Budi Ksatria Jilid 12

Jilid: 12
PEK-LI PENG menggeleng.”Aku hanya berharap agar toako suka membawa diriku, aku toh sudah menyanggupi permintaanmu, dan hal itu tak dapat kusesalkan kembali!”

Dengan air muka serius Siauw Ling termenung dan membungkam dalam seribu bahasa.

“Toako, kabulkanlah permintaanku!” seru Pek-li Peng kembali, “tahukah engkau betapa tersiksa dan sengsaranya aku harus berdiam seorang diri ditempat ini, tahukah engkau betapa gelisah dan cemasnya hatiku menunggu kabar darimu ditempat ini.... siksaan semacam ini beratus ratus kali lebih menderita daripada menghadapi mara bahaya”

“Baiklah aku akan membawa serta dirimu”

Senyum manis seketika tersungging diujung bibir Pek-li Peng dengan wajah berseri seri ia jatuhkan diri kedalam pelukan pemuda itu, serunya manja :”Aku tahu kalau toako bersikap baik sekali terhadap diriku, kau tentu tak akan tega membiarkan aku berada digunung yang sunyi seorang diri...”

“Aaai..." Siauw Ling menghela napas panjang,”Peng-ji, aku mau saja membawa dirimu. tetapi kaupun harus mendengarkan perkataanku”

"Baik. aku akan menuruti perkataan dari toako”

Siauw Ling mendaki kepuncak bukit, dari situ dia lihat rombongan para jago tadi sudah memasuki padang rumput itu.

Sungguh luas padang rumput tadi. Ketika rombongan para jago itu masuk kedalam semak maka lenyaplah orang2 itu disana.

Siauw Ling menghela napas panjang, katanya.”Peng ji. kitapun harus segera berangkat”

"Aku telah siap...”

Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.”Toako, aku ingin memohon satu urusan kepadamu, aku harap toako suka mengabulkan permintaanku ini”

"Permintaan apa?”

"Jangan terlalu keras kepala dan jangan terlalu sungkan dalam serangan. Walau pun toako adalah seorang pendekar yang berhati welas dan berjiwa besar, akan tetapi musuh yang kita hadapi saat ini terlampau banyak. Kau tak usah terlalu membicarakan soal belas kasihan dengan mereka. Kalau kita bisa membunuh seorang diantaranya berarti toako sudah menyingkirkan seorang penghalang”

Siauw Ling tersenyum. "Aku sudah tahu, mari kita berangkat!"

Pek-li Peng berpaling kesamping, dia lihat kemurungan dan kekesalan yang semula menyelimuti wajah sianak muda itu sekarang telah tersapu bersih. Sebagai gantinya nampaklah ia bertambah gagah berwibawa.

Dalam hati segera berpikir.”Rupanya nona Gak mempunyai kedudukan yang be-ratus2 kali lebih tinggi daripada aku dalam pandangan matanya, karena itulah ia jadi kelihatan begitu bersemangat...”

Meskipun dalam hati berpikir demikian, tentu saja perkataan semacam itu tidak sampai diutarakan keluar.

Per-lahan2 kedua orang itu menuruni bukit dan masuk kedalam padang rumpun yang liar.

Siauw Ling segera mengenakan sarung tangan berkulit ularnya dan meraba pedang pendek dalam sakunya, lalu berkata. “Peng-ji, aku sudah teringat akan dua persoalan, mari kita percepat perjalanan kita”

Pek-li Peng segera mempercepat langkahnya menyusul kesamping pemuda itu, tanyanya: “Urusan apa? bolehkah diutarakan keluar sehingga akupun bisa ikut tahu!”

“Tentu saja boleh...”

Setelah berpikir sebentar, lanjutnya: “Sekarang aku teringat sudah, kemungkinan besar orang yang berbaring diatas tandu itu adalah Giok Siauw-long kun”

“Mengapa ia berbaring diatas tandu?"

“Mungkin tindakannya itu merupakan suatu siasat licik, mungkin juga dia benar2 sudah sakit”

Agaknya Pek-li Peng masih ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Siauw Ling sudah keburu berkata kembali: “Sedang persoalan yang kedua adalah tentang nikou berusia pertengahan itu...”

“Kenapa dengan nikou berusia setengah baya itu?" tanya Pek-li Peng keheranan.

“Aku sudah tak ingat jelas lagi apakah suhu dari nona Gak adalah seorang Nikou atau Too-kou tetapi yang pasti dia adalah seorang pendeta perempuan, ditinjau dari kehadirannya maka bisa ditarik kesimpulan bahwa kedatangannya kalau bukan dikarenakan terlibat dalam soal hubungan, atau ia mempunyai kepandaian yang istimewa tentulah karena mendapat pahala yang besar..."

Ia menghela napas panjang lalu meneruskan: “Andaikata orang itu benar benar adalah suhunya nona Gak, waah...! urusan akan semakin berabe....”

“Kalau gurunya ikut datang bukankah berarti nona Gak akan mendapat seorang pembantu lagi? kenapa kau malah mengatakan berabe?”

“Andaikata orang itu benar benar adalah gurunya nona Gak, maka berarti pula nona Gak tak bisa melakukan perlawanan lagi, atau dengan perkataan lain terpaksa ia harus mandah terima nasib!”

“Kok aneh...! suhu tidak membantu murid sendiri, masa dia akan membantu orang lain!”

“Gurunya nona Gak mempunyai hubungan famili dengan Giok Siauw Long kun, kalau berbicara tentang bubuugan dan tali persaudaraan maka yang bakal rugi adalah nona Gak sendiri, maka dari itu kita harus cepat cepat menyusul kesana untuk menahan babak pertarungan yang pertama”

Selesai menerangkan duduk perkaranya, dengan cepat Siauw Ling meluncur ke depan.

Dengan kencang Pek-li Peng membuntuti dari belakangnya. Dalam waktu singkat mereka sudah melewati selat sempit dan tiba ditepi jurang Toan-hun gay yang tertutup kabut itu.

Ketika mereka melongok kebawah, maka yang terlihat hanyalah kabut tebal belaka, tak terlihat sesosok bayangan mmusiapun yang berada disana.

Siauw Ling berpaling sekejap kebelakang lalu berkata: “Peng-ji, mereka telah masuk kedasar jurang Toan-hun-gay, mari kita kejar kebawah”.

“Dua bulan berselang nona Soh Bun pernah munculkan diri dari sana. Disekitar tempat itu tentu ada tempat berpijak, mari kita cari tempat berpijak itu!”

Dengan andalkan daya ingat yang masih ada mereka segera meneliti sekitar jurang tersebut, namun walaupun sudah dicari lama sekali usaha itu belum juga mendatangkan hasil.

“Peng ji!” seru Siauw Ling kemudian dengan alis berkerut, “aku tidak percaya kalau Soh Bun dapat meloncat naik keatas tepi jurang dengan sekali lompatan”.

“Benar orang orang itupun tak mungkin bisa turun semua kebawah tanpa tempat pijakan kaki”

Siauw Ling berpikir sebentar lalu berseru, “Aaah...! benar Giok Siauw Long-kun adalah seorang manusia licik yang punya banyak akal. Setelah turun kedasar jurang ia pasti sudah merusak tempat pijakan tersebut agar bala bantuan dari nona Gak tak bisa masuk kedalam”.

“Meskipun pandangan dari toako ada kemungkinan benarnya, namun Siauw moay pun mempunyai pandangan lain”

“Coba katakanlah!”

“Aku rasa Giok-Siauw Long-kun tak mungkin bisa punya pikiran sampai kesitu, apalagi merusak jalan masuk menuju kejurang Toan hun gay... hal ini semakin tak mungkin lagi...”

Setelah sampai sebentar ia melanjutkan: “Giok Siauw long kun amat membenci dirimu, bukankah dikarenakan ia memandang dirimu sebagai musuh cintanya?”

Tertegun hati Siauw Ling mendengar perka taan itu, sahutnya kemudian: “Mungkin saja Giok Siauw Long-kun mempunyai pikiran demikian!”

“Kalau memang begitu, hal ini semakin tak mungkin lagi!”

“Kenapa?”

“Bala bantuan yang dibawanya datang mungkin bukan ditujukan untuk menghadapi nona Gak. Aku lihat lebih besar kemungkinannya tokoh2 sakti itu sengaja dipersiapkan untuk menghadapi dirimu”

Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya, lalu mengangguk. “Benar juga perkataanmu itu” katanya.

“Tempat ini terpencil letaknya dan jarang sekali yang mengetahui tentang persoalan ini, apalagi ilmu silat yang dimiliki Giok Siauw Long-kun amat lihay. Jago-jago biasa tentu saja tak akan dipandang sebelah matapun olehnya. Aku rasa mungkin saja sejak permulaan ia telah menduga bahwa orang yang datang kemari hanya kau seorang”

“Benar! perkataanmu memang masuk di akal” kembali Siauw Ling mengangguk tanda membenarkan.

“Seandainya aku adalah Giok Siauw Long-kun, maka aku berharap dalam pertempuran ini dapat membinasakan dirimu, sekalipun saat itu perbuatannya mungkin akan menyakiti hati nona Gak. Bukankah dikemudian hari persoalan itu bisa diusahakan untuk di selesaikan secara baik baik”

“Jadi kalau begitu tempat berpijak di dasar jurang Toan-hun-gay itu bukan dirusak oleh Giok Siauw Long-kun?”

“Menurut penilaianku, kemungkinan besar perbuatan ini dilakukan oleh nona Soh Bun atas perintah enci Gak mu yang takut engkau ikut datang menempuh bahaya, ia berbuat demikian untuk mencegah agar kau tak bisa masuk kesitu....”

Berbicara sampai disini mendadak nada suaranya berubah, terusnya: “Mungkin juga sedari permulaan ia telah menduga kalau kau bakal balik lagi kemari maka dilakukannya tindakan sedia payung sebelum hujan dan dihapuslah tempat berpijak itu....”

Apa yang dipikirkan Siauw Ling sekarang adalah keselamatan dari Gak Siauw Cha. Dia sama sekali tidak perhatikan perubahan dari sikap Pek-li Peng, yang dipikirkan olehnya hanyalah bagaimana caranya masuk kejurang dan membantu Gak Siauw Cha.

Segera ujarnya dengan suara cemas: ”Lalu bagaimana caranya kita menuruni jurang ini?”

“Berteriak saja diatas tebing jurang ini” jawab Pek-li Peng dengan suara sedih, dengan demikian enci Gak yang kau cintai itu tentu akan mengirim orang untuk menyambut ke datanganmu...”

Siauw Ling merasa cara itu benar juga, maka pikirnya. “Apa boleh buat, rasanya kecuali berbuat demikian tak ada cara lain lagi yang dapat ditempuh”

Berpikir demikian diapun lantas berteriak dengan suara keras. “Enci Gak, Siauw te telah datang memenuhi janji, harap engkau membeli petunjuk bagaimana caranya memasuki jurang ini?”

Teriakan itu diulang sampai beberapa kali, akan tetapi tidak kedengaran jawaban...

Pada mulanya maksud Pek-li Peng adalah untuk menyindir pemuda itu, sungguh tak nyana ternyata pemuda itu benar2 berteriak, hal ini membuat hatinya terasa makin sedih hingga untuk beberapa saat ia tak mampu mengucapkan pepatah katapun.

Siauw Ling berpaling sekejap kearah Pek-li Peng dan ujarnya: “Peng-ji, rupanya dia tak mau memberi jawaban, terpaksa kita harus turun kebawah jurang dengan jalan menempuh bahaya”

“Jurang itu dilemuti oleh kabut yang sangat tebal, pemandangan sejauh beberapa tombak sukar dilihat dengan pandangan m ta, dinding batupun licin sekali, bagaimana caranya kita turun kebawah?”

“Kita toh membawa pakaian, robek saja pakaian itu kemudian diikat jadi satu untuk membentuk tali, dengan cara begitu rasanya kita dapat merambat turun kebawah”

Pek-li Peng tidak banyak bicara lagi, dia lepaskan buntalannya dan ambil keluar pakaian yang dibawa, tetapi sebelum ia sempat merobek pakaian tersebut, mendadak sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, dan tahu2 Soh Bun sudah meloncat naik ke atas jurang.

“Eeeei... kenapa kau datang kemari?" tegur Siauw Ling setelah tertegun sebentar.

Soh Bun tidak menjawab, dengan alis berkerut ia balik bertanya, “Kenapa kalian juga masih belum pergi?”

“Bagaimana dengan enci Gak ku?”

“Dia baik sekali....”

Setelah berhenti sebentar lanjutnya, “Ia telah membaca isi kitab pemberianmu dan merasa berterima kasih sekali. Barusan setelah mendengar teriakanmu ia telah mengirim suara kepada budak untuk datang kemari memberi tahu kepada kalian, nona minta agar kalian segera tinggalkan tempat ini sebab kitab catatan dari Raja seruling telah memberikan kesempatan hidup baginya, nona minta agar kalian tak usah mencampuri lagi urusan ini”

Siauw Ling segera menggeleng. “Nona Soh Bun. kalau kita mau pergi dari sini maka sekarang tak nanti akan balik lagi kemari. terus terang saja kukatakan, aku serta adik angkatku ini sudah menunggu hampir dua baian lamanya ditempat ini...”

“Kami tahu bahwa selama ini kalian selalu menanti disini” sela Soh Bun dengan cepat, “tetapi keputusan nona kami sudah bulat, ia tidak akan memperkenankan kalian untuk turut serta dalam persoalan ini. Aku lihat lebih baik kalian segera mengundurkan diri dari tempat ini dan pulang saja”.

“Melarang aku turut campur dalam masalah ini adalah urusan nona kalian sendiri, mau menurut atau tidak toh itu urusanku sendiri, harap nona tak usah banyak bicara lagi”

Soh Bun mengerutkan dahinya. “Kalau aku tidak memberitahukan kepada kalian bagaimana caranya menuruni jurang ini, apa yang bisa kalian lakukan?”

Siauw Ling tertawa-tawa mendengar perkataan itu. “Oooh,.. tentang soal itu nona tak usah kuatir. kami telah mendapatkan akal untuk menuruni jurang ini, silahkan nona berlalu dari sini!”

“Apa cara kalian itu?” seru Soh Bun dengan wajah tertegun.

“Kami akan merobek pakaian yang dibawa, lalu mengikatnya jadi satu membentuk tali, dengan cara itu kita dapat merambat turun kebawah”

“Apakah kalian bersikeras ingin turun ke bawah?”

“Sedikitpun tidak salah, sekalipun nona Gak naik keatas tebing sendiri juga tak dapat menghalangi niatku ini”

Melihat nekad pemuda itu, akhirnya Soh Bun menghela napas panjang. “Aaai.. jadi kalau begitu, akupun tak mampu menghalangi tekad kalian itu?”

“Sedikitpun tidak salah, jika nona takut dijatuhi hukuman oleh nona Gak, lebih baik menyingkirlah dari sini. kau tak usah mencampuri urusan kami lagi”

Sok Bun berpikir sebentar, lalu menjawab. “Baiklah, aku akan memberitahukan kepadamu bagaimana caranya menuruni jurang ini. Andaikata dalam pertempuran ini kita berhasil merebut kemenangan maka paling banter nona akan memaki diriku habis2an. Sebaliknya kalau dalam pertempuran ini kita tak beruntung dan menderita kalah, maka jiwa kita semua akan lenyap dan waktu itu nonapun tak bisa memberi hukuman lagi kepadaku”.

Siauw Ling menghela napas panjang. “Nona kalau engkau rela membantu diri ku... aku akan merasa berterima sekali kepadamu. Jika dikemudian hari nona Gak mempersoalkan hal ini. biarlah aku yang memikulnya seorang diri”.

Mendengar perkataan itu Soh Bun tertawa cekikikan. “Hiih hiih hiih...pada hal cara untuk menuruni jurang ini gampang sekali, asal diperhatikan dengan seksama maka tempat itu akan ditemukan dengan mudah”.

“Aku sudah memperhatikannya beberapa lama, tapi tidak kutemukan jalan untuk menuruni jurang ini”

“Coba periksalah lagi dengan seksama....”

Siauw Ling segera melongok kembali kebawah jurang, kali ini pada jarak satu tombak disebelah kiri ia temukan sebuah undak undakan batu yang bisa dipergunakan sebagai tempat berpijak, dengan alis berkerut segera serunya: “Kenapa tadi tidak kulihat tempat berpijak itu?”

“Tadi tempat itu kami tutup dengan rumput hijau, kecuali orang yang mengeiahui rahasia tersebut jarang sekali ada orang yang bisa menemukan tempat berpijakan itu”

“Saat ini waktu berharga sekali bagaikan emas, kita tak boleh berdiam terlalu lama lagi ditempat ini”

Habis berkata dia segera loncat turun lebih dahulu kebawah jurang.

Kiranya di balik dinding jurang itu setiap jarak tujuh delapan depa terdapat sebuah tonjolan batu karang yang bisa dipergunakan untuk tempat pijakan kaki. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda seperti tangga yang terbuat dari batu.

Soh Bun berpaling dan memandang sekejap kearah Pek-li Peng, lalu tanyanya. “Apakah nona juga akan turun kebawah?”

“Tentu saja!” jawab gadis itu sambil mengangguk.

“Hati2liah.... lihat yang tepat tonjolan batu karang itu kemudian baru loncat tarun ke bawah”

“Terima kasih atas perhatianmu” iapun mengikuti Sok Bun loncat turun kebawah.

ooOOOoo



DALAM jurang itu tidak lebih hanya mencapai tiga puluh tombak, tetapi berhubung kabut yang menyelimuti tempat itu terlalu tebal sehingga menutup pemandangan disekeliling sana, maka sukar bagi orang untuk melihat jelas berapa dalam jurang itu.

Dalam sekejap mata Siauw Ling telah loncat turun kedasar jurang, disana ia lihat kabut masih menyelimuti seluruh permukaan dengan tebalnya, pemuda itu tak tahu kemana dia harus pergi.

Tiba tiba terdengar Soh Bun berteriak: ”Siauw siangkong, jangan ter-buru2 budak akan membawa jalan bagimu...."

Meskipun Siauw Ling merasa gelisah dan cemas sekali, tetapi karena dia tak tahu jalan mana yang harus dilalui maka terpaksa ia harus menunggu dengan hati sabar.

Soh Bun meloncat kedepan, dengan langkah yang cepat dia bergerak menuju kearah selatan.

Siauw Ling menyusul dibelakangnya sedang Pek-li Peng berada diurutan paling belakang.

Setelah berjalan sejauh belasan tombak, tiba-tiba Soh Bun membelok dan masuk ke dalam sebuah gua.

Mulut gua itu kecil dan sempit sekali, paling banter hanya memuat dua orang yang jalan berdampingan, kabut tebal sekali dan menyelimuti sekitar tempat ini. Apabila tidak hapal dengan daerah disana sukar untuk menentukan letak gua tadi.

Dengan cepat ketiga orang itu menyusup masuk kedalam gua, setelah membelok pada dua tikungan, pemandangan di bada pannya tiba-tiba berubah.

Tampak dua buah lentera tergantung di atas langit2 gua membuat suasana ditempat itu terang benderang, dihadapan mereka muncullah sebuah ruang batu yang luasnya mencapai dua tombak persegi.

Dalam ruangan itu tak nampak meja atau kursi, semua orang yang hadir disitu duduk bersila semua diatas tanah.

Gak Siauw Cha duduk bersandar didinding batu sebelah belakang, seorang dayang baju merah berdiri disisinya.

Seorang nikou berusia pertengahan dan seorang nyonya tua yang rambutnya telah beruban semua duduk berdampingan disist kiiri.

Sedangkan kakek jubah abu2 dan pemuda berpakaian ringkas duduk disebelah kanan, mantel yang dikenakan pemuda itu sudah di lepas dan pedangnya dicekal dalam tangan.

Disisi tubuh kakek berjubah abu-abu tadi duduklah Giok Siauw Long-kun dengan wajah yang layu dan berpenyakitan. Manusia baju hijau berwajah emas serta dua orang pita baju hitam yang menggotong tandu tadi berdiri dibelakang pemuda tersebut.

Ketika Soh Bun muncul disana sambil, mengiringi Siauw Ling, perhatian semua orang yang ada didalam ruangan itu segera dialihkan kedepan.

Gak Siauw Cha mengerutkan dahinya, bibir bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu tapi akhirnya niat itu dibatalkan.

Soh Bun mempercepat langkah kakinya menghampiri kearah Gak Siauw Cha, kemudian berdiri disamping dayang baju merah itu.

Nikou berusia pertengahan itu dengan pandangan tajam memperhatikan Siauw Ling sekejap, lalu sambil berpaling kearah Gak Siauw Cha tegurnya ketus : “Siapakah orang ini?"

"Aku adalah Siauw Ling!" jawab pemuda itu sebelum Gak Siauw Cha sempat menjawab.

“Dialah orang yang kumaksudkan” sambung Giok Siauw long-kun dari samping.

Nenek tua berambut putih itu segera tertawa dingin. “Heeeehh... heeehh... heeehh... bagus. bagus sekali kedatangannya,” dia berseru. “ini hari kita bisa bikin beres persoalan ini!”

Siauw Ling mendengus dingin, setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu ia segera menuju ke sudut ruangan dan duduk disana.

Pek-li Peng dengan kencang mengikuti di belakang Siauw Ling, melihat pemuda itu duduk iapun duduk disampingnya.

Siauw Ling tidak tahu bagaimanakah perasaan hati Gak Siauw Cha pada saat ini, maka dari itu terhadap sindiran sang nenek tua berambut putih tadi sama sekali tidak ambil perduli.

Terdengar rahib setengah baya itu menghela napas panjang lalu bertanya, "Siauw Cha sumoay, dialah yang bernama Siauw Ling?”

Gak Siauw Cha mengangguk, ia tetap membungkam.

Rahib setengah baya itu mekebutkan senjata hud tin-nya diudara, kemudian berkata kembali: "Siauw Cha, sudah tiga puluh tahun lamanya aku tak pernah berkelahi dengan orang. Aku tidak ingin melakukan pembunuhan lagi. Oleh sebab itu aku berharap agar pertikaian yang terjadi pada saat ini dapat diselesaikan secara damai, aku tidak ingin terjadi persengketan lagi diantara kita semua”.

”Siauw moay benar2 tidak mengerti dimanakah persengketan yang terjadi diantara kita.” ujar Gak Siauw cha sambil tertawa getir.

"Kurang ajar”, maki nenek berambut putih dengan gusar

”Tempo hari kalau bukan enciku yang menyelamatkan jiwamu, sekarang mayatmu sudah hancur, budak ingusan yang lupa budi..."

"Ooo...nenek!” sela Giok Siauw long kun dari samping “bicaralah secara baik2 dalam persoalan ini nona Gak tak bisa disalahkan...”

Ia menyapu sekejap Searah Siauw Ling la lu menambahkan. “Seandainya tiada Siauw Ling, tak nanti bakal terjadi peristiwa semacam ini”

“Dan sekarang kebetulan sekali Siauw Ling sudah hadir disini”, sambung rahib setengah baya itu dengan cepat, “kita dapat membicarakan persoalan ini sampai beres dan jelas”.

“Persoalan ini tak ada sangkut pautnya dengan Siauw Ling”, tiba2 Gak Siauw cha menimbrung, persoalan timbul lantaran aku, apa yang hendak kalian lakukan silahkan cari aku seorang”

Dengan penuh kegusaran nenek berambut putih loncat bangun dari atas tanab, lalu berteriak keras: “Budak sialan yang lupa budi, engkau anggap aku tak mampu untuk menjagal dirimu?”

Gak Siauw Cha tertawa getir. “Keadaan yang boanpwee hadapi serba salah dan sukar sekali ambil keputusan, aku harap saudara sekalian suka bertindak ramah..."

“Bertindak ramah? Huh...! kalau kulepaskan dirimu, bagaimana dengan penyakit yang diderita cucuku? siapa yang akan menyembuhkan?”

Dengan sepasang alis berkerut Gak Siauw cha segera berpaling kearah Ciok Siauw long kun dan bertanya lirih. "Thio heng, penyakit apa yang kau derita?”

“Penyakit mala rindu!” jawab manusia baju hijau bertangan besi dengan ketus, “sejak sikap nona Gak terhadap kongcu kami berubah jadi dingin dan tawar, selama tiga bulan belakangan kongcu selalu termangu seperti orang bodoh. Tidak makan tidak minun seringkali duduk membungkam sampai jaga malam. Seorang jago gagah yang lebih hebat dari naga ataupun harimau dalam tiga bulan yang singkat telah berubah jadi begini. Aku hingga bertanya kepada nona. begitukah sikap nona terhadap siangkong kami yang berulang kali melepaskan budi pertolongan kepadamu? tenteramkah hatimu?”

Gak Siauw cha menghela napas panjang, sorot matanya dialihkan kembali keatas wajah Gak Siauw long kun sambil berkata, “Thio-heng, mengapa kau harus berbuat begitu? gadis cantik dikolong langit toh banyak sekali. Bagi Thio heng yang berwajah tampan dan berasal dari keluarga kenamaan justru merupakan idaman dari setiap gadis yang ada dikolong langit, mengapa karena aku Gak Siauw cha..."

Giok Siauw Long-kun tertawa getir sambungnya, “Kecuali samudra jadi kering dan gunung Wu San tidak diliputi awan... selamanya aku tak dapat melupakan dirimu...”

"Hmmm! tidak becus” maki nenek berambut putih sambil mendengus dingin, “keluarga Thio bisa muncul seorang keturunan semacam engkau, benar tentu telah memalukan nenek moyang hita...”

Dengan air mata bercucuran Giok Siauw Long-kun membungkam dalam seribu bahasa.

Sementara itu Siauw Ling yang berada di samping berpikir didalam hati kecilnya: “Sewaktu aku bertemu dengan Giok Siauw Long kun tempo hari, ia begitu sombong dan tinggi hati. Sungguh tak nyana hanya berpisah beberapa bulan saja ia telah berubah jadi begitu lesu dan tak bertenaga...aaai! cinta memang bibit bencana...”

Setelah memaki Giok Siauw Long-kun, nenek tua berambut putih itu alihkan kembali sorot matanya ke arah Gak Siauw Cha, ujarnya dengan dingin : “Walaupun didalam persoalan ini harus salahkan cucu keluarga Thio tidak becus, tetapi andaikata engkau tidak menggaet dirinya diapun tak akan begitu tergila gila kepada dirimu. Bila kita tinjau persoalan ini lebih jauh maka semua kesalahan tetap berpangkal pada engkau sibudak tusuk yang tak kenal budi”

“Locianpwee, engkau mengucapkan kata2 yang begitu tak enak didengar, apakah maksudmu hendak membikin malu diri boan-pwee?” seru Gak Siauw Cha dengan cepat.

“Hmmm!, kalau aku memang sengaja bikin malu dirimu, kau mau apa?”

“Locianpwee!" seru Gak Siauw Cha kembali sambil mengerutkan alisnya, “ucapan mu begitu pedas dan tak sedap didengar, apakah maksudmu hendak mendesak dirimu sehingga tak bisa melangkah mundur lagi dari persoalan ini?"

Nenek berambut putih tertawa dingin. “Meskipun cucuku tidak becus, tetapi dia adalah satu satunya keturunan dari keluarga Thio kami. Apakah engkaupun tidak mencoba untuk pikirkan diriku?” serunya pula.

“Kalau urusan dibicarakan secara begini, bicara tiga hari tiga malampun percuma dan tak akan mendapatkan sesuatu hasil. Lebih baik kita bicarakan pokok persoalan yang sebenarnya saja" sambung rahib setengah baya dari samping.

Gak Siauw-cha menggerakkan bibirnya seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu dibatalkan.

Rupanya kemarahan nenek berambut putih itu masih belum reda, kembali dia berseru: “Ini hari kita harus membuat satu keputusan mengenai masalah ini. Perduli apapun yang bakal terjadi, hasil yang pasti harus bisa diputuskan!”

“Hal itu tentu saja pin-ni sengaja datang kemari untuk menjalankan perintah dari guruku. Bagaimanapun juga aku tentu akan memberikan suatu pertanggungan jawab kepada kau orang tua...”

Setelah berhenti sebentar, rahib tersebut alihkan sorot matanya kearah Gak Siauw cha dan menambahkan. “Siauw cha aku rasa dalam hati kecilmu tentu sudah punya perhitungan yang masak mengenai situasi pada hari ini. Sewaktu belum datang kemari, suhu telah berpesan agar engkau bisa memberikan suatu pertanggungan jawab kepada Thio si heng”

“Lalu apa yang suci kehendaki atas diri Siauw moay” tanya Gak Siauw Cha sambil mengerdipkan matanya.

“Sudah tiga puluh tahun lamanya aku tak pernah mencampuri urusan keduniawian. Kedatanganku kali inipun karena atas perintah dari suhu. Setelah sampai disini aku selalu berharap agar urusan bisa diselesaikan secara baik2 hingga peristiwa yang tidak diinginkan bisa dihindari”.

“Suci katakan saja secara urus terang, apa yang harus Siauw moay lakukan....?”

Rahib setengah baya itu melirik sekejap kearah Siauw Ling, ia merasa bahwa pemuda itu tampan dan gagah sekali, meskipun Giok Siauw Long-kun sendiri termasuk seorang pemuda yang tampan tapi kalau dibandingkan dengan Siauw Ling boleh dibilang tidak sebanding.

Tanpa terasa dalam hati kecilnya segera berpikir: “Jikalau aku suruh ia memilih salah satu diantara kedua orang itu, sudah tentu dia akan memilih Siauw Ling karena pemuda ini jauh lebih gagah daripada Giok Siauw long kun.....”

Berpikir sampai disini, diapun berkata: ”Asal mula dari keributan ini adalah di karenakan engkau yang berubah hati dan lupa budi...”

“Apakah suci pun berpendapat demikian?” sela Gak Siauw Cha.

“Perduli kesulitan apa yang mencekam hatimu dan perduli apa yang engkau pikirkan, tetapi antara engkau Thio si-heng sudah terbukti pernah terlibat dalam hubungan Cinta, bukankah hal ini tidak salah lagi?”

“Maksud suci...?”

“Mari kita bahas persoalan ini satu demi satu. Kita kupas semua masalah yang ssdang dihadapi sehingga akhirnya berhasil menemukan sebab musabab dari peristiwa ini. cukup engkau jawab semua pertanyaan yang kuajukan”.

Rupanya Git Siauw Cha menaruh sikap yang sangat hormat terhadap Rahib berusia setengah baya ini, ia cuma mengangguk dan tidak membantah.

Setelah menghela napas panjang Rahib berusia pertengahan itu berkata kembali: “Seandainya Gak samoay tidak menjawab pertanyaanku, itu berarti api yang kukatakan tidak salah, lagi”.

“Kita memang pernah terjalin dalam suatu bubungan yang sangat baik, tetapi sebelum kejadian aku pernah mengatakan sesuatu kepadanya, karena itu dalam peristiwa yang sekarang telah terjadi, kalian tak dapat menyalahkan diriku”

“Apa yang engkau katakan kepadanya?” seru nenek berambut putih dengan gusar.

“Aku berkala kepada Thio heng, seandainya Siauw Ling masih hidup dikolong langit maka hubunganku dengan dirinya tak dapat dilakukan kembali”

Nenek berambut putih itu berpaling ke arah Giok Siauw Long kun dan menegur: "Cun ji, benarkah ucapannya itu?”

“Sedikitpun tidak salah. Giok Siauw long kun” mengangguk, “ia memang pernah berkata demikian kepadaku, cuma aku belum..."

Kakek berjubah abu2 yang selama ini tak pernah buka suara, tiba2 menimbrung: “Urusan ini gampang sekali untuk diselesaikan, kita bunuh saja orang yang bernama Siauw Ling itu, bukankah urusan jadi beres?”

Siauw Ling segara mengerutkan dahinya, belum sempat ia buka suara Gak Siauw cha telah menyela lebih dahulu, “Saudaraku masalah ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu. Engkau tak usah ikut bicara”

Selamanya Siauw Ling memang amat menghormati Gak Siauw-cha, mendengar perkataan itu terpaksa ia membungkam.

Rahib setengah baya itu menghembuskan napas panjang, ujarnya kembali: “Sebelum datang kemari suhu telah berpesan kepada pin-ni untuk menyelidiki latar belakang dari peristiwa ini. Jikalau Gak Su-moay memang berada dipihak yang benar tentu saja pin-ni akan berusaha untuk membebaskan dirimu dari kemelut persoalan ini. Oleh sebab itu pin-ni berharap bisa mengetahui jelas latar belakang dari peristiwa ini agar setelak kembali dari sini dapat memberikan pertanggungan jawab yang sempurna kepada suhu. Kedua kalinya dapat pula memberikan keputusan yang bijaksana. Maka dari itu sebelum latar belakang dan persoalan ini berhasil pin-ni bikin terang, aku tidak ingin terjadinya peristiwa berdarah ditempat ini”

Nenek berambut putih itu segera mendengus dingin. “Hmmm! sejak suhumu mengabdikan diri ke pada Buddha. wataknya berubah jadi sombong dan tinggi hati. Ia sudah tak pernah memandang sebelah matapun terhadap aku yang menjadi ensonya. Sebelum mendiang suamiku lenyap didalam Istana Terlarang, ia masih seringkali berkunjung ke perkampungan Pek in sancung dan memanggil aku Enso. Tapi sejak suamiku lenyap dalam Istana Terlarang selama empat puluh tahun lebih belum pernah ia menginjakkan kakinya lagi diperkampungan Pek in sancung dan belum pernah memanggil aku sebagai ensonya lagi. se-olah2 ia sudah bukan termasuk anggota keluarga Thio kami lagi”

Rahib setengah baya itu tertawa rawan. “Watak suhuku dingin diluar panas di dalam. Karena masalah terjerumusnya Thio lo cianpwee didalam Istana Terlarang beliau telah menghabiskan waktu selama tiga tahun dengan harapan bisa temukan letak istana tersebut serta menyelamatkan Thio locian-pwee, karena usahanya ini menemui kegagalan maka beliau jadi malu untuk pulang ke perkampungan Pek in sancung dan akhirnya cukur rambut jadi Rahib. Sekalipun pin-ni sendiripun tak berani mengganggu dirinya secara sembarangan...”

“'Lalu apa sebabnya ia bersedia menerima Gak Siauw cha dan mewariskan ilmu silat ke padanya?”

Rahib setengah baya itu melirik sekejap kearah Giok Siauw Long-kun. kemudian menjawab: “Mengenai peristiwa ini harus ditanyakan kepada Thio Si-heng. Menurut apa yang pin-ni ketahui justru karena permohonan serta desakan dari Thio si-heng lah maka dalam keadaan apa boleh buat suhu telah menerima Gak su-moay. Sekalipun begitu suhu tak pernah menerimanya sebagai murid dan tak pernah mewariskan ilmu silat kepadanya”

“Kalau memang secara resmi ia belum di terima jadi murid, mengapa kalian saling menyebut sumoay dan suci dengan begitu mesrahnya!”.

Rahib setengah baya itu mengerutkan dahinya tapi dengan suara yang tenang dia menjawab. “Suatu ketika suhu telah menutupi diri selama beberapa waktu dan beliau serahkan Siauw moay ini kepadaku, selama ia belajar silat dalam perguruanku kalau bukan dipanggil sumoay lalu aku harus panggil apa?”.

Nenek berambut putih itu berpaling sekejap kearah Giok Siauw Long kun, lalu berkata. "Cun-ji, terhadap budak busuk ini bukan saja engkau pernah lepaskan budi pertolongan bahkan pernah mohonkan pula kepada bibimu untuk menerimanya sebagai murid, kini sayapnya telah tumbuh... Heeh heeh heeh... tentu saja dia tak akan memperdulikan dirimu lagi”

Walaupun beberapa patah katanya ini bernada keras dan tak sedap didengar, tapi membawa perasaan haru yang memilukan hati.

Gak Siauw cha segera mengerutkan dahinya, tanpa terasa air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia hendak mengucapkan sesuatu namun niat itu dibatalkan kembali.

Giok Siauw long kun menghela napas panjang. “Nenek, semua kejadian toh sudah berlalu apa gunanya engkau bicirakan lagi? penyakit yang kuderita mungkin sudah tak dapat disembuhkan lagi, kalau memang nona Gak telah berubah hati, kitapun tak usah mempeributkan persoalan ini lagi...”

Bicara sampat disini ia ter-batuk2 dan memotong perkataannya yang belum selesai itu. “Nak. apa maksudmu berkata begitu?”

“Maksudku, lebih baik kita jangan mengganggu nona Gak lagi?”

Nenek berambut putih itu tertawa dingin. “Heehh heehh heehh... ayah ibumu sudah mati. Keturunan keluarga Giok harus digantungkan pada dirimu Nah! ketahuilah bahwa tanggung jawab yang kau pikul berat sekali, engkau tak boleh memandang kematian dengan begitu ringan”

“Sekalipun aku tak ingin mati. tapi hal ini tak bisa dihindari juga... apa yang musti kukatakan?”

“Kalau engkau mati, maka orang lainpun harus mengorbankan pula jiwanya untuk menemani dirimu!”

Tanya jawab antara nenek dan cucu ini penuh mengandung rasa sedih, pedih dan dendam.

Rahib setengaah baya itu berbatuk berat, ujarnya: “Loocianpwee, kedatangan kita kemari toh bertujuan untuk menanyai maksud serta tujuan dari nona Gak...”

"Sedikitpun tidak salah, kita harus tanyakan dulu bagaimanakah maksud nona Gak sendiri” sambung kakek berjubah abu2.

Sorot mata Rahib setengah baya itu perlahan2 dialihkan keatah wajah nenek berambut putih itu. kemudian berkata kembali: “Locianpwe kalau engkau mengharapkan agar boanpwee bisa menyelesaikan persoalan ini sebaik baiknya, maka aku harap engkau bisa memberi sedikit waktu kepadaku”

Nenek berambut putih itu memandang sekejap kearah Giok Siauw long kun kemudian menjawab dengan sedih: “Baiklah! aku tidak akan berbicara lagi.

Tiba2 rahib setengah baya itu bangkit berdiri dan berseru, “Gak sumoay, kemarilah aku hendak berbicara dengan dirimu”

“Suci, apa yang hendak kau bicarakan kepadaku?”, tanya Gak Siauw cha sambil bangkit berdiri dan menghampiri rahib tersebut.

“Ikuti saja diriku?" seraya berkala pendeta wanita tadi berjalan menuju keluar.

Gak Siauw sha berpaling sekejap kearah Siauw Ling, lalu mengikuti Rahib setengah baya itu menuju keluar.

Soh Bun serta dayang baju merah lainnya saling bertukar pandangan sekejap kemudian mengikuti dibelakang majikannya.

“Peng-ji” bisik Siauw Ling dengan cepat, “tunggulah sebentar disini!" dia bangkit dan ikut menyusul keluar.

Sementara itu nenek berambut putih serta kakek berjubah abu abu telah berdiri semua, setelah melepaskan Gak Siauw cha serta rahib setengah baya itu. mereka hadang jalan pergi Soh Bun, dayang baju merah serta Siauw Ling.

"Saudara saudara sekalian, aku harap kalian suka duduk kembali ditempat semula" seru kakek berjubah abu2 sambil tertawa dingin.

Dengan langkah lebar Siauw Ling melampaui kedua orang dayang itu, serunya dengan lantang : “Andaikata aku bersikeras hendak ikut ke luar?"

“Hanya ada satu jalan bisa kau tempuh!"

“Apa maksudmu?"

“Terjanglah keluar dengan andalkan ilmu silatmu”

Diam diam Siauw Ling mengepos napas, sebelum ia sempat berbuat sesuatu tiba2 Gak Siauw-cha berpaling dan berseru: “Kalian semua mundur kembali ketempat semula!".

Soh Bun serta dayang baju merah itu mengiakan, mereka segera mengundurkan diri kebelakang.

Siauw Ling dengan paksakan diri menahan hawa gusar yang berkobar dalam dadanya, perlahan lahan ia mundur ketempat semula. Dengan pandangan dingin nenek berambut putih itu menatap sekejap kearah Siauw Ling, kemudian ujarnya: "Keponakan cilik, kemarilah. Aku ada persoalan hendak dibicarakan dengan dirimu”

“Locianpwe ada urusan apa?” tanya pemuda itu sambil maju kedepan.

Dengan sepasang matanya yang tajam bagaikan kilat nenek berambut putih itu menatap tajam wajah Siauw Ling, lalu ujarnya. “Gadis cantik dikolong langit tak terhitung jumlahnya, mengapa kau musti berebut Gak Siauw-cha dengan cucuku?"

“Perkataan dari locianpwee apa tidak keliru...?"

“Omong kosong" bentak si netek dengan gusar. “Aku sudah hidup sembilan puluh tahun lamanya, masa ucapanku bisa keliru”

“Aku sama sekali tidak berhasrat menyaingi cucumu cari nama. Juga tak ada niat untuk berebut hati dengan dirinya. Kedatanganku kemari justru dikarenakan Locianpwee dengan andalkan jumlah yang banyak hendak memaksa nona Gak untuk mengawini cucumu....."

Dengan gusarnya nenek berambut putih itu mendengus dingin. “Hmm! selama puluhan tahun terakhir belum pernah ada orang bersikap begitu kurang ajar terhadapku diriku!”

“Perempuan ini bagaimana sih?" pikir Siauw Ling didalam hati, “usianya makin meningkat tapi wataknya masih begitu berangasan... sekarang aku masih belum tahu bagaimanakah rencana enci Gak. Baiklah aku jangan bentrok muka lebih dahulu dengan dirinya....”

Berpikir sampai disini ia segera tekan hawa amarahnya didalam hati, setelah tertawa ewa katanya: “Kalau locianpwee ingin berbicara dengan diriku selamanya aku akan menjawab secara terus terang, kalau engkau tak bersedia banyak bicara dengan diriku, boanpwee pun tidak ingin banyak ribut lagi...”

Nenek berambut putih itu berpaling dan memandang sekejap kearah Gion Siauw long kun. kemudian berkata: “Baiklah! selama hidup belum pernah aku memohon sekejap pun kepada orang lain. Sekarang aku ingin memohon sesuatu kepadamu, tentu saja kesediaanmu itu akan kubalas!"

Meskipun dalam hati kecilnya Siauw Ling tahu bahwa apa yang diminta pasti merupakan suatu persoalan yang sulit, namun tak tahan lagi ia bertanya: “Apa yang kau ingitkan?"

“Segera angkat kaki dan tinggalkan tempat ini”

Siauw Ling seketika itu juga mengerutkan dahinya, ia berpikir: “Dengan mempertaruhkan keselamatan aku masuk kedalam Istana Terlarang, kemudian jauh jauh datang kemari untuk membantu enci Gak, masa aku harus angkat kaki dari tempat ini dengan begitu saja...."

Rupanya sejak semula nenek berambut putih itu sudah tahu kalau Siauw Ling pasti akan menampik permintaannya itu. tidak menunggu sianak muda itu menjawab ia telah berkata kembali: “Balas jasa yang kusediakan untukmu juga tak kalah besarnya dengan pengorbanan yang kau lakukan bagi kami, ketahuilah dalam kolong langit dewasa ini kecuali perkampungan Pek-in-san-cung kami, mungkin sudah jarang sekali ada orang yang berani memusuhi Shen Bok Hong. Sekalipun ada itu pun punya keinginan sayang tenaga tidak memadahi. Aku bersedia mengutus tiga orang jago yang paling lihay dari perkampungan Pek-in san-cung kami untuk membantu dirimu melawan kekuasaan Shen Bok Hong, bila mana perlu akupun bersedia turun tangan sendiri untuk mensukseskan usahamu itu, coba bayangkanlah bukankah penghargaan yang kusediakan cukup besar?"

Siauw Ling segera gelengkan kepalanya. “Permusuhanku dengan Shen Bok Hong adalah satu masalah, pertikaian antara cucumu dengan enci Gak adalah masalah yang lain pula. Mana mungkin kedua macam masalah yang berbeda satu sama lainnya ini bisa dibicarakan menjadi satu...."

Rupanya nenek berambut putih itu amat gelisah, mungkin ia berharap sebelum rahib setengah baya serta Gak Siauw cha kembali kedalam ruangan satu persoalan mengenai Siauw Ling bisa diselesaikan lebih dahulu.

Dia tidak ingin menjelasan pemuda itu dengan alis berkerut tukasnya: “Jadi kalau begitu, engkau sudah bertekad bulat untuk mencampuri urusan ini?"

“Asal pertikaian antara kalian dengan nona Gak bisa diselesaikan secara baik2 dan bijaksana, akupun tak akan turut campur, tetapi kalau situasi berubah jadi api bertemu air sehingga pertarungan tak bisa dihindari lagi, terpaksa aku tak dapat berpeluk tangan belaka...”

"Seandainya sekarang juga kucabut lebih dahulu selembar jiwamu?" jengek sang nenek berambut putih sambil tertawa dingin.

"Boanpwee berani datang kemari, tentu dengan persiapan yang mutang. Soal matii atau hidup sudah tidak kupikirkan lagi"

Nenek berambut putih itu segera mengempos tenaga, tetapi sebelum serangan sempat dilancarkan tiba2 terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang, ia segera batalkan maksudnya dan putar badan.

Dengan wajah serius rahib berusia pertengahan itu melirik sekejap kearah Siauw Ling serta nenek berambut putih itu, lalu katanya: “Locianpwee, pin-ni telah membicarakan masalah ini dengan Gak sumoay...”

“Adik iparku adalah seorang yang hebat, setelah jadi pendeta. ia adalah seorang Rahib yang agung, engkau sebagai muridnya tentu sudah mendapat warisan kepandaiannya, apakah silat lidahmu telah berhasil membujuk Gak sumoaymu itu?"

Kegusaran dan rasa mendongkol yang selalu mengeram dalam dadanya membuat ucapan nenek ini selalu pedas, mengandung sindiran dan tak sedap didengar sekalipun ia sendiri ingin mengucapkan beberapa patah kata yang enak didengar.

Rupinya imam rahib setengah baya ini cukup tebal sambil menggeleng sahutnya: “Mungkin pin-ni tak sanggup memenuhi apa yang diharapkan oleh guruku”

“Kalau memang engkau tak mampu menundukkan hati Gak sumoaymu itu, terpaksa kita harus menempuh jalan kekerasan” kata sang nenek berambut putih dengan air muka berubah hebat.

“Sebelum persoalan mencapai pada jalan buntu, pin-ni masih belum berhasrat untuk menggunakan jalan yang terakhir itu"

“Menurut penglihatanku, seharusnya kita sudah menghadapi jalan buntu”

“Locianpwee harus tahu. kedatangan pin-ni adalah dalam rangka melaksanakan tugas suhuku. Terhadap suhu maupun locianpwee aku pasti akan memberikan suatu pertanggungan jawab”

“Kalau begitu bagus sekali, sekarang kita boleh mulai turun tangan, kau hadapi Siauw sumoay itu. biar aku yang menghadapi San Ling!”

"Tunggu sebentar, aku harap locianpwee suka bersabar beberapa saat lagi, ada beberapa patah kata ingin pin-ni tanyakan lebih dahulu kepada Thio Suheng”

"Baik, tanyalah” kata nenek berambut putih itu kemudian sambil menyingkir kesamping .

Perlahan2 rahib setengah baya itu alihkan sorot matanya kearah Giok Siauw long kun kemudian ujarnya: “Thio si-heng. pin-ni ada beberapa urusan hendak ditanyakan kepadaku, aku harap Thio suheng suka menjawab secara jujur”

Giok Siauw long kun mengangguk. "Apa yang ingin kau tanyakan?” ujarnya,

“Benarkah nona Gak pernah berkata kepadamu, seandainya Siauw Ling ada kabar beritanya maka ia akan tinggalkan dirimu?"

Giok Siauw long kun mengangguk. "Sedikitpun tidak salah, memang ia pernah berkata demikian!”

“Apa jawabmu pada waktu itu?”

"Waktu itu aku tidak menjawab” sahut Giok Siauw long kun setengah termenung sebentar.

Rahib setengah baya itu segera alihkan sorot matanya keatas wajah Gak Siauw Cha, lalu tanyanya: “Gak sumoay, apakah Thio si-heng memberi jawaban kepadamu?"

“Tidak!”

"Apa yang dijawab oleh Thio si-heng pa di waktu itu? masalah itu penting sekali, aku harap engkau tak usah malu2 dan menjawab dengan sejujurnya, sebab pada waktu itu yang bicara ada maksud, yang mendengar sama sekali tak menaruh perhatian. Mungkin Thio si-heng sudah lupa, tapi engkau yang bicara dengan mengandung maksud2 tertentu pasti mengingatnya selalu bukan?"

“Jawaban Thio heng pada waktu itu mengatakan bahwa mayat Siauw Ling sudah tenggelam disungai Tiang-kang, darimana ia bisa hidup kembali...”

“Sekalipun ia sudah dianggap telah menjawab” sela nenek berambut putih dari samping, “jawaban itu tidaklah berarti bahwa ia menyetujui kalau engkau kembali kesisi Siauw Ling!”

“Gak sumosy. benarkah kata2mu adakah jawaban yang sejujurnya?” tanya rabib setengah baya dengan suara mendalam.

"Siau moay tak berani membohongi suci, setiap patah kataku adalah jawaban yang sejujurnya”

Rabib setengah baya itu segera alihkan torot matanya Kearah Giok Siau Long-kun, dan bertanya: “Thio si-heng, apa yang dikatakan nona Gak benar atau tidak?”

Giok Siauw long kuo termenung sebentar, lalu menjawab. “Perkataan yang nona ucapkan sedikit pun tidak salah. Yang bicara ada maksud yang mendengar tidak menaruh perhatian. Aku sudah tidak mengingatnya kembali kata2 tersebut”

“Tapi ada satu hal. Aku rasa Thio si-heng tentu masih mengingatnya deagan jelas bukan?"

“Persoalan apa?”

“Pernahkah nona Gak Siauw-cha menerinu pinanganmu untuk jadi istrimu?”

"Nona Gak dan Cun ji seringkali melakukan perjalanan bersama, berpesiar ketempat tempat kenamaan, bilamana mereka tak ada rasa cinta, kenapa pergi kesana kemari seorang diri?" sambung nenek berambut putih dari samping kalangan.

“Antara cinta dan pinangan adalah dua masalah yang berbeda, pin-ni rasa sudah sepantasnya kalau kuselidiki persoalan ini hingga jelas” sorot matanya dialihkan kembali keatas wajah Gak Siauw cha, tanyanya: “Gak sumoay pernahkah engkau menerima pinangan dari Thio si-heng untuk menjadi istrinya?"

“Thio si-heng pernah membicarakan soal perkawinan dengan Siauw moay. Pada waktu itu Siauw moay menjawab harus tunggu dua tahun lagi baru urusan ini bisa dibicarakan. Andaikata saudara Siauw masih belum juga ada kabar beritanya maka aku bersedia untuk menerima pinangannya sebagai balas budi atas pertolongan yang diberikannya kepadaku berulang kali...."

Tiba tiba manusia berwajah emas bertangan besi menimbrung dari samping kalangan: “Seandainya kongcu kami berulang kali tidak menolong dirimu, sekalipun nona punya sepuluh lembar nyawapun sudah habis semua, sekalipun Siauw Ling masih hidup dikolong langitpun mayat nona telah jadi abu”

Gak Siauw-cha sama sekali tidak menggubris perkataan manusia bertangan besi itu, la lanjutkan kembali kata katanya: “Tetapi tidak sampai dua tahun setelah kuucapkan perkataan itu, Siauw Ling telah munculkan diri dalam dunia persilatan. Setelah Siauw moay mendengar kabar ini, aku segera tinggalkan surat dan secara diam diam meninggalkan Thio si-heng”

“Thio si heng, benarkah apa yang dikatakan itu?” tanya rahib setengah baya sambil berpaling kearah Giok Siauw long kun.

“Sedikitpun tidak salah" pemuda itu mengangguk.

“Bagus, Nah Gak surnoay, lanjutkanlah perkataanmu!”

Gak Siau, Cha menghela napas panjang, terusnya: “Sejak itu Thio suheng telah mengejar jejakku walaupun aku berada diujung langit dasar samudra, tapi perhatian Siauw moay sudah tertujukan pada pencarian jejak saudara Siauw. maka selama ini aku tak berani menjumpai diri Thio si heng lagi”.

“Walaupun kami tak pernah saling bertemu akan tetapi sering berhubungan lewat irama seruling dan petikan khim” sambung Giok Siauw long kun.

“Sekalipun Thio si beng selalu menggunakan irama serulingnya mendesak aku agar menerima pinangannya, akan tetapi siauw moay pun selalu menasehati Thio si heng lewat petikan khim, aku selalu berharap agar ia jangan terombang ambing oleh perasaan cinta. Aku rasa Thio si heng tak akan menyangkal bukan?”

Giok Siauw long kun menghela napas panjang. “Samudra boleh kering, batu boleh lapuk tapi cintaku padamu tak akan luntur untuk selamanya nona Gak”

“Bocah tak becus...” maki nenek berambut putih sambil mendepakan kakinya diatas tanah.

Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah rahib setengah baya itu. serunya: “Engkau tak usah bertanya lebih lanjut”

“Masih ada beberapa hal pin-ni merasa kurang jelas, aku berharap bisa bertanya beberapa patah kata lagi”

“Ditanya pulang pergi toh akhirnya sama saja, cucuku yang tidak becus ini ter-gila2 pada nona Gak, sebaliknya perasaan cinta nona Gak bercabang dan selain memikirkan Siauw Ling. Aku benar benar tak habis mengerti pertanyaan apa lagi yang hendak kau ajukan kepada mereka berdua?"

Rahib setengah baya itu termenung sebentar, kemudian berkata: “Locianpwee, dari pertanyaan pertanyaan itu pin-ni ingin mencari kesalahan dari sumoay agar bisa dipergunakan sebagai tuduhan untuk minta pertanggungan jawabnya”

“Apa susahnya mencari kesalahan orang? kalau engkau membutuhkan maka sekarang juga aku bisa memberitahukan suatu alasan yarg kuat bagi kita untuk membekuk budak cilik itu”

“Pin-ni sudah lama tiada napsu angkara murka lagi. Kalau engkau suruh aku turun tangan terhadap Gak sumoay tanpa alasan tertentu, sulit bagiku untuk turun tangan, maka dari itu aku harus mencari dulu kesalahannya...”

“Dia berpikir cabang, lupa akan budi yang pernah diberikan orang lain kepadanya, tidakkah cukup alasan ini?"

"Akan tetapi dibalik masalah tersebut terdapat kejadian lain yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa Gak sumoay salah”

Nenek berambut putih itu segera tertawa dingin, “Engkau disuruh suhumu dateng kemari untuk membantu aku ataukah datang untuk mempertimbangkan masalah ini?”

“Suhu beritahu kepada pin-ni agar menyelidiki latar belakang dari persoalan itu. kemudian baru mengambil keputusan yang adil”

Air muka nenek berambut putih itu berubah hebat sementara ia hendak mengumbar hawa napsunya. tiba2 kakek berbaju abu2 berkata. "Lo thay thay, engkau jangan marah, aku rasa Sam ciat su tay pasti mempunyai cara untuk menyelesaikan persoalan ini sebaik baiknya. Dia tentu akan memberikan pertanggungan jawab kepada perkampungan Pek in san cung kami"

“Hmm! baiklah, kita lihat dulu bagaimana caranya dia menyelesaikan masalah ini”

Habis berkata ia balik kesudut ruangan dan duduk bersila disitu matanya dipejamkan rapat2 dan tidak menggubris semua orang lagi.

Rahib setengah baya itu memandang sekejap kearah Gak Siauw-cha lalu memindang pula kearah Giok Siauw long kun, kemudian bisiknya sambil menghela napas panjang: “Dosa....dosa"

KaKek berjubah abu abu dengan hormat memberi hormat kepada rahib setengah baya itu, kemudian berkata: “Sam ciat sutay, keluarga Thio tinggal satu keturunan saja. Andaikata majikan kecil kami benar benar mengalami sesuatu yang tidak beres, bagaimanakah pertanggungan jawab su tay terhadap locungcu yang terjerumus didalam istana terlarang”

Sam ciat su tay menghela napas panjang gumamnya seorang diri: “Tempo hari ketika suhu hendak mencukur rambutku pernah ia bertanya kepadaku hendak gunakan gelar apa, waktu itu aku jawab hendak gunakan gelar Samciat. maksudku adalah agar pikiranku tertuju pada sang Budha yang maha pengasih dan penyayang, aku akan pantang bercinta, pantang berkeluarga dan pantang bersahabat sungguh tak kusangka setelah puluhan tahun bertapa akhirnya aku dibikin pusing juga oleh masalah cinta”

Siauw Ling yang menyaksikan Sam ciat su tay sedang mengalami kesulitan dan murung sekali, tak tahan lagi sebera berkata: "Sutay adalah seorang pertapa, apa sebabnya engkau musti melibatkan diri dalam masalah cinta muda madi?. Bila aku menjadi dirimu maka detik ini juga aku segera mengundurkan diri dari persoalan ini"

"Siapakah engkau?” tegur Sam ciat sutay sambil tertawa dingin.

“Aku adalah Siauw Ling”

“Hmm! berada dalam keadaan serta situasi seperti ini, apa hakmu untuk berbicara dengan pin ni?”

“Rahib ini benar2 tak tahu diri” pikir Siauw Ling didalam hati kecilnya, secara baik2 aku nasehati dirinya, eeei... dia malah marah, apakah aku telah salah bicara?"

Sementara ia hendak buka suara lagi, tiba-tiba Gak Siauw cha membentak keras: “Saudara Siauw, ditempat ini tak ada urusanmu, engkau tak usah banyak bicara”

Selamanya pemuda ini paling menghormat Gak Siauw cha, setelah gadis itu menegur diapun segera membungkam.

Sam Siat Sutay menghela napas panjang, ujarnya. "Gak Siauw cha, garis besar jalannya peristiwa telah kuketahui, masalah yang pelik pun tak akan kutanyakan lebih jauh. Engkau sendiri terdapat banyak hal yang keliru. Meskipun ada alasannya tapi engkau sudah mengingkari janji, sekarang urusan telah jadi begini, apa rencanamu selanjutnya untuk menyelesaikan masalah ini?"

Gak Siauw cha tertawa getir. ”Seandainya Thio si heag datang kemari seorang diri, sekalipun hati Siauw moay sekeras baja namun bila mengingat masa lalu mungkin hatiku akan leleh dan berubah pikiran. Tapi kini Thio su heng telah membawa banyak orang datang kesini, bahkan hendak memaksa Siauw moay untuk menuruti kehendaknya, hal ini membuat akupun tak bisa berbuat apa apa lagi"

“Thio locianpwee menyayangi cucunya, sekalipun ikut datang kemari rasanya juga bukan tindakan yang keliru”.

"Tetapi kecuali lo-taya-tay masih ada pula beberapa orang lainnya, bagaimana penjelasan tentang mereka?"

“Sumoay, engkau boleh mengingkari janji cintamu tetapi tak boleh membantah perintah perguruan”

"Suhu memerintahkan Siauw-moay untuk berbuat bagaimana?”

“Walaupun suhu adalah seorang manusia yang suka bertindak adil dan bijaksana, tetapi sumoay jangan lupa. begaimanapun juga toh ia tetap merupakan bibi dari Giok Siauw long-kun.”

Mula mula Gak Siauw-cha nampak tertegun lalu tertawa ewa. “Bagaimanakah pesan suhu yang disampaikan kepada suci?. Harap suci suka mengutarakan keluar dengan se-jelas2nya”

“Suhu memerintahkan aku datang kemari untuk mencari tahu duduknya persoalan serta memeriksa apakah engkau bersalah atau tidak”

“Siauw moay toh sudah berterus terang, bila ada kesalahan aku rasa suci pun pasti sudah memahami”

“Walaupun alasanmu tepat semua, tapi kesalahan masih tetap ada pada dirimu...”

“Siauw moay didesak untuk melupakan budi seandainya suci yang menjadi Siauw-moay. ma ka apa yang hendak kau lakukan?”

“Persoalan muncul karena dirimu, kesulitan muncul karena kau cari sendiri..apa yang bisa kubantu pada dirimu?”

“Pengalaman Siauw moay telah suci pahami, apakah Thio suheng sama sekali tidak bersalah?”

Air muka Sam-ciat Sutay berubah jadi dingin dan serius, perlahan lahan katanya: “Sebelum aku tinggalkan diri suhu. Beliau telah bergumam seorang diri. walaupun perkataan itu bukan sengaja ditujukan kepadaku akan tetapi sudah aku dengar dengan jelas”

“Apa yang suhu katakan?"

“Beliau berkata, ia mendapat budi perawatan dari keluarga Thio. mendapat budi karena mendapatkan warisan ilmu silat dari kakaknya, tapi sekarang menghadapi peristiwa yang dapat mengakibatkan putusnya keturunan keluarga Thio.... ia tak mampu membantu apa apa”

Gak Siauw-cha membelalakkan matanya lebar lebar, tanpa sadar air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.

Sepatah demi sepatah Sam ciat sutay berkata kembali, “Gak sumoay, tahukah engkau apa arti dari kata2 suhu itu?”

“Siauw moay mengerti!”

“Lalu apakah artinya?”

“Asalkan persoalan bisa beres, Siauw moay bersedia mengorbankan diri, tapi kenyataannya sekalipun Siauw moay bersedia mengorbankan diri urusan pun tak akan beres”

Sam ciat sutay segera alihkan sorot matanya keatas wajah Siauw Ling, kemudian katanya: “Apakah disebabkan Siauw Ling masih hidup dikolong langit, maka engkau tak dapat mengingkari janjimu kepadanya?”

“Suci.....”

“Hmm!, asal engkau bersedia mengorbankan diri, persoalan selanjutnya tak usah kau pikirkan lagi" tukas Sam ciat sutay dengan dingin.

Sambil putar badan ia segera berjalan mendekati sianak muda itu.

“Suci” teriak Gak Siauw cha dengan gelisah “persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Siauw Ling. Suci telah salah paham dengan maksud Siauw moay”

“Seandainya Siauw Ling tidak hidup kembali, pada saat ini sumoay telah menjadi menantunya keluarga Thio. Tali mati yang mempersulit masalah ini harus dihilangkan secepatnya, dan sumber tadi tali mati itu bukan lain adalah hidupnya kembali Siauw Ling dikolong langit”.

Perkataan rahib itu diucapkan dengan bergumam, seolah olah sengaja ditujukan untuk Siauw Ling dan Gak Siauw cha.

Gadis she Gak segera maju kedepan dengan maksud menghalangi jalan pergi Sam ciat Sutay, tapi Siauw Ling sudah maju kedepan dan berseru sambil ulapkan tangannya: “Enci Gak, harap engkau mundur kebelakang, kalau memang sutay ini mencari Siauw-te maka itu berarti sudah menjadi urusanku”

Sam lcict sutay sendiri sudah ayun pula tangan kirinya menghadang Gak Siauw Cha maju kedepan. tegurnya pula dengan dingin. “Kau boleh mundur kebelakang. aku punya Cira yang baik untuk menyelesaikan persoalan ini”

Dari keadaan yang terbentang didepan mata Siauw cha tahu bahwa gelagat tidak menguntungkan pihaknya, dalam hati ia segera berpikir: "Aaai...! rupanya pertarungan tak bisa dihindari lagi..."

Diam2 ia menghimpun hawa murninya dan bersiap siaga lalu muudur kebelakang, asalkan ada orang yang turun tangan menyerang Siauw Ling maka dia akan segera melancarkan serangan untuk memberi pertolongan.

Setelah membentak mundur Gak Siauw cha, kepada Siauw Ling rahib setengah baya itu segera berkata: "Apa yang barusan kami bicarakan, tentu sudah kau pahami bukan?"

"Sedikitpun tidak salah, sudah kudengar semua dengan sejelasnya"

“Untuk menyelamatkan selembar jiwa Thio siheng, pin-ni ingin sekali melenyapkan simpul tali mati ini”

“Tolong tanya bagaimanakah caranya Su-tay untuk menghilangkan simpul tali mati ini?”.

“Gampang sekali, simpul tali mati ini justru merupakan persoalan mati hidup engkau orang she Siauw!”

Siauw Ling segera tertawa dingin. “Jadi maksud sutay aku harus gorok leher bunuh diri dihadapanmu?” ejeknya.

“Menolong selembar jiwa harus mengorbankan jiwa lain, tindakan tersebut bukan tindakan yang diajarkan oleh Sang Budha, pin-ni tidak ingin melakukan perbuatan tersebut!”

“Kecuali jalan tersebut Sutay masih mempunyai cara apa lagi?” tanya Siauwling dengan alis berkerut.

“Ada satu cara yang dapat membuat engkau orang she Siauw mulai sekaiang lenyap dari permukaan bumi”

“Aneh benar rahib ini” pikir Pek-li Peng didalam hati, dia tak mau membunuh Siauw toako, tapi hendak melenyapkan dirinya dari muka bumi entah cara apakah yang hendak ia pergunakan?”

Sementara itu Siauw Ling telah berkata: “Apakah pendapat sutay? coba engkau utarakan keluar...”

Dengan sorot mata yang tajam Sam ciat sutay menyapu sekejap wajah Gak Siauw Cha serta Pek-li Peng kemudian berkata: "Sekalipan seorang enghiong yang gagah atau gadis yang cantik akhirnya tak ada yang lolos dari kematian dan berobah jadi tulang putih, mengingat engkau berusia muda belum lama muncul dalam dunia persilatan tapi sudah mendatangkan banyak masalah cinta. Apa salahnya kalau kau buang saja semua pikiran keduniawian dan mengikuti pin-ni jadi pendeta? pin-ni akan mencari kan guru yang baik untukmu belajar agama..... bukankah hal itu jauh lebih baik?"

“Oooh... rupanya dia hendak suruh toako jadi pendeta...” pikir Pek-li Peng didalam hati.

"Maksud sutay. apakah engkau hendak suruh aku cukur rambut jadi hweesio?..." ujar Siauw Ling selelah berpikir sebentar.

"Sedikitpun tidak salah, setelah cukur rambut jadi pendeta maka tiada kemurungan dan kesulitan yang kau alami lagi.... Nama Siauw Ling pun sejak kini akan lenyap dari permukaan bumi”

Siauw Ling tersenyum. “Sutay menganjurkan yang baik, aku merasa tertarik sekali...”

“Jadi kau sudah menyanggupi?" sambung Sam ciat Sutay dengan cepat.

Siauw Ling menggeleng. “Sayang persoalan yang kuhadapi masih terlalu banyak, sekarang aku masih belum dapat mengabulkan permintaanmu itu" jawabnya.

Sam ciat sutay segera tertawa dingin, “Pin-ni sudah tahu bahwa engkau bukan manusia yang cocok untuk belajar agama, tetapi engkau harus tahu bahwa berlayar mengikuti perahu kebajikan akan membawa engkau menuju ketepian yang berbahagia, engkau akan terlepas dari segala kesengsaraan dan kesulitan...."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar