Bayangan Berdarah Jilid 30 (Tamat)

JILID 30 (Tamat)

Walaupun dalam hati Tok Chiu Yok Ong merasa sangat gusar, tetapi ia tidak sanggup untuk mengumbarnya keluar, terpaksa sambil mendengus dingin serunya kembali, “Siauw-heng, apakah hanya seorang gadis pun dapat menghalangi perjalanan kita?”

“Selamanya cayhe utamakan adat istiadat lebih dahulu sebelum menggunakan kekerasan….”

Tiba-tiba ia pertinggi suaranya dan bersru, “Nona bila kau ada perkataan cepatlah diutarakan, seandainya tuan rumah gua ini tidak sudi berjumpa dengan kami, terpaksa kami sekalian akan menerjang masuk dengan kekerasan.”

“Apabila kalian berani maju selangkah lagi kedepan, aku segera akan menggerakkan alat2 rahasia yang dipasang disekitar sini.”

Dengan cermat Siauw Ling membedakan arah suara gadis itu , setelah menentukan arah yang tepat mendadak ia membentak.

“Nona, ber-hati2lah….”

Ia enjotkan badan dan menubruk kemuka dengan hebatnya.

Terasa cahaya dingin berkelebat lewat, angin sedang men-deru2 menyambar kemuka, bersamaan itu pula dari dinding lorong berkumandang suara gemericikan yang nyaring.

Baik si Raja Obat Bertangan Keji maupun Sepasang Pedagang dari Tiong Chiu semuanya merupakan jago-jago kawakan yang sudah punya pengalaman luas dalam menghadapi musuh tangguh, mendengar suara tersebut kewaspadaan mereka dipertingkat, seluruh perhatian dipusatkan ke arah depan dan dengan langkah lebar menerjang kemuka.

Siauw Ling ayunkan telapak kanannya melancarkan segulung angin pukulan yang maha dahsyat, pedang yang menyerang datang dari sisi tubuhnya seketika terbendung. sementara jari kirinya menotok kemuka melancarkan sebuah serangan balasan.

Terdengar jeritan tertahan yang amat nyaring menggema dalam lorong, tiba-tiba gadis itu menarik kembali pedangnya dan melarikan diri dari situ.

Melihat musuhnya ngacir, Siauw Ling segera mengejar kedepan walaupun harus menempuh bahaya.

Tok Chiu Ong serta Tiong Chiu Siang Ku pun pada saat yang bersamaan dengan suatu gerakan tubuh paling cepat mengejar ke belakang tubuh Siauw Ling.

Blummm! Blummm! ditengah dua ledakan dahsyat, dari atas atap lorong se-konyong2 meluncur jatuh dua buah batu cadas yang luar biasa besarnya.

Seandainya Siauw Ling tidak melancarkan serangan dahsyat sehingga memaksa gadis itu rada lambat menggerakkan alat rahasia tersebut, sekalipun Tok Chiu Yok Ong serta Tiong Chiu Siang Ku memiliki gerakan tubuh yang amat cepatpun, tak bisa dihindari lagi mereka pasti akan terluka oleh tindihan batu cadas itu.

Si Sie poa emas Sang Pat berpaling memandang sekejap ke arah batu cadas tersebut. tampaklah seluruh lorong telah tersumbat penuh oleh batu tersebut, asal gerakan mereka lebih lambat sedetik saja niscaya dia serta Tu Kioe sudah mati konyol.

Terkenang peristiwa yang baru saja berlangsung, tak kuasa lagi ia berseru lirih, “Sungguh berbahaya! sungguh berbahaya.”

Sang-heng, harap kau memimpin jalan dengan andalkan cahaya mutiara tersebut.” terdengar Tok Chiu Yok Ong berseru dengan suara cemas. Keadaan yang kita hadapi sekarang terlalu kritis, apabila mereka sempat menggerakkan seluruh alat rahasia yang dipasang disekitar lorong ini, niscaya kita bakal celaka. Mari kita terjang terus ke dalam dan tak perlu sungkan2 lagi”.

“Ucapan Yok Ong sedikitpun tidak salah” sahut Sang Pat seraya meloncat kehadapan Siauw Ling, kemudian dari sakunya ia ambil keluar senjata sie-poa emasnya dan melangkah maju kedepan dengan langkah lebar.

“Saudara Sang, kau harus ber-hati2″ teriak Siauw Ling memberi peringatan.

“Tak usah toako kuatirkan.

Belum habis ia menjawab, tiba-tiba tercium bau amis berhembus datang dari arah depan.

Dibawah sorotan cahaya mutiara, tampaklah seekor ular kecil laksana anak panah meluncur datang dengan kecepatan luar biasa.

Dengan sebat Sang Pat menghentikan langkahnya, senjata Sie-poa emas yang telah dipersiapkan ditanganpun segera dibabat ke arah muka.

Cahaya putih berkelebat lewat, tahu2 pedang Siauw Ling telah bergerak lebih duluan…. Crasss….! ular kecil yang meluncur datang dengan amat cepatnya itupun sudah terbabat jadi dua bagian.

Pada saat itulah dari permukaan tanah berkumandang datang suara gemerisik yang amat nyaring, pelbagai jenis ular beracun yang jumlahnya mencapai ratusan ber-sama2 bergerak datang….

Luas lorong gua itu tidak mencapai beberapa depa, dengan kedatangan rombongan ular beracun ini maka dalam waktu singkat seluruh ruangan kosong dalam lorong itupun telah dipenuhi dengan binatang2 tersebut.

Dalam keadaan seperti ini, kendati Sang Pat memiliki pengalaman yang luas pengetahuan yang banyak serta akal yang lihaypun tak urung dibikin gelagapan juga sehingga untuk beberapa saat ia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Laksana kilat Siauw Ling melancarkan sebuah serangan udara kosong ke arah depan, angin pukulan yang dahsyat dengan cepat menggulung rombongan ular yang berada dipaling depan.

Termakan angin pukulan yang maha dahsyat tadi, beberapa puluh ekor ular berbisa itu mencelat dan hancur binasa. namun dengan adanya serangan ini ular2 yang ada dibelakangnya jadi gusar, mereka sama2 menerjang kedepan dengan buasnya.

“Harap cuwi sekalian mundur ke belakang!” hardik Tok Chiu Yok Ong keras2, tangannya segera mengayunkan sebungkus obat ke arah rombongan ular itu.

Sang Pat maupun Siauw Ling mengerti bahwasanya si raja obat tersebut sedang melepaskan racun kejinya untuk mematikan ular2 beracun itu. buru-buru mereka mundur ke belakang.

Tampaklah tangan kanan Tok Chiu Yok Ong diayunkan kedepan berulang kali, dalam sekejap mata dihadapannya terbentuk sebuah garis bubuk beracun yang panjangnya mencapai tiga depa.

Tatkala rombongan ular berbisa itu tiba disisi garis racun tersebut, tidak salah lagi mereka segera berhenti bergerak dan tidak berani maju lebih kedepan, makin lama rombongan ular yang berkumpul disana makin banyak, kurang lebih seperminum teh kemudian sudah ber-puluh2 lapisan ular berbisa yang berkumpul disana.

Menyaksikan rombongan ular berbisa yang ber-lapis2 itu, dalam hati Siauw Ling berpikir, “Ular2 yang ada didepan sekalipun berhenti karena terhadang oleh garis racun, namun rombongan ular yang ada dibelakangnya bergerak terus tiada hentinya, jelas dibelakang rombongan ular ini pasti terdapat suatu kekuatan yang mengendalikan mereka dan memaksa ular2 tersebut meluruk terus tiada hentinya apabila aku ingin melenyapkan rombongan ular berbisa ini, per-tama2 aku harus lenyapkan dulu kekuatan yang mengendalikan rombongan ular itu….”

Seluruh perhatiannya segera dipusatkan jadi satu untuk mendengarkan suasana disana dengan seksama, sedikitpun tidak salah sianak muda itu dapat mendengar suara seruling yang sangat aneh sedang berkumandang datang tiada hentinya.

Setiap kali irama seruling tersebut makin santar, maka rombongan ular yang menerjang datangpun semakin dahsyat, se-olah2 mereka sedang berusaha untuk melewati daerah terlarang itu.

Mungkin racun yang disebarkan si raja obat tersebut merupakan racun keji yang khusus merupakan tandingan ular2 berbisa itu, sehingga tak seekor ularpun berani melewati garis racun tadi untuk menerobos kemari.

Melihat rombongan ular berbisa yang berkumpul disitu makin lama semakin banyak, bahkan bentuk ular2 itu sangat kukoay dan aneh sekali sehingga bau amis yang tebal tersiar datang tiada hentinya, Sang Pat mengerutkan sepasang alisnya.

“Yok Ong!” ujarnya. “Rombongan ular berbisa yang berkumpul disini makin lama semakin banyak, apabila kita harus bertahan terus dalam keadaan begini entah sampai kapan kita baru berhasil melewati lorong ini, bukankah Yok Ong punya kepandaian untuk membendung ular? apakah kaupun memiliki kepandaian untuk mengundurkan rombongan ular?”

“Dewasa ini hanya ada satu cara yang bisa kita lakukan, hanya saja entah cara ini bisa digunakan atau tidak?”

“Perduli bisa digunakan atau tidak mari kita coba dulu.”

Belum sempat Tok Chiu Yok Ong menyahut, tiba-tiba tampaklah rombongan ular berbisa itu sama2 bergelinding kesamping dan membuka sebuah jalan ditengah lorong.

Sang Pat tercengang. ia angkat mutiaranya tinggi2 sehingga cahaya terang bisa memancar lebih jauh. Tampaklah seekor ular aneh yang bersisik emas dengan panjang beberapa kaki serta berjengger merah diatas kepalanya sedang bergerak datang dengan cepatnya.

Mungkin ular ini merupakan raja diantara ular2 lain, tatkala ia sedang bergerak datang, rombongan ular lainnya sama2 mendekam diatas tanah dan tidak berkutik barang sedikipun jua.

“Ular aneh ini berjengger diatas kepalanya. mungkin dialah diantara jenis ular, apabila kita dapat membinasakan ular tersebut mungkin rombongan ular lainnya dapat pukul mundur” seru Sang Pat dengan cepat.

Siauw Ling segera alihkan sinar matanya ke arah rombongan ular yang bersusun itu , diam2 ia merinding pikirnya, “Bulan berselang tatkala aku terkurung di dalam perkampungan Pek Hoa San Cung, Shen Bok Hong pernah mengurung kami dengan barisan ular, sekalipun malam itu barisan ular yang dipergunakan sangat banyak, namun kehebatannya tak bisa menangkan kehebatan barisan ular pada saat ini, ditinjau dari jenis ular yang berkumpul disini saat ini, sebagian besar merupakan ular2 beracun yang jarang ditemui, terutama sekali raja ular berjengger merah itu, tampaknya sangat buas dan hebat. Apabila kubasmi ular itu sejak sekarang mungkin saja rombongan ular lainnya bisa dipukul mundur, tapi bila seranganku mengenai sasaran kosong, mungkin saja akan menggusarkan raja ular itu sehingga memaksa rombongan ular lainnya akan melewati garis racun dengan nekad. Apabila sampai terjadi keadaan begini…. waaah…. bakal runyam. Namun keadaan mendesak, jalan mundurpun tak ada, agaknya aku harus keraskan kepala untuk menerima tantangan dari rombongan ular berbisa ini….”

Berpikir sampai disitu, hawa murninya diam2 dikumpulkan ditangan, belum sempat ilmu jari Siauw Loo Sin Cie nya dilepaskan mendadak terdengar Tok Chiu Yok Ong bergumam seorang diri, “Ooouw…. seekor ular aneh yang sangat berharga sekali”.

“Apakah Yok Ong sedang memuji ular aneh berjengger merah itu?” tanya Sang Pat.

“Sedikitpun tidak salah. barang siapa dapat menghisap darah segar dari ular tersebut, maka paling sedikit tenaga lweekangnya akan peroleh kemajuan bagaikan hasil latihan selama sepuluh tahun”.

Tiba-tiba ia mendongak dan tertawa ter-bahak2, terusnya ;

“Apabila dibawah air terjun dibelakang gunung sana benar2 terdapat jamur batu berusia seribu tahun yang dapat menyembuhkan penyakit putriku, ditambah pula dengan darah ular ini, bukan saja kelemahan tubuh putriku akan lenyap bahkan ia akan berganti rupa, dalam waktu singkat dia akan muncul sebagai seorang jago Bu-lim yang tiada tandingannya dikolong langit siapapun tak akan sanggup menyambut kehebatan tenaga sin-kangnya”.

Dalam pada itu terdengar raja ular berjengger merah itu mengeluarkan suara kokokan yang aneh bersamaan dengan suara tersebut rombongan ular yang semula mendekam tak berkutik tiba-tiba meronta bangun kembali.

Tiba-tiba seekor ular aneh berkepala segi tiga meloncat keluar dari rombongan dan menerjang ke dalam garis racun, namun begitu menyentuh racun tersebut badannya segera kaku dan mati.

Dengan tindakan ular tadi, rombongan ular lainnya segera mendesis saling bersautan, kembali ber-ratus2 ekor ular menerjang masuh ke dalam garis racun tersebut.

Entah racun keji apa yang telah digunakan Tok Chiu Yok Ong, hasilnya ternyata luar biasa sekali, setiap kali tubuh ular2 itu menyentuh bubuk racun tadi, seketika itu juga binatang berbisa itu keracunan dan mati seketika itu juga.

Namun suatu kejadian aneh telah berlangsung pula, berada dihadapan raja ular berjengger merah tadi ternyata rombongan ular berbisa itu telah jadi binatang2 yang tidak takut mati, rombongan depan mati binasa rombongan berikutnya segera menyusul kedepan, dalam sekejap saja bangkai ular2 tersebut telah menutupi garis racun tersebut, sehingga dengan demikian terbentuklah sebuah jembatan penyebrang yang terdiri dari bangkai ular.

Menyaksikan taktik ular berbisa itu, kembali Tok Chiu Yok Ong ayunkan tangan kanannya kedepan, segenggam bubuk beracun segera tersebar kembali diatas garis racun tadi, sementara itu dengan ilmu menyampaikan suara ia berseru, “Bubuk beracun yang loohu miliki hampir habis digunakan, apabila sampai terjadi keadaan itu maka terpaksa cuwi sekalian harus andalkan kepandaian silat untuk menghadapi ular2 itu. Menurut pandangan loohu, satu2nya jalan untuk pukul mundur rombongan ular ini hanya terletak diatas tubuh raja ular berjengger merah tersebut”.

Dalam pada itu raja ular berjengger merah tadi bergerak kedepan melewati jembatan penyebrang yang terdiri dari bangkai ular tersebut.

Bersamaan itu pula rombongan ular lainnya pun bergerak pula dari belakang mengikuti tindakan raja ularnya.

“Apakah Yok Ong mempunyai akal untuk menghadapi si raja ular itu?” bisik Sang Pat.

“Seandainya cuma raja ular itu belaka, loohu masih sanggup untuk menghadapinya, tapi pada saat ini ia diiringi oleh rombongan ular yang sebagian besar terdiri dari ular2 beracun, aku rasa sulit bagiku untuk turun tangan”.

Tiba-tiba Siauw Ling ayunkan tangannya, segulung angin tajam menyambar keluar dari ujung jarinya langsung mengancam raja ular tersebut.

Serangan ini dilancarkan amat cepat, lagipula angin serangan dahsyatnya luar biasa, sasaran yang diancam bukan lain adalah jengger diatas kepala raja ular itu.

Rupanya si raja ular tersebut mempunyai firasat yang tajam, tatkala angin serangan menyambar datang badannya segera menyusut dan menghindar kesamping.

Traaak…. traaak….! dua ekor ular berbisa mengiringi dibelakang raja ular berjengger merah itu seketika termakan serangan dan binasa seketika itu juga.

Menyaksikan gerakan raja itu, Siauw Ling tertegun, gumamnya: “Sungguh aneh sekali, apakah ular beracun itupun pandai bersilat?”

“Walaupun ular itu tak pandai bersilat, tetapi firasat serta ketajaman pendengaran ular ini sudah mencapai titik yang luar biasa” sahut Tok Chiu Yok Ong menerangkan.

Untung sekali Tok Chiu Yok Ong telah membuat garis racun kembali, maka gerakan raja ular berjengger merah serta anak buahnyapun kembali terhadang.

“Aaah; benarkah ada kejadian seperti ini” seru Siauw Ling. Sreet! pedangnya segera dicabut keluar, “Rupanya aku harus berusaha membinasakan raja ular itu terlebih dahulu kemudian baru berusaha untuk menghadapi rombongan ular berbisa itu, lebih baik janganlah mengusik raja ular berjengger merah itu lebih dahulu sehingga mengakibatkan amarahnya.

“Asal sekali babat kupenggal tubuhnya jadi dua, bukankah urusan jadi beres?”

“Menurut penglihatan loohu, kulit ular ini sangat keras dan kebal terhadap bacokan golok maupun pedang”.

“Benarkah terhadap peristiwa semacam ini!” tiba-tiba Siauw Ling melangkah maju dua langkah kedepan.

“Kalau kau tak percaya, tanyakan saja kepada sepasang pedagang dari Tiong Chiu.

Sinar mata Siauw Ling segera beralih ke atas wajah Sang Pat.

“Benarkah ada kejadian seperti ini!” tanyanya.

“Dikolong langit memang terdapat sejenis ular aneh yang kebal terhadap segala bacokan golok maupun pedang. sedangkan mengenai raja ular berjengger merah ini benarkah kebal terhadap bacokan senjata, siauw-te sendiri kurang begitu jelas.”

“Tentu saja ular itu kebal terhadap senjata.” Yok Ong segera menambahkan dari samping.

“Sekalipun ular itu kebal terhadap senjata, tak mungkin bukan bagi kita untuk bertahan terus dalam posisi seperti ini? apakah kita harus menunggu sampai rombongan ular itu berhasil melampaui garis racun kemudian baru turun tangan menghadapinya?”

“Loohu sih mempunyai akal untuk menghadapi si raja ular itu!”

“He he he he saat apakah saat ini, keadaan apakah keadaan kini? buat apa kau jual lagak merahasiakan akal baumu itu ?” jengek Tu Kioe sambil tertawa dingin.

“Lebih baik loohu terangkan lebih dahulu perkataanku.”

“Perkataan apa?”

“Apabila Loohu berhasil menangkap raja ular berjengger merah ini, maka raja ular itu akan menjadi milik loohu.”

“Hanya masalah kecil itu saja buat apa dirundingkan lagi?” sela Siauw Ling. “Asal kau bisa mengusir binatang itu, sekalipun kau mulai semua ular yang ada disinipun boleh kau ambil semua”.

“Loohu ada maksud demikian, tentu saja ada baiknya kuterangkan lebih dahulu”.

Tu Kioe segera tertawa dingin dan menjengek ;

“Dengan menampuh bahaya kami datang kemari, maksudnya bukan lain adalah untuk mencarikan obat mustajab bagi putrimu kalau memang anda berbuat begitu lebih baik, kalau kita undurkan diri dari lorong ini, daripada menempuh bahaya lebih jauh”.

“Haaa…. haaa…. pada saat serta keadaan seperti ini, kendati cuwi sekalian ada maksud hendak mengundurkan diri dari dalam lorong gua inipun aku rasa tak mungkin bisa terpenuhi harapan tersebut.”

Tiba-tiba ia ayunkan tangannya kedepan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat segera menyapu kedepan, diikuti sang tubuhnya menerjang kedepan langsung merangsek ke arah raja ular berjengger merah itu.

Mula2 raja ular berjengger merah itu tertekan dulu oleh pukulan udara kosong dari Tok Chiu Yok Ong, badannya segera berjumpalitan beberapa kali diatas tanah. Oleh tindakan tersebut sifat buasnya langsung terumbar, menyaksikan si Raja Obat Bertangan Keji mendesak datang mulutnya segera dipentang lebar2 siap memagut tubuh musuhnya.

Tok Chiu Yok Ong tidak jadi gugup oleh ancaman tersebut, dengan sebat tangan kanannya diayun kedepan, sebutir pil yang telah dipersiapkan segera dilemparkan ke dalam mulut raja ular berjengger merah itu, sementara tubuhnya dengan cepat meloncat mundur kembali sejauh lima langkah.

Klukluuk….! tiba-tiba si raja ular berjengger merah itu mengabitkan ekornya keras2, rombongan ular berbisa yang berada dibelakangnya seketika terhajar telak sehingga ber-puluh2 ekor banyaknya mati hancur mulutnya dipentang lebar2 dua ekor ular berbisa berwarna hijaupun seketika disambar lalu ditelah ke dalam perutnya mentah2.

Rupanya rombongan itu menaruh rasa jeri yang bukan kepalang terhadap si Raja ular itu, walaupun mereka diganyang, digigit dan ditelan namun tak seekorpun diantara ular2 itu berani melawan, buru-buru mereka mengundurkan diri ke belakang.

Menyaksikan pembantaian besar2an terhadap ular berbisa oleh si raja ular berjengger merah itu, diam2 Siauw Ling merasa ngeri sehingga tak tahan ia menghela napas panjang.

Irama seruling yang mengendalikan rombongan ular berbisa itu mendadak berhenti bergema jelas disebabkan kekalapan si raja ular berjengger merah itu, yang mengakibatkan rombongan ular2 berbisa itu tak mau dikendalikan lagi oleh irama seruling tersebut.

Ketika menyerang datang tadi rombongan ular itu bergerak dengan cepatnya, kini tatkala mengundurkan diri gerakan merekapun tak kalah gesitnya, dalam sekejap mata dalam lorong tersebut cuma tertinggal si raja ular berjengger merah itu belaka.

Waktu itu raja ular berjengger merah tadi sudah tidak segagah dan seganas tadi lagi. dengan tenang ia berbaring diatas tanah tanpa berkutik barang sedikitpun jua.

Tok Chiu Yok Ong memperhitungkan daya kerja obat yang telah mulai menunjukkan pengaruhnya, per-lahan-lahan didekatinya raja ular tadi, tangan kirinya ambil keluar sebuah kantung kain dalam sakunya sementara tangan kanannya mencengkeram ular tersebut.

Bagaikan terkena obat bius, raja ular berjengger merah itu sama sekali tidak berkutik maupun menunjukkan reaksi apapun ketika si raja obat bertangan keji mencengkeram tubuhnya dan memasukkannya ke dalam kantong kain.

Menyaksikan itu si raja obat bertangan keji menunjukkan wajah kegirangan tatkala berhasil memasukkan raja ular berjengger merah itu ke dalam kantong kain, dalam hati Sang Pat segera berpikir, “Rupanya raja ular berjengger merah ini mempunyai kegunaan yang sangat besar…. kalau tidak ia tak akan menunjukkan wajah yang begitu kegirangan….”

Maka ia lantas berseru, “Yok Ong, kiong hie…. kiong hie…. kau telah berhasil menangkap raja ular berjengger merah itu!”

“Haa…. haa…. terima kasih, terima kasih….”

Rupanya ia tidak ingin mengutarakan keluar rahasia dalam hatinya, tapi akhirnya ia tak dapat menahan diri dan melanjutkan kembali kata2nya, “Dlaam sejilid kitab kuno yang kumiliki, secara kebetulan sekali loohu berhasil membaca catatan mengenai Raja Ular berjengger merah ini sungguh tak nyana ini hari aku berhasil menjumpainya”.

“Kalau didengar dari nada ucapan Yok Ong, agaknya raja ular berjengger merah ini merupakan seekor ular yang mustajab serta mahal sekali harganya….” sela Tu Kioe.

“Benda kuno yang mujarab tentu saja punya kegunaan yang besar, terutama sekali binatang yang amat langka ini, berguna sekali bagi kesehatan putriku”.

“Dapatkah digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita putrimu?” tanya Siauw Ling.

Tok Chiu Yok Ong termenung sejenak, kemudian gelengkan kepalanya berulang kali.

“Tidak dapat” sahutnya. “Kecuali kalau kita berhasil mendapatkan jamur batu berusia seribu tahun itu….”

Rupanya ia tidak ingin membicarakan soal raja ular berjengger merah itu lebih jauh, setelah mengikat kencang2 mulut kantong kain tadi serta dimasukkan ke dalam saku kemudian mengebaskan tangannya menyapu bersih garis racun yang ada diatas tanah.

Siauw Ling geser badannya mendahului untuk berjalan dipaling depan, namun Sang Pat segera merintangi jalan perginya sambil berbisik lirih, “Biarkanlah Yok Ong berjalan dipaling depan bukankah dia atau toako adalah sama saja?”

Setelah melalui dua buah tikungan, lorong batu itu mendadak semakin melebar.

Diam2 Siauw Ling memperhitungkan jarak yang telah ditempuh, ia duga pada saat ini mereka telah berada puluhan tombak dilambung bukit karang dan sudah seharusnya telah tiba diruang batu tempat kediaman si kakek tua berpenyakitan itu.

Sementara ia masih termenung, tiba-tiba terdegnar Tok Chiu Yok Ong membentak keras, “Kawanan tikus, berani kurang ajar?”

Tangan kanannya diayun kedepan, laksana kilat ia melancarkan sebuah serangan dahsyat.

Angin pulukan yang maha dahsyat segera saling bertemu diangkasa kesunyian yang mencekam lorong tersebut terdengar angin men-deru2 diseluruh penjuru tempat.

Bersamaan dengan terjadinya bentrokan tadi, berkumandanglah suara teguran dari seseorang dengan suara yang dingin dan kaku, “Kalian semua tanpa sebab tanpa tujuan mendatangi istana batu kami, sebenarnya apa maksud kalian?”

Sementara Tok Chiu Yok Ong hendak menyahut, Siauw Ling telah keburu buka suara lebih dahulu ;

“Untuk menolong selembar jiwa seorang nona cayhe sekalian sengaja datang kemari untuk mengambil sejenis obat. aku rasa maksud tujuan kami tentu sudah disampaikan Song-heng kepada diri heng-thay!”

“Siapakah kau?” kembali suara yang dingin ketus itu berkumandang datang.

“Cayhe Siauw Ling, lima tahun berselang atas pertolongan Song-heng serta seorang heng-thay yang lain cayhe pernah mengunjungi tempat ini.”

“Hmm! panjang benar usiamu! tebing dan jurang sedalam ribuan tombak ternyata tidak sampai menghancurkan tubuhmu.”

Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, dengan cepat ia berseru, “Apakah anda adalah majikan kecil yang pernah berjumpa satu kali dengan aku orang she Siauw pada lima tahun berselang?”

“Sungguh tak nyana kau masih ingat akan peristiwa itu.” orang itu merandek sejenak, tiba-tiba dengan nada ketus sambungnya, “Membabat rumput tidak sampai ke-akar2nya. angin musim semi berhembus lewat, tumbuh kembali sang rumput tersebut. seandainya pada lima tahun berselang anda mati terbanting, maka ini hari dalam istana batuku tak akan terjadi peristiwa semacam ini”.

“Keparat cilik, bisakah kau menggunakan kata2 yang sedikit tahu sopan dan enak didengar?” hardik Tu Kioe penuh kegusaran.

“Siapakah kau?”

“Tu Loo-jie….”

“Sepasang pedagang dari Tiong Chiu yang bernama kosong” sambung sang Pat cepat.

“Loohu adalah si raja obat bertangan keji” Yok Ong menyambung. “Tersohor dalam Bu-lim karena kelihayannya dalam ilmu pertabiban, namun dapat pula mencabut jiwa orang dengan melepaskan racun keji”.

Orang itu termenung beberapa saat lamanya kemudian menyahut ;

“Ooou….” kiranya kalian semua adalah jago-jago Bu-lim yang mempunyai nama besar….”

“Terima kasih, terima kasih, kami….”

“Hmm! tidak aneh kalau kalian congkak, sombong dan tidak pandang sebelah mata terhadap orang lain….” tukas orang itu dengan mempertinggi suaranya.

“Kurang ajar!” bentak Tu Kioe naik pitam. “Bagus cilik, ayoh unjukkan dirimu, mari kita bergerak tiga ratus jurus lebih dahulu….”

“Baik! bila cayhe tidak unjukkan diri nanti kalian anggap aku jeri kepada kalian semua”

Bersama selesainya ucapan tersebut, dari balik tikungan beberapa tombak dihadapan rombongan para jago itu muncul sesosok bayangan manusia.

Sang Pat angkat tinggi2 mutiaranya dan memandang lebih seksama ke arah depan, tampaklah orang yang barusan munculkan diri itu berwajah putih bersih, berambut halus serta memakai baju berwarna hijau.

Melihat munculnya orang itu, Tok Chiu Yok Ong segera ayunkan tangannya siap melancarkan segenggam bubuk racun. Namun tindakan itu segera dihalangi oleh Siauw Ling.

Yok Ong, jangan bertindak gegabah!” serunya lirih.

Sementara itu orang yang berbaju hijau tadi sudah berada enam tujuh depa dihadapan beberapa orang itu, ia lantas berhenti dan berkata dengan nada dingin, “Cuwi sekalian merasa asing terhadap daerah sekitar tempat ini, apabila menderita kalah disini aku takut kalian akan kalah dengan hati tidak puas”.

Tiba-tiba ia angkat tangannya dan bertepuk tangan dua kali.

Tampak cahaya api berkelebat lewat, dari balik tikungan per-lahan-lahan muncul dua orang gadis berbaju hijau yang membawa lampu lentera tinggi-tinggi.

Kedua orang gadis itu memakai pakaian ringkas yang ketat, sebilah pedang panjang tergembol diatas punggungnya.

Dengan kehadiran kedua orang gadis itu, suasana dalam lorong batu itupun dalam sekejap mata jadi terang benderang, setiap benda yang ada disanapun bisa terlihat jelas.

Kedua gadis tadi langsung mendekati pemuda berbaju hijau itu, setelah meletakkan lampu lentera tersebut disana, merekapun putar badan dan mengundurkan diri.

Tok Chiu Yok Ong berpaling melirik sekejap ke arah Siauw Ling, lalu ujarnya: “Mungkin kau masih punya kesabaran untuk menanti, sayang loohu tidak punya kesabaran lagi untuk mengulur waktu lebih jauh,”

Sambil berseru tiba-tiba ia melangkah maju kedepan.

“Kembali!” bentak pemuda berbaju hijau itu tiba-tiba sambil ayunkan tangan kanannya.

Segenggam cahaya berwarna ke-perak2an laksana kilat segera meluncur ke arah depan.

Menyaksikan datangnya ancaman Si Raja Obat Bertangan Keji miringkan badannya untuk menghindar, sementara hatinya merasa amat terperanjat, pikirnya ;

“Sungguh dahsyat tenaga sambitan yang dimiliki orang ini.”

Tampak Siauw Ling menggerakkan pergelangan kanannya, laksana kilat ia cabut keluar pedangnya kemudian dibabat ke arah depan, Ting tang ting tang ditengah suara dentingan yang nyaring, empat batang jarum kecil berwarna ke-perak2an yang memancarkan cahaya tajam segera rontok ke atas tanah.

Bersamaan dengan rontoknya jarum perak tersebut ke atas tanah, pedang Siauw Ling pun telah dimasukkan kembali ke dalam searung.

Tok Chiu Yok Ong berpaling melirik sekejap ke arah Siauw Ling, sedang dalam hati ia memuji tiada hentinya.

“Ilmu pedang yang amat cepat permainan pedangnya benar2 sangat hebat.”

Per-lahan-lahan iapun muncur beberapa tombak ke belakang.

Dalam pada itu Siauw Ling telah maju kedepan sambil menjura katanya, “Sebelumnya cayhe ingin mengutarakan rasa terima kasih buat pertolongan kalian pada diriku pada lima tahun ini, sekalipun cayhe tidak tahu maksud apakah yang terkandung dalam hati ayahmu, namun bagaimanapun juga dia telah menolong selembar jiwaku….”

“Hmm! apabila bukan disebabkan rasa welas kasih dari mendiang ayahku, ini haripun tak akan muncul bibit bencana yang datang bikin keonaran disini.”

“Kehadiran cayhe ditempat ini sama sekali tidak mengandung maksud jahat, harap Heng-thay suka mengijinkan kepada cayhe sekalian untuk berdiam selama setengah harian di dalam gua batu ini. dan paling cepatpun satu jam. setelah itu kami segera akan menarik diri dan tidak akan berdiam lebih lama lagi disini.”

“Heee…. heee…. heee…. hanya andalan kecepatan gerak anda di dalam mencabut pedang serta menyampok rontok senjata rahasia tadi?” jengek orang berbaju hijau itu tertawa dingin.

“Siauw-te sama sekali tiada maksud untuk mempamerkan kepandaian dihadapan Heng-thay.”

“Tapi perbuatanmu itu telah membangkitkan napsu ingin menang dalam hati kecilku.”

Melihat kesombongan orang, Tu Kioe naik pitam, bentaknya ;

“Toako kami mengutamakan kebajikan dan kebenaran ia sudah memohon dengan cara yang baik dan tidak ingin menimbulkan banyak urusan ditempat ini, kau anggap kami benar2 jeri terhadap dirimu?”

“Arak kehormatan tidak mau dicicipi, justru mencari arak hukuman. Eeei…. saudara, aku nasehati dirimu lebih baik janganlah cari kerepotan buat dirimu sendiri, sebab rasanya pada waktu itu pasti tidak enak” sambung Sang Pat pula.

Orang berbaju hijau itu mendongak dan segera tertawa ter-bahak2.

“Haaa…. haa…. kalau ditinjau dari kecepatan gerak Siauw Ling dalam mencabut pedangnya tadi, mungkin ia masih sesuai untuk bertanding melawan diriku, Sedang kalian berdua…. Hemmm! tidak lebih hanya merupakan manusia yang pandai pentang bacot belaka.”

“Bagus! bagaimana kalau aku Tu Kioe mohon beberapa petunjuk darimu terlebih dulu?” tantang Si Pit besi berwajah dingin ini sambil meloncat kedepan.

Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, senjatapun telah dicabut keluar, gelang pelindung ditangan kiri sedang senjata pit bajanya ada di tangan kanan.

Belum sampai badannya menerjang kedepan, terdengar Siauw Ling telah membentak keras, “Saudara Tu, ayoh cepat mundur ke belakang”

Walaupun wwajah Tu Kioe diliputi kegusaran, namun ia tak berani membangkang perintahnya. mendengar bentakan tersebut terpaksa ia tarik kembali senjatanya dan mengundurkan diri ke belakang.

Per-lahan-lahan Siauw Ling melangkah maju tiga langkah kedepan, katanya, “Kecuali saling bergebrak, apakah tiada cara lain yang bisa dilakukan sehingga anda suka mengijinkan kami sekalian berdiam selama setengah hari ditempat ini?”

“Tiada jalan lain lagi….”

“Jadi kalau begitu terpaksa kita harus saling bertempur?”

“Cara sih masih ada satu, hanya saja entah anda suka menyanggupi atau tidak, sebab kalau cuma melulu bicara saja sama sekali tiada berguna”.

“Asal cayhe dapat lakukan pasti akan kuusahakan sedapat mungkin”.

Dengan sepasang mata yang memancarkan cahaya tajam, orang berbaju hijau itu mengawaasi wajah Siauw Ling tajam2, kemudian ujarnya ;

“Kau pasti kenal bukan dengan Gak Siauw Cha….”

Bagaikan dadanya digodam orang dengan martil besar, seluruh tubuh Siauw Ling gemetar ke atas.

“Tidak salah, saat ini nona Gak berada dimana?” segera serunya.

“Kau ingin berjumpa dengan dirinya?” senyuman yang amat menyeramkan berkelebat diatas wajah orang berbaju hijau.

Sedikitpun tidak salah, harap Heng-thay suka memberi petunjuk satu jalan terang bagi diriku”

“Hey orang she Siauw” tiba-tiba Tok Chiu Yok Ong menyela dari samping mereka. “Pada saat ini tujuan kita yang terpenting adalah mengambil obat, janganlah kau lupakan akan janji yang pernah kau ucapkan dihadapan loohu”.

Per-lahan-lahan Siauw Ling berpaling, sinar matanya yang tajam menatap wajah si raja obat itu tajam2, lama sekali ia baru mengangguk.

Sinar matanya segera dialihkan kembali ke arah pemuda berbaju hijau itu, dan sambungnya lebih lanjut ;

“Persoalan yang menyangkut diri Gak lebih baik kita bicarakan nanti saja, sekarang ijinkanlah kami sekalian untuk mengambil obat lebih dahulu….”

“Obat apa yang hendak kalian ambil?”

“Bukankah dibelakang istana batu milik anda ini terdapat sebuah air terjun yang amat besar?”

“Sedikitpun tidak salah”

“Obat yang hendak kami ambil tumbuh diatas dinding tebing yang curam tepat dibawah air terjun tersebut, semoga heng-thay suka memberi ijin kepada kami sekalian untuk berada di dalam istana batu ini kurang lebih satu jam lamanya.”

“Obat apakah yang tumbuh diatas dinding curam tersebut?”

“Apakah anda tidak merasa bahwa pertanyaan yang kau ajukan terlalu banyak?” tukas Tok Chiu Yok Ong cepat.

Orang berbaju hitam itu termenung sejenak, akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah! cayhe akan melanggar kebiasaan dengan mengijinkan kalian untuk berdiam dalam istana batuku, tapi ingat! jangan sampai melampaui batas waktu selama satu jam!”

“Satu jam sudah cukup buat kami.”

Orang berbaju hijau itupun bertepuk tangan kembali sebanyak tiga kali, dua orang gadis berbaju hijau segera munculkan diri dengan cepat, setibanya dihadapan majikannya mereka menjura dan bertanya, “Kongcu, ada perintah apa?”

“Bawa lampu lentera dan hantar mereka ke belakang gunung berisi air terjun tersebut.”

Kedua orang gadis itu mengiakan, setelah mengambil lampu lentera tadi dari dinding lorong, serunya berbareng ;

“Budak berdua akan membawakan jalan bagi cuwi sekalian!”

Sebelum kedua orang gadis itu berlalu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya yang sudah lenyap dibalik tikungan.

Sepeninggalnya orang berbaju hijau itu, Sang Pat segera berbisik kepada diri Siauw Ling.

“Toako, aku melihat situasi yang kita hadapi rada sedikit tidak beres, tatkala bangsat cilik ini selesai mengetahui bahwasanya toako kenal dengan diri nona Gak Siauw Cha, tiba-tiba pikirannya berubah dan mengijinkan kita untuk mengambil obat, aku rasa dia pasti mengandung maksud tertentu, kita harus ber-siap2 untuk menghadapi segala kemungkinan.”

“Tidak mengapa” sela Tok Chiu Yok Ong. “Loohu telah melepaskan racun keji ke atas tubuh orang itu, dalam satu jam mendatang racun keji yang bersarang dalam tubuhnya segera akan menunjukkan daya kerjanya.”

“Benarkah itu?” tanya Siauw Ling sambil memandang sekejap ke arah si raja obat.

“Belum pernah loohu berbicara bohong.”

Mendadak terdengarlah dua orang dayang pembawa lampu lentera yang berjalan didepan sambil tertawa cekikikan tiada hentinya.

“Budak busuk yang tak tahu diri, apa yang sedang kalian tertawakan?” tegur Si Raja Obat Bertangan Keji dengan amat gusarnya.

Dayang yang ada disebelah kiri mendadak berpaling dan memandang sekejap ke arah Tok Chiu Yok Ong, kemudian sahutnya, “Kakek tua celaka, aku harap dalam berbicara tahulah sedikit kesopanan. walaupun kami adalah dayang2 orang lain, tetapi kecuali kongcu kami belum pernah kami suka tunduk kepada orang lain.”

Tok Chiu Yok Ong benar2 merasa amat gusar sekali, hawa napsu membunuh mulai terpancar keluar dari sepasang matanya, tapi teringat bahwasanya urusan tersebut hanyalah suatu kejadian kecil, ia tidak ingin menghancurkan masalah besar oleh karena peristiwa tersebut maka dengan paksakan diri si orang tua inipun bersabarkan diri.

Tu Kioe berpaling memandang sekejap ke arah Tok Chiu Yok Ong, menyaksikan si kakek tua itu melototkan sepasang matanya bulat2 saking tak kuat menahan hawa kegusaran yang ber-kobar2, dalam hati ia merasa amat geli, pikirnya, “Nah! sekarang baru tahu rasa…. demi putrimu yang berpenyakitan, kau harus rasakan kemangkelan yang luar biasa ini….”

Sementara itu Siauw Ling pun merasa sangat tidak puas dengan perbuatan Tok Chiu Yok Ong yang telah melepaskan racun kejinya secara diam2, kepada salah seorang diantara kedua orang dayang tersebut katanya, “Diantara kalian berdua, satu saja rasanya sudah cukup untuk menghantar kami ketempat tujuan, aku harap salah satu diantara kalian suka mengabarkan kepada kongcu kalian bahwa dia telah keracunan, suruhlah dia mengerahkan tenaga untuk mencoba hawa murninya apakah benar2 keracunan atau tidak”.

“Tak perlu dicoba lagi” sela Tok Chiu Yok Ong. “Tak dapat diragukan lagi ia pasti telah keracunan kabarkan saja kepadanya agar ia baik2 melayani kami selama kami mengambil obat dan kemudian hantar kami keluar dari istana batu ini, sepeninggalnya dari sini loohu pasti akan persembahkan obat penawar untuk melenyapkan racun tersebut….”

Mendengar perkataan itu, dayang yang berada disebelah kanan kembali tertawa kegelian. serunya, “Setiap hari kongcu kami makan binatang2 berbisa sebagai santapan yang paling lezat, kalau dia sampai bisa keracunan lagi…. hi hi hi kejadian ini pastilah merupakan suatu lelucon yang amat menggelikan sekali.”

“Apa? setiap hari kongcu kalian makan binatang berbisa sebagai santapannya?” tanya Siauw Ling tertegun.

“Sedikitpun tidak salah!” dayang yang berada dikiri membenarkan, “Jangan dikata kongcu kami, sekalipun budak sekalipun setiap hari paling sedikit akan menghabiskan tiga sampai lima ekor ular berbisa.”

Siauw Ling merasakan badannya merinding setelah mendengar cerita itu, sampai2 bulu kuduknya pada berdiri.

“Kalau ditinjau sepintas lalu, wajah maupun potongan kedua orang dayang ini sangat bersih dan menawan hati, sungguh tak nyana setiap hari mereka bersantap binatang2 berbisa untuk melanjutkan hidupnya.” pikir sianak muda itu di dalam hati.

“Kuah tiga jenis ular, perjamuan lima racun, semuanya termasuk hidangan2 yang lezat sekali” kata Sang Pat setelah mendehem ringan.

“Hidangan yang telah dimasak oleh koki2 terkenal, apa sih enaknya?”

“Lalu secara bagaimana nona menyantap hidangan2 tersebut?”

“Kita tangkap ular itu hidup2 kemudian dimakan begitu saja, atau kadang kala dipanggang dan dikukuspun sama saja rasanya”

“Kalau anda ingin merasakan hidangan lima racun” sambung dayang yang ada disebelah kanan. “Maka dikolong langit tiada hidangan lima racun yang jauh lebih lezat daripada hidangan istana Batu dari gunung Wu-san kami”.

“Nona berdua, jadi kalian melahap ular2 berbisa itu dalam keadaan mentah?” seru Siauw Ling terperanjat.

“Apa anehnya kejadian ini? kalau kau tidak percaya saat ini juga dapat kubuktikan kepada kalian dengan melahap seekor ular berbisa!”

“Tidak perlu, tidak perlu…. cayhe percaya dengan perkataan dari nona berdua” buru-buru Siauw Ling goyangkan tangannya berulang kali.

“Apakah nona berdua sudah lama mengikuti kongcu kalian?” terdengar Sang Pat bertanya.

Kedua orang dayang itu termenung sejenak, kemudian dayang yang ada disebelah kiri menyahut;

“Kuranglebih hampir tiga tahun lamanya”

“Tiga tahun berselang, apakah nona berduapun sudah pandai makan ular berbisa dalam keadaan hidup?”

“Tidak dapat, cara melahap ular berbisa dalam keadaan hidup2 baru kami pelajari setelah berada disini, itupun setelah mendapat petunjuk dari kongcu kami”.

Mendengar cerita ini, Siauw Ling menghela napas panjang.

“Aaaai….! pada umumnya kaum gadis akan ketakutan setengah mati apabila melihat ular atau binatang sebangsanya, namun nona berdua dapat melahap ular2 berbisa dalam keadaan hidup cukup membicarakan soal keberanian tersebut membuat cayhe merasa amat kagum sekali katanya.

“Ketika untuk pertama kalinya kami tiba disini, hati kamipun merasa ketakutan tatkala berjumpa dengan ular berbisa itu” sambung dayang yang ada disebelah kanan. “Tetapi setelah mencoba satu dua kali melahap ular2 berbisa itu, dengan sendirinya kamipun tidak takut lagi terhadap binatang2 itu”.

Sementara pembicaraan masih berlangsung, kembali mereka sudah berbelok pada sebuah tikungan.

Dari dinding batu sebelah kanan, secara lapat2 terasa ada cahaya terang yang menyorot masuk ke dalam lorong.

Suatu ingatan berkelebat dalam benak Siauw Ling, pikirnya, “Bukankah ditempat ini si orang tua yang berpenyakitan itu merawat sakitnya? sungguh kasihan si orang tua itu, ia bersikap amat baik sekali terhadap diriku….”

Kenangan lamapun terbayang kembali dalam benaknya, tanpa tarasa ia sudah menggerakkan langkahnya menuju ke arah dinding batu dimana cahaya terang tadi berasal.

Kedua orang dayang itu ada maksud menghalangi niatnya, namun sayang tindakan mereka terlah terlambat setindak.

Siauw Ling telah mengerahkan tenaga dalamnya ketangan kanan dan menabok ke atas dinding batu tadi, diiringi suara yang nyaring sebuah pintu batu segera terbentang lebar.

Mungkin ada orang yang terlalu ter-gesa2 meninggalkan tempat itu sehingga pintu batu itu rapat, maka memancar keluarlah serentetan cahaya terang dari dalam ruangan tersebut.

Ketika dayang yang ada disebelah kanan menyaksikan Siauw Ling mendorong pintu batu ruangan tersebut, hatinya jadi sangat gelisah. pedangnya segera dicabut keluar dari sarungnya dan membentak penuh kegusaran, “Ayoh cepat mundur dari sana.”

Badannya bergerak ke arah depan langsung menerjang ke arah ruangan batu itu, sementara pedangnya menusuk ketubuh Siauw Ling.

Merasakan datangnya ancaman Siauw Ling kebaskan tangannya menyampok miring ujung pedang lawan. kemudian ujarnya lambat2 ;

“Lima tahun berselang, cayhe telah berjumpa dengan majikan tua kalian diruang batu ini. Tatkala itu nona berdua masih belum menjadi anggota dari istana batu digunung Wu-san ini.”

Ketika serangan pedangnya kena ditangkis oleh Siauw Ling hingga miring kesamping, gadis itu merasa amat terperanjat sekali.

“Sungguh dahsyat kepandaian silat yang dimiliki orang ini.” pikirnya di dalam hati.

Namun diluaran ia menyahut juga, “Ooouw…. jadi kau kenal dengan majikan tua kami?”

“Ehmmm, sayang sekali dia telah meninggal dunia.”

Sinar matanya berputar menyapu sekejap ke arah ruangan batu itu, tampaklah lilin berwarna putih memancarkan cahaya yang redup. horden berwarna putih menutupi dinding, sebuah peti mati yang terbuat dari kayu berbaring ditengah ruangan.

Sementara itu kedua orang dayang tadi telah menerjang masuk ke dalam ruangan batu itu, sepasang pedangnya telah diloloskan dari dalam sarung sedangkan sepasang matanya memperhatikan gerak gerik Siauw Ling tajam2.

Sie-poa emas sang Pat pun mengikuti dibelakang kedua orang gadis tadi berjalan masuk ke dalam ruang batu tersebut, ia ber-jaga2 disisi pintu ruangan.

Sedangkan Tu Kioe serta Tok Chiu Yok Ong berdiri berdampingan diluar ruangan, dengan demikian terbentuklah suatu posisi yang sangat kuat untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu setelah Siauw Ling memandang sekejap ke arah peti mati itu, ujarnya, “Di dalam peti mati ini apakah berisikan jenasah dari majikan tua kalian?”

“Sedikitpun tidak salah, kalau kau berani mengganggu peti mati itu …. hmmm, jangan harap bisa tinggalkan istana batu diatas gunung Wu-san ini dalam keadaan selamat”.

Teringat kasih sayang serta cinta kasih yang diperlihatkan si orang tua itu kepadanya, tak tahan lagi Siauw Ling menjura dan memberi hormat dalam2 ke arah peti mati itu, bisiknya, “Untuk kedua kalianya boanpwee datang berkunjung lagi ke dalam istana batu ini. sungguh tak nyana loocianpwee telah meninggal dunia….”

Karena sikap Siauw Ling yang menaruh hormat terhadap peti mati itu lagipula tidak menunjukkan sikap permusuhan atau mengandung maksud tidak baik, kedua orang dayang itupun tidak menghalangi gerak gerik sianak muda itu lebih jauh.

Setelah memberi hormat ke arah peti mati itu, sebenarnya Siauw Ling ingin mengundurkan diri, mendadak suatu ingatan laksana kilat berkelebat di dalam benaknya.

Ia teringat kembali tatkala berjumpa dengan si kakek tua itu tempo dulu, agaknya ia pernah melewati sebuah pintu batu, seandainya tempat dimana peti mati tersebut berada saat ini adalah tempat yang digunakan si orang tua itu untuk merawat sakitnya dahulu, maka dibelakang dinding batu itu seharusnya masih terdapat sebuah ruang cadangan serta sebuah pembaringan kayu.

Teringat akan hal ini, badannya segera maju kedepan mendekati dinding batu yang diperkirakan disanalah letak pintu batu itu, sebuah serangan dilepaskan.

Beuuummm….! suara pantulan yang bergema akibat hantaman tersebut menunjukkan bahwa dibalik dinding batu itu merupakan sebuah ruangan yang kosong.

Belum sempat Siauw Ling bertindak lebih jauh, tiba-tiba dayang yang ada disebelah kiri telah menerjang kedepan, pedangnya bergerak cepat menyambar ke arah tubuhnya.

Siauw Ling segera menghindar kesamping, dengan gerakan “Hwie-Seng-Cing-Than” ia tangkis datangnya ancaman tersebut. Tanyanya;

“Dibalik dinding batu ini bukankah masih terdapat sebuah ruang cadangan? apakah nona tahu akan hal ini?”

Ketika pedangnya terkunci oleh babatan telapak Siauw Ling barusan, buru-buru gadis berbaju hijau itu menarik kembali serangannya, ia jadi gelisah bercampur gusar. Mendengar pertanyaan itu dengan penuh kemarahan jawabnya ketus, “Aku tidak tahu”.

Siauw Ling tertawa hambar.

“Sikap majikan tuamu terhadap aku orang she Siauw pada lima tahun berselang amat baik sekali.” ujarnya. “Kebetulan pada hari ini cayhe dapat kesempatan untuk berpesiar disini, sudah sepantasnya kalau aku pergi kita jangan membuang waktu dengan percuma” tukas Tok Chiu Yok Ong dengan nada dingin.

Siauw Ling tidak menggubris ucapan dari si raja obat bertangan keji itu, tangan kanannya diayun kembali ia melancarkan sebuah serangan ke atas dinding batu itu.

Dalam pada itu dayang tadi telah menarik kembali pedangnya, sekali lagi ia getarkan pergelangan melancarkan sebuah babatan ke arah depan.

Dengan gesit Siauw Ling terhindar kesamping.

“Nona, apakah kau hendak paksa aku untuk turun tangan merampas senjata tajammu itu?” ancamnya.

“Aku tidak percaya kalau kau punya kemampuan untuk merampas senjata tajamku.”

“Baik, kalau kau tidak percaya lihat saja kelihayan ini!”

Sembari berbicara tangan kanannya laksana kilat meluncur kedepan, kelima jarinya dipentangkan dan mencekam pergelangan kanan gadis itu kemudian ujarnya lebih lanjut, “Nona, tahukah kau bagaimana caranya untuk membuka pintu batu dari ruang cadangan tersebut?”

Walaupun mulutnya sedang berbicara, namun tangan kirinya yang berada diatas dinding tiada hentinya bergeser kesana kemari berusaha menemukan tombol rahasia untuk membuka pintu batu disana.

Dayang berbaju hijau lainnya jadi amat gelisah tatkala menyaksikan telapak kiri Siauw Ling tiada hentinya bergeser diatas dinding batu itu, menjumpai rekannya sudah terjatuh ketangan sianak muda itu dan bukan saja tak sanggup melepaskan diri bahkan tepat menghalangi jalan perginya mendadak ia ayunkan tangannya menghantam ke arah sinar lilin yang berkobar dengan terangnya itu.

Dia berharap setelah lampu lilin dalam ruangan itu berhasil dipadamkan, maka usahanya untuk menghadapi diri Siauw Ling jauh lebih gampang lagi.

Siapa tahu sejak semula Sang Pat si sie-poa emas itu sudah bikin persiapan, melihat gerakan dayang itu tangan kanannya segera bergerak mencengkeram persendian tulang sikut dayang tersebut, lalu diangkatnya ke atas dengan cepat.

Dengan adanya kejadian ini maka gadis itupun sukar untuk menguasahi serangan telapaknya sendiri, angin pukulan yang dilepaskan gagal memadamkan sinar lilin diatas meja sebaliknya malah bersarang diatas dinding batu.

Ilmu silat yang dimiliki kedua orang dayang ini tidak begitu tinggi, dalam sekali gebrakan saja Siauw Ling serta Sang Pat telah berhasil menundukkan kedua orang dayang itu.

“Aku berharap agar nona berdua bisa sedikit tahu diri” ujar Sang Pat dengan nada dingin. “Apabila tindakan kalian sampai membangkitkan kegusaran cayhe, jangan salahkan kalau aku akan bertindak kejam kepada kalian berdua….”

Sembari berbicara diam2 tenaga dalamnya dipertingkat, membuat dayang itu seketika itu juga kesakitan setengah mati. sampai2 keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya.

Telapak kiri Siauw Ling yang menempel diatas dinding bergeser tiada hentinya, dalam sekejap mata beberapa depa dinding tadi sudah selesai dirabanya dan tombol rahasiapun berhasil ia temukan.

Kraak….! pintu batu itupun terbuka dengan menimbulkan suara amat keras.

Siauw Ling membayangkan kembali letak pembaringan dari si orang tua itu. belum sampai ia melangkah masuk ke dalam ruang cadangan itu, mendadak terdengar suara bentakan yang amat dingin berkumandang datang, “Siapa?”

Suara tersebut bukan lain berasal dari tempat pembaringan kayu yang digunakan si orang tua itu tempo dulu.

Dengan cepat Siauw Ling menggerakkan jari tangannya menotok jalan darah dayang itu, kemudian miringkan badan dan menerjang masuk ke dalam ruangan, sepasang telapak disilangkan didepan dada siap menghadapi segala kemungkinan sedang mulutnya balik bertanya, “Siapa pula diri anda?”

Gerakannya sungguh cepat sekali begitu pertanyaan selesai diutarakan badannya telah menerjang ke dalam ruangan.

Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, walaupun Siauw Ling memiliki ketajaman mata yang luar biasa namun setelah berada di dalam ruang cadangan itu ia tak sanggup menyaksikan sesuatu apapun.

Terdengar suara yang dingin dan hambar itu berkumandang kembali ;

“Ruangan ini tak boleh dikunjungi terlalu lama, harap kalian segera mengundurkan diri dari sini.”

Pada saat itu tercium bau amis yang amat tebal dan keras berhembus keluar dari dalam ruangan itu, buru-buru Siauw Ling meloncat mundur dua langkah ke belakang dan keluar dari pintu batu itu.

Kraaak…. kraaak secara otomatis pintu batu dari ruang cadangan itu menutup kembali seperti sedia kala.

Menanti sang pintu telah tertutup rapat, Siauw Ling pun menggerakkan telapaknya membebaskan jalan darah sang dayang yang tertotok itu, tanyanya, “Dalam ruang cadangan inilah majikan tua kalian merawat sakitnya pada masal lampau, tahukah kau akan hal ini?”

“Siapa bilang aku tidak tahu?” sahut dayang itu sambil menghembuskan napas panjang.

Siauw Ling tidak bicara lagi, ia berpaling ke arah Sang Pat dan perintahnya, “Lepaskan dia!”

Sang Pat tidak berani membangkang, ia sambung kembali persendian sikut dayang itu lalu melepaskan dirinya.

“Toako kami berhati luhur dan bijaksana, selamanya ia paling tidak suka melukai orang secara sembarangan katanya “Seandainya ia ada maksud membereskan diri nona, mungkin dalam sekilas pandang kalian sudah roboh binasa, maka dari itu aku minta agar kalian berdua suka menjawab seluruh pertanyaannya dengan jujur, kalau sampai menggusarkan hatinya, aku tak berani tanggung jawab kalau diri kalian sampai terjadi sesuatu”.

Kedua orang dayang itu saling berpandangan sekejap, kemudian memungut kembali pedangnya dari atas tanah dan dimasukkan ke dalam sarung, ujarnya setelah memandang sekejap ke arah Sang Pat serta Siauw Ling;

“Sebenarnya siapakah diantara kalian berdua yang berusia lebih lanjut….”

“Dalam dunia persilatan, urutan kedudukan seringkali didasarkan atas kelihayan ilmu silat yang dimiliki, dia yang tua atau aku yang lebih tua bukan suatu masalah penting….” sahut Sang Pat.

Setelah merandek sejenak, tambahnya ;

“Apabila nona berdua tidak ingin mencicipi pahit getirnya ditangan kami, lebih baik janganlah bermain setan didepan kita bertanya ini itu hanya akan mendatangkan kerugian pada diri sendiri.”

Salah satu diantara kedua orang dayang itu mendengus dingin, tiba-tiba ia berkata, “Kami mendapat tugas dari kongcu untuk membawakan jalan bagi cuwi sekalian, apabila kalian ingin menanyakan persoalan lain silahkan bertanya sendiri kepada kongcu kami! Hmmm, jangan harap kalian bisa paksa kami berdua untuk buka suara, sekalipun kalian punya keberanian untuk membunuh kami, mulut kamipun tak akan terbuka untuk menjawab pertanyaan2 kalian itu.”

Pada waktu itulah Tok Chiu Yok Ong kembali berkata dengan nada dingin, “Batas waktu satu jam sudah hampir habis apabila kalian sampai melalaikan tujuan kita datang kemari untuk mengambil obat, jangan salahkan loohu tak akan melepaskan kalian bertiga.”

Walaupun dalam hati Siauw Ling masih diliputi pelbagai kecurigaan, terpaksa menahan diri dan berjalan keluar dari ruang batu itu.

“Baiklah, harap kalian berdua suka membawa aku pergi ke belakang gunung!”

Kedua orang dayang itu segera keluar dari ruang batu itu dan melanjutkan perjalanannya ke arah depan.

Siauw Ling sekalian dengan kencangnya mengikuti dari belakang kedua orang dayang itu, dalam sekejap mata kembali mereka sudah melewati tikungan dan secara sayup2 mulai kedengaran suara air terjun yang santar dan memekikkan telinga.

Mendengar dayang yang ada disebelah kiri mempercepat langkah kakinya, ia menekan sebuah dinding batu dan terbukalah sebuah pintu batu disana.

“Kita sudah sampai ditempat tujuan”. katanya. “Diluar pintu batu itulah letak air terjun tersebut”.

Tok Chiu Yok Ong mempercepat langkahnya mendekati pintu batu itu, ketika ia mengangkat kepalanya maka tampaklah sebuah air terjun yang amat besar memuntahkan airnya dari atas sebuah puncak gunung yang tinggi dan terjal. dasar jurangnya begitu dalam sehingga sukar ditembusi dengan pandangan mata.

Siauw Ling mamandang sekejap ke arah Tok Chiu Yok Ong, lalu ujarnya, “Jamur batu tersebut tumbuh disekitar dinding tebing yang curam dan berada dibawah air terjun ini, tempo dulu cayhe terperosok ditempat ini, mula2 aku menyangka diriku pasti mati, siapa sangka ditengah jalan secara kebetulan aku berhasil mencengkeram sebuah tonjolan baru, sehingga selembar jiwaku berhasil diselamatkan”.

“Berapa jauhkah jarak antara tonjolan batu cadas itu dengan mulut goa disini?”

“Tentang soal ini, cayhe sudah tak ingat lagi….”

“Kira2 berapa tingginya? jawab saja menurut pikiranmu sendiri”.

“Paling sedikit ada seratus tombak!”

“Siapa diantara kita berdua yang akan turun?”

“Tentu saja kau si raja obat bertangan keji yang turun kebawah” sela Tu Kioe dengan cepat. “Toako kami sudi membawa dirimu datang kemari, boleh dikata ia sudah mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya”.

“Menurut perjanjian loohu dengan diri Siauw Ling, adalah aku suruh ia datang kemari untuk mendapatkan obat mustajab tersebut”.

“Jadi bagaimana menurut pedapat Yok Ong?”

“Seandainya membiarkan kau turun kebawah seorang diri, seumpama kata setelah kau berhasil mendapatkan obat mustajab itu lantas tidak mau naik lagi ke atas maka usaha loohu akan menemui kegagalan total….”

“Betul! maka lebih baik Yok Ong turun saja seorang diri” sambung Sang Pat sambil tertawa.

Tok Chiu Yok Ong segera tertawa dingin, sambungnya ;

“Apabila loohu yang turun seorang diri, dan ditengah jalan mendadak kalian putuskan tali pengikat tersebut, bukankah tubuh loohu akan hancur ber-keping2 didasar jurang yang dalamnya ribuan tombak ini?”

“Perkataan yang diucapkan kami bersaudara selamanya boleh dipercaya, tidak nanti kami putuskan tali pengikat tersebut ditengah jalan”.

“Sekalipun begitu namun rasa was2 harus tetap ada di dalam hati kecil loohu”.

“Batas waktu selama satu jam akan berakhir dalam sekejap mata, apabila terlalu banyak persoalan yang Yok Ong pikirkan, hal ini akan mendatangkan ketidak beruntungan bagi kita semua”.

“Benar, setelah batas waktunya lewat pemuda berbaju hijau itu pasti akan memimpin anak buahnya melancarkan serangan, pada waktu itu sekalian Yok Ong ada niat mungkin tenaga tak akan memenuhi harapanmu itu.”

“Kalau sampai keadaan berubah jadi begini, terpaksa aku akan mempersilahkan Siauw Ling untuk menemani loohu berdiam untuk selamanya didasar jurang yang dalamnya ribuan tombak itu.”

“Tak usah Yok Ong membicarakan persoalan yang tak penting lagi” tukas Siauw Ling cepat. “Kalau kau punya pendapat, cepatlah diutarakan keluar”.

“Baik kau maupun aku sama2 tidak pantas untuk turun kebawah seoarng diri, maka loohu rasa lebih baik kita turun kesana ber-sama2 saja.”.

“Tali yang kita persiapkan hanya cukup untuk seorang saja, mungkin kekuatan tali itu tak cukup untuk membawa kalian berdua turun ke bawah secara ber-sama2.” Tu Kioe menerangkan.

“Persoalan ini gampang sekali untuk diatasi.”

“Apa caramu?”

“Biarlah Siauw Ling turun kebawah lebih dahulu, setelah berhasil menemukan tonjolan batu cadas itu, gerakkanlah tali untuk memberi tanda kepada Loohu agar turun kebawah, dengan cara begini bukankah kita berdua akan ber-sama2 menanggung resiko tersebut”.

Mendengar perkataan itu Sang Pat segera tertawa ter-bahak2.

“Heee…. hee…. ketika akan naik ke atas, maka giliran akan dirubah bukan? Yok Ong tentu akan naik dulu, kemudian toako kami baru akan menyusul belakangan?”

“Sedikitpun tidak salah, kecuali cara ini apakah kalian berdua mempunyai cara lain yang lebih baik?”

“Apabila kami ada maksud untuk membokong dirimu, perduli kau turun lebih dulu atau naik belakangan, smaa saja kami punya kesempatan untuk mencelakai dirimu” kata Tu Kioe.

Siauw Ling yang selama ini hanya mendengarkan perkataan mereka tiba-tiba menghala napas panjang ujarnya, “Saat apakah saat ini? dan dimanakah kita berada sekarang? kalau Yok Ong masih punya pikiran was was, keadaan ini benar2 keterlaluan sekali….”

Ia merandek sejenak, kemudian serunya ;

“Saudara Tu, ambil tali, biarlah aku turun lebih dulu!”

Air muka Tu Kioe berubah jadi amat serius, ia pandang sekejap diri Yok Ong dengan pandangan dingin kemudian dari sakunya ambil keluar segebung tali yang amat panjang.

Tali ini terbuat dari senar yang digunakan Cioe Soen untuk menangkap ikan, walaupun kecil namun kuatnya luar biasa, sekalipun kalau digunakan orang biasa masih kurang kuat namun bagi manusia macam Siauw Ling serta Yok Ong hal ini sudah lebih dari cukup.

Siauw Ling mengikat ujung tali tersebut ke atas pinggang sendiri, kemudian dengan langkah lebar ia berjalan keluar dari gua tersebut.

“Toako tunggu sebentar,” mendadak Sang Pat berseru, Siauw Ling berpaling dan menghela napas panjang.

Aku sudah menyanggupi dirinya untuk menemukan obat tersebut, tak perlu kita cekcok serta ribut lagi dengan dirinya.

“Bukan urusan itu, siauwte rasa kurang aman kalau membiarkan kedua orang nona ini berjaga diluar gua.”

Sambil berkata dengan langkah lebar ia berjalan mendekati kedua orang gadis itu, sambungnya, “Bagaimana kalau kalian berdua melepaskan sejenak senjata tajam yang kalian gembol?”

Rupanya kedua orang dayang itu sadar bahwa ilmu silat yang mereka miliki bukan tandingan lawan, tanpa melawan senjata tajam yang mereka gembol segera diserahkan ketangan Sang Pat.

Setelah menerima senjata tajam itu, si sie-poa emas berkata kembali, “Maaf, terpaksa aku harus menyiksa nona berdua beberapa saat lagi, jalan darah kalian akan kutotok.”

Sambil berkata tangan kanannya laksana kilat telah berkelebat menotok jalan darah dari dayang yang ada disebelah kiri.

Dayang yang ada disebelah kanan hendak memberikan perlawanan, namun serangan jari Tok Chiu Yok Ong telah berhembus datang, jalan darah pingsannya seketika terhajar.

Melihat kedua orang dayang itu sudah dikuasai, Siauw Ling menyapu sekejap diri Sang Pat serta Yok Ong kemudian berkata ;

“Yok Ong, kau tak usah ikut turun kebawah. Setelah kalian menotok jalan darah kedua dayang ini mungkin majikan mereka akan naik pitam dan kemungkinan besar suatu pertarungan sengit tak bisa dihindarkan lagi, lebih baik Yok Ong tetap tinggal diatas saja guna membantu dua saudaraku dalam menghadapi setiap pertempuran, setelah cayhe berhasil mendapatkan jamur batu itu tali pengikat akan kugetarkan, dan kalian boleh tarik aku naik ke atas.”

Tiba-tiba Tok Chiu Yok Ong menghela napas panjang.

Siauw-heng, baik2lah jaga diri.”

Sinar matanya beralih ke arah sepasang pedagang dari Tiong Chiu, kemudian sambungnya kembali, “Kalian berdua baik2lah melayani toako kalian loohu akan berjaga2 ditikungan sebelah depan saja, apabila ada musuh yang menyerang kemari akan kubendung untuk sementara waktu.”

“Hemm, sungguh tak nyana Tok Chiu Yok Ong masih punya liang-sim yang baik” jengek Tu Kioe sinis.

Bibir Yok Ong bergerak separti mau mengucapkan sesuatu, namun akhirnya ia batalkan niatnya itu dan berlalu.

Sepeninggalnya si raja obat itu, tu Kioe segera berkata, “Toako tak usah kau sendiri yang pergi menempuh bahaya, biarlah siauwte yang mewakili diri toako….”

“Tidak usah!”

Sianak muda itu segera berjalan kesisi gua, dan dengan mengerahkan ilmu cecak merayapnya ia mulai meluncur turun kebawah tebing.

Dengan sangat hati2 sekali Tu Kioe mengulurkan tali senar tersebut ke arah bawah, ia bertindak waspada, dan teliti takut toakonya mengalami hal2 yang tidak diinginkan.

Baru saja Siauw Ling meluncur dua tombak kebawah mendadak terdengar Tok Chiu Yok Ong yang ada diluar ruangan membentak keras, “Berhenti! bukankah batas waktunya belum tiba? mengapa kalian begitu tidak memegang janji?”

Siauw Ling segera mengempos tenaga, sepasang telapaknya ditempelkan ke atas dinding tebing dan berteriak keras ;

“Saudara Tu, cepat kendorkan tali senar tersebut!”

“Saudaraku heran kau jangan mencabangkan pikiranmu, baik2lah melayaninya” bisik Sang Pat sambil mengambil keluar senjata sie-poa emasnya. “Pegang erat2 tali senar tersebut, aku akan keluar ruangan untuk membantu Yok Ong dalam menghadapi serangan musuh”.

Seraya berkata ia segera berlalu.

Dalam keadaan seperti ini Tu Kioe tak bisa menghilangkan rasa tegang yang meliputi dirinya, begitu tegang dia sampai2 perkataan dari Sang Pat barusan tak terdengar olehnya, seluruh perhatiannya dicurahkan ke arah bawah tebing.

Kabut yang menyelimuti sekitar tebing itu amat tebal, percikan air terjunpun sangat deras ditambah lagi kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad membuat suasana amat mengerikan. walaupun Tu Kioe telah mengerahkan segala kemampuannya untuk memandang namun ia tidak berhasil menjumpai bayangan tubuh dari Siauw Ling.

Terasa uluran tali senar ditangannya makin lama semakin cepat, jelas Siauw Ling sedang meluncur kebawah dengan menempuh bahaya.

Uluran tali senar ditangannya meluncur kebawah makin panjang, kurang lebih seratus tombak lagi tali yang ada ditangannya bakal habis. hal ini membuat Tu Kioe sangat gelisah pikirnya ;

“Aduuuhh celaka…. apabila uluran tali ini tidak cukup panjangnya, maka kejadian ini akan merupakan suatu peristiwa yang memusingkan sekali.”

Dalam hati ingin sekali ia perketat uluran tali senar itu, tapi iapun takut kekuatan senar tadi tidak sanggup menahan daya tekanan dari tubuh Siauw Ling yang sedang meluncur kebawah, seandainya tadi ia sampai putus…. maka toako pasti akan mati.

Sementara hatinya masih kebat kebit menahan rasa kuatir, tiba-tiba uluran tali senar ditangannya mengendor, rupanya tubuh Siauw Ling telah berhenti meluncur kebawah.

Ia hendak berteriak untuk menanyakan hal ini kepada Siauw Ling yang ada dibawah tebing namun pada saat itulah terdengar suara bentakan gusar dari Tok Chiu Yok Ong berkumandang datang, disusul bentrokan senjata yang sangat nyaring bergema memecahkan kesunyian.

Pengalaman Tu Kioe amat luas, dari suara bentrokan senjata yang berkumandang datang itu ia dapat membedakan bahwa sebagian musuh telah bergebrak dengan Yok Ong yang ada diluar ruangan, sedang ada sebagian pula musuh2 tangguh yang telah bergebrak melawan Sang Pat.

Ketika ia berpaling, tampaklah senjata sie-poa emas dari sang Pat berputar kencang kesana kemari, jelas ia sedang bertarung sengit melawan seseorang, tapi karena takut mengejutkan dirinya maka mulutnya tetap membungkam terus.

Dalam keadaan seperti ini Tu Kioe merasa amat tegang, terutama sekali menyaksikan pihak lawan melakukan serbuan yang gencar dan dahsyat, keringat dingin mengucur keluar tidak hentinya.

Se-konyong2…. terdengar suara dengusan berat berkumandang datang memecahkan kesunyian.

Sebagai seseorang yang berpengalaman Tu Kioe tahu bahwa ada seseorang yang telah menderita luka parah.

Ia tidak berani berpaling, takut orang yang terluka adalah Sang Pat dan takut pula kejadian itu akan mempengaruhi perhatiannya dalam melayani Siauw Ling yang sedang berada dibawah tebing.

Pada saat seperti ini, satu2nya harapan yang masih ada dalam hatinya adalah bergetarnya tali senar tersebut menandakan bahwa Siauw Ling telah berhasil mendapatkan jamur batu berusia seribu tahun itu.

Namun kabar berita Siauw Ling yang ada didasar tebing sama sekali tak ada, keadaan sianak muda itu bagaikan sebutir batu yang tenggelam didasar samudera, lama sekali tiada kabar beritanya.

Per-lahan-lahan ia menghela napas panjang, senjata pit bajanya mulai dirogoh keluar siap turun tangan menghadapi serangan lawan.

Tapi, pada saat itulah tiba-tiba tali senar yang ada ditangannya bergetar keras….

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar