar Kang Siau Hoo datang kemari, kita tidak boleh lancang turun tangan ...” “Apakah kita mesti antap suhu muncul serahkan jiwanya?” tanya Cie kie dengan sengit.
“Pasti tidak,” jawab Cie Kiang sambil geleng kepala, “Walau-pun kita semua binasa, tidak nanti kita bisa biarkan suhu cut tau sendiri.”
“Habis bagaimana?” Yo Cie Kin tanya pula, “Apa kita hendak serahkan surat suhu ini kepadanya?”
Cie Kiang manggut.
“Surat ini mesti diserahkan pada Kang Siau Hoo,” katanya. “Inilah pesan suhu. dan kita mesti turut pesan itu. Kalau Kang Siau Hoo datang, kita undang dia kepiau-tiam, disini kita sampaikan surat suhu ini, berbareng dengan itu; Tan Sutee mesti tuturkan padanya perihal kejadian sepuluh tahun yang lampau itu, tentang perbutan busuk dari Kang Cie Seng, begitu-pun tentang aturan keras dari kaum kita Kun Lun Pay. Kita jelaskan bagaimana suhu dengan ajak saudara-saudara Liong, sudah kejar Cie Seng sampai didalam gunung dimana dia dibinasakan. Aku percaya Kang Siau Hoo, yang-pun pernah merantau lama, tidak nanti tidak pakai aturan yang pantas.”
“Mana bocah itu mau pakai aturan?” kata Cie Cun dengan nyaring, matanya mendelik. “Jikalau dia mau pakai aturan, sedari siang-siang dia seharusnya sudah bisa berpikir. Dia mesti ingat, meskipun benar ayahnya binasa ditangan suhu namun dia sendiri untuk banyak hari pernah menumpang pada suhu, yang perlakukau dia dengan baik
...”
“Cukup!“ tiba Ah Loan menyela. “Apabila Kang Siau Hoo datang, kau semua jangan ketemui dia, biar aku yang menemuinya sendiri. Tidak saja aku hendak omong tentang cenglie kepadanya, aku juga hendak tanyakan dia banyak hal lainnya, aku hendak lihat bagaimana dia jawab aku!“ Setelah berkata begitu, nona ini tapinya menangis pula.
Kong Kiat tarik mundur isterinya itu, akan tetapi sang isteri berpaling dengan mata melotot, tetapi karena didepannya ada banyak su-siok itu, nona ini tidak hunjukkan kegusaraunya lebih jauh.
“Untuk sementara ini baik kita jangan terlalu sibuk,” Cie Kiang lalu berkata dengan goyangkan tangan pada semua saudaranya itu. “Urusan sebenanya tidak terlalu sukar. Kabarnya sekarang Kang Siau Hoo telah memasuki Tong- kwan, tapi kita-pun sudah siap-sedia. Para sahabat diberbagai tempat, aku telah kirim pemberitahuan. Dikantor sunbu, kantor ciang-kun, kedua kantor hoantay dan kotay, begitu-pun dikantor tiekoan Tiang-an dan See- an, aku sudah minta bantuan berbagai kenalanku. Apabila Kang Siau Hoo datang, dia mirip dengan lempar diri kedalam jaring!”
Ah Loan tiak setujui sikapnya paman ini.
“Kenapa kita mesti gunakan pengaruhnya pembesar negeri?” ia bereru.
“Kita tidak niat tangkap dia,” cie Kiang terangkan, “Kalau dia datang, kita hendak bicara dengan baik kepadanya, tapi jikalau dia tidak mau pakai aturan, nah, apa boleh buat! Aku Kat Cie Kiang ada satu hoohan, selama hidupku belum pernah aku tindih orang dengan pengaruhnya pembesar negeri, hanya bila Kang Siau Hoo terlalu menghina kita kaum Kun Lun Pay, aku tidak dapat berlaku sungkan-sungkan lagi kepadanya! Dan terpaksa, aku nanti gunakan kepandaianku untuk buat dia mendekam dalam peujara, sedikitnya dia mesti dapat ganjaran seumur hidup!”
Selagi berkata demikian, Cie Kiang berbangkit dengan tegak, hingga kelihatanlah tubuhnya yang kekar, sedang sepasang matanya terbuka lebar. Nampaknya ia tidak lagi tak berdaya seperti ketika menghadapi Lie Hong Kiat.
“Sekarang baik kita kesampingkan dulu lainnya hal, mari kita beri selamat pada Kie Kouya dan Loan Kounio!“ kemudian ia tambahkan. “Kita kaum Kun Lun Pay, selama dua-puluh tahun belum pernah mengalami kejadian girang sebagai ini! Maka kita tidak usah perdulikan segala Kang Siau Hoo!“
Suaranya saudara ini ada berpengaruh, dalam sekejab semua saudara angkatnya jadi bersemangat dan gembira. Mereka itu lantas kerumuni Kong Kiat dan Ah Loan untuk menghaturkan selamat, hingga sepasang pengantin baru itu jadi repot.
Air matanya Ah Loan masih belum kering, pipinya telah menjadi merah, segera ia lari keperdalaman, mencari isterinya Cie Kang, Ciesie.
Kong Kiat ada girang luar biasa, ia sekarang seperti tidak pikirkan apa juga, ia bisa kongkou dengan gembira. Ia-pun pergi tengok Siau Kong, puteranya Cie Kiang, yang terluka, kemudian ia beritahukan bahwa ia mau sambangi ia punya bouku Tio Po Hok dikantor banknya paman itu. Sebenarnya ia tidak cari pamannya, ia hanya mundar- mandir didua jalan besar Timur dan Utara, akan paling akhir ia pergi kesebuah bengkel besi yang biasa membuat alat-senjata untuk berbagai piausu dikota Tiang-an itu. Disitu ada tersedia banyak macam senjata tajam.
“Ciang-kui-cu, apa disini ada sedia hui-piau?“ ia tanya pemilik bengkel.
“Buat hui-piau mesti dipesan dahulu,” tuan rumah jawab. “Tuan dari piau-tiam mana?“ “Aku dan Lie Sun Piau Tiam di Lamtoa-kay,” Kong Kiat beri tahu.
Ciang-kui itu mengawasi, agaknya ia kurang percaya, karena ia belum pernah lihat piausu ini, sedang piau-tiam itu ia kenal baik. Ketika Kong Kiat perkenalkan namanya, barulah orang jadi terkejut.
“Oh, Kie Toaya!“ berseru ia. “Bukankah Toaya telah pergi ke Tong-kwan untuk bekuk Kang Siau Hoo?”
“Aku sudah pulang,” Kong Kiat bilang. “Sudah, kalau kau tidak sedia piau, aku hendak pergi kelain bengkel!”
“Oh, ada, ada, Toa-ya!“ kata tuan rumah itu, yang ubah sikapnya, malah ia terus masuk kekantornya, ia keluar kembali bersama satu peti kayu dalam mana ada beberapa buah hui-piau mirip dengan kepala tumbak.
Kong Kiat lihat piau itu terlalu tebal dan berat.
“Piau ini dibuat pada beberapa tahun yang lalu,” kata tuan rumah, yang lihat tetamunya agak kurang penujui. “Itu waktu Siau Kun Lun Toa-piau-tau serta Wa Moong Sun Pa telah kena dilukai Gin-piau Ou Lip dari Cin Nia, orang sangka piau dari Ou Lip itu ada buatan Seean-hu, maka pembesar disini dengan resmi dan secara persahabatan sudah larang semua bengkel besi membuat piau, siapa yang langgar larangan itu, dia bakal dihukum, maka itu kita tidak buat piau lagi dan piau ini kita simpan. Kalau bukannya Lie Toaya yang datang, pasti kita tidak berani keluarkan ini.’
“Jikalau tidak sangat perlu, aku juga tidak akan datang membeli padamu disini,” Kong Kiat bilang. “Engkongku Liong Bun Hiap, selain pedangnya liehay, juga piau nya- pun tidak pernah meleset, hanya piau kita tidak setebal dan seberat ini. Sayang diwaktu berangkat dari rumah aku sudah tidak bekal itu.”
“Kalau begitu gampang, Toaya,” kata tuan rumah. “Coba Toaya buatkan contohnya, nanti aku membuatnya menurut contoh itu, aku tanggung akan mirip benar bentuknya.”
“Baik,” jawab Kong Kiat.
Tuan rumah itu segera sediakan pit dan kertas, maka Kong Kiat lantas lukiskan gambarnya piau yang ia inginkan, untuk mana ia berikan ukurannya juga ia pesan dua-puluh batang, ia pastikan harganya, malah ia berikan persekotnya. Kemudian ia tanya shenya tuan rumah.
“Aku orang she Hwie,” sahut tuan rumah itu. “Toaya tanya saja Kat Liok-ya tentang Hwie Toa dari bengkel besi Tek Hok di See Toa-kay, dia tentu kenal baik. Kat Liok-ya itu ada langgananku lama, semua golok Kun lun-too dari Lie Sun Piau Tiam ada buatanku disini.”
Kong Kiat manggut, tetapi sebelumnya pergi, ia ambil lima batang piau yang sudah jadi itu untuk persiapan saja. Dalam perjalanan pulang ke piau-tiam, ditengah jalan ia beli kantong piau. Tidak jauh dan Lie Sun Piau Tiam ada sebuah tugu diujung tembok dimana ada ukiran lima huruf “Tay San Sek Kam Tong,” huruf “Tong”nya telah gugus bagian atasnya hingga lima hurul itu jadi berbunyi “Tay San Sek Kam Siang.” Melihat tugu itu, Kong Kiat ingat suatu apa, maka ia mundur beberapa puluh tindak, ia jemput dua potong batu, terus ia menimpuk, yang mengenai huruf “Tay.” Ia jadi girang. Ia menimpuk ke dua kalinya ke arah huruf “San.” Kembali mengenai sasarannya, ia jadi girang bukan main, hingga ia tertawa sendirinya.
Banyak orang yang saksikan pertunjukan perdio itu, mereka mengharap pertunjukan dilanjutkan, akan tetapi Kong Kiat sudah merasa puas, ia terus masuk kedalam piau-tiam.
Tidak lama datang saatnya bersantap, semun orang piau- tiam duduk bersama, Kong Kiat dan Ah Loan duduk berendeng di kepala meja. Cie Kiang semua angkat cawan arak akan beri selamat pada sepasang mempelai baru itu.
Diam-diam Kong Kiat lirik isterinya, segera ia menjadi tidak puas. Ah Loan diam saja, ia tidak minum arak, dan tidak bicara juga. Ia bukannya lihat, ini disebabkan ia berduka.
Beruntung bagi Kong Kiat, beberap orang ada bicarakan halnya Kang Siau Hoo, ia jadi gembira, bangkit pula kejumawaannya. Dengan sudah siap piau, ia tidak jerih lagi terhadap musuh yang liehay itu. Karena bernapsu atau mendongkol, pernah ia hajar meja dengan kepalannya.
Ah Loan sendiri sudah lantas meninggalkan meja pesta, akan masuk kedalam. Ia masuk kekamar sebelah Timur, yang Cie Kiang sediakan untuk ia dan suaminya. Ia duduk dipembaringan, ia masgul sekali, air matanya sudah lantas meleleh turun.
Belum terlalu lama, daun piatu terbuka dan Kong Kiat bertindak masuk. Suami ini tidak tegur isterinya, tetapi ia bersenyum sebagai tanda menyinta.
Ah Loan tidak angkat kepalanya uutuk pandang suami itu, ia hanya berbangkit dan turun dari pembaringan, terus bertindak keluar. Ia cari isterinya Siau Kong.
Ciesie, isterinya Ce Kiang, sedang sakit. Dua bujang perempuan siap sedia merawati nyonya ini. Walau-pun demikian, ia masih membutuhkan pelayanannya nyonya mantunya, Thia Giok Go atau Thia sie. Maka sejak dua bulan, Giok Go senantiasa repot saja. Ia telah mesti rawat suaminya, yang dilukai Lie Hong Kiat hampir binasa, baru suaminya mendingan, sekarang ia mesti rawati mertuanya. Ia ada kurus dan kucel, maka itu, ia iri hati melihat Ah Loan dengan kondenya si juita,. Baju dan celana mewah terutama sepatu sulamnya yang indah, hingga ia jadi sangat kagum.
“Adiku, mari duduk disini,” kata Giok Go dengan ramah tamah. “Kenapa jadi pengantin kau jadi terlebih seeji dari pada dulu-dulu.”
Mukanya Ah Loan kemerah-merahan, akan bersenyum.
Ia-pun duduk.
Thia Giok Go mendekati tetamunya itu.
“Bagaimana sikapnya baba pengantin terhadap kau?“ tanya ia dengan pelahan ... “Pasti kau berdua saling menyinta. Kau harus berdaya akan cari tahu tabiatnya suamimu itu, untuk bisa kendalikan padanya, atau kau nanti tidak berdaya. Suamimu itu gagah dan cakap, namanya kesohor, di belakang hari dia bisa main gila diluar tahumu!”
Mukanya Ah Loan jadi semakin merah, tetapi ia-pun mendongkol.
“Enso, jangan kau godai aku!” kata ia dengan sungguh- sungguh. “Adalah engkongku yang atur pernikahan dan aku tidak berdaya ... ” ia berhenti, hatinya sangat pepat, hampir air matanya mengalir turun. “Pernikahanku dilangsungkan untuk menghadapi Kang Siau Hoo, supaya merdeka, aku berdua melakukan perjalanan.”
Giok Go tertawa, ia tetap beriri hati.
“Ya, sekarang kau merdeka,” kata ia dengan tertawanya sambil ia tepuk pundaknya Ah Loan. “Nanti datang saatnya akan lenyapnya kemerdekaanmu. Kita orang-orang perempuan ada banyak tidak merdekanya, tidak sebagai orang lelaki, yang bisa selamanya merantau dalam dunia kangouw!”
Ah Loan tidak perhatikan itu, ia sedang mendongkol dan uring-uringan. Ia sebenarnya hendak menyingkir dari Thia- sie ini, akan kembali ke kamarnya, apamau dikamar itu ada Kie Kong Kiat yang lebih membangkitkan kejemuannya. Tiba-tiba ia jadi sangat bersedih, ia tak dapat cegah lagi menetesnya air matanya.
Thia Giok Go terperanjat, hingga air mukanya berubah. “Eh, kau kenapa adikku,” tanya ia. “Apa kau gusar
kepadaku? Adikku, tadi aku gaukun saja ...”
Ah Loan seka air matanya sambil sebelah tangannya ia goyang-goyang selagi ia hendak buka mulutnya, kesitu ada datang satu bujang perempuan, yang terus kata padanya:
“Nona Pau, Kie Kouya beri tahu dia hendak pergi kerumah boukunya, ia suruh tanya nona hendatk turut atau tidak. Kereta sudah siap.”
“Tentu saja nona akan turut!” berkata Thia-sie, yang mendului tetamunya itu ... “Cucu mantu mana boleh tak ketemui ku-kongnya?
Mendengar begitu, Ah Loan tepas air matanya, ia manggut segera ia berbangkit akan ikuti bujang itu keluar.
Kong Kiat sudah siap, rambutnya yang hitam telah disisiri dan dikepang rapi hingga jadi mengkilap, mukanya telah dicukur licin, bajunya thunghsa hijau tua, sepatunya dasar putih, tangannya mencekal kipas, hingga ia mirip dengan satu kongcu.
Ah Loan masuk ke kamarnya, untuk berpupur. Kong Kiat awasi isteri itu berhias dengan ia berdiri di belakangnya.
“Aku telah bilang bahwa kau tidak perdulikan aku, aku juga tidak mau perdulikan kau,” kata ia dengin pelahan, sambil tertawa, “akan tetapi dikota Tiang-an ini. sanakku cuma satu, ialah bouku itu, maka selagi kau sudah menikah dengan aku, kau hargai aku atau tidak, sudah selayaknya kau tengok sanakku itu. Didalam, kita ada seperti orang- orang ditengah jalan, tetapi diluar kita mesti hunjuk bahwa kita ada suami-isteri yang saling menyinta, atau nanti orang curigai kita, apa bila hal kita ini sampai dikupingnya loo-ya- cu, pasti sekali dia akan jadi sangat bersusah hati ... “
Bukan main dukanya Ah Loan akan dengar perkataan itu, tetapi ia masih tidak bilang sesuatu apa, begitu lekas sudah selesai, ia ikuti suami itu pergi keluar, terus ia naik kereta.
Kong Kiat duduk di depan, selagi kereta berjalan, ia melihat kekiri dan kekanan, ke belakang juga, ia seperti sedang cari sesuatu. Ia-pun bekal pedang, yang ia letaki diatas kereta.
Tidak lama sampailah mereka di Yam-tiam-kay. dimuka Kong Ek-Hok Cian-cong. Keduanya lantas turun dari kereta, akan masuk kedalam cia-cong itu dimana segera mereka bertemu kepada sanaknya. Tapi sepasang mempelal ini melainkan hendak hunjuk hormat, mereka tidak berdiam lama, lantas pamitan pulang.
Kembali Ah Loan bercokol dengan pikiran pepat dalam kamarnya, sepasang alisnya seperti nempel satu dengan lain, tidak pernah ia mau pandang suaminya.
Kong Kiat ada sangat tidak puas, hingga ia tidak betah berdiam didalam kamarnya itu. Ia pergi keluar, ia berkeliaran akan cari Kang Siau Hoo. Ia telah pergikan sesuatu rumah makan dan rumah teh, namun ia tak dapat ketemukan orang yang ia cari itu. Ketika kemudian ia pulang, ia lihat dimuka piau-tiam ada sebuah kereta besar dan tempo ia bertindak kekantoran, ia tampak Kat Cie Kang asyik bicara kepada dua orang dengan dandanan pembesar negeri.
Cie Kiang segera ajar kenal dua tetamunya itu pada pemuda ini. Nyata mereka ada Heng-pong Sinshe Liu Jie- ya dari bagian kepolisian. Mereka itu girang bisa dikenalkan kepada cucunya Liong Bun Hiap atau cucu-mantu dari Pau Kun Lun, sikap mereka ada ramah-tamah.
Tile Kiang jamu kedua tetamunya, ia dan Kong Kiat menemani begitu-pun beberapa saudaranya yang lain. Tengah dahar mereka membicarakan tentang Kang Siau Hoo. Cie Kiang bilang, orang she Kang itu adalah satu bandit yang di Tin-pa dan di Su-coan Utara banyak berbuat perkara pelanggaran. Maka kalau Siau Hoo datang ke Tiang-an, See-an, ia minta kedua hamba negeri itu suka bekuk saja padanya.
“Dengan segala senang hati,” demikian Liu Jie-ya dan Teng Jie-ya berikan janjinya. “Kita-pun sudah titahkan orang orang kita cari padanya untuk ditangkap.”
Kong Kiat tutup mulut, ia tidak mau campur bicara, karena ia tidak puas Cie Kiang minta bantuannya pembesar negeri, sedang ia-pun tahu Kang Siau Hoo ada sangat liehay, hingga beberapa orang polisi diwilayah See-an pasti tidak mampu berbuat suatu apa. Harapannya adalah kepada beberapa batang hui-piau, maka itu ia harap-harap Siau Hoo datang terlambat beberapa hari lagi, agar piau yang dipesannya keburu dirampungkan pembuatannya. Ia percaya benar, piaunya tidak bakal meleset dan Siau Hoo- pun tidak akan bersedia. Sampai waktunya lampu-lampu dinyalakan, perjamuan masih dilanjutkan, dan orang masih terus pasang omong dengan asyik. Diluar rumah, langit ada gelap. Tapi Cie Kiong telah berhenti bicara tentang Kang Siau Hoo, apabila ada lain orang yang menimbulkannya, ia melirik dengan mata separuh melotot pada orang itu! Ia jadi tidak suka orang bicarakan halnya Siau Hoo. Sekarang ia nampaknya jadi gelisah.
Syukur tidak lama kemudian perjamuan telah ditutup dan kedua Jie ya itu pamitan dan pergi. Sesudah antar kedua tetamunya, disebelah perintah orang lekas. bebenah, Cie Kiang-pun suruh semua orang berjaga-jaga, semua mesti selalu siap senjata, tidak boleh enak-enakan tidur, bahwa bila ada terdengar suara apa saja, semua mesti segera lari, terutama untuk bunyikan gembreng. Gembreng ini ada suatu pertandaan untuk orang-orang polisi. Tentang ini tadi ia sudah bicara masak-masak dengan dua tetamunya itu.
Kong Kiat bersenyum ewa kapan ia saksikan cara pemujaannya piausu itu. Ia angap Cie Kiang ada seorang yang sangat dogol. Maka ia segera masuk ke kamarnya.
Dua batang lilin yang dinyalakan adalah alat penerangan didalam kamar, disitu duduk menghadapi kaca, Ah Loan sedang sisiri rambutnya yang kondenya telah dibuka. Hal ini ada membuat suami itu menjadi heran, tetapi ia tidak berani tanya apa-apa, ia berdiri mengawasi saja. Ia menduga-duga kenapa isterinya itu berisir diwaktu malam.
Ah Loan tidak perdulikan suami itu ia terus sisiri rambutnya yang gemuk dan hitam mengkilap. Suami itu jadi tergiur hatinya, hingga dalam hatinya ia kata :
“Nona begini cantik, ia telah terjatuh kedalam tanganku, tetapi aku tidak bisa mempunyai dia. Sama sekali. ia tidak suka bicara kepadaku. Bagaimana aku bisa antap ini? Semua ini adalah urusannya Kang Siau Hoo yang buat hatinya jadi tidak tenteram. Bila tidak ada Kang Siau Hoo, dia tentu suka berlaku baik dengan aku ... ”
Diam-diam Kong Kiat berkerot gigi, ia jadi benci sangat pada Siau Hoo hingga ia ingin Siau Hoo segera muncul didepannya, untuk ia hajar tembus perutnya dengan piau.
Ah Loan sudah selesai menyisir rambut, kondenya ia telah ubah menjadi sebuah kuncir, hingga ia kembali jadi seperti si nona yang belum menikah.
Melihat demikian Kong Kiat jadi heran, dari heran ia jadi mendelu, hingga ia buka matanya lebar-lebar.
“Apa artinya ini?“ tanya ia. “Kenapa kau ubah kondemu jadi taucang? Apakah ini bukannya menunjukkan bahwa kau tidak sudi jadi pengantin?”
Ah Loan seperti dengar itu, ia berbangkit. Ia sekarang pakai baju hijau tangan pendek yang sepan, didalam itu samar-samar kelihatan baju dalamnya warna merah. Dibawah sinar lilin keelokannya si nona jadi bercahaya.
Sekejab saja berubahlah hatinya Kong Kiat. Dari gusar, ia menjadi gembira.
“Dengan sebenarnya, kuncir ada terlebih bagus daripada konde,“ kata ia sambil tertawa. “Baiklah, kalau malam kau pakai kuncir, besok pagi kau ganti pula dengan konde, supaya orang tidak mentertawakannya!”.
-ooo0dw0ooo-