Bayangan Berdarah Jilid 17

JILID 17

Dayang berbaju merah itu membawa mereka berdua memasuki sebuah pintu yang dihias dengan amat mentereng, melewati sebuah lorong berpermadani merah dan berhenti di depan pintu ruangan kemudian dengan suara lantang dayang itu berseru

“Tjong Piauw Pacu dari Propinsi Hoo-lam, Auw-lam, Auw-pak serta Kiang-si, Be Boen Hwie, Be Toa-ya tiba!”

Bersamaan dengan munculnya suara itu dari balik ruangan lambat2 muncul seorang pemuda berpakaian perlente menyambut kedatangannya.

Menjumpai orang yang barusan muncul ini Siauw Ling merasa terkesiap, buru-buru ia tundukkan kepalanya rendah2, tarik napas panjang dan menarik kembali sinar matanya yang tajam.

Pemuda perlente itu setelah tiba didepan pintu ruangan segera rangkap tangannya menjura.

“Siauw-te Tjioe Tjau Liong sudah lama mengagumi nama besar Be-heng!” serunya keras. “Ini hari bisa memperoleh kunjungan anda hal ini merupakan suatu kebanggaan dari perkampungan Pek Hoa Sancung kami”

Be Boen Hwie segera balas memberi hormat dan menjawab.

“Tidak berani merepotkan Tjio Jie Cungcu datang menyambut sendiri disini aku orang she Be ucapkan banyak terima kasih”

“Haa…. haa…. Be-heng terlalu serius menanggapi persoalan ini” Tjioe Tjau Liong tertawa ter-bahak2 sambil menggandeng pergelangan kiri Be Boen Hwie mereka melangkah masuk ke dalam ruangan.

Dengan kepala ditundukkan rendah2 Siauw Ling mengikuti dari belakang Be Boen Hwie masuk pula ke dalam ruangan.

Jumlah orang yang berada di dalam ruangan tidak begitu banyak kurang lebih hanya tujuh delapan orang belaka, Tjioe Tjau Liong pun tidak memperkenalkan orang2 itu kepada diri Be Boen Hwie, ia langsung masuk ke dalam pintu ruangan dan berkata sambi ltertawa.

“Be-heng jauh2 datang kemari harap beristirahat dahulu di Ruang Bambu Hijau. Malam nanti siauw-te akan membuka perjamuan untuk menghormati kedatangan Be-heng”

Selama ini Siauw Ling tundukkan kepalanya terus menerus, mengikuti dibelakang Be Boen Hwie ia malangkah menuju ke Ruang Bambu Hijau.

Ruang Bambu Hijau ini merupakan ruang peling jelek diantara empat ruang penyambut tamu terhormat dalam perkampungan Pek Hoa Sancung kalau dibandingkan dengan Pesanggrahan bunga Lan-hoa, Loteng Bunga Bwee serta Pagoda Bunga Motan ruangan bambu hijau ini merupakan ruang yang terbelakang.

Siauw Ling sudah beberapa waktu menjabat sebagai Sam cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sancung, justru hanya Ruang Bambu Hijau saja yang belum pernah ia kunjungi.

Jelas hal ini menunjukkan apabila Tjong Piauw Pacu dari Propinsi Hoo-lam Auw-pak, Auw-lam serta Kiang-si ini tidak mendapat penghargaan sama sekali dari pihak perkampungan Seratus bunga.

Tjioe Tjau Liong membawa Be Boen Hwie berdua mengitari beberapa kelompok bunga2an yang lebat kemudian memasuki hutan bambu yang lebat dan rindang.

Beberapa ruangan indah bergenting merah tampak tersebar dibalik hutan bambu hijau yang lebat itu.

Tjioe Tjauw Liong membawa Be Boen Hwie berjalan mendekati seuah ruangan lalu sambil tertawa ujarnya.

“Disinilah tempat istirahat Be-heng, berhubung selama beberapa hari ini dalam perkampungan Pek Hoa Sancung kedatangan banyak tamu terhormat ruangan dalam kampung tidak cukup untuk menerimanya karena itu harap Be heng suka memaafkan apabila selama beberapa hari ini harus berdiam digua siput seperti ini”

“Terima kasih. terima kasih….” jawab Be Boen Hwie sambil tertawa hambar. “Sudah lama siauw-te mendengar nama besar perkampungan seratus bunga, setelah melihat sendiri ini hari baru kuketahui kalau suasana disini betul2 nyaman beraneka bunga mekar dimana mana dan keadaannya mirip berada dalam kahyangan”

“Be-heng terlalu memuji!” Tjioe Tjau Liong tersenyum.

Sembari bicara ia mengetuk tiga kali ke atas pintu ruangan tersebut.

Dua lembar pintu berwarna merah terbentang lebar, seorang dayang cilik berwajah cantik muncul didepan pintu.

“Orang ini adalah Be-ya!” ujar Tjioe Tjau Liong sambil menuding ke arah diri Be Boen Hwie. “Dia adalah tamu terhormat dari perkampungan Pek Hoa San-cung kita, kau harus baik2 melayani dirinya.

Dayang cilik itu mengiakan, lalu bongkokkan diri memberi hormat katanya.

“Be-ya silahkan masuk!”

“Apakah di dalam setiap ruangan yang ada disini sudah tersedia seorang dayang cantik yang sengaja melayani keperluan tamu terhormat yang diundang datang? pikir Be Boen Hwie di dalam hati.

Sekalipun ia berpikir demikian, langkahnya tidak berhenti dan segera berjalan masuk.

Tjioe Tjau Liong tetap berhenti diluar pintu ruangan, pada saat itu sembari menjura ia berkata

“Apabila Be-heng ingin makan minum, perintah saja kepada dayang itu, dia bisa melayani segala keperluanmu. Siauw-te masih harus menyambut tamu maaf kalau tak dapat kutemani lebih jauh.”

“Tjioe-heng silahkan berlalu!”

“Dalam perjamuan malam nanti, siauwte akan datang lagi untuk mengundang dirimu!” ujar Tjioe Tjau Liong lebih lanjut sambil tertawa. kemudian putar badan dan berlalu dengan langkah lebar.

Dayang cantik itu berbaju berwarna hijau dengan gaun warna hijau pula, pupur yang dipakai amat tipis sekali sehingga kelihatan sikapnya yang masih polos dan ke-kanak2an.

Tampak ia membongkokkan badan memberi hormat, lalu dengan suara yang manja ujarnya,

“Budak bernama Hong Tju bilamana Be-ya ada perintah silahkan diutarakan kepada budak”

“Sudah lamakah nona berdiam dalam perkampungan Pek Hoa Sancung? tanya Be Boen Hwie sambil tersenyum.

“Sejak kecil budak dibesarkan dalam perkampungan Pek Hoa Sancung, sudah lama tak kuketahui lagi nama maupun asal usulku….”

Ia merandek sejenak, kemudian tambahnya.

“Silahkan Beya memeriksa keadaan dari pondok ini. apabila merasa kurang sesuai atau berkenan dihati, budak akan segera menggantikannya sesuai dengan keinginan Be-ya.”

Selesai bicara ia bergerak lebih dahulu untuk membawa jalan.

Mendorong sebuah pintu yang dilapisi oleh horden, di dalam merupakan sebuah ruang tidur yang kecil tapi mungil dan indah sekali kelambu berwarna merah jambu dengan permadani diatas lantai berwarna merah darah, pada ujung tembok sebelah Timur berdiri sebuah amben. dua buah pot yang berisikan bunga merah indah terletak didekat jendela dan menyiarkan bau harum yang semerbak.

Atau dengan perkataan lain dalam ruangan itu berwarna serba merah dan tidak kelihatan warna kedua kecuali merah.

“Be-Toa-ya puaskah dengan ruangan ini?” tanya Hong Tju sambil tertawa.

“Bagus sih bagus. hanya perabotnya terlalu menyolok, rada mirip kamar tidur seorang gadis perawan!” jawab Be Boen Hwie sambil tertawa hambar.

“Seumpama budak bukan sengaja dikirim kemari untuk melayani Be-toa-ya, mungkin selama hidup tiada rejeki tinggal di dalam ruang Bambu hijau ini”

Sewaktu bicara biji matanya mengerling manja suara tertawanya merdu menawan menimbulkan gairah rangsangan yang hebat bagi hati kaum lelaki.

Melihat kesemuanya itu pikiran Be Bun Hwie rada bergerak segera pikirnya dalam hati.

“Aah benarlah sudah. Shen Bok Hong sengaja mengatur penyambutan semacam ini bukan lain sedang menjalankan siasat perempuan cantik sebagai umpan, agar para tetamunya tanpa sadar telah terjerumus dalam jebakan perempuan. Aaai….! dalam pertemuan para jago semacam ini entah ada berapa banyak yang bisa lolos dari perangkap perempuan semacam ini?”

Berpikir demikian, lambat2 ia mengundurkan diri dari dalam ruangan.

Hong Tju pun ikut berlalu dari dalam ruangan, biji mata mengerling indah dan melirik sekejap ke arah Siauw Ling lalu tanyanya sambil tertawa.

“Apakah orang ini adalah pelayan Be-ya?”

“Hamba Be Seng!” jawab Siauw Ling.

“Dibelakang sana ada sebuah kamar kecil yang untuk sementara waktu jadi tempat pondokanmu, mari ikutilah diriku!” selesai bicara ia lantas berlalu.

Siauw Ling mengikuti dibelakang Hong Tju berjalan keujung pesanggrahan Hong Tju segera mendorong sebuah pintu kayu yang tertutup rapat berkata sambil tertawa.

“Beheng silahkan beristirahat, segala soal pelayanan atas diri Be toa-ya tak perlu merepotkan diri siauw-ko lati!”

Kemudian ia tutup pintu dan berlalu.

Ruangan itu merupakan suatu ruangan kecil yang buruk lagi sumpek, kecuali bale2 serta sebuah meja tidak terdapat benda lainnya, Siauw Ling yang teringat akan kejayaan serta kewibawaannya sewaktu berada di dalam perkampungan Pek Hoa Sancung tempo dulu kemudian dibandingkan dengan keburukan dari ruang kecil ini tak kuasa lagi tertawa geli.

Be Boen Hwie duduk diatas sebuah kursi dalam ruangan kecil itu, setelah menarik napas panjang hawa murni dari pusar disalurkan mengelilingi seluruh badan, kemudian pejamkan matanya mengatur pernapasan.

Dasar dia memang seorang manusia yang cermat, sejak masuk ke dalam ruang tidur segera terasa olehnya bahwa dari dalam ruangan menyiarkan segulung bau harum yang sangat aneh membuat setiap orang yang mencium menjadi mabok dibuatnya, timbul kewaspadaan dalam hati, pikirnya, “Ruang tidur itu diatur serba merah bagaikan kamar pengantin saja, ditambah pula dengan bau harum yang memabokkan, dayang cantik yang genit dan manja jelas Shen Bok Hong ada maksud menjebak tetamunya, aku harus berhati2 menghadapi segala kemungkinan….”

Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang memecahkan kesunyian. Hong Tju dengan langkah manja berjalan masuk ke dalam ruangan.

Be Boen Hwie buka sedikit sepasang matanya untuk memandang sekejap ke arah Hong Tju, lalu pura2 tidak melihat dan tetap duduk tak berkutik ditempat semula.

Hong Tju meneruskan langkahnya berjalan kesisi Be Boen Hwie dan berhenti, lalu dengan suara lembut ia berkata, “Be toa-ya, jauh2 kau datang kemari tentu badan terasa sangat letih, budak telah menyiapkan air panas buat Be-ya mandi, setelah cuci badan barulah beristirahat dalam kamar”

“Tidak berani merepotkan nona” jawab Be Boen Hwie hambar, ia buka sepasang matanya memandang sekejap ke arah Hong Tju. “Segala sesuatunya bisa cayhe lakukan sendiri, silahkan nona pergi beristirahat!”

“Budak mendapat perintah untuk melayani Be toa-ya, perduli Be toa-ya hendak suruh budak berbuat apapun budak tidak akan menampik”

“Kurang ajar! perbuatan Shen Bok Hong ternyata benar2 rendah dan hina….” maki Be Boen Hwie di dalam hatinya. “Siasat perempuan cantikpun ia siapkan. Aku lihat dayang ini sudah mendapat tugas khusus untuk menjebak diriku sampai masuk perangkap. Kalau ditinjau dari raut mukanya tidak mirip perempuan cabul tetapi mengapa ia rela melakukan perbuatan yang demikian rendah dan terkutuk akan kugoda dirinya dan akan kulihat bagaimana reaksinya”

Karena berpikir demikian ia lantas tersenyum dan berkata.

“Wajah nona cantik jelita sikapmu pun agung dan berwibawa aku lihat kau tidak mirip seorang dayang yang khusus melayani orang”

Seumpama bisa mendapat sanjungan dari Be-ya, budak merasa sangat berterima kasih sekali”

“Aku harus berbuat bagaimana untuk menyanjung dirimu?”

“Asalkan Be-ya suka mengungkap sepatah dua patah kata tentang budak dihadapan Toa cungcu kami sudahlan cukup”

“Mengungkap soal apa?”

Mendadak merah padam selembar wajah Hong Tju, kepalanya ditundukkan rendah2, jawabnya lirih.

“Asalkan Be-ya suka mengatakan kepada Toa cungcu kami kalau Be-ya sangat suka dengan budak hal ini sudah lebih dari cukup”

“Urusan ini gampang sekali” ujar Be Boen Hwie sambil tertawa. “Hanya belum kuketahui apa yang ia berikan kepada diri nona”

“Toa cungcu kami jadi orang sosial dan berjiwa besar ia dapat membingkiskan budak untuk Be-ya miliki selamanya”

“Ha…. ha…. dia memang sangat sosial, hanya sayang….!” Be Boen Hwie tertawa ter-bahak2.

“Apanya yang sayang?”

“Sayang macam nona yang cantiknya melebihi bidadari cayhe merasa tidak punya rejeki untuk menerimanya.”

Merah padam selembar wajah Hong Tju. ia tundukkan kepalanya rendah2.

“Dengan kedudukanku sebagai dayang serta memiliki raut muka yang jelek, tentu saja tidak pantas untuk melayani diri Be-ya!”

“Nona salah besar. kalau kita bicarakan menurut raut wajah yang nona miliki maka kau boleh terhitung sebagai seorang gadis yang memiliki kecantikan wajah seperti bunga hanya sayang ilmu silat yang cayhe latih adalah ilmu sakti Perjaka, pantangan paling utama adalah mendekati kaum wanita, oleh sebab itu harapan nona hanya bisa aku terima di dalam hati belaka.

Mendengar ucapan itu senyuman genit kembali muncul kembali menghiasi wajah Hong Tju katanya

“Budak tidak mengharapkan yang muluk2, cukup bisa melayani Be-ya setiap saat dan mendampingi diri Be-ya dimanapun juga hatiku sudah merasa amat puas sekali.”

“Budak ini ada maksud untuk menyerahkan tubuhnya untuk aku nikmati” pikir Be Boen Hwie dalam hati. “Agaknya kalau tidak cepat kuhapuskan pikiran itu dari dalam hatinya. ia tidak akan bosan2nya coba merayu diriku. aku harus segera bertindak!”

Dengan wajah nona yang cantik serta suara yang merdu mempesonakan hati, boleh terhitung kau adalah seorang gadis yang menawan hati cayhe mengerti keadaan seperti itu tentu akan menggoncangkan hati manusia. namun sayang aku sama sekali tak terpengaruh.”

“Hmmm!” Hong Tju seketika itu juga menghela napas sesudah mendengar ucapan dari Be Boen Hwie ini. “Setelah Be-ya berkata demikian, kendati wajah budakmu lebih tebal lagipula tidak akan berani banyak memohon diri Be-ya lagi untuk mengajak aku meninggalkan perkampungan Pek Hoa San-cung ini!”

Ia merandek sejenak lalu katanya.

“Namun budak menerima tugas untuk melayani diri Be-ya, selama Be-ya masih berada di dalam perkampungan Pek Hoa Sancung ini, budak harus selalu mendampingi diri Be-ya berada serta mendengarkan segala perintahmu!”

Selesai bicara sambil tertawa ia berlalu.

Melihat kepergian dayang genit tadi Be Boen Hwie kembali berpikir dalam hatinya.

“Shen Bok Hong betul2 luar biasa. Cukup untk melatih kaum dayang yang begini pandai merayu serta pandai bicara sudah bukan suatu pekerjaan yang sangat gampang, agaknya tidak sedikit yang akan terjerumus ke dalam siasat perempuan cantik ini”

Hong Tju yang genit dan manja dalam waktu singkat telah berubah jadi serius sewaktu menghidangkan air teh, memasang hio wajahnya selalu tunduk rendah2, hal ini membuat Be Boen Hwie yang memandangnya dari samping merasa sangat tidak tenteram.

Hidangan air teh maupun makanan dari dayang itu Be Boen Hwie tidak berani menjamah maupun mencicipinya karena ia teringat akan kekejian Shen Bok Hong kemungkinan sekali di dalam air teh serta hidangan tersebut telah dicampuri dengan obat beracun yang tak berwujut tanpa bau. Menanti Hong Tju telah berlalu iapun mengeluarkan rangsum yang sudah dipersiapkan lebih dahulu untuk menangsal perut.

Melihat air teh serta hidangan yang dipersiapkan sama sekali tidak dijamah Hong Tju pun tidak ambil banyak bicara dengan mulut membungkam hidangan itu diberesi kembali.

Sementara itu Siauw Ling yang ada di dalam kamar kecil, karena teringat akan keselamatan orang tuanya dan mengingat kemungkinan besar bakal terjadi suatu pertarungan sengit, ia segera menutup pintu dan mulai mengatur pernapasan.

Ketika sang surya telah lenyap dibalik bukit Tjioe Tjau Liong muncul menepati janji sambil menggandeng tangan Be Boen Hwie ujarnya.

“Siauwte telah mempersiapkan arak serta hidangan yang khusus untuk menjamu atas kedatangan Be-heng”

“Merepotkan kalian saja, sungguh membuat siauwte merasa tidak tenteram!”

“Telah lama siauwte mendengar akan nama besar Be-heng. ini hari bisa berjumpa sungguh amat beruntung.”

Dalam pada itu Siau Ling yang telah selesai mengatur pernapasan setengah harian saat ini semangatnya berkobar2 dengan kepala ditundukkan ia berdiri dibelakang Be Boen Hwie.

Walaupun wajahnya sudah diseru, namun pemuda ini tidak berani adu mata dengan Tjioe Tjau Liong.

Sebaliknya walaupun Tjioe Tjau Liong terkenal akan ketelitiannya iapun sama sekali tidak menyangka Siauw Ling yang memiliki watak tinggi hati ternyata sudi menyaru sebagai pelayan orang lain untuk menyelundup masuk ke dalam perkampungannya.

Selama ini ia tidak ambil perhatian sama sekali, sambil menggandeng tangan Be Boen Hwie diajaknya memasuki ruangan besar.

Siauw Ling dengan kencang mengikuti dari belakangan Be Boen Hwie, ia ada maksud untuk ikut memasuki ruangan besar dimana pemuda ini akan melakukan penelitian apakah Sang Pat sekalian sudah berhasil menyelundup ke dalam perkampungan Pek Hoa Sancung atau belum.

Kendati dalam hati kecil Tjioe Tjau Liong sangat tidak ingin pelayan dari Be Boen Hwie ini ikut hadir dalam perjamuan, namun berhubung Be Boen Hwie berlagak pilon dan tidak banyak bicara Tjioe Tjau Liong merasa tidak leluasa untuk ambil keputusan sendiri dan mengundurkan pelayan tersebut.

Setelah melewati beberapa kebun bunga yang luas, sampailah mereka disuatu ruangan besar yang terang benderang oleh cahaya lampu.

Perjamuan dalam ruangan itu sudah dimulai sekitar meja besar telah duduk empat orang lelaki kekar.

Sinar mata Siauw Ling berputar, tampak olehnya dalam ruang besar yang terang benderang hanya tertera sebuah meja perjamuan, segera timbul perasaan heran dalam hatinya ia berpikir.

“Dalam pertemuan para enghiong hoohan yang diselenggarakan di dalam perkampungan Pek Hoa Sancung ini telah diundang para jago dari seluruh kolong langit, mengapa jumlah tamu yang hadir hanya sedemikian sedikitnya?”

Sementara ia masih berpikir badannya telah ikut masuk ke dalam ruangan dan berdiri tegak disisi tembok.

Tjioe Tjau Liong menarik tangan Be Boen Hwie mendekati meja perjamuan lalu sambil menyapa keempat orang yang telah hadir disana terlebih dahulu ujarnya

“Saudara2 sekalian ini hari siauw-te ingin memperkenalkan seorang jago yang telah tersohor dikolong langit kepada tju-wi sekalian”

Keempat orang itu sama2 angkat kepala dan alihkan sinar matanya ke atas kebun Be Boen Hwie.

Sambil menuding orang she Be ini, Tjioe Tjau Liong meneruskan kata2nya.

“Saudara ini adalah Be Boen Hwie. Beheng yang tersohor sebagai Tjong Piauw Pacu dari Propinsi Hoo-lam, Auw-pak, Auw-lam serta Kiang Si!”

Tiga orang diantara keempat tamu yang hadir dalma meja perjamuan itu bersama bangun berdiri seraya menjura.

“Sudah lama kami mengagumi nama besar Beheng, beruntung ini hari kita dapat saling berjumpa.

Diantara keempat orang itu hanya sang siucay setengah baya yang berbaju putih, berwajah pucat pasi bagaikan mayat dan duduk di sebelah Utara tetap tak berkutik dari tempat duduknya sikap orang ini seakan2 sama sekali tidak mendengar bilamana Tjioe Tjau Liong sedang memperkenalkan seseorang kepadanya. Be Boen Hwie melirik sekejap ke arah siucay berbaju putih itu kemudian balas memberi hormat kepada ketiga orang itu.

“Tidak berani…. tidak berani….”

Tjioe Tjau Liong sendiripun berlagak pilon atas sikap sang siucay berbaju putih yang tetap duduk tan berkutik dari tempatnya semula sambil menuding ke arah tiga orang yang sedang menjura ujarnya.

“Mereka bertiga adalah Thay San Sam Hiong atau tiga manusia gagah dari gunung Tahy san Ong bersaudara.

“Siauw-te Ong Tong!” ujar lelaki yang ada disebelah Selatan memperkenalkan diri.

“Siauw-te Ong Kie!” sambung lelaki yang ada disisi Ong Tong memperkenalkan diri

“Siauw-te Ong Huang!” terakhir lelaki yang ada disebelah Barat berseru.

“Selamat bertemu, selamat bertemu!” buru-buru Be Boen Hwie menjura.

Setelah itu Tjioe Tjau Liong baru menuding ke arah siucay berbaju putih itu sambil ujarnya

“Saudara ini adalah Tong Hay Sin Phu atau si Peramal sakti dari Lautan Timur Suma Kan adanya!”

“Orang ini sombong sekali akupun tak usah sungkan2 terhadap dirinya….” pikir Be Boen Hwie yang pada dasarnya sudah amat mendongkol terhadap orang itu.

Lambat2 ia ambil tempat duduk, sementara dengan nada hambar jawabnya

“Ooouw….! ternyata Suma-heng adanya.”

Suma Kan kontan tertawa dingin.

“Heee…. heee…. raut muka Be Tjiong Piauw Pacu tidak terlalu bagus. dalam waktu dekat bakal menjumpai bencana berdarah!”

Sepanjang hidup siauwte paling tidak percaya dengan segala macam ramalah manusia” jawab Be Boen Hwie, tertawa dingin.

“Kalau Beheng tidak percaya, kita lihat saja nanti hasilnya! Cayhe akan bicara lebih tegas lagi. mulai ini hari sampai tiga hari mendatang, seandainya Be Tjong Piauw Pacu tak menjumpai bencana berdarah maka sejak itu siauwte tidak akan menggunakan sebutan Si peramal sakti dari Lautan Timur lagi!”

Mendengar ucapan itu diutarakan demikian yakin dan tegas, tak urung Be Boen Hwie dibikin kaget juga. ia angkat kepala memandang sekejap ke arah Suma Kan dan akhirnya berkata lirih.

“Terima kasih atas petunjukmu?”

Suma Kan mendongak tertawa terbahak2, ia angkat cawan araknya dan sekali teguk menghabiskan isinya.

Menjumpai Suma Kan telah mulai meneguk arak, buru-buru Tjioe Tjau Liong pun angkat cawan araknya sembari berseru

“Tjuwi, silahkan!”

Selama ini Be Boen Hwie masih menaruh kewaspadaan yang tinggi walaupun ia sudah meneguk arak dalam cawannya namun selama ini tidak ditelan ke dalam perut, dengan meminjam kesempatan mengeluarkan sapu tangan ia tumpahkan kembali arak tadi ke dalam kain tersebut.

Menanti dilihatnya Suma Kan serta Ong bersaudara makan minum dengan riangnya tanpa menimbulkan reaksi apapun lama kelamaan ia baru berani minum arak sambil bersantap.

Dalam perjamuan kali ini, kecuali suara Tjio Tjau Liong yang mengajak tamunya minum arak, semua orang jarang sekali bicara. Pertemuan tersebut diselesaikan dalam waktu singkat.

Setelah perjamuan selesai tiba-tiba si Peramal sakti dari Lautan Timur ambil lkeluar tiga biji mata uang dari dalam sekunya kemudian dicekal dalam sepasang tangan dan di-kocok2 beberapa kali dan disebar ke atas meja. Setelah diperiksa sejenak ia bergumam seorang diri,

“oouw….! di dalam perkampunan Pek Hoa Sancung sudah kemasukan mata2 dalam jumlah tidak sedikit”

Be Boen Hwie terperanjat mendengar ocehannya itu diam2 ia lantas berpikir.

“Benarkah simanusia sombong ini mempunyai kemampuan untuk meramalkan hal2 mendatang?”

Dalam pada itu Tjioe Tjau Liong telah tersenyum setalah mendengar ocehannya.

“Suma-heng menurut pendapatmu ada berapa orang mata2 yang telah menyelundup masuk ke dalam perkampungan kami ini?”

“Menurut perhitungan ramalanku paling sedikit ada belasan orang banyaknya!

“Tidak banyak, tidak banyak, kalau menurut penilaian Cungcu kami paling sedikit seharusnya ada dua puluh orang banyaknya”

“Hmm! kalau begitu Shen Toa Cungcu kalianpun pandai dalam soal meramal….?” jengek Suma Kan dingin.

Mendengar ketidak puasan tetamunya ini, Tjioe Tjau Liong segera tertawa.

“Walaupun Toa Cungcu kami tidak dapat meramal namun semua dugaannya tidak pernah meleset!”

Suma Kan segera menyimpan kembali mata uang emasnya sembari masukkan benda itu ke dalam saku ujarnya kembali dengan nada dingin.

“Menurut ramalah siauw-te mata2 yang menyelundup masuk ke dalam perkampungan tidak mendatangkan keberuntungan bagi perkampungan kalian….”

“Ha…. ha…. tentang soal ini Suma heng tak usah kuatir” tukas Tjioe Tjau Liong sambil tertawa bergelak. “Kemungkinan terjadinya bencana serta kekalutan sudah berada di dalam perhitungan Toa Cungcu kami!”

“Aku lihat ada kemungkinan besar perubahan yang bakal terjadi jauh ada diluar dugaan Toa cungcu kalian” ujar Suma Kan kembali, agaknya ia menaruh keyakinan penuh atas hasil ramalan sendiri.

“Sekalipun situasi dalam kekalutan tersebut mungkin sekali sedikit berada diluar dugaan Toa Cungcu kami. Aku pikir tidak akan sampai mengacaukan seluruh keamanan perkampungan” sambung Tjioe Tjau Liong kembali dengan cepat setelah melirik sekejap ke arah Be Boen Hwie.

Suma Kan semakin tidak puas. ia simpan kembali mata uangnya dan berseru dingin.

“Baik kalau memang Tjioe Tjau Liong tak mau mendengarkan peringatan dari siauwte, akupun tidak ingin banyak bicara lagi. Akan siauwte lihat dengan cara apa perkampungan kalian hendak mengatasi kekalutan yang bakal terjadi?!”

Sikap Suma Kan yang begitu kukuh atas hasil ramalannya ini sangat aneh sekali hampir menimbulkan rasa tercengang dihati Thay-san Sam HIong dalam waktu hampir berbareng mereka bersama2 berpikir.

“Dikolong langit mana ada manusia yang begitu kukuh hendak memaksa orang lain mempercayai hasil ramalannya, Suma Kan boleh terhitung seorang manusia paling kukoay.”

Sementara itu lambat2 Be Boen Hwie meninggalkan tempat duduknya ia berpaling ke arah Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sancung dan menegur.

“Saat ini arak serta sayur sudah mengenyangkan perutku, apakah Jie Cungcu masih ada petunjuk lain?”

“Tidak berani. tidak berani. Kalau Be-heng tidak ada urusan lagi silahkan berlalu dari sini”

“Kalau begitu siauwte mohon diri lebih dulu Be Boen Hwie segera menjura dan mengundurkan diri.

Dengan kepala tertunduk Siauw Ling mengikuti dibelakang Be Boen Hwie kembali keruangan Bambu Hijau.

Memandang bayangan punggung Be Boen Hwie yang lenyap dibalik ruangan tiba-tiba Suma Kan berkata.

“Jie Cungcu kenalkah kau dengan orang ini”

“Baru ini hari aku saling berjumpa dengan dirinya, namun terhadap asal usul serta perbuatannya selama ini aku sudah mengetahuinya jelas bagaikan melihat jari tangan sendiri.

“Orang ini merupakan manusia pertama yang terselubung oleh persoalan besar. Jie Cungcu harus berlaku hati2 terhadap dirinya!”

Selesai bicara, tidak menanti jawaban dari Tjioe Tjau Liong lagi ia segera mengundurkan diri.

Sementara itu Be Boen Hwie serta Siauw Ling yang kembali kepesanggrahan Bambu Hijau dengan hati mendongkol disambut oleh Hong Tju yang penuh dihiasi dengan senyuman.

Sambil menghidangkan air teh tegur dayang itu sambil tertawa.

“be-ya apakah kau hendak beristirahat?”

“Aku hendak duduk tenang sejenak silahkan nona pergi beristirahat sendiri!”

“Budak hendak melayani Be-ya!”

“Tidak usah!” dengan cepat Be Boen Hwie ulapkan tangannya setelah merandek sejenak sambungnya lebih jauh.

“Seandainya Nona ada maksud meninggalkan perkampungan Pek Hoa Sancung nanto setelah berjumpa dengan Shen Toa Cungcu aku bisa bantu kau membicarakannya….”

“Be-ya!” buru-buru Hong Tju menukas. “Sekalipun kau tidak suka budak melayani dirimu terus menerus jangan se-kali2 mohonkan budak untuk bebas dari perkampungan ini dihadapan Toa cungcu….”

“Aku tahu” ujar Be Boen Hwie sambil tertawa, “Aku akan mohon pada Shen Toa Cungcu untuk menghadiahkan nona kepada cayhe, menanti kita sudah meninggalkan perkampungan Pek Hoa Sancung, nonapun boleh pergi kemanapun kau ingin pergi!”

“Kolong langit demikian luas, aku tiada bersanak tak berkeluarga kau hendak suruh aku pergi kemana? ujar Hong Tju dengan nada sedih “Tidak berani merepotkan Be-ya banyak bicara dihadapan Toa Cungcu!”

Ia segera putar badan dan berlalu.

Melihat wajah dayang itu memperlihatkan kesedihan bercampur ketakuran. Be Boen Hwie lantas berpikir dalam hatinya.

“Agaknya dayang ini ada maksud meninggalkan perkampungan Pek Hoa Sancung hanya tidak kuketahui maksudnya ini benar2 atau palsu! Aaai…. hanya seorang dayang dari perkampungan Pek Hoa Sancung pun sudah cukup membuat orang pusing tujuh keliling dan tak tahu apa sebenarnya yang mereka sedang tuju….”

Sementara ia berpikir, mendadak tampak Hong Tju yang baru saja meninggalkan ruangan telah muncul kembali dengan langkah ter-gopoh2.

“Be-ya…. Be-ya….!” teriaknya cemas. “Ada seorang sianseng she Suma datang berkunjung”

“Suma Kan datang berkunjung? apa sebabnya ia datang kemari?” seru Be Boen Hwie dengan hati keheranan. “Orang ini punya watak tinggi hati dan tujuan yang sukar diduga aku harus baik2 menjaga diri….”

Ia lantas berkata.

“Cepat undang ia masuk kedalam….”

Belum selesai ia berkata Suma Kan telah menerobos masuk ke dalam ruangan sembari terseru

“Be-heng maaf kalau aku telah mengganggu ketenanganmu”

Nada suaranya dingin kaku boleh dikata ia tidak sedang mengutarakan kata2 menghormat.

Sebenarnya Be Boen Hwie pun akan mengucapkan beberapa patah kata merendah namun mendengar nada suaranya dingin kaku pikirannya segera bergerak pikirnya.

“Terhadap manusia yang demikian sombongnya akupun tidak usah berlaku banyak adat lagi….”

Dengan suara yang tidak kalah dinginnya ia segera menegur.

“Apa maksud kedatangan Suma-heng?!”

Tidak menanti ia dipersilahkan duduk Suma Kan telah ambil tempat duduk sendiri jawabnya.

“Dihadapan manusia budiman lebih baik kurangi bicara palsu. bukankah kedatangan Be-heng ke dalam perkampungan Pek Hoa Sancung ini mengandung maksud jelek…. mungkin kau masih bisa mengelabui didi Tjioe Tjau Liong, namun tidak akan berhasil mengelabui siauwte!”

“Heee…. heee…. Suma-heng hanya ingin mengutarakan beberapa patah kata ini saja?” jengek Be Boen Hwie sambil tertawa dingin. “Siauwte sudah tahu!”

“Tjioe Tjau Liong tidak sudi mendengarkan peringatanku ia terlalu yakin penjagaan dalam perkampungan Pek Hoa Sancung nya kuat dan kokoh bagaikan dinding baja hal ini sungguh membuat siauw-te merasa kheki bercampur mendongkol” tukas Suma Kan dengan cepat.

Beberapa patah perkataan ini sungguh mengejutkan sekali, Be Boen Hwie tidak mengira kalau orang ini berani mengutarakan kata2 yang demikian terang2an menentang perkampungan Pek Hoa Sancung dihadapan orang lain.

Untuk beberapa saat lamanya Be Boen Hwie tak dapat meraba maksud hatinya. dengan alis berkerut ia bertanya.

“Maaf kalau siauw-te bodoh sehingga tidak dapat menangkap maksud ucapan dari Suma heng barusan dapatkah kau memberi penjelasan!”

“Maksud Siauw-te sederhana sekali aku ingin memaksa Tjioe Tjau Liong percaya dan mengerti kalau ramalan dari aku Suma Kan bukan permainan iseng belaka yang sama sekali tiada bukti dan fakta”

“Dan entah apa rencana Suma-heng untuk membuktikan ramalanmu itu?”

“Tjioe Tjau Liong tidak mau percaya perkataan dari aku Suma Kan, aku akan memaksa dia merasakan sedikit pahit getir dan tahu akan kelihayan dari aku Suma Kan”

“Coba terangkan lebih jelas lagi”

Suma Kan tidak langsung bicara sinar matanya menyapu ke arah Hong Tju yang berdiri diujung ruangan bibir yang bergerak segera dibatalkan kembali.

Hong Tju yang mengetahui keadaan segera menyadari akan situasi yang ada didepan mata tanpa banyak bicara ia segera mengundurkan diri dari dalam ruangan.

“Nah sekarang kau mulai bicara!” kata Be Boen Hwie sambil tertawa sepeninggalnya dayang tersebut.

“Maksud kedatangan Be-heng kemari bukan saja siauw-te sudah mengetahui sangat jelas sekalipun Tjioe Tjau Liong sendiri aku rasa ia jauh lebih jelas lagi”

“Tidak salah! kata Be Boen Hwie sambil tertawa hambar. “Siauw-te memang tidak bisa hidup berbareng dengan orang perkampungan Pek Hoa Sancung, namun berkat perhatian mereka yang suka memberi muka kepadaku mereka telah mengirim undangan untuk mengharapkan kehadiranku dalam perjamuan ini. Seumpama siauw-te tidak datang bukankah mereka akan mentertawakan aku seorang manusia berhati kecil?”

“Tetapi menurut pandangan cayhe kedatangan Be-heng kali ini ada kemungkinan besar bukan disebabkan nama besar serta muka belaka”

Mendengar perkataan itu pikiran Be Boen Hwie rada bergerak pikirnya.

“Orang ini sangat jarang berkelana didaerah Tionggoan, jarang berhubungan dengan orang2 dunia persilatan, aku tidak tahu asal usulnya dan tidak tahu pula apa hubungannya dengan pihak perkampungan Pek Hoa Sancung aku tidak boleh banyak membocorkan maksud kedatanganku….”

Karena berpikir demikian ia lantas ambil keputusan dalam hatinya dan tertawa hambar katanya.

“Perduli bagaimanakah cara Suma-heng berpikir dalam hatimu namun siauw-te tidak akan mengubah pendapatku sendiri”

“Seumpama Be-heng mau membeberkan rencanamu selanjutnya kepada siauw-te, ada kemungkinan siauw-te bisa membantu usahamu mencapai sukses”

“Suma-heng amat percaya akan hasil ramalanmu, kenapa tidak diramalkan saja apa rencana siauw-te di dalam hati?”

Air muka Suma Kan seketika berubah hebat agaknya ia sangat tidak senang mendengar ucapan itu. Mendadak ia bangun berdiri.

“Aku rasa Be-heng pun tidak mau menaruh kepercayaan terhadap diri siauw-te?”

Melihat pihak lawan berlari, Be Boen Hwie pun ikut bangun berdiri. jawabnya sambil tertawa.

:Masing-masing pihak belum berkenalan terlalu lama, apakah Suma-heng tidak merasa pertanyaan yang kau ajukan sedikit keterlaluan?”

Air muka Suma Kan berubah semakin hebat.

“Apakah Be-heng ingin memaksa siauwte membantu pihak perkampungan Pek Hoa Sancung?” ancamnya.

“Tentang soal ini sih terserah pada pribadimu sendiri.

Mendadak Suma Kan angkat cawan air teh dan meneguk setegukan. lalu dengan nada dingin berkata kembali.

“Dalam beberapa hati mendatang Be-heng tentu akan menjumpai bencana berdarah maukah kau mendengarkan satu petunjuk jalan keluar dari siauwte!”

“Seorang lelaki sejati tidak jeri menghadapi mati maupun hidup tentang soal ini tak usah Suma-heng kuatirkan.”

“Jikalau Be-heng memang tidak percaya akan ketepatan hasil ramalan siauwte, yah sudahlah! kita tak usah membicarakan soal ini lagi!” ia letakkan cawan air teh itu ke atas meja kemudian berlalu dengan langkah lebar.

Si Peramal sakti dari Lautan Timur Suma Kan jauh2 datang dari daerah Tong Ih dengan maksud angkat nama dan mempopulerkan diri diantara para jago kangouw. ia percaya dengan kepandaian yang dimilikinya dengan mudah bisa tersohor dikolong langit.

Oleh sebab itu ketika ia tiba didaerah Tionggoan dan ikut mendengarkan peristiwa Perkampungan Pek Hoa Sancung yang menggemparkan seluruh dunia persilatan ia lantas mohon bertemu.

Dalam hatinya ia ingin mengandalkan kepandaian yang dimilikinya membuat orang kagum dan menerima penghormatan dimana2.

Siapa sangka ia tidak mendapat perhatian serius oleh perkampungan Pek Hoa Sancung, dalam keadaan gusar ia ada maksud membantu Be Boen Hwie untuk mengobrak-abrik perkampungan Seratus bunga ini. siapa sangka niatnya kembali ditampik oleh Be Boen Hwie.

Nona Hong Tju yang menanti diluar ruangan, setelah melihat Suma Kan berlalu dalam keadaan gusar segera balik ke dalam ruangan untuk membereskan cawan itu.

Siapa sangka ketika jari tangannya terbentur dengan cawan air teh itu, sebuah cawan kumala yang kuat mendadak hancur ber-keping2 dan tersebar diatas lantai.

Be Boen Hwie kelihatan tertegun setelah menjumpai peristiwa tersebut, setengah harian lamanya ia bungkam dalam seibu bahasa.

“Eeeh! ilmu silat yang dimiliki Suma siang-seng tidak lemah” puji Hong Tju sambil tertawa. “Asalkan ia bisa menahan diri dan tidak terlalu terburu napsu untuk mendapatkan nama kedudukan, dengan cepat sekali ia akan dipergunakan oleh pihak perkampungan Pek Hoa San-cung”.

Be Boen Hwie merasa pikirnya rada berengsek, agaknya tidak sedikit yang diketahui budak ini, bahkan sewaktu memperbincangkan ilmu silat dari Suma Kan nadanya begitu tenang, sama sekali tidak memperlihatkan rasa kaget kecuali berkmaksud memuji belaka, mungkinkah dayang ini memiliki ilmu silat yang sangat lihay?

“Mengapa aku tidak menggunakan dayang ini untuk banyak menyelidiki rahasia perkampungan Pek Hoa San-cung?” pikirnya dalam hati.

Setelah mendehem segera ujarnya

“Sudah lama cayhe dengar katanya pihak perkampungan Pek Hoa Sancung amat gemar mengumpulkan jago-jago lihay, sehingga dalam perkampungan banyak terdapat orang pandai. Tetapi aneh sekali, mengapa sikap mereka bergitu dingin dan hambar terhadap diri Suma Kan?”

“Tentang soal ini sebenarnya budak tidak berani memperbincangkan namun Be-ya adalah seorang lelaki sejati aku percaya Be-ya tidak akan menjebloskan budak ke dalam lembah penderitaan beritahu kepadamu pun tiada halangan.”

Ia memeriksa lebih dulu situasi diluar kamar setelah itu barulah ujarnya lebih lanjut.

“Hal ini harus disalahkan Suma Kan datang tidak pada waktunya. Toa Cungcu sedang pusatkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi pertemuan para jago sehingga tiada waktu baginya untuk berjumpa sendiri, tidaklah kalau seorang bakat bagus harus di-sia2kan dengan percuma.”

“Apakah Jie Cungcu tidak tahu kalau Suma Kan memiliki ilmu silat luar biasa?”

“Pertama. ketajaman mata Jie Cungcu tak bisa melebihi ketajaman Toa Cungcu. itu walaupun ia tahu kalau Suma Kan adalah seorang manusia aneh yang memiliki kepandaian luar biasa namun ia tak sanggup untuk mengetahui sampai dimanakah kepandaian yang dimilikinya dan kedua, iapun tidak berhak untuk menerima Suma Kan menjadi anggotanya”

“Kenapa?” Bukankah dia sebagai Jie Cungcu dari perkampungan Pek Hoa Sancung? apakah ia tidak berhak sama sekali untuk memutuskan sesuatu?”

“Dalam perkampungan Pek Hoa Sancung kami kekuasaan tertinggi selamanya hanya terletak ditangan Toa Cungcu seorang, Jie cungcu tidak lebih hanya sipenyampai perintah dari Toa cungcu”

“Oouw kiranya begitu”

Dengan sedih Hong Tju menghela napas panjang ujarnya kembali.

“Be-ya! beberapa patah perkataan ini budak hanya berani mengutarakan kepadamu seorang seumpama berita ini sampai bocor ditempat luaran sehingga dapat diketahui oleh Toa cungcu atau Jie cungcu maka penderitaan yang bakal budak terima sangat besar sekali. Kendati Jie cungcu tidak berkekuasaan untuk memutuskan suatu kenalan besar. namun dengan gampang sekali ia bisa memberi hukuman kepada budak.”

“Tentang ini harap nona berlega hati aku Be Boen Hwie bukan manusia rendah yang suka menceritakan persoalan in ikepada orang lain….”

Ia merandek sejenak kemudian ujarnya.

“Nona. tahukah kau Toa Cungcu hendak buka perjamuan ini pada tanggal berapa?”

“Waktu yang tepat adalah besok siang namun malam ini akan diselenggarakan suatu perjamuan malam yang megah dan besar, tempat perjamuan adalah dalam kebun bunga di depan loteng Penengok bunga. Sampai waktunya Toa Cungcu akan memimpin sendiri perjamuan tersebut”.

“Bisa memperoleh petunjuk dari nona, cayhe sangat berterima kasih sekali.”

Hong Tju tersenyum.

“Semoga saja janji yang telah Be-ya ucapkan, sepanjang masa tidak sampai terlupakan”

“Tentang hal ini nona tak usah kuatir!”

Diluar ia bicara demikian, sementara dalam hati keheranan, pikirnya.

“Sejak kapan aku pernah mengucapkan janji kepada dirinya? dan janji apakah yang telah kuutarakan?”

Tampak Hong Tju tersenyum dengan wajah penuh kegembiraan ia segera berlalu dari dalam ruangan.

Beberapa saat kemudian muncul Siauw Ling dari ambang pintu, sembari berjalan masuk pemuda itu berkata.

“Tjong Piauw Pacu meminjamkan kesempatan yang sangat baik ini duduklah mengatur pernapasan kemungkinan besar malam nanti tenaga kita banyak yang harus dibuang dengan percuma”

“Baik! aku akan mengatur pernapasan di ruang ini saja”

“Mengapa kau tidak bersemedi dalam kamar tidur saja?” tanya Siauw Ling keheranan. “Aku Siauw Ling akan bertindak sebagai pelindungmu, apakah kau masih tidak lega hati?”

Sementara ia masih diliputi rasa heran dan curiga Hong Tju telah balik ke dalam ruangan terdengar ia berkata sambil tertawa.

“Be-ya boleh beristirahat dengan lega hati di dalam kamar, budak telah memindahkan kedua kuntum bunga merah itu ketempat lain”.

“Ehmmm! dayang ini sungguh cerdik sekali” pikir Be Boen Hwie di dalam hati.

Ia segera kembali ke dalam kamar tidurnya sedikitpun tidak salah bau harum yang menggelorakan napsu telah lenyap tak berbekas, ia segera duduk bersila diatas pembaringan dan mulai mengatur pernapasan.

Menanti Be Boen Hwie telah bersemedi Siauw Ling baru berpaling sekejap ke arah Hong Tju sambil berkata, “Sewaktu Tjong Piauw Pacu kami sedang bersemedi, siapapun dilarang melakukan gangguan, untuk sementara waktu biarlah hamba yang berjaga2 disini, silahkan nona berlalu”

Walaupun wajah pemuda ini kuning pucat namun obat penyaruan tak dapat mengubah seluruh raut mukanya, terutama sekali sepasang matanya yang tajam dan memancarkan cahaya berkilat.

Ketika sinar mata Hong Tju berbentrokan dengan sepasang mata Siauw Ling, mendadak hatinya tergetar keras.

Tak kuasa lagi ia memperhatikan diri Siauw Ling beberapa saat lamanya.

“Wajahmu sinar mataku, aku rasa mirip sekali dengan seseorang” katanya selang beberapa saat kemudian.

“Mirip siapa?” tanya Siauw Ling suaranya dingin bagaikan es.

Hong Tju bertopang dagu dan berpikir beberapa saat kemudian ia baru menjawab.

“Waah….! kalau suruh ingat2 sekarang aku tidak sanggup pokoknya sinar matamu yang jeli itu pernah kutemui.”

“Ketajaman mata serta daya ingat dayang ini sangat bagus sekali” puji Siauw Ling di dalam hati. “Walaupun aku sudah menyaru ia masih dapat melihatnya juga. Tentu pada masa berselang ia sering kali bertemu dengan diriku”

“Sudah lama kau mengikuti Beya? tiba-tiba Hong Tju bertanya lagi dengan suara merdu.

“Sudah lama sekali”

Perlahan-lahan Hong Tju bertindak keluar dari ruangan, namun baru saja kaki kirinya melangkah keluar mendadak ia tarik kembali kemudian putar badan seraya menggape.

“Eee…. sekarang aku sudah teringat kembali, coba kemari aku beritahu kepadamu”

Walaupun dalam hati Siauw Ling tidak suka menuruti permintaannya, namun ia menyadari sangat jelas dayang yang dikirim kemari dalam pandangan umum sedang melayani tetamunya, padahal diam2 sedang melakukan pengawasan.

Seumpama ia bersikap terlalu dingin terhadap dirinya, asalkan dayang itu mengucapkan beberapa patah kata jelek dihadapan Tjioe Tjau Liong sehingga Shen Bok Hong memperkecil lingkungannya, hal ini sangat mempengaruhi sekali gerak gerik selanjutnya untuk menolong kedua orang tuanya.

Karena itu terpaksa ia melangkah kedepan dan bertanya, “Nona, apa yang hendak kau utarakan?”

“Kau mirip sekali dengan Sam-cung cu kami!!!”

“Aku mirip dengan Sam-cung cu kalian?” seru Siauw Ling dengan hati terperanjat. aah! masa, nona sedang bergurau mungkin?”

“Aku bukan lagi bergurau, apa yang kuucapkan adalah suatu kenyataan Sepasang matamu mirip sekali dengan Sam-cung-cu kami, hanya sayang raut mukamu kuning pucat dan jauh berbeda dengan kegantengan wajah cung-cu kami itu”

Tidak menanti jawaban dari Siauw Ling lagi, ia segera putar badan dan berlalu.

“Ooouw…. jadi dayang ini bisa mengatakan aku mirip dengan Sam Cungcu nya karena ditinjau dari sepasang mataku ini” pikir Siauw Ling. Ditinjau dari keadaan ini, mulai sekarang aku harus lebih waspada terhadap sepasang mataku ini”.

Sang surya lenyap disebelah Barat, malam haripun menjelang datang. Dari ufuk sebelah Timur rembulan perlahan-lahan munculkan diri.

Hong Tju dengan membawa lampu lentera lambat2 berjalan mendekat kepada Siauw Ling bisiknya lirih.

“Be-ya sudah bangun?”

“Belum. nona ada keperluan apa?”

“Waktu perjamuan yang diadakan toa cung cu untuk menghormati tamunya sudah hampir tiba, harap Be-ya segera dibangunkan untuk siap2 menghadiri perjamuan tersebut.

“Tjong Piauw Pacu kami selamanya menghadiri perjamuan dengan pakaian biasa, ia tidak pernah memakai pakaian mentereng.”

“Sekalipun tidak biasa memakai pakaian mentereng, seharusnya ia dibangunkan bukan?” ujar Hong Tju lebih lanjut, ia menggantungkan lentera itu dalam kamar lalu memasang lampu.

“Urusan ini gampang sekali nona tak usah kuatir dan tidak bakal urusan jadi runyam karena soal ini….” Siauw Ling sambil tertawa.

Ia merandek sejenak kemudian sambungnya.

“Cayhe ada satu persoalan ingin ditanyakan kepada nonda entah maukah nona memberi petunjuk?”

“Urusan apa?”

“Dalam perjamuan malam ini entah dapatkah kita orang menjumpai Sam cungcu kalian itu?”

“Tentu saja bisa bertemu tujuan Toa cung cu kami mengadakan pertemuan para jago justru ingin memperkenalkan Sam cungcu kami ini dihadapan para pendekar Bu-lim”

Mendengar jawaban itu kontan Siauw Ling berpikir.

“Entah siapa lagi yang akan bertindak sebagai Sam cungcu untuk menyaru sebagai aku Siauw Ling? apakah Lan Giok Tong telah diterima Shen Bok Hong sebagai anggota perkampungan Pek Hoa Sancung?”

Dalam pada itu Hong Tju telah berkata kembali.

“Kau bertanya demikian apakah disebabkan tadi aku pernah berkata bahwa wajahmu rada mirip dengan Sam cungcu kami?”

“Tentu saja hal ini merupakan alasanku yang paling utama cayhe ingin sekali menjumpai Sam cungcu kalian dan ingin membuktikan apakah benar wajahku mirip sekali dengan hamba”

Hong Tju segara tertawa bantahnya.

“Eeei….! siapa yang bilang keseluruhanmu mirip sekali dengan Sam Cungcu kami? aku hanya bilang sepasang biji matamu tok yang mirip sedang bagian2 yang lain jauh berbeda sekali”

Mengingat soal ini Siauw Ling teringat pula akan masalah lain pikirnya lebih jauh.

“Entah pada saat ini Sepasang pedagang dari Tiong-tjhiu serta si Pencuri sakti Siang Hwie sudah masuk ke dalam perkampungan Pek Hoa Sancung atau belum?”

Sementara mereka berdua masih ber-cakap2 Be Boen Hwie telah munculkan diri dari balik ruangan.

Hong Tju segera bongkokkan badan memberi hormat.

“Be-ya apakah kau hendak berganti pakaian?” tanyanya.

“Tidak perlu. Kapan perjamuan malam yang diadakan Toa cungcu kalian akan dibuka?”

“Nanti setelah rembulan melewati ujung pohon” jawab Hong Tju sambil memandang rembulan di-awang2.

“Siapa saja yang akan hadir dalam perjamuan itu?”

“Semua jago yang diundang oleh perkampungan Pek Hoa Sancung kami diundang semua untuk menghadiri perjamuan malam ini”

“Ehmm! kalau begitu mari kita segera berangkat!”

“Budak akan membawa jalan untuk Be-ya!” Hong Tju dengan cepat mengambil lampu lentera tersebut dan melangkah keluar lebih dahulu.

Be Boen Hwie berpaling sekejap ke arah Siauw Ling kemudian dengan ilmu menyampaikan suara ujarnya

“Siauw-heng. sewaktu dalam perjamuan nanti jangan lupa mengadakan hubungan dengan sepasang pedagang dari Tiong-tjhiu sekalian kemudian rundingkan rencana kita selanjutnya.

Siauw Ling mengangguk, langkahnya segera dipercepat untuk menyusul diri Hong Tju.

“Eeeei…. nona. apakah selama ini kau berdiam dalam pesanggrahan Bambu Hijau ini?”

“Benar! diantara kakak beradik yang memakai nama dengan permulaan huruf atau bambu, semuanya bekerja untuk melayani tamu yang menginap dipesanggrahan Bambu Hijau.”

——————–

33

Ooouw! kiranya begitu, jadi kalau begitu mereka yangbekerja untuk melayani para tetamu di Pesanggrahan bunga Lan-hoa, maka namanya juga menggunakan kata “Lan”?

“Kau pandai sekali! dugaanmu memang tidak meleset”

“Terima kasih atas pujianmu!” sementara dalam hati pikir Siauw Ling dengan hati mendongkol

“Sewaktu aku menjabat sebagai Sam Cungcu dalam perkampungan Pek Hoa Sancung kedudukanku begitu mentereng dan gagah. Hmm! pada waktu itu macam dayang seperti kau untuk bicara beberapa patahkata dengan diriku pun tidak gampang sekarang kau berani menyindir dan mengejek diriku….”

Sementara ia masih termenung mereka telah mengelilingi dua kebun bunga yang luas.

Ketikda mereka angkat kepala, tampaklah sebuah bangunan loteng yang tinggi megah menjulang keangkasa muncul diantara penerangan cahaya obor.

Dibawah loteng dalam sebuah lapangan rumput yang luas telah diatur puluhan meja perjamuan. ditinjau dari keadaan itu tamu yang diundang tidak banyak jumlahnya.

“Nona! Apakah kedatangan kita terlalu kepagian?” tegur Be bOen Hwie dengan alis berkerut sewaktu dilihatnya meja perjamuan masih kosong.

“Tidak, tidak terlalu pagi? Coba lihat bukankah dari sana muncul pula tetamu lain!”

Be Boen Hwie segera mendongak, sedikitpun tidak salah dari balik pepohonan sebelah Utara lambat2 muncul seorang dayang berbaju biru yang mengangkat lampu lentera tinggi2

Dibelakang dayang berbaju biru itu mengikuti seorang Siucay berusia empat puluh tahunan yang memakai baju panjang. memelihara jenggot sepanjang dada dan membawa sebuah kotak terbuat dari emas.

Dandanan orang ini istimewa sekali, dalam sekalipandang Siauw Ling telah mengenalinya sebagai si Pemilik Perpustakaan dari Siang Yang Peng Ih Boen Han To adanya.

Dibelakang siutjay tadi mengikuti Si “Pek So Suseng” atau pelajar bertangan seratus Seng Ing.

TAmpak Ih Boen Ban To serta Seng Ing dibawah petunjuk dari dayang berbaju biru itu ambil tempat duduk dimeja perjamuan paling dekat dengan loteng Wang Hoa Loo.

Dalam waktu yang amat singkat itulah dari empat penjuru muncul ber-puluh2 lentera disusul munculya para tetamu yang mencari tempat duduk masing-masing dibawah bimbingan dayang2 cantik.

Agaknya tempat duduk para tetamu itu sudah diatur, ber-puluh2 dayang cantik tadi berjalan melalui jalanan yang telah ditentukan dan satu sama lain tak ada yang saling bertabrakan.

“Be-ya, silahkan ambil tempat duduk!” tiba-tiba Hong Tju berseru sambil tertawa iapun meneruskan langkahnya kedepan.

Demikianlah dibawah bimbingan Hong Tju, Be Boen Hwie pun ambil tempat duduk sesuai dengan apa yang telah diatur.

“Nona, apakah aku mendapat pula tempat duduk?” mendadak Siauw Ling berbisik lirih.

Mendapat pertanyaan ini Hong Tju kerutkan alisnya. namn dengan cepat ia menjawab.

“Asal kau berani duduk, duduk sajalah disisi majikanmu! bagaimanapun juga setiap meja perjamuan dapat menampung delapan orang dan didalm kenyataan jumlahnya tidak sampai begitu banyak.”

“Terima kasih atas petunjuk nona.”

“Kau tak usah banyak terima kasih kepadaku!” dayang ini segera mengundurkan diri.

Mendadak tersengar suara yang amat dingin berkumandang datang memecahkan kesunyian.

“Oooouw….! buat kita jalan dikolong langit sungguh terasa amat sempit, kembali siauwte duduk jadi satu meja dengan Beheng!”

Be Oen Hwie egera berpaling, melihat munculnya Suma Kan disana ia segera menyahut.

“Mungkin inilah yang dinamakan Suma-heng ada jodoh dengan siauwte”

Suma Kan membungkam. ia ambil tempat duduknya berhadap2an dengan Be Boen Hwie sementara dayang cantik yang membawa jalan itu mengundurkan diri.

Menanti Be Boen Hwie menyapu kembali seluruh ruangan, terlihat puluhan orang dayang cantik yang membawa lampu lentera tinggi2 itu dalam sekejap mata telah lenyap tak berbekas, tak kuasa diam2 ia memuji pikirnya, “Perkampungan Pek Hoa San-cung betul2 tak boleh dipandang enteng, cukup ditinjau dalam didikannya terhadap dayang2 cantik itu sehingga berdisiplin keras kepandaiannya sudah dapat melebihi berdisiplinan sebuah perguruan besar….”

Mendadak terdengan Suma Kan berbicara,

“Dayang2 cantik yang ada di dalam perkampungan Pek Hoa San-cung ini, seorang lebih cantik dari dayang yang lain. Ooouw….! entah berapa banyak orang yang terjerumus dalam siasat perempuan cantik ini?”

Beberapa patah perkataan ini diutarakan dengan nada tinggi agaknya sengaja ia berkata demikian agar semua hadirin dapat menangkap suaranya ini.

Sedikitpun tidak salah, ucapannya itu segera mendatangkan reaksi. Ber-puluh2 pasang mata ber-sama2 dialihkan ke arahnya.

Air muka Suma Kan masih tetap tenang saja sambil mengangkat cawan teh ia meneguk satu tegukan setelah itu berkata kembali.

“Racun tawon kuning tidak terhitung benda berbisa, paling keji hati perempuan. bunga mawar berduri, arak mendatangkan napsu birahi, entah berapa banyak enghiong terpengaruh oleh licinnya pipi perempuan dan mendatangkan bencana buat diri sendiri. Oouw…. sungguh kasihan! sungguh menyedihkan”

Setiap patah perkataannya diutarakan dengan penuh mengandung hawa murni walaupun suaranya tidak keras namun ucapan ini dapat disampaikan ketempat jauh atau dengan perkataan lain setiap hadirin dapat mendengar suara itu dengan nyata.

“Suma-heng! sudah cukup” cegahnya dengan suara lirih. “Coba kau lihat beberapa patah perkataanmu sudah memancing perhatian dari semua orang!”

“Hmm! menurut penilaian siauwte” tukas Suma Kan dengan nada dingin. “Sebagian besar para jago yang hadir dalam perjamuan malam kali ini sudah terjerumus ke dalam siasat perempuan cantik. apakah aku boleh bersedih hati atas kejadian ini?”

Melihat kekerasan hati orang ini Be Boen Hwie lantas berpikir dalam hatinya, “Agaknya orang ini belum puas kalau ucapannya tidak mendatangkan suatu kegemparan…. lebih baik aku kurangi pembicaraanku dengan dirinya….”

Karena berpikir demikian ia lantas melengos dan pura2 tidak mendengar.

Mendadak Suma Kan mendongak tertawa terbahak2

Hee…. hee…. he…. kenapa begitu banyak orang bodoh hidup dikolong langit? kematian sudah berada diambang pintu masih juga mereka tahu diri dan datang memenuhi perjamuan terakhirnya?”

Ucapan ini seketika menggemparkan seluruh kalangan, suasana jadi gaduh dan suara bisik2 mulai kedengaran di-mana2.

Ketika Suma Kan melihat tak ada orang yang menggubris dirinya, mendadak ia hantam meja keras2 membuat mangkuk dan sumpit beterbangan diangkasa untuk kemudian jatuh berhamburan diatas lantai.

Dari balik pepohonan dengan cepat muncul empat orang bocah berbaju hijau yang mengangsurkan kembali mangkok serta sumpit baru.

Perbuatan Suma Kan semakin lama makin gila, lama kelamaan Be Boen Hwie tidak sabar juga, ia ada maksud maju kedepan menasehati dirinya dengan beberapa patah kata namun iapun takut juga bilamana persoalan ini menyeret dirinya karena itu dengan paksakan diri ia bersabar.

Terdengar Suma Kan mengangis ter sedu2 suara tangisannya makin lama semakin keras dan semakin pilu membuat suasana makin gempar.

Ketika Be Boen Hwie mendengar tangisan Suma Kan ini makin lama makin pilu ia jadi keheranan, pikirnya.

“Ilmu silat yang dimiliki orang ini tidak lemah bahkan kelihatan luar biasa sekali tapi mengapa suara tangis serta gelak tertawanya menunjukkan gejala tidak normal? mungkinkah ia betul2 sudah gila?”

Ia berusaha untuk bersabar namun akhirnya ia tak dapat menahan diri, bisiknya lirih.

“Suma-heng para jgao berkumpul disini dan perjamuanpun baru saja dibuka, kau menangis seperti orang gila apakah tidak merasa malu?”

Suma Kan angkat kepala mengusap air mata dan menghela napas.

“Semua orang yang kulihat dewasa ini bakal menemui ajalnya semua siapa suruh aku tidak jadi sedih!” katanya.

Diam2 Be Boen Hwie menghembuskan napas panjang.

“Aaai…. orang ini betul2 tidak ketulungan lagi” pikirnya.

Terdengar Suma Kan dengan suara serak meneruskan kembali kata2nya.

“Sungguh kasihan manusia dijagad. buru-buru datang kemari perlunya hanya mengantarkan kematian diri sendiri.”

Gumaman ini tidak digubris oleh sebagian orang namun ada pula diantara mereka yang bersipat kasar, mendengar kata2 itu jadi tidak tahan dan tertawa dingin tiada hentinya.

“Orang gila. manusia endan, orang gila….” makian bersimpang siur memecahkan kesunyian.

Sementara Suma Kan akan balas menyindir mendadak terdengar suara genta dipukul tiga kali.

Dari ujung puncak loteng Wang Hoa Loo mendadak melayang turun sekilas pelangi warna warni langsung melayang ke arah bebungahan beberapa tombak diluar kalangan.

Dengan ketajaman mata Be Boen Hwie ia segera dapat menemukan yang dianggap sebagai pelangi tersebut bukan lain adalah beberapa angkin yang digundel jadi satu kemudian dilepaskan dari atas loteng ia jadi tercengang.

“Apa gunanya Shen Bok Hong melepaskan kain angkin tersebut?” pikirnya.

Mendadak terdengar suara tetabuhan alat khiem berkumandang datang diikuti bergemanya irama lagu yang merdu dari empat penjuru.

“Hmm! Shen Bok Hong sengaja menciptakan suasana semacam ini, tentu permainan ini pun termasuk salah satu cara untuk mempermainkan orang” pikir Be Boen Hwie.

Dalam pada itu dengan sepasang mata yang tajam Siauw Ling menyapu empat penjuru sewaktu ia gagal menjumpai Tiong-tjhiu Siang Ku beserta Siang Hwie sekalian, hatinya amat gelisah pikirnya.

“Seandainya diantara rekan2ku cuma aku sertaBe Boen Hwie yang lolos dari penjagaan sekalipun ini hari mendapatkan kesempatan juga percuma, entah kegagalan ini disebabkan jejak mereka konangan dan ditolak masuk ke dalam kampung ataukan Siang Hwie bicara besar dan gagal mendapatkan tanda pengenal untuk masuk ke dalam perkampungan.

Terdengar diantara bergemanya irama musik berkumandang datang suara seruan lantang

“Cianghujien keluarga Tong dari Su Tzuan Tong Loo Thah-thay tiba?”

Keluarga Tong Tuan selama ini berdiri sendiri dalam dunia persilatan, mereka angkat nama dan menggemparkan Bulim karena senjata rahasia beracunnya.

Dari keluarga Bulim ini sejak jaman dulu tertinggal suatu peraturan yang aneh dan terus turun menurun. yaitu ilmu silat keluarga Tong hanya diturunkan kepada menantunya. sedang putra sendiri tak boleh mempelajarinya, dalam keluarga tersebut, hanya seorang bocah cilikpun pandai melepaskan beberapa macam senjata rahasia beracun.

Disamping itu keluarga Bulim inipun mempunyai suatu peraturan turun menurun pula. yaitu sepasang dayang yang mengiringi ciang bunjien tidak terbatas punya hubungan dengan keluarga Tong atau tidak yang penting ia adalah seorang gadis cantik dan berakal cerdik.

Setiap orang yang menjabat kedudukan ciang bunjien mempunyai hak untuk memilih dua orang dayang pribadinya mereka tak terbatas dari manapun dan dari keluarga she apapun yang penting mereka mempunyai syarat yang cukup untuk menerima jabatan ciangbunjien selanjutnya.

Setiap orang yang sudah dipilih untuk menerima jabatan sebagai Ciangbunjien dan telah memilih dua orang dayang pengiringnya mereka harus menjalankan penghidupan tertutup selama lima tahun.

Di dalam lima tahun, ia harus hidup disuatu tempat yang sunyi sepi dan tersendiri dari pergaulan masyarakat, orang yang mendampingi mereka cuma sepasang dayangnya. karena itu dayang pengiring setiap angkatan ciangbunjien pasti memiliki wajah keagungan.

Kecuali mendapat ijin khusus dari ciangbunjien sepasang dayang mereka dilarang menikah mereka selalu harus mendampingi ciangbunjien nya sampai ia menyerahkan kedudukan ciangbunjien tadi ketangan orang lain dan mengundurkan diri, sepasang dayang tadi harus mengikuti ciangbunjien mengasingkan diri.

Peraturan turun temurun ini memang sangat aneh dan kadang2 memberikan suatu pendangan yang lucu kebanyakan sepasang dayang dayang yang terpilih memiliki hubungan yang lebih akrab dari hubungan ibu dan anak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar