Jilid 10
SEMENTARA itu Pek-li Peng sambil gelengkan kepalanya telah berkata, “Kami masih belum bisa pergi dari sini, It-bun sianseng lebih baik kau berangkatlah lebih dahulu!”
“Kenapa?”
“Kami telah berjanji dengan Kim Hoa hujin serta Tong Lo Thay-thay untuk berjumpa muka di tempat ini, sebelum kentongan kedua mereka akan balik kelembah ini”
“Kemana mereka pergi?”
“Mengejar dan membinasakan Shen Bok Hong!”
“Kedua orang ini benar-benar tak tahu diri!“ seru It-bun Han Too sambil tertawa getir.
“Bila dugaanku tidak keliru, maka mereka telah terjatuh kembali kemulut harimau, mungkin saat ini tenaganya dipergunakan lagi oleh orang-orang perkampungan Pek Hoa Sanceng.
“Luka yang diderita Shen Bok Hong amat parah, demikian parahnya sampai tiada waktu untuk membinasakan sianseng dan toako lebih dahulu, ilmu silat yang dimiliki Kim Hoa Hujin dan Tong Lo Thay-thay sangat lihay, siapa tahu kalau mereka mendapat kesempatan?”
“Shen Bok Hong memerintahkan Ciu Cau Liong sekalian mengundurkan diri lebih dahulu, hal ini bukanlah disebabkan karena ia berhati mulia dan welas kasih sehingga takut beberapa orang itu terluka di tangan Siau tayhiap, sengaja ia mengatur begitu adalah untuk mempersiapkan langkah berikutnya dan catur yang sedang dia mainkan dengan mundurnya orang-orang itu lebih dahulu berarti mereka telah siapkan jebakan yang tangguh untuk menyambut dirinya Aaai….! untuk bertarung melawan jago lihay macam Shen Bok Hong, bukan saja kita harus andalkan ilnu silat yang lihay, kecerdasanpun harus dipergunakan”
Jadi maksud sianseng keadaan mereka sangat berbahaya?”
“Keselamatan jiwa sih tak menjadi soal, sebab pada saat ini Shen Bok Hong sedang butuh orang untuk menunjang ambisinya, Kim Hoa Hujin serta Tong Lo Thay-thay adalah jago lihay kelas satu, sudah pasti Shen Bok Hong tak akan membunuh diri mereka.”
Dia menghembuskan napas panjang dan melanjutkan
“Kalau memang nona sudah berjanji dengan mereka, tentu saja harus kau tunggu kedatangan mereka, tetapi selewatnya kentongan kedua lebih baik cepat-cepatlah berlalu dari tempat ini”
Selesai berkata ia putar badan dan melanjutkan perjalanannya.
Memandang hingga bayangan punggung dari It-bun Han Too lenyap ditengah kegelapan, Siauw Ling menghela napas panjang. katanya, “Sungguh tak nyana sebuah pukulan maut yang dilancarkan Shen Bok Hong telah membuat It-bun Han Too seolah olah menjelma menjadi seorang manusia yang lain, semnga saja ia benar-benar bertobat dan kembali ke jalan yang benar”
“Aku lihat rupanya dia dibikin terharu oleh sikap Toako yang berbudi luhur serta welas asih itu, jika ada perbedaan yang menyolok tentu saja perbedaan itu gampang membuat ia berontak.”
Siauw Ling tersenyum.
“It-bun Han Too cerdik dan banyak akal, ia sudah tahu kalau Shen Bok Hong amat membenci dirinya sehingga setiap saat selalu berusaha mencari akal untuk membinasakan dirinya, hal ini tentu akan memancing rasa bencinya pula terhadap gembong iblis itu, bila ada kesempatan diapun tentu akan berdaya upaya untuk melenyapkan iblis itu dari muka bumi…”
Setelah berhenti sebentar tiba-tiba Siauw Ling seperti teringat akan sesuatu persoalan yang amat penting, dengan alis berkerut segera tanyanya.
“Peng-ji dimanakah sepasang pedagang dari kota Tiong ciu….?”
“Akupun sedang merasa keheranan, terang benderang aku telah berjanji dengan mereka untuk bertemu disini, kenapa mereka tidak nampak munculkan diri?”
“Mungkinkah mereka celaka di tangan Shen Bok Hong?”
“Aaah….. tidak mungkin, seandainya Shen Bok Hong berhasil mencelakai jiwa sepasang pedagang dari kota Tiong ciu dia tentu akan mengutarakannya keluar”
Siauw Ling termenung beberapa saat lamanya kemudian berkata lagi
“Tidak salah, kalau ia berhasil menawan sepasang pedagang dari Tiong ciu hidup-hidup maka ia pasti akan menggunakan keselamatan mereka berdua sebagai sandera untuk memaksa aku bertekuk lutut. sebaliknya kalau sepasang pedagang dari Tiong ciu berhasil dibunuh mati maka ia tentu akan memamerkan kehebatannya dihadapanku. Dari sikapnya yang bungkam dan tidak mengucapkan sepatah katapun itu menunjukkan kalau ia belum pernah berjumpa dengan mereka berdua lalu kemana perginya kedua orang itu?”
“Aaai…! orang itu benar-benar tolol, padahal aku sudah menjelaskan dengan terperinci, entah mereka sudah pergi kemana?”
Siauw Ling kembali termenung beberapa saat lamanya, lalu berkata, “Mereka dan aku mempunyai hubungan persaudaraan yang sangat akrab, rasa setia kawan mereka tinggi sekali. bila tak ada urusan tak mungkin mereka mengingkari janji. Aku rasa pastilah kedua orang itu telah menjumpai suatu kejadian yang ada diluar dugaan”
“Kejadian apa?”
“Aku kurang begitu tahu, tetapi yang pasti mereka pasti mempunyai alasan tertentu yang membuat mereka tak dapat datang.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung mendadak dari tempat kejauhan tampaklah dua sosok bayangan manusia laksana sambaran kilat meluncur datang.
Pek-li Peng segera bangkit berdiri sambil berseru.
“Kim Hoa hujin serta Tong Lo Thay-thay telah datang!”
Dengan kecepatan amat luar biasa, dalam waktu singkat dua sosok bayangan manusia tadi telah berada dihadapan mereka. Terdengar salah seorang diantaranya menegur dengan suara nyaring, “Toako, apakah kau berada dalam keadaan baik-baik?”
“Kami baik sekali, kemana perginya kalian berdua?”
Kiranya dua sosok bayangan manusia yang baru saja munculkan diri bukan lain adalah sepasang pedagang dari kota Tiong-ciu, orang pertama yang datang mendekat lebih dahulu berperut besar, dia bukan lain adalah sie poa emas Sang Pat sedang di belakangnya mengikuti Leng an-tiat-pit.pit baja berwajah dingin Tu Kiu.
“Yaaah…ampun terima kasih kepada langit dan bumi,mulai hari ini aku Sang Lo ji benar-benar akan memuja malaikat…”seru Sang Pat sambil tarik napas panjang2.
Belum habis perkataannya diutarakan, tubuhnya tiba-tiba terjungkal dan roboh ke atas tanah, Siauw Ling terperanjat, buru-buru ia membimbing tubuh Sang Pat dan menahannya sehingga tidak sampai roboh ke atas tanah. Tegurnya
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
“Lo-ji sudah menderita luka dalam yang sangat parah. “sahut Tu Kiu dengan suara dingin,”tetapi dia menguatirkan sekali keselamatan jiwa toako, maka dipaksanya untuk menahan luka dalam tersebut dan datang mencari toako, setelah melihat toako berada dalam keadaan sehat hawa dalam dadanya jadi buyar dan diapun tak kuat menahan diri lagi..,”
Sementara pembicaraan masih berlangsung Siauw Ling telah memayang bangun tubuh Sang Pat telapaknya segera ditempelkan di atas punggungnya dan salurkan tenaga murninya ke dalam tubuh saudara angkatnya itu.
“Toako! kau baru saja sembuh dari luka dalam yang parah, mana boleh kau gunakan hawa murni untuk membantu orang? biar Siau-moay saja yang turun tangan!” seru Pek-li Peng dengan suara cemas.
Sementara itu Siauw Ling sudah merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya, walaupun dia ingin menolong tapi tenaga dalamnya tidak mampu disalurkan dengan sempurna, terpaksa ia menghela napas dan berseru.
“Adik Peng rupanya aku harus merepotkan dirimu lagi!”
Pek-li Peng tertawa manis, dia ulurkan tangannya dan tempelkan ke atas punggung sie-poa emas.
“Saudara Tu” Siauw Ling segera berpaling kesamping, “sebenarnya apa yang telah terjadi?”
“Kami telah berjumpa dengan para jago lihay dari perkampungan Pek Hoa Sanceng setelah melangsungkan suatu pertarungan yang amat sengit akhirnya Lo ji menderita luka….”
Tiba-tiba orang she Tu yang berwajah dingin itupun maju kedepan dan roboh terjungkal ke atas tanah
Hal ini dengan jelas membuktikan pula bahwa dalam kenyataan Tu Kiu pun menderita luka dalam yang parah, akan tetapi ia berusaha menggunakan kata-kata yang sederhana untuk melukiskan kejadian yang sebenarnya dengan harapan lukanya bisa disembunyikan siapa tahu daya tahannya mendadak buyar dan tak bisa ditahan lagi diapun ikut roboh terjungkal ke atas tanah.
Siauw Ling segera maju menahan rubuh Tu Kiu, serunya dengan suara sedih sekali, “Saudaraku sedari tadi kalau sepantasnya aku bisa menduga sampai kesitu, Loo-ji saja menderita luka dalam yang parah apalagi engkau? Aaai… kau terlalu memaksakan diri untuk mengelabui diriku, seharusnya aku bisa menduga sendiri kalau engkaupun terluka”
Sambil berkata dia tempelkan tangan kanannya di atas punggung Tu Kiu. dengan hawa murninya dia berusaha menolong saudaranya yang menderita luka parah tadi.
“Oooh toako!” kembali Pek-li Peng berseru dengan nada gelisah. “Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Siauw Ling tertawa getir.
“Tak menjadi soal, Peng ji! aku masih mampu mempertahankan diri” sahutnya.
“Baringkan dia ke atas tanah. Setelah aku selesai membantu Sane Pat biarlah aku yang membantu dirinya pula!”
“Peng-ji, dengarkanlah perkataanku!” seru Siauw Ling kemudian dengan wajab serius. “sekalipun sejak hari ini aku tak dapat berlatih ilmu silat lagi, aku harus berusaha menyelamatkan jiwa mereka berdua lebih dahulu. Luka dalam yang mereka derita teramat parah kita musti berusaha keras untuk mengobati luka itu. Aku sebagai saudaranya sudah wajar dan sepantasnya kalau menyumbangkan sedikit tenaga untuk mereka”
Pek-li Peng tidak berbicara lagi, dikerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk mengobati luka Sang Pat. Hawa murni bagaikan gulungan air bah segera menggulung masuk ke dalam tubuh sie-poa emas tersebut.
Setelah menolong It-bun Han Too belum lama berselang sebagian besar hawa murninya telah hilang dan belum pulih kembali seperti sediakala, sekarang setelah dipaksakan untuk menolong Sang Pat maka terasalah sang tubuh jadi lelahnya bukan kepalang, belum lama kemudian keringat sebesar kacang kedelai sudah mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Keadaan dari Siauw Ling lebih payah lagi, tidak sampai sepeminuman teh lamanya sekujur badan telah basah kuyup oleh keringat yang mengalir keluar dengan derasnya.
Sejak sembuh dari luka dalamnya yang parah, hawa murni yang dimiliki anak muda ini boleh dibilang belum pulih kembali seperti sediakala. setelah sekarang disalurkan keluar lama kelamaan daya tahan tubuhnya jadi goyah kembali tapi diam-diam dia menggertak gigi dan paksakan diri untuk tetap bertahan hawa murni tetap disalurkan keluar menyerang tubuh Tu Kiu yang sudah tak sadarkan diri itu.
Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian. Sang Pat baru menghembuskan napas panjang sambil berseru
“Ooooh toako apakah luka dalam yang kau deritapun teramat parah”
“Jangan banyak bicara “ tegur Pek.li Peng dengan suara lirih, “cepat atur pernapasan dan bersemedi, jangan sampai membiarkan aliran darah dalam tubuh yang telah mulai mengalir tersumbat kembali. Aku akan menolong Tu Kiu!”
Siauw Ling yang sedang menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Tu Kiu dapat menangkap pembicaraan Sang Pat dengan cepat. Tetapi ia tak mampu memberikan jawabannya berhubung ketika itu dia sedang mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk menolong pit besi berwajah dingin.
Pek-Li Peng tarik napas panjang2, setelah tarik hawa murninya dari pusar menyebar keseluruh badan ia dekati Siauw Ling dan berkata, “Toako bangunlah, biar aku yang menolong dia!”
Sementara itu Siauw Ling pribadi sudah mulai kepayahan. Dia sadar meskipun dirinya bersikeras untuk mempertahankan diri, hasilnya tetap nihil dan sama sekali tak berguna terpaksa dia bangkit berdiri dan mengundurkan diri dari situ.
Pek-li Peng singsingkan lengan baju kanannya kemudian menyeka keringat di atas wajah, kemudian duduk bersila disisi Tu Kiu dan tempelkan tangannya diaras punggung orang itu.
Siauw Ling tidak kuat menahan diri lagi. Dia merasa kepayahan dan kehabisan tenaga setelah mundur ke belakang matanya segera dipejamkan dan perlahan-lahan mengatur pernapasan.
Beberapa saat kemudian dia membuka matanya kembali dan menengok ke arah Tu Kiu batinnya terasa tak tenang dan sangat menguatirkan keselamatan dari saudara angkatnya itu.
Terlihatlah keringat bagaikan hujan gerimis mengalir keluar tiada hentinya dari tubuh gadis Pek-li itu, sekujur badannya sudah basah kuyup dan wajahnya pucat pias bagaikan mayat.
Tiba-tiba Siauw Ling teringat kembali akan sesuatu. Ia teringat gadis itu baru saja menolong It-bun Han Too serta Sang Pat dua orang yang menderita luka parah, pada saat ini mana dia punya kekuatan lagi untuk menolong Tu Kiu?”
Dengan hati gelisah buru-buru serunya, “Peng-ji kau lelah sekali… lebih baik aku saja yang menolong saudara Tu!”
“Aku baik sekali “jawab Pek-li Peng setelah diam diam tarik napas panjang
“Oooh…toako cepatah duduk semedi dan mengatur pernapasan, kau harus menjaga diri demi keselamatan serta kesejahteraan seluruh umat Bu-Lim di kolong langit”
Siauw Ling menghela napas panjang.
“Aaai….aku tahu bahwa saat ini keadaanmu sendiripun sudah payah, kau telah memaksakan diri untuk tetap bertahan, aku lihat lebih baik aku saja yang turun tangan”
“Tak usah kau kuatirkan keselamatanku meskipun tenaga dalamku sudah banyak berkurang, namun isi perutku sama sekali tidak terluka!”
Siauw Ling tidak banyak bicara lagi. dia tempelkan telapak tangannya ke atas punggung Pek-li Peng.
Dengan tenaga dalam gabungan dari dua orang itu, hawa murni mengalir masuk ketubuh Tu Kiu semakin gencar lagi.
Setelah mendapat bantuan dari tenaga gabungan dua orang jago lihay itu. hawa murni yang membeku dalam saluran darah di tubuh Tu Kiu mulai mencair dan peredaran darahpun sedikit demi sedikit berjalan lancar kembali, dalam waktu singkat seluruh tubuhnya telah segar kembali dan diapun menghembus napas panjang sambil membuka mata.
Siauw Ling menghela napas panjang, ia tak berani melepaskan tangan kanannya yang masih ditempelkan dipungung Pek-li Peng, serunya, “Peng ji sekarang engkaupun harus beristirahat beberapa saat lamanya”
“Toako, baik baikkah engkau?” tanya Pek-li Peng sambil berpaling dan tertawa.
Siauw Ling mengangguk.
“Sungguh beruntung ada engkau disini yang telah menolong kedua orang saudaraku, cuma… aku telah merepotkan dirimu”
“Toako jangan berbicara demikian, siaumoay merasa amat gembira sekali bila aku dapat ikut menyumbang sedikit tenaga untuk persoalan yang sedang toako hadapi”
Rupanya gadis itu merasa lelah sekali, Setelah habis berkata dia pejamkan matanya dan mengatur pernapasan.
Siauw Ling berpaling ke arah lain, dia lihat Sang Pat sedang duduk bersila dan mengatur pernapasan, Tu Kiu pun sudah duduk dan sedang mengatur pernapasan, dalam hati segera pikirnya, “Secara beruntun Peng-ji telah menyelamatkan tiga orang, dia pasti kepayahan dan lelah sekali, meskipun dasar tenaga dalamnya cukup kuat namun aku rasa harus membutuhkan banyak waktu untuk memulihkan kembali kekuatan tubuhnya seperti sediakala. Sang Pat serta Tu Kiu sendiri baru saja lolos dan ancaman maut, peredaran darah dalam tubuhpun baru saja berjalan lancar kemba1i mereka harus membutuhkan waktu yang cukup lama juga untuk menyembuhkan diri… jika sekarang aku ikut bersemedi bukankah tak ada orang yang menjaga ke amanan disini? andaikata ada musuh tangguh yang datang, bukankah kami berempat dapat dilukai semua tanpa susah payah?”
Berpikir sampai disitu ia tak berani pusatkan pikirannya untuk mengatur untuk meng atur pernapasan lagi, dengan paksakan diri ia tetap berada dalam keadaan sadar walaupun matanya dipejamkan namun seluruh perhatian dipusatkan di sekitar tempat itu untuk memperhatikan keadaan disekeliling sana.
Kurang lebih satu hio kemudian, Sang Pat Tu Kiu maupun Pek-li Peng telah berada dalam keadaan tenang dan lupa terhadap segala2nya.
Perlahan-lahan Siauw Ling bangkit berdiri, melepaskan otot tangan dan kakinya lain berjalan mengelilingi tiga orang itu satu kali kemudian duduk kembali di tempat semula.
Ia merasa lelah dan mengantuk sekali, dengan melepaskan otot dan berjalan satu lingkaran itu Siauw Ling berusaha mengusir rasa kantuk yang menyerang makin menjadi itu.
Belum lama Siauw Ling duduk kembali di tempat semula, tiba-tiba dari tempat kejauhan berkumandang datang suara langkah kaki manusla yang amat berat dan nyaring, Siauw Ling mengempos tenaga dan membuka matanya lebar-lebar, dan dia lihat sesosok bayangan manusia perlahan-lahan bergerak mendekat ke arahnya.
Malam amat gelap dan suasana sunyi senyap tak kedengaran sedikitpun Siauw Ling yang baru sembuh dan luka dalam yang parah tidak memiliki kekuatan tubuh yang cukup sempurna untuk berjaga diri ia merasa ketajaman mata dan pendengarannya mengalami kemunduran yang sangat hebat, meskipun orang itu sudah berada pada jarak tiga tombak dihadapanya akan tetapi si anak muda itu masih belum mampu melihat jelas raut wajahnya.
Satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benak Siauw Ling, pikirnya, “Perduli siapapun yang datang asal ia berniat mencelakai Sang Pat serta Tu Kiu yang sedang bersemedi, aku akan gunakan segenap sisa tenaga yang kumiliki untuk mempertahankan diri serta melakukan perlawanan.”
Jalan yang terbaik baginya adalah berusaha untuk menghalangi kedatangan orang itu untuk mendekati Sang Pat sekalipun yang sedang bersemedi dengan cepat ia meronta bangun lalu maju menyongsong kedatangan orang itu.
Setelah jarak mereka semakin dekat, pemuda itu baru sempat melihat jelas raut wajah pendatang yang tak diundang itu, ternyata dia adalah seorang kakek tua berjubah hitam yang mempunyai rambut panjang sebahu.
Rambut kakek itu telah beruban semua, mukanya penuh berinnyak dan dandanannya mirip sekali dengan seorang pengemis tua, namun juba hbajunya yang keren dan perlente menunjukkan bahwa kakek itu bukan pengemis.
Sambil menghadang jalan pergi kakek tua itu, Siauw Ling menegur dengan suara berat.
“Loo-tiang, ditengah malam buta yang sunyi ada urusan apa engkau datangi lembah gersang yang terpencil letaknya ini?”
Kakek tua itu membelalakkan matanya lebar-lebar dan memperhatikan Siauw Ling beberapa saat lamanya, kemudian balik bertanya, “Kau sedang bertanya kepadaku?”
“Eeeei!.. orang ini edan atau bukan?” batin Siauw Ling dalam hati kecilnya, diluar dia segera menjawab.
“Sedikitpun tidak salah, aku sedang mengajak Loo-tiang berbicara! apakah engkau sudi menjawab?”
Kakek tua itu menengadah memandang langit yang hitam pekat tertutup awan hitam cahaya bintang dan rembulan tertutup dibalik awan dan yang nampak cuma kegelapan belaka…lama.. lama sekali, ia tetap memandang langit yang gelap, seakan-akan kakek itu sudah lupa kalau dihadapannya masih berdiri orang lain.
Kalau ditinjau dari keadaan yang bodoh dan termangu-mangu sebetulnya aku turun tangan, lebih dahulu untuk menotok jalan darahnya” pikir Siauw Ling kembali, tapi….perbuatan semacam itu adalah perbuatan seorang manusia tak jujur, apakah aku pun harus berbuat macam begitu”
Setelah sangsi sejenak akhirnya dia mendehem berat sambil menegur
“Hey Loo-tiang! apa sih yang sedang kau saksikan di langit?”
“Oooh aku sedang melihat bintang bintang yang bertaburan diangkasa coba kau lihat sungai perak yang terbentang diangkasa, sungai itulah yang telah memisahkan Gou Long serta Ci-li, setiap tahun mereka hanya bisa berjumpa pada bulan tujuh tanggal tujuh…”
“Oooh…rupanya tebakanku tidak meleset kakek tua ini benar-benar memang sudah sinting….” pikir Siauw Ling kembali.
Diluaran dia berkata lebih jauh, “Eeei…. kakek tua, yang kulihat hanya langit yang gelap dan awan bitam menyelimuti angkasa, mana sih sungai dan bintang yang kau maksudkan itu?”
“Haanh…haaah..haaah.. meskipun dengan pandangan mata aku tidak dapat melihat apakah aku tak bisa berpikir dalam hati?”
Siauw Ling semakin melongo, pikirnya lebih jauh, “Kalau bisa berpikir di dalam bati, apa bedanya dengan berada dirumah? kenapa kau musti datang kelembah yang terpencil ini hanya untuk berbuat begitu saja?”
Tetapi setelah berpikir kembali hahwa orang itu sinting dan tak waras otaknya, dia pun tidak mempersoalkan lebih lanjut, sambungnya, “Perkataan loo-tiang memang benar, apa yang dipikirkan di dalam hati kadang kala memang mirip dengan kenyataannya”
Tiba-tiba kakek berambut putih itu tunduk ke bawah dan menatap wajah Siauw Ling tajam tajam, serunya, “Hey bocah cilik apakah kau mengerti dengan apa yang kukatakan?”
“Siapa yang bisa memahami perkataanmu itu?” pikir pemuda tersebut dalam hati, “tidak banyak orang di kolong langit yang dapat memahami perkataanmu itu dan Orang yang bisa menangkap perkataanmu itu tentulah otaknya rada tidak beres seperti dirimu….”
Sebagai seorang pemuda yang jujur dan saleh tentu saja ia tak mau melukai perasaan hati kakek tua ini, sahutnya, “Perkataan dari Loo-tiang mengandung arti yang sangat dalam, sudah ientu jarang sekali orang yang memahaminya…..”
Kakek tua berambut putih itu angkat kepala dan tertawa terbahak bahak, “Haaah…haaah..haah… tetapi kau dapat memahaminya, bukankah begitu?” tukasnya bocah cilik, engkau adalah satu-satunya manusia yang dapat menangkap maksud hatiku….”
“Haaah…haaah….. .haah….. aku teringat sekarang bukankah di dalam lembah ini terdapat banyak sekali kerbau dungu dan kuda goblok kemana perginya mereka semua?”
“Kau maksudkan para pekerja kasar yang dikirim pihak perkampungan Pek Hoa Sanceng untuk bekerja di tempat ini?”
“Hmmm…… aku tak tahu mereka berasal datang darimana, tetapi aku tahu kalau mereka semua goblok tolol dan tak punya otak, tak seorangpun diantara mereka yang mampu memahami ucapanku”
Diam-diam Siauw Ling tertawa geli mendengar perkataan itu, batinnya di dalam hati, “Siapa yang bilang aku bisa menangkap perkataanmu? aku sendiripun sama sekali tidak mengerti”
Dalam hati berpikir begitu, diluaran dia menjawab, “Perkataan dari Loo-tiang memang sukar dipahami!”
“Haaah.. haaah… baaah..justeru karena itulah aku merasa bahwa kaulah satu-satunya orang yang bisa memahami suara hatiku”
Setelah berhenti sebentar lanjutnya lebih jauh, “Sepanjang tahun dia mencangkul, memukul tiada hentinya di dalam lembah ini, suatu hari mereka tentu akan menyentuh nadi air yang berada didasar permuakan bumi dalam lembah ini, jika sampai begitu keadaannya maka air bah akan menenggelamkan saluruh wilayah di tempat ini. Sudah dua kali aku datang kemari untuk memberi bisikan dan petunjuk pada mereka semua, aku harap agar menreka tahu diri dan segera mengundurkan diri dari pekerjaan yang banyak resiko tersebut tetapi mereka goblok semua dan tetap tak sadari dengan keadaan tersebut, sebenarnya aku sudah tak sudi untuk mengurusi persoalan ini lagi tetapi teringat bahwa ratusan lembar jiwa manusia bukan permainan anak kecil, aku tak tega membiarkan mereka mati konyol di tempat ini. Kali ini adalah kedatanganku yang terakhir kalinya, jika mereka tetap tak mau tahu dan tetap mencari kematian buat diri sendiri, akupun tak sudi mengurusi jiwa mereka lagi”
Siauw Ling merasakan jantungnya berdebar keras setelah mendengar perkataan itu katanya, “Locianpwee, kau tak usah banyak buang waktu dan pikiran lagi, orang-orang itu sudah berlalu dari tempat ini!”
Kakek berambut putih itu alihkan sorot matanya menyapu seejap Sang Pat, Tu Kiu senta Pek-li Peng yang sedang duduk bersemedi kemudian tanyanya, “Apakah kalian yang telah mengusir orang orang itu pergi dari sini?”
Siauw Ling menggeleng.
“Mereka semua adalah para jago dari perkampungan, Pek Hoa Sanceng, sekarang mereka telah mendapat perintah dari Cungcunya untuk meninggalkan tempat ini”
Sementara itu Siauw Ling telah merasa bahwa kakek tua dhadapannya bukan sungguh-sungguh sinting dan tidak waras otaknya seperti apa yang diduganya semula. Orang yang cerdik kadangkala nampak goblok rupanya orang itu sengaja berlagak demikian untuk mengelabui keadaan diri yang sebenarnya, dengan jalan begitu orang lain tentu tak akan menaruh perhatian terhadap dirinya, tapi ditinjau dan jubah barunya yang sengaja dikenakan sehingga memancing kecurigaan orang. Siauw Ling menebak bahwa kakek itu datang dengan membawa maksud tertentu
Terlihatlah kakek tua itu setelah berjalan beberapa langkah kedepan, tiba-tiba berpaling dan berkata kembali, “Sekalipun aku sudah berkenalan dengan banyak manusia di kolong langit, hanya sedikit sekali yang bisa memahami suara hatiku, sungguh tak nyana engkau masih kecil tapi bisa memecahkan jejak diriku”
“Sungguh menyesal dan memalukan….” bisik Siauw Ling dalam hati pikirnya, “Darimana aku bisa memahami suara hatimu? aku berbuat demikian karena tak ingin menyakiti dirimu….. sungguh tak nyana kau telah salah menganggap aku berhasil memahami suara hatimu”
Terdengar kakek tua berambut putib itu berkata kembali, “Besok pagi aku hendak berngkat tinggal kan daratan Tionggoan untuk berkunjung ke negerj Thian tok sungguh tak nyana sesaat sebelum berangkat aku telah berkenalan dengan seorang sahabat yang bisa memahami suara hatiku seperti engkau. oooh…sungguh kebetulan…kebetulan sekali.”
“Loo-tiang terlalu memuji!”
Tiba-tiba nada suara kakek tua berambut putih itu berubah, dengan suara dingin dan serius katanya, “Hey orang muda jika penglihatanku tidak salah rupanya engkau menderjta luka dalam yang amat parah?”
Siauw Ling tahu bahwa kakek tua dihadapannya adalah seorang manusia aneh yang memiliki kepandaian sakti, dengan berterus terang dan tanpa ragu2 lagi dia membenarkan.
“Sedikitpun tidak salah, disamping diriku seorang ketiga orang rekanku yang sedang duduk bersemedipun ada dua orang diantaranya menderita luka dalam yang cukup parah.
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sambaran kilat kakek berambut putih itu menyapu sekejap ketiga orang itu, kemudian ujarnya lagi, “Menurut penglihatanku mereka bertiga pun berada dalam keadaan yang belum sempurna!”
“Sungguh tajam penglihatan orang ini p ji Siauw Ling di dalam hati, segera jawabnya, “Yang terluka parah cuma dua orang, sedangkan nona itu karena harus menolong kami sekalian bertiga maka banyak tenaga dalamnya yang terpaksa dihambur2kan hal itulah yang membuat dia berubah jadi begini rupa”
Kakek tua berambut putih itu mengangguk tiada hentinya.
“Ehmm…!bukan saja kau bisa menangkap suara hatiku, bahkan kaupun seorang kuncu, seorang lelaki sejati yang jujur dan polos hatinya, sayang sekali hari keberangkatanku sudah tak bisa ditunda lagi, sayang sekali kita harus brjumpa dalam saat saat seperti ini”
Setelah berhenti sebentar,dia menengadah memandang keangkasa dan tertawa terbahak bahak.
“Haaaaah…… haaaaah….. haaaaaah kalau toh bisa berjumpa kenapa musti risaukan soal waktu? aku tak boleh membiarkan khalayak ramai menuduh aku terlalu keras kepala”
Meskipun Siauw Ling dapat mendengar pula suara gumaman kakek tua itu, akan tetapi ia tak bisa menangkap maksud yang sebetulnya dari perkataan itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu tak tahu apa yang musti dijawab, terpaksa dengan termangu mangu tetap berdiri di tempat semula..
Kakek berambut putih itu alihkan sorot matanya menyapu setejap Sang Pat, Tu Kiu serta Pek-li Peng kemudian ujarnya kembali, Aku memiliki obat mujarap yang dapat membantu menambah tenaga dalam seseorang jika engkau percaya dengan perkataanku silahkan berikan pil tersebut untuk mereka semua”
Dari kilatan cahaya mata yang dimiliki kakek tua itu. Sian Ling tahu bahwa dia adalah seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam amat sempurna dalam hati segera pikirnya
“Dengan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki orang ini, jika ia bermaksud mencelakai jiwa kami semua aku rasa dalam beberapa gebrakan saja kami akan mati konyol ditangannya, tidak mungkin kalau ia bermaksud mencelakai kami semua dengan pil beracun…..”
Setelah berpikir sampai kesitu, keberanian pun muncul dalam hatinya, cepat sahutnya, “Kalau begitu, biarlah aku mewakili mereka semua mengucapkan banyak terima kasih lebih dahulu atas pemberian obat mujarab dan loocianpwee”
Kakek tua berambut putih itu merogoh ke dalam sakunya dan ambil keluar sebuah botol porselen, sambil diangsurkan ketangan Siauw Ling pesannya.
“Dalam botol ini kebetulan sekali berisikan empat butir pil mujarab, kalian berempat masing-masing telanlah sebutir”
Siauw Ling menerima botol porselen itu dan dan membuka tutupnya lalu ambil keluar sebutir dan langsung dimasukkan ke dalam mulut.
Melihat perbuatan si anak muda itu. kakek berambut putih tersebut segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah-haaah…..bocah cilik engkau menelan lebih dahulu pil tersebut, apakah tidak takut dalam obatku itu telah kucampuri dengan racun yang keji?”
Siauw Ling tersenyum.
“Loo-tiang telah menganggap diri boanpwee sebagai orang yang dapat menangkap suara hatimu, jika obat itu benar-benar mengandung racun sekalipun harus mati boanpwee juga tak akan menyesal!”
“Anak muda yang patut dihargai” seru kakek berambut putih itu dengan wajah serius, “kepergianku kebarat dan berpesiar kenegeri Thian-tok hari ini entah sampai kapan kuakhiri, besok pagi2 sekali sebelum fajar menyingsing aku akan berangkat maukah engkau hantar diriku melakukan perjalanan?”
“Perkataan semacam itu sapantasnya jika akulah yang mengucapkan, pikir Siauw Ling di dalam hati, tapi sekarang dia sudah mengatakannya lebih dahulu”
Terpaksa ia menyanggupi.
“Baik! boanpwe pasti akan menghantar keberangkatan loocianpwee, tapi kita harus berjumpa dimana?”
Kakek tua berambut putih itu tertawa hambar.
“Bagi dirimu perjalanan ini semestinya merupakan suatu perjalanan yang paling payah dan menyulitan, aku telah memperhitungkan lebih dahulu bagimu!”
“Dapatkah Ioo tiang memberi keterangan dengan lebih jelas lagi?”
“Tempat dimana aku akan melakukan start perjalananku berada pada suatu bukit beberapa li jaraknya dari sini, tetapi engkau harus melewati dua buah bukit yang tinggi lebih dahulu sebelum tiba disana. Meskipun sekarang kau telah menelan pil dariku tetapi untuk melumeran pit tersebut kau masih harus melakukan semedi beberapa waktu lamanya meskipun kau memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurnapun sebelum kentongan keempat kau harus sudah berangkat dan sebe1um fajar menyingsing kau harus sudah tiba di tempat tujuan, bocah cilik coba hitunglah sendiri waktunya, apakah kau mampu untuk menepati atau tidak?”
“Sete1ah kusanggupi ku pasti akan berusaha untuk tiba disitu sebelum waktunya”
jawab Siauw Ling dengan tegas.
“ yang kutakuti adalah jalanan yang tak kukenal. boanpwee takut mengambil arah yang salah……”
“Tentang soal itu kau tak usah kuatir. aku telah susunkan rencana yang bagus untukmu, disepanjang jalan aku telah tinggalkan tanda pengenal yang memberi petunjuk kepadamu jalan mana yang musti ditempuh”
“Kalau begitu kita tetapkan demikian saja, boanpwee pasti akan menepati janji dan berangkat kesana.
“Bila kau mendaki gunung lewati sini. maka di depan sana akan kau temukan tanda petunjuk yang ditinggalkan. Nah, sampai berjumpa kembali”
Selamat jalan loo tiang!” sahut Siauw Ling sambil memberi hormat dalam2.
Kakek tua itu tidak banyak bicara lagi dia putar badan dan segera berlalu dari sana.
Tiba-tiba Siauw Ling teringat akan sesuatu dia ingin menanyakan jaraknya yang tepat antara tempat itu dengan tempat dimana ia berada sekarang agar jadwal perjalanan bisa ditentukan, tetapi bayangan tubuh kakek tua itu sudah lenyap tak berbekas.
Dalam hati kecilnya Siauw Ling tahu kalau kakek berambut putih itu adalah seorang manusia sakti yang memiliki ilmu silat amat tinggi, tetapi ia tak habis mengerti mengapa kakek itu mengundang dirinya untuk menghantar keberangkatannya menuju kenegeri Thhian-tok setelah janji diucapkan keluar tentu saja ia tak bisa mengingkarinya maka cepat-cepat dia duduk bersila untuk mengatur pemapasan, pemuda itu berharap agar kesehatan tubuhnya bisa cepat pulih kembali sehingga perjalanan dapat segera dilakukan. Terasalah dari arah pusar memancar keluar segulung aliran hawa panas yang menyegarkan badan. Aliran hawa panas itu dengan cepatnya menyambar keseluruh tubuh.
Siauw Ling sadar bahwa hal itu merupakan akibat dan khasiat obat yang ia telan barusan hatinya terasa tercengang pikirnya .
“Obat itu sungguh mujarab sekali, ditinjau dan pemberian obat mujarab ini sudah sepantasnya kalau aku menghantar keberangkatannya…”
Berpikir sampai disitu ia segera meronta bangun. setelah mendekati kehadapan Sang Pat serunya dengan suara dalam, “Saudaraku berdua pentanglah mulutmu lebar lehar, Siau-heng hendak menghadiahkan sebutir pil mujarab untuk kalian semua”
Waktu itu semedi Sang Pat dan Tu Kiu sedang mencapai titik puncak yang paling pen ting, meskipun mereka dengar perkataan dari Siauw Ling. namun mulutnya tak mampu dipentangkan seperti apa yang diharapkan.
Kurang lebih seperminum teh kemudian Sang Pat serta Tu Kiu baru membuka matanya kembali.
Siauw Ling segera memberi obat mujarab itu kepada mereka berdua sambil pesannya.
“Jangan banyak bicara, pentang mulut kalian lebar-lebar!”
Setelah dua orang saudaranya buka mulut pemuda itupun segera masukkan obat mujarab tadi ke dalam mulut mereka berdua.
“Obat ini mempunyal daya kasiat yang luar biasa sekali “serunya, “harap saudara berdua segera menelannya ke dalam perut, kemudian aturlah pernapasan kembali.
Sang Pat serta Tu Kiu sama-sama mengangguk dan memandang ke arah toakonya dengan sorot mata penuh rasa terima kasih, setelah menelan pil tersebut mereka atur pernapasan kembali
Siauw Ling tarik napas panjang2, ia mendekati pula Pek-li Peng dan berbisik lirih, “Peng-ji apakah tubuhmu terasa agak baikan?”
Pek-li Peng sama sekali tidak terluka dalam, dia hanya kehabisan tenaga murni saja kerena harus mengobati beberapa oraig secara beruntun, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan sepasang padagang dari kota Tiong ciu,setelah mengatur pernapasan beberapa saat lamanya. Kesehatan badan sudah pulih kemubail beberapa bagian, dia buka matanya dan tertawa.
“Aku sudah agak baikan!”
“Kalau begitu telan pil ini, obat tersebut akan mendatangkan manfaat yang besar bagimu “kata Siauw Ling sambil angsurkan obat dalam genggamannya, Semula dia bermaksud agar Pek-li Peng menyambutnya dengan tangan. tetapi gadis itu ternyata membuka mulutnya sambil berseru manja!
“Toako, masukkanlah pil itu ke dalam mulutku!”
Siauw Ling tertegun, terpaksa dia berikan obat tadi ke dalam mulut Pek-li Peng.
Setelah mendapat bantuan dari obat mujarab tersebut, kesehatan badan keempat orang itu dengan cepatnya telah pulih kembali, tidak sampai satu kentongan kesehatan mereka telah pulih seperti sedia kala.
Siauw Ling yang punya janji dengan orang setelah melakukan semedi satu kali dia segera berhenti dan bangkit berdiri dilihatnya Sang Pat, Tu Kiu serta Pek-li Peng masih tetap duduk hersemedi disitu.
Siauw Ling angkat kepala memandang keadaan cuaca, dia lihat awan gelap dilangit sebagian besar telah buyar.
Bintang dan rembulan sudah tak nampak lagi, teringat akan janjinya dengan kakek berambut putih itu dia merasa sekaranglah saatnya untuk berangkat. Maka ujarnya.
“Saudara berdua. Siau-heng punya janji dengan seseorang dan sekarang juga harus segera berangkat, paling cepat tengah hari nanti dan paling lambat senja nanti aku pasti sudah kembali kesini, kalian tungulah aku di atas purcak In-wan-hong.”
“Aku ikut.” teriak Pek-li Peng tiba-tiba sambil meloncat bangun dari atas tanah.
“Kau telah selesai bersemedi?”
“Sudah selesai sejak tadi” jawab Pek i Peng sambil tertawa, “bahkan kekuatan tubuhku telah pulih kembali seperti sedia kala!”
Siauw Ling tidak segera mengambil keputusan, pikirnya dalam hati, “Tabiat kakek tua itu aneh sekali dan sukar diraba dengan kata kata, jika kubawa serta Peng ji kesitu entah dia menerima dengan senang hati atau tidak? apalagi luka dalam yang diderita Sang Pat berdua belum sembuh benar, dia harus tetap tinggal di tempat ini untuk melindungi keselamatan mereka berdua”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata, “Peng ji, kalau kita pergi semua lalu siapakah yang melindungi keselamatan kedua orang saudara kita? walaupun para jago dari perkampungan Pek Hoa Sanceng telah berangkat tinggalkan tempat ini, siapa tahu kalau kaki tangan Shen Bok Hong ada yang balik lagi kemari? kau harus tetap tinggal disini untk melindungi keselamalan mereka berdua”
Mendengar perkataan itu, Pek li leng mengheLa napas panjang.
“Aaaai….kapan sih aku tak menuruti perkataan dari toako?” bisiknya lirih.
Dari sikap serta tingkah laku gadis itu Siauw Ling tahu kalau ia tak senang hati, tetapi sekalipun begitu terpaksa ia harus tetap berlagak pilon. Sambil katanya
“Secepatnya aku akan kembali lagi kesini waktu itu kesehatan badan dua orang saudara kitapun telah pulih kembali seperti sedia kala. Kita bersama-sama berangkat tinggalkan tempat ini”
Pek-li Peng tertawa.
“Maukah engkau ajak aku berpesiar ketelaga See-ou dan menyambangi Pek Niocu di bawah pagoda Lui hong-tha”
“Cerita itu hanya dongeng rakyat belaka!”
“Siapa bilang kalau dahulu benar-benar pernah terjadi peristiwa semacam ini “sela Sian Ling dengan cepat.
“Perduli dongeng atau kejadian yang sungguh yang pasti nasib Pek Nio cu mengenaskan sekali “kata Pek-li Peng dengan wajah serius, cinta kasihnya suci murni dan patut dipuji, sayang lelaki yang tak kenal budi lebih percaya dengan perkataan dari Ho at hay Hwesio sehingga akhirnya menindih tubuhnya dengan pagoda Lui hong tha..”
Habis berkata ia menangis tersedu2 seakan-akan baru saja bertemu dengan suatu kejadian yang memilukan hati.
Siauw Ling saja amat terperanjat, ia merasa dibalik perkataan gadis itu menandung arti yang lain, hal tersebut membuat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dijawab, Dengan ujung bajunya Pek-li Peng menyeka air mata yang jatuh menetes, sambungnya, “Ayahku pernah mengundang seorang sarjana tua dari daratan Tionggoan untuk memberi pelajaran membaca dan menulis bagiku,meskipun usia sarjana itu sudah tua tetapi dia romantis sekali. Seringkali ia menceritakan kisah-kisah romantis atau cerita dongeng dari daratan Tionggoan kepadaku, waktu kudengar cerita tentang Pek Nio cu tempo hari diam diam aku merasa geli atas ketololan Pek Nio cu tersebut, di kolong langit toh banyak sekali pemuda tampan kenapa dia cuma mencintai seorang lelaki belaka, kalau aku yang menjadi dia. . huh. tak sudi aku dipermainkan dengan begitu saja
“Kalau kau menjadi Pek Nio cu apa yang hendak kau lakukan?”
Perlahan lahan Pek-li Peng alihkan sorot matanya menatap wajah Siauw Ling kemudian jawbabnya, “Waktu itu aku pernah berpikir, kalau memang dia tidak menepati janji kenapa aku musti memikirkan terus dirinya? kenapa aku tidak bunuh saja orang yang tak kenal budi itu?”
Gadis tersebut berhenti sebentar kemudian melanjutkan
“Tapi sekarang…aku baru tahu, ternyata laut cinta begitu luas dan tak bertepian”
“Aai! Siauw Ling menghela napas panjang
“Peng-ji usiamu masih kecil kenapa begitu banyak persoalan yang kau pikirkan?”
Pek-li Peng tertawa sedih.
“Sejak kecil aku sudah terbiasa mengumbar nafsu, selamanya aku tak mau kalah kepada siapapun, aku masih ingat ketika masih kecil tempo dulu, waktu itu ayah sedang meyakinkan suatu ilmu sakti yang maha hebat, aku paksa dirinya untuk menggendong aku keluar rumah menikmati keindahan salju. ayah tak mau dan aku menangis terus bahkan menghancurkan pula barang antik kesayangannya, ayahku yang selamanya tak penrah memaki diniku waktu itu, segera menghajar aku, tetapi aku menangis terus tiada hentinya, sehari semalam tak mau makan dan minum, Ibuku menasehati dan menghibur diniku, aku juga tetap menangis tiada hentinya, sampai akhirnya suaraku habis dan air mataku kering ayahku baru mengalah dan membopong aku keluar dari Istana untuk melihat salju waktu itulah aku baru berbenti menangis..”
“Bagaimnta setelah kau tumbuh dewasa”sela Siauw Ling..
Setelah makin dewasa aku semakin dapat meresapi cinta kasih Thian dan kasih sayang orang tua, tetapi ayah dan ibu sudah mengenal watakku, setiap kali persoalan yang telah kuputuskan biasanya mereka menurut sekali, siapa tahu setelah berjumpa dengan toako, aku merasa bahwa diriku telah berubah jadi seorang manusia lain”
“Berubab jadi lebih jinak dan penurut bukan?” kata Siau
Ling sambil tersenyum.
“,Aaai…! aku selalu berusaba menekan watakku dan menuruti setiap perkataanmu, aku tak tahu sikapku ini bisa menarik kegembiraanmu atau tidak? aku selalu kuatir pa da suatu hari engkau bosan kepadaku dan tinggalkan diriku seperti nasib dari Pek Nio-cu”
“Haaih.baaah-haaah kau bukan Pek Nio.. cu sedang aku bukan- Kho koin jin, mana boleh kau banding2kan satu sama lain? baik-baiklah merawat mereka berdua, aku akan berangkat lebih dahulu!”
“Kau harus segera kembali toako….” bisik Pek-li Peng.
Siauw Ling mengangguk, dia belai rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang kemudian jawabnya
“Tunggulah aku kembali sayang!”
“Akan kutunggu kedatanganmu dengan hati sabar!”
Siauw Ling pun putar badan dan berjalan menujuh ke arah bukit mengikuti petunjuk dari kakek tua berambut putih.
Sedikitpun tidak salah, di atas puncak bukit itu ia temukan sehelai sapu tangan berwarna putih yang ditindihi dengan sebuah batu, di atas sapu tangan tadi terteralah petunjuk jalan dengan jelasnya.
Siauw Ling menyimpan sapu tangan tadi dan segera melakukan perjalanan sesuai dengan petunjuk yang diberikan setiap kali bertemu dengan tikungan ia temukan tanda petunjuk jalan disana.
Perkataan kakek tua berambut pucih itu sedikitpun tidak salah, perjalanan yang harus ditempuh sukar dan payah sekali. Bukan saja harus melewati tebing yang curam, jurang yang dalam bahkan kadangkala harus terjun keair dan merambat ditebing dengan ilmu cecak pikirnya di dalam hati
“Bukankah ia tahu dengan jelas bahwa luka dalam yang kuderita baru saja sembuh? Kenapa dia suruh aku melalui jalan yang curam dan berbahaya seperti ini? Bukankah dia ada maksud menyiksa diriku?”
Tetapi setelah teringat kembali akan janjinya yang telah diutarakan ia merasa tak ada gunanya menyesal, terpaksa dengan sepenuh tenaga parjalanan ia lanjutkan.
Luka dalam yang ia derita sebetulnya cukup parah, meskipun sudah menelan obat mujarab pemberian dari kakek tua itu, namun berhubung selama ini tiada waktu baginya untuk mengatur pernapasan dengan baik maka kekuatan tubuhnya belum pulih seutuhnya. Setelah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya sekujur badan telah basah kuyup oleh keringat, napasnya jadi tersengal-sengal.
Melihat sang surya sudah muncul dibalik gunung sedang perjalanan entah berapa jauh lagi, pemuda itu tak berani berhenti untuk beristirahat dengan paksakan diri ia lanjutkan perjalanan kedepan
Menanti sang surya telah terbit sampailah pemuda itu di depan sebuah sungai dengan aliran air yang deras.
Siauw Ling perhatikan sebentar sungai dengan aliran air yang amat deras itu ia merasa luasnya mencapai tiga empat tomhak. Disitu tiada jembatan ataupun sampan, kalau dihari biasa jarak sejauh itu mampu dilalui dengan ilmu meringankan tubuhnya yang cukup sempurna, tak mungkin cara sersebut dapat dipergunakan
Setelah herdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya ditepi sungai akhirnya dia cabut keluar pedang pendeknya dan memotong beberapa batang kayu kemudian diikat jadi satu dan dijadikan sebuah rakit, Belum sempat pemuda itu menyebherangi sungai tadi dengan rakitnya, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang amat nyaring berkumandang datang dan kejauhan disusul seseorang berseru lantang, “Saudara cilik, kau sudah datang terlambat, andaikata aku tidak percaya kalau kau pasti datang, sejak tadi sampan ini sudah ku lepaskan dan sekarang telah berada puluhan li jauhnya dari sini”
Ketika Siauw Ling menengadah ke atas tampaklah seorang kakek berjubah hijau dengan rambut putih tergulung jadi satu serta mencekal sebuah tongkat bambu sedang duduk di atas sebuah rakit yang terbuat dari beberapa lembar bambu, ketika itu perlahan-lahan ia munculkan diri dari balik semak.
Bergerak di atas aliran sungai yang deras, rakit itu ternyata bergerak tenang dan seolah-olah sedang berlayar di atas permukaan telaga yang tenang dan tak bergerak.
Sekali menutul tongkat bambunya rakit itu laksana kilat meluncur kedepan dan berhenti tepat dihadapan pemuda itu.
Siauw Ling segera mengenali kakek tua itu sebagai kakek yang pernah dijumpainya kemarin malam, hanya saja pada saat ini rambutnya telah digulung dengan rapi dan minyak diwajahnya telah dicuci bersih, begitu agung dan berwibawa keadaannya hingga boleh dibilang tak jauh berbeda seperti malaikat
Ia segera menghembuskan napas panjang, katanya, “Luka dalam yang boanpwee derita belum sembuh, perjalananku dilakukan lambat sekali, bila loo tiang menunggu agak lama harap engkau suka memaafkan”
Sambil tertawa kakek tua itu mengangguk.
“Aku sudah tahu kalau engkau telah menggunakan segala kemampuan yang kau miliki untuk tiba disini sebelum waktunya..”
Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya, “Saudara cilik, kau pandai ilmu berenang?”
“Sama sekali tak bisa” sahut pemuda itu sambil menggeleng.
“Aliran air sungai disini amat deras sekali, kalau memang ku tak pandai ilmu dalam air, kenapa kau hendak menyeberangi sungai ini dengan rakit dikala kau berada dalam keadaan payah dan kehabisan tenaga? Apakah kau tidak takut mati?”
“Boanpwee telah berjanji dengan loo tiang bagaimanapun juga aku tak ingin mengingkari janji karena itu terpaksa aku harus coba menyeberanginya kendati harus menempuh bahaya!”
“Apakah kau menyesal?” tanya kakek tua berambut putih itu sambil tersenyum.
Siauw Ling menggeleng.
“Seandainya aku merasa meyesal, bisa saja kubatalkan janji ini ketika berada ditengah jalan tadi, kenapa aku musti bersusah payah sampai disini? cuma… ada satu persoalau membuat boanpwee tak habis mengerti dapatkah kutanyakan pada lootiang?”
“Persoalan apa?”
“Aku tidak menyesal loo-tiang suruh, aku melakukan perjalanan dengan melewati jalan yang curam dan berbahaya aku hanyau heran mengapa lootiang tidak suruh aku melewati jalan lurus yang sehenarnya di sekitar sana, sebaliknya malah memberi petunjuk kepadaku untuk melewati tebing yang curam serta selat yang sempit..”
“Di kolong langit tiada hasil yang bisa diperoleh tanpa bersusah payah bagi dirimu semua yang telah kau jalankan hanya merupakan suatu perobahan kecil saja.
“Andaikata boanpwee bukan berada dalam keadaan luka, sekalipun perjalanan itu sepuluh kali lipat lebih berbahaya pun aku percaya masih mampu melewatinya dengan cepat.”
“Kalau kau tidak terluka maka percobaan yang harus kau lewati mungkin sepuluh kali lipat lebih hebat daripada kekuatan yang kau miliki sekarang!
“Loo tiang, perkataanmu mengandung arti yang terlalu dalam, lama kelamaan boanpwee jadi kebingungan!”
Kakek tua berambut putih itu tertawa hambar.
“Saudara cilik, sekarang kau pasti sudah lelah bukan karena kehabisan tenaga? Nah, cepatlah pejamkan mata dan benstirahatlah sebentar, jika kekuatan tubuhmu pulih kembali kita baru berbicara lebih jauh.
Ketika itu Siauw Ling memang merasa kepalanya agak pening diri matanya berkunang-kunang, ia merasa tak kuat menahan diri lagi, maka jawabnya
“Boenpwee akan turut perintah “
Ia segera duduk bersila, pejamkan mata dan mengatur penapasan.
Dalam semedinya, ia merasa kepalanya jadi sakit seperti terhantam oleh sebuah benda berat. pingsanlah pemuda itu seketika itu juga.
Menanti ia sadar kembali dari pingsannya, tengah hari sudah tiba dan ia temukan dirinya berbaring di atas tanah rumput yang lunak dan lembut sekali.
Ketika sorot matanya dialihkan kesekeliling tempat itu, tampak olehnya bunga dengan aneka warna yang indah bertaburan disekeliling tubuhnya, bau harum semerbak menyelimuti daerah di sekitar sana.
Perlahan lahan Siauw Ling bangkit berdiri pertama tama ia meraih kitab pusaka peninggalan Raja seruling yang berada dalam sakunya lebih dahulu, setelah menemukan bahwa kitab itu masih ada disana, rasa tegangnya agak mengendor, perlahan-lahan dia bangkit lalu menghembuskan napas panjang.
Tubuhnya terasa segar sekali, rasa penat dan lelah sama sekali lenyap tak berbekas, bahkan luka dalam yang diderita pun sudah sembuh kembali seperti sedia kala, kesemuanya itu membuat hatinya tercengang, pikirnya di dalam hati.
“Bukankah aku sedang mengatur pernapasan ditepi sungai dan kepalaku dipukul orang keras2? kenapa sekarang berada disini? dimanakah kakek berambut putih itu? kemana perginya dia?”
Setelah berpikir sebentar, pemuda itu merasa bahwa kesemuanya itu adalah hasil perbuatan dari kakek berambut putih, hanya ia tak tahu apa sebenarnya tujuan kakek itu.
Daerah disekeliling tempat itu tertutup oleh dinding bukit yang menjulang keangkasa di bawah sorot cahaya sang surya tampaklah setiap sudut tempat itu terlihat jelas. Kecuali sebuah rumah gubuk yang berada disitu tidak nampak benda apapun.
Siauw Ling teliti lagi daerah di sekitar sana ditemuinya bunga yang tumbuh disana benaneka warna dan macam ragamnya banyak sekali, bunga bunga itu jelas ditanam orang dari luar lembah.
Sekarang Siauw Ling mulai merasa bahwa kemungkinan besar rumah gubuk itu adalah tempat tinggal dari kakek berambut putih itu.
Berpikir sampai disana perlahan-lahan dia maju kedepan dan mendekati rumah gubuk tadi. Pintu pagar terbuka lebar namun tak nampak sesosok bayangan manusiapun berada disana.
Siauw Ling mendehem ringan, kemudian berkata, “Loo cianpwee atas cinta kasih yang telah cianpwee berikan kepadaku aku merasa amat berterima kasih sekali”
Siapa tahu suasana masih tetap sunyi senyap tak kedengaran suara sedikitpun.
Siauw Ling segena pertinggi suaranya dan benseru kembali, “Boanpwee harus pergi, bolehkah aku berjumpa lagi dengan dirimu?”
Kali ini ucapan tersebut dipancarkan dengan hawa yang penuh membuat suaranya mendengung keudara dan memantul keempat penjuru.
Tetapi suasana tetap sunyi senyap dan tak kedengaran suara jawaban..,,,
Satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya, segera pemuda itu berpikir, “Ia pernah beritahu aku bahwa dia hendak tinggalkan tempat ini untuk berangkat ke negeri Thian tok, apakah ia sudah berangkat?”
Berpikir demikian ia lantas melangkah balik ke dalam ruangan gubuk itu.
Suasana dalam ruangan bersih dan terang tak nampak debu yang menempel disana. Cuma tak nampak sesosok bayangan manusia pun di tempat itu.
Dengan sorot mata yang tajam Siauw Ling menyapu sekejap ruangan tadi, dia lihat di atas sebuah meja kayu terletak dua buah Kitab tipis, di atas kitab itu terletak pula secarik kertas.
Ketika kertas itu diambil maka terbacalah isinya yang berbunyi,
“Untuk membantu engkau menembusi urat penting yang menguasai mati hidup, aku telah berangkat dua jam lebih lambat dari rencana semula, saat keberangkatanku tak bisa diundur lagi, karena itu kutinggalkan dua jilid ilmu silat sebagai tanda mata bagimu.
Tertanda: Sahabat dimasa tua.
Ditinjau dari tinta yang belum kering, hal itu menunjukkan kalau kakek tua berambut putih itu berlalu belum lama.
Diam-diam Siauw Ling menghela napas panjang, pikirnya, “Bila aku mendusin setengah jam berselang, mungkin dapat kutemui lagi orang itu”
Sinar matanya segera dialihkan ke atas kitab yang tertumpuk di atas meja, terbacalah beberapa huruf besar berwarna merah yang ertera di atas kitab itu,
“Inti sari Hoa sam Kiam hoat, ditu1is oleh Tam In Cing.”
Hampir saja Siauw Ling tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Dia kucak-kucak matanya dan memperhatikan lebih seksama lagi, sedikitpun tidak salah, di atas kitab itu tertulis huruf-huruf tersebut dengan jelas dan nyata,
“Inti sari Hoa san Kiam hoat”
Secara lapat2 Siauw Ling teringat kembali akan sikap It-bun Han Too yang pernah menyembah dihadapan jenazah seorang kakek tua berjubah hijau waktu berada dalam Istana terlarang waktu itu dia sebut kakek tersebut sebagai Tam In Cing. Bukankah kitab ini adalah hasil peninggalannya?
Satu ingatan lain dengan cepat berkelebat pula dalam benaknya.
“Oooh… jangan2 kakek tua itu adalah jago lihay yang berhasil masuk ke dalam istana terlarang lebih dahulu serta mengamb1 pergi kitab ilmu silat peninggalan dari sepuluh tokoh sakti itu?”
Berpikir sampai disana, ia lantas berseru tertahan
“Oooh…sayang…sayang… kenapa aku lupa menanyakan nama dari jago lihay itu? keadaanku benar-benar bagaikan punya mata tak berbiji…”
Ketika teringat kembali akan surat yang ditinggalkan itu dia segera memeriksanya kembali, namun disitu kecuali tercantum kata sahabat dimasa tua, tiada nama lain lain yang tertinggal.
Siauw Ling menghembuskan napas panjang pikirnya, “Dengan orang ini aku tiada hubungan dan kenalpun baru kemarin malam, sungguh tak nyana ia telah meninggalks dua buah kitab pusaka yang tak ternilai harganya itu kepadaku. Bahkan tidak meninggakan pula namanya…. kebesaran jiwa orang ini benar-benar mengagumkan.”
Setelah termangu mangu beberapa saat lamanya, perlahan-lahan dia angkat kitab pusaka dari Tam In Cing itu dan memeriksa kitab yang kedua, terbaca olehnya pada halaman kitab yang kedua tercantum beberapa huruf besar yang berbunyi,
“Sian ci Sinkang ditulis oleh: Bu Siang murid dari partai Siau-lim”
Dalam hati Siauw Ling segera berpikir, “Aku dengar suhu pernah berkata bahwa ilmu sentilan jari Sian ci sinkang dari kuil Siau-lim adalah sejenis kepandaian yang maha dahsyat, tak nyana kakek tua itu rela meninggalkannya untukku!”
Berpikir demikian ia lantas membuka kitab tadi dan membaca isinya pada halaman pertama, dimana tertulislah kata-kata yang berbunyi,
“Aku sudah tahu bahwa nasibku akan berakhir di dalam istana terlarang, aku lihat semua rekan senasib sedang duduk dikursi sambil menulis ilmu silatnya ke atas kitab catatan, kami semua berharap agar dikemudian hari ada orang yang masuk ke dalam istana terlarang dan mendapatkan kitab catatan ilmu silat itu, dari pada ilmu sakti yang dilatih selama banyak tahun dengan susah payah musti lenyap dengan begitu saja…..”
Diam diam Sian Ling menghela napas panjang, pikirnya: Ahli bangunan bertangan sakti Pan It Thian mendirikan istana terlarang dengan tujuan meringkus semua jago lihay nomor wahid di kolong langit hingga dia bisa merajai dunia tanpa tandingan, siapa tahu diri harus mati lebih dulu di bawah kerubutan para jago lihay sampai sampai ilmu silatpun tak sempat ditinggalkan, mencelakai orang seperti mencelakai diri sendiri, siapa tahu kalau nasibnya jauh lebih buruk….”
Dia membaca lebih jauh isi kitab tadi.
“Tapi ilmu silat darik partai Siau-lim kami luas bagaikan samudra, tak bisa dibandingkan dengan perguruan-perguruan lain, kepandaian yang kumiliki tak dapat terlepas dari sucouw kami turun temurun, sebaliknya kalau aku tidak meninggalkan ilmu apa apa hal ini juga patut disayangkan maka setelah berpikir tiga kali akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan ilmu sentilan jari Sian ci sinkang untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang, ilmu tersebut mudah dipelajari dan tak usah meraba dengan susah payah. dalam waktu singkat tentu ada hasil yang berhasil dicapai.”
Siauw Ling menengadah dan menghembuskan napas panjang, pikirnya, “Ia tinggalkan inti sari ilmu sentilan Sian sinkang, rupanya apa yang tercatat merupakan pengalaman yang telah diperoleh selama mempelajari kepandaian tersebut, kenapa aku tidak berusaha pula meyakinkan ilmu ini dalam waktu singkat”
Berpikiir demikian, ia lantas mundur dua langkah ke belakang dan menyembah dua kali terhadap kitab catatan tersebut, katanya, “Ini hari aku berhasil mendapatkan kitab pusaka peninggalan taysu hal ini benar-benar merupakan suatu peruntungan bagiku dikemudian hari bila ada kesempatan kitab ini pasti akan kukembalikan kepartai Siau-lim agar kepandalan sakti yang telah taysu dalami selama puluhan tahun ini bisa dimanfaatkan pula oeh semua anak murid partai Siau-lim!”
Selesai berdoa ia membuka kitab itu dan dibacanya dengan seksama. Dalam kitab ilmu silat tersebut, Bu-siang taysu kecuali mencatat cara mempelajari ilmu Sian ci sinkang, tercantum pula penga1amanna selama puluhan tahun dalam mempelajari kepandaian tersebut. Kiranya Bu siang taysu adalah murid kuil Siau-lim dari angkatan “Bu” yang paling berbakat dan paling cerdik. Setelah terpilih untuk mempelajari ilmu silat partainya ia pernah meninjau sejarah partai Siau-lim sejak seratus tahun berselang, diantara jangka waktu itu ada dua belas orang pernah memilih untuk mempelajari ilmu sentilan Sian-ci sinkang, tapi mereka semua mengalami kegagalan ditengah jalan dan tak seorangpun berhasil menguasainya dengan benar, bahkan ada dua orang diantaranya karena malu bertemu dengan gurunya, dalam gusar dan putus asa telah melakukan bunuh diri.
Setelah mengetahui akan kejadian tersebut timbulah tekad dalam hati kecil Bu Siang taysu untuk mempelajari ilmu Sian ci sinkang tersebut.
Waktu itu ada seorang angkatan tua dari Kuil Siau-lim yang memberi petunjuk kepadanya agar memilih kepandaian silat yang lain saja, tetapi tekadnya telah bulat dan ia bersikeras untuk memilih kepandaian tadi, dalam keadaan apa boleh buat akhirnya ia diijinkan pula.
Di dalam suatu ruang rahasia yang terpisah dengan orang luar, Bu Siang taysu pusatkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk mempelajari kepandaian itu, tapi lima tahun kemudian, belum ada hasil apapun yang berhasil didapatkan.
Pada saat itulah dia baru menyadari bahwa kepandaian tersebut adalah kepandaian yang membutuhkan kesadaran yang amat besar untuk mempelajarinya kecuali membutuhkan pula tenaga dalam yang sempurna.
Karena itu selama tiga tahun dia memperdalam tenaga dalamnya lebih dahu1u menanti hawa murninya sudah mencapai kesempurnaan ia baru mempelajari kembali ilmu tadi. Lima tahun lewat dengan cepat dan hasil yang didapat baru sedikit sekali, tiga belas tahun kemudian ilmu tersebut baru boleh dibilang dikuasai penuh olehnya
Membaca sampai disini diam diam Siauw Ling tercekat juga hatinya, ia berpikir, “Kalau aku harus membutuhkan waktu selama puluhan tahun pula untuk melatih kepandaian ini, mungkin keadaan sudah tidak mengijinkan lagi”
Sesudah menenangkan hatinya ia membaca lagi lebih jauh.
“Setelah aku pelajari kepandaian tersebut barulah kusadari bahwa dibalik ilmu tadi sebenarnya mempunyai suatu rabasia yang amat besar. Jika rahasia itu tak dapat ditemukan maka sukar untuk meyakinkan ilmu tadi hingga mencapai puncak kesempurnaan sayang sekali para lootiang pada tahun tahun sebelumnya tak seorangpun yang berhasil memecahkan rahasia itu, hinggga banyak diantaranya mengalami kegagalan…..
“Aku tak bisa menduga akhirnya kitab ini bakal terjatuh ketangan siapa akupun tak ingin jerih payahku selama puluhan tahun ikut musnah dan terkubur bersama diriku dalam Istana Terlarang ini. Semoga budha yang maha pengasih melindungi kami sehingga orang yang berhasi1 dapatkan kitab ini bisa mengamalkan kepandaiannya untuk kebajikan serta membasmi kaum durjana dari muka bumi”
Ketika dibaca lebih lanjut isinya merupakah rahasia cara mempelajari kepandaian sakti tersebut, sebuah keterangan dan penjelasan tercantum dengan rapi dan cermat sekali.
Siauw Ling jadi kesemsem dan seluruh perhatiannya terhisap ke dalam isi kitab tadi tanpa dia sadari pemuda itupun mulai memelajari kepandaian sakti itu.
Isi kitab itu tipis sekali dan di dalam waktu singkat telah habis dibaca. Namun di bawah penjelasan dari Bu Siang taysu yang begitu teliti secara baik dalam mengatur napas, mengerahkan tenaga serta hal-hal yang sepelepun tercantum nyata, Siauw Ling benar-benar terhisap perhatiannya, tanpa disadari ia telah mempelajari kepandaian tersebut sampai berpuluh-puluh kali banyaknya.
Menanti hari sudah gelap ia baru sadar buru-buru kitab itu disimpan ke dalam saku dan segera melangkah keluar dari ruangan itu.
Ketika mengetahui bahwa senja telah menjelang tiba, Siauw Ling segera mendaki ke atas puncak sebuah bukit, dari situ ja menentukan sebuah arah dan buru-buru kembali kepuncak In-wan-hong.
Menanti ia tiba dipuncak In-wan-hong, malam telah menjelang kembali, waktu menujukkan hampir kentongan pertama.
Ditengah kegelapan tampaklah seorang gadis muda berbaju putih berdiri ditepi jurang, rambut dan gaunnya berkibar terhembus angin malam yang kencang.
Satu ingatan segera berkelebat dalam benak Siauw Ling, buru-buru ia maju kedepan sambil menegur
“Apakah Peng-ji?”