Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 06


Jilid 06

“JIKALAU kau belum mau pulang, biarlah aku pulang lebih dahulu,” kata ia. Ia bertindak ke pintu, akan tolak itu.

Sian Tay menyusul.

“Hia-tee, jangan pergi dulu,” katanya dengan pelahan.

Siau Hoo berhentikan tindakannya Sian Tay datang lebih dekat. “Aku tidak bawa uang sama sekali, tolong beri pinjam aku beberapa tail,” katanya dengan berbisik.

Dengan hati mendongkol Siau Hoo keluarkan selembar gin-pio. yang dia tidak lihat lagi berapa jumlahnya, ia serahkan itu pada kawannya dengan ia terus putar pula tubuhnya untuk jalan terus.

Perempuan itu, dengan manis, dibuat-buat, ucapkan beberapa perkataan, maksudnya minta Si bocah balik, tapi Siau Hoo jalan terus, tindakannya dibuka lebar2, tidak heran kalau Ia telah lantas bersomplok kepada seorang, yang bertindak masuk dengan cepat seperti ia. Orang itu menjadi gusar, dengan tidak kata apa-apa ia angkat sebelah kakinya menendang pada perutnya Siau Hoo.

Siau Hoo tidak menyangka, ia-pun sedang mendongkol dan agak sinting, dupakan itu yang keras, membuat ia kaget dan rubuh terduduk. Tentu saja ia jadi sangat gusar, hingga Ia segera lompat bangun dan maju menyerang.

“Jahanam! Kenapa kau tendang aku?“ ia mendamprat. Atas datangnya itu kepelan, orang itu berkelit.

“Eh, cucunya kura-kura cilik!” orang itu balas mencaci.

“Kau baru keluar dari perut ibumu, mengapa kau main terjang orang?”

Kali ini orang itu menangkis dengan tangannya terus ditekuk, lautas ia membetot. Sehingga penyerangnya hampir jatuh nusruk, tetapi Siau Hoo dapat tahan  tubuhnya, ia bisa putar tubuhnya, untuk segera menyerang pula.

Orang itu menangkis pula, lagi2 ia hendak betot tangan lawannya, tetapi sekarang Siau Hoo bisa loloskan lengannya, terus ia loncat kebelakangnya orang itu, justeru orang itu memutar tubuhnya, ia segera melompat, kakinya terangkat naik kepalannya menyambar. Maka tidak tempo lagi mukanya orang itu kena dihajar.

Kepalannya si bocah ada kecil, akan tetapi tangannya tidak boleh dipandang enteng, kepalan itu-pun keras, maka sekejap saja orang itu merasakan sangat sakit pada hidungnya.

Selagi orang pusing, Siau Hoo maju pula akan kirim kepalan susulan, akan tetapi disaat penting itu. Sian Tay muncul, lantas Ia lompat akan mencegah. “Jangan berkelahi! Jangan berkelahi, orang sendiri!“ kata piauwsu ini.

“Orang sendiri?” Siau Hoo berseru. “Kenapa dia datang- datang tendang aku?“

Dalam gusarnya, Siau Hoo menyerang pula.

Orang itu gunai ujung bajunya akan sekai darah dari hidungnya yang bercucuran, kemudian dari pinggangnya ia cabut sebuah pisau belati, hingga pisau itu memperlihatkan cahaya berkeredepan

Siau Hoo lihat bahaya mengancam, sedang Ia ada bertangan kosong, maka ia putar tubuhnya lari keluar, dari mana tapinya Ia balik badannya pula, ia menantang sambil tepuk-tepuk dada. “Kau tidak mampu gunai kepalanmu, kau hendak gunai pisau! Hm, binatang, kau tunggu disini, aku nanti ambil senjataku, untuk kita bertempur pula, sampai kau mampus atau aku hidup!”

Setelah itu, bocah ini lari akan keluar dari gang.

Orang itu, dengan pisaunya di tangan, balas mencaci, ia hendak mengejar, tapi Sian Tay pegangi ia akan cegah padanya.

Siau Hoo lari pulang, ke Hok Lip Piauw Tiam di Tong- kwan, kota sebelah timur, ia terus masuk ke kamarnya akan ambil goloknya, dari situ ia  lari ke istal akan  ambil kudanya, tanpa diselakan lagi, kemudian Ia tuntun keluar kudanya itu.

Ketika itu Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun muncul dari ruanganTiniur, ia lihat roman luar biasa dari si bocah, ia segera lari menghampiri.

“Eh, hia-tee, kau hendak membuat apa?“ tanya ia. “Jangan perdulikan aku, ciangkui!“ sahut Siau Hoo. “Aku hendak pergi ke Bie-jie-kang akan lawan cucunya seekor kura-kura!“

Ia loncat naik atas kudanya, yang ia segera larikan ke arah Barat.

Ciauw Tek Cun heran bukan main.

“Hia-tee!“ ia berseru. “Kang Siau Hoo! Tahan dulu!

Coba tuturkan duduknya hal padaku!“

Siau Hoo tidak ambil pusing seruan itu, ia larikan terus kudanya menuju ketepi kali.

“Numpang! Numpang!” ia berseru berulang-ulang di sepanjang jalan, agar ia tidak sampai terjang orang.

Orang ramai segera pada menyingkir, semua mengawasi dengan keheranan.

Karena kudanya dikaburkan, cepat sekali Siau Hoo telah sampai di gang si cantik manis, ia masuk kedalam gang dan berhenti di depan rumah pelesiran tadi. Ia loncat turun dari kudanya, akan tambat binatang itu digelang pintu, kemudian dengan golok terhunus, ia bertindak maju.

“Hei, cucu kura-kura!” Ia berseru dengan dampratannya. “Hei, telur busuk, lekas keluar! Mari kita bertempur dulu sampai ada yang mati!”

Orang yang tadi berkelahi berada dikamar Utara, satu nona manis sedang sekat hidungnya yang borboran darah, ia duduk dengan hati masih panas.

“Thia Toaya, jangan kau layani bocah itu.” si nona manis membujuki ... “Tidak ada harganya untuk tempur dia! Dipadu dengan anakmu, anakmu masih terlebih tua ...”

Sementara itu Yo Sian Tay, yang lihat onar, sudah siang- siang menyingkirkan diri. Orang she Thia itu dengar tantangannya Siau Hoo, ia sambar pisaunya, selagi masih didalam kamar ia sudah balas mendamprat, lantas Ia keluar. Ia  lihat si kacung sedang pasang kuda-kuda, goloknya diangkat naik.

“Eb, binatang, mari sini!” Siau Hoo menantang begitu lekas Ia lihat musuhnya. “Lebih baik kau tukar senjatamu, itu ada terlalu pendek!”

Bukan main mendongkolnya orang she Thia itu, hingga mukanya jadi merah padam.

“Buat layani kau, bocah, apa aku mesti pakai senjata tajam.” ia menghina, dengan tertawa mengejek. Tiba-tiba ia lompat maju, tangannya diulur buat rampas goloknya Siau Hoo.

Tapi Siau Hoo sambut aksi itu dengan satu babatan, hingga orang she Thia itu berkelit kesamping, tangan kirinya dipakai mencekal lengan kiri si bocah, kemudian, berbareng kakinya maju merangsek, dengan pisau belatinya ia menikam di sebelah bawah ketiak. Cepat sekali Siau Hoo egos diri kekanan, tapi goloknya dipakai membacok.

Satu suara terdengar, orang she Thia itu lepaskan cekalannya pada lengan kiri musuh, tubuhnya terjatuh, duduk di tanah, darah mengalir dari tubuhnya, tetapi meski- pun demikian, dengan satu gerakan ia berbangkit pula, dengan pisau belatinya ia menikam, kelihatannya ia sangat beringas.

Siau Hoo mundur dua tindak, lagi2 goloknya dipakai menabas kepala musuh.

Orang she Thia itu tidak punya senjata panjang, rupanya saking nekat, ia menimpuk dengan pisau belatinya itu, yang ia gunai sebagai piauw. Penyerangan itu tidak mengenal sasarannya, lewat dipundaknya si bocah, pisau itu nancap di jendela, hinga si nona manis, yang kaget, sekali menjerit, “Oh ibu!”

Setelah itu, Siau Hoo merengsek pula.

“Apakah kau benar-benar cari mampusmu?” ia menegur.

Karena ia sudah bertangan kosong, orang she Thia itu coba mundur, tetapi lukanya dipaha kiri ada hebat, ia tak leluasa bergerak, ia segera rubuh pula, rubuh terduduk.

Dalam sengitnya Siau Hoo hendak menyerang pula, akan membuat mati lawan itu, tapi disaat itu dua orang lari masuk sambil berteriak: “Jangan! Jangan! Sama-sama orang sendiri!”

Siau Hoo angkat kepalanya, ia kenali Ciauw Tek Cun dan Cek Eng yang napasnya sengal2, romannya sangat kuatir.

“Apa orang sendiri?” berseru si bocah dengan sengit. “Aku tidak kenal dia! Suruh dia menggelinding pergi, kalau nanti dia sudah sernbuh, biar dia cari aku. Aku nanti tunggui padanya!”

Orang she Thia itu sudah terluka, ia tetap penasaran. selagi Cek ing pimpin Ia hangun, dengan jumawa ia kata: “Baik! Kau beri tahu she dan namamu. Dimana kau tinggal? Lagi tiga hari kita nanti bertemu pula!”

“Aku Kang Siau Hoo!” jawab Siau Hoo sambil tepuk- tepuk dada. “Aku datang ke Long-tiong untuk cari sahabat, aku tidak mempunyai tempat kediaman yang tentu, tetapi buat satu atau setengah tahun  ini aku tidak akan pergi kemana-mana, kau cari saja aku di jalan besar dimana setiap hari aku pesiar!”

“Baik!” si orang she Thia manggut. “Baik, sampai kita bertempur pula!” Tek Cun dan Cek Eng menjadi sibuk sekali, dengan membujuki, yang belakangan kemudian bisa ajak orang she Thia itu kembali kekamarnya si nona manis, sedang yang satunya, separuh mendorong-dorong, telah bujuki Siau Hoo keluar.

“Binatang, kau boleh pikirkan daya-upaya. Kang Thayya tidak takut padamu!” kata bocah itu dengan keras selagi ia bertindak keluar.

“Marilah!” mengajak Ciauw Tek Cun sambil membanting2 kaki, bahna jengkelnya. Setelah bujuki Siau Hoo naik atas kudanya, ia-pun naik atas kudanya sendiri, kemudian dengan Ia jalan di sebelah belakang, mereka keluar dari Gang Biejin itu, menuju ke Tongkwan. 

“Lauw-tee, kita jangan kembali dahulu ke pauwtiam,” kata Tek Cun sesampainya di Tong-kwan. “Mari kita pergi kerumah aku hendak bicara banyak kepadamu.”

Siau Hoo manggut.

“Baik!“ jawab Ia, yang lihat orang punya sikap sungguh- sungguh.

Ciauw Tek Cun girang, lantas Ia jalan di depan akan ajak kawan itu memasuki sebuah gang kecil, terus sampai di depan satu rumah yang pintunya dicat hitam.

“Kita sudah sampai!“ kata Tek Cun kemudian. “Inilah rumahku.”

Pintu pekarangan dikunci tetapi Tek Cun ketok gelangan pintu itu.

Sebentar saja muncul satu pegawai yang membukakan pintu. Ia berumur empat-puluh lebih, bajunya pendek, mirip dengan pegawai piauwtiam. Pada dia itu Tek Cun serahkan kudanya dan kudanya Siau Hoo juga berikut goloknya. “Kau bawa ini kepiauwtiam.” ia perintah.

Selagi pegawai itu bertindak, Tek Cun menghampiri padanya mengucapkan beberapa perkataan yang tidak terdengar nyata, kemudian ia kembali pada Siau Hoo.

“Silahkan masuk!” ‘kata ia sambil tertawa. “Dirumahku tidak ada orang.”

Siau Hoo bertindak mengikuti.

Setelah keduanya masuk, Ciauw Tek Cun terus tutup pintu, ia pimpin tetamunya ke ruangan tetamu dari mana kelihatan, rumah ada mempunyai tiga kamar, sedang perabotan ada barang berat, ditembok tergantung beberapa buah golok dan pedang, sama sekali tidak ada pigura  lukisan gambar atau huriuf2. Buku-pun tidak kedapatan.

“Silakan duduk!“ Tek Cun mempersihlahkan, selagi Ia terus pergi kesekosol, akan beri dengar satu suara, setelah mana ia kembali.

“Dirumahku melainkan ada aku bersama ensomu.” ia beri tahu. “Ensomu itu baru pada tahun yang lalu aku jemput dan rurnah pelesiran. Satu bujang perempuan layani kita masak nasi dan lakukan pekerjaan kasar. Yang lainnya adalah pegawal tadi, Lauw Lou, si Lou Tua, yang aku geser dari piauwtiam kemari.”

Selagi tuan rumah itu berkata-kata, bujangnya muncul dengan thee-koan teh dan cawannya.

“Biar, biar saja.” ia mencegah Tek Cun selagi bujangnya hendak menuangi teh. “Kita tidak minum teh tetapi lekas sajikan arak yang panas dan beberapa telur ayam asin.”

Bujang perernpuan itu menurut, ia mundurkan diri. Setelah mereka berada berduaan pula, Tek Cun lantas kasi lihat roman duka pada mukanya yang berkulit hitam itu.

“Saudara, kau sudah terbitkan onar,” bekata ia.

“Onar apakah itu, toako?“ Sauw Hoo memotong. “Apakah karena tadi aku hajar orang itu? Siapakah  dia? Aku tidak takut!”

Tek Cun ulap-ulapkan tangannya.

“Bukan begitu, saudara.” Ia kata. “Kau benar masih muda sekali tetapi kau datang dari Siamsay selatan, dan itu, urusan di kalangan Kang ouw kau pasti ketahui baik. Orang she Thia yang kau hajar itu, selainnya jadi hamba negeri dia-pun ada satu orang buruk …”

“Apakah pekerjaan orang itu?” Siau Hoo tanya dengan sengit.

“Dia ada pegawal dari kantor tiehu, tugasnya ada mengeluarkan uang dan rangsun.”

Tek Cun beri keteringan. “‘Dia hidup mewah, dia paling disayang oleh tiehu. Di distrik Long-tiong ini siapa juga ketahui Thia Pat-ya.”

“Apakali dia pandai limu silat?“ Siau Hoo tanya. “Bagaimana  tidak?“ baliki Tek Cun. “Dia  ada muriduya

Hon  kun  Lie  Lian seng  dan  Pa-ciu,  dikalangan kang-ouw

banyak sekali sahabat dan kenalannya. Coba kau dengar2 keterangan sendiri, asal orang kenal Thia Put-ya, tidak ada satu yang tidak ketahui, Thia Patya ada bun bu coan cay lengkap dan sempurna ilmu surat dan ilmu silatnya!‘‘

“Hm!“ Siau Hoo perdengarkan terztawa dinin. “Siapa perdulikan dia bun bu coan cay atau tidak. Dalam halnya ilmu surat aku tidak sanggup lawan dia, letapi dalam hal ilmu silat, aku hendak coba-coba! Tunggu sampai nanti dia sudah sembuh lukanya, jikalau dia tidak cari aku, aku yang nanti cari padanya!“

“Jangan begitu, saudaraku.” Tek Cun mencegah pula dengan menggoyang2kan tangan. “Lebih baik kita minum!”

Bujang perempuan tadi sudah kembali dengan arak dan dua piring sayur, yang Ia sajikan datas meja, dan Tek Cun sudah lantas isikan cangkir arak.

“Minum dahulu, saudara!“ ia mengundang.

Siau Hoo tenggak arak itu, kemudian ia tuang pula secangkir.

“Sungguh saudara kuat minum!” Tek Cun memuji. “Saudara, kita seperti sahabat-sahabat kekal saja, aku bicara secara jujur, harap kau tidak buat kecil hati. Bicara hal ilmu silat, hal nyali, orang semuda kau jarang ada tandingannya, hanya tentang pengalaman, pemandangan, kau masih kurang. Tentu saja ini disebahkan kau nasih terlalu muda. Umpama Thia Pat tadi, sunguh dia tidak boleh dibuat permainan. Setiap hari dia pelesiran di Gang Bie-jin, tetapi dia tidak ngodol saku. Di Long-tiong ini, tidak ada seorang yang tidak jerih padanya! Tadi saudara lukakan dia, pasti sekali dia tak akan merasa puas, maka entah kapan, mesti dia akan keluarkan kepandaiannya untuk gusur kau ke kantor negara ... Kalau sampai terjadi demikian, saudara, tak dapat tidak, kau bakal nampak kerugian!”

Mendengar ini, hatinya Siau Hoo ciut juga. Ia ingat, di Soan-han ia pernah icipi rangketan. Ia mengerti, dikantor polisi orang tidak mengenal cenglie, prikeadilan. Maka itu, ia cekali cawannya dengan separoh bengong.

“Pikir, saudara, bagaimana kita bisa lawan dia itu?“ Tek Cun tambahkan. “Dia ada satu telur busuk, dia tak dapat disamakan dengan kita orang-orang Kang-ouw, bangsa enghiong, buat kita, keras  lawan keras, kepalan lawan kepalan, golok menghadapi golok, semua tidak ada artinya!”

Sekonyong-konyong Siau Hoo lempar cawan ke atas meja.

“Aku hendak pergi sekarang!“ katanya.

“Pergi-pun tidak ada gunanya!“ Tek Cun kata pula. “Kalau kau pergi, kau mesti pergi dari Sucoan Utara ini! Dia ada mempunyai bukan sedikit sahahat diluaran, kupingnya cepat mendapat kabar, dimana-pun kau sampai, orang bisa ganggu padamu. Lagi pula tadi kau berkelahi di Gang Bie-jin. Kabar2 dari rumah pelesiran tersiarnya paling cepat, tak usah sampai dua hari. dihulu dan hilir orang akan ketahui hal perkelahian itu, maka umpama kata orang bukan bilang kau berangkat hanya kau buron, aku sendiri bakal turut dapat muka kurang terang!“

“Kalau sampai terjadi demikian, toako tak usah campur tahu!“ Siau Huo bilang dengan sengit. “Aku nanti tunggu dia, tak usah sampai orang polisi datang cari aku, aku nanti adu jiwa kepadanya.”

“Tidak setimpal untuk kau adu jiwa dengan makhluk busuk itu!“ kata Ciauw Tek Cun sambil geleng-geleng kepala. “Aku ada punya satu daya. Sekarang kau tinggallah dahulu disini, jangau kau keluar? jangan juga pergi kepiauwtiam. Disini aku berikan satu kamar untuk kau sendiri. Sesudah merantau banyak tahun aku bisa juga mengumpul sejumlah uang, sedang anggota keluargaku tidak banyak. Kau lihat seridiri, aku juga ada mempunyai perusahaan yang aku mesti urus setiap hari, aku ada punya sahabat-sahabat yang aku mesti layani, hingga karenanya, aku tak sempat urus rumah tangga. Kebetulan sekali, selama beberapa hari ini, setiap malam disini didatangi pencuri, benar aku tidak kehilangan barang tetapi ensomu ada takut bukan main. Aku berniat cari tahu sahabat untuk minta pertolongannya, tetapi itu ada tidak leluasa, dan itu, justeru kau berada disini, aku hendak minta kau saja yang bantu aku. Kau tinggal disini, saudara, disatu pihak kau boleh sekalian menyingkir dari Thia Pat, kedua kau jadi tolong lihat-lihat rumahku ini.

Siau Hoo tidak puas akan dengar ucapan itu, sekali-pun orang telah bicara secara terus terang.

“Jadinya kau bersahabat kepadaku karena kau ada mempunyai maksud ini…,” pikir ia.

Tek Cun sendiri sudah isikan pula kedua cawan.

“Besok atau lusa, aku nanti cari Thia Pat,” kata pula sahabat ini, setelah Ia menyuguhkan, “bukan maksudku akan mohon maaf tetapi aku hendak jelaskan padanya tentang siapa adanya kau. Aku percaya asal Thia Pat ketahui asal usulmu, ia tentu,suka bersahabat denganmu, kemudian, sesudah dia sembuh, aku hendak adakan satu perjamuan untuk pertemukan kau berdua, untuk habiskan perselisihan ini. Setelah itu, terserah padamu, kau sudi bersahabat terus dengan dia atau tidak. Kau toh datang kemari untuk cari Long Tiong Hiap dan sebelum bertemu kepada jago itu, kau tidak niat segera berlalu dari sini? Saudara disini, kau ada merdeka, asalkan kau tidak kebentrok kepada orang lain lagi! Pikirlah saudara, kata- kataku ini benar atau tidak?“

Siau Hoo hirup araknya, ia manggut-manggut.

“Baik, aku turut kata-katamu,” katanya. “Tapi aku akan berdiam untuk empat atau lima hari! Selanjutnya, apabila setiap hari kau cegah aku keluar, aku tak akan tahan …” “Tak usah sampai empat atau lima hari, saudaraku!“ Cek Cun kata dengan cepat. “Sebentar aku nanti pergi pada Thia Pat, aku percaya besok atau lusa, kau akan sudah jadi akur satu pada lain.”

“Baik, kau boleh atur itu.” Siau Hoo manggut pula. “Mari kita minum!“

Ciauw Tek Cun layani sahabatnya minum pula, malah ia bicara banyak tentang pengalamannya dikalangan kang- ouw, ia tuturkan beberapa hal yang ia anggap ada menarik hati. Kemudian pembicaraan beralih kepada Long-tiong- hiap Cie Kie.

Siau Hoo dapat kenyataan Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun ada hargai dan kagumi Cie Kie, bahwa sahabat ini aku tak dapat tandingi Long Tiong Hiap, hanya sikap dan tabiatnya Long Tiong Hiap dia itu tidak setuju sekali. Diantara kedua orang itu, tidak saja tidak ada persahabatan atau pergaulan, malah rupanya ada terdapat perbedaan paham jauh.

Ciauw Tek Cun itu tidak kuat minum, benar ia teaggak susu macan sambil bicara dengan asyik, akan tetapi pelahan dengan pelahan mukanya yang hitam mulai bersemu merah, hingga tampangnya menjadi mirip dengan satu bola merah darah …

Siauw Hoo sudah minum arak bersama Yo Sian Tay, sampai habis bertempur, pengaruh air kata-kata belum lenyap pula dari kepalanya, sekarang Ia minum pula dengan leluasa, segera ia merasakan kepalanya sedikit pusing. Maka itu, ketika si bujang tua menyuguhkau nasi dan sayurnya bersama Tek Cun ia tidak dahar banyak.

Segera juga Ciauw Tek Cun berbangkit.

“Lauw-tee, kau sudah dahar cukup atau belum?“ tanya dia. “Mari kita masuk kedalam untuk ketemui ensomu!“ Ia usap-usap kumisnya, ia pelendungkan perutnya yang besar, terus ia tertawa. “Sesudah bertemu, kau akan lihat, ensomu itu sungguh sangat cantik. Selama masih berdiam di rumah pelesiran, dia dapatkan julukan Say Siang Go si Bidadari. Bukan sedikit orang yang telah bersaing dengan aku, akan tetapi akhirnya dia terjatuh kedalam tanganku! Tentu saja,” ia tambakan, “untuk itu aku telah keluarkan banyak uang, hingga kalau uang itu hendak dipakai untuk pernikahan yang biasa, bisa jadi cukup dipakai untuk menikah sepuluh isteri. Ha-ha-ha!“

Siau Hoa melainkan bersenyum.

Keduanya dengan tubuh agak limbung, lantas bertindak kedalam. Di sebelah Barat ada kamar dapur, dari mana kelihatan asap mengepul. Tek Cun menuju kekamar Utara, ia tarik tangan sahabatnya untuk diajak kearah kamar itu.

Dengan matanya yang kesap-kesip karena sintingnya, Siau Hoo lihat sebuah kamar yang diperlengkapi indah, mirip dengan sebuah kamar dirumah hina, kelambu dan kain jendela ada berwarna hijau dan merah,  muilie  atau kain alingan pintu-pun merah.

“Eh, isteriku, mari keluar, ketemui aku punya lauwtee!” Tek Cun segera berkata.

Satu suara merdu terdengar, muilie lantas  tersingkap, lalu muncul seorang perernpuan muda yang  cantik, umurnya kurang lebih dua puluh tahun, bajunya merah, celananya hijau, semua ujung pakaiannya dipakaikan gigi balang sutera. Ia memakai pupur dan  yancie  pada mukanya, rambutnya hitam mengkilap. Pada kedua kupingnya ada bergelantungan masing2 sebuah anting2 emas, hingga melihat itu, matanya Siau Hoo berkunang2.

Dibawah pengaruh arak, Tek Cun tidak seperti sewajarnya, sedang dari mulutnya tersiar bau arak. “Mari ketemui aku punya saudara muda. Kang Siau Hoo!“ katanya pada Say Siang Go, si iseri. “Saudaraku ini baru datang dari Siamsay Selatan, aku telah minta dia tinggal dirumah kita ini, maka kalau nanti penjahat ketahui perihal adanya dia, penjahat itu pasti tak akan berani datang menyatroni! Jangan kau anggap saudaraku ini masih terlalu muda, bugeenya sebaliknya ada melebihi kita semua!“

Say Siang Go bersenyum.

“Bagus, itulah bagus!“ ia berseru. Tapi segera Ia perlihatkan roman berkuatir. “Toakomu suka berdiam di piauwtiam, hingga kalau malam aku mesti tidur bersama bujang tua, karena sejak bulan yang baru lewat, asal mulai jam tiga, di atas genteng suka terdengar suara apa2. Mulanya aku tidak pikirkan ini, aku menyangka pada kucing, karena barang toh tidak ada yang hilang, aku diam saja. Akan tetapi pada suatu malam, ketika toakomu pulang, kebetulan ia dapat lihat ada orang lagi tetapi cepat sekali orang itu menyingkir pergi …”

Siau Hoo heran dengar keterangan itu.

“Ada penjahat tetapi dia tidak curi barang untuk apa dia mendekam di atas genteng?“ pikirrya.

Ciauw Tek Cun gusar sekali apabila dia dengar isterinya itu sampai mukanya menjadi merah padam, kumisnya sepert pada bangun berdiri.

“Penjahat itu berani datang kemari, terang dia tidak pandang padaku!” katanya dengan sangat sengit. “Perkara ini aku mesti simpan rahasia, karena kalau sampai orang luar mendapat tahu, itu ada merugikan untuk Piauwtiamku

...”

Mukanya Say Siang Go bersemu merah. “Bukankah kau ada satu piauwsu yang lindungi barangnya lain orang?“ katanya. “Kenapa justeru barang sendiri kau tidak bisa lindungi keselamatannya?“

Tek Cun tidak jawab isterinya, ia hanya tepuk pundaknya Siau Hoo.

“I.auw-tee, kau bantulah aku,” ia minta. “Tinggalah disini sedikitnya untuk beberapa hari …”

“Baiklah,” sahut Siau Hoo sambil manggut. “Aku percaya tidak akan ada penjahat yang berani datang kemari. Coba kau carikan aku sepotong senjata.”

“Aku nanti sediakan itu,” kata Tek Cun. “Malam ini tidak ada pekerjaan di kantor, aku boleh temani kau minum arak. Marilah!“

Tek Cun ajak pula sahabat itu keluar akan pergi kekamar Timur dimana Siau Hoo lihat sudah ada pauwhoknya berikut goloknya. Ia merasakan kepalanya berat  sekali, begitu lihat pembaringan, terus ia jatuhkan diri.

“Baik, kauwtee, kau boleh tidur dahulu,” Tek Cun bilang. “Sebentar malam semangatmu tentu akan kembali.”

Lantas majikan ini suruh bujangnya selimuti Siau Hoo, kemudian Ia undurkan diri, ia pergi kekamarnya sendiri untuk tidur tengahari.

Siau Hoo tidur dengan nyenyak, ketika kemudian Ia sadar, ia dapatkan sang waktu sudah bukan siang lagi, sisa sinar matahari disudut jendela tinggal sedikit sekali. Sekarang telah lenyap pengaruhnya arak tetapi ia masih ingat yang apa tadi telah terjadi.

“Entah berapa besar pengaruhnya Thia Pat?” pikirnya. “Kalau benar dia seret aku kemuka pengadilan, itulah cade! Mereka bangsa pengawal negeri suka tolong satu pada lain, apabila disini orang ketahui perbuatanku di Soan-han, inilah hebat. Laginya Tek Cun bukan sahabat benar, dia baiki aku karena Ia hendak minta aku tolong jagai rumahnya ini. Tapi-pun benar, disini aku mesti pertunjukkan kepandaianku, supaya orang Long-tiong bisa saksikan dan ketahui …”

Di waktu bersantap sore Tek Cun kembali dari piauw- tiam, ia terus kawani tetamunya ini bersantap.

“Kabarnya Long Tiong Hiap akan segera pulang!” kata pengurus piauwtiam ini. “Kalau dia sudah pulang, aku nanti ajak kau pergi temui padanya. Tadi pagi lukanya Thia Pat-ya bukannya enteng ia telah digotong pulang ke rumahnya. Tadi-pun dari kantor tiehu ada datang  dua orang polisi, kepiauwtiam, mereka tanyakan halmu dan alamatmu, agaknya mereka hendak cari dan tawan  kau, tapi aku segera cegah mereka aku katakan bahwa kita ke bentrok diantara orang sendiri, bahwa kalau nanti Thia Pat- ya sudah sembuh, aku hendak bereskan perselisihan ini. Aku juga berikan mereka masing2 lima chie,  barulah mereka berlalu. Aku percaya buat selama ini, perkara itu tidak akan berekor buruk. Kita mesti bersiap sedia kalau2 Thia Pat-ya ambil tindakan ...”

“Kecuali dia tidak pakai pengaruh pembesar negeri, lainnya tindakan apa juga aku tidak jeri!“ Siau Hoo bilang, ia tersenyum tawar.

Tek Cun manggut-manggut.

“Mari minum, lauwtee!“ ia angkat cawannya.

“Aku tidak mau minum  lagi, malam ini aku mesti menjaga!“

Tek Cun tertawa, “Dengan adanya kau disini, lauwtee, hatiku lega,” kata ia, “aku jadi bisa bekerja dengan tenteram di kantorku. Piauwtiamku ada besar, mestinya siang dan malam, aku berdiam disana.”

Tek Cun tertawa pula, ia keringi cawannya, lantas Ia berbangkit.

“Aku pergi, Iauwtee,” katanya.

Siau Hoo antap orang pergi, iapun antap bujang benahkan piring mangkok.

Sang gelap gulita datang dengan cepat, sekarang Siau Hoo jadi bersemangat. Ia rapikan pakaiannya, ia kencangkan ikat pinggangnya, setelah gulung tangan baju dan hunus goloknya, ia bertindak keluar.

Malam itu bintang ada banyak, rembulan bercahaya lemah. Disemua tiga kamar sinar api masih belum padam.

Siau Hoo pergi ke pekarangan, dalam  kegembiraannya, ia berlatih dengan goloknya, akan mainkan ilmu Kun-lun- too.

“Kalau penjabat datang, aku mesti bacok dia sedikitnya beberapa kali,” katanya dalam hatinya. Ia pergi ke depan kamar Utara, disitu ia enjot tubuhnya akan loncat ke atas genteng, apa mau loncatannya tak sampai, ia jatuh pula. Sehingga menerbitkan suara berisik, ia sendiri merasai sakit, ia hanya goloknya tidak sampai terlepas.

“Ayo! Siapa?“ demikian suara kaget dari seorang perempuan, dari dalam kamar.

“Aku enso, jangan takut …,” Siau Hoo menjawab dengan terpaksa. Sendirinya Ia merasa malu, ini ada bukti yang kepandaiannya tak berarti, hingga ia-pun merasa, jangan2 ia tak akan dapat bekuk penjahat. Tapi ia penasaran. Maka setelah merayap bangun, ia menghampiri payon, dengan pegang itu dan ayun tubuh, ia paksa naik. Ia tidak perdulikan kalau karena itu, ia  terbitkan suara. Sesampainya diatas, ia kena injak genteng sumpai pecah dan pecahannya meluruk jatuh.

“Ayo!“ demikian jeritan pula dari orang perempuan didalam.

Siau Hoo uring-uringan, ia duduk diatas genteng.

“Biar aku tunggu disini! Aku mau lihat, si bangsat datang atau tidak!“ kata ia dengan mendongkol.

Bocah ini nonkrong terus diatas genteng, terus sampai terang tanah hingga ia pernah ngelenggut ingin tidur. Sang penjahat tidak datang sama sekali. Ia  mendelu tetapi hatinya lega juga. Ia loncat turun, terus masuk kekamarnya untuk tidur. Dan ia  tidur sampai waktunya bersantap tengah hari diwaktu mana Ciauw Tek Cun datang, untuk ajak Ia dahar bersama2.

Hari ini-pun Siau Hoo tidak berani minum banyak.

Tek Cun dengar dari sahabatnya ini bagaimana si sahabat bergadang antero  malam, tetapi peajahat tidak muncul.

“Tentu itu disebabkan dia dengar lauwtee tinggal disini, nama lauwtee bikin ia gemetar hingga dia tidak berani datang,” katanya.

Siau Hoo jengah sendirinya, mukanya sampai bersemu merah, tetapi ia diam saja atas pujian itu.

Habis dahar tidak lama. Ciauw Tek Cun pergi kembali kepiauwtiam.

Siau Hoo tidak lewatkan banyak tempo atau ia terus tutup pintu pekarangan, lalu ia berbalik seorang diri, untuk loncat naik kegenteng tanpa bergelantungan lagi di payon rumah. Beberapa kali ia rubuh sendiri,  ia  bangun dan bangun pula, ia mencoba terus. Ia ada berani dan ulet, ia tidak kenal kapok atau bosen. Karena beberapa lembar genteng pecah dan menimbulkan suara berisik, si bujang perempuan sampai takut datang ke kamar Utara.

Say Siang Go buka jendela, ia singkap kain penutup jendela itu, ia mengawasi dan tertawa, tapi lekas juga ia lepaskan pula kain jendela, lalu seorang diri Ia bernyanyi, nyanyikan lagu yang ia suka perdengarkan dirumah hina.

Siau Hoo tidak perdulikan apa jua, Ia berlatih terus, hingga akhirnya Ia peroleh kemajuan, barulah ia masuk ke kamarnya untuk tidur.

Sore itu, Ciauw Tek Cun tidak pulang Siau Hoo dahar sendirian, setelah itu Ia bersiap, ia keluar dari kamarnya, goloknya ditancap dibebokong. Selagi sang waktu masih siang, ia lanjutkan pelajarannya loncat tinggi.

Karena suara berbisik itu, Say Siang Go tidak tertawa atau menyanyi pula, ia hanya menggerutu, memaki seorang diri, dalam bahasa rumah hina, hingga Siau Hoo yang dengar itu, tidak mengerti maksudnya, dari itu bocah ini tak menperduIikannya, terus Ia loncat, dari bawah ke atas, lari atas kebawah sampai ia  merasa lelah, lalu Ia  numprah diatas genteng, sekalian tunggui sang malam.

Sebentar kemudian, hari sudah menjadi gelap.

Malam itu, rembulan lebih terang daripada kemarinnya. Dikamar Timur-tidak ada cahaya api, dan api di kamar Barat ada lemah sinarnya, lalu pada jam dua, dipadamkan, rupanya bujang perempuan sudah masuk tidur. Di Timur Utara, api ada I ianat. terang, ay Slang Go se-rang dir mainkan pie.pee, lagunya makin menyeap kan kuping, sanpai Siau Hoo iintuc serner tara lupa akaii tugasnya, hingga dia lupa baha dirinya berada di atas genteng ...

“Benar, nona2 keluaran rumah pelesiran pandai mainkan tetabuhan,” ia melamun, “sayang dia tidak bisa nyanyi seandainya Ah Loan ada disini dan ia  nyanyikan lagu pegunungannya. bagaimana merdu!”

Ingat Ah Loan, ia jadi ingat keadaannya sendiri. “Sekarang aku telah  punyakan  uang, kuda dan pakaian-

pun lengkap, kalau aku pulang, siapa nanti tak pandang mata  padaku?”  demikan   ia  berpikir  lebih   jauh. “Hanya

sayang bugeeku belum sempurna. Bagaimana aku bisa pulang untuk menuntut balas, untuk menikah juga?’

Karena ini, ia harap-harap lekas pulangnya Long-tiong- hiap Cie Kie, untuk dapat kepastian dia itu cakap atau tidak untuk jadi gurunya, kalau tidak, ia hendak merantau pula cari Siok Tong Lieng, Naga Sucoan.

Lama Siau Hoo menumprah, sampai ia merasa pegal, maka lalu ia  rebahkan diri di atas genteng, matanya memandang kebawah. Ia masih dengar suara pie-pee, yang sekarang dimainkan dengan diseling dengan istirahat. Ia pikir, Say Siang Go mengerti banyak lagu. Lama-lama Ia merasa ngantuk juga, hanya pada saat Ia layap2, tiba-tiba ia tampak bayangan berkelebat ditembok depan, ia terkejut, lalu dengan mata dibuka lebar dan tangan mencekal keras goloknya, ia mengawasi dengan tajam.

Cahaya rembulan membuat bocah ini bisa lihat tegas, bayangan itu, ialah seorang pemuda umur dua-puluh lebih, tubuhnya tinggi akan tetapi kurus  sekali,  tampangnya cakap, pakaiannya serba hijau. Dia itu, tidak bekal senjata, agaknya dia tidak kuatir apa, dengan tindakan tetap dia menghampiri kamar Utara dari mana masih terdenar suara piepee, sama sekali dia tidak pernah melihat kesekitarnya atau ke atas genteng.

“Penjahat ini bernyali besar,” pikir Siau Hoo, yang  sudah lantas merayap bangun.

Pemuda itu sampai di depan pintu dimana segera Ia perdengarkan suara dan nyanyian, “Sekali melihat si elok, semangatku kabur …”

Berbareng dengan itu, Siau Hoo loncat turun seraya Ia berseru: “Ya, semangatmu kabur.“ dan goloknya lantas melayang.

Pemuda itu nampaknya terkejut tapi segera Ia lompat minggir, tangannya meraba pinggang dari mana lantas ia ulur keluar Tiat-lian Poan liong-pang, rantai besi yang bersambung tiga-belas, yang ia terus pakai membalas menyerang.

Siau Hoo tangkis serangan itu. Hampir goloknya kena terlibat rantai besi itu, sukur ia lekas menarik pulang untuk terus membacok pula dan mendesak, sehingga orang mundur beberapa tindak. Orang itu perdengarkan tertawa menghina, sembari mundur dia menyabet pula dengan rantainya yang merupakan toya istimewa, agaknya dia hendak lihat pula senjata musuh. Tapi Siau Hoo tidak mundur, ia malah merangsek terus, dalam enam jurus ia kena babat rantai sampai kutung, atas mana pemuda itu lompat mundur, akan terus loncat naik ke genteng kamar Barat.

“Eh, bocah, kau she dan nama apa?” tanya Ia dengan suara mengejek.

Siau Hoo tidak menjawab, hanya ia loncat naik untuk mengejar. Pemuda itu tidak melawan, ia lari kerumah tetangga sambil mengejek, “Sampai ketemu pula!” Siau Hoo tidak mau mengejar lebih jauh, hanya dengan mendongkol ia awasi orang berlalu, hatinya berpikir. Kemudian, tiba ia bacok genteng dan berkata seorang diri. “Dia bukannya pencuri, dia pasti ada kendaknya Say Siang Go!” Lantas ia loncat turun. Ketika Ia mengawasi kekamar Utara, tidak saja suara piepee sudah berhenti, api-pun telah padam. Ia jadi mendongkol, ia lari menghampirkan pintu yang Ia tolak, tetapi pintu itu keras karena dikunci.

“Oh, kau nyata bukan seorang perempuan baik-baik! Tak dapat tidak hal ini aku mesti beritahukan Ciauw Toako!” katanya dengan hati panas. Ia tolak lagi pintu, dengan sia- sia, lalu ia mencaci.

Dari kamar Barat juga tidak ada suara apa2, Siau Hoo masih mendongkol, maka Ia membacok dua kali, setelah mana, ia pergi cari bujang lelaki. Pintu kamarnya si bujang dikunci, dari dalam mana terdengar suara menggerosnya yang keras, Siau Hoo tendang pintu beberapa kali, baru orang sadar dengan kaget. “Siapa!” demikian suaranya.

“Lekas bangun!” Siau Hoo teriaki. “Pergi kau cari majikanmu, aku hendak bicara kepadanya!”

“Oh. Kang Siauya ...“ kata bujang itu. “Ada urusan apa siauya mau cari majikan?”

“Lekas pergi panggil majikanmu!” Siau Ho kata dengan bengis. “Kalau kau tidak mau pergi, aku nanti dobrak pintu ini dan bunuh padamu! Lihat ini, aku ada mencekal golok!”

Ia mengancam dengan beberapa kali membacok tanah. Bujang itu jadi ketakutan.

“Nanti aku pergi, aku pergi!” katanya berulang-ulang.

“Jangan gusar, siauya …” Bujang itu berbangkit, ia pakai bajunya, ia buka pintu dan bertindak keluar.

“Lekas pergi kepiauwtiam!” kata pula Siau Hoo seraya angkat goloknya. “Lekas beri tahu majikanmu supaya dia segera pulang! Kalau tidak, aku nanti pergi dan putuskan persahabatan dengan dia!”

Bujang itu ketakutan, ia buka pintu pekarangan, dibawahnya sinar bulan ia jalan seperti berlari-lari akan pergi kepiauwtiam majikannya.

Siau Hoo kunci pula pintu pekarangan, ia lantas jalan mundar-mandir.

Selama itu, dari kamar Barat dan Utara tidak terdengar suara apa juga.

Sekian lama Siau Hoo menantikan, baru Ia dengar ketokan pada pintu pekarangan, ketika Ia  membukakan pintu, ia lihat si bujang telah balik bersama majikannya, tidak tempo lagi ia kata pada Kim-kah-sin Ciauw Tek Cun: “Toako, kau tahu apa sudah terjadi disini tadi?! Isterimu

…”

“Sabar, hiat-tee?” Tek Cun segera memotong, tangannya Ia goyang-goyang. “Mari kita bicara didalam …”

Dengan masih mendongkol, Siau Hoo mengikuti, mereka masuk ke kamar Timur dimana Si bujang sudah lantas nyalakan api, sehabis mana bujang itu disuruh pergi.

“Kau tahu, hia-tee,” kata Tek Cun dengan pelahan, “sampai ini jam aku masih belum tidur, padaku ada datang lima saudagar dari kota, mereka hendak angkut barang ke Lou-ciu, lagi dua hari kita akan berangkat, malah barangkali aku yang mesti iringi sendiri, sebab jumlahnya berharga besar sekali …” “Kau jangan sibuki pekerjaanmu saja, kau mesti urus isterimu!“ kata Siau Hoo, suaranya masih sengit. “Kau bicara tentang pencuri, sebenarnya bukan, ia adalah gendaknya isterimu! Asal kau tidak pulang, dia tentu datang, istrimu mainkan piepeenya sebagai tanda untuk memanggil dia. Orang itu bersenjatakan rantai tapi tadi aku telah bikin dia kabur!”

Ciauw Tek Cun melengak mendengar keterangan itu. “Jangan  berisik,  hia-hee,”  kata Ia  kemudian,  atau nanti

kehormatanku  tercemar. Hal ini memang  aku  telah duga.

Ensomu memang asal dari rumah pelesiran, yang tentunya bukan orang baik-baik! Apa daya sekarang? Mustahil aku mesti bunuh dia dan karenanya mesti berurusan denan pembesar negeri untuk mengganti jiwa. Inilah tidak berharga! Itu sebabnya kenapa aku undang kau agar orang itu ketahui disini ada kau, agar dia tidak berani datang …”

“Aku rasa dia tidak kenal kapok!” Siau Hoo bilang, tetap masih sengit. “Ada kemungkinan, walau kau ada di rumah, dia berani datang!”

Mukanya Tek Cun menjadi merah, nyata dia tidak senang.

“Jangan gusar, hia-tee, aku punya daya,” kata ia, yang terus bertindak keluar, tangan bajunya digulung.

Segera terdengar pintu kamar Utara ditendang berulang- ulang, daun pintu terbuka, disusul oleh suara gelepak gelepok, yang disusul lebih jauh oleh jeritan dan tangisan, hanya sebentar saja, suara berisik itu menjadi sirap, pintu kamar dikunci. Seperti tidak ada sesuatu.

Siau Hoo sangat tidak puas.

“Kiranya Kim-kah sin takut isteri.” ia berpikir. “Buat apa aku bersahabat kepadanya? Buat apa aku tinggal lama disini? Besok pagi aku mesti pergi ke Hok Lip Piauw Tiam akan ambil kudaku, buat pergi kehotel, aku tunggui Long Tiong Hiap lagi tiga hari, apabla Ia tetap belum kembali, aku mesti pergi cari orang berilmu lainya!“

Lantas Ia masuk kekamarnya, ia kunci pintu dan tidur.

Keesoknya pagi, Siau Hoo bangun dengan dapat kenyataan pintu kamarnya Tek Cun masih terkunci, rupanya piauwsu itu mash tidur, maka Ia buntal pauwhok, ia gendol itu, lalu dengan bawa goloknya Ia  bertindak keluar, sekeluarnya dari gang Ia lihat jalan besar di Teng- kwan yang ramai dengan pedagang dan pembeli, karena hari itu ada hari pasar. Ketika ia masuk ke Hok Lip Piauw Tiam. ia lihat Yo Sian Tay.

“Eh, kenapa kau tidak berdiam dirumah Ciauw Ciangkui?“ tanya Sian Tay, yang agaknya heran.

“Sekalipun disini aku tidak akan tinggal lama! Aku mau pergi!” sahut bocah itu seraya menggeleng kepala. Ia lemparkan golok dan buntalannya, ia mau pergi ke istal untuk siapkan kudanya.

Sian Tay menghampiri.

“Bukankah kau hendak menemui Long Tiong Hiap?” sahabat ini tanya dengan pelahan.. “Kabarnya kemarin dia sudah pulang …”

“Apakah benar?” tanya Siau Hoo, yang merandek dan terus putar tubuhnya ... “D ia tinggal dimana? Beri keterangan padaku, sekarang juga aku hendak pergi padanya!‘

Sementara itu, Sian Tay nampaknya menyesal. “Kemarin Ciangkui kita pesan agar kita tidak beritahukan tentang pulangnya Long Tiong hiap kepadamu,” kemudian ia menjawab.

“Ha? Kenapa begitu?‘ tanya Siau Hoo.

“Dalam hal ini tidak ada maksud jelek saudaraku,” sahut Sian Tay. “Ciangkui kita ketarik padamu yang masih muda sekali tetapi sudah mempunyai kepandaian tinggi, ia ingin bersahabat kepadamu. Lagi dua hari dia bakal pergi antar piauw, dan itu dia hendak minta kau lihat-lihat rumahnya, paling lama dalam tempo satu bulan dia akan  sudah kembali itu waktu dia nanti minta kau suka jadi piauwsu disini, hingga kita jadi dapat tenaga. Tapi kalau kau pergi cari Long Tiong Hiap, pasti Ciauw ciangkui sukar menghadap lagi. Long Tiong hisp psling sukai anak-anak muda yang berilmu, kalau nanti dia lihat kau, tentu dia jadi sangat girang …”

“Sudah jangan ngoce tak keruan!“ Siauw Hoo potong. “Lekas kasi tahu aku, dimana letaknya rumahnya Liong Tiong hiap!“

“Dia tiiggal tak jauh dari sini, di sebelah Timur.” Sian Thy mengasi tahu, “Kau ikuti jalan besar, lalu biluk ke Selatan, kira2 lima lie kau akan sampai dikampungnya kampung Teng-jie-pouw, yang mirip dengan sebuah pasar.” Siau Hoo manggut.

“Baik, sekarang juga aku cari dia.“ Dia terus jemput goloknya.

“Apa? Kau heniak piebu dengan dia itu?“ tanya Sian Tay dengan heran.

“Jangan kau perdulikan aku! Tolong simpan buntalanku ini.” jawab Siau Hoo yang terus bertindak keluar, ke istal, akan siapkan kudanya, kemudian ia tuntun kuda itu ke jalan besar. Jalanan ada terlalu ramai, tidak leluasa untuk menunggang kuda terpaksa ia tuntun terus kudanya dengan sebelah tangannya memegang cambuk, setiap kali ia perdengarkan suaranya: “Numpang jalan! Numpang jalan,” ia menuju ke Timur.

Jalan belum jauh, di sebelah depan Siau Hoo lihat ada berdiri seorang muda bertubuh besar, umurnya kira-kira dua-puluh tahun, siapa sedang awasi ia sambil bersenyum2. Orang itu ada kurus, matanya kecil, pakaiannya serba hijau. Dia adalah orang yang semalam datangi rumahnya Ciauw Tek Cun. Hanya sekarang orang itu tidak bekal senjata. Tapi toh melihat siapa Siau Hoo jadi mendongkol, apa pula orang-pun kelihatan bersenyum tawar.

Siau Hoo hampiri orang itu, yang ia tubruk dengan tiba- tiba untuk jambak bajunya.

“Bagus!“ ia berseru. “Kau berani muncul dimuka umum, kau berani mentertawai aku! Oh, bangsat!”

Orang itu menyengir, ia balas cekal lengannya Siau Hoo.

“Apa benar-benar kau hendak tempur pula aku?” tanya dia. “Jangankan kau, sekali-pun Ciauw Tek Cun, apa  ia bisa membuat terhadap aku?”

Siau Hoo telah tancap cambuknya di pinggangnya, les kuda-pun Ia sudah lepaskan maka itu ia  bisa tampar mukanya orang itu hingga menerbitkan suara nyaring.

“Binatang, kau berani serang aku?” berteriak orang itu, yang-pun berjingkrak. Ia sampok lengan kirinya Siau Hoo dan balas menyerang.

Siau Hoo berkelit lalu ia menyerang pula, tetapi serangannya tidak mengenai sasaran, maka itu sambil lompat maju, ia menyerang pula dengan kedua tangannya. Orang itu menangkis sambil berkelit, Sebelah tangannya dipakai menolak.

Siau Hoo kelit kekanan, tangan kirinya dipakai menjaga. tangan kanannya menyerang pula, dengan jitu mengenai iga kiri musuh, sampai tubuhnya orang itu miring, terang Ia merasa kesakitan. Tapi kirena itu dia merangsek, dua tangannya digeraki, tangan kanan untuk menangkis, tangan kiri buat menerkam, sedang sebelah kakinya lantas diberi melayang.

Dengan lompat mundur kesebelah kanan. Siau Hoo jauhkan diri dari babaya, ia mundur jauhnya dua tindak.

Lawan itu agaknya penasaran, ia lompat merangsek.  Siau    Hoo    mengancam    dengan sebelah   kepalannya,

tubuhnya  mendek,  atas  mana,  lawan   itu   dupak  ia,  tapi

justeru begitu, ia menyapu dengan sebelah kakinya yang mana membuat orang itu lantas saja rubuh.

Ditengah jalan itu orang-orang pada menyingkir.

Orang itu gulingkan tubuh untuk berlompat bangun, tangannya merogoh sakunya dari mana ia keluarkan sebuah kantong kulit, dari dalam mana ia tarik dua belah pisau belati yang Ia cekal di tangan kanan dan kiri, sedang tampangnya nampaknya ada bengis sekali. 

“Mari maju!” ia menantang.

Siau Hoo lari pada kudanya buat ambil goloknya.

Hampir di waktu itu, orang lari minggir dengan keluarkan suara berisik, sebab dari arah Timur ada tiga penunggang kuda.

Siau Hoo menoleh, hingga Ia bisa lihat kuda yang lari di muka, yang ia kenali adalah kuda hitamnya. Ketika ia lolos dari loteng rumah makan di Ban-goan, ia sudah kesalahan kabur dengan kuda hitam itu, lalu di Soan-han kuda itu ada yang curi dari kuil tua. Maka sekarang melihat kuda itu, ia lupa akan musuhnya, ia lantas papaki si penunggang kuda.

“Turun.! Turun! Inilah kudaku!” ia berseru..

Melihat tingkahnya itu, orang-orang ditepi jalan jadi tertawa.

“Mungkinkah anak kecil ini gila?“ kata mereka

Si lawan lihat datanguya tiga penunggang kuda itu, ia saksikan sikapnya Siau Hoo, meski ia diam saja namun air mukanya jadi lebih sabar, tapi Ia masih bersiap untuk berkelahi lebih jauh.

Siau Hoo sudah cekal les kuda, hingga kuda itu dapat dibuat berhenti, dengan bengis ia awasi penunggang kudanya.

“Kembalikan kuda ini kepadaku habis perkara!“ ia kata pula dengan nyaring. “Ini ada kudaku yang lenyap di Soan- han! Pencurinya telah mampus karena terjatuh dari atas kuda ini! Kuda ini berada dalam tanganmu, jangan kau sendiri ada satu bangsat! ... “

Penungang kuda itu berurnur tigapuluh tahun lebih, kulit mukanya sedikit merah, romannya cakap, pakaiannya-pun mewah. Dua orang dibelakangnya mirip dengan bujang. Dia bersenyum sekali-pun Siau Hoo bersikap kasar dan bengis.

“Tidaklah keliru apa yang kau bilang,” sahut ia dengan sabar, sedikitpun tidak kelihatan dia mendongkol. “Memang kuda ini didapatkannya dari Soan-han, hanya untuk ini aku mesti keluarkan beberapa ratus tail perak. Umpama kau inginkan kuda ini, aku serahkannya dengan cuma-cuma, tetapi caranya kau bicara tidak tepat!” Tapi Siau Hoo masih gusar, hingga Ia berjingkrak.

“Kudaku ada padamu, aku tidak tuduh kau bangsat, sudah bagus!” kata Ia  “Bagaimana kau kehendaki aku bicara manis kepadamu?”

Siau Hoo berjingkrak pula, sekali ini ia ulur sebelah tangannya untuk tarik turun orang itu dari kudanya. Akan tetapi apa mau, orang itu mendahului Ia, tangannya menyamber kebatok kepala!

Sedetik saja, Siau Hoo rasakan kepalanya pusing, hingga tubuhnya limbung, baiknya ia bisa pertahankan kedua kakinya. Ia jadi gusar, ia lantas maju membabat dengau goloknya.

Orang itu berani, gerakannya-pun gesit, selagi golok lewat, ia loncat turun, cepat sekali ia cekal orang punya tangan, sedang dengan tangan kanannya ia rampas golok itu, kemudian hampir berbareng, sebelah kakinya terangkat naik, maka tidak tempo lagi bocah itu rubuh terguling.

“Kurang ajar!” mendamprat Siau Hoo yang berlompat bangun.

Orang itu berdiam, melainkan kakinya yang bergerak, atas mana bocah itu rubub pula, tapi Siau Hoo bandel luar biasa, sekarang Ia gulingkan badan diri, sesudah mana ia lompat bangun pula.

“Kurang ajar!” Ia mendamprat pula. “Lepaskan golok itu! Mari kita bertempur dengan tangan kosong!”

Orang itu bersenyum, ia lempar goloknya ketanah. “Mari maju!” Ia menantang.

Siau Hoo gulung tangan bajunya benar-benar ia maju, dengan “Tiang-kun-kun-kam”, atau “Memacok dengan kepalan panjang” terus ia menyerang. Orang itu berlaku tenang, ia tunggu kepalan sampai, ia maju sambil menangkis, lalu tahu2 sebelah kakinya melayang, atas mana Siau Hoo rubuh dengan tengkurap. Tapi anak ini bergerak dengan cepat, lagi2 ia gulingkan tubuh hingga ia berada dekat goloknya, yang lalu ia samber, sesudah mana, ia babat kakinya orang itu.

Orang itu lompat mundur, akan terus loncat naik atas kudanya.

“Jangan kau mencari gebukan lagi!” kata dia sambil bersenyum. “Jikalau ka tidak puas, kau boleh datang kerumahku, disana kita nanti piebu pula, dengan golok atau pedang! Disini ada terlalu banyak orang, aku kuatir nanti keliru melukai mereka!...”

“Siapa takut padamu!“ Siau Hoo tepuk dadanya. “Dimana kau tinggal? Aku nanti ikut padamu!“

Terus Ia lari pada kudanya.

Orang dengan pakaian mewah itu sudah putar kudanya, dilarikan kearah Tirnnr, dua pengiringnya, yang sedari tadi diam saja lantas ikut dia, hanya sambil menoleh dan menggape, mereka ini kata, “Anak kecil, hayo ikut! …”

Siau Hoo segera berada di atas kudanya, baru ia hendak gerakkan cambuknya, tiba-tiba seorang tahan Ia. Ketika ia menoleh, ia lihat Yo Sian Tay.

“Mau apa kau cegah aku?“ tanya dia dengan tidak sabaran. “Aku tidak bisa diperhina! Dia membuat aku malu di muka umum, aku mesti pergi ke rumahnya untuk adu jiwa!“

“Sabar dahulu,” kata Sian Tay seraya goyang tangan. “Mari turun dahulu! Mari kita pulang untuk bicara…”

“Kalau kau hendak bicara, disini saja!” Siau Hoo bilang. Sian Tay kedipkan mata.

“Mari pulang dahulu, ada urusan penting,” ia kata. “Tidak!“ Siau Hoo menggeleng kepala. “Kau minggir,

aku hendak susul orang itu!”

Ia geraki cambuknya, ia  sabet kudanya. Sian Tay membandel, ia tahan kudanya Siau Hoo.

“Kau masih hendak susul dia itu?” kata dia. “Kau tahu siapa orang itu yang sudah hajar kau? Dia adaah Long- tiong-hiap Cie Toaya!“

Siau Hoo terperanjat, hingga Ia ternganga. Ia mengawasi ke arah Timur, ia lihat ketiga penunggang kuda sudah pergi jauh, ia jadi seperti kehilangan semangat kegagahannya, sampal ia sukar angkat cambuknya.

“Mari turun,” Sian Tay berkata pula. “Apa juga, kita boleh bicarakan di rumah. Kalau kau tetap susul Cie Toaya, belum sampai di Teng-jie-pou, ditengah jalan Cie Toaya bakal membuat kau rubuh tak berdaya!“

Siau Hoo masih berdiam, dengan ayal-ayalan, ia turun dari kudanya.

Ketika itu, ramai orang tertawa, malah antaranya ada yang kata: “Lihat bocah itu, dia kena dibuat kuncup oleh Cie Toaya!“ Dan yang lain lagi sebaliknya bilang: “Biar dia susul Cie Toaya, biar dia ketemu pakunya!“

Sementara itu, si lawan yang berpakaian hijau awasi Siau Hoo dengan tertawanya menyindir, di tangannya ia masih cekal sepasang belatinya.

“Eh, bocah, apa kau masih berani tempur aku?” dia menantang. “Apa benar kau ada punya kepandaian?”

Siau Hoo kepal kepalannya dengan keras, ia mendongkol sekali. “Siapa sudi layani kau, cucu kura-kura?“ ia membentak.

Orang itu gusar, ia maju hendak menyerang, akan teapi Yo Sian Tay malang di tengah.

Orang itu lalu bersenyum mengejek, lalu ia kata: “Eh, bocah, kalau kau ada mempunyai kepandaian, datang sebentar ke Teng-jie-pou! Aku ini tinggal di rumahnya Cie Toaya! Kita nanti bertempur pula di sana! Kita tak usah ganggu Cie Toaya! Buat aku, asal aku ada mempunyai senjata yang panjang, aku nanti membuat kau tidak berdaya disana!“

Sian Tay seperti kenal orang itu, ia mendorong, ia memisahkan, sampai orang itu suka ngeloyor pergi, kemudian sambil bujuki si bocah, ia bikin Siau Hoo tuntun kudanya akan kembali ke Hok Lip Piauw Tiam.

Ciauw Eng, keponakannya Tek Cun, tadi-pun saksikan pertempuran di tengah jalan itu, maka itu, melihat pulangnya Siau Hoo, ia mengawasi dengan senyum ejekannya, ia melirik terus. Nyata ia ada sangat puas.

Siau Hoo tidak perdulikan sikap orang, ia masuk terus kekamar ciangkui, setelah lempar goloknya, ia jatuhkan diri di kursi tanpa perdulikan kempolannya yang cakit bekas jatuh berulang-ulang. Ia kerutkan dahi, ia diam saja.

“Saudara, kau terlalu sembrono,” Sian Tay berkata. “Seharusnya kau tidak dapatkan penghinaan ini. Orang yang kau pertama hajar adalah Hoa Thayswee Chio Seng, sebawahannya Long-tiong-hiap Cie Kie, kepandaiannya memang masih sangat terbatas. Ketika Long Tiong Hiap datang bersama dua orangnya, sayang kau tidak bisa lihat sikapnya. Pun kau seharusnya tanya dulu she dan namanya. Sekarang sulit  untuk kau jadi piauwsu, bahkan untuk tinggal disini kau pasti tidak bisa lagi …” Sian Tay bicara separuh berbisik, tapi mendengar itu, Siau Hoo lompat bangun.

“Sudah, diam!“ Ia membentak. “Kalau kau bicara terus, aku nanti bacok padamu!”

Tapi Ciauw Eng, yang berada di samping, tertawa dengan tawar.

“Kang Siauya, percuma kau bertingkah disini!“ katanya dengan ejekannya, “Kalau kau gagah, pergilah cari Cie Toaya! Dia tinggal di Selatan sana, di Teng-jie-pou!“

Siau Hoo berjingkrak.

“Baik, kau lihat saja!“ berseru ia. Ia jemput goloknya, ia lari keluar.

Yo Sian Tay memburu tetapi ketinggalan, Siau Hoo sudah tuntun kudanya, ketika Ia sampai  dipintu pekarangan, bocah itu sudah kabur dengan kudanya.

“Celaka!“ piauwsu ini membanting kaki. Dia tentu pergi untuk dapat luka parah, pasti Cie Toaya bakal kirim ia pulang dengan digotong! Itulah akan mendatangkan malu untuk kita ...”

Siau Hoo terus larikan ludanya, orang banyak ada menyingkir, tapi beberapa orang yang nganggur  telah berlari mengikuti. “Mari kita lihat! Dia hendak tempur Long Tiong Hiap!“ demikian mereka kata.

Siau Hoo keluar dari Tongkwan, ia kabur di jalanan ke Selatan, sering-sering ia cambuki kudanya, karena ini, baru tiga lie Ia sudah membuat ketinggalan jauh itu beberapa orang ikuti padanya. Baru sekarang Ia tahan kudanya.

“Long Tiong hiap benar gagah,” demiklan pikirnya. “Dengan gampang saja tadi ia membuat aku rubuh berulang-ulang. Mungkin dia ada lebih pandai daripada Pauw Kun Lun, pantaslah ia jadi guruku.”

Memikir begini, ia lantas larikan kudanya. Melalui tiga  lie ia sampai disebuah dusun kecil dimana ada seratus lebih rumah, sebuah jalan besarnya ada mempunyai toko. Rumah makan dan warung2 kecil. Ketika Ia  sampai di depan rumah makan ia lihat beberapa orang berdiri di situ, diantaranya ada Hoa-thaywee Chio Seng. Tatkala mereka lihat bocah kita, mereka maju menghampiri. Mereka semua memegang golok dan toya.

“Oh, bocah, kau berani?“ kata mereka yang jumlahnya berenam. “Mari turun dari kudamu, kita bertempur dahulu!”

Siau Hoo tidak ambil perduli, ia keprak kudanya untuk lewati mereka itu, lantas ia kabur bersama kudanya ke arah Selatan.

Enam orang itu minggir, dan mencaci.

Siau Hoo lari terus, menoleh-pun tidak. Setelah lewati beberapa kampung, ia lihat sungai Kee Leng. Ya tahan kudanya di tepi kali. Itu bukannya pelabuhan, karena disitu tidak ada seorang juga, cuma ada sebaris pohon yang-liu yang daunnya hijau, yang memberi pemandangan menarik hati.

Siau Hoo tambat kudanya disebuah pohon, ia duduk di atas rumput di tepi kali, matanya mengawai ketengah sungai dimana, jauh sekali, ia lihat beberapa buah perahu,

Ia memikir haaimana harus bertindak, untuk angkat Cie Kie jadi gurunya. Tadi ia tidak layani Chio Seng semua, karena ia kuatir kalau ia  hajar mereka, ia  akan jadi bermusuhan dengan Long Tiong Hiap. Ia antap cahaya matahari menyerang Ia. Malah Ia pikir untuk tidur dahulu sebentar sehabis bersantap tengah hari, baru ia berpikir pula. Justru itu tiba2 ia rasakansamberan batu pada pinggangnya bagian belakang hingga ia kaget dan merasakan sakit.

“Kurang ajar!” ia mendamprat seraya menoleh ke belakang, juga kekiri dan kekanan, karena ia tidak lihat ada orang. Tengah keheranan tiba2 ia lihat satu kuda hitam lari ke arah Ia, kuda itu berada di sebelah Utara. Untuk keheranannya, juga kegirangannya, ia kenali si penunggang kuda adalala Cie Kie. Segera ia berbangkit, ia lari kepada kudanya, setelah lepaskan tambatannya, ia loncat naik ke atas kudanya buat terus diberi lari, akan papaki jago Long- tiong itu.

Long Tiong Hiap sebaliknya sudah lantas tahan kudanya. Selagi orang mendekati, mendadak ia  hunus pedangnya. Tapi Ia tersenyum ketika Ia awasi si bocah yang ia tegur.

“Eh, anak kecil, apa benar kau hendak cari aku untuk piebu? Kau hendak bertempur di atas kuda atau dengan jalan kaki? Hayo lekas hunus golokmu!”

Siau Hoo geleng2 kepalanya.

“Aku tidak mau piebu denganmu,” jawab Ia. “Tadi aku tidak tahu kau sebenarnya ada jauh terlebih pandai dari pada aku …”

Long Tiong Hiap tertawa.

“Dan apa perlunya sekarang kau bawa-bawa golok?“ “Aku hendak angkat kau jadi gnruku, untuk minta kau

berikan pelajaran padaku,” jawab Siau Hoo, dengan langsung.

Mendengar begitu jago Long-tiong itu tertawa gelak2. “Benar lucu!“ berkata Ia. “Dari siapa kau dengar aku pernah terima murid? Apa pula anak bengal semacam kau ini? Sekali-pun kau carikan aku sejumlah uang yang terlebih banyak, tidak dapat aku terima kau!“

Siau Hoo hendak bicara pula tapi Cie Kie mendahului ulapkan tangannya.

“Sudah, kau jangan omong lebih jauh!“ jago itu memotong. “Walau bagaimana, aku tidak suka jadi gurumu! Aku datang kemari-pun karena aku dengar kau berniat piebu dengan aku serta minta pulang kuda! Jikalau kau tidak berani piebu, nak, pergilah kau dengan urusanmu sendiri! Aku hendak pergi!“

Cie Kie balikkan kudanya ke Utara dan pergi. Siau Hoo tidak mau mengerti, ia menyusul.

Long Tiong Hiap juga larikan keras  kudanya. Ketika kemudian Ia menoleh ke belakang, ia tertawa, ia goyang- goyang tangannya.

“Kau jangan ikuti aku!“ dia bilang. “Pergi kau cari Kim- kah-sin Ciauw Tek Cun dan angkat dia sebagai gurumu.”

Siau Hoo terus mengikuti.

“Walau bagaimana, kau mesti terima aku jadi murid!“ katanya secara memaksa dengan permohonannya.  “Aku ada mempunyai uang, dan itu tidak usah kau pelihara aku. Atau berapa banyak juga kau hendak minta, kau boleh sebutkan itu. Aku datang ke Sucoan Utara ini memang untuk cari kau, sebab aku dengar dari pembicaraannya Liong Cie Teng bahwa kau ada hoohan satu-satunya untuk Sucoan Utara!“

Mendengar itu, Cie Kie segera tahan kudanya, air mukanya-pun lantas berubah. Ia angkat pedangnya. “Apa? Apakah persaudaraan Liong yang titahkan kau datang kemari?” dia tanya dengan bengis, tanda dari kemurkaannya.

Siau Hoo-pun tahan kudanya, ia geleng-geleng kepala. “Bukan, aku justeru ada musuh mereka!“ ia jawab

dengan cepat. “Aku telah lukai persaudaraan itu, setelah itu aku kabur! Tempo di Ban-goan mereka kepung aku di rumah makan, aku loncat dari loteng, aku rampas kuda dan menyingkir. Kuda hitam ini, yang sekarang kau punyakan, ada kudanya Liong Cie Kie!”

Long Tiong Hiap tertawa mengejek.

“Walau-pun kepandaian dan persaudaraan Liong tidak tinggi, tidak nanti mereka beri dirinya dilukai oleh bocah semacam kau, dan kudanya kena dirampas olehmu!” kata Ia. “Jangan kau dustakan aku dengan segala obrolanmu ini! Kau kenal mereka itu, ini ada alasan untuknya akan semakin tidak bisa terima kau sebagai murid! Nah, pergilah kau!“

Cie Kie masukkan pedangnya kedalam serangka dan beri kudanya jalan.

Sekali-pun orang telah suruh dia pergi, Siau Hoo tidak meladeni, bahkan ia tarik kudanya diberi jalan buat mengikuti, terus sampai mendekati kampung.

“Benar aku kenal mereka tetapi mereka adalah musuh- musuhku!“ ia kata pula sembari jalan terus. “Ayahku telah dibunuh mereka, maka itu mereka adalah musuhku. Aku cari kau karena kepandaianmu lebih tinggi daripada kepandaian mereka, aku ingin dapat wariskan kepandaianmu supaya aku bisa satroni mereka di Cie-yang, untuk binasakan mereka, guna balas sakit hati ayahku!“ Setelah kata begitu, Siau Hoo menangis dengan  tak dapat dicegah lagi.

Cie Kie tahan kudanya dan berpaling, ia melengak.

“Apa benar kau niat belajar silat kepadaku?” ia tegaskan kemudian.

Siau Hoo cegah turunnya air matanya.

“Dengan sungguh,” ia kata sambil manggut. “Aku berani sumpah, apabila aku tidak sungguh-sungguh biarlah aku ditimpa geledek!”

Long Tiong Hiap tertawa, tetapi sekejap saja.

“Untuk jadi muridku, kau mesti lebih dahulu lakukan tiga hal!“ ia kata.

“Seratus rupa sekali-pun aku sanggup kerjakan!” Siau Hoo jawab:

Long Tiong Hiap bersenyum.

“Pertama aku tidak bisa terima murid dengan tangan kosong, sedikitnya dia mesti sudah mengerti sedikit ilmu silat,” katanya.

“Ilmu silat aku sudah mengerti juga,” Siau Hoo menyahut dengan cepat. “Aku telah belajar silat satu tahun lebih, aku bisa gunai golok mau-pun bertangan kosong. Malah aku bisa juga loncat naik ke atas rumah!“

“Yang kedua,” kata pula Cie Kie, “siapa jadi muridku, dia adalah orang suruh2anku, tidak perduli pekerjaan bagaimana sukar, dia mesti bisa lakukan. Tapi aku lihat kau berpakaian mewah, kau ada mempunyai uang dan kuda, kau mirip dengan satu siauya …”

Siau Hoo segera menggeleng kepala. “Sebaliknya aku … aku ada anak melarat yang tidak mempunyai ayah dan ibu,” Ia beri tahu. “Aku pernah mengangon babi dan kuda! Asal kau suka ajarkan aku silat, pekerjaan berat bagaimana juga aku suka terima. Apa itu perjanjian yang ketiga?”

“Syarat yang ketiga?“ kata Long Tiong-hiap sambil tersenyum dingin. “Hm! Aku kuatir kau tak mampu lakukan! Aku ingin terima  murid yang bertenaga besar, yang kuat angkat barang berat!“

Kang Siau Hoo lantas hunjukkan lengannya.

“Aku ada mempunyai tenaga,” Ia  bilang, “ba rang beratnya tujuh atau delapan puluh kati, pasti aku kuat angkat!”

“Bicara saja tak ada gunanya, aku ingin bukti!“ Cie Kie kata.

“Silahkan coba!” Siau Hoo menantang. “Kecuali mesti angkat gunung, aku tidak sanggup!“

“Baik, mari turut aku!” kata Long Tiong Hiap.

Siau Hoo jadi sangat girang, ia lantas ikuti jago itu akan terus memasuki Cie ke chung yang lebar dan besar.

Ada belasan orang di muka rumah besar, antaranya terdapat Hoa Thayswee mereka heran melihat  toaya mereka datang bersama2 si bocah garang, semua mengawasi dengan ternganga. Mereka percaya dua orang itu hendak adu kepandaian.

Cie Kie jalan terus kesebelah Utara dimana ada sebuah tanah lapang besar, di situ-pun ada para2 dengan berbagai senjata. Disudut Timur-selatan ada sebuab pintu kecil, yang rupanya bisa tembus keperdalaman. Disini keduanya turun dari kuda mereka yang lantas disambut oleh bujang. Hoa-Thayswee semua pada berdiri jauh dipingiran, untuk menyaksikan.

“Mari!” kata Long Tiong Hiap sambil bersenyum seraya tangannya menggape.

Siau Hoo mengikuti, keluar tembok sebelah Selatan. Disitu ada terletak tiga batang besi, panjangnya semua tujuh kaki lebih, besarnya bertingkat, yang paling besar ada sebesar mangkok hingga sukar untuk dicekal, besinya sudah karatan dan separuhnya terpendam dalam tanah. Besi yang paling kecil, beratnya barangkali ada seratus kati. Maka, melihat itu Siau Hoo terkejut.

“Apakah, kau hendak uji tenagaku dengan besi ini?” tanya ia. “Yang paling besar itu, pasti aku tidak sanggup angkat.”

“Sabar.” Long Tiong Hiap bilang, “Kau dengar dahulu ceritaku perihal riwayatnya tiga potong besi ini.”

Siau Hoo diam untuk mendengarkan.

“Pada beberapa tahun yang lalu, padaku ada datang satu pendeta asal Kanglam, namanya Tiat Tiang Ceng,” Cie Kie mulai. “Dia ada bawa besi yang paling kecil. Ia datang untuk minta derma seribu tail perak tapi besinya itu Ia letaki melintang di depan pintu. Ia kata, kalau ia tak diberi uang, besinya ini ia tidak mau angkat. Aku tidak hiraukan kata- kata itu, aku ulur tanganku dan angkat besi itu ….”

Cie Kie gulung tangan bajunya, ia singsatkan pakaiannya, lalu ia bengkoki tubuh akan angkat besi yang paling kecil itu, yang ia  terus putar seperti toya  saja, sesudah mana Ia gabruki pula besi itu.  Demikian ia mencontohkan.

Siau Hoo kagum. “Tubuhnya tidak kekar tetapi tenaganya sungguh besar,” pikir ia.

Cie Kie membongkok pula akan angkat besi yang kedua, yang ia angkat tinggi-tinggi, setelah itu, ia letakkan kembali.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar