Budi Ksatria Jilid 11

Jilid: 11

GADIS itu per-lahan2 putar badan dan membereskan rambut panjangnya yang kusut karena terhembus angin, lalu sambil tertawa katanya.”Ooh... kau sudah kembali?"

Sedikit pun tidak salah, dara baju putih itu bukan lain adalah Pek-li Peng yang telah berdandan sebagai perempuan lagi.

Siauw Ling menghela napas panjang, serunya:”'Angin malam sangat dingin, mau apa engkau berdiri ditempat ini?"

"Tunggu dirimu. Sengaja aku tukar pakaian putih untuk menantikan kedatanganmu, asal kau telah kembali maka aku tentu akan kelihatan lebih dahulu..."

ooOOOoo

“KALAU semalaman aku tidak pulang, apa knh kaupun akan berdiri semalam suntuk ditepi jurang?"

“Aku akan menantikan kedatanganmu sampai kau kembali kesini, bila kau tidak kembali dalam waktu tiga hari tiga malam maka akupun akan menunggu selama tiga hari tiga malam disini"

“Budak ini begitu cinta dan sayang kepadaku, entah bagaimanakah penyelesaiannya dikemudian hari?" pikir Siauw Ling dalam hati.

Segera ujarnya dengan suara lirih:”Seandainya aku tidak pulang dalam sepuluh hari?"

“Aaah! tak mungkin, aku percaya dengan perkataan dari toako, kau tak akan membohongi diriku"

Siauw Ling segera ulurkan tangannya menggandeng pergelangan kanan Pek-li Peng serunya,”Ayo pulang! besok pagi kita masih harus melanjutkan perjalanan”.

"Apakah toako telah berjumpa dengan orang itu?"

"Sudah. Aaaai... Shen Bok Hong berusaha keras dengan segala kemampuannya untuk masuk kedalam istana terlarang dan berharap bisa dapatkan kitab ilmu silat peninggalan dari sepuluh tokoh maha sakti itu, agar cita2nya untuk merajai dunia persilatan dapat terwujud, tetapi ia telah menemui kegagalan total dan keluar tenaga dengan percuma, sejilid kitab ilmu silatpun tidak berhasil didapatkan..."

Sementara itu sepasang pedagang dari kota Tiong-ciu telah munculkan diri disitu. tampak mereka memberi hormat dan berseru: "Toako..."

“Oooh...! saudara berdua, bagaimana keadaan luka kalian?"

“Berkat pemberian obat mujarab dari toako, luka yang kami derita telah sembuh kembali seperti sedia kala”.

"Dalam kamar telah disiapkan sayur dan arak, toako! silahkan masuk ke dalam kamar untuk minum arak mengusir hawa dingin!" sambung Tu Kiu.

Pada waktu itu Siauw Liog memang merasa agak lapar, dengan langkah lebar ia segera masuk kedalam kamar.

Tampaklah dimeja telah tersedia empat macam sayur, bau harum tersiar dalam ruangan membuat perut terasa makin lapar, ia jadi tercengang bercampur keheranan, pikirnya. “Ditempat yang terpencil dan jauh dari kota, darimana mereka bisa dapatkan bahan makanan yang begini baik?"

Rupanya Sang Pat dapat menebak kecurigaan dalam hati Siauw Ling, tidak menunggu pemuda itu buka suara ia telah berkata lebih dahulu: “Siauw te berbasil mendapatkan seekor ayam waktu berburu tadi. kemudian kumasak sendiri seadanya... apakah toako doyan dengan masakan seperti ini?"

Siauw Ling mencicipi sesuap, kemudian pujinya: “Hmmm... sedap!"

Sang Pat melirik sekejap kearah Pek-li Peng. lalu katanya: “Nona Pek-li, toako telah kembali. Sekarang nonapun harus bersantap untuk mengisi perut!"

Pek-li Peng tertawa jengah, pipinya seketika berubah jadi merah padam bagaikan kepiting rebus.

Mendengar perkataan itu Siauw Ling segera berpaling kearah dara tersebut, tegurnya : “Kenapa? kenapa kau tidak bersantap”'

“Sehari penuh nona Pek-li tidak makan dan tidak minum barang setetes air pun” Sang Pat menambahkan sambil tertawa.

“Kenapa?"

“Dia mau menunggu sampai toako kembali baru makan bersama”

Siauw Ling tidak banyak bertanya lagi, ia duduk dan segera berseru : “Sekarang mari kita bersantap!"

Kepandaian memasak yang dimiliki Sang Pat benar benar luar biasa sekali. Seekor ayam hasil buruannya telah disulap menjadi beberapa macam sayur yang lezat dan sedap rasanya, empat orang yang sudah lapar tanpa sungkan lagi segera menyikat habis semua hidangan tersebut.

Selesai bersantap, dengan pandangan mata yang tajam Siauw Ling memperhatikan raut wajah Sang Pot serta Tu Kiu, setelah mengetahui bahwa luka mereka benar2 telah sembuh, dalam hati ia merasa berterima kasih sekali terhadap kakek berambut putih itu. pikirnya: "Andaikata aku tidak memperoleh obat mujarab pemberiannya sehingga luka yang diderita sepasang pedagang dari kota Tiong ciu bisa sembuh dengan begitu cepat. Mungkin aku harus menunggu tiga sampai lima hari lamanya baru bisa menempuh perjalanan lagi”.

Selesai membereskan mangkuk sumpit dari cawan. Sang Pat pun berkata: "Agaknya luka dalam yang diderita Shen Bok Hong parah sekali..."

"Apakah kau telah berjumpa dengan gembong iblis itu?"

Sang Pit menangguk tanda membenarkan, "Aku serta saudara Tu ber-sama2 berjumpa dengan dirinya, keadaan iblis tersebut mengenaskan sekali. Dengan terburu nafsu ia kirim satu pukulan kepadaku dan satu pukulan kearah saudara Tu. Waktu itu kami sudah kehabisan tenaga karena pertarungan telah berlangsung lama sekali, terpaksa serangannya itu kami sambut dengan keras lawan keras..."

"Jadi luka dalam yang kau derita adalah akibat diri pukulannya yang kalian sambut dengan kekerasan itu?"

"Sedikitpun tidak salah!"

Mendengar perkataan itu Siauw Ling meng hela napas panjang. "Aaai... ia sudah terkena sebuah pukulan Siauw-lo sin ci yang kulancarkan, tapi kekuatan tubuhnya masih begitu besar hingga pukulan yang dia lancarkan masih mampu untuk menghajar kalian sampai terluka parah. Kesempurnaan tenaga dalam yang dia miliki serta kelihayan ilmu silat yang diyakininya benar2 sukar dihadapi oleh manusia biasa, sekalipun sepuluh tokoh maha sakti dimasa yang lampaupun tidak lebih hanya begitu saja..."

Pek-li Peng memandang sekejap kearah Sang Pat serta Tu Kiu. kemudian tanyanya: “Tadi kalian bilang harus bertempur lama sekali, kalian telah bertempur melawan siapa sih?"

"Setelah nona menyampaikan pesan dari toako agar kami menunggu didalam lembah berangkatlah kami berdua melaksanakan perintah dari toako itu. Siapa tahu ditengah jalan jejak kami telah ketahuan oleh para peronda dari perkampungan Pek-hoa-san-cung. kami takut situasi ini akan merusak rencana besar toako serta nona, terpaksa kami putar badan dan lari tinggalkan tempat itu. Siapa tahu mereka mengejar terus dengan kencangnya sehingga ber-puluh2 li jauhnya. Baru saja kami berhasil lolos dari pengejaran tiba2 bala bantuan jago lihay dari perkampungan Pel hoa san-cung kebetulan tiba pula disana, maka tak bisa dihindari lagi suatu pertempuran yang amat sengit segera berkobar. Meskipun kami berhasil membinasakan berpuluh puluh orang jago lihay, tetapi musuh tangguh yang mengepung disekeliling sana bertambah banyak bahkan setiap orang menerjang dengan nekad dan tak takut mati. Setelah bertempur hampir tiga jam lamanya musuh2 tangguh tersebut berbasil kami pukul mundur juga. Setelah teringat akan janji dari toako maka kamipun buru2 menyusul kemari.

"Tapi penjagaan yang dilakukan dalam selat itu ketat sekali. Penjagaan tersebar di mana2. Dalam keadaan apa boleh buat terpaksa aku serta Loo sam menerjang masuk dengan menggunakan kekerasan. Baru saja melalui rintangan Keempat, kami lelah berjumpa dengan Ciu Cau Liong sekalian, kedua belah pihakpun teriibit kembali dalam suatu pertarungan yang amat sengit. Tidak lama kemudian Shen Boi Hong-pun menyusul datang. Setelah melancarkan satu pukulan kepadaku dan Tu Kiu, ia membawa kerabatnya mengundurkan diri dari sana. Waktu itu aku serta Loo sam telah terluka parah, sambil menahan diri berangkatlah kami datang kelembah...."

"Dari mana kau bisa tahu kalau Shen Bok Hong telah terluka parah?"

"Setelah melancarkan dua buah serangan itu, dia muntah darah dan segera kabur dari situ. Rupanya dia takut sekali kalau sampai aku serta saudara Tu tahu kalau ia terluka parah”.

“Nah. itulah dia...“ kata Siauw Ling sambil mengangguk ”untung Thian melindungi mereka yang benar, akhirnya saudara berdua selamat juga dari bencana”

"Seandainya tak ada pemberian obat mujarab dari toako, mungkin saat ini kami berdua telah mati dan mayatnyapun sudah dingin"

"Setelah terluka parah toako menyerahkan pula tenaga dalam untuk membantu kami, budi kebaikan yang luar biasa ini sungguh membuat kami merasa terharu den berterima kasih sekali,” sambung Tu Kiu.

Mendengar perkataan itu Siauw Ling segera menegur dan mengerutkan alisnya: "Kita semua toh saudara sendiri, kenapa kau malah bersikap begitu sungkan terhadap diriku?”

"Teguran toako tepat sekali, Siauw-te lah yang sudah salah bicara”

Pek-li Peng yang selama ini membungkam diri tiba2 tertawa cekikikan serunya: “Sekarang mara bahaya toh sudah lewat, apa gunanya membicarakan soal itu lagi”.

Sambil berpaling kearah Siauw Ling sambungnya: “Toako, bukankah kau telah berjanji akan membawa aku pergi berpesiar ketelaga See-ou jadi tidak?"

“Setiap perkataan yang telah kuucapkan tentu akan kutepati, cuma, sekarang belum waktunya untuk berbuat begitu”

“Aku rasa sekaranglah waktunya yang paling bagus untuk berpesiar ketelaga See-ou"

“Kenapa?"

“Sebab semua harapan para enghiong hoo-han dikolong langit telah dibebankan ke atas bahumu. Setiap hari kau sibuk dengan pelbagai macam persoalan, mumpung Shen Bok Hong sedang terluka parah dan harus merawat lukanya itu, kita bisa berpesiar dengan hati tenang"

Siauw Ling tertawa rawan. “Tidak salah setelah Shen Bok Hong menderita pukulan hebat kali ini, perduli apakah dia terluka parah atau tidak, untuk menyusun dan membangun kembali kekuatannya ia memang membutuhkan waktu yang cukup lama...."

“Jadi toako telah menyanggupi permintaanku?" tanya Pek-li Peng kegirangan.

Siauw Ling menghela napas dan menggeleng. “Peng-ji sepantasnya kalau kukabulkan permintaanmu itu... tetapi sayang sekali aku harus menyelesaikan pekerjaan lain di dalam waktu senggang tersebut"

Air muka Pek-li Peng berubah jadi kecut, rasa girang yarig semula menghiasi wajahnya kini lenyap tak berbekas.

“Pentingkah urusan itu?” tanyanya.

“Penting sekali, karena itu aku harus segera berangkat. Aaai...! Peng-ji, kedatanganku ke Istana terlarang adalah untuk mengadu untung. Aku berharap hasil yang kudapatkan bisa digunakan untuk membantu dirinya, tentu saja anak kunci untuk membuka istana terlarang yang ada di dalam sakuku adalah hadiah dari dia pula”

“Tetapi dalam istasa terlarang sudah tak ada barang lagi. Ilmu silat yang ditinggalkan sepuluh orang sakti telah dilarikan orang semua sebelum kita sampai disitu”

“Tetapi berbicara bagiku nasibku amat mujur, sebab orang itu justru meninggalkan kitab catatan dari Thio Hong ditempai semula”

“Jadi kalau begitu ilmu silat yang dimilki Thio Hong adalah paling hebat diantari sepuluh tokoh maha sakti lainnya?"

“Kepandaian silat yang dimiliki kesepuluh orang tokoh sakti yang terkurung dalam Istana Terlarang sama2 tangguh dan hebatnya. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih lihay. Tetapi orang yang memusuhi itu justru punya kepandaian yang sejalan dengan ilmu silat milik Raja Seruling, dengan dimilikinya kitab pusaka peninggalan dari Thio Hong bukankah itu berarti bahwa kita punya peluang untuk merubuhkan musuh?"

“Oooh... ternyata begitu...” Pek-li Peng tarik napas panjang. “jadi kau hendak pergi menolong orang?"

"Peng-ji, ternyata kau memang cerdik sekali."

"Siapa yang akan kau tolong? bolehkah diberitahukan kepadaku?..."

“Tentu saja boleh, dia adalah Gak Siauw Cha”

“Gak Siauw Cha?” seru Pek-li Peng tertegun, “dia tentu seorang nona yang -amat cantik bukan?"

"Dia adalah enciku....”

"Kau toh she Siauw sedang dia she-Gak, mana mungkin dia bisa jadi encimu”.

Siauw Ling menengadah keatas. Dengan wajah sedih bercampur murung jawabnya: “Seandainya bibi Im tidak mewariskan ilmu silatnya dan enci Siauw Cha tidak membawa aku lari dari rumah, sulit dikatakan apakah aku Siauw Ling bisa hidup sampai ini hari. Sekalipun masih hidup mungkin badanku lemah dan sepanjang tahun sakit terus...”

"Siapakah bibi Im itu? kenapa bisa disatukan dengan nama Gak Siauw Cha”

“Pengaruh dan kesannya terhadap diriku terlalu besar seandainya tiada bibi Im mungkin sekarang, aku masih tetap merupakan seorang sasterawan lemah yang terpenyakitan dan tak mampu berbuat apapun..."

“Aaai... seandainya sampai sekarang kau merupakan sasterawan yang lemah dan berpenyakitan, keadaan itu jauh lebih baik lagi.... karena dengan begitu, aku bisa merawat dirimu secara baik2”

Siauw Ling segera tersenyum mendengar perkataan itu, "Peng-ji, seandainya semua kejadian berlangsung seperti apa yang kau harapkan, maka aku tak mungkin bisa kenal dengan dirimu. Sekalipun kita sudah berkenalan belum tentu engkau sudi bersahabat dengan seorang sastrawan yang lemah tak bertenaga serta berpenyakitan itu”

Pek-li Peng tertawa pedih. “Kini kau adalah seorang jago lihay dalam dunia persilatan, seorang enghiong.... seorang pria sejati yang dihormati oleh setiap umat persilatan, andaikata aku mengatakan rela, tentu kau tak akan percaya bukan?”

“Aku percaya!” jawab Siauw Ling sambil mengangguk, ”hanya saja....”

“Hanya saja. kita sama sekali tiada kesempatan yang baik untuk saling berkenalan, bukankah begitu?"

“Benar!”

Kembali Pek-li Peng termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, lalu ia bertanya, “Hendak kemana engkau pergi jumpai nona Gak itu?”

“Dasar tebing Toan-hun-gay digunung Heng-san!”

“Aku boleh ikut serta dengan dirimu?"

“Aaaai....! Peng-ji, tempat itu sangat berbahaya dan setiap saat jiwa kita bakal terancam, lagipula ilmu silat yang dimiliki pihak lawan kemungkinan besar tidak berada dibawah kepandaian silat yang dimiliki Shen Bok Hong. Jangan dibilang aku sekalipun enci Gak yang memiliki ilmu silat berkali-kali lipat lebih hebat dari akupun tak berani bermusuhan dengan mereka apalagi kau?"

“Aku tahu bahwa engkau tak sudi membawa serta diriku, hal ini bukan disebabkan ilmu silat yang dimiliki pihak lawan terlalu tinggi, melainkan kau takut terhadap enci Gak mu.... iyaa toh?"

“Kenapa aku musti takut terhadap dirinya?"

“Enci Gak melihat engkau membawa seorang budak jelek pergi menghadap dirinya, tentu saja ia akan merasa tak senang hati"

“Aaaah....! enci Gak tak mungkin marah, yang paling penting tempat itu sangat berbahaya dan pihak musuh terlalu lihay untuk dihadapi"

“Sebahaya-bahayanya tempat itu. aku rasa tak akan lebih berbahaya dari pada Istana Terlarang, se-lihay2nya pihak musuh tak mungkin akan jauh lebih lihay dari Shen Bok Hong, apa yang musti kutakuti lagi?"

Siauw Ling merasa perkataan itu masuk di akal dan benar juga. Untuk beberapa saat lamanya ia jadi terbungkam dan tak tahu apa yang musti dijawab.

Sepasang pedagang dari kota Tiong ciu berdiri ter-mangu2 disisi kalangan, mereka ingin sekali membantu Siauw Ling dan menasehati Pek-li Peng dengan beberapa patah kata, namun mereka tak tahu apa yang musti diucapkan.

“Bukankah perkataanku benar?" ujar Pek-li Peng lagi dengan suara sedih.

Siauw Ling menggeleng. “Tebakanmu sama sekali tidak benar, akan tetapi kalau memang kau bersikeras ingin ikut aku akan membawa serta dirimu"

“Sungguh? kau tak takut enci Gakmu itu menjadi marah?"

“Enci Gak tak akan marah, kau tak usah menebak dengan sembarangan.... Ia bukan manusia macam itu!”.

Dari perubahan sikapnya yang begitu serius Pek-li Peng tahu bahwa encinya Gak dalam bayangan pemuda itu adalah seorang perempuan yang amat dihormati dan disegani, ia benar2 tak berani banyak bicara lagi.

Menanti kedua orang itu telah berhenti bicara, Sang Pat baru mendehem ringan sambil berkata. "Toako, bagaimana dengan aku serta Tu-Loo-sam? apakah kami boleh ikut serta ber-sama toako?”

Siauw Ling berpikir sebentar, lalu menjawab. "Dasar tebing Toan hun gay digunung Heng san adalah suatu tempat yang sangat berbahaya, sedang Giok Siau long kun sendiri merupakan ssorang tokoh silat yang amat lihay, aku rasa saudara berdua tak usah mengikuti diriku menempuh bahaya!”

“Toako. jikalau kau telah mengambil keputusan untuk pergi, sudah sewajarnya kalau Siauw te sekalian mengiringi kepergianmu itu...”

Perkataan empuk, lunak dan enak didengar tapi dibalik perkataan itulah sie poa emas telah mengutarakan hatinya.

Siauw Ling segera menengadah dan meaghembuskan napas panjang. “Kepandaian silat yang dimiliki nona Gak jauh lebih hebat daripada apa yang kumiliki, aku rasa saudara berdua tentu sudah tahu bukan?"

“Sudah tahu. Tetapi aku rasa ilmu silat yang dimiliki nona Gak pun jauh diatas kemampuan yang dimiliki Giok Siauw-long kun!”

“Sekalipun begitu, sikap enci Gak terhadap Giok Siauw long kun selalu mengalah dan tak berani mengambil sikap atau tindakan yang amat keras”

“Itulah disebabkan dibelakang Giok Siauw long kun terdapat sekelompok jago lihay yang menunjang punggungnya..."

“Nah. itulah dia!" sambung Siauw Ling dengan cepat, “dalam usahaku kali ini Siauw te sama sekali tak punya keyakinan untuk merebut kemenangan, bahkan boleh jadi lebih banyak bahayanya, kenapa kalian berdua musti bersikeras untuk ikut aku menempuh bahaya?"

“Justeru karena didalam persoalan ini toako tak mempunyai keyakinan untuk menang maka sudah sepantasnya kalau Siauw-te ikut serta mengiringi kepergianmu itu, kita sebagai saudara angkat yang hidup bahu-membahu sudah sepantasnya kalau saling tolong-menolong... bukankah begitu toako?"

Siauw Ling tidak langsung menjawab, sesudah berpikir sebentar ia baru menjawab: “Boleh saja kalau kalian ingin mangiringi kepergianku ini, tapi ingat, setibanya digunung Heng san kalian harus mendengarkan setiap perkataanku. Bukannya Siauw heng sengaja omong besar, terus terang saji kukatakan bila akupun bukan tandingan lawan, sekalipun kalian memberi bantuan juga sama sekali tak ada gunanya?"

"Baik kami akan menuruti semua perkataan dari toako!"

Setelah perundingan melesai, mereka kembali ke kamarnya sendiri untuk beristirahat.

Keesokan harinya, pagi2 sekali sebelum fajar menyingsing beberapa orang itu sudah melakukan perjalanan cepat menuruni bukit In wan Bong.

Sepanjang jalan perjalanan dilakukan cepat sekali. Suatu hari sampailah mereka di bukit gunung Heng-san.

Siauw Ling pun segera menghitung kembali waktu janjinya dengan Gak Siauw Cha, dia merasa jarak dari itu hari sampai saat berlangsungnya pertemuan di dasar tebing Toan hun gay masih ada dua bulan lebih, maka segera pikirnya didalam hati: "Didalam pertemuan yang bakal berlangsung nanti. Giok Siauw long-kun tentu akan membawa serta bala bantuannya yang berupa jago2 lihay dari dunia persilatan. Bila di tinjau dari ambisinya mungkin ia hendak bikin jernih duduknya persoalan tersebut. Dalam pertemuan itu, bila enci Gak tak mau menerima tawarannya maka suatu pertempuran sengit pasti akan berlangsung di dasar tebing Toan hun gay tersebut. Sekarang aku menggembol kitab catatan ilmu silat peninggalan dari Raja Seruling Thio Hong, Bu Siang taysu serta Tam In Cing, kenapa tidak kugunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk memperdalam ilmu silatku? Sekalipun temponya terlalu singkat dan kesempurnaan tak mungkin bisa dicapai, sedikit banyak toh kepandaian itu akan mendatangkan manfaat yang besar diwaktu bertempur. Menurut perhitungan enci Gak paling sedikit tiga bulan kemudian aku baru bisa masuk kedalam Istaua Terlarang serta mendapatkan kitab pusaka itu. Siapa tahu nasib menentukan lain... dalam satu bulan saja, aku telah berhasil memperoleh tiga macam kitab ilmu silat yang maha sakti...."

Sesudah menyusuri rencana, pemuda itu bermaksud menyampaikan maksud hatinya kepada Sang Pat dan suruh dia menyiapkan suatu tempat yang tersembunyi, tiba tiba satu ingatan berkelebat lagi dalam benaknya: "Kenapa aku tidak langsung mengunjungi dasar tebing Toan hun gay serta mempelajari isi kitab dari ketiga macam ilmu silat ini bersama sama enci Gak.....?”

Begitu ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya dia segera mengambil Keputusan. Kepada Sang Pat dan Tu Kiu ujarnya: "Saudara berdua, apakah kalian hapal dengan daerah disekeliling gunung Heng san ini?"

"Kami sih mengenal beberapa tempat yang tersohor”

“Tahukah kalian dengan suatu tebing yang bernama tebing Toan hun gay...?”

“Tebing Toan hun gay?"

“Sedikitpun tidak salah"

Dengan suara lirih Sang Pat berunding se jenak dengan Tu Kiu kemudian menjawab: “Tahu! cuma... tempat itu letaknya sangat terjal curam dan berbahaya sekali. Sesuai pula dengan namanya, tempat itu bisa membuat orang jadi putus nyawa"

“Kalau memang begitu tak bakal salah lagi. Aku harap kalian segera membawa aku pergi kesitu!”

“Baik! Siauw-te akan membawa jalan" Sang Pat putar badan dan berjalan lebih dahulu dipaling depan.

Pek-li Peng yang selama ini selalu lincah dan riang gembira, sejak memasuki wilayah pegunungan Heng-Sun tiba2 sikapnya sama sekali berubah. Ia jarang berbicara dan tak pernah banyak bertanya, dengan mulut membungkam gadis itu membuntuti terus dibelakang ketiga orang itu.

Ada kalanya Sang Pat mengajak dia berbicara menggoda atau memancing kegembiraannya, akan tetapi Pek-li Peng selalu cuma tertawa ewa sambil tetap membungkam terus.

Perubahan sikap yang diperlihatkan Pek-li Peng ini tentu saja diketahui pula oleh Siauw Ling. Dalam hati pemuda itu ingin sekali menghibur hatinya dengan beberapa patah kata. namun setiap kali ia tak pernah berhasil menemukan kata-kata yang cocok, terpaksa ia tetap berlagak pilon dan seolah olah tidak tahu.

Setelah melewati beberapa buah bukit, sampailah mereka disuatu tempat yang amat sunyi dan terpencil letaknya.

Tempat itu merupakan sebidang tanah yang penuh ditumbuhi semak belukar yang lebat dan subur, empat penjuru sekeliling tempat itu dikelilingi oleh barisan bukit yang menjulang tinggi keangkasa.

Siauw Ling alihkan sinar matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu. Dia lihat semak belukar itu menempati sebidang tanah yang berkilo-kilo meter jauhnya, namun tak tampak seekor burungpun yang terbang diatas ladang rumput itu hatinya jadi keheranan.

"Apakah disini letaknya tebing Toan-hun gay?” ia bertanya sambil berpaling kearah Sang Pat.

Sie-poa emas segera menggeleng. "Bukan, bidang tanah berumput yang sangat luas ini tersohor sebagai kebun ular!”

“Kebun ular? tentu ada sebabnya bukan tempat ini dinamakan kebun ular....?”

“Tidak salah dinamakan kebun ular karena dibalik semak belukar yang amat lebat itu bersemayamlah ber-juta2 ekor ular berbisa. Setiap fajar menyingsing diatas semak belukar ini akan terlihat selapis uap putih tipis yang menyelimuti seluruh jagad, menanti tengah hari sudah tiba maka kabut putih itupun akan musnah dan lenyap dengan sendirinya!”

“Kabut apakah itu?"

“Kabut itu merupakan gumpalan hawa racun yang disemburkan oleh ular beracun yang bersemayam disekitar sana. Karena kelembaban udara dimalam hari, semburan hawa racun itu menggumpal menjadi satu dan terbentuklah menjadi semacam kabut tipis yang melayang diatas padang rumput ini tetapi bila mendapat penyorotan sinar dari sang surya maka kabut tadi akan menguap dan lenyap tak berbekas”

“Kalau begitu mari kita berputar lewat jalan yang lain saja!”.

“Lewat jalan lain mungkin saja bisa tapi tak tahu harus berputar sampai berapa jauhnya. Siauw-te hanya tahu satu2nya jalan yang berada disini yakni menerobosi kebun ular ini sebelum tiba ditebing Toan-hun-gay"

Siauw Ling berpikir sebentar, lalu berkata: “Jadi kalau begitu kita harus menerobosi kebun ular ini sebelum tiba ditebing tersebut?”

Sang Pat mengangguk: “Menurut apa yang Siauw-te ketahui, inilah satu2nya jalan yang ada...”

“Baiklah, kalau begitu mari kita terobosi kebun ular ini!”

“Toako, tunggu sebentar!” teriak Tu Kiu tiba-tiba.

Siauw Ling telah siap meneruskan perjalanannya, mendengar seruan tersebut ia segera berhenti dan bertanya. “Saudara Tu, ada urusan apa?”

Tu Kiu menurunkan buntalannya dan membuka kain pembungkus itu, kemudian sambil mengambil keluar empat pasang sepatu kulit yang amat tinggi katanya: “,Loo ji telah melakukan persiapan yang seksama. Ia telah memerintahkan Siauw te untuk membeli rangsum kering serta empat pasang sepatu kulit sebagai persiapan untuk menyebrangi kebun ular ini!"

"Loo ji, kau sungguh amat teliti!” puji Siauw Ling sambil memandang sekejap kearah Sang Pat.

"Aaah... itu toh urusan kecil yang sepele, sudah sepantasnya kalau kamilah yang mempersiapkan”.

Siauw Ling tidak banyak bicara lagi, pertamae dia yang mengenakan lebih dahulu sepatu kulit tadi.

Pek-li Peng serta pedagang dari kota Tiong ciu segera mengenakan pula sepatu kulit itu.

Sang Pat melirik sekejap kearah Pek-li Peng. Ia lihat raut wajah gadis itu selalu diliputi oleh kumurungan, kepedihan serta kekesalan. Agaknya dalam beberapa hari yang singkat ia berubah jadi lebih tua, dalam hati segera pikirnya: "Budak cilik ini masih muda, tapi harus merasakan pahit getirnya hidup...kalau di bayangkan lagi sungguh patut dikasihani..."

Berpikir demikian, diapun menegur: ”Nona. takut ular tidak?"

“Aku tidak takut!” jawab Pek-li Peng sambil menggeleng.

“Banyak sekali anak perempuan berkepandaian silat tinggi yang takut melibat ular, kalau memang nona tidak takut ular... hal ini jauh lebih baik lagi”

Pek-li Peng tersenyum. “Tempo dulu aku takut sekali tapi seka'rang sudah tidak takut lagi...!"

“Kenapa?”

“Mati tua mati muda akhirnya toh tetap mati. Kalau aku sudah tak gentar menghadapi kematian, kenapa musti takut terhadap ular?”

Tertegun hati Sang Pat mendengar jawaban itu, ia tak berani banyak bicara lagi. Setelah maju kedepan serunya: “Siauw te akan membawa jalan untuk toako!”

“Aaaai ..!” Siauw Ling menghela napas panjang. “Rupanya engkau ada urusan yang memberatkan hatimu?”

“Aku sedang mengaatirkan satu persoalan” jawab Pek-li Peng sembil tertawa getir, “aku takut nona Gak tidak mengijinkan aku Pek-li Peng berada bersama dirimu”

“Kenapa ia tak akan mengijinkan dirimu?" seru Siauw Ling dengan wajah tertegun.

Pek-li Peng tertawa getir. “Kau tidak tahu perasaan hati anak gadis, ia paling tak senang melihat gadis lain...”

“Aaah! itu toh menurut jalan pikiranmu sendiri”, tukas Siauw Ling sambil tersenyum. “Ketahuilah watak enci Gak tak akan secepat itu. Dia adalah seorang gadis yang berjiwa besar dan berpikiran luas. Sekalipun seorang pria juga tak akan menangkan kebesaran jiwanya itu, kau jangan berpikir yang bukan-bukan"

Pek-li Peng menghela napas panjang. "Semoga saja apa yang kau ucapkan tak bakal salah lagi" bisiknya sambil meneruskan perjalanan kedepan.

Siauw Ling segera menyusul dibelakang Pek-li Peng, sedangkan Tu Kiu berjalan dipaling belakang.

Ketika dipandang dari atas puncak yang nampak hanyalah lautan rumput yang lebat dan menyelimuti seloroh tempat, sesudah berjalan diantara rerumputan itu barulah di ketahui kalau tinggi semak tersebut mencapai batas pinggang, ketika beberapa orang itu lewat disana tersiarlah bau amis yang tebal dan sangat memuakkan.

Dalam hati Siauw Ling segera berpikir: “Jangan dibilang dalam semak belukar ini terdapat banyak sekali ular beracun yang setiap saat bisa memagut orang cukup mencium dari bau amis yang sangat memuakkan ini sudah cukup membuat orang jadi segan untuk melewati tempat ini”.

Ketika menyaksikan tubuh Pek-li Peng yang kecil mungil seringkali lenyap dibalik semak yang amat lebat itu Siauw Ling merasa amat tak tega, pikirnya: “Sejak kecil ia sudah terbiasa dimanja dan disayang oleh kedua orang tuanya. Sampai dewasa hidupnya selalu senang, mewah dan dikelilingi oleh pelayan dan dayang2. Sekarang setelah mengikuti diriku bukan saja harus mencampur baur dengan pekerja kasar yang berbau busuk, bahkan kali ini harus mengikuti pula diriku untuk menerobosi kebun ular yang menyiarkan bau amis. Aaai! aku telah membuat dia jadi sengsara"

Berpikir sampai disana, ia lantas menegur: “Peng-ji. payah sekali?"

“Oooh... tidak”, jawab Pek-li Peng sambil berpaling dan tertawa, “menyenangkan sekali, aku sama sekali tidak merasa kepayahan!”

Siauw Ling segera melangkah maju kedepan dan berjalan disamping gadis itu, ujarnya kembali : “Peng-ji aku tahu bahwa kau tentu payah sekali, cuma engkau tak suka mengatakannya...bukankah begitu?”

“Tidak, aku benar2 tidak merasa kepayahan” sahut Pek-li Peng lembut. “Aku cuma kuatir enci Gak mu itu akan merasa tak senang hati melihat diriku"

Siauw Ling tersenyum: “Kau tak usah menguatirkan tentang persoalan itu. Nona Gak pasti akan bersikap baik terhadap dirimu"

“Hati-hati” mendadak terdengar Sang Pat berteriak keras. Sebuah pukulan gencar dilancarkan kedepan.

Sungguh dahsyat angin pukulan dilancarkan dari telapak tangannya itu, bagaikan terhembus angin taupan semak berumput itu seketika bergelombang dan terbelah jadi dua kearah samping.

Dari balik belahan rumput berjengger yang lebat segera muncul seekor luar aneh jengger merah yang mana segera menyusup kembali kedalam rumput diarah lain.

Sang Pat menghentikan langkahnya dan berkata sambil menoleh kebelakang. “Ular aneh berjengger merah itu merupakan sejenis ular bermahkota yang amat beracun sekali. Bukan saja semburannya amat berbahaya bahkan ia bisa loncat keatas sambil memangut mangsanya, terhadap mahluk semacam itu kita harus bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, lebih baik kita loloskan senjata untuk berjaga2!”

Sambil berkata ia segera merogoh kedalam sakunya dan ambil keluar senjata sie-poa emasnya.

Tu Kiu dengan cepat merogoh keluar pula sanjata pit bajanya dan dicekal ditangan kanan.

Siauw Ling ambil keluar pedang pendek yang'tajam itu dari sakunya, lalu berkata: "Peng-ji, pedang pendek ini paling sesuai untuk digunakan dalam semak yang amat lebat ini. Nah! peganglah untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan”

"Tak usah, ada Sang tayhiap yang membuka jalan dan memukul rumput mengejutkan ular. Sekalipun ada ular rasanya makhluk itu akan lari ter-birit2...”

Mendengar jawaban itu Siauw Lingpun tidak berbicara lagi. dengan mulut merubungkam dia mengikuti di belakangnya.

Sang Pat menggerakkan senjata sie-poa emasnya yang memancarkan cahaya tajam membelah rumput dan melancarkan pukulan dahsyat sepanjang jalan selalu berada dipaling depan untuk membawa jalan.

Dengan tindakannya itu ular2 beracun yang bersembunyi disekitar sana jadi ketakutan dan sama2 melarikan diri dari sekitar situ. Menanti mereka berempat sudah melampaui padang berumput tadi, tidak nampak ada ular beracun yang melakukan penyergapan lagi.

Setelah sampai diujung padang rumput itu, sebuah bukit tebing yang tinggi menjulang keangkasa menghalangi jalan pergi mereka.

Siauw Ling memandang sekejap kearah bukit terjal yang menghadang didepan mata itu, kemudian bisiknya dengan suara lirih: "Saudara Sang. didepan sudah tak ada jalan lagi... kita musti lewat mana?”

“Tebing Toan-hun-gay terletak dibelakang padang rumput yang amat lebat ini, dan perjalanan kita tak bakal salah lagi... harap toako tak usah kuatir”

“Hey lihat apakah itu?” tiba tiba Pek-li Peng berteriak sambil menuding kedepan.

Siauw Ling segera berpaling kearah mana yang dituding oleh Pek-li Peng, akan tetapi kecuali tebing terjal yang terlihat sama sekali tidak nampak sesuatu apapun, ia jadi keheranan! “Peng-ji apa yang kau lihat?” tegurnya.

“Agaknya ada orang disitu....”

“Dimana orang itu?"

“Dibalik batu karang yang amat tinggi itu dalam satu kelebatan bagangan tadi lenyap kembali”.

Siauw Ling segera berpikir dalam hatinya: “Tenaga dalam yang dimiliki amat sempurna, ketajaman matanya melebihi orang lain, tak bakal salah lagi apa yang berhasil dia lihat, baiklah akan kuperiksa tempat itu”.

Tanpa banyak bicara lagi ia segera maju lebih dahulu kedepan.

Sebuah batu karang yang tingginya mencapai dua tombak berdiri menjulang keangkasa tepat disisi tebing terjal tersebut.

Setelah mengitari batu karang tadi sampailah Siauw Ling sekalian ditengah semak be lukar yang lebat, semak tersebut menyumbat celah diantara karang raksasa itu dengan dinding bukit.

Dengan ketajaman matanya, sekali pandang ia segera menemukan bahwa semak yang ada disitu bukan tumbuh secara alam, tapi hasil bikinan tangan manusia. Ia segera menarik semak tersebut.

Tidak salah lagi, semak tadi segera tercabut lepas dari tempatnya dan muncullah sebuah pintu gua diantara celah batu karang dengan dinding tebing tersebut.

Seperti telah menyadari akan sesuatu, Sang Pat berseru tertahan dan ujarnya: “Aaaah... benar, sebelum memasuki tebing Toan hun-gay, orang harus melewati dahulu sebuah gua yang besar, mungkin tempat inilah yang dimaksudkan!”

“Rupanya ada orang yang tidak menginginkan kita mendekati tebing Toan-hun gay tersebut”, sambung Tu Kiu dengan suaranya yang dingin, “maka mereka sengaja menyumbat mulut gua dibelakang batu karang raksasa itu dengan semak bikinan”.

“Peng-ji, sungguhkah engkau lihat sesosok bayangan manusia?” tanya Siauw Ling kemudian sambil berpaling kearah Pek-li Peng.

"Aku pikir pastilah sesosok bayangan manusia, dia lenyap disamping batu karang tersebut"

"Siauw heng akan membawa jalan, mari kita melakukan pemeriksaan kedalam...!”

Sesudah menghimpun tenaga pemuda itu melangkah lebih dahulu masuk kedalam gua.

Segulung angin dingin berhembus lewat, mendatangkan rasa dingin dan bergidik bagi semua orang.

Meskipun lorong dalam gua itu ber-liku2 dan penuh tikungan tetapi tanahnya datar dan sama sekali tidak tercium bau lembab yang busuk, hal ini menunjukkan bahwa udara dalam gua itu segar dan lancar.

Setelah berjalan kurang lebih puluhan tombak jauhnya, tampaklah cahaya terang memancar masuk, rupanya mereka telah tiba di mulut keluar gua itu.

Setelah keluar dari gua pemandangan kembali berubah, tampaklah sebuah lembah yang dalam dan tertutup oleh kabut tebal menghadang jalan pergi mereka.

Diluar gua merupakan sebuah jurang yang membujur empat lima tombak dengan lebar sepuluh tombak lebih, keatas yang terlihat hanya langit sedang kebawah yang nampak cuma jurang, tiga penjuru dikelilingi oleh dinding tebing yang curam dan tegak lurus.

Pek-li Peng melongok sekejap kebawah jurang yang tertutup oleh kabut tebal itu, lalu bertanya: “Toako. apakah jurang ini yang disebut tebing Toan hun gay?”

Siauw Ling melirik sekejap kearah Sang Pat kemudian menjawab: “Bila saudara Sang tidak salah membawa jalan, semestinya jurang yang tertutup oleh kabut tebal ini adalah tebing Toan hun gay”

“Sungguh aneh urusan ini” gumam Pek-li Peng seorang diri.

“Apanya yang aneh?"

“Aku saksikan seseorang lenyap dibalik-batu karang raksasa itu dan aku yakin mataku tidak melamur atau salah melihat. Tetapi mana orangnya? kecuali berada diluar gua, bukankah berarti orang itu hanya mungkin bersembunyi didasar jurang yang tertutup oleh kabut tebal ini?”.

“Walaupun gua ini gelap tetapi lebarnya cuma beberapa depa” ujar Sang Pat. “telah kuperhatikan dengan tetiti kalau disekitar tempat ini tak nampak bayangan manusia”.

“Itu toh berarti satu satunya jalan keluar adalah jurang yang tertutup oleh kabut tebat....” seru Pek-li Peng.

Setelah memperhatikan sekejap dinding tebing disekeliling tempat itu, lanjutnya: “Aku tidak percaya kalau orang itu bisa merambat diatas dinding tebing yang licin-penuh dengan lumut hijau serta tingginya mencapai seratus tombak lebih tanpa meninggalkan bekas barang sedikitpunjua!”

Satu saja perkataan itu selesai diucapkan, tiba2 terdengarlah suara pembicaraan seorang gadis yang nyaring berkumandang keluar dari balik jurang yang tertutup kabut tebal itu: “Siauw tayhiap, engkau bisa temukan tempat ini hal tersebut menunjukkan bahwa kau adalah seorang lelaki sejati yang pegang janji dan bisa dipercaya. Akan tetapi nona kami telah berubah pikiran, ia mengambil keputusan untuk tidak menjumpai diri Siauw tayhiap lagi”

Walaupun seruan itu tidak begitu keras tapi jelas dan nyaring sekali sehingga dapat didengar oleh setiap orang.

Pek-li Peng segera melangkah maju ke depan dan berjalan ketepi jurang.

Buru2 Siauw Ling menarik tangannya lalu berseru : “Nona siapakah engkau?"

“Siauw tayhiap benar2 engkau pelupa, masa suara budakpun tak kau kenal lagi?”

Siauw Ling berpikir sebentar kemudian menjawab: “Oooh...! jadi kau adalah nona Soh Bun”.

“Tidak salah. Memang budak!"

“Baik2 kah enci Gak ku itu?”

“Nona berada dalam keadaan sangat baik. Dia sudah tahu kalau engkau tiba disini, atas jerih payah Siauw tayhiap yang sudi berkunjung kemari nona kami merasa amat berterima kasih sekali. Tetapi setelah diperhitungkan masak2 nona merasa bahwa tak ada manfaatnya jika Siauw tayhiap tetap berada disini, karena itu dta telah berubah pikiran dan memerintahkan budak untuk menasehati dirimu untuk pulang saja!”

Siauw Ling menghela napas panjang. “Nona Soh Bun....” serunya.

“Panggil saja aku Soh Bun” tukas dayang itu cepat, “sebutan nona tak berani budak terima!”

“Dapatkah nona unjukkan diri dan bercakap-cakap dengan diriku?"

“Baik budak segera naik keatas!”.

Bersama dengan selesainya perkataan itu bayangan manusia berkelebat lewat, seorang dara baju hijau dengan rambut dikepang dua meloncat keluar dari balik jurang yang diliputi kabut tebal itu.

Siauw Ling tahu bahwa dibalik kabut pasti ada tempat berpijak yang bisa digunakan untuk berdiri, maka terhadap tindakan Soh Bun yang loncat keluar dari balik jurang sama sekali tidak terkejut.

Setelah memandang sekejap kearah gadis itu tanyanya: “Apakah nona Gak sekarang berada didasar tebing Toan hun-gay ini?”

Soh Bun tidak langsung menjawab, dia cuma mengangguk.

“Mengapa ia berubah pikiran secara tiba tiba? kenapa ia tak mau bertemu lagi dengan aku?'' tanya sang pemuda.

Soh Bun berpikir sebentar lalu menjawab: “Duduk perkara yang sebenarnya tidak diberitahukan kepada budak oleh nona kami, tapi menurut tebakan budak kesemuanya itu adalah demi Siauw Siang kong sendiri!”

“Kenapa demi diriku?”

“Nona kami mempunyai ilmu meramal yang bisa menduga kejadian dimasa mendalang, rupanya ia telah mengetahui kalau kehadiran siangkong disini sama sekali tak ada manfaatnya untuk menyelesaikan persoalan ini, maka dia segera berubah pikiran dan menitahkan budak untuk menyampaikan kepada siangkong agar segera pulang dan tak usah datang lagi”.

Siauw Ling tertawa hambar. ..Ada satu hal tolong nona Soh Bun suka menyampaikannya kepada siocia kalian!”

“Urusan apa?”

“Baru saja aku pulang dari Istana Terlarang dan untung tidak sampai mati. Benda yang diinginkan oleh nona Gak telah berhasil kudapatkan”

“Benda yang diinginkan nona kami? benda apakah itu?”

Setelah berhenti sebentar lanjutnya: “Maksudmu kau telah masuk kedalam Istana Terlarang?”

“Sedikitpun tidak salah" jawab Siauw Ling sambil mengangguk.

Kembali Soh Bun berpikir sebentar, lalu berkata, “Nona telah menitahkan budak untuk mengajak siangkong pulang dan tinggalkan tempat ini walau keadaan apapun, apa yang harus kulakukan sekarang?”

Siauw Ling menengadah dan berpikir beberapa waktu lamanya, setelah itu ujarnya: "Baik kalau memang nona bersikeras tak mau bertemu dengan aku, akupun tak bisa berbuat apa2... disini ada sebuah barang, harap nona suka menyampaikannya kepada nona Gak!"

“Jangan dibilang baru semacam sekalipun ada delapan atau sepuluh macam barang pun budak akaa menyampaikannya kepada nona”.

Siauw Ling merogoh sakunya dia ambil keluar kitab pusaka peninggalan dari Raja Seruling Thio Hong. sambil diserahkan ke tangan Soh Bun pesannya: "Tolong sampaikan kitab ini kepada nona kalian!"

Tanpa di pandang lagi kitab itu segera dimasukkan kedalam saku, ujarnya kembali: "Bila Siauw tayhiap bisa meresapi maksud baik dari nona kami, kau pasti tak akan menyalahkan dirinya”

Siauw Ling mengangguk. "Aku tahu. harap nona baik-baik menjaga dirinya. Aku mohon diri lebih dahulu”.

“Budak tak merasa amat tak tenteram membiarkan Siauw Siangkong harus berlalu dengan hati kecewa, harap siangkong suka memaafkan!”

Siauw Ling tidak banyak bicara lagi. Setelah mundur dari gua dan menerabas padang rumput ia baru menghentikan laugkahnya.

Sepasang pedagang dari kota Tiong ciu tahu bahwa perasaan hatinya ketika itu kurang gembira maka sepanjang perjalanan mereka tetap membungkam. Menanti Siauw Ling telah menghentikan langkahnya Pek-li Peng baru berkata sambil menghela napas panjang. "Toako akulah yang telah mencelakai dirimu!”

"Kenapa kau yang mencelakai aku?” tanya sang pemuda tercengang.

"Nona Gak pasti merasa tak senang hati karena melihat aku melakukan perjalanan bersama dirimu, karena itulah ia tak sudi bertemu dengan engkau...."

Siauw Ling segera tertawa geli setelah mendengar perkataan itu, serunya: "Terlalu banyak yang kau pikirkan...”

Dia ulur tangannya menggenggam tangan Pek-li Peng. lalu duduk keatas tanah, lanjutnya: "Peng-ji, tahukah engkau mengapa aku datang kemari?"

"Aku tahu, kedatanganmu adalah untuk mencari nona Gak itu!”

"Tahukah kau mengapa aku datang kemari. Untuk mencari dirinya? dan mengapa ia sampai berdiam ditempat yang menakutkan seperti ini?...”

“Tentang soil itu aku kurang tahu.” sahut Pek-li Peng sambil menggeleng.

Siauw Ling tertawa. "Baik! sekarang aku akan memberitahukannya kepadamu...”

Pek-li Peng yang selama beberapa hari selalu bermuram durja, tiba2 memperlihatkan senyuman manis diatas wajahnya, ia berkata: “Apakah kedatanganmu kemari bukan untuk menjenguk dirinya?”

Sekali lagi Siauw Ling menggeleng. ”Bukan begitu...”. Rupanya ia sedang menyusun kalimat, setelah termenung sebentar lalu melanjutkan, ”singkatnya begini. Ia telah berjanji dengan seorang jago silat yang sangat tinggi ilmu silatnya untuk bertempur ditempat ini, yakni didasar jurang Toan hun gay tersebut. Sudah tentu pertarungan itu merupakan suatu pertarungan yang menyangkut soal mati hidupnya”

“Jadi kau datang untuk membantu dirinya?”

"Sedikitpun tidak salah.” Siauw Ling membenarkan. “Orang yang mengadakan janji dengan dirinya itu bukan saja memiliki ilmu silat yang amat lihay, bahkan tulang punggungnya jauh lebih hebat sepuluh kali lipat dari dirinya. Enci Gak pernah melepaskan budi penolongan kepadaku. Aku bisa seperti saat ini kesemuanya adalah berkat pemberian dari enci Gak. Karena itu sekalipun pertarungan ini bagaimana sengit atau bahayanya, aku tak bisa berpeluk tangan belaka disamping kalangan”

“Hmmm.....” Pek-li Peng manggut, “dibalik persoalan ini menyangkut soal budi. Kau memang sudah sepantasnya memberi bantuan kepada nona Gak itu”.

Siauw Ling tersenyum. “Justru karena itulah aku telah mangambil keputusan untuk tetap tinggal disini hingga menanti sampai kedatangan orang orang itu....” katanya.

“Aku akan tetap tinggal disini untuk menemani dirimu”.

Tujuan Siauw Ling yang sebenarnya adalah ingin menasehati gadis itu agar segera meninggalkan tempat tersebut. Siapa tahu belum sempat maksud hatinya diutarakan gadis Pek-li Peng telah memotong lebih dahulu, hal ini membuat pemuda itu jadi tertegun dan terbungkam.

Terdengar Pek-li Peng menghela napas panjang dan berkata kembali, “Aku tahu bahwa kehadiranku ditempai ini tak bisa membantu dirimu...”

"Aaaai...! dalam pertempuran itu kesempatan bagi kita untuk merebut kemenangan kecil sekali, kehadiranmu disini bukankah terlalu bahaya sekali?” tukas Siauw Ling.

“Seandainya dalam pertempuran itu kau tak beruntung mati dibunuh orang, apakah kau mengira aku bisa hidup lebih jauh?”

Siauw Ling tertegun pikirnya didalam hati: “Waaah... entah bagaimanakah penyelesaiannya dikemudian hari? rupanya cinta kasihnya terhadap diriku sudah terlampau dalam..."

Setelah menyadari bahwa ia tak mampu menundukkan hati Pek-li Peng agar berlalu dari situ, terpaksa ia berubah pikiran katanya, "Peng-ji, boleh saja kalau kau ingin menemani aku disini, tetapi kau harus menyanggupi dahulu dua syaratku!”

“Apa syaratmu itu?”

“Sebelum mendapat ijin dariku, kau dilarang turut campur dalam persoalan itu atau pun ikut turut tangan secara sembarangan”

Pek-li Peng berpikir sebentar, lalu menyanggupi. “Baik! kukabulkan psrmintaanmu itu!”

Siauw Ling alihkan sorot matanya keatas wajah sepasang pedagang dari kota Tiong ciu dan ujarnya lebih jauh, “Aku rasa kalian berdua tentu sudah tahu bukan akan kelihayan dari musuh yang bakal dihadapi? Berada disini tak berguna bagi kalian, apalagi Sun Put Shia cianpwee serta Bu Wi Tootiang sekalian sedang menanti dengan hati gelisah, sudah seharusnya kalau kamu berdua segera pergi memberi kabar kepada mereka”.

“Kami tahu bahwa ilmu silat yang kami miliki tak dapat membantu toako, cuma....”

Sebelum perkataan dari Tu Kiu sempat di selesaikan, Sang Pat buru-buru sudah menyambung: “Maksud toako, apakah kami harus memberi kabar kepada Sun Put Shia serta Bu Wi Tootiang sekalian kalau toako berada disini?”

“Tak usah, beritahu saja kepada mereka bahwa aku baik sekali dan mereka tak usah menguatirkan diriku. Bila persoalan ditempat ini sudah beres dan aku masih dapat hidup dikolong langit maka dengan sendirinya aku akan pergi mencari jejak kalian.”

"Toako” kata Sang Pat kemudian dengan wajah serius, “kau harus baik2 menjaga diri demi kesejahteraan umat Bu-lim dikolong langit. Siauw-te pergi dulu”.

Tu Kiu agaknya hendak berbicara lagi, tapi lengan bajunya segera disambar oleh Sang Pat dan diajak berlalu dari sana.

Dengan termangu mangu Siauw Ling memandang bayangan punggung kedua orang itu hingga lenyap dari pandangan kemudian menghela napas panjang dan berkata, “Peng-ji, kita harus mencari tempat yang bagus untuk menyembunyikan diri.”

“Kenapa harus menyembunyikan diri?”

“Karena aku harus melatih beberapa macam ilmu silat,”

“Baik! aku akan melindungi diri toako”

Sejak itu hari sepasang muda mudi itupun berdiam diri disekitar tempat itu.

Siauw Ling disamping harus berlatih tekun untuk menguasai ilmu sentilan jari San ci sinkang dari Bu Siang taysu, diapun mempelajari pula ilmu pedang dari Tam In Cing bersama Pek-li Peng.

Pek-li Peng sendiri kecuali harus berlatih ilmu pedang bersama Siauw Ling, diapun harus pergi berburu ayam atau kelinci untuk menyangkal perut.

Tempat itu letaknya jauh dari pergaulan manusia. Setiap hari kecuali makan dan beristirahat, mereka berlatih ilmu silat untuk mengusir waktu. Dalam keadaan begini walaupun hanya dua bulan namun kemajuan yang berhasil dicapai kedua orang itu pesat sekali.

Suatu pagi, selesai berlatih ilmu silat Siauw Ling merasa bahwa saat pertemuan sudah hampir tiba, ia lantas perpaling kearah Pek-li Peng dan tertawa.

Waktu Pek-li Peng sedang memegang seekor kelinci, melihat pemuda itu memandang kearahnya sambil tertawa, ia segera berhenti bekerja dan menegur: "Eeei... apa yang kau tertawakan?”

“Sayang sesali ditengah hutan yang terpencil ini tak ada cermin, kalau ada coba cerminlah dirimu itu. Pakaian yang dulu putih bersih kini telah berubah jadi hitam pekat. Seorang nona yang cantik jelita telah berubah menjadi seorang pengemis cilik”.

“Bagaimana dengan kau sendiri?” balas Pek-li Peng dengan jengah, “rambut kusut badan dekil... Huuh! keadaannya tak jauh berbeda dengan diriku”.

Siauw Ling menghela napas panjang. ”Peng-ji” katanya, “selama beberapa waktu semua perhatian kita curahkan untuk berlatih ilmu silat, sampai berada dimanapun kita tadi lupa. Barusan aku telah menghitung hari disaat pertemuan antara nona Gak dengan orang itu, rasanya pertemuan itu bakal diadakan kalau bukan besok tentu lusa karena itu hari ini. Kita harus bersihkan badan dan pindah kepuncak gunung sana!”

“Kenapa harus pindah ke puncak gunung?”

“Kita harus menjaga disitu secara bergilir. kita harus tahu berapa banyak jago yang mereka bawa”.

Peng li Peng memandang sekejap keadaan disekeliling tempat itu, lalu berkata: “Berbicara dari keadaan yang beradi disekitar tempat ini, aku rasa tiada jalan lainnya lagi..."

Satelah membalik kelinci yang sedang di panggang, ia melanjutkan: “Beberapa li disebelah barat sana terdapat sebuah selokan dengan air yang jernih pergilah kesitu untuk bersihkan badan!”

Kiranya selama berlatih ilmu silat hampir dua bulan lamanya itu, Siauw Ling belum pernah tinggalkan tempat itu barang sejengkalpun.

Setelah mendengar perkataan itu berangkatlah Siauw Ling menuju kearah barat, tidak sampai satu li ia benar-benar temukan sebuah sungai kecil. Setelah bersihkan badan dan ganti pakaian ketampanan wajahnya pulih kembali seperti sedia kala.

Keiika ia balik lagi ketempat semula, Pek-li Peng telah selesai memanggang daging kelinci.

Menyaksikan keadaan gadis itu, Siauw Ling merasa amat terharu, didekatinya Pek-li Peng dan dibelainya rambut yang panjang. “Peng-ji”, pemuda itu berbisik, “selama dua bulan terakhir ini kau tentu sengsara bukan?”

“Aku senang dan gembira sekali!” jawab Pek-li Peng sambil tertawa manis. ”Nih... daging kelinci sudah matang makanlah dahulu? aku hendak bersihkan badan dan tukar pakaian dahulu!”.

Gadis itu bangkit dan segera berlalu.

Teringat akan kesengsaraan gadis she Pek-li selama dua bulan ini Siauw Ling berpikir, “Dia adalah seorang gadis manja yang sudah terbiasa hidup mewah dalam keratonnya. Setelah mengikuti diriku bukan saja harus hidup diudara terbuka dan sengsara, makanpun harus turun tangan sendiri. Cinta kasihnya kepadaku tebal sekali. Dikemudian hari aku harus bersikap baik2 kepadanya”.

Ketika Pek-li Peng telah ganti pakaian dan kembali kesitu. sewaktu dilihatnya pemuda itu belum bersantap ia lantas berseru: "Toako kenapa tidak makan?”

“Aku menunggu kedatanganmu!” jawab sang pemuda sambil tersenyum.

Selesai mengisi perut dengari daging kelinci, berangkatlah mereka kepuncak bukit.

“Batas waktu pertemuan sudah tiba. Waktu pada saat ini berharga bagaikan emas” kata Pek-li Peng, “biarlah Siauw-moay yang berjaga-jaga sedang kau gunakan waktu yang amat singkat ini untuk memperdalam keyakinanmu atas ilmu pedang dpii Tam In Cing”

Siauw Ling sendiripun tahu kalau Gak Siauw Cha hanya mengandalkan kekuatan sendiri serta kekuatan dua orang dayangnya. Satu-satunya orang yang diharapkan bantuannya adalah dia sendiri. Bila Giok Siau Long-kun tidak mengundang bala bantuan masih mendingan. Kalau sampai ada jago lihay yang turut serta, maka pertarungan yang bakal berlangsung mungkin jauh lebih sengit dari pada pertarungan diluar Istana Terlarang.

Berpikir sampai disitu, diapun lantas berkata: “Peng-ji, aku hendak memohon satu persoalan kepadamu, apakah kau sudi mengabulkannya atau tidak?”

Mula mula Pek-li Peng tampak tertegun, lalu sambil tertawa hambar katanya: “Toako, perkataanmu itu aneh sekali perduli apapun yang kau minta aku pasti akan memenuhinya....”

“Aku tahu” sambung Siauw Ling,” tetapi dalam persoalan ini keadaannya agak berbeda mungkin belum tentu kau sudi mengabulkannya”.

“Oooh... toako, apakah sampai sekarang kau masih belum tahu isi hatiku....?”

“Justru karena kau terlalu baik kepadaku, maka belum tentu kau sanggupi permintaan ku ini...”

“Sungguh?" teriak Pek-li Peng dengan mata terbelalak.”Aku sendiripun masih belum tahu urusan apakah itu, mana mungkin bisa kutampik? coba katakanlah.”

“Tidak bisa kau harus sanggupi dahulu permintaanku itu baru kuberitahukan kepadamu”.

“Baik, kukaburkan permintaanmu itu. Nah! katakanlah....” ujar Pek-li Peng sambil mengangguk.

“Peng-ji, duduklah disini” bisik pemuda itu sambit menepuk batu disisinya.

Pek-li Peng maju menghampiri dan duduk disisi pemuda itu, sikapnya lembut dan menawan hati.

“Peng-ji bagaimanakah perasaanmu tentang ilmu silat yang kau miliki jika dibandingkan dengan toako?”.

Pek-li Peng tersenyum. “Tentu saja aku tak bisa menangkan toako"

“Kalau aku tak bisa menangkan orang lain, kau tentu bukan tandingannya bukan?"

“Tentu saja!”

“Karena itulah dalam persoalan ini kau tak boleh ikut campur ataupun melibatkan diri”

“Aku tahu, aku hanya akan memberi semangat kepadamu dari sisi kalangan...”

“Tidak boleh, kau tak boleh ikut" tampik Siauw Ling sambil menggeleng. “Jika orang itu membunuh aku dan nona Gak maka engkaupun pasti tak akan dilepaskan!”.

”Tidak... hanya dalam persoalan ini aku tak dapat mengabulkan permintaanmu!”

“Peng-ji, kau telah mengabulkannya!" seru Siauw Ling sambil tersenyum manis.

Pek-li Peng jadi amat sedih, deugan air mata bercucuran katanya: “Toako, aku sudah tertipu!”

Siauw Ling segera peluk tubuh gadis itu dan dibelai rambutnya dengan penuh kemesraan, katanya: "Peng ji, dengarkan perkataanku, orang itu amat membenci nona Gak dan membenci pula diriku. Aku tak dapat meramalkan bagaimanakah akhir dari persengketaan ini, andaikata pertempuran sampai terjadi maka situasinya tentu mengerikan sekali...”

"Tak usah kau katakan lagi. aku sudah mengerti, apa yang hendak kau lakukan?"

Siauw Ling menengadah dan menghembuskan napas panjang. "Kalau orang itu datang nanti, pergilah ketempat kita berlatih pedang dan tunggulah aku disitu. kalau aku menang dan kau bisa keluar dalam keadaan hidup maka kujemput dirimu disitu. Sebaliknya kalau dalam sehari semalam aku belum juga datang menjemput dirimu, pulanglah kelaut utara”

Pek-li Peng mengerdipkan matanya dan melelehkan air mata, senyuman pedih tersungging diujung bibirnya, ia berkata: "Toako. akan kupecuhi keinginanmu itu: aku akan menanti engkau disana.... Tetapi kalau kau tak datang menjemput diriku maka akupun tak akan pulang lagi keistana salju di laut utara”

“Kenapa?”

“Karena kalau kau tidak menjemput aku itu berarti kau terluka atau mati!”

“Ehmm, tidak salah!”

“Kalau kau mati apakah aku bisa hidup lebih jauh?”.

Siauw Ling terbungkam lama sekali ia baru berkata, “Peng-ji andaikata aku benar2 mati sekalipun kau juga mari belum tentu bisa menghidupkan diriku kembali!”

“Sekalipun begitu hal itu jauh lebih mendingan dari pada aku harus menanggung derita sepanjang masa!”

Sementara Siauw Ling ingin menasehati dirinya lagi, tiba2 terdengar Pek-li Peng berseru: “Toako... ada orang datang!”

Siauw Ling segera menengadah keatas, tampaklah serombongan manusia dengan langkah lebar berjalan mendekat, hatinya jadi keheranan, pikirnya: “Sekalipun Giok Siauw long-kun datang dengan membawa bala bantuan, tidak seharusnya dia undang begitu banyak pembantu!”

Berpikir demikian diapun lantas berkata: “Peng ji, mari kita mencari tempat untuk menyembunyikan diri, jangan sampai mereka melihat jejak kita”

Pek-li Peng mengiakan dan langsung loncat naik keatas sebuah pohon siong disitu ia menyembunyikan diri dibalik dedaunan yang lebat.

Siauw Ling sendiri segera menyusup kesamping dan bersembunyi dibelakang sebuah batu cadas.

Rombongan pendatang itu makin lama semakin dekat, dandanan serta raut wajah m reka kian terlihat lebih nyata.

Orang yang berjalan dipaling depan adalah manusia baju hijau berwajah emas, bertangan besi yang pernah bertarung melawan dirinya sewaktu ada dihalaman gedung kosong tempo hari.

Dandanan orang itu istimewa sekali maka dalam sekilas memandang, pemuda itu segera mengenali bahwa rombongan yang barusan datang adalah rombongan dari Giok Siauw long-kun yang datang memenuhi janji.

Tetapi ada satu hal yang aneh, ternyata diantara rombongan itu tidak nampak Giok Siauw long kun pribadi, dibelakang manusia baju hijau itu mengikuti dua orang pria baju hitam yang menggendong sebuah pembaringan lunak.

Dibelakang tanda tersebut mengikuti pula empat orang.

Orang pertama adalah seorang Rahib berusia setengah baya dengan membawa senjata kebutan ditangan, orang kedua adalah seorang perempuan tua yang rambutnya telah beruban semua.

Sedang orang ketiga adalah seorang kakek tua berjubah abu-abu, orang keempat seorang pemuda berpakaian ringkas.

Setelah memperhatikan sebentar raut wajah orang2 itu, Siauw Ling berpikir didalam hati: "Setelah manusia berwajah emas bertangan besi itu munculkan diri, semestinya Giok Siauw Long-kun ikut datang tapi.... mengapa tidak kutemui raut wajahnya?”

Pelbagai ingatan yang mencurigakan segera memenuhi benaknya, ia tak tahu apa sebabnya Giok Siauw Long-kun tidak datang.

Sementara itu rombongan para jago tersebut sudah melewati jalan kecil dilambung bukit dan menuju kepadang rumput dihadapannya.

Pek-li Peng segera loncat turun dari atas pohon, bisiknya : “Toako, apakah orang2 itu yang kau tunggu?”

“Aku rasa tak bakal salah lagi, memang orarg2 itulah yang harus kita tunggu”

“Oooh... toako. sungguhkah engkau tak akan membawa serta diriku?” tanya Pek-li peng dengan sedih.

Terbayang betapa sengitnya pertempuran yang bakal dihadapi, Siauw Ling segera berbisik dengan suara lirih: “Peng-ji, coba lihatlah orang orang itu... jumlahnya ternyata begitu banyak dan jauh diluar dugaan. Pertempuran yang bakal ber langsung pasti seru sekali, bila kau ikut...”

“Justru karena jumlah mereka kelewat banyak, maka aku ingin turut pula......”

“Kenapa?”

“Begitu banyak orang yang datang, masa kepandaian silat mereka rata2 lihay semua. Masa aku tak mampu untuk merobohkan dua orang pelayan yang menggotong tandu itu?”

Siauw Ling tertegun, serunya: “Peng-ji aku bukan maksudkan ilmu silatmu terlalu rendah!”

“Aku tahu, bukankah kau takut di dalam pertempuran yang amat sengit itu aku akan terluka?”

“Tidak salah.”

“Sejak permulaan aku toh sudah menerangkan... kalau kau mati dalam pertarungan, maka akupun tak akan hidup sebatang kara. Apakah kau tidak percaya dengan perkataanku itu?”

“Jadi kau bersikeras hendak ikut?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar