Burung Hong Menggetarkan Kunlun (Ho Keng Koen Loen) Jilid 25

Jilid 25

SIAU HOO bisa lihat tegas sekarang, luka-luka mereka benar bekas hajarannya toya besi, bekas-bekas toya mana tertampak pada batu dan tanah bekas hajarannya. Menampak itu semua, pemuda ini jadi mendongkol sekali. Nyatalah Tiat Tiang Ceng ada ganas sekali.

Keluar dari gua, Siau Hoo cari tempat dimana ia bisa menggali lobang, untuk pendam ketiga mayat, apa mau, disitu tidak ada tanah yang bisa digali. Sebaliknya, di belakangnya satu batu besar, ia dapatkan ia punya pedang, yang ia telah tinggalkan bekas disampok terpental oleh toyanya si pendeta. Ia jumput itu, ia jalan terus, ia mencari terus. Ia ingin bisa ketemukan pula Pau Kun Lun.

Siau Hoo sampai di satu tempat tinggi dari mana ia bisa memandang ke bawah, ke lembah. Kapan ia sudah melihat nyata, ia terkejut. Di situ, rebah atas sebuah batu, ada tubuhnya Tiat Tiang Ceng. Pada batu itu ada tumbuh rumput. Di samping tubuh kelihatan darah hitam. Mayatnya pendeta itu mirip dengan bangkainya seekor beruang.

Dengan cepat Siau Hoo turun ke bawah, akan mendekati mayatnya itu pendeta liehay, yang selama tiga-puluh tahun kesohor sebagai “Koay-hiap” atau “Pendekar luar biasa.” Biar bagaimana, ia tidak merasa kasihan terhadap bekas lawan yang kosen ini. Hanya, apa yang buat si pemuda terkejut, saking heran, adalah kebinasaannya si pendeta bukan karena jatuh terbanting hanya pada lehernya bagian atas, dimana ada darah berkumpul, ada bekas bacokan senjata tajam, pedang atau golok.

“Sungguh heran!“ anak muda ini berseru sendirinya. “Ketika tadi malam aku tempur dia, aku tidak bersenjatakan pedang, dia-pun rubuh karena tendanganku. Tempo tubuhnya jatuh ke bawah, aku dengar jeritan hebat. Apakah bisa jadi, pada itu waktu, di bawah ada seseorang yang kebetulan lagi pegang senjata tajam, tatkala dia dapati ada orang jatuh, dia terus saja menyerang dan bunuh dia ini?“

Saking heran, Siau Hoo mencari ubak-ubakan di sekitar situ. Ia telah dapatkan orang punya toya besi yang berat, kasar dan berat, ia dupak itu kesamping. Ia  mencari terus. Ia telah pergi jauh dari situ. Tiba-tiba di atas rumput, ia dapati suatu benda yang buat ia heran dan hatinya memukul. Itulah kasut sulam, yang tadi  malam  lenyap, yang ia cari dengan sia-sia. Karena yang kasut itu, kejadian hebat sampai ambil tempat di rumah gua.

Siau Hoo berdiri bengong, pikirannya ruwet. Ia  mendongkol, ia gusar berbareng masgul, ia penasaan. Ia tadinya tidak niat pungut kasut itu, tetapi selang beberapa saat, ia toh turunkan buntelannya, ia pungut kasut itu dan masukkan kedalamnya …

Akhirnya, dengan tinggalkan mayatnya Tiat Tiang Ceng, yang membuat ia menduga dengan tak dapatkan pemecahannya, ia jalan, akan kembali ke tempat kuda ditambat. Ia cantel bungkusannya diatas kuda, pedangnya juga dimasukkan kedalam bungkusan. kemudian ia loloskan tambatan kuda. Benar selagi berbuat demikian, kembali ia tampak hal yang mengejutkan hatinya. Kuda yang satunya, yang lenyap, masih ada ujung tambangnya, yang terikat pada batang pohon. Teranglah tambang itu bekas dibabat kutung dengan pedang atau golok. Jadinya kuda itu telah dibawa lari.

“Benar-benar, tadi malam disini ada terdapat satu orang lain!“ akhirnya Siau Hoo pikir. Ia mengarti dan merasa pasti. “Orang itu sembunyi disini, dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia datang kemari, dia ambil kuda dengan apa dia angkat kaki. Dia pergi secara diam-diam, apakah itu tidak aneh? Mestinya dia ada seorang yang liehay ilmu silatnya. Melihat dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia mesti ada seorang gagah mulia … Kenapa dia tonton aku tempur Tiat Tiang Ceng? Kenapa dia tidak bantu aku? Ini ada bukti yang dia tidak punya perkenalan dengan aku. Siapa dia? Dia tentu ada seorang aneh! Mungkin dia kasihan melihat Pau Kun Lun yang sudah tua, dia menolonginya ... Biar bagaimana, teranglah dia telah memandang tak mata padaku! ... “

Akhirnya, Siau Hoo jadi tidak puas.

Dengan naik kudanya, dengan mendongkol, Siau Hoo menuju ke Timur. Ia punya kuda adalah kuda bulu hitam, yang ia dapatkan dari Lau-kee-chung di Giehong. Ia punya kuda putih, bersama kepalanya Liong Cie Khie, entah kemana. Kuda itu bukan  kuda jempolan, jalanan-pun sangat jelek, dari itu, binatang itu tidak mampu lari keras. Dua kali kuda itu terpeleset dan ngusruk, dengan banyak susah, barulah jalanan gunung itu dapat dilalui.

Matahari sudah naik tinggi sekarang. Disebelah depan ada tanah tegalan yang luas, ada sawah gandum. Sebuah jalanan kecil, melingkar-lingkar, kelihatannya seperti ular berlugat-legot. Cuma ada beberapa orang kelihatan berjalan disitu. Karena kecilnya jalanan, kuda sukar diberi kabur.

Selagi ia jalankan kudanya, Siau Hoo dengar bunyinya genta, tidak terlalu nyaring. Ia menduga, tidak terpisah jauh dari situ, mesti ada rumah suci. Rupanya, pada itu waktu, penghuni-penghuni kuil sedang sarapan pagi.

Tiba-tiba, pemuda ini ingat suatu apa!

Bukannya mustahil kalau Tiat Tiang Ceng ada punya tempat mondok. Apa itu bukannya kuil dari mana suara genta itu datang? Apakah tak bisa menjadi, setelah tolong Pau Cin Hui, jago Kun Lun itu lantas dititipkan didalam kuil itu?

Maka ia terus pasang kupingnya. Sayang, karena suara ada sangat samar, sukar dicari tahu dari jurusan mana suara itu datang. Maka, dengan terpaksa, ia jalankan terus kudanya, jalan berputar-putar sampai lebih dari sepuluh lie. Barulah itu waktu, di depan ia, ia tampak segundukan rumah, seperti pasar atau dusun.

“Baiklah aku cari tempat singgah dulu, untuk dahar dan piara kuda,” Siau Hoo pikir kemudian. Maka ia larikan kudanya menuju kekampung atau dusun itu. Ia dapatkan suatu tempat yang ramai, ada banyak orang mundar-mandir dengan memikul keranjang. Ia menghampiri satu rumah makan. Setelah loncat turun dari kudanya, ia tambat kuda itu diuar pintu. Kapan ia lihat tuan rumah  lagi bekerja didapur. Ada beberapa orang lagi menantikan.

“Kasikan aku satu mangkok mie!” Siau Hoo kata pada tukang warung. Ia terus ambil tempat duduk secara sembarangan saja. Lantas ada orang tanya ia, ia datang dari mana.

“Dari kota Tin-pa,” ia jawab.

Tukang warung telah siapkan mie untuk beberapa tamu yang datang lebih dulu, menurut runtunannya, lalu pada Siau Hoo ia minta supaya tamu ini menunggu sebentaran. “Tidak apa, aku boleh menunggu,” sahut Siau Hoo. “Aku hanya ingin tanya disini dimana ada warung rumput?”

“Warung rumput tidak ada,” jawab tuan rumah, ”hanya disebelah utara sana, duduknya madap ke timur ada sebuah bengkel kereta dimana orang biasa mampir untuk piara kuda.”

“Baik,” kata Siau Hoo sambil manggut. “Aku nanti pergi kesana, untuk piara kudaku, sebentar aku nanti datang pula kemari!”

Ia bertindak keluar, ia lepaskan tambatan kudanya yang ia terus tutun keutara dimana ia dapati bengke kereta yang disebutkan. Dimana sudah ada beberapa buah kereta, dibawah gubuk ada belasan ekor kuda dan keledai.

“Tolong piara kudaku, sebentar aku datang pula untuk ambil,” kata ia  seraya ia serahkan kudanya pada satu pegawai, kemudian ia pergi pula seraya bawa ia  punya buntalan dan pedang. Sembari jalan, ia  lihat beberapa warung dengan masing-masing mereknya, serta alamatnya. Itulah Un-sin-tin seperti katanya Ngo Kim Piu.

Ingat nama tempat itu dan Ngo Kim Piu, Siau Hoo jadi ingat sababat itu, ia lantas saja jadi masgul.

“Kim Piu ada asal berandal, ia belum bisa buang sifatnya itu,” pikir ia, “tetapi kebinasaannya tadi malam ada sangat hebat ... Sepuluh tahun kita bersahabatan, ia ada baik dan bersetia kepadaku, dan sekarang ia  binasa-pun sebagian karena urusanku ... ”

Bukan main ia punya berduka.

Siau Hoo bertindak keselatan, dengan niatan balik ke warung mie tadi, untuk dahar mie, tapi ketika ia jalan baru belasan tindak, ia lihat satu toosu atau imam sedang minta derma disatu toko, tangannya sambil membunyikan kelenengan, mulutnya sembari liamkeng dengan pelahan. Ketika ia mengawasi, ia menjadi heran. Imam itu pakai jubah gerombongan dan kondenya konde toosu, akan tetapi mukanya adalah muka perempuan, dan usianya kurang lebih empat-puluh tahun. Ia heran karena segera ia ingat keterangannya Ngo Kim Piu siapa, katanya, pada  lima- belas tahun yanh lalu, tepat didusun Un-sin-tin ini, ia sudah dibuat rubuh oleh satu lie-toosu, imam perempuan.

Tanpa merasa, Siau Hoo perhatikan imam  perempuan itu siapa, setelah diberikan uang oleh tuan rumah, lantas pergi meminta derma kelain rumah, demikian seterusnya.

Sebenar kemudian, pemuda ini sudah kewarung mie, tuan rumah lantas sediakan dia satu mangkok mie kuwah serta sumpitnya. Ia lantas aduk itu.

“Aku terlahir di Tin-pa, yang letaknya tidak jauh dari sini, tetapi datang kedusun Un-sin-tin ini, inilah ada untuk pertama kali,” katanya. “Aku Lihat dusun kau ini ada luar biasa, sampai-pun orang suci yang minta derma ada imam perempuan.”

“Eh, kau jangan omong sembarangan!” kata seorang tamu, yang dahar mie bersama-sama. “Dia itu ada too- kounio dari kelenteng Kiu Sian Koan dari bukit In Ciat Nia. Dia itu tidak biasa meminta derma secara sembarangan, dia tidak datangi apabila bukan toko besar atau rumah orang hartawan!“

“Kiu Sian Koan itu dimana letaknya?” Siau Hoo tanya. “Adanya diatas bukit barat-selatan sana,” sahut orang

tadi. “Itulah sebuah kelenteng besar dan imam perempuan itu ada dua puluh lebih.” “Apakah dikelenteng itu semua imam perempuan, tidak ada pendetanya?“ Siau Hoo tanya, setelah berdiam sebentar.

“Ah, kau ngaco!“ orang itu kata pula. “Dalam kelenteng perempuan mana bisa diterima pendeta? Jangan kata pendeta, walau-pun orang semacam kau, apabila kau pergi bersujut disana orang pasti tolak kau, kau tidak bakal dibukai pintu! Cuma keluarga pembesar, atau orang yang sujut benar-benar, bisa diterima masuk kedalam kelentengnya mereka itu!”

Pembicaraan itu menyebabkan seorang lain tanya si tukang mie, katanya: “Kau tahu tidak, selama ini dua hari, si pendeta yang bertubuh besar ada datang atau tidak?“

Siau Hoo bercekat, ia segera menoleh, ia pasang kuping.

Tuan rumah, yang ditanya, sudah lantas kerutkan alis. “Bagaimana dia tak datang?“ kata ia dengan

jawabannya. “Kemarin dahulu dia makan pada keluarga Tan, dan kemarin rupanya direstoran Hok Goan. Ini hari barang kali dia bakal datang padaku. Sungguh aku takut buat kedatangannya itu. Kesatu aku jerih buat dia punya toya, yang beratnya barang kali dua atau tiga ratus kati, dan kedua, aku ngeri buat dia punya kuat makan. Buat aku punya mie, dia pasti bisa habisi sepuluh mangkok!‘

“Apakah dia tidak membayar sehabisnya dia makan?” tanya Siau Hoo.

“Dia membayar? Hm! pendeta itu datang kemari barangkali sudah hampir satu bulan. Dia berdiam diatas In Ciat Nia, hanya entah di kuil yang mana. Kabarnya, karena dia punya kuat makan, didalam kuil, dia diberikan satu hari hanya satu kali makan. Untuk sarapan pagi, dia mesti minta amal dari mana saja dia bisa dapat. Dia-pun meminta secara paksa, kalau dia memasuki rumah, dia tidak banyak orang lagi, tahu-tahu dia letaki toyanya didepan pintu, menghalangi orang keluar masuk. Siapa berani main gila terhadapnya?“

Tuan rumah itu bicara terhadap sekalian tamunya, tetapi Siau Hoo seorang adalah yang paling ketarik hatinya.

“Pastilah tadi malam Pau Cin Hui dapat ditolong Tiat Tiang Ceng!“ ia menduga secara pasti. “Hanya entah dia sembunyikan dimana jago Kun Lun itu ... Dan orang yang bunuh Tiat Tiang Ceng mestinya ada musuhnya pendeta ini, rupanya musuh itu tadi malam sembunyi di dalam hutan didalam gunung, dia gunai tempo selagi Tiat Tiang Ceng jatuh setengah mampus, dia turun tangan membinasakan musuhnya, kemudian dia curi kudaku dan kabur. Bisa jadi pembunuh ini tidak punya sangkutan dengan Pau Cin Hui. Daerah ini ada bergunung diempat penjuru, ini-pun ada perbatasan antara Sucoan dan Samsay, bisa jadi yang disini ada sembuyi banyak orang-orang pandai. Baiklah hari ini aku geledah gunung ini, aku mesti periksa dengan terang ... ”

Oleh karena memikir begini, Siau Hoo dahar dengan cepat, belum sampai ia dahar cukup, ia sudah lepaskan sumpit dan mangkoknya. Ia membayar uang, lekas ia bertindak pergi, ketempat kudanya dipelihara, untuk ambil kudanya itu, yang sekarang telah jadi sangat segar. Sehabisnya membayar, ia naiki kudanya dan berangkat. Dari selatan ia keluar dari Un-sin-tin, ia ambil jalanan dari mana tadi ia datang. Dalam tempo pendek, ia  sampai kembali di kaki gunung. Disini ia jalan berputaran, sampai sekian lama, ia tidak dapati jalanan untuk naik keatas. Sukur ia dapat lihat beberapa rumah, maka ia larikan kudanya ke arah rumah itu. Itulah ada sebuah dusun kecil. Di depan sebuah rumah, seorang lelaki sedang menggebuk gandum. Didekat tempat itu, ditepi kali, beberapa bocah asyik angon babi. Dan Siau Hoo menghampiri beberapa bocah itu, untuk tanya apa mereka tahu jalanan untuk mendaki bukit, buat bersembahyang di Kiu Sian Koan.

Sambil menggoyang kepala, beberapa bocah itu menyahuti bahwa mereka tak tahu.

Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat pada suata pohon.

“Anak-anak, tolong lihat kudaku,” kata ia, yang terus bertindak mengmenghampiri beberapa orang tani itu.

“Numpang tanya,” kata ia pada mereka itu. “Untuk bersembahyang di kuil Kiu Sian Koan diatas gunung  In Ciat Nia ini, dari mana jalanan naiknya?“

Beberapa orang tani itu tidak lantas menyahuti, sebaliknya mereka awasi ini pemuda asing, selang beberapa saat, barulah mereka menjawab.

“Tidak tahu,” demikian mereka seraya mereka goyangi kepala.

Siau Hoo heran.

“Aku numpang tanya,” kata ia pula, seraya ia memberi hormat. “Tuan-tuan tinggal didekat gunung, apakah pernah lihat seorang tua dengan kumis-jenggot ubanan yang tubuhnya tinggi sekali serta satu pendeta bertubuh besar yang bawa-bawa toya besi.”

Beberapa orang itu mengawasi pula. “Tidak,” ada jawaban mereka.

Kemudian, seorang diantaranya, sembari tertawa, menambahkan: “Dari mana sih datangnya seorang tua dan pendeta yang bertubuh besar? Tempat kita ini ada sangat sepi, setahun gelap tidak pernah ada orang asal lain tempat yang datang kemari!”

Siau Hoo melengak, tetapi ia merasa bahwa beberapa petani itu harus disangsikan. Dengan terpaksa, ia kembali pada beberapa bocah itu, ia tanya pula mereka. Seperti juga yang pernah dipesan, walau-pun orang tanya bagaimana, beberapa bocah ini terus main ‘tidak tahu.’

Akhirnya, Siau Hoo bersenyum sindir, ia lolos tambatan kudanya, ia naiki dan pergi. Didalam hatinya, ia  kata: “Taruh kata Pau Cin Hui tidak sembunyi didalam  dusun ini, dia mesti berada di kuil Kiu Sian Koan. Biar bagaimana, mereka ini mestinya ada ketahui apa! Jikalau hari ini aku beri lolos tua-bangka itu, aku bukan lagi satu laki-laki!”

Siau Hoo tujukan kudanya kekaki gunung, dibagian yang banyak pepohonan dan keadaannya sunyi luar biasa. Disini ia turun dari kudanya, yang ia ikat pada sebuah pohon, buntalannya ia turunkan, untuk digendol dibokongnya. Dengan cekal pedangnya, ia mencari jalan naik. Tentu sekali, sekali ini ia gunai ia punya kepandaian loncat- loncatan, karena disitu tidak ada jalanan sama sekali. Dengan lekas, ia bisa sampai diatas, dipuncak  yang datar. Ia dapatkan sedikit pepohonan dan tidak ada kuil juga. Ketika ia memandang kebawah, kelembah, ia  dapatkan suatu tempat yang penuh pepohonan jie, pek, siong dan hoay, kelihatannya pepohonan itu tidak pernah dapat gangguan tukang kayu, dari itu ia mau percaya, mesti ada orang yang mempunyainya. Ia-pun percaya, pemilik hutan itu tidak akan berumah jauh dari hutan itu.

Sekarang Siau Hoo mencari jalan turun. Disitu ada banyak macam burung, semuanya kaget dan terbang serabutan, suaranya berisik. Sesudah bertindak kira-kira limapuluh tindak, Siau Hoo dapati suatu jalanan yang tidak rata. berundakan seperti tangga. Diam-diam, ia menjadi girang. Dengan adanya jalanan itu, ia percaya ia bakal dapat cari kuil Kiu  Sian Koan itu. Maka ia lantas berjalan dengan cepat. Ia turun lerus. Ia merandak dengan tiba-tiba tempo ia jalan belum seberapa jauh, ia lihat menggeletaknya selembar tambang ditengah jalan, tambang itu panjang dan kasar berupa seperti ular melingkar. Untuk kegirangannya ia kenali itu adalah tambang yang Kim Piu pakai ringkus Pau Cin Hui. Tambang itu diloloskan dengan dibuka bukan dibuat putus.

Selagi hatinya lega Siau Hoo sekarang maju dengan tindakan hati-hati, hingga tindakannya itu tidak perdengarkan suara apa-apa. Ia  cekal terus ia punya pedang. Sebisa-bisa, ia ambil jalan dengan separuh umpatkan diri, agar burung-burung tidak lari kaget, terbang dan cecerewotan. Ia mirip dengan satu pemburu lagi cari gua binatang alas. Kadang-kadang ia-pun mendekam.

Sesudah turun lagi empat-puluh tindak kira-kira, Siau Hoo tampak lebih banyak pohon dan rumput disebelah depan ia. Di situ-pun ada banyak macam bunga harum musim rontok dengan wananya merah dan kuning. Sedangkan ia jalan terus, tiba-tiba ia dengar suara, yang disebabkan dengan bergeraknya dengan tiba-tiba dari pohon dan semak-semak, burung-burung pun berterbangan dengan kaget, setelah itu tertampak larinya seekor menjangan bwee- hoa-lok yang bertanduk besar. Binatang itu lari kearah ia, dari itu, Siau Hoo lantas loncat minggir, untuk mengasi lewat, membiarkan dia lari naik.

Segera Siau Hoo memandang kebawah. Di tempat jauhnya sepanahan, ia lihat dua ekor menjangan lainnya, berada diatas rumput dibawahnya sebuah pohon  kayu besar. Binatang itu berada bersama satu orang. Kedua menjangan itu tangal-tongol, seperti mereka sedang cari kawannya yang kabur barusan. Yang tarik perhatiannya pemuda kita adalah itu orang yang berada dengan kedua menjangan itu. Dia adalah seorang dengan rambut ubanan dan berkumis jenggot, matanya jelilatan keempat penjuru, romannya ketakutan, melebihkan kaget dan ketakutannya menjangan tadi.

Dengan tiba-tiba, Siau Hoo tertawa mengejek.

“Hm, Pau Cin Hui, kau hendak sembunyi kemana?“ begitu ia kata dengan lagu suara sangat puas. “Disini kau berkumpul dengan segala menjangan! Apakah kau kira aku tidak sanggup cari padamu?”

Habis berkata begitu, tak bersangsi lagi, Siau Hoo enjot tubuhnya, untuk loncat turun, gerakannya bagaikan seekor garuda terbang menyamber. Dilain pihak, dalam takut yang hebat, Pau Cin Hui, si orang tua itu putar tubuhnya, untuk lari.

Kedua menjangan yang kaget, turut kabur juga.

Siau Hoo mengejar terus, akan tetapi karena terpisahnya mereka berdua ada cukup jauh, ia  tidak bisa segera menyandak. Tidak jauh dari situ, ada sebuah tikungan. Cin Hui lari ketikungan itu. Ketika sebentar kemudian si anak muda sampai di tikungan itu, si orang tua telah lenyap tanpa bekas-bekasnya.

“Kurang ajar!“ Siau Hoo berseru, saking murka. “Binatang, kau hendak lari kemana?“

Mengikuti jalanan, pemuda ini menguber terlebih jauh. Ia berlompatan, untuk bisa menyusul. Ia hentikan tindakannya, ketika di depan ia, ia tampak sebuah tembok. Ia berada disebelah atas, tembok itu disebelah bawah, maka itu ia memandang ke bawah. Tembok ada seumpama dibawahan kakinya. Itulah sebuah rumah suci. Ia lantas saja mengawasi.

Berhala itu tidak kecil, semuanya terdiri dari tiga undakan, didirikannya dilamping gunung, turun tangga menurut tinggi-rendahnya tanah pegunungan. Didalam pekarangan, pepohonan siong dan pek hidup subur. Asap kelihatan mengepul keluar dari kuil itu, yang temboknya ada merah bersih.

Disamping tembok sekarang tetah berkumpul ketiga menjangan tadi, yang dua sambil mendekam ditanah, yang besar, mengawasi ke arah pemuda itu, yang dimatanya rupanya ada seorang asing.

Siau Hoo ketarik dengan tempat suci itu, yang suci tetapi agung romannya, maka itu, ia anggap tidak boleh berlaku semberono. Dilain pihak, ia percaya Cin Hui tidak bakal lolos dari tangannya. Maka lantas ia bertindak turun terus, akan hampirkan tembok kuil, yang tertutup rapat. Di depan pintu ia lihat merek “Kiu Sian Koan” dengan  tambahan dua huruf yang menyatakan kuil itu didirikan menurut titahnya pemerintah.

“Pastilah ini kulinya si imam perempuan”, Siau Hoo menduga-duga, “Hanya aneh, kenapa Pau Cin Hui diijinkan berdiam disini?“

Lantas pemuda itu mengetok gelangan pintu, dengan pelahan, sampai beberapa kali. Ia  menantikan  sampai sekian lama. Ia tidak peroleh jawaban, tidak ada yang menyahuti, tidak ada yang membukakan pintu. Hal ini membuat ia jadi mendongkol. Maka ia gedor pintu itu, hingga pintu menerbitkan suara nyaring, suaranya sangat berisik. Dengan sebelah tangan menggedor, tangannya yang lain, siap dengan pedangnya. Ia juga memanggil-manggil dengan kaokannya berulang-ulang. Lewat pula sekian lama, tetap tidak ada yang buka pintu. Akhirnya Siau Hoo jadi gusar.

“Pastilah imam-imam perempuan disini bukannya imam

baik-baik!“ kata ia dengan sengit. Lenyap ia punya rasa menghormat. “Buat apa aku berlaku sungkan lagi terhadap mereka?”

Lantas ia enjot tubuhnya, akan loncat keatas  tembok dimana ia berdiri seraya mengawasi kedalam.

Bagian dalam dari kuil ada sunyi sekali, seorang-pun tidak nampak. Hanya di pekarangan dalam, dimana ada sebuah pintu, lantas kelihatan berkelebatnya satu bayangan manusia, yang menuju keluar, kepintu. Dia adalah seorang perempuan biasa, bukannya too-kou atau  imam perempuan, dan dia pakai baju hijau celana merah, rambutnya dikepang panjang. Dia jalan sambil tunduk, sebelah tangannya memegang sapu tangan, yang dipakai menutupi mukanya sebab dia sedang menangis.

Siau Hoo terperanjat, tanpa berani mengawasi, ia loncat turun kembali, terus ia berdiri disamping pintu. Ia heran, ia berpikir keras. Kenapa didalam kuil itu-pun ada orang perempuan biasa?

Pada pintu segera terdengar suara beberapa kali, itu disusul dengan dipentangnya sebelah daun pintu, atas mana si orang perempuan lari keluar. Sekarang dia tidak lagi tutupi mukanya, hingga kelihatan air matanya meleleh pada mukanya yang elok, hanya muka itu nampaknya kurus.

Lagi sekali Siau Hoo terperanjat, hingga ia seperti lagi mimpi. Inilah diluar ia punya dugaan. Sebab orang perempuan itu adalah Ah Loan yang lenyap dibukit Cin Nia, yang ia pernah cari dengan sia-sia saja. Ia mengawasi. “Ah Loan! ... ” akhirnya ia menegor. “Kenapa kau berada disini?“

Nona itu agaknya sangat bersedih, tetapi atas itu pertanyaan, ia angkat kepalanya, ia  mengawasi dengan matanya yang dibuka lebar.

“Toh kau yang ajak aku kemari?” ia kata “Kau telah punyakan kepandaian, kau pasti ingin mencari balas! Tapi, mengapa kau mesti ingin bunuh yaya-ku? Dia adalah seorang yang usianya sudah terlalu lanjut! ... Baik kau bunuh aku saja!”

Habis berkata begitu, dengan tiba-tiba nona ini lari pada si anak muda, tangannya menyamber orang punya lengan yang memegang pedang, yang ia cekal dengan keras. Nyata ia ada bergemetaran. Air matanya juga lantas mengucur pula dengan deras.

Siau Hoo menjadi berduka dengan tiba-tiba sampai lengannya hampir tidak bertenaga. Ia menghela napas, ia goyang-goyang tangannya.

“Ah Loan, sabar,” berkata ia. “Kita telah dapat bertemu ini hari, baik kau tenangkan diri, kau dengarkan perkataanku. Kita mesti bicara dengan sabar, karena pembicaraan ada terlalu panjang ... “

Tapi Ah Loan, yang menangis terus masih menyekali dengan keras.

“Aku tahu, aku tahu semua ... “ kata ia suaranya sangat bernapsu. “Itulah ada sakit hati besar sejak sepuluh tahun yang lalu! Tapi cita-citamu tak lebih tak kurang ada untuk membinasakan satu orang she Pau, itulah perkara gampang. Ini hari aku akan biarkan kau bunuh seorang she Pau, satu orang saja, bukannya antero keluarga Pau, karena tak dapat seluruh keluarga dipakai menebus jiwanya satu ayahmu ... ” Selagi berkata demikian, dengan tiba-tiba Ah Loan rampas orang punya pedang. Ia berhasil.

Siau Hoo kaget tidak kepalang. Ia ulur tangan kirinya, akan cekal orang punya bahu.

Dengan kedua tangannya, Ah Loan pegang keras orang punya pedang itu, ia tidak mau melepaskannya.

“Ah Loan, kau hendak buat apa?” tanya Siau Ho. Ah Loan tidak nenyahuti, ia menangis.

“Biar bagaimana, aku telah lakukan kewajibanku terhadap kau, terhadap yaya, terhadap Kong … “ kata ia kemudian. Tapi, sebelum ia  ucapkan “Kiat,“ dengan sekonyong-konyong, ia geraki tubuhnya, untuk di tubruki pada pedang.

Siau Hoo kaget, tapi ia cepat rampas pedang  itu. Ia berhasil, ia angat pedang ketinggi, akan tetapi berbareng dengan itu, tubuhnya si nona rubuh. Kembali ia jadi kaget, ia lempar pedangnya, ia tubruk si nona, tubuh siapa ia peluk dan angkat.

Mukanya Ah Loan lantas jadi pucat bagaikan kertas, kedua matanya ditutup, dari mulutnya keluar rintihan. Tajamnya pedang telah mengenai ia punya dada, dari mana darah mengalir, membuat merah ia punya baju hijau dan celana merah ...

Siau Hoo banting-banting kaki, sampai ia tak dapat kata suatu apa.

“Kau puas, bukan?“ kata Ah Loan kemudian, suaranya separuh merintih. “Jikalau kau belum puas, nah, tikamlah aku lagi satu kali! Jangan kau buat aku tersiksa ... Oh, Siau Hoo, orang dengan hati kejam … Sepuluh tahun aku telah nantikan kau … Benar aku telah menikah dengan Kie Kong Kiat, tetapi dengan dia itu, aku tak menyinta ... Pada sepuluh tahun yang lalu, waktu kita masih kecil, aku telah janji bahwa aku akan menikah dengan kau … Aku. aku tak lupai janji itu ... ”

Siau Hoo banting kaki-kaki, ia sangat berduka dan bingung.

Justeru itu, daun pintu telah dibuka pula  yang sebelahnya dan disitu Cin Hui muncul. Sekarang ini, jago tua itu tak lagi ketakutan, malah mukanya ada merah, kumis jenggotnya bergerak-gerak.

“Siau Hoo, lepaskan cucuku!‘ ia membentak. “Aku bisa ijinkan kau bunuh dia, aku tidak ijinkan kau peluk padanya! Siau Hoo, lepas dia! Marilah, kita berterupur pula untuk menentukan, siapa jantan siapa betina!“

Ah Loan telah terluka dengan dadanya terus mengalirkan darah, sampai baju dan tangannya Siau Hoo turut berlepotan, ia menahan sakit hingga tubuhnya bergemetar, kepalanya pusing, matanya kabur,  akan tetapi ia masih bisa bicara, walau-pun dengan suara separuh merintih.

“Pikirlah, yaya …“ berkata ia pada engkongnya itu. “Yaya, kau terlalu kejam! Sejak aku umur sepuluh tahun, aku sudah mencintai Siau Hoo, coba kau ketahui itu, tidak nanti terjadi seperti sekarang ini! Kenapa yaya paksa aku menikah dengan Kie Kong Kiat? Siau Hoo, jangan lepaskan aku! Kau peluk aku biar keras sampai aku mati!“

Mendengar perkataan cucunya itu Pau Kun Lun gusar hingga dua baris giginya bercatrukan, matanya mendelik. Dilain pihak ia tampak air matanya Siau Hoo-pun mengembeng, ia dapatkan orang punya roman cakap dan gagah, yang setimpal benar dengan cucunya itu yang elok dan gagah juga. Bagaimana sembabat! Ia-pun lihat, Siau Hoo mirip betul dengan ayahnya, hingga dengan tiba-tiba ia insyaf, dengan bunuh Cie Seng, ia sudah berlaku kejam, ia telah buat celaka orang punya rumah tangga. Lalu dengan sendirinya, hawa amarahnya jadi reda, hilang ia punya bengis. Diakhirnya ia menghela napas panjang …

“Kau berdua ada merdeka sekarang! ... “ kata ia akhirnya, “Aku-pun tidak mau kenal kau sebagat cucuku lagi, Ah Loan! Kang Siau Hoo! Kau punya bugee  ada terlalu liehay, aku Pau Kun Lun bukannya tandinganmu, maka jikalau kau bendak bunuh aku, bunuhlah, tidak nanti aku membela diri atau balas menyerang! Hanya perlu aku beritahukan kau, meski juga dahulu ayahmu terbinasa secara sangat menyedihkan, tetapi dia harus terima kebinasaannya. Sesudah dia binasa, dari sakunya aku dapatkan beberapa tail uang perak, semua itu telah aku kembalikan kerumah kau. Memang, beberapa kali aku berniat binasakan kau guna singkirkan rumput berikut akarnya, akan tetapi saban-saban aku tak sampai hati. Aku Pau Kun Lun bukannya tak punya rasa kasihan ... Sekarang kita tidak usah panjang bicara lagi, aku hendak angkat kaki, aku serahkan Ah Loan mati atau hidup pada kau! Aku hendak cari Kie Kong Kiat guna urus dia punya perceraian!

…”

Setelah kata begitu, dengan sangat berduka, Pau Kun Lun lantas buka tindakan lebar, akan menuju turun gunung


Siau Hoo melengak, tetapi dengan tidak perdulikan jago tua itu, ia awasi Ah Loan, yang keadaannya menyedihkan. Nona ini terus merintih dia tak dapat bicara lagi, sepasang matanya mengalirkan air, matanya itu mengawasi saja si anak muda.

Segera Siau Hu pondong orang punya tubuh, buat dibawa masuk kedalam kelenteng, itulah tubuh separuh mati separuh hidup. Ia dapatkan kelenteng ada sangat sunyi seperti tidak ada penghuninya. Sekian lama mereka buat banyak berisik, toh tidak seorang juga yang muncul. Ia memanggil-manggil, ia tanya “Ada orang atau tidak didalam?” tetap kelenteng itu sunyi senyap. Karena ini ia bertindak terus masuk kedalam, sampai dipekarangan dari ruangan yang ketiga. Disitu ia tampak dua kacung too-kou sedang pilih biji cemara.

Dua kacung itu terkejut kapan ia lihat ada orang masuk dengan bawa seorang perempuan yang mandi darah, orang itu bertubuh tinggi dan besar dan berlepotan darah juga. Mereka menjerit, lantas mereka lari kearah pendopo.

Hampir di itu waktu, dari dalam pendopo muncul satu imam perempuan yang usianya sudah lanjut. Ia-pun agak terperanjat melihat kedua tamu tidak diudang itu.

“Kenapa dia terluka?” dia tanya.

“Tolong kasikan dahulu tempat!” sahut Siau Hoo. “Sesudah aku letaki dia, baru aku nanti kasi keterangan! ...  ”

“Sebenarnya dia tinggal disebelah luar.” Too-kou tua itu kata. ”Mari!”

Ia lantas mengajak berlalu dari ruangan itu, pergi kebagian dalam dari ruangan kedua, disini ia  membuka sebuah pintu sebelah timur. Siau Hoo, sambil pondong Ah Loan mengikuti terus. Itu ada suatu pendopo yang gelap, disitu ada dipuja patung Buddha.

Siau Hoo lihat sebuah pembaringan kayu berikut bantal kepalanya dan selimut. Ia minta si imam itu singkap selimutnya, Ia letaki tubuhnya Ah Loan di atas itu. Sekarang ia kerebengi selimut pada orang punya tubuh itu. “Nona Pau itu diantar kemari oleh Tiat Tiang Ceng,” berkata Si too-kou tua yang berdiri saja diamping. “Dia tinggal menumpang disini sudah satu bulan lebih. Di kelenteng kita ini, kita biasanya tak terima orang datang menumpang tinggal, tetapi kita terima ini nona saking terpaksa. Karena Tiat Tiang Ceng kenal baik kita  punya Too Teng Su-kou. Ini kali ketika dia datang, Tiat Tiang Ceng berlaku galak sekali, dia telah paksa kita terima Si nona, katanya si nona baru datang, dia terluka pada pundak dan pahanya. Kita ada orang-orang suci, tak dapat kita tolak padanya ... “

Siau Hoo menghela napas. Ia tunjuk nona itu.

“Dia adalah seorang yang sangat harus dikasihani,” ia kata. “Kita ada asal satu kampung halaman dimasa kecil, kita suka memain bersama-sama seperti engko dan adik saja. Dia punya egkong ada seorang busuk, adalah dia punya engkong yang sudah buat dia bernasib celaka!”

“Kelihatannya dia tak bakal jadi mati.” berkata imam perempuan itu. “Dimana adanya dia punya rumah? Baiklah dia lekas diantar pulang, agar dia bisa lekas berobat.”

Habis kata begitu, too-kou ini terus bertindak keluar. Siau Hoo manggut, ia antap orang pergi.

Ah Loan segera buka matanya dengan perlahan.

“Kau juga baiklah pergi,” kata ia dengan lemah. “Lukamu berat,” kata ia, “bagaimana aku bisa

tinggalkan kau? Aku mesti tunggu sampai kau sudah sembuh, nanti aku antar kau pulang, habis itu baru aku pergi.”

“Aku tdak hendak pulang.” Ah Loan  menangis. “Baiklah kau lekas pergi, kau jangan datang pula kemari. Selanjutnya aku tidak mau kenal siapa juga, walau-pun engkong datang, aku tetap tak sudi kenal padanya! Umpama kau niat bunuh engkong, bunuhah!“

Nona itu menangis, ia merintih pula.

Kamar itu ada gelap, penglihatan-pun menggiriskan, mengenaskan.

Siau Hoo bingung, hatinya sakit hingga ia berdiri menjublek.

“Aku tidak punya obat, bagaimana lukanya dia ini dapat disembuhkan?“ ia pikir seorang diri. “Jikalau aku pergi cari obat, dia disini tidak ada yang rawati …”

Masih pemuda ini berdiri diam, ia sangsi bukan main.

Sebentar Ah Loan buka pula matanya. Si anak muda mendekati dia.

“Ah Loan, apakah kau tidak haus?“ ia tanya.

“Tidak,” sahut Si nona sesudah ia perdengarkan rintihannya.

“Baiklah kau tunggu disini,” kata Siau Hoo kemudian, “dengan menunggang kuda, aku hendak pergi ke Un-sin- tin, buat beli obat luka. Tanpa diobati, cara bagaimana lukamu ini dapat sembuh?”

Ah Loan tidak menyahuti, ia  cuma merintih, kedua matanya ia tutup rapat.

Siau Hoo berduka bukan main, ia  goyang kepala, sepasang alisnya mengkerut. Dengan pelahan, ia bertindak keluar. Ia merandek dipintu, ia  menoleh, akan awasi si nona, kemudian ia berjalan terus, ke luar, dengan cepat- cepat. Ia dapatkan pintu pekarangan masih dipentang. Ia keluar, ia rapati pintu itu. Selagi tunduk, ia lihat darah cerecetan ditanah, hatinya pepat. Kemudian ia cari pedangnya, ia tidak dapati itu. Dalam keadaan seperti itu,  ia tidak mau mencari lebih jauh, hanya segera ia  pergi keundakan tangga dilamping gunung, untuk manjat, akan lewat rimba, akan kemudian bertidak turun dilain  sebelah. Ia tampak seekor menjangan asyik makan rurnput, tetapi melihat dia binatang itu kaget dan kabur, hingga burung- burung turtt kaget dan terbang berhamburan.

Selang sekian lama, Siau Hoo sampai dikaki gunung. Disini ia tidak dapatkan ia punya kuda, melainkan tumpukan kotoran dari binatang itu. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau banyak pikir. Ia merasa sukur, buntalannya digendol dibebokongnya, kalau tidak, pasti buntalan itu turut lenyap juga.

Diantara berisiknya suara burung, Siau Hoo memandang keempat penjuru ia mengerti, ia punya kuda pasti sudah dibawa kabur olek Pau Kun Lun. Ia menjadi mendongkol sekali.

“Baik, Pau Kun Lun!“ kata ia dalam sengitnya.  “Dua kali kau lolos dari tanganku! Ini kali kau ketolong karena hatiku lemah ... Biar kau hidup lagi sekian huri, jikalau di belakang hari kita dapat bertemu pula, itu waktu kita nanti bicara lagi!“

Lantas, tidak ingat apa juga, kecuali Ah Loan, yang lukanya perlu ditolong, Siau Hoo segera menuju ke Un-sin- tin. Ia tidak menunggang kuda tetapi ia bisa jalan separuh lari, cepat sekali ia telah sampai pula didusun yang dituju. Ia dapatkan, waktu itu sudah dekat tengah-hari, keadaan beda daripada waktu pagi. Ia pergi pula ke warung mie tadi. Sekarang warung ada sepi, dan tuan rumah lagi duduk ngelenggut didekat dapurnya.

Dengan satu suara nyaring, Siau Hoo teriaki tuan rumah, hingga dia ini terkejut dan buka matanya dengan lekas. “Apakah disini ada tabib untuk luka-luka?“ Siau Hoo tanya selagi orang awasi ia dengan mata  terbuka lebar. “Dimana ada penjual obat luka yang mustajab? Aku ada punya satu sahabat, yang terjatuh diatas gunung dan terluka parah.”

“Tabib untuk luka-luka tidak ada,” sahut tuan rumah kemudian. “Ada juga disebelah utara sana, dibengkel kereta, ada tabib hewan. Untuk beli obat, kau mesti ke timur, dalam sebuah gang kecil disana ada satu rumah obat.”

Siau Hoo tidak tanya melit-melit, ia segera bertindak kearah timur, benar dalam sebuah gang kecil. ia dapati rumah obat yang dihunjuk. Ditembok sudah kelihatan tulisan reklame: “Kita ada jual obat Pat Pon Twie Hong San buatan turunan dan obat kuat Kim So Kou Ceng Wan menurut resep rahasia.” Dimuka pintu juga ada digantung sebuah buli-buli obat-obatan. Ia lantas bertindak masuk.

Didalam pekarangan ada seorang tua.

“Hendak beli obat?” orang tua itu menegor kapan ia lihat ada orang datang.

Siau Hoo manggut.

“Benar,” ia jawab. “Aku hendak beli obat luka kebacok.” “Silahkan masuk!“ mengundang orang tua itu.

Didalam kamar kelihatan banyak botol dan guci obat- obatan.

“Kau ada punya obat luka bagaimana? Coba keluarkan!“ Siau Hoo minta.

“Aku ada punya obat sambung tulang.” “Bukannya tulang patah,” hanya Siau Hoo raba ia punya dada. “Lukanya di bagian anggota ini, dan yang terluka- pun orang perempuan.”

Orang tua itu tarik satu laci, akan keluarkan sebungkus obat.

Siau Hoo lihat tulisan dibungkusan obat itu, yang ada obat tete, ia jadi mendongkol, hingga hampir ia  ayun kepalannya.

“Aku inginkan obat luka kebacok! Kau dengar tidak?“ ia bentak.

“Oh, obat luka kebacok ... “ ulangi orang tua itu. “Obat manjur untuk itu ada obat putih buatan In-lam, belinya mesti dikota, disini tempat kecil, tidak ada yang jual. Penduduk disini, siapa tertuka, dia beli aku punya obat salep menyambung tulang atau dia beli saja bubuk pengpian

…”

Siau Hoo putus asa. Tapi peng-pian ada bersifat dingin, maka ia anggap, obat itu barangkali bisa pakai mengurangi rasa sakit. Maka itu ia keluarkan uangnya, ia beli beberapa tail peng-pian, sesudah mana, ia lekas berlalu, akan ambil pula jalanan ke In Ciat Nia. Ia berlari-lari, hingga ia mesti keteskan keringat dan jidatnya dan napasnya pun tersengal- sengal. Disebelah itu, ia ada berkuatir, mendongkol dan berduka.

“Dulu untuk tolongi Yo Sian Tay, aku sampai pergi minta obat kegunung Siong San,” ia kata dalam hatinya. “Obat bubuk Kim Kong Keng Seng San dari Thay Bu  Siansu ada sangat mustajab dan kesohor, tetapi selagi gusar, ia telah robek surat resepnya dan obatnya dibuang berhamburan ... Kenapa dulu aku tidak ambil barang dua bungkus, untuk disimpan sampai ini hari? Jikalau ada obat mutajab itu mustahil lukanya Ah Loan tidak bakal segera disembuhkan?”

Ingat kejadian dahulu itu, Siau Hoo lalu ingat juga Lie Hong Kiat.

“Sekarang ini dia tentu sudah berumah tangga dengan sempurna, tetapi aku, aku mesti terus merantau …“ ia ngelamun lebih jauh. “Dengan bersusah-payah, baru aku dapat bertemu dengan Ah Loan, siapa tahu, dia sudah dipaksa menikah oleh engkongnya. Ah Loan nyatakan ia menyintai aku, tetapi, jikalau ia sudah sembuh, apa bisa aku nikah dia? Andaikata aku ambil Ah Loan sebagai isteriku, bagaimana apabila Kie Kong Kiat dapat tahu dan dia datang menegor aku? Apa aku mesti bilang padanya? Laginya, pembunuh dan ayahku ada Pau Kun Lun, apa boleh dengan begini saja aku beri dia lolos? Apakah permusuhan bisa disudahi secara begini?”

Pikirannya pemuda ini jadi sangat kusut, maka itu,  ia jadi lelah bathin dan lahir. Ketika ia akhirnya sampai  di kaki gunung, ia mesti menindak mendaki dengan perlahan- lahan. Ia mesti gunai banyak tempo dan tenaga, untuk sampai dijalanan yang berundakan batu diantara rumput tebal dan pepohonan lebat. Ia-pun meminta banyak tempo akan sampai dimuka pintu Kiu Sian Koan. Ia dapati tanda- tanda darah sudah disingkirkan. Ia punya pedang tetap lenyap. Ia menolak pintu, yang dikunci dari dalam, karena itu, ia apungkan tubuhnya untuk loncati tembok pekarangan, buat masuk kedalam. Belum lagi kedua kakinya injak tanah atau tiba-tiba ia rasakan ada apa-apa yang mengenai ia punya bahu kiri, hingga ia  merasakan sakit tak terkira. Tanpa merasa lagi, ia jatuh duduk, numprah ditanah, obatnya terlepas dan jatuh, berbareng dengan mana, benda yang mengenai bahunya pun jatuh sambil beri dengar suara nyaring. Ternyata benda itu ada sebutir peluru besi, atau tiat-sian-wan sebesar biji buah hengtoh.

Bukan main kagetnya pemuda ini, walau-pun tangan kirinya tak dapat diangkat lagi ia toh geraki kedua kakinya, untuk segera lompat berdiri.

Adalah itu waktu, dari jurusan utara, dari dalam pendopo ke satu, dengan beruntun, ada menyamber empat atau lima peluru lain, tetapi karena ia keburu gerak tubuh, semua itu Siau Hoo dapat kelit, hingga semua penyerangan mengenai tembok, sambil terbitkan suara, semua peluru itu jatuh ketanah.

“Siapa kau?” berseru Siau Hoo dengan gusar. “Hayo keluar!”

Dari pintu berdaun dua dari pendopo utara, berbareng dengan suara dibukanya pintu tertampak munculnya satu tubuh yang jangkung dan besar dari satu imam perempuan dari usia kurang-lebih lima-puluh tahun, pakaiannya ringkas, tangan kiri menyekal busur peluru besi, tangan kanan menenteng golok yang berkilauan.

Siau Hoo heran hingga ia melengak

“Too-kou, jangan kau keliru kenali orang!“ segera ia berkata, untuk berikan keterangan, “Aku adalah orang yang tadi keluar dari sini, aku baru saja pulang habis beli obat Aku ada punya satu kenalan perempuan asal satu kampung halaman, yang telah terluka, yang sekarang berada dalam kau punya kuil ini …”

Imam perempuan itu segara perlihatkan romannya yang bengis, sebagai roman Srigala atau rupa kokok beluk, sembari tertawa menyengir, ia kata secara menghina.

“Apakah kau sangka aku tidak kenali kau, Kang Siau Hoo?” demikian suaranya, yang tak sedap didengar. “Kau sudah merantau, kau dapati kepandaian silat, lantas kau malang melintang, berbuat sewenang-wenang di Siam-say Selatan! Kau sudah perhina Pau Kun Lun yang tua dan tidak berkawan, kau sudah cerai beraikan Kie Kong Kiat dan Pau Ah Loan sebagai suami isteri!” 

“Ngaco!“ Siau Hoo memotong dengan bentakannya.

Tapi si imam perempuan jadi terlebih sengit, sambil terus hunjukkan romannya yang bengis, ia-pun kertek gigi, “Jangan kau menyangkal! Tiat Tiang Ceng ada aku punya sutee, adik seperguruan, dan dalam gunung Cin Nia, dia telah tolongi Pau Ah Loan, yang dia bawa kemari! Dan kemarin dia juga sudah tolongi Pau Kun Lun! Pada itu malam juga perintah muridnya, Ceng Hian, pergi ke Tin-pa, akan panggil datang orang-orang Kun Lun Pay. Aku punya sutee Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, tetapi dia telah kau binasakan didalam gunung! Dan sekarang kau masih berani datang kemari, kekuilku!“

Siau Hoo tertawa dingin, ia mengejek.

“Jikalau Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, kenapa dia bunuh itu suami isteri pemburu dengan dia punya tongkat besi?” ia tanya. “Jikalau dia tidak binasakan sepasang suami isteri pemburu itu, aku juga tidak akan buat dia celaka!“

“Suami isteri pemburu iu adalah begal-begal digunung itu!“ Imam perempuan itu terangkan. “Karena adanya aku dan aku punya sutee disini, berdua mereka berlaku sebagai orang baik-baik, mereka hidup berburu untuk berpura-pura saja, asal kita satu waktu berpergian, segera mereka ganggu orang, merampas dan membunuh! Tidaklah kecewa kebinasaan mereka itu ... ”

“Dalam hal itu, barang kali aku keliru,” Siau Hoo akui. “Tapi urusanku dengan keluarga Pau, itu tak dapat dijelaskan dalam tempo yang pendek. Kau cuma tahu Pau Kun Lun sudah tua dan harus dikasihani, tetapi kau tak tahu yang dia ada sangat jahat dan kejam. Sekarang ini aku tidak ingin buat ribut disini berhala yang suci, aku datang kemari untuk tolong obati Pau Ah Loan, aku hendak tungu sampai dia sudah sembuh, aku nanti berikan ia sedikit uang, lantas aku akan pergi.”

Sembari mengucap demikian, Siau Hoo berdongkol sambil ulur tangannya yang kanan, untuk jumput bungkusan obat.

Dengan sekonyong-konyong, imam perempuan itu sudah siapkan pula pelurunya dan kembali menyerang, sukur Siau Hoo keburu berkelit, hingga peluru besi lewat disamping kupingnya. Sedikit lambat saja, batok kepalanya pemuda ini bisa ditembusi peluru dan jiwanya pasti akan melayang. Karena ini, ia batal jumput bungkusan obat, ia terus lompat maju.

Imam perempuan itu segera lepaskan busurnya, sebagai gantinya ia lompat sambil membacok.

Siau Hoo egos tubuh dari bacokan, habis itu, dengan tangan kosong, ia melayani berkelahi. Ia  ingin rampas orang punya golok kangtoo itu. Diluar dugaan, si imam ada sangat gesit dan liehay, ilmu silatnya berada diatasan Pau Kun Lun dan Kie Kong Kiat. dan tenaganya barangkali lebih besar dari pada tenaga Tiat Tiang Ceng. Dia punya ilmu golok-pun istimewa, hingga sampai selang beberapd jurus, sia-sia saja si pemuda mencoba mendapati orang punya golok.

Melayani musuh yang bersenjatakan gogok, Siau Hoo gunai kepandaiannya berloncat-loncat, saban-saban ia hunjuk kegesitan tubuh, akan berkelit, akan tetapi ia insaf, tak dapat ia berkelahi terus-terusan secara demikian, maka kemudian, ia gunai ketika akan loncat kearah busur besi, untuk segera jumput itu, sesudah mana ia pakai busur itu sebagai senjata, untuk lawan musuh. Ia gunai busur sebagai pedang.

Siau Hoo terhambat oleh ia punya lengan kiri yang sakit, yang terluka oleh peluru besi, dan disebelahnya ia sedang sangat letih, ia juga sibuki Ah Loan, yang membutuhkan pertolongan cepat. Ia benar-benar tidak ingin bertempur lama-lama. Apa mau, imam perempuan ini desak ia dengan hebat, hingga mau atau tidak, ia mesti hunjukkan juga kepandaiannya.

Pertempuran berlangsung lagi dua puluh jurus lebih. Terus-terusan  Siau  Hoo  unjukkan  ia  punya  kesebatan,

sekarang  ia  tak  kuatirkan  lagi  golok  musuh  yang  ia bisa

rintangi dengan busurnya. Saban-saban ia mengancam, ia mencari lowongan. Demikian, dalam serunya pertempuran, sekonyong-konyong ujung busurnya melanggar orang punya iga, atas mana dengan tiba-tiba, goloknya si imam perempuan terlepas dari cekalannya, tubuhnya-pun turut rubuh!

Ternyata, pemuda ini sudah gunai Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah.

Menampak sang lawan telah rubuh tak berdaya, Siau Hoo tidak memperdulikannya lagi, sesudah lemparkan busurannya, ia lompat pada bungkusan obat, untuk jumput itu, buat ia terus bawa lari kedalam.

“Kang Siau Hoo,” berseru si imam perempuan, sambil rebah saja. “Kecuali kau suruh aku rebah untuk selamanya disini, asal aku sanggup berbangkit. Pasti aku tidak akan ijinkan kau hidup lebih lama pula! Aku mesti balas sakit hatinya aku punya sutee!” Siau Hoo dengar orarng punya perkataan itu ia tak gubris, ia lari terus, memasuki ruangan kedua, hingga sebentar saja, ia sudah berada dalam kamarnya Ah Loan. Si nona tetap mandi darah, tubuhnya rebah, kedua matanya tertutup, hingga ia nampaknya mirip dengan mayat.

Dengan napas memburu, dengan sepasang alis mengerut, Siau Hoo mendekati orang punya tubuh. Sekarang ia bisa lihat orang punya napas, yang pelahan, dan dengar juga rintihan, yang pelahan luar biasa. Tidak ayal lagi, ia buka bungkusan peng-pian, ia jumput itu, untuk borehkan di lukanya si nona, untuk mana, ia tidak buka lagi orang punya baju. Sembari mengobati, ia awasi nona itu, untuk lihat hasilnya itu obat. Sisanya obat ia bungkus pula.

Justeru itu, imam yang  pertama Siau Hoo ketemui, kelihatan mendatangi padanya. Ia ini memberi hormat sambil manggut dalam.

“Sudah berbuat salah apakah Too Teng Su-kou terhadap sie-cu?” tanya ia. “Dia sekarang rebah diluar dengan tak dapat geraki tubuhnya. Dia bilang bahwa siecu sudah totok ia dengan tiam-hiat hoat, maka itu, sie-cu tentunya bisa totok pula dia untuk ditolong merdekakan. Dialah yang suruh aku datang pada sie-cu, buat minta sie-cu tolong padanya. Dia bilang, begitu lekas sie-cu sudah merdekakan dia, dia akan lantas angkat kaki, dia tidak akan ganggu pula pada sie-cu.”

Siau Hoo putar tubuhnya, akan hadapi imam perempuan itu.

“Didalam kuil ini kenapa boleh ada imam perempuan semacam dia?“ ia tanya. ”Dia ada sangat ganas, syukur ini hari akulah yang berhadapan dengan dia, coba lain orang, biarpun ada lima atau enam orang, semuanya pasti bakal terbinasa oleh dia punya peluru besi. Jikalau aku merdekakan dia, pasti sekali dia bakal lakukan pula kejahatannya.”

“Tidak nanti dia berbuat jahat pula,” berkata Si imam. “Dia punya peluru itu sebenarnya tidak pernah digunai secara sembarangan. Dalam usia dia ada terlebih muda daripada aku, akan tetapi dalam tingkatan, dia ada terlebih tua. Didalam kuil kita ini, selama dua-ratus tahun, belum pernah ada anggauta yang  tidak hormati aturan kita. Tentang Too Teng, aku bisa terangkan, dulu waktu keluar untuk memungut derma, ia sudah ketemu seorang yang pandai ilmu silat, yang wariskan kepandaiannya kepandanya, maka itu dia jadi pandai menggunai golok dan panah peluru. Oleh karena ia punya kepandaian silat itu ia tak dapat berdiam lebih lama dalam kuil ini. Selain dua puluh tahun, ia sering merantau kelain-lain tempat, ada kalanya, setengah sampai satu tahun, dia tidak pernah pulang. Tiat Tiang Ceng itu ada dia punya sutee, mereka berdua, sucie dan su-tee, sering datang bersama-sama. Tiat Tiang Ceng ada punya satu murid, kemarin muridnya telah datang bersama-sama dianya, hanya tadi malam entah pada jam berapa guru dan murid itu sudah meniuggalkan kuil ini.”

“Apakah tadi malam Too Teng berada disini dan tidak pernah keluar?” Siau Hoo tanya.

Imam perempuan itu menggeleng kepala.

“Tidak demikian,” sahutnya. “Dia baru saja datang, ini kali dia pergi untuk belasan hari, baru dia kembali. Dia memang tidak punya ketentuan, satu waktu  dia datang dengan tiba-tiba, lain waktu dia pergi dengan mendadakan, dalam halnya itu, kita tidak berani tanya dia. Dia ada tergolong lebih tua, dia punya tabeat-pun buruk. Lain sebab lagi adalah, tadinya kuil ini ada kecil, berkat dia punya pungutan derma, belakangan ia telah perbaiki dan perbesar, maka sejak berpulangnya guru kita kelain dunia, dialah yang menjadi kepala disini, hanya tempo kediamannya disini ada pendek sekali. Dia-pun biasanya, tidak membakar dupa, tidak mensujuti Sam Ceng yang maha suci, malah dia tidak mampu membaca do’a, dia tidak bisa duduk bersamedhi. Disini dia ada punya beberapa ekor menjangan. Menjangan adalah binatang yang ia  paling gemari.” Baru saja si imam berhenti bicara, atau terdengar rintihannya Ah Loan. Siau Hoo segera menoleh pada nona itu. Rupanya dia punya keadaan ada mendingan, sekarang dia bisa buka matanya terlebih lebar. Melainkan dari matanya itu masih keluar air.

“Siau Hoo, jangan kau lukai Too Teng Su-kou dan Tiat Tiang Ceng,” berkata si nona. suaranya lemah. “Mereka adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya. Aku-pun telah ditolongi mereka, yang bawa aku kemari.”

Siau Hoo manggut.

“Aku pasti tidak akan ganggu mereka!“ ia jawab.

Sembari berkata demikian, pemuda ini menyesal. Ia anggap, ketika ia tempur Tiat Tiang Ceng, seharusnya ia berlaku terlebih murah hati.

“Tetapi, orang yang bunuh Tiat Tang Ceng, curi kudaku dan kepalanya Liong Cie Khie, dia tentu bukannya Pau Ciu Hui dan Too Teng Su-kou,” ia berpikir. “Dia mesti ada seorang lain, yang menjadi pihak lawannya mereka ini. Siapa dia? Inilah aneh! Disini ada perbatasan Su-coan dan Siamsay, terpisahnya tempat ini dengan Tin-pa tidak ada seratus lie, kenapa disini ada orang aneh semacam dia? Sama sekali aku belum pernah dengar tentang dia itu …”

Lantas dia kata pada Ah Loan: “Aku telah totok Too Teng Su-kou hingga dia tak dapat bergerak, aku nanti pergi untuk merdekakan diri, dia akan bisa bergerak pula seperti biasa. Kau sendiri ... kau harus rawat baik-baik dirimu, jika nanti kau sudah sembuh, aku akan tuturkan segala apa dengan jelas padamu. Sekarang ini dalam kalangan kangou orang bisa ciptakan segala apa, dari itu kau tidak boleh dengar saja satu pihak. Too Teng dan Tiat Tiang Ceng boleh sudah tolong kau, akan tetapi belum pasti mereka ada orang-orang gagah budiman. Tapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku buat mereka celaka, apa pula Ceng Hian adalah sahabatku sejak sepuluh tahun. Aku biasa lakukan segala apa dengan terus-terang, kapan nanti aku telah menutur, barulah kau akan dapat tahu.”

Setelah mengucap demikian, Siau Hoo putar tubuhnya, untuk bertindak keluar, ia jalan dengan cepat. Diluar, ia dapatkan Too Teng Su-kou sedang rebah ditanah. Ia lantas mendekati.

“Aku dengar kau ada seorang gagah yang mulia, karena itu, aku tidak ingin buat susah padamu,” ia berkata. “Tapi aku hendak beri. tahukan kepada kau bahwa aku, Kang Siau Hoo, bukannya itu orang yang biasa menangkan lain orang dengan andalkan Tiam-hiat-hoat.”

Setelah berkata demikian, Siau Hoo jumput busur yang terletak ditanah. Ia punya bahu kiri sudah terluka, akan tetapi tangannya sendiri masih punyakan tenaga, maka itu, kapan ia telah cekal busur itu dengan kedua tangannya, dengan satu gerakan saja ia telah buat putus tali kawatnya, kemudian dengan lain gerakan ia tekuk melengkung busur itu hingga merupakan satu bunderan besi. Ketika ia lemparkan gelang istimewa itu, gelang itu jatuh ke tanah dengan terbitkan suara nyaring dan berisik. Habis itu, pemuda ini jumput golok kang-too, goloknya Si imam perempuan, yang ia letaki berdiri di kaki tembok, lalu ia jejak dengan kakinya, sampai golok itu menjadi bengkok, kemudian setelah ia baliki golok itu ia  menjejak untuk kedua kalinya, dan sekali ini, golok itu lantas patah menjadi dua potong!

Paling akhir, mendekati Too Teng, Siau Hoo angkat ia punya sebelah kaki, untuk dupak imam perempuan itu. Nampaknya ia punya dupakan ada enteng sekali, akan tetapi karena itu, tubuhnya si imam bergulingan dua kali, sesudah mana. Too Teng rasai darahnya jalan pula, hingga ia bisa lantas geraki tangan dan kakinya, untuk bangun berdiri. Diluar dugaan, begitu lekas ia sudah berbangkit, dengan tiba-tiba, dengan gesit sekali, ia  ulur sebelah tangannya pada orang punya iga. Da memang mengarti Tiam-hiat-hoat.

Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya sebat, ketka serangan datang, ia mendahului ulur ia punya tangan, akan tolak orang punya tubuh, atas mana Too Teng Su-kou lantas terpelanting dan rubuh di tempat jauhnya  dua tumbak!

“Kau masih belum puas?” tanya Siau Hoo sambil bersenyum ewa, “Kau hendak totok aku? Kau punya kepandaian menotok cuma mirip dengan kepandaiannya Tiat Tiang Ceng, dengan itu kau melainkan boleh permainkan segala bocah cilik!“

Too Teng Su-kou merayap bangun, dengan matanya yang tajam bagaikan mata kokok beluk, ia awasi Siau Hoo dengan bengis, tetapi sekarang ia  punya tampang ada bersemu kuning, tanda dari kelemahan tuhuhnya.

Siau Hoo mengawasi terus dengan perdengarkan tertawanya mengejek, lalu ia bertindak untuk mendekati.

Melihat demikian, dengan sendirinya, Too Teng Su-kou bertindak mundur, terus sampai  di pintu pekarangan. Disini, dengan sekonyong-konyong, ia enjot tubuhnya ia awasi anak muda dengan tertawa menghina. “Kang Siau Hoo, apakah kau berani pergi ke Bu Tong San?“ ia menantang.

Siau Hoo tertawa ketika ia menjawab.

“Baru saja bulan yang lalu aku kembali dari sana!

Kenapa aku mesti takut?” kata ia.

Too Teng perdengarkan tertawa iblisnya.

“Baik, sekarang aku pergi ke Bu Tong San untuk tunggui kau disana!“ kata ia.

“Kau mesti pergi kesana sebelum tahun baru, apabila kau tidak pergi, kau adalah satu pit-hu!”

Setelah mengucap demikian, imam perempuan itu loncat turun keluar kuil, untuk terus angkat kaki.

Siau Hoo ada sangat mendongkol, hingga ia pikir untuk kejar imam prempuan itu, akan berikan  hajaran pula kepadanya baiknya ia segera ingat Ah Loan yang sedang menderita, maka itu, ia  bisa kendalikan diri. Ia  lantas pungut busur, dengan kedua tanannya, ia buat besi yang melengkung bundar itu menjadi lempang  hingga merupakan sebatang tongkat panjang. Ia sudah tidak punyakan golok atau pedang, maka itu, toya ismewa ini ia boleh gunai sebagai senjata. Dengan tengteng toya itu, ia lantas bertidak kedalam, ke kamarnya Ah Loan.

Nona Pau masih tetap buka kedua matanya.

“Aku sudah merdekakan Too Teng,” Siau Hoo beritahu. “Bagaimana kau rasai sekarang? Apakah sakitmu masih hebat? Aku nanti pergi kelain tempat, untuk carikan kau obat lainnya. Atau aku nanti undang tabib untuk periksa lukamu itu …”

“Kau jangan pergi dulu,” sahut si nona, sambil merintih, sedang kedua matanya sudah lantas mengucurkan air suci. Siau Hoo sangat terharu, ia menghela napas. Ia sebenarnya hendak berikan keterangannya, tentang cintanya, tentang permusuhannya dengan Pau Kun Lun, tetapi ia lihat nona itu meramkan mata, alisnya dikerutkan berulang-ulang, dari mulutnya keluar rintihan, ia batalkan niatnya itu. Ia cuma bisa datang lehih dekat, untuk mengawasi dengan terlebih teliti, kedua tangannya dikepal keras. Ia berdiri diam saja.

Ah Loan beri dengar rintihannya yang pelahan, matanya tidak dibuka lagi.

Siau Hoo berdiam dengan menahan napas.

Kamar itu dengan lekas mulai menjadi guram, hingga darah di dadanya Si nona tidak tertampak nyata lagi. Diluar kuli burung-burung recet dengan suaranya, seperti sekumpulan bocah cilik asik berkelahi.

Kemudian, kapan orang telah sadar, Siau Hoo buka bungkusan peng-pian, untuk borehkan pula lukanya si nona.

Ketika itu, daun pintu di belakangnya, perdengarkan suara, maka Siau Hoo berpaling dengan segera.

Si imam perempuan tua muncul dipintu, tangannya menampa nenampan kayu atas mana ada sebuah mangkok kecil terisikan mie kuning berikut dua batang sumpitnya.

Siau Hoo sambuti makanan itu, ia bawa ke depannya Ah Loan.

Sampai lagi sekian lama, barulah si nona buka kedua matanya.

“Disini ada mie, apakah kau ingin dahar?” Siau Hoo tanya.

Si nona merintih, dua atau tiga kali. “Tidak,” sahut ia kemudian.

Siau Hoo awasi mie itu, yang untuk ia akan habis dimakan dengan dua-tiga caplokan, ia kerutkan alis, kemudian ia pergi ke jendela, untuk letaki itu. Kemudian lagi, ia mendekati si imam tua, akan bicara padanya dengan pelahan.

“Kuilmu ada tempat suci-murni, tidak seharusnya aku berada disini,” kata ia. “Akan tetapi, apa boleh buat … Lukanya nona ini ada sangat hebat, sedang kau orang, tidak sanggup rawati padanya. Dia-pun tidak bisa lantas dibawa pindah ke lain tempat. Aku ada Kang Siau Hoo. Tentang aku, kau boleh dengar-dengar. Aku ada satu laki-laki sejati, tidak nanti aku ganggu kesucian dan ketenteramannya kau punya kuil ini, aku melainkan hendak tunggu sembuhnya dia punya luka itu dengan lantas aku akan ajak dia pergi. Aku akan menderma kepada kau orang …”

Imam itu bisa bade orang punya maksud.

“Sie-cu,” berkata ia, “kau hendak tinggal sama kita orang disini itulah tak dapat dilakukan. Tidak ada aturannya untuk kita disini menerima tamu-tamu lelaki. Walau-pun Tiat Tiang Ceng yang tidak kenal aturan, apabila dia datang kemari, dia tidak bisa tinggal disini. Dia mondok di kuil Eng Sian Sie di gunung sebelah barat sana. Ini ada aturan kita sejak beberapa ratus tahun, yang tak dapat kita langgar, hingga kita-pun tak bisa memberi kelonggaran. Biar-pun Si nona berdiam disini, kau jangan kuatir, aku nanti titahkan muridku rawati dia.”

Siau Hoo menghela napas, ia manggut. Ia berdiam pula sekian lama, baru ia berkata lagi.

“Masih ada satu hal, sukou,” berkata ia kepada si imam. “Sekarang ini aku tidak lapar, tidak apa untuk aku tidak dahar hari ini, tetapi lukanya si nona membutuhkan perawatan, sepuluh atau lima belas hari, karena itu, selama menungkuli dia, aku juga belum bisa pergi dari sini. Dalam hal tidur ini adalah perkara gampang, aku bisa tidur diluar kuil dibawah pohon, hanya nasi, aku pikir untuk minta dari kau. Nanti diwaktu mau pergi, aku nanti berikan uang penggantian kerugian pada kau.”

“Ini-pun tak dapat aku lakukan,” berkata si imam, “Simpanan beras kita ada sangat terbatas. Kita sendiri setiap hari, setiap kalinya cuma dahar satu mangkok kecil. Mana kita punyakan kelebihan untuk dibagikan kepada kau? Umpama kau beli berasnya, masih kita disini tak dapat tolongi kau memasaknya.”

Siau Hoo mendongkol atas itu penolakan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa. Orang tak sudi menolongi ia, tak dapat memaksanya, ia malu akan berlaku kasar dan tak pakai aturan.

“Paling benar sie-cu pergi menumpang di Eng Sian Sie saja,” sang imam perempuan tua usulkan. “Orang-orang suci disana semuanya ada pendeta lelaki dan kuil-pun ada terlebih besar daripada kelenteng kita ini.”

“Beberapa jauh pernahnya Eng Sian Sie dari sini?” Siau Hoo tanya.

“Tiga sepuluh lie lebih,” sahut si Imam perempuan. “Kalau kau menuju ke barat, kau perlu lewati dua buah puncak. Kita-pun cuma dengar orang omong saja, belum pernah ada orang kita yang pergi kesana.”

Baru si imam berkata begitu, dari luar sudah terdengar suaranya genta, maka lekas-lekas ia undurkan diri, karena lonceng itu ada anda untuk mereka bersantap malam.

Siau Hoo sengit sendirinya, hingga ia ingin rusaki nenampan, pecahkan mangkok dan patahkan sumpit. Ah Loan menintih.

“Kau pergilah dulu,“ ia kata dengan lemah.

Siau Hoo terus berdiri diam, hatinya panas. Tapi kemudian ia dekati si nona.

“Ah Loan, aku menyesal,“ kata ia. “Pengalaman  kita ada sengsara sekali, ada terlalu pahit getir. Sekarang ini aku tak saja benci engkongmu, aku-pun sesalkan aku punya ayah. Tidak seharusnya ayah berlaku buruk dan langgar pantangannya Kun Lun Pay, coba tidak, tak akan dia binasa secara kecewa dan menggiriskan, dan kita berdua, kita pasti sudah menikah sejak siang-siang ... Ah, rupanya ini adalah kehendaknya hantu ... “

Si anak muda jadi sangat menyesal, hingga ia hampir banting kaki.

“Sekarang ... “ kata ia pula. “Sudah, kita jangan banyak bicara pula ... Asal kau telah sembuh, hatiku akan jadi lega, sesudah itu, aku nanti pergi seorang diri, tidak saja  aku tidak akan desak lagi engkongmu, aku-pun tidak ingin ketemui lagi semua sahabatku, aku tidak lagi mau merantau dan menjagoi ... Kau berdiam disini, hatiku tidak tenteram, imam disini ada menjemukan. Juga Too Teng, yang aku baru merdekakan, karena ia punyakan “bugee liehay, kendati-pun aku telah kalahkan dia, aku sangsi apabila di belakang hari ia tidak datang pula untuk menuntut balas. Gunung ini ada terlalu mencil dan sunyi, disini sembarang orang bisa lakukan segala macam perbuatan. Tapi toh aku tidak bisa tinggal disini, untuk rawat dan lindungi kau. Imam perempuan disini tidak hendak tolong sajikan nasi untuk aku, dia larang aku menumpang tinggal disini, hingga lenyap juga ketikaku yang baik untuk carikan kau obat. Maka, umpama kata keadaan kau ada mendingan, aku ingin pondong kau untuk dibawa turun gunung, di kaki bukit ada dua penduduk dimana kita bisa menumpang tinggal selama kau rawat diri, tempat itu tentu ada jauh terlebih baik daripada disini ... ”

Ah Loan kucurkan airmata, ia merintih.

“Kita berdua ada seperti musuh besar satu dengan yang lain ... “ kata ia  kemudian dengan pelahan, suaranya terputus-putus. “Dulu diwaktu kita masih kecil, ketika kau pergi aku benci kau, tetapi aku-pun tak dapat melupakan padamu, yang senantiasa aku ingat saja. Aku tak dapat utarakan perasaanku itu ... Benar Kie Kong Kiat  telah kawin denganku, akan tetapi, kita sebetulnya bukannya suami isteri, jikalau nanti aku telah sembuh, aku tidak bakal ikuti dia ... Walau-pun demikian, aku juga tidak bisa lupai dia, karena dia pernah berkorban untuk aku ... “ ia berhenti untuk sesenggukan. Kemudian ia menambahkan : “Selanjutnya, sekali-pun aku punya engkong, aku tidak akan perdulikan pula. Aku dengar dari muridnya Tiat Tiang Ceng, di Su-coan Utara, engkong sudah binasakan satu anak kecil yang harus dikasihani ... Dia ada sangat telengas!” ia menangis pula, ia  merintih berulang-ulang. “Nah, kau pergilah,” ia kata, menambahkan pula. “Jangan kau kuatirkan aku. Aku sudah ditolongi oleh Tiat Tiang Ceng, karena itu tidak nanti mereka perlakukan jelek padaku. Mereka melainkan tak senangi kau dan jerih terhadapmu ... Kau pergi, asal kau sering-sering datang- datang tengok aku … Sekarang aku tidak punya tenaga untuk bicara banyak, nanti saja sesudah aku sembuh, aku akan utarakan segala apa kepada kau. Umpama kata aku mati, aku harap kau tidak lupai aku ... Pada sepuluh tahun, selama aku menderita di rumahku kau tahu bagaimana aku mengasihani kau … Kau juga tahu bagaimana aku berkuatir sebab aku tahu engkong berulang-ulang berniat membunuh kau ... Ketika kau buron, hingga kau tidak ketahuan kau mati atau hidup, bagaimana aku bingung ... ”

Ah Loan berhenti dengan tiba-tiba, ia merasakan sangat sakit pada dadanya, karena itu ia kerutkan alis, ia merintih pula. Tak dapat ia buka mulutnya akan bicara lebih jauh.

“Kau jangan bersusah hati,” Siau Hoo menghibur. “Kita telah ketahui baik hati masing-masing, itu menggampangkan untuk urusan kita di belakang hari. Kau tetapkan hatimu ... ”

Ah Loan berdiam.

Siau Hoo lihat orang punya kasut hijau, ia jadi ingat kasut merah si nona, yang ia ketemukan diselokan, yang ia senantiasa bawa-bawa. Ia pernah duga si nona dibawa lari harimau, siapa tahu, dia telah ditolongi Tiat Tiang Ceng. Ia ingat pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, ia  percaya mereka bukannya orang-orang suci murni sejati, akan tetapi mereka pernah tolongi Ah Loan. Ia menyesal sudah desak engkong dan cucu itu hingga mereka tercerai berai, sampai si nona mencoba membunuh diri dengan kesudahan terluka parah itu. Tapi, apa ia bisa buat?

Akhirnya, setelah menghela napas, pemuda ini bicara pula.

“Baikiah, kau boleh berdiam disini,” kata ia. “Aku nanti cari lain tempat untuk beristirahat.”

Ah Loan beri dengar suara penyahutan yang pelahan sekali.

Siau Hoo pungut dia punya toya istimewa, lantas ia bertindak keluar. Diluar, dibawah payon, ia berdiri diam sekian lama. Ia dengari suara berisik dan gowak dan lain- lain burung di langit, mega ada tebal, ada sisanya sinar matahari sore. Sang angin meniup-niup mendatangkan hawa dingin sekali. Dengan kepala tunduk, bertindak kepekarangan kuil, setiap kali ia menghela napas.

“Biar bagaimana, aku mesti obati Ah Loan hingga sembuh,” ia berpikir. “Sekarang sudah sore, tidak leluasa untuk aku meninggalkan tempat ini, tetapi besok, mesti aku cari obat yang manjur untuknya.”

Itu waktu ia telah sampai di depan tembok, ia enjot tubuhnya akan loncat  melewatinya, setelah sampai diluar, ia tampak pepohonan yang lebat, yang gelap seperti malam saja. Disitu ada tiga ekor menjangan yang tadi, yang bertindak kearah dia. Rupanya, sesudah bertemu beberapa kali dan Siau Hoo tidak mengganggu, binatang itu tidak takut lagi, malah yang tanduknya panjang menghampirkan untuk cium tubuhnya pemuda kita, siapa sebaliknya usap- usap orang punya tanduk.

-ooo0dw0ooo-

SIAU HOO bisa lihat tegas sekarang, luka-luka mereka benar bekas hajarannya toya besi, bekas-bekas toya mana tertampak pada batu dan tanah bekas hajarannya. Menampak itu semua, pemuda ini jadi mendongkol sekali. Nyatalah Tiat Tiang Ceng ada ganas sekali.

Keluar dari gua, Siau Hoo cari tempat dimana ia bisa menggali lobang, untuk pendam ketiga mayat, apa mau, disitu tidak ada tanah yang bisa digali. Sebaliknya, di belakangnya satu batu besar, ia dapatkan ia punya pedang, yang ia telah tinggalkan bekas disampok terpental oleh toyanya si pendeta. Ia jumput itu, ia jalan terus, ia mencari terus. Ia ingin bisa ketemukan pula Pau Kun Lun.

Siau Hoo sampai di satu tempat tinggi dari mana ia bisa memandang ke bawah, ke lembah. Kapan ia sudah melihat nyata, ia terkejut. Di situ, rebah atas sebuah batu, ada tubuhnya Tiat Tiang Ceng. Pada batu itu ada tumbuh rumput. Di samping tubuh kelihatan darah hitam. Mayatnya pendeta itu mirip dengan bangkainya seekor beruang.

Dengan cepat Siau Hoo turun ke bawah, akan mendekati mayatnya itu pendeta liehay, yang selama tiga-puluh tahun kesohor sebagai “Koay-hiap” atau “Pendekar luar biasa.” Biar bagaimana, ia tidak merasa kasihan terhadap bekas lawan yang kosen ini. Hanya, apa yang buat si pemuda terkejut, saking heran, adalah kebinasaannya si pendeta bukan karena jatuh terbanting hanya pada lehernya bagian atas, dimana ada darah berkumpul, ada bekas bacokan senjata tajam, pedang atau golok.

“Sungguh heran!“ anak muda ini berseru sendirinya. “Ketika tadi malam aku tempur dia, aku tidak bersenjatakan pedang, dia-pun rubuh karena tendanganku. Tempo tubuhnya jatuh ke bawah, aku dengar jeritan hebat. Apakah bisa jadi, pada itu waktu, di bawah ada seseorang yang kebetulan lagi pegang senjata tajam, tatkala dia dapati ada orang jatuh, dia terus saja menyerang dan bunuh dia ini?“

Saking heran, Siau Hoo mencari ubak-ubakan di sekitar situ. Ia telah dapatkan orang punya toya besi yang berat, kasar dan berat, ia dupak itu kesamping. Ia  mencari terus. Ia telah pergi jauh dari situ. Tiba-tiba di atas rumput, ia dapati suatu benda yang buat ia heran dan hatinya memukul. Itulah kasut sulam, yang tadi  malam  lenyap, yang ia cari dengan sia-sia. Karena yang kasut itu, kejadian hebat sampai ambil tempat di rumah gua.

Siau Hoo berdiri bengong, pikirannya ruwet. Ia  mendongkol, ia gusar berbareng masgul, ia penasaan. Ia tadinya tidak niat pungut kasut itu, tetapi selang beberapa saat, ia toh turunkan buntelannya, ia pungut kasut itu dan masukkan kedalamnya …

Akhirnya, dengan tinggalkan mayatnya Tiat Tiang Ceng, yang membuat ia menduga dengan tak dapatkan pemecahannya, ia jalan, akan kembali ke tempat kuda ditambat. Ia cantel bungkusannya diatas kuda, pedangnya juga dimasukkan kedalam bungkusan. kemudian ia loloskan tambatan kuda. Benar selagi berbuat demikian, kembali ia tampak hal yang mengejutkan hatinya. Kuda yang satunya, yang lenyap, masih ada ujung tambangnya, yang terikat pada batang pohon. Teranglah tambang itu bekas dibabat kutung dengan pedang atau golok. Jadinya kuda itu telah dibawa lari.

“Benar-benar, tadi malam disini ada terdapat satu orang lain!“ akhirnya Siau Hoo pikir. Ia mengarti dan merasa pasti. “Orang itu sembunyi disini, dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia datang kemari, dia ambil kuda dengan apa dia angkat kaki. Dia pergi secara diam-diam, apakah itu tidak aneh? Mestinya dia ada seorang yang liehay ilmu silatnya. Melihat dia bunuh Tiat Tiang Ceng, dia mesti ada seorang gagah mulia … Kenapa dia tonton aku tempur Tiat Tiang Ceng? Kenapa dia tidak bantu aku? Ini ada bukti yang dia tidak punya perkenalan dengan aku. Siapa dia? Dia tentu ada seorang aneh! Mungkin dia kasihan melihat Pau Kun Lun yang sudah tua, dia menolonginya ... Biar bagaimana, teranglah dia telah memandang tak mata padaku! ... “

Akhirnya, Siau Hoo jadi tidak puas.

Dengan naik kudanya, dengan mendongkol, Siau Hoo menuju ke Timur. Ia punya kuda adalah kuda bulu hitam, yang ia dapatkan dari Lau-kee-chung di Giehong. Ia punya kuda putih, bersama kepalanya Liong Cie Khie, entah kemana. Kuda itu bukan  kuda jempolan, jalanan-pun sangat jelek, dari itu, binatang itu tidak mampu lari keras. Dua kali kuda itu terpeleset dan ngusruk, dengan banyak susah, barulah jalanan gunung itu dapat dilalui.

Matahari sudah naik tinggi sekarang. Disebelah depan ada tanah tegalan yang luas, ada sawah gandum. Sebuah jalanan kecil, melingkar-lingkar, kelihatannya seperti ular berlugat-legot. Cuma ada beberapa orang kelihatan berjalan disitu. Karena kecilnya jalanan, kuda sukar diberi kabur.

Selagi ia jalankan kudanya, Siau Hoo dengar bunyinya genta, tidak terlalu nyaring. Ia menduga, tidak terpisah jauh dari situ, mesti ada rumah suci. Rupanya, pada itu waktu, penghuni-penghuni kuil sedang sarapan pagi.

Tiba-tiba, pemuda ini ingat suatu apa!

Bukannya mustahil kalau Tiat Tiang Ceng ada punya tempat mondok. Apa itu bukannya kuil dari mana suara genta itu datang? Apakah tak bisa menjadi, setelah tolong Pau Cin Hui, jago Kun Lun itu lantas dititipkan didalam kuil itu?

Maka ia terus pasang kupingnya. Sayang, karena suara ada sangat samar, sukar dicari tahu dari jurusan mana suara itu datang. Maka, dengan terpaksa, ia jalankan terus kudanya, jalan berputar-putar sampai lebih dari sepuluh lie. Barulah itu waktu, di depan ia, ia tampak segundukan rumah, seperti pasar atau dusun.

“Baiklah aku cari tempat singgah dulu, untuk dahar dan piara kuda,” Siau Hoo pikir kemudian. Maka ia larikan kudanya menuju kekampung atau dusun itu. Ia dapatkan suatu tempat yang ramai, ada banyak orang mundar-mandir dengan memikul keranjang. Ia menghampiri satu rumah makan. Setelah loncat turun dari kudanya, ia tambat kuda itu diuar pintu. Kapan ia lihat tuan rumah  lagi bekerja didapur. Ada beberapa orang lagi menantikan. “Kasikan aku satu mangkok mie!” Siau Hoo kata pada tukang warung. Ia terus ambil tempat duduk secara sembarangan saja. Lantas ada orang tanya ia, ia datang dari mana.

“Dari kota Tin-pa,” ia jawab.

Tukang warung telah siapkan mie untuk beberapa tamu yang datang lebih dulu, menurut runtunannya, lalu pada Siau Hoo ia minta supaya tamu ini menunggu sebentaran.

“Tidak apa, aku boleh menunggu,” sahut Siau Hoo. “Aku hanya ingin tanya disini dimana ada warung rumput?”

“Warung rumput tidak ada,” jawab tuan rumah, ”hanya disebelah utara sana, duduknya madap ke timur ada sebuah bengkel kereta dimana orang biasa mampir untuk piara kuda.”

“Baik,” kata Siau Hoo sambil manggut. “Aku nanti pergi kesana, untuk piara kudaku, sebentar aku nanti datang pula kemari!”

Ia bertindak keluar, ia lepaskan tambatan kudanya yang ia terus tutun keutara dimana ia dapati bengke kereta yang disebutkan. Dimana sudah ada beberapa buah kereta, dibawah gubuk ada belasan ekor kuda dan keledai.

“Tolong piara kudaku, sebentar aku datang pula untuk ambil,” kata ia  seraya ia serahkan kudanya pada satu pegawai, kemudian ia pergi pula seraya bawa ia  punya buntalan dan pedang. Sembari jalan, ia  lihat beberapa warung dengan masing-masing mereknya, serta alamatnya. Itulah Un-sin-tin seperti katanya Ngo Kim Piu.

Ingat nama tempat itu dan Ngo Kim Piu, Siau Hoo jadi ingat sababat itu, ia lantas saja jadi masgul. “Kim Piu ada asal berandal, ia belum bisa buang sifatnya itu,” pikir ia, “tetapi kebinasaannya tadi malam ada sangat hebat ... Sepuluh tahun kita bersahabatan, ia ada baik dan bersetia kepadaku, dan sekarang ia  binasa-pun sebagian karena urusanku ... ”

Bukan main ia punya berduka.

Siau Hoo bertindak keselatan, dengan niatan balik ke warung mie tadi, untuk dahar mie, tapi ketika ia jalan baru belasan tindak, ia lihat satu toosu atau imam sedang minta derma disatu toko, tangannya sambil membunyikan kelenengan, mulutnya sembari liamkeng dengan pelahan. Ketika ia mengawasi, ia menjadi heran. Imam itu pakai jubah gerombongan dan kondenya konde toosu, akan tetapi mukanya adalah muka perempuan, dan usianya kurang lebih empat-puluh tahun. Ia heran karena segera ia ingat keterangannya Ngo Kim Piu siapa, katanya, pada  lima- belas tahun yanh lalu, tepat didusun Un-sin-tin ini, ia sudah dibuat rubuh oleh satu lie-toosu, imam perempuan.

Tanpa merasa, Siau Hoo perhatikan imam  perempuan itu siapa, setelah diberikan uang oleh tuan rumah, lantas pergi meminta derma kelain rumah, demikian seterusnya.

Sebenar kemudian, pemuda ini sudah kewarung mie, tuan rumah lantas sediakan dia satu mangkok mie kuwah serta sumpitnya. Ia lantas aduk itu.

“Aku terlahir di Tin-pa, yang letaknya tidak jauh dari sini, tetapi datang kedusun Un-sin-tin ini, inilah ada untuk pertama kali,” katanya. “Aku Lihat dusun kau ini ada luar biasa, sampai-pun orang suci yang minta derma ada imam perempuan.”

“Eh, kau jangan omong sembarangan!” kata seorang tamu, yang dahar mie bersama-sama. “Dia itu ada too- kounio dari kelenteng Kiu Sian Koan dari bukit In Ciat Nia. Dia itu tidak biasa meminta derma secara sembarangan, dia tidak datangi apabila bukan toko besar atau rumah orang hartawan!“

“Kiu Sian Koan itu dimana letaknya?” Siau Hoo tanya. “Adanya diatas bukit barat-selatan sana,” sahut orang

tadi. “Itulah sebuah kelenteng besar dan imam perempuan itu ada dua puluh lebih.”

“Apakah dikelenteng itu semua imam perempuan, tidak ada pendetanya?“ Siau Hoo tanya, setelah berdiam sebentar.

“Ah, kau ngaco!“ orang itu kata pula. “Dalam kelenteng perempuan mana bisa diterima pendeta? Jangan kata pendeta, walau-pun orang semacam kau, apabila kau pergi bersujut disana orang pasti tolak kau, kau tidak bakal dibukai pintu! Cuma keluarga pembesar, atau orang yang sujut benar-benar, bisa diterima masuk kedalam kelentengnya mereka itu!”

Pembicaraan itu menyebabkan seorang lain tanya si tukang mie, katanya: “Kau tahu tidak, selama ini dua hari, si pendeta yang bertubuh besar ada datang atau tidak?“

Siau Hoo bercekat, ia segera menoleh, ia pasang kuping.

Tuan rumah, yang ditanya, sudah lantas kerutkan alis. “Bagaimana dia tak datang?“ kata ia dengan

jawabannya. “Kemarin dahulu dia makan pada keluarga Tan, dan kemarin rupanya direstoran Hok Goan. Ini hari barang kali dia bakal datang padaku. Sungguh aku takut buat kedatangannya itu. Kesatu aku jerih buat dia punya toya, yang beratnya barang kali dua atau tiga ratus kati, dan kedua, aku ngeri buat dia punya kuat makan. Buat aku punya mie, dia pasti bisa habisi sepuluh mangkok!‘ “Apakah dia tidak membayar sehabisnya dia makan?” tanya Siau Hoo.

“Dia membayar? Hm! pendeta itu datang kemari barangkali sudah hampir satu bulan. Dia berdiam diatas In Ciat Nia, hanya entah di kuil yang mana. Kabarnya, karena dia punya kuat makan, didalam kuil, dia diberikan satu hari hanya satu kali makan. Untuk sarapan pagi, dia mesti minta amal dari mana saja dia bisa dapat. Dia-pun meminta  secara paksa, kalau dia memasuki rumah, dia tidak banyak orang lagi, tahu-tahu dia letaki toyanya didepan pintu, menghalangi orang keluar masuk. Siapa berani main gila terhadapnya?“

Tuan rumah itu bicara terhadap sekalian tamunya, tetapi Siau Hoo seorang adalah yang paling ketarik hatinya.

“Pastilah tadi malam Pau Cin Hui dapat ditolong Tiat Tiang Ceng!“ ia menduga secara pasti. “Hanya entah dia sembunyikan dimana jago Kun Lun itu ... Dan orang yang bunuh Tiat Tiang Ceng mestinya ada musuhnya pendeta ini, rupanya musuh itu tadi malam sembunyi di dalam hutan didalam gunung, dia gunai tempo selagi Tiat Tiang Ceng jatuh setengah mampus, dia turun tangan membinasakan musuhnya, kemudian dia curi kudaku dan kabur. Bisa jadi pembunuh ini tidak punya sangkutan dengan Pau Cin Hui. Daerah ini ada bergunung diempat penjuru, ini-pun ada perbatasan antara Sucoan dan Samsay, bisa jadi yang disini ada sembuyi banyak orang-orang pandai. Baiklah hari ini aku geledah gunung ini, aku mesti periksa dengan terang ... ”

Oleh karena memikir begini, Siau Hoo dahar dengan cepat, belum sampai ia dahar cukup, ia sudah lepaskan sumpit dan mangkoknya. Ia membayar uang, lekas ia bertindak pergi, ketempat kudanya dipelihara, untuk ambil kudanya itu, yang sekarang telah jadi sangat segar. Sehabisnya membayar, ia naiki kudanya dan berangkat. Dari selatan ia keluar dari Un-sin-tin, ia ambil jalanan dari mana tadi ia datang. Dalam tempo pendek, ia  sampai kembali di kaki gunung. Disini ia jalan berputaran, sampai sekian lama, ia tidak dapati jalanan untuk naik keatas. Sukur ia dapat lihat beberapa rumah, maka ia larikan kudanya ke arah rumah itu.

Itulah ada sebuah dusun kecil. Di depan sebuah rumah, seorang lelaki sedang menggebuk gandum. Didekat tempat itu, ditepi kali, beberapa bocah asyik angon babi. Dan Siau Hoo menghampiri beberapa bocah itu, untuk tanya apa mereka tahu jalanan untuk mendaki bukit, buat bersembahyang di Kiu Sian Koan.

Sambil menggoyang kepala, beberapa bocah itu menyahuti bahwa mereka tak tahu.

Siau Hoo turun dari kudanya, yang ia tambat pada suata pohon.

“Anak-anak, tolong lihat kudaku,” kata ia, yang terus bertindak mengmenghampiri beberapa orang tani itu.

“Numpang tanya,” kata ia pada mereka itu. “Untuk bersembahyang di kuil Kiu Sian Koan diatas gunung  In Ciat Nia ini, dari mana jalanan naiknya?“

Beberapa orang tani itu tidak lantas menyahuti, sebaliknya mereka awasi ini pemuda asing, selang beberapa saat, barulah mereka menjawab.

“Tidak tahu,” demikian mereka seraya mereka goyangi kepala.

Siau Hoo heran.

“Aku numpang tanya,” kata ia pula, seraya ia memberi hormat. “Tuan-tuan tinggal didekat gunung, apakah pernah lihat seorang tua dengan kumis-jenggot ubanan yang tubuhnya tinggi sekali serta satu pendeta bertubuh besar yang bawa-bawa toya besi.”

Beberapa orang itu mengawasi pula. “Tidak,” ada jawaban mereka.

Kemudian, seorang diantaranya, sembari tertawa, menambahkan: “Dari mana sih datangnya seorang tua dan pendeta yang bertubuh besar? Tempat kita ini ada sangat sepi, setahun gelap tidak pernah ada orang asal lain tempat yang datang kemari!”

Siau Hoo melengak, tetapi ia merasa bahwa beberapa petani itu harus disangsikan. Dengan terpaksa, ia kembali pada beberapa bocah itu, ia tanya pula mereka. Seperti juga yang pernah dipesan, walau-pun orang tanya bagaimana, beberapa bocah ini terus main ‘tidak tahu.’

Akhirnya, Siau Hoo bersenyum sindir, ia lolos tambatan kudanya, ia naiki dan pergi. Didalam hatinya, ia  kata: “Taruh kata Pau Cin Hui tidak sembunyi didalam  dusun ini, dia mesti berada di kuil Kiu Sian Koan. Biar bagaimana, mereka ini mestinya ada ketahui apa! Jikalau hari ini aku beri lolos tua-bangka itu, aku bukan lagi satu laki-laki!”

Siau Hoo tujukan kudanya kekaki gunung, dibagian yang banyak pepohonan dan keadaannya sunyi luar biasa. Disini ia turun dari kudanya, yang ia ikat pada sebuah pohon, buntalannya ia turunkan, untuk digendol dibokongnya. Dengan cekal pedangnya, ia mencari jalan naik. Tentu sekali, sekali ini ia gunai ia punya kepandaian loncat- loncatan, karena disitu tidak ada jalanan sama sekali. Dengan lekas, ia bisa sampai diatas, dipuncak  yang datar. Ia dapatkan sedikit pepohonan dan tidak ada kuil juga. Ketika ia memandang kebawah, kelembah, ia dapatkan suatu tempat yang penuh pepohonan jie, pek, siong dan hoay, kelihatannya pepohonan itu tidak pernah dapat gangguan tukang kayu, dari itu ia mau percaya, mesti ada orang yang mempunyainya. Ia-pun percaya, pemilik hutan itu tidak akan berumah jauh dari hutan itu.

Sekarang Siau Hoo mencari jalan turun. Disitu ada banyak macam burung, semuanya kaget dan terbang serabutan, suaranya berisik.

Sesudah bertindak kira-kira limapuluh tindak, Siau Hoo dapati suatu jalanan yang tidak rata. berundakan seperti tangga. Diam-diam, ia menjadi girang. Dengan adanya jalanan itu, ia percaya ia bakal dapat cari kuil Kiu  Sian Koan itu. Maka ia lantas berjalan dengan cepat. Ia turun lerus. Ia merandak dengan tiba-tiba tempo ia jalan belum seberapa jauh, ia lihat menggeletaknya selembar tambang ditengah jalan, tambang itu panjang dan kasar berupa seperti ular melingkar. Untuk kegirangannya ia kenali itu adalah tambang yang Kim Piu pakai ringkus Pau Cin Hui. Tambang itu diloloskan dengan dibuka bukan dibuat putus.

Selagi hatinya lega Siau Hoo sekarang maju dengan tindakan hati-hati, hingga tindakannya itu tidak perdengarkan suara apa-apa. Ia  cekal terus ia punya pedang. Sebisa-bisa, ia ambil jalan dengan separuh umpatkan diri, agar burung-burung tidak lari kaget, terbang dan cecerewotan. Ia mirip dengan satu pemburu lagi cari gua binatang alas. Kadang-kadang ia-pun mendekam.

Sesudah turun lagi empat-puluh tindak kira-kira, Siau Hoo tampak lebih banyak pohon dan rumput disebelah depan ia. Di situ-pun ada banyak macam bunga harum musim rontok dengan wananya merah dan kuning. Sedangkan ia jalan terus, tiba-tiba ia dengar suara, yang disebabkan dengan bergeraknya dengan tiba-tiba dari pohon dan semak-semak, burung-burung pun berterbangan dengan kaget, setelah itu tertampak larinya seekor menjangan bwee- hoa-lok yang bertanduk besar. Binatang itu lari kearah ia, dari itu, Siau Hoo lantas loncat minggir, untuk mengasi lewat, membiarkan dia lari naik.

Segera Siau Hoo memandang kebawah. Di tempat jauhnya sepanahan, ia lihat dua ekor menjangan lainnya, berada diatas rumput dibawahnya sebuah pohon  kayu besar. Binatang itu berada bersama satu orang. Kedua menjangan itu tangal-tongol, seperti mereka sedang cari kawannya yang kabur barusan. Yang tarik perhatiannya pemuda kita adalah itu orang yang berada dengan kedua menjangan itu. Dia adalah seorang dengan rambut ubanan dan berkumis jenggot, matanya jelilatan keempat penjuru, romannya ketakutan, melebihkan kaget dan ketakutannya menjangan tadi.

Dengan tiba-tiba, Siau Hoo tertawa mengejek.

“Hm, Pau Cin Hui, kau hendak sembunyi kemana?“ begitu ia kata dengan lagu suara sangat puas. “Disini kau berkumpul dengan segala menjangan! Apakah kau kira aku tidak sanggup cari padamu?”

Habis berkata begitu, tak bersangsi lagi, Siau Hoo enjot tubuhnya, untuk loncat turun, gerakannya bagaikan seekor garuda terbang menyamber. Dilain pihak, dalam takut yang hebat, Pau Cin Hui, si orang tua itu putar tubuhnya, untuk lari.

Kedua menjangan yang kaget, turut kabur juga.

Siau Hoo mengejar terus, akan tetapi karena terpisahnya mereka berdua ada cukup jauh, ia  tidak bisa segera menyandak. Tidak jauh dari situ, ada sebuah tikungan. Cin Hui lari ketikungan itu. Ketika sebentar kemudian si anak muda sampai di tikungan itu, si orang tua telah lenyap tanpa bekas-bekasnya. “Kurang ajar!“ Siau Hoo berseru, saking murka. “Binatang, kau hendak lari kemana?“

Mengikuti jalanan, pemuda ini menguber terlebih jauh. Ia berlompatan, untuk bisa menyusul. Ia hentikan tindakannya, ketika di depan ia, ia tampak sebuah tembok. Ia berada disebelah atas, tembok itu disebelah bawah, maka itu ia memandang ke bawah. Tembok ada seumpama dibawahan kakinya. Itulah sebuah rumah suci. Ia lantas saja mengawasi.

Berhala itu tidak kecil, semuanya terdiri dari tiga undakan, didirikannya dilamping gunung, turun tangga menurut tinggi-rendahnya tanah pegunungan. Didalam pekarangan, pepohonan siong dan pek hidup subur. Asap kelihatan mengepul keluar dari kuil itu, yang temboknya ada merah bersih.

Disamping tembok sekarang tetah berkumpul ketiga menjangan tadi, yang dua sambil mendekam ditanah, yang besar, mengawasi ke arah pemuda itu, yang dimatanya rupanya ada seorang asing.

Siau Hoo ketarik dengan tempat suci itu, yang suci tetapi agung romannya, maka itu, ia anggap tidak boleh berlaku semberono. Dilain pihak, ia percaya Cin Hui tidak bakal lolos dari tangannya. Maka lantas ia bertindak turun terus, akan hampirkan tembok kuil, yang tertutup rapat. Di depan pintu ia lihat merek “Kiu Sian Koan” dengan  tambahan dua huruf yang menyatakan kuil itu didirikan menurut titahnya pemerintah.

“Pastilah ini kulinya si imam perempuan”, Siau Hoo menduga-duga, “Hanya aneh, kenapa Pau Cin Hui diijinkan berdiam disini?“

Lantas pemuda itu mengetok gelangan pintu, dengan pelahan, sampai beberapa kali. Ia  menantikan sampai sekian lama. Ia tidak peroleh jawaban, tidak ada yang menyahuti, tidak ada yang membukakan pintu. Hal ini membuat ia jadi mendongkol. Maka ia gedor pintu itu, hingga pintu menerbitkan suara nyaring, suaranya sangat berisik. Dengan sebelah tangan menggedor, tangannya yang lain, siap dengan pedangnya. Ia juga memanggil-manggil dengan kaokannya berulang-ulang.

Lewat pula sekian lama, tetap tidak ada yang buka pintu. Akhirnya Siau Hoo jadi gusar.

“Pastilah imam-imam perempuan disini bukannya imam

baik-baik!“ kata ia dengan sengit. Lenyap ia punya rasa menghormat. “Buat apa aku berlaku sungkan lagi terhadap mereka?”

Lantas ia enjot tubuhnya, akan loncat keatas  tembok dimana ia berdiri seraya mengawasi kedalam.

Bagian dalam dari kuil ada sunyi sekali, seorang-pun tidak nampak. Hanya di pekarangan dalam, dimana ada sebuah pintu, lantas kelihatan berkelebatnya satu bayangan manusia, yang menuju keluar, kepintu. Dia adalah seorang perempuan biasa, bukannya too-kou atau  imam perempuan, dan dia pakai baju hijau celana merah, rambutnya dikepang panjang. Dia jalan sambil tunduk, sebelah tangannya memegang sapu tangan, yang dipakai menutupi mukanya sebab dia sedang menangis.

Siau Hoo terperanjat, tanpa berani mengawasi, ia loncat turun kembali, terus ia berdiri disamping pintu. Ia heran, ia berpikir keras. Kenapa didalam kuil itu-pun ada orang perempuan biasa?

Pada pintu segera terdengar suara beberapa kali, itu disusul dengan dipentangnya sebelah daun pintu, atas mana si orang perempuan lari keluar. Sekarang dia tidak lagi tutupi mukanya, hingga kelihatan air matanya meleleh pada mukanya yang elok, hanya muka itu nampaknya kurus.

Lagi sekali Siau Hoo terperanjat, hingga ia seperti lagi mimpi. Inilah diluar ia punya dugaan. Sebab orang perempuan itu adalah Ah Loan yang lenyap dibukit Cin Nia, yang ia pernah cari dengan sia-sia saja. Ia mengawasi.

“Ah Loan! ... ” akhirnya ia menegor. “Kenapa kau berada disini?“

Nona itu agaknya sangat bersedih, tetapi atas itu pertanyaan, ia angkat kepalanya, ia  mengawasi dengan matanya yang dibuka lebar.

“Toh kau yang ajak aku kemari?” ia kata “Kau telah punyakan kepandaian, kau pasti ingin mencari balas! Tapi, mengapa kau mesti ingin bunuh yaya-ku? Dia adalah seorang yang usianya sudah terlalu lanjut! ... Baik kau bunuh aku saja!”

Habis berkata begitu, dengan tiba-tiba nona ini lari pada si anak muda, tangannya menyamber orang punya lengan yang memegang pedang, yang ia cekal dengan keras. Nyata ia ada bergemetaran. Air matanya juga lantas mengucur pula dengan deras.

Siau Hoo menjadi berduka dengan tiba-tiba sampai lengannya hampir tidak bertenaga. Ia menghela napas, ia goyang-goyang tangannya.

“Ah Loan, sabar,” berkata ia. “Kita telah dapat bertemu ini hari, baik kau tenangkan diri, kau dengarkan perkataanku. Kita mesti bicara dengan sabar, karena pembicaraan ada terlalu panjang ... “

Tapi Ah Loan, yang menangis terus masih menyekali dengan keras. “Aku tahu, aku tahu semua ... “ kata ia suaranya sangat bernapsu. “Itulah ada sakit hati besar sejak sepuluh tahun yang lalu! Tapi cita-citamu tak lebih tak kurang ada untuk membinasakan satu orang she Pau, itulah perkara gampang. Ini hari aku akan biarkan kau bunuh seorang she Pau, satu orang saja, bukannya antero keluarga Pau, karena tak dapat seluruh keluarga dipakai menebus jiwanya satu ayahmu ... ”

Selagi berkata demikian, dengan tiba-tiba Ah Loan rampas orang punya pedang. Ia berhasil.

Siau Hoo kaget tidak kepalang. Ia ulur tangan kirinya, akan cekal orang punya bahu.

Dengan kedua tangannya, Ah Loan pegang keras orang punya pedang itu, ia tidak mau melepaskannya.

“Ah Loan, kau hendak buat apa?” tanya Siau Ho. Ah Loan tidak nenyahuti, ia menangis.

“Biar bagaimana, aku telah lakukan kewajibanku

terhadap kau, terhadap yaya, terhadap Kong … “ kata ia kemudian. Tapi, sebelum ia  ucapkan “Kiat,“ dengan sekonyong-konyong, ia geraki tubuhnya, untuk di tubruki pada pedang.

Siau Hoo kaget, tapi ia cepat rampas pedang  itu. Ia berhasil, ia angat pedang ketinggi, akan tetapi berbareng dengan itu, tubuhnya si nona rubuh. Kembali ia jadi kaget, ia lempar pedangnya, ia tubruk si nona, tubuh siapa ia peluk dan angkat.

Mukanya Ah Loan lantas jadi pucat bagaikan kertas, kedua matanya ditutup, dari mulutnya keluar rintihan. Tajamnya pedang telah mengenai ia punya dada, dari mana darah mengalir, membuat merah ia punya baju hijau dan celana merah ... Siau Hoo banting-banting kaki, sampai ia tak dapat kata suatu apa.

“Kau puas, bukan?“ kata Ah Loan kemudian, suaranya separuh merintih. “Jikalau kau belum puas, nah, tikamlah aku lagi satu kali! Jangan kau buat aku tersiksa ... Oh, Siau Hoo, orang dengan hati kejam … Sepuluh tahun aku telah nantikan kau … Benar aku telah menikah dengan Kie Kong Kiat, tetapi dengan dia itu, aku tak menyinta ... Pada sepuluh tahun yang lalu, waktu kita masih kecil, aku telah janji bahwa aku akan menikah dengan kau … Aku. aku tak lupai janji itu ... ”

Siau Hoo banting kaki-kaki, ia sangat berduka dan bingung.

Justeru itu, daun pintu telah dibuka pula  yang sebelahnya dan disitu Cin Hui muncul. Sekarang ini, jago tua itu tak lagi ketakutan, malah mukanya ada merah, kumis jenggotnya bergerak-gerak.

“Siau Hoo, lepaskan cucuku!‘ ia membentak. “Aku bisa ijinkan kau bunuh dia, aku tidak ijinkan kau peluk padanya! Siau Hoo, lepas dia! Marilah, kita berterupur pula untuk menentukan, siapa jantan siapa betina!“

Ah Loan telah terluka dengan dadanya terus mengalirkan darah, sampai baju dan tangannya Siau Hoo turut berlepotan, ia menahan sakit hingga tubuhnya bergemetar, kepalanya pusing, matanya kabur,  akan tetapi ia masih bisa bicara, walau-pun dengan suara separuh merintih.

“Pikirlah, yaya …“ berkata ia pada engkongnya itu. “Yaya, kau terlalu kejam! Sejak aku umur sepuluh tahun, aku sudah mencintai Siau Hoo, coba kau ketahui itu, tidak nanti terjadi seperti sekarang ini! Kenapa yaya paksa aku menikah dengan Kie Kong Kiat? Siau Hoo, jangan lepaskan aku! Kau peluk aku biar keras sampai aku mati!“

Mendengar perkataan cucunya itu Pau Kun Lun gusar hingga dua baris giginya bercatrukan, matanya mendelik. Dilain pihak ia tampak air matanya Siau Hoo-pun mengembeng, ia dapatkan orang punya roman cakap dan gagah, yang setimpal benar dengan cucunya itu yang elok dan gagah juga. Bagaimana sembabat! Ia-pun lihat, Siau Hoo mirip betul dengan ayahnya, hingga dengan tiba-tiba ia insyaf, dengan bunuh Cie Seng, ia sudah berlaku kejam, ia telah buat celaka orang punya rumah tangga. Lalu dengan sendirinya, hawa amarahnya jadi reda, hilang ia punya bengis. Diakhirnya ia menghela napas panjang …

“Kau berdua ada merdeka sekarang! ... “ kata ia akhirnya, “Aku-pun tidak mau kenal kau sebagat cucuku lagi, Ah Loan! Kang Siau Hoo! Kau punya bugee  ada terlalu liehay, aku Pau Kun Lun bukannya tandinganmu, maka jikalau kau bendak bunuh aku, bunuhlah, tidak nanti aku membela diri atau balas menyerang! Hanya perlu aku beritahukan kau, meski juga dahulu ayahmu terbinasa secara sangat menyedihkan, tetapi dia harus terima kebinasaannya. Sesudah dia binasa, dari sakunya aku dapatkan beberapa tail uang perak, semua itu telah aku kembalikan kerumah kau. Memang, beberapa kali aku berniat binasakan kau guna singkirkan rumput berikut akarnya, akan tetapi saban-saban aku tak sampai hati. Aku Pau Kun Lun bukannya tak punya rasa kasihan ... Sekarang kita tidak usah panjang bicara lagi, aku hendak angkat kaki, aku serahkan Ah Loan mati atau hidup pada kau! Aku hendak cari Kie Kong Kiat guna urus dia punya perceraian!

…” Setelah kata begitu, dengan sangat berduka, Pau Kun Lun lantas buka tindakan lebar, akan menuju turun gunung


Siau Hoo melengak, tetapi dengan tidak perdulikan jago tua itu, ia awasi Ah Loan, yang keadaannya menyedihkan. Nona ini terus merintih dia tak dapat bicara lagi, sepasang matanya mengalirkan air, matanya itu mengawasi saja si anak muda.

Segera Siau Hu pondong orang punya tubuh, buat dibawa masuk kedalam kelenteng, itulah tubuh separuh mati separuh hidup. Ia dapatkan kelenteng ada sangat sunyi seperti tidak ada penghuninya. Sekian lama mereka buat banyak berisik, toh tidak seorang juga yang muncul. Ia memanggil-manggil, ia tanya “Ada orang atau tidak didalam?” tetap kelenteng itu sunyi senyap. Karena ini ia bertindak terus masuk kedalam, sampai dipekarangan dari ruangan yang ketiga. Disitu ia tampak dua kacung too-kou sedang pilih biji cemara.

Dua kacung itu terkejut kapan ia lihat ada orang masuk dengan bawa seorang perempuan yang mandi darah, orang itu bertubuh tinggi dan besar dan berlepotan darah juga. Mereka menjerit, lantas mereka lari kearah pendopo.

Hampir di itu waktu, dari dalam pendopo muncul satu imam perempuan yang usianya sudah lanjut. Ia-pun agak terperanjat melihat kedua tamu tidak diudang itu.

“Kenapa dia terluka?” dia tanya.

“Tolong kasikan dahulu tempat!” sahut Siau Hoo. “Sesudah aku letaki dia, baru aku nanti kasi keterangan! ...  ”

“Sebenarnya dia tinggal disebelah luar.” Too-kou tua itu kata. ”Mari!” Ia lantas mengajak berlalu dari ruangan itu, pergi kebagian dalam dari ruangan kedua, disini ia  membuka sebuah pintu sebelah timur. Siau Hoo, sambil pondong Ah Loan mengikuti terus. Itu ada suatu pendopo yang gelap, disitu ada dipuja patung Buddha.

Siau Hoo lihat sebuah pembaringan kayu berikut bantal kepalanya dan selimut. Ia minta si imam itu singkap selimutnya, Ia letaki tubuhnya Ah Loan di atas itu. Sekarang ia kerebengi selimut pada orang punya tubuh itu.

“Nona Pau itu diantar kemari oleh Tiat Tiang Ceng,” berkata Si too-kou tua yang berdiri saja diamping. “Dia tinggal menumpang disini sudah satu bulan lebih. Di kelenteng kita ini, kita biasanya tak terima orang datang menumpang tinggal, tetapi kita terima ini nona saking terpaksa. Karena Tiat Tiang Ceng kenal baik kita  punya Too Teng Su-kou. Ini kali ketika dia datang, Tiat Tiang Ceng berlaku galak sekali, dia telah paksa kita terima Si nona, katanya si nona baru datang, dia terluka pada pundak dan pahanya. Kita ada orang-orang suci, tak dapat kita tolak padanya ... “

Siau Hoo menghela napas. Ia tunjuk nona itu.

“Dia adalah seorang yang sangat harus dikasihani,” ia kata. “Kita ada asal satu kampung halaman dimasa kecil, kita suka memain bersama-sama seperti engko dan adik saja. Dia punya egkong ada seorang busuk, adalah dia punya engkong yang sudah buat dia bernasib celaka!”

“Kelihatannya dia tak bakal jadi mati.” berkata imam perempuan itu. “Dimana adanya dia punya rumah? Baiklah dia lekas diantar pulang, agar dia bisa lekas berobat.”

Habis kata begitu, too-kou ini terus bertindak keluar. Siau Hoo manggut, ia antap orang pergi. Ah Loan segera buka matanya dengan perlahan. “Kau juga baiklah pergi,” kata ia dengan lemah.

“Lukamu berat,” kata ia, “bagaimana aku bisa

tinggalkan kau? Aku mesti tunggu sampai kau sudah sembuh, nanti aku antar kau pulang, habis itu baru aku pergi.”

“Aku tdak hendak pulang.” Ah Loan  menangis. “Baiklah kau lekas pergi, kau jangan datang pula kemari. Selanjutnya aku tidak mau kenal siapa juga, walau-pun engkong datang, aku tetap tak sudi kenal padanya! Umpama kau niat bunuh engkong, bunuhah!“

Nona itu menangis, ia merintih pula.

Kamar itu ada gelap, penglihatan-pun menggiriskan, mengenaskan.

Siau Hoo bingung, hatinya sakit hingga ia berdiri menjublek.

“Aku tidak punya obat, bagaimana lukanya dia ini dapat disembuhkan?“ ia pikir seorang diri. “Jikalau aku pergi cari obat, dia disini tidak ada yang rawati …”

Masih pemuda ini berdiri diam, ia sangsi bukan main.

Sebentar Ah Loan buka pula matanya. Si anak muda mendekati dia.

“Ah Loan, apakah kau tidak haus?“ ia tanya.

“Tidak,” sahut Si nona sesudah ia perdengarkan rintihannya.

“Baiklah kau tunggu disini,” kata Siau Hoo kemudian, “dengan menunggang kuda, aku hendak pergi ke Un-sin- tin, buat beli obat luka. Tanpa diobati, cara bagaimana lukamu ini dapat sembuh?” Ah Loan tidak menyahuti, ia  cuma merintih, kedua matanya ia tutup rapat.

Siau Hoo berduka bukan main, ia  goyang kepala, sepasang alisnya mengkerut. Dengan pelahan, ia bertindak keluar. Ia merandek dipintu, ia  menoleh, akan awasi si nona, kemudian ia berjalan terus, ke luar, dengan cepat- cepat. Ia dapatkan pintu pekarangan masih dipentang. Ia keluar, ia rapati pintu itu. Selagi tunduk, ia lihat darah cerecetan ditanah, hatinya pepat. Kemudian ia cari pedangnya, ia tidak dapati itu. Dalam keadaan seperti itu,  ia tidak mau mencari lebih jauh, hanya segera ia  pergi keundakan tangga dilamping gunung, untuk manjat, akan lewat rimba, akan kemudian bertidak turun dilain  sebelah. Ia tampak seekor menjangan asyik makan rurnput, tetapi melihat dia binatang itu kaget dan kabur, hingga burung- burung turtt kaget dan terbang berhamburan.

Selang sekian lama, Siau Hoo sampai dikaki gunung. Disini ia tidak dapatkan ia punya kuda, melainkan tumpukan kotoran dari binatang itu. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau banyak pikir. Ia merasa sukur, buntalannya digendol dibebokongnya, kalau tidak, pasti buntalan itu turut lenyap juga.

Diantara berisiknya suara burung, Siau Hoo memandang keempat penjuru ia mengerti, ia punya kuda pasti sudah dibawa kabur olek Pau Kun Lun. Ia menjadi mendongkol sekali.

“Baik, Pau Kun Lun!“ kata ia dalam sengitnya.  “Dua kali kau lolos dari tanganku! Ini kali kau ketolong karena hatiku lemah ... Biar kau hidup lagi sekian huri, jikalau di belakang hari kita dapat bertemu pula, itu waktu kita nanti bicara lagi!“ Lantas, tidak ingat apa juga, kecuali Ah Loan, yang lukanya perlu ditolong, Siau Hoo segera menuju ke Un-sin- tin. Ia tidak menunggang kuda tetapi ia bisa jalan separuh lari, cepat sekali ia telah sampai pula didusun yang dituju. Ia dapatkan, waktu itu sudah dekat tengah-hari, keadaan beda daripada waktu pagi. Ia pergi pula ke warung mie tadi. Sekarang warung ada sepi, dan tuan rumah lagi duduk ngelenggut didekat dapurnya.

Dengan satu suara nyaring, Siau Hoo teriaki tuan rumah, hingga dia ini terkejut dan buka matanya dengan lekas.

“Apakah disini ada tabib untuk luka-luka?“ Siau Hoo tanya selagi orang awasi ia dengan mata  terbuka lebar. “Dimana ada penjual obat luka yang mustajab? Aku ada punya satu sahabat, yang terjatuh diatas gunung dan terluka parah.”

“Tabib untuk luka-luka tidak ada,” sahut tuan rumah kemudian. “Ada juga disebelah utara sana, dibengkel kereta, ada tabib hewan. Untuk beli obat, kau mesti ke timur, dalam sebuah gang kecil disana ada satu rumah obat.”

Siau Hoo tidak tanya melit-melit, ia segera bertindak kearah timur, benar dalam sebuah gang kecil. ia dapati rumah obat yang dihunjuk. Ditembok sudah kelihatan tulisan reklame: “Kita ada jual obat Pat Pon Twie Hong San buatan turunan dan obat kuat Kim So Kou Ceng Wan menurut resep rahasia.” Dimuka pintu juga ada digantung sebuah buli-buli obat-obatan. Ia lantas bertindak masuk.

Didalam pekarangan ada seorang tua.

“Hendak beli obat?” orang tua itu menegor kapan ia lihat ada orang datang.

Siau Hoo manggut. “Benar,” ia jawab. “Aku hendak beli obat luka kebacok.” “Silahkan masuk!“ mengundang orang tua itu.

Didalam kamar kelihatan banyak botol dan guci obat-

obatan.

“Kau ada punya obat luka bagaimana? Coba keluarkan!“ Siau Hoo minta.

“Aku ada punya obat sambung tulang.”

“Bukannya tulang patah,” hanya Siau Hoo raba ia punya dada. “Lukanya di bagian anggota ini, dan yang terluka- pun orang perempuan.”

Orang tua itu tarik satu laci, akan keluarkan sebungkus obat.

Siau Hoo lihat tulisan dibungkusan obat itu, yang ada obat tete, ia jadi mendongkol, hingga hampir ia  ayun kepalannya.

“Aku inginkan obat luka kebacok! Kau dengar tidak?“ ia bentak.

“Oh, obat luka kebacok ... “ ulangi orang tua itu. “Obat manjur untuk itu ada obat putih buatan In-lam, belinya mesti dikota, disini tempat kecil, tidak ada yang jual. Penduduk disini, siapa tertuka, dia beli aku punya obat salep menyambung tulang atau dia beli saja bubuk pengpian

…”

Siau Hoo putus asa. Tapi peng-pian ada bersifat dingin, maka ia anggap, obat itu barangkali bisa pakai mengurangi rasa sakit. Maka itu ia keluarkan uangnya, ia beli beberapa tail peng-pian, sesudah mana, ia lekas berlalu, akan ambil pula jalanan ke In Ciat Nia. Ia berlari-lari, hingga ia mesti keteskan keringat dan jidatnya dan napasnya pun tersengal- sengal. Disebelah itu, ia ada berkuatir, mendongkol dan berduka.

“Dulu untuk tolongi Yo Sian Tay, aku sampai pergi minta obat kegunung Siong San,” ia kata dalam hatinya. “Obat bubuk Kim Kong Keng Seng San dari Thay Bu  Siansu ada sangat mustajab dan kesohor, tetapi selagi gusar, ia telah robek surat resepnya dan obatnya dibuang berhamburan ... Kenapa dulu aku tidak ambil barang dua bungkus, untuk disimpan sampai ini hari? Jikalau ada obat mutajab itu mustahil lukanya Ah Loan tidak bakal segera disembuhkan?”

Ingat kejadian dahulu itu, Siau Hoo lalu ingat juga Lie Hong Kiat.

“Sekarang ini dia tentu sudah berumah tangga dengan sempurna, tetapi aku, aku mesti terus merantau …“ ia ngelamun lebih jauh. “Dengan bersusah-payah, baru aku dapat bertemu dengan Ah Loan, siapa tahu, dia sudah dipaksa menikah oleh engkongnya. Ah Loan nyatakan ia menyintai aku, tetapi, jikalau ia sudah sembuh, apa bisa aku nikah dia? Andaikata aku ambil Ah Loan sebagai isteriku, bagaimana apabila Kie Kong Kiat dapat tahu dan dia datang menegor aku? Apa aku mesti bilang padanya? Laginya, pembunuh dan ayahku ada Pau Kun Lun, apa boleh dengan begini saja aku beri dia lolos? Apakah permusuhan bisa disudahi secara begini?”

Pikirannya pemuda ini jadi sangat kusut, maka itu,  ia jadi lelah bathin dan lahir. Ketika ia akhirnya sampai  di kaki gunung, ia mesti menindak mendaki dengan perlahan- lahan. Ia mesti gunai banyak tempo dan tenaga, untuk sampai dijalanan yang berundakan batu diantara rumput tebal dan pepohonan lebat. Ia-pun meminta banyak tempo akan sampai dimuka pintu Kiu Sian Koan. Ia dapati tanda- tanda darah sudah disingkirkan. Ia punya pedang tetap lenyap. Ia menolak pintu, yang dikunci dari dalam, karena itu, ia apungkan tubuhnya untuk loncati tembok pekarangan, buat masuk kedalam. Belum lagi kedua kakinya injak tanah atau tiba-tiba ia rasakan ada apa-apa yang mengenai ia punya bahu kiri, hingga ia  merasakan sakit tak terkira. Tanpa merasa lagi, ia jatuh duduk, numprah ditanah, obatnya terlepas dan jatuh, berbareng dengan mana, benda yang mengenai bahunya pun jatuh sambil beri dengar suara nyaring. Ternyata benda itu ada sebutir peluru besi, atau tiat-sian-wan sebesar biji  buah hengtoh.

Bukan main kagetnya pemuda ini, walau-pun tangan kirinya tak dapat diangkat lagi ia toh geraki kedua kakinya, untuk segera lompat berdiri.

Adalah itu waktu, dari jurusan utara, dari dalam pendopo ke satu, dengan beruntun, ada menyamber empat atau lima peluru lain, tetapi karena ia keburu gerak tubuh, semua itu Siau Hoo dapat kelit, hingga semua penyerangan mengenai tembok, sambil terbitkan suara, semua peluru itu jatuh ketanah.

“Siapa kau?” berseru Siau Hoo dengan gusar. “Hayo keluar!”

Dari pintu berdaun dua dari pendopo utara, berbareng dengan suara dibukanya pintu tertampak munculnya satu tubuh yang jangkung dan besar dari satu imam perempuan dari usia kurang-lebih lima-puluh tahun, pakaiannya ringkas, tangan kiri menyekal busur peluru besi, tangan kanan menenteng golok yang berkilauan.

Siau Hoo heran hingga ia melengak

“Too-kou, jangan kau keliru kenali orang!“ segera ia berkata, untuk berikan keterangan, “Aku adalah orang yang tadi keluar dari sini, aku baru saja pulang habis beli obat Aku ada punya satu kenalan perempuan asal satu kampung halaman, yang telah terluka, yang sekarang berada dalam kau punya kuil ini …”

Imam perempuan itu segara perlihatkan romannya yang bengis, sebagai roman Srigala atau rupa kokok beluk, sembari tertawa menyengir, ia kata secara menghina.

“Apakah kau sangka aku tidak kenali kau, Kang Siau Hoo?” demikian suaranya, yang tak sedap didengar. “Kau sudah merantau, kau dapati kepandaian silat, lantas kau malang melintang, berbuat sewenang-wenang di Siam-say Selatan! Kau sudah perhina Pau Kun Lun yang tua dan tidak berkawan, kau sudah cerai beraikan Kie Kong Kiat dan Pau Ah Loan sebagai suami isteri!”

“Ngaco!“ Siau Hoo memotong dengan bentakannya.

Tapi si imam perempuan jadi terlebih sengit, sambil terus hunjukkan romannya yang bengis, ia-pun kertek gigi, “Jangan kau menyangkal! Tiat Tiang Ceng ada aku punya sutee, adik seperguruan, dan dalam gunung Cin Nia, dia telah tolongi Pau Ah Loan, yang dia bawa kemari! Dan kemarin dia juga sudah tolongi Pau Kun Lun! Pada itu malam juga perintah muridnya, Ceng Hian, pergi ke Tin-pa, akan panggil datang orang-orang Kun Lun Pay. Aku punya sutee Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, tetapi dia telah kau binasakan didalam gunung! Dan sekarang kau masih berani datang kemari, kekuilku!“

Siau Hoo tertawa dingin, ia mengejek.

“Jikalau Tiat Tiang Ceng ada seorang gagah dan mulia, kenapa dia bunuh itu suami isteri pemburu dengan dia punya tongkat besi?” ia tanya. “Jikalau dia tidak binasakan sepasang suami isteri pemburu itu, aku juga tidak akan buat dia celaka!“ “Suami isteri pemburu iu adalah begal-begal digunung itu!“ Imam perempuan itu terangkan. “Karena adanya aku dan aku punya sutee disini, berdua mereka berlaku sebagai orang baik-baik, mereka hidup berburu untuk berpura-pura saja, asal kita satu waktu berpergian, segera mereka ganggu orang, merampas dan membunuh! Tidaklah kecewa kebinasaan mereka itu ... ”

“Dalam hal itu, barang kali aku keliru,” Siau Hoo akui. “Tapi urusanku dengan keluarga Pau, itu tak dapat dijelaskan dalam tempo yang pendek. Kau cuma tahu Pau Kun Lun sudah tua dan harus dikasihani, tetapi kau tak tahu yang dia ada sangat jahat dan kejam. Sekarang ini aku tidak ingin buat ribut disini berhala yang suci, aku datang kemari untuk tolong obati Pau Ah Loan, aku hendak tungu sampai dia sudah sembuh, aku nanti berikan ia sedikit uang, lantas aku akan pergi.”

Sembari mengucap demikian, Siau Hoo berdongkol sambil ulur tangannya yang kanan, untuk jumput bungkusan obat.

Dengan sekonyong-konyong, imam perempuan itu sudah siapkan pula pelurunya dan kembali menyerang, sukur Siau Hoo keburu berkelit, hingga peluru besi lewat disamping kupingnya. Sedikit lambat saja, batok kepalanya pemuda ini bisa ditembusi peluru dan jiwanya pasti akan melayang. Karena ini, ia batal jumput bungkusan obat, ia terus lompat maju.

Imam perempuan itu segera lepaskan busurnya, sebagai gantinya ia lompat sambil membacok.

Siau Hoo egos tubuh dari bacokan, habis itu, dengan tangan kosong, ia melayani berkelahi. Ia  ingin rampas orang punya golok kangtoo itu. Diluar dugaan, si imam ada sangat gesit dan liehay, ilmu silatnya berada diatasan Pau Kun Lun dan Kie Kong Kiat. dan tenaganya barangkali lebih besar dari pada tenaga Tiat Tiang Ceng. Dia punya ilmu golok-pun istimewa, hingga sampai selang beberapd jurus, sia-sia saja si pemuda mencoba mendapati orang punya golok.

Melayani musuh yang bersenjatakan gogok, Siau Hoo gunai kepandaiannya berloncat-loncat, saban-saban ia hunjuk kegesitan tubuh, akan berkelit, akan tetapi ia insaf, tak dapat ia berkelahi terus-terusan secara demikian, maka kemudian, ia gunai ketika akan loncat kearah busur besi, untuk segera jumput itu, sesudah mana ia pakai busur itu sebagai senjata, untuk lawan musuh. Ia gunai busur sebagai pedang.

Siau Hoo terhambat oleh ia punya lengan kiri yang sakit, yang terluka oleh peluru besi, dan disebelahnya ia sedang sangat letih, ia juga sibuki Ah Loan, yang membutuhkan pertolongan cepat. Ia benar-benar tidak ingin bertempur lama-lama. Apa mau, imam perempuan ini desak ia dengan hebat, hingga mau atau tidak, ia mesti hunjukkan juga kepandaiannya.

Pertempuran berlangsung lagi dua puluh jurus lebih. Terus-terusan  Siau  Hoo  unjukkan  ia  punya  kesebatan,

sekarang  ia  tak  kuatirkan  lagi  golok  musuh  yang  ia bisa

rintangi dengan busurnya. Saban-saban ia mengancam, ia mencari lowongan. Demikian, dalam serunya pertempuran, sekonyong-konyong ujung busurnya melanggar orang punya iga, atas mana dengan tiba-tiba, goloknya si imam perempuan terlepas dari cekalannya, tubuhnya-pun turut rubuh!

Ternyata, pemuda ini sudah gunai Tiam-hiat-hoat, ilmu menotok jalan darah. Menampak sang lawan telah rubuh tak berdaya, Siau Hoo tidak memperdulikannya lagi, sesudah lemparkan busurannya, ia lompat pada bungkusan obat, untuk jumput itu, buat ia terus bawa lari kedalam.

“Kang Siau Hoo,” berseru si imam perempuan, sambil rebah saja. “Kecuali kau suruh aku rebah untuk selamanya disini, asal aku sanggup berbangkit. Pasti aku tidak akan ijinkan kau hidup lebih lama pula! Aku mesti balas sakit hatinya aku punya sutee!”

Siau Hoo dengar orarng punya perkataan itu ia tak gubris, ia lari terus, memasuki ruangan kedua, hingga sebentar saja, ia sudah berada dalam kamarnya Ah Loan. Si nona tetap mandi darah, tubuhnya rebah, kedua matanya tertutup, hingga ia nampaknya mirip dengan mayat.

Dengan napas memburu, dengan sepasang alis mengerut, Siau Hoo mendekati orang punya tubuh. Sekarang ia bisa lihat orang punya napas, yang pelahan, dan dengar juga rintihan, yang pelahan luar biasa. Tidak ayal lagi, ia buka bungkusan peng-pian, ia jumput itu, untuk borehkan di lukanya si nona, untuk mana, ia tidak buka lagi orang punya baju. Sembari mengobati, ia awasi nona itu, untuk lihat hasilnya itu obat. Sisanya obat ia bungkus pula.

Justeru itu, imam yang  pertama Siau Hoo ketemui, kelihatan mendatangi padanya. Ia ini memberi hormat sambil manggut dalam.

“Sudah berbuat salah apakah Too Teng Su-kou terhadap sie-cu?” tanya ia. “Dia sekarang rebah diluar dengan tak dapat geraki tubuhnya. Dia bilang bahwa siecu sudah totok ia dengan tiam-hiat hoat, maka itu, sie-cu tentunya bisa totok pula dia untuk ditolong merdekakan. Dialah yang suruh aku datang pada sie-cu, buat minta sie-cu tolong padanya. Dia bilang, begitu lekas sie-cu sudah merdekakan dia, dia akan lantas angkat kaki, dia tidak akan ganggu pula pada sie-cu.”

Siau Hoo putar tubuhnya, akan hadapi imam perempuan itu.

“Didalam kuil ini kenapa boleh ada imam perempuan semacam dia?“ ia tanya. ”Dia ada sangat ganas, syukur ini hari akulah yang berhadapan dengan dia, coba lain orang, biarpun ada lima atau enam orang, semuanya pasti bakal terbinasa oleh dia punya peluru besi. Jikalau aku merdekakan dia, pasti sekali dia bakal lakukan pula kejahatannya.”

“Tidak nanti dia berbuat jahat pula,” berkata Si imam. “Dia punya peluru itu sebenarnya tidak pernah digunai secara sembarangan. Dalam usia dia ada terlebih muda daripada aku, akan tetapi dalam tingkatan, dia ada terlebih tua. Didalam kuil kita ini, selama dua-ratus tahun, belum pernah ada anggauta yang  tidak hormati aturan kita. Tentang Too Teng, aku bisa terangkan, dulu waktu keluar untuk memungut derma, ia sudah ketemu seorang yang pandai ilmu silat, yang wariskan kepandaiannya kepandanya, maka itu dia jadi pandai menggunai golok dan panah peluru. Oleh karena ia punya kepandaian silat itu ia tak dapat berdiam lebih lama dalam kuil ini. Selain dua puluh tahun, ia sering merantau kelain-lain tempat, ada kalanya, setengah sampai satu tahun, dia tidak pernah pulang. Tiat Tiang Ceng itu ada dia punya sutee, mereka berdua, sucie dan su-tee, sering datang bersama-sama. Tiat Tiang Ceng ada punya satu murid, kemarin muridnya telah datang bersama-sama dianya, hanya tadi malam entah pada jam berapa guru dan murid itu sudah meniuggalkan kuil ini.”

“Apakah tadi malam Too Teng berada disini dan tidak pernah keluar?” Siau Hoo tanya. Imam perempuan itu menggeleng kepala.

“Tidak demikian,” sahutnya. “Dia baru saja datang, ini kali dia pergi untuk belasan hari, baru dia kembali. Dia memang tidak punya ketentuan, satu waktu  dia datang dengan tiba-tiba, lain waktu dia pergi dengan mendadakan, dalam halnya itu, kita tidak berani tanya dia. Dia ada tergolong lebih tua, dia punya tabeat-pun buruk. Lain sebab lagi adalah, tadinya kuil ini ada kecil, berkat dia punya pungutan derma, belakangan ia telah perbaiki dan perbesar, maka sejak berpulangnya guru kita kelain dunia, dialah yang menjadi kepala disini, hanya tempo kediamannya disini ada pendek sekali. Dia-pun biasanya, tidak membakar dupa, tidak mensujuti Sam Ceng yang maha suci, malah dia tidak mampu membaca do’a, dia tidak bisa duduk bersamedhi. Disini dia ada punya beberapa ekor menjangan. Menjangan adalah binatang yang ia  paling gemari.” Baru saja si imam berhenti bicara, atau terdengar rintihannya Ah Loan. Siau Hoo segera menoleh pada nona itu. Rupanya dia punya keadaan ada mendingan, sekarang dia bisa buka matanya terlebih lebar. Melainkan dari matanya itu masih keluar air.

“Siau Hoo, jangan kau lukai Too Teng Su-kou dan Tiat Tiang Ceng,” berkata si nona. suaranya lemah. “Mereka adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya. Aku-pun telah ditolongi mereka, yang bawa aku kemari.”

Siau Hoo manggut.

“Aku pasti tidak akan ganggu mereka!“ ia jawab.

Sembari berkata demikian, pemuda ini menyesal. Ia anggap, ketika ia tempur Tiat Tiang Ceng, seharusnya ia berlaku terlebih murah hati.

“Tetapi, orang yang bunuh Tiat Tang Ceng, curi kudaku dan kepalanya Liong Cie Khie, dia tentu bukannya Pau Ciu Hui dan Too Teng Su-kou,” ia berpikir. “Dia mesti ada seorang lain, yang menjadi pihak lawannya mereka ini. Siapa dia? Inilah aneh! Disini ada perbatasan Su-coan dan Siamsay, terpisahnya tempat ini dengan Tin-pa tidak ada seratus lie, kenapa disini ada orang aneh semacam dia? Sama sekali aku belum pernah dengar tentang dia itu …”

Lantas dia kata pada Ah Loan: “Aku telah totok Too Teng Su-kou hingga dia tak dapat bergerak, aku nanti pergi untuk merdekakan diri, dia akan bisa bergerak pula seperti biasa. Kau sendiri ... kau harus rawat baik-baik dirimu, jika nanti kau sudah sembuh, aku akan tuturkan segala apa dengan jelas padamu. Sekarang ini dalam kalangan kangou orang bisa ciptakan segala apa, dari itu kau tidak boleh dengar saja satu pihak. Too Teng dan Tiat Tiang Ceng boleh sudah tolong kau, akan tetapi belum pasti mereka ada orang-orang gagah budiman. Tapi kau jangan kuatir, tidak nanti aku buat mereka celaka, apa pula Ceng Hian adalah sahabatku sejak sepuluh tahun. Aku biasa lakukan segala apa dengan terus-terang, kapan nanti aku telah menutur, barulah kau akan dapat tahu.”

Setelah mengucap demikian, Siau Hoo putar tubuhnya, untuk bertindak keluar, ia jalan dengan cepat. Diluar, ia dapatkan Too Teng Su-kou sedang rebah ditanah. Ia lantas mendekati.

“Aku dengar kau ada seorang gagah yang mulia, karena itu, aku tidak ingin buat susah padamu,” ia berkata. “Tapi aku hendak beri. tahukan kepada kau bahwa aku, Kang Siau Hoo, bukannya itu orang yang biasa menangkan lain orang dengan andalkan Tiam-hiat-hoat.”

Setelah berkata demikian, Siau Hoo jumput busur yang terletak ditanah. Ia punya bahu kiri sudah terluka, akan tetapi tangannya sendiri masih punyakan tenaga, maka itu, kapan ia telah cekal busur itu dengan kedua tangannya, dengan satu gerakan saja ia telah buat putus tali kawatnya, kemudian dengan lain gerakan ia tekuk melengkung busur itu hingga merupakan satu bunderan besi. Ketika ia lemparkan gelang istimewa itu, gelang itu jatuh ke tanah dengan terbitkan suara nyaring dan berisik. Habis itu, pemuda ini jumput golok kang-too, goloknya Si imam perempuan, yang ia letaki berdiri di kaki tembok, lalu ia jejak dengan kakinya, sampai golok itu menjadi bengkok, kemudian setelah ia baliki golok itu ia  menjejak untuk kedua kalinya, dan sekali ini, golok itu lantas patah menjadi dua potong!

Paling akhir, mendekati Too Teng, Siau Hoo angkat ia punya sebelah kaki, untuk dupak imam perempuan itu. Nampaknya ia punya dupakan ada enteng sekali, akan tetapi karena itu, tubuhnya si imam bergulingan dua kali, sesudah mana. Too Teng rasai darahnya jalan pula, hingga ia bisa lantas geraki tangan dan kakinya, untuk bangun berdiri. Diluar dugaan, begitu lekas ia sudah berbangkit, dengan tiba-tiba, dengan gesit sekali, ia  ulur sebelah tangannya pada orang punya iga. Da memang mengarti Tiam-hiat-hoat.

Siau Hoo ada waspada, matanya celi, gerakannya sebat, ketka serangan datang, ia mendahului ulur ia punya tangan, akan tolak orang punya tubuh, atas mana Too Teng Su-kou lantas terpelanting dan rubuh di tempat jauhnya  dua tumbak!

“Kau masih belum puas?” tanya Siau Hoo sambil bersenyum ewa, “Kau hendak totok aku? Kau punya kepandaian menotok cuma mirip dengan kepandaiannya Tiat Tiang Ceng, dengan itu kau melainkan boleh permainkan segala bocah cilik!“

Too Teng Su-kou merayap bangun, dengan matanya yang tajam bagaikan mata kokok beluk, ia awasi Siau Hoo dengan bengis, tetapi sekarang ia  punya tampang ada bersemu kuning, tanda dari kelemahan tuhuhnya.

Siau Hoo mengawasi terus dengan perdengarkan tertawanya mengejek, lalu ia bertindak untuk mendekati.

Melihat demikian, dengan sendirinya, Too Teng Su-kou bertindak mundur, terus sampai  di pintu pekarangan. Disini, dengan sekonyong-konyong, ia enjot tubuhnya ia awasi anak muda dengan tertawa menghina.

“Kang Siau Hoo, apakah kau berani pergi ke Bu Tong San?“ ia menantang.

Siau Hoo tertawa ketika ia menjawab.

“Baru saja bulan yang lalu aku kembali dari sana!

Kenapa aku mesti takut?” kata ia.

Too Teng perdengarkan tertawa iblisnya.

“Baik, sekarang aku pergi ke Bu Tong San untuk tunggui kau disana!“ kata ia.

“Kau mesti pergi kesana sebelum tahun baru, apabila kau tidak pergi, kau adalah satu pit-hu!”

Setelah mengucap demikian, imam perempuan itu loncat turun keluar kuil, untuk terus angkat kaki.

Siau Hoo ada sangat mendongkol, hingga ia pikir untuk kejar imam prempuan itu, akan berikan  hajaran pula kepadanya baiknya ia segera ingat Ah Loan yang sedang menderita, maka itu, ia  bisa kendalikan diri. Ia  lantas pungut busur, dengan kedua tanannya, ia buat besi yang melengkung bundar itu menjadi lempang  hingga merupakan sebatang tongkat panjang. Ia sudah tidak punyakan golok atau pedang, maka itu, toya ismewa ini ia boleh gunai sebagai senjata. Dengan tengteng toya itu, ia lantas bertidak kedalam, ke kamarnya Ah Loan. Nona Pau masih tetap buka kedua matanya.

“Aku sudah merdekakan Too Teng,” Siau Hoo beritahu. “Bagaimana kau rasai sekarang? Apakah sakitmu masih hebat? Aku nanti pergi kelain tempat, untuk carikan kau obat lainnya. Atau aku nanti undang tabib untuk periksa lukamu itu …”

“Kau jangan pergi dulu,” sahut si nona, sambil merintih, sedang kedua matanya sudah lantas mengucurkan air suci.

Siau Hoo sangat terharu, ia menghela napas. Ia sebenarnya hendak berikan keterangannya, tentang cintanya, tentang permusuhannya dengan Pau Kun Lun, tetapi ia lihat nona itu meramkan mata, alisnya dikerutkan berulang-ulang, dari mulutnya keluar rintihan, ia batalkan niatnya itu. Ia cuma bisa datang lehih dekat, untuk mengawasi dengan terlebih teliti, kedua tangannya dikepal keras. Ia berdiri diam saja.

Ah Loan beri dengar rintihannya yang pelahan, matanya tidak dibuka lagi.

Siau Hoo berdiam dengan menahan napas.

Kamar itu dengan lekas mulai menjadi guram, hingga darah di dadanya Si nona tidak tertampak nyata lagi. Diluar kuli burung-burung recet dengan suaranya, seperti sekumpulan bocah cilik asik berkelahi.

Kemudian, kapan orang telah sadar, Siau Hoo buka bungkusan peng-pian, untuk borehkan pula lukanya si nona.

Ketika itu, daun pintu di belakangnya, perdengarkan suara, maka Siau Hoo berpaling dengan segera. Si imam perempuan tua muncul dipintu, tangannya menampa nenampan kayu atas mana ada sebuah mangkok kecil terisikan mie kuning berikut dua batang sumpitnya.

Siau Hoo sambuti makanan itu, ia bawa ke depannya Ah Loan.

Sampai lagi sekian lama, barulah si nona buka kedua matanya.

“Disini ada mie, apakah kau ingin dahar?” Siau Hoo tanya.

Si nona merintih, dua atau tiga kali. “Tidak,” sahut ia kemudian.

Siau Hoo awasi mie itu, yang untuk ia akan habis dimakan dengan dua-tiga caplokan, ia kerutkan alis, kemudian ia pergi ke jendela, untuk letaki itu. Kemudian lagi, ia mendekati si imam tua, akan bicara padanya dengan pelahan.

“Kuilmu ada tempat suci-murni, tidak seharusnya aku berada disini,” kata ia. “Akan tetapi, apa boleh buat … Lukanya nona ini ada sangat hebat, sedang kau orang, tidak sanggup rawati padanya. Dia-pun tidak bisa lantas dibawa pindah ke lain tempat. Aku ada Kang Siau Hoo. Tentang aku, kau boleh dengar-dengar. Aku ada satu laki-laki sejati, tidak nanti aku ganggu kesucian dan ketenteramannya kau punya kuil ini, aku melainkan hendak tunggu sembuhnya dia punya luka itu dengan lantas aku akan ajak dia pergi. Aku akan menderma kepada kau orang …”

Imam itu bisa bade orang punya maksud.

“Sie-cu,” berkata ia, “kau hendak tinggal sama kita orang disini itulah tak dapat dilakukan. Tidak ada aturannya untuk kita disini menerima tamu-tamu lelaki. Walau-pun Tiat Tiang Ceng yang tidak kenal aturan, apabila dia datang kemari, dia tidak bisa tinggal disini. Dia mondok di kuil Eng Sian Sie di gunung sebelah barat sana. Ini ada aturan kita sejak beberapa ratus tahun, yang tak dapat kita langgar, hingga kita-pun tak bisa memberi kelonggaran. Biar-pun Si nona berdiam disini, kau jangan kuatir, aku nanti titahkan muridku rawati dia.”

Siau Hoo menghela napas, ia manggut. Ia berdiam pula sekian lama, baru ia berkata lagi.

“Masih ada satu hal, sukou,” berkata ia kepada si imam. “Sekarang ini aku tidak lapar, tidak apa untuk aku tidak dahar hari ini, tetapi lukanya si nona membutuhkan perawatan, sepuluh atau lima belas hari, karena itu, selama menungkuli dia, aku juga belum bisa pergi dari sini. Dalam hal tidur ini adalah perkara gampang, aku bisa tidur diluar kuil dibawah pohon, hanya nasi, aku pikir untuk minta dari kau. Nanti diwaktu mau pergi, aku nanti berikan uang penggantian kerugian pada kau.”

“Ini-pun tak dapat aku lakukan,” berkata si imam, “Simpanan beras kita ada sangat terbatas. Kita sendiri setiap hari, setiap kalinya cuma dahar satu mangkok kecil. Mana kita punyakan kelebihan untuk dibagikan kepada kau? Umpama kau beli berasnya, masih kita disini tak dapat tolongi kau memasaknya.”

Siau Hoo mendongkol atas itu penolakan, akan tetapi ia tidak bisa berbuat suatu apa. Orang tak sudi menolongi ia, tak dapat memaksanya, ia malu akan berlaku kasar dan tak pakai aturan.

“Paling benar sie-cu pergi menumpang di Eng Sian Sie saja,” sang imam perempuan tua usulkan. “Orang-orang suci disana semuanya ada pendeta lelaki dan kuil-pun ada terlebih besar daripada kelenteng kita ini.” “Beberapa jauh pernahnya Eng Sian Sie dari sini?” Siau Hoo tanya.

“Tiga sepuluh lie lebih,” sahut si Imam perempuan. “Kalau kau menuju ke barat, kau perlu lewati dua buah puncak. Kita-pun cuma dengar orang omong saja, belum pernah ada orang kita yang pergi kesana.”

Baru si imam berkata begitu, dari luar sudah terdengar suaranya genta, maka lekas-lekas ia undurkan diri, karena lonceng itu ada anda untuk mereka bersantap malam.

Siau Hoo sengit sendirinya, hingga ia ingin rusaki nenampan, pecahkan mangkok dan patahkan sumpit.

Ah Loan menintih.

“Kau pergilah dulu,“ ia kata dengan lemah.

Siau Hoo terus berdiri diam, hatinya panas. Tapi kemudian ia dekati si nona.

“Ah Loan, aku menyesal,“ kata ia. “Pengalaman  kita ada sengsara sekali, ada terlalu pahit getir. Sekarang ini aku tak saja benci engkongmu, aku-pun sesalkan aku punya ayah. Tidak seharusnya ayah berlaku buruk dan langgar pantangannya Kun Lun Pay, coba tidak, tak akan dia binasa secara kecewa dan menggiriskan, dan kita berdua, kita pasti sudah menikah sejak siang-siang ... Ah, rupanya ini adalah kehendaknya hantu ... “

Si anak muda jadi sangat menyesal, hingga ia hampir banting kaki.

“Sekarang ... “ kata ia pula. “Sudah, kita jangan banyak bicara pula ... Asal kau telah sembuh, hatiku akan jadi lega, sesudah itu, aku nanti pergi seorang diri, tidak saja  aku tidak akan desak lagi engkongmu, aku-pun tidak ingin ketemui lagi semua sahabatku, aku tidak lagi mau merantau dan menjagoi ... Kau berdiam disini, hatiku tidak tenteram, imam disini ada menjemukan. Juga Too Teng, yang aku baru merdekakan, karena ia punyakan “bugee liehay, kendati-pun aku telah kalahkan dia, aku sangsi apabila di belakang hari ia tidak datang pula untuk menuntut balas. Gunung ini ada terlalu mencil dan sunyi, disini sembarang orang bisa lakukan segala macam perbuatan. Tapi toh aku tidak bisa tinggal disini, untuk rawat dan lindungi kau. Imam perempuan disini tidak hendak tolong sajikan nasi untuk aku, dia larang aku menumpang tinggal disini, hingga lenyap juga ketikaku yang baik untuk carikan kau obat. Maka, umpama kata keadaan kau ada mendingan, aku ingin pondong kau untuk dibawa turun gunung, di kaki bukit ada dua penduduk dimana kita bisa menumpang tinggal selama kau rawat diri, tempat itu tentu ada jauh terlebih baik daripada disini ... ”

Ah Loan kucurkan airmata, ia merintih.

“Kita berdua ada seperti musuh besar satu dengan yang lain ... “ kata ia  kemudian dengan pelahan, suaranya terputus-putus. “Dulu diwaktu kita masih kecil, ketika kau pergi aku benci kau, tetapi aku-pun tak dapat melupakan padamu, yang senantiasa aku ingat saja. Aku tak dapat utarakan perasaanku itu ... Benar Kie Kong Kiat  telah kawin denganku, akan tetapi, kita sebetulnya bukannya suami isteri, jikalau nanti aku telah sembuh, aku tidak bakal ikuti dia ... Walau-pun demikian, aku juga tidak bisa lupai dia, karena dia pernah berkorban untuk aku ... “ ia berhenti untuk sesenggukan. Kemudian ia menambahkan : “Selanjutnya, sekali-pun aku punya engkong, aku tidak akan perdulikan pula. Aku dengar dari muridnya Tiat Tiang Ceng, di Su-coan Utara, engkong sudah binasakan satu anak kecil yang harus dikasihani ... Dia ada sangat telengas!” ia menangis pula, ia  merintih berulang-ulang. “Nah, kau pergilah,” ia kata, menambahkan pula. “Jangan kau kuatirkan aku. Aku sudah ditolongi oleh Tiat Tiang Ceng, karena itu tidak nanti mereka perlakukan jelek padaku. Mereka melainkan tak senangi kau dan jerih terhadapmu ... Kau pergi, asal kau sering-sering datang- datang tengok aku … Sekarang aku tidak punya tenaga untuk bicara banyak, nanti saja sesudah aku sembuh, aku akan utarakan segala apa kepada kau. Umpama kata aku mati, aku harap kau tidak lupai aku ... Pada sepuluh tahun, selama aku menderita di rumahku kau tahu bagaimana aku mengasihani kau … Kau juga tahu bagaimana aku berkuatir sebab aku tahu engkong berulang-ulang berniat membunuh kau ... Ketika kau buron, hingga kau tidak ketahuan kau mati atau hidup, bagaimana aku bingung ... ”

Ah Loan berhenti dengan tiba-tiba, ia merasakan sangat sakit pada dadanya, karena itu ia kerutkan alis, ia merintih pula. Tak dapat ia buka mulutnya akan bicara lebih jauh.

“Kau jangan bersusah hati,” Siau Hoo menghibur. “Kita telah ketahui baik hati masing-masing, itu menggampangkan untuk urusan kita di belakang hari. Kau tetapkan hatimu ... ”

Ah Loan berdiam.

Siau Hoo lihat orang punya kasut hijau, ia jadi ingat kasut merah si nona, yang ia ketemukan diselokan, yang ia senantiasa bawa-bawa. Ia pernah duga si nona dibawa lari harimau, siapa tahu, dia telah ditolongi Tiat Tiang Ceng. Ia ingat pula Tiat Tiang Ceng dan Too Teng, ia  percaya mereka bukannya orang-orang suci murni sejati, akan tetapi mereka pernah tolongi Ah Loan. Ia menyesal sudah desak engkong dan cucu itu hingga mereka tercerai berai, sampai si nona mencoba membunuh diri dengan kesudahan terluka parah itu. Tapi, apa ia bisa buat? Akhirnya, setelah menghela napas, pemuda ini bicara pula.

“Baikiah, kau boleh berdiam disini,” kata ia. “Aku nanti cari lain tempat untuk beristirahat.”

Ah Loan beri dengar suara penyahutan yang pelahan sekali.

Siau Hoo pungut dia punya toya istimewa, lantas ia bertindak keluar. Diluar, dibawah payon, ia berdiri diam sekian lama. Ia dengari suara berisik dan gowak dan lain- lain burung di langit, mega ada tebal, ada sisanya sinar matahari sore. Sang angin meniup-niup mendatangkan hawa dingin sekali. Dengan kepala tunduk, bertindak kepekarangan kuil, setiap kali ia menghela napas.

“Biar bagaimana, aku mesti obati Ah Loan hingga sembuh,” ia berpikir. “Sekarang sudah sore, tidak leluasa untuk aku meninggalkan tempat ini, tetapi besok, mesti aku cari obat yang manjur untuknya.”

Itu waktu ia telah sampai di depan tembok, ia enjot tubuhnya akan loncat  melewatinya, setelah sampai diluar, ia tampak pepohonan yang lebat, yang gelap seperti malam saja. Disitu ada tiga ekor menjangan yang tadi, yang bertindak kearah dia. Rupanya, sesudah bertemu beberapa kali dan Siau Hoo tidak mengganggu, binatang itu tidak takut lagi, malah yang tanduknya panjang menghampirkan untuk cium tubuhnya pemuda kita, siapa sebaliknya usap- usap orang punya tanduk.

-ooo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar