SATU
KEGELAPAN perlahan menyelimuti permukaan bumi. Bersamaan dengan bergantinya sang waktu, kabut tipis pun bergerak turun. Hingga, suasana daerah Perbukitan Lanjar tampak semakin gelap. Dalam cuaca seperti itu, tampak tiga sosok bayangan bertubuh tegap mengendap-endap mendekati sebuah bangunan besar, yang berada di kawasan Bukit Lanjar.
Tingkah mereka tampak mencurigakan. Apalagi pakaian yang dikenakan ketiga orang itu berwarna gelap. Bahkan wajah-wajah mereka pun tampak sebagian tertutup selembar kain hitam. Jelas, kedatangan mereka berniat tak baik.
Sementara, bangunan luas yang sekelilingnya dipagari kayu-kayu bulat setinggi satu tombak lebih itu, tampak berdiri angker. Tak seorang pun terlihat berjaga-jaga di sekitar bangunan itu. Tentu saja kedatangan tamu-tamu tak diundang itu tidak diketahui si pemilik bangunan!
"Hati-hati...," bisik sosok bayangan hitam terdepan menghentikan langkahnya sejenak. "Kalau kehadiran kita sampai diketahui, aku tidak bisa menjamin, apakah kita bisa kembali dengan selamat." lanjut sosok pertama dengan nada yang jelas menandakan ketegangan hatinya.
Tampak sosok kedua dan ketiga menganggukkan kepala tanpa berusaha untuk membantah. Sepertinya kedua orang itu sadar, pekerjaan yang mereka lakukan itu sangat berbahaya!
Usai memberi peringatan kepada dua orang kawannya, sosok pertama kembali mengisyaratkan maju dengan gerakan tangan yang perlahan. Kembali ketiga sosok bayangan hitam itu mengendap-endap mendekati bangunan di depan mereka. Ketika jarak mereka ke bangunan itu semakin dekat, sosok pertama merunduk di balik semak-semak. Kedua sosok di belakangnya segera mengikuti tanpa banyak cakap.
"Hm..., menurut ketua, Datuk Tangan Malaikat mempunyai beberapa orang murid, yang dipekerjakan sebagai pembantu-pembantunya. Tapi, mengapa tidak terlihat seorang pun yang berjaga-jaga? Apakah mereka telah mengetahui kedatangan kita sebelumnya? Bisa jadi ini suatu jebakan....!" sosok pertama kembali berbisik lirih. Sepasang matanya kembali menjelajahi sebelah atas pagar kayu bulat itu dengan penuh curiga. Jelas tindakannya sangat hati-hati.
"Tapi, bukankah tugas kita hanya mengirimkan surat, Kakang?" tukas sosok kedua yang bertubuh sedikit lebih tinggi. Suaranya berat dan dalam.
"Memang. Tapi kau pun harus ingat, Adi. Penghuni bangunan yang kita datangi ini, bukan orang sembarangan. Sedikit saja kita menimbulkan bunyi yang mencurigakan, cukup untuk membuat tokoh sakti itu bangkit dari tidurnya. Kalau sudah begitu, sulit dipastikan apakah kita bisa selamat atau tidak dari tangan mautnya," ucap sosok pertama mengingatkan kesaktian penghuni bangunan yang mereka datangi.
"Kau jangan mengecilkan hati kami, Kakang. Ucapanmu itu sama saja dengan menakut-nakuti," sahut sosok ketiga tak senang. Suaranya terdengar kecil tinggi melengking, tak ubahnya seperti suara seorang wanita. Padahal, kalau melihat bentuk tubuhnya, jelas sosok ketiga itu seorang lelaki tulen.
"Bukan itu maksudku, Adi. Aku cuma mengingatkan, kita harus hati-hati," sosok pertama membantah. Sepertinya ia tidak ingin disalahkan.
"Sudahlah. Untuk apa kita saling berbantah. Sebaiknya, tugas ini cepat-cepat kita selesaikan, lalu pergi sejauh mungkin," sosok ketiga yang menyaksikan perdebatan kedua orang kawannya segera melerai dan mengingatkan tujuan mereka berada di tempat ini.
"Ayolah...," ujar soosk pertama sambil melesat dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ia belari dengan menggunakan ujung kaki, agar langkahnya tidak menimbulkan suara yang mencurigakan.
Kedua sosok lainnya bergegas melesat dengan cara yang sama. Kemudian merapatkan dirinya ke pagar kayu dan tempat yang cukup terlindung dari sinar lampu. Karena hampir setiap sudut pagar kayu itu terdapat obor sebagai penerangan.
Dengan lincah, ketiga sosok bayangan hitam itu berlompatan susul-menyusul melewati pagar yang menghalangi mereka. Tanpa menimbulkan suara yang berarti, mereka berbasil menjejakkan kaki di dalam halaman bangunan besar itu. Ketiga sosok tubuh itu kembali berkelebat menuju halaman samping.
Mereka sama-sama merendahkan tubuh agar tidak sampai dilihat penghuni bangunan itu. Malang, sepertinya nasib mereka sedang sial! Beberapa saat setelah ketiga sosok itu melesat ke arah samping bangunan utama, tampak dua sosok tubuh keluar dari pintu samping, yang berada di belakang ketiga sosok tubuh itu.
"Hei, siapa kalian...?" terdengar suara bentakan yang membuat jantung ketiga tamu tak diundang itu seperti copot!
"Celaka...!" desis sosok pertama dengan suara hampir tidak terdengar karena saking terkejutnya. "Lari...!" perintahnya sambil melesat menuju pintu gerbang.
Tanpa diperintah dua kali, kedua sosok tubuh lainnya segera menghambur mengikuti sosok pertama. Sebelum meninggalkan tempat itu, sosok kedua yang tubuhnya paling tinggi di antara ketiga sosok tubuh itu, segera mengibaskan lengannya ke arah dua orang yang mengejar mereka!
Syuuut...!
"Awaaas...!" salah seorang dari dua murid tokoh yang mereka sebuat sebagai Datuk Tangan Malaikat. Menyadari apa yang dilakukan salah seorang bayangan hitam itu, ia segera melempar tubuhnya ke samping, guna menghindari luncuran sinar putih yang berkeredep ke arah keduanya.
Cappp...!
Tiang kayu penyangga ruangan depan, bergetar keras ketika pisau terbang yang dilontarkan salah seorang bayangan hitam itu menancap, hingga setengahnya.
"Gila! Kekuatan tenaga dalam mereka sangat hebat sekali! Entah apa yang membuat mereka melarikan diri? Padahal, kalau mengukur dari kekuatan lemparannya, jelas kepandaian orang-orang itu berada di atas kepandaian kita? Aneh..?" desis lelaki berwajah runcing yang dagunya terhias jenggot lebat. Lelaki inilah yang menyadari lebih dahulu bahaya lontaran pisau terbang itu.
"Hei, lihat! Sepertinya pisau itu sengaja dilontarkan untuk mengirimkan pesan?" ucap lelaki kedua. Meskipun tubuhnya terlihat agak kurus, namun padat berisi. Tanpa menunggu tanggapan kawannya, ia langsung mencabut pisau terbang itu dengan mengerahkan tanaga dalam. Lontaran senjata itu tertanam kuat di kayu penyangga.
"Mari kita laporkan kepada guru...," usul lelaki bermuka runcing yang melangkah menuju pintu ruangan depan. Tanpa membantah lagi, kawannya pun bergegas mengikuti.
***
"Bedebah! Ini benar-benar sebuah penghinaan bagiku!" lelaki gagah itu berteriak marah sambil menggebrak meja bulat dengan telapak tangannya. Karuan saja meja itu hancur berantakan!
"Apa isi surat itu, Kakang? Coba kulihat..," wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun yang duduk di sebelah lelaki gagah itu bertanya dengan wajah penasaran. Diambilnya lembaran yang berupa kulit kayu dari tangan lelaki gagah itu.
"Hm..., aku akan membuat perhitungan dengan Raja Iblis Racun Merah! Sungguh berani iblis itu menculik anakku!" lelaki gagah yang tak lain Datuk Tangan Malaikat itu kembali mengomel seperti tak berkesudahan.
Wanita cantik yang berada di sebelah Datuk Tangan Malaikat pun bangkit dari kursinya. Tangannya yang mungil itu terkepal erat, hingga menimbulkan bunyi bergemeretak keras! Jelas ia marah setelah membaca isi surat di tangannya itu.
"Kalau memang dia mempunyai keberanian, mengapa tidak langsung saja menantang kita? Mengapa mereka harus menculik putra kita? Apakah dia takut kalah? Lalu, menggunakan putra kita sebagai sandera untuk keselamatannya? Benar-benar licik sekali iblis tua itu!" geram wanita cantik itu dengan wajah agak pucat. Ia khawatir sekali atas keselamatan putranya yang bernama Puja Merta.
"Biar bagaimanapun, aku tetap akan menerima tantangan itu! Akan kurobek tubuh Raja Racun Merah itu kalau sampai ia berani mencelakai putra kita!" janji Datuk Tangan Malaikat dengan wajah gelap, "Sekarang, kita harus mendatangi kediaman Raja Iblis Laknat itu!" usai berkata, ia segera mengajak istrinya untuk berkemas.
Istri Datuk Tangan Malaikat menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, terlihat sepasang suami istri pendekar itu berangkat memenuhi tantangan Raja Racun Merah, yang tertera di suratitu.
Matahari sudah bergeser ke sebelah Barat. Namun, pancaran sinarnya tampak masih menyirami permukaan bumi dengan teriknya. Bahkan tiupan angin yang bersilir lembut, menebarkan hawa panas yang membuat udara menjadi pengap.
Saat itu, dua sosok tubuh tampak bergerak memasuki mulut sebuah hutan kecil. Meskipun udara saat itu sangat tidak enak untuk dinikmati, tapi bagi kedua sosok tubuh yang tengah melangkah itu, sepertinya tidak menjadi halangan. Keduanya tetap saja melangkah tenang, tanpa terburu-buru. Agaknya mereka tidak merasa terganggu dengan udara panas siang itu.
"Hm..."
Ketika kedua sosok tubuh itu tengah melintasi sebuah tempat yang agak terbuka di bagian dalam hutan, tiba-tiba salah seorang dari kedua sosok itu menggeram lirih. Seiring dengan geraman yang keluar dari mulutnya, sosok bertubuh tinggi gagah itu memperlambat langkahnya. Sikapnya jelas menandakan bahwa ia telah bersiaga penuh!
"Kau mendengar sesuatu, Kakang...?" tanya sosok ramping yang berada di sebelahnya. Suaranya terdengar lirih. Meskipun mulutnya bertanya, tapi sikap sosok tubuh ramping itu tetap wajar. Langkahnya tetap terayun dengan tatapan mata lurus ke depan.
"Hati-hatilah...!" sahut lelaki gagah di samping wanita cantik itu. Meski jawaban itu singkat, namun mengandung peringatan atas bahaya yang mungkin tengah mengintai! Dan, wanita cantik itu pun sadar atas peringatan kawannya.
Meskipun kedua sosok tubuh itu telah curiga dengan keadaan di sekitarnya, tapi sikap mereka terlihat tetap wajar. Bahkan langkah kaki mereka pun terayun tanparagu.
Tapi, baru beberapa tombak mereka berjalan, mendadak terdengar suara berdesingan gemuruh!
Singngng... singngng...!
Suara-suara mendesing tajam yang datang dari empat penjuru itu, membuat suasana hening mendadak ribut! Bersamaan dengan itu, tampak puluhan batang anak panah meluncur datang! Sasarannya jelas kedua sosok lelaki dan wanita yang tengah berjalan itu!
"Bangsat pengecut..!" terdengar lelaki gagah di sebelah wanita cantik itu menggeram marah! Sambil memaki, sepasang tangannya berputar cepat di depan dada. Terus melebar hingga menimbulkan putaran angin yang menderu-deru!
Hebat sekali apa yang dilakukan lelaki gagah itu! Puluhan batang anak panah yang mengancam tubuhnya, langsung berjatuhan ke atas tanah! Padahal, anak-anak panah itu masih satu tombak lebih dari tubuhnya! Benar-benar sebuah tenaga dalam yang tinggi dan sukar untuk diukur!
Lain halnya dengan yang dilakukan wanita cantik di sebelahnya. dengan sebilah pedang yang dicabut dari pinggang kirinya, wanita cantik itu bergerak bagaikan orang yang sedang menari-nari.
Trakkk... trakkk...!
Mengagumkan sekali! Puluhan anak panah itu terpental kian kemari, akibat tangkisan pedang di tangan wanita cantik itu! Sehingga, tak satu pun sejata gelap itu berhasil mengenai tubuhnya. Semuanya runtuh dalam keadaan patah! Nyata sudah kalau pasangan sosok tubuh itu merupakan tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi.
Bagi tokoh-tokoh persilatan yang mengenal kedua sosok tubuh itu,tentu tidak akan merasa heran. Bila serangan gelap itu tidak berarti sama sekali. Bahkan bisadianggap sebagai permainan anak kecil! Kalau saja kedua sosok tubuh yang tidak lain Datuk Tangan Malaikat dan istrinya itu menghendaki, tentu bukan hanya anak-anak panah itu saja yang dipukul runtuh!
Tapi, lelaki gagah yang berjuluk Datuk Tangan Malaikat itu adalah seorang pendekar besar yang tinggi hati. Ia sengaja menanti apa yang sejak tadi dicurigainya itu, bergerak lebih dulu. Sepertinya Datuk Tangan Malaikat ingin menujukkan kepada penyerang-penyerang gelap itu, mereka sama sekali tidak merasa gentar meski lawan tidak terlihat.
Trakkk.. Trakkk...!
Mengagumkan sekali yang dilakukan Datuk Tangan Malaikat dan istnnya, dalam menangkis serangan anak panah yang datang bertubi-tubi. Lelaki gagah itu memutar-mutarkan sepasang tangannya, sementara wanita cantik itu bagaikan sedang menari dengan pedangnya!
Setelah sepasang suami istri itu memukul runtuh semua anak panah yang mengancam tubuh mereka. Suasana pun kembali hening dan mencekam. Meskipun begitu, keduanya tetap berdiri tegak menanti gerakan selanjutnya dari para penyerang gelap.
"Mengapa tidak kita paksa saja agar mereka muncul, Kakang?" istri Datuk Tangan Malaikat berbisik sambil merapatkan punggungnya ke punggung suaminya. Menilik dari nada ucapannya, wanita cantik itu sangat marah dengan penyerangan gelap terhadap diri mereka!
Tidak demikian halnya dengan Datuk Tangan Malaikat. Lelaki gagah itu sama sekali tidak berpe-dapat demikian. Terdengar jawaban yang mencerminkan kesombongan hatinya. "Tidak, Istriku. Kita tunggu saja serangan selanjutnya dari mereka. Biar mereka tahu, semua serangan yang dilakukan itu tidak berarti sama sekali buat kita," sahut Datuk Tangan Malaikat dengan nada penuh keyakinan terhadap kepandaiannya.
Baru saja ucapan Datuk Tangan Malaikat selesai, kembali terdengar suara berdesingan yang lebih ribut dari pertama! Bahkan kali ini luncuran anak panah yang puluhan banyaknya itu, menebar dari atas ke bawah! Jelas maksudnya untuk menutup jalan lolos bagi pasangan pendekar itu!
"Hm..." Datuk Tangan Malaikat hanya mendengus menyaksikan serangan gelap itu. Untuk menghadapi serangan gelap yang kedua itu, ia melakukan cara yang lain sama sekali. Lelaki gagah itu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada!
Trakkk! Trekkk!
Apa yang dipamerkan lelaki tinggi gagah itu, benar-benar luar biasa sekali! Puluhan batang anak panah yang meluruk ke tubuhnya, langsung berjatuhan dalam keadaan patah. Jelas Datuk Tangan Malaikat ingin mempertunjukkan kekebalan tubuhnya dengan cara melapisi seluruh tubuhnya dengan tenaga sakit. Dari sini saja sudah dapat dilihat, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki lelaki gagah itu!
"Heaaah..!"
Setelah merasa cukup memamerkan kekuatan tubuhnya, Datuk Tangan Malaikat tiba-tiba membentak sambil menggerakkan kedua tangannya dengan kecepan kilat! Tahu-tahu saja, belasan batang anak panah telah tergenggam di kedua tangannya!
"Terima kembali senjata kalian ini, Manusia-manusia Pengecut! Aku tidak membutuhkannya!" sambil membentak, lelaki gagah itu mengibaskan kedua tangannya ke tiga arah!
Zingngng! Zingngng!
Menakjubkan sekali! Belasan batang anak panah yang dilepaskan Datuk Tangan Malaikat meluncur deras sampai tiga kali lipat kecepatan semula, sampai-sampai suara desingannya terasa menyakitkan telinga!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Terdengar jeritan ngeri susul-menyusul ketika batang-batang anak panah yang dilontarkan Datuk Tangan Malaikat lenyap menerobos semak belukar! Dan, suara-suara jeritan itu menujukkan bahwa senjata itu telah memakan tuannya sendiri!
"Hm..., biar tahu rasa mereka...," wanita cantik yang juga telah memukul runtuh semua anak panah dengan pedangnya, berdesis ketika mengetahui apa yang dilakukan suaminya. Pada wajahnya terhias senyum kepuasan.
Setelah menanti beberapa lama, keadaan tetap sunyi, Datuk Tangan Malaikat melangkah ke arah semak-semak di depannya. Sedang istrinya mengikuti dari belakang lelaki gagah itu mengerutkan keningnya ketika menemukan sosok-sosok berpakaian merah darah yang tubuhnya tertembus anak panah.
"Hm..., mungkin mereka dikirimkan oleh Raja Racun Merah untuk membunuh kita di perjalanan. Sayang raja iblis itu salah perhitungan. Dikiranya kita mudah dilenyapkan dengan menggunakan tangan keroco-keroco seperti ini," geram Datuk Tangan Malaikat setelah memeriksa semua korban anak panah yang dikembalikannya tadi. Melihat jumlah korban cukup banyak, suami istri itu tersenyum puas.
"Entahlah ke mana perginya yang lain? Sepertinya mereka telah melarikan diri, Kakang," ujar wanita cantik itu menatap suaminya dengan wajah kurang puas. Sepertinya ia tidak setuju dengan cara suaminya yang membiarkan sisa penyerang gelap itu lolos.
"Hm..., menghadapi keroco-keroco seperti ini, hanya merendahkan nama kita saja istriku. Aku sengaja melepaskan yang lainnya, biar mereka tahu bahwa kita sama sekali tidak gentar menghadapi segala macam kelicikan dan kecurangan," sahut lelaki gagah itu yang segera mengajak istrinya untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Suasana pun kembali dicekam kesunyian. Hanya tiupan angin yang bersilir menebarkan bau anyir darah yang masih segar....
***
DUA
SUASANA siang yang pengap dengan sengatan terik sinar matahari, dibuat gaduh oleh serombongan penunggang kuda. Debu membumbung tinggi ke angkasa saat rombongan itu melintasi jalanan bertanah merah. Suara gaduh yang ditimbulkan derap kaki kuda, kian bertambah ribut. Karena para penunggang kuda itu ikut berteriak-teriak, sambil menggeprak perut kuda dengan kedua kakinya. Sehingga, kuda-kuda tunggangan itu makin melesat cepat disertai ringkik nyaring membeset angkasa.
Tidak lama kemudian, rombongan penunggang kuda yang rata-rata berjubah merah itu, mulai menyusuri jalanan berumput. Salah seorang dari rombongan yang berada paling depan, mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, setelah menarik tali kekang kudanya, dan berhenti secara mendadak.
Terdengar suara ringkik kuda saling bersahutan, saat seluruh anggota rombongan serentak menarik tali kekang binatang tunggangannya. Lelaki terdepan yang memimpin rombongan, menatap sebuah bangunan yang dikelilingi kayu bulat. Jarak antara bangunan dengan rombongan itu sendiri, terpisah sekitar belasan tombak.
"Hm..., jadi di sini rupanya bangunan Perguruan Tongkat Baja berdiri...," terdengar kepala rombongan itu bergumam perlahan. Sepasang matanya bersinar bengis, dan menyorot tajam bangunan di depannya. Tentu saja ucapan lelaki itu tidak memerlukan jawaban. Selain perlahan, ucapan itu sepertinya hanya untuk diri sendiri.
Tapi dua orang penunggang kuda lain yang berada di kiri kanannya, tampaknya mendengar apa yang diucapkan pemimpinnya itu. Keduanya menatap lurus ke arah bangunan yang seperti tengah diteliti lelaki bengis pimpinan mereka itu. Terdengar salah seorang berwajah kurus dan berhidung bengkok menyahuti.
"Memang di sinilah perguruan itu berdiri, Ketua. Sekarang apa yang akan kita lakukan? Apakah kita muncul secara terang- terangan atau langsung saja kita gebrak dan hancurkan perguruan sombong itu sebagai pembalasan atas perbuatan murid-muridnya?" ujar lelaki berhidung bengkok itu sambil menatap wajah ketuanya, memohon petunjuk.
"Sebaiknya kita memang tidak perlu banyak bertanya lagi dengan mereka, Ketua. Belasan orang kawan-kawan kita yang tewas, harus dibayar mahal oleh mereka! Kalau perlu, bukan hanya penghuninya saja yang kita bantai. Tapi, bangunan perguruan itu sebaiknya kita ratakan dengan tanah!" ujar lelaki berkumis lebat di sebelah kiri sang Pemimpin itu mengajukan usul. Namun nada suaranya terdengar berapi-api dan penuh dendam.
"Hm...," lelaki berwajah bengis dengan sorot mata setajam burung elang itu tidak menanggapi sama sekali ucapan kedua orang pembantu utamanya. Pemimpin rombongan itu hanya bergumam tak jelas.
Sedang rombongan puluhan orang anggota yang berada di belakang ketiga orang itu tampak mulai gelisah. Ringkik binatang tunggangan mereka terdengar sahut-menyahut Sepertinya kuda-kuda itu pun sudah ingin segera bergerak dari tempatnya.
"Langsung bunuh dan hancurkan perguruan itu...!" terdengar perintah pemimpin berwajah bengis itu, datar dan dingin. Usai berkata demikian, dibedalnya kuda hitam tunggangannya itu hingga melesat bagai dikejar setan!
"Heyaaa...! Heyaaa...!"
Seiring dengan melesatnya kuda pimpinan rombongan itu, terdengar teriakan-teriakan ramai yang disertai ringkik kuda- kuda tunggangan mereka. Derap kaki kuda yang berjumlah puluhan itu pun, kembali menggetarkan bumi!
"Hei, lihat! Ada serombongan orang berambut merah mendatangi tempat kita!" terdengar suara teriakan nyaring dari salah seorang penjaga yang berada di atas pintu gerbang perguruan. Karuan saja teriakan itu membuat tiga orang penjaga lain yang tengah berteduh di posnya, langsung bergerak bangkit.
"Perampok Iblis Rambut Merah...!?" seru salah satu dari tiga penjaga yang baru bangkit itu, dengan wajah agak pucat. Jelas ia sangat terkejut ketika mengenali rombongan penunggang kuda yang menuju ke arah bangunan mereka itu, "Cepat beri tahu Kakang Kunta Reja...!"
"Baik..," sahut dua orang penjaga yang segera melesat turun melalui anak tangga. Sedang dua lainnya tetap bersiaga di atas pintu gerbang dengan senjata terhunus. Agaknya mereka telah membaca gelagat yang tidak baik dari rombongan itu.
Saat itu, pemimpin rombongan telah tiba lebih dulu di depan pintu gerbang yang bertuliskan Perguruan Tongkat Baja. Tanpa banyak bicara lagi, lelaki bertubuh gemuk itu langsung saja melompat turun dari atas punggung kudanya. Kemudian melangkah mendekati pintu gerbang.
Dua orang pembantu utamanya yang baru tiba, juga melompat turun dari kuda mereka masing-masing. Kemudian, mereka melangkah mengiringi pimpinannya. Salah seorang yang berhidung bengkok berseru pelan.
"Ketua. Biar aku dan Badilang saja yang melakukannya..." ujar lelaki berhidung bengkok itu dengan suaranya yang melengking seperti suara seorang wanita.
Lelaki tinggi kekar berwajah bengis itu hanya bergumam perlahan. Kemudian menggerakkan kedua tangannya sebagai tanda persetujuan. Setelah itu, ia melangkah mundur beberapa tindak ke belakang. Sepertinya pemimpin rombongan Iblis Rambut Merah itu memberikan kesempatan kepada dua orang pembantu utamanya untuk mengerjakan apa yang semula ia ingin dilakukannya.
"Hmh...!"
Kedua pembantu utama ketua gerombolan Iblis Rambut Merah itu, terdengar menggeram berbarengan. Tubuh mereka merendah dengan kedudukan menunggang kuda. Dua pasang lengan yang berada di sisi pinggang itu tampak bergetar keras. Jelas kedua orang itu tengah mengerahkan tenaga dalam, dan siap melontarkan pukulan guna mendobrak pintu gerbang Perguruan Tongkat Baja!
"Hei, mau apa kalian...!?" salah seorang dari kedua penjaga yang berada di atas pintu gerbang, berseru dengan wajah heran. Tampaknya kedua penjaga itu belum dapat menebak apa yang hendak dilakukan kedua orang lelaki di bawah mereka. Wajah keduanya baru berubah pucat setelah melihat gerakan yang dilakukan kedua orang berjubah merah.
"Hei...!"
Sayang kesadaran kedua orang penjaga gerbang itu sedikit terlambat! Berbarengan dengan teriakan terkejut mereka, kedua orang lelaki berjubah merah itu sudah keburu mendorongkan telapak tangannya dengan disertai bentakan mengguntur!
"Hiaaah...!"
Wuuus.... Brakkk...!
Suara gaduh pun pecah saat kedua orang berjubah merah itu melontarkan pukulannya, dan langsung membentur pintu gerbang Perguruan Tongkat Baja! Potongan-potongan kayu bulat beterbangan seiring dengan terbukanya pintu gerbang itu!
"Aaa...!"
Dua orang penjaga yang tidak keburu turun dari tempat jaganya, berteriak ngeri! Tubuh mereka terlempar ke bawah seiring dengan suara berderak. Karena hancurnya sebagian pintu gerbang Perguruan Tongkat Baja itu! Tubuh kedua penjaga yang sial itu, meregang sesaat sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Terbantingnya tubuh mereka dari ketinggian sekitar tiga tombak itu, rupanya membuat nyawa mereka melayang meninggalkan raga.
Kematian kedua orang penjaga pintu gerbang itu, tentu saja bukan semata-mata karena jatuh dari ketinggian itu. Tapi, getaran pukulan tenaga dalam yang juga menjalar ke tubuh mereka, sehingga membuat keduanya tidak dapat menyelamatkan diri.
"Bagus! Pukulan kalian ternyata banyak mengalami kemajuannya, Sepasang Kumbang Setan. Aku yakin kalian telah berlatih keras untuk mencapai tingkatan itu," puji lelaki berwajah bengis yang merupakan kepala rombongan orang- orang berjubah merah itu, sambil bertepuk tangan. Karuan saja kedua orang pembantu utamanya itu menjadi bangga.
"Semua apa yang kami dapatkan, tentu tidak lepas dari jasa dan kemurahan hati Ketua...," lelaki berkumis lebat yang tubuhnya kekar berotot itu menyahuti dengan wajah berseri.
"Hm... mari kita masuk...," ujar lelaki berwajah bengis yang berjuluk Harimau Cakar Setan. Usai berkata demikian, lelaki itu melangkah melewati gerbang yang telah terbuka lebar.
Dua orang pembantu utamanya yang berjuluk Kumbang Setan itu segera berjalan dan mengapit pimpinannya. Sedang di belakang mereka, puluhan anggota Perampok Rambut Merah mengikuti sambil berteriak-teriak.
"Berhenti...!"
Baru saja gerombolan perampok itu melewati gerbang, terdengar bentakan nyaring yang membuat langkah mereka terhenti.
"Bedebah! Apa yang kalian cari di tempat kami..?" seorang lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh tahun, menyongsong kedatangan gerombolan perampok itu dengan gagah berani. Sedang di belakangnya, tampak belasan murid Perguruan Tongkat Baja siap dengan senjata terhunus.
"Ha ha ha...!" Harimau Cakar Setan tertawa berkakakan melihat sambutan yang meriah itu. Bukan hanya di belakang lelaki gagah itu saja terdapat belasan murid. Bahkan di kiri- kanan rombongan perampok itu pun tampak belasan murid lainnya. Berarti gerombolan Perampok Rambut Merah itu telah dikepung dari tiga jurusan. Namun, kepala rampok itu malah tertawa dengan lagak yang pongah.
"Kakang Kunta Reja, untuk apa banyak bicara lagi. Dua orang kawan kita telah menjadi korban akibat keganasan mereka. Sudah, habisi saja perampok-perampok laknat itu!" terdengar salah seorang dari belasan murid di belakang lelaki bernama Kunta Reja itu berseru penuh nafsu. Sehingga, yang lainnya pun ikut berteriak-teriak mendukung ucapan temannya itu.
"Sabar. Kita harus tahu dulu, apa yang menjadi penyebab kedatangan mereka ke tempat kita ini," lelaki gagah bernama Kunta Reja membalikkan tubuhnya dan mengangkat tangan untuk menenangkan suasana.
Sebentar saja, suara ribut-ribut itu pun lenyap. Jelas Kunta Reja merupakan tokoh yang cukup disegani di Perguruan Tongkat Baja itu. Tapi, usaha Kunta Reja ternyata sia-sia. Baru saja ia menenangkan murid-muridnya, terdengar Harimau Cakar Setan berteriak memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu! Tentu saja Kunta Reja menjadi terkejut!
"Habisi mereka! Bakar perguruan ini...!" terdengar Harimau Cakar Setan berteriak sambil menggeser langkahnya dan memberi jalan untuk anak buahnya bergerak maju.
Sadar kalau tidak ada lagi cara untuk mencegah pertumpahan darah, Kunta Reja segera menyambar tongkat baja dari salah seorang muridnya. Kemudian, seluruh murid-murid Perguruan Tongkat Baja diperintahkan menyambut musuh-musuhnya!
Kunta Reja sendiri telah memutar tongkat bajanya hingga menimbulkan angin tajam yang berkesiutan! Beberapa anggota perampok yang terlanggar senjatanya, langsung berkelojotan tewas! Dari sini sudah dapat diduga, betapa hebatnya kepandaian yang dimiliki lelaki gagah itu. Sehingga, anggota perampok yang melihat kehebatan lelaki gagah itu, langsung menghindar.
Harimau Cakar Setan yang melihat kehebatan dan keganasan Kunta Reja mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sorot matanya tampak berkilat penuh kemarahan.
"Hm..., Sepasang Kumbang Setan, coba kalian hadapi lelaki bertongkat baja itu. Kalau didiamkan, bisa habis anggota kita terhantam tongkat bajanya," ujar Harimau Cakar Setan dengan nada penuh kegeraman. Sedang sepasang matanya tetap mengawasi gerak-gerik Kunta Reja yang ngamuk bagai banteng luka itu.
Tanpa banyak tanya lagi, Sepasang Kumbang Setan segera saja memasuki kancah pertarungan. Kedua lelaki berjubah merah dengan garis putih di bagian pangkal lengan mereka, langsung mendekati tempat Kunta Reja.
"Heaaat..!"
Tanpa banyak tanya lagi, lelaki berkumis lebat yang merupakan orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan, segera menggebrak Kunta Reja dari sebelah kanan. Begitu menyerang, sepasang kepalannya langsung berseliwiran mengancam tubuh lawan!
Bettt! Bettt!
"Haiiit...!"
Sempat terkejut juga Kunta Reja mendengar desing angin pukulan, yang saling bersusulan mengancam bagian-bagian terlemah di tubuhnya. Lelaki gagah itu cepat menggeser tubuhnya sambil memutar tongkat bajanya untuk melindungi diri!
"Yeaaah...!"
Namun, ancaman terhadap Kunta Reja ternyata belum habis. Dari sebelah kiri, terdengar suara bentakan keras, dan disusul dengan sambaran angin pukulan lainnya. Ternyata lelaki berhidung bengkok yang merupakan orang kedua dari Kumbang Setan itu, sudah pula tiba dan mengeroyoknya. Tentu saja Kunta Reja menjadi sibuk dengan serangan yang datang dari dua arah itu.
"Hiyaaah...!"
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring, Kunta Reja menggenjot tubuhnya, dan langsung melambung setinggi dua tombak! Setelah beberapa kali melakukan putaran di udara, lelaki gagah itu mendaratkan kakinya di tempat yang cukup luas. Kunta Reja memang sengaja memilih tempat yang terpisah dari kancah pertempuran, agar tongkat bajanya dapat bergerak lebih leluasa.
Sepasang Kumbang Setan yang kehilangan lawannya, segera melesat melakukan pengejaran. Keduanya menjejakkan kakinya di tanah dengan hentakan kuat, seketika itu juga tubuh mereka melambung tinggi dan mendaratkan kakinya di tempat Kunta Reja berada.
Kunta Reja ternyata seorang lelaki gagah bersifat jujur. Ia sama sekali tidak berusaha menerjang tubuh kedua orang lawannya, sebelum mereka benar-benar siap. Lelaki gagah itu menanti tubuh lawannya mendarat sambil memutar-mutar tongkat baja di tangannya. Baru setelah tubuh Sepasang Kumbang Setan mendarat dan menyiapkan jurus serangannya, Kunta Reja pun berseru nyaring disertai lesatan tubuhnya.
"Hiaaat..!"
Wuuuk... Wukkk!
Tongkat baja di tangan Kunta Reja mengaung tajam, dan meluruk mengancam tubuh kedua orang lawannya. Tentu saja Sepasang Kumbang Setan tidak tinggal diam. Kedua orang kepercayaan raja perampok itu, berpencar ke kiri-kanan dalam keadaan mengepung lawannya. Kemudian, dari dua jurusan, keduanya bergerak menerjang susul-menyusul!
Pertarungan ketiga orang tokoh dari golongan yang berbeda itu, ternyata cukup seru dan sengit! Kegigihan Kunta Reja dalam menghadapi kedua musuhnya patut dipuji. Karena pertarungan telah melewati jurus ketiga puluh, ia masih saja dapat melakukan perlawanan dengan baik. Bahkan serangan-serangan balasan tongkat bajanya pun, sanggup membuat kedua orang pengeroyoknya itu menjadi sibuk!
Sepasang Kumbang Setan menjadi penasaran bukan main. Ternyata lawannya sangat ulet dan sulit untuk ditundukkan, kendati mereka telah bekerja sama dengan baik dalam melontarkan setiap serangan, selalu saja lawannya dapat mengelak, dan memberikan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya dengan serangan mereka sendiri. Semua itu membuat orang kepercayaan Harimau Cakar Setan menjadi kalang kabut.
"Bedebah! Bangsat ini sulit sekali ditundukkan!" lelaki berhidung bengkok mengumpat tak habis-habisnya. Rasa penasaran nampak jelas membayang pada wajahnya.
Orang pertama dari Sepasang Kumbang Setan itu pun, sama penasarannya. Berkali-kali lelaki gemuk berkumis lebat itu mencoba untuk mendesak Kunta Reja dengan serangan- serangannya yang menimbulkan deruan angin keras. Tapi, setiap kali serangannya datang, tongkat baja di tangan lawan selalu saja dapat membuatnya mundur! Sehingga, lelaki berkumis lebat itu pun menyumpah serapah dengan wajah berang!
"Adi, 'Sengatan Kumbang Setan'...!"
Ketika pertarungan telah menginjak pada jurus yang keempat puluh lima, tiba-tiba lelaki berkumis lebat itu berseru mengingatkan saudaranya. Usai berkata demikian, tubuhnya yang gemuk melompat mundur hingga satu setengah tombak lebih.
Seruan itu sepertinya telah dimengerti dengan baik oleh lelaki berhidung bengkok itu. Terbukti ia segera saja melesat ke belakang ke arah saudara tuanya.
"Hmh...!"
Sesaat kemudian, terlihat kedua orang kepercayaan Harimau Cakar Setan itu menggeram lirih. Menilik dari sikapnya, jelas mereka akan mempergunakan ilmu andalan mereka yang terakhir guna menundukkan Kunta Reja.
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh kedua orang itu melesat disertai dengan putaran tangannya! Gerakan-gerakan yang nyaris tidak dapat ditangkap oleh pandangan mata Kunta Reja itulah agaknya yang mereka maksudkan dengan 'Sengatan Kumbang Setan'!
Kunta Raja yang melihat gerakan lawan dengan kening berkerut, menjadi terkejut bukan main setelah merasakan betapa hebatnya serangan yang dilancarkan pengeroyoknya kali ini. Benteng pertahanan tongkat bajanya yang sejak tadi selalu berhasil menggagalkan serangan lawan, kini sudah tidak mempunyai arti lagi! Bahkan bukan hanya tongkatnya saja yang terpental balik karena tak sanggup menahan lontaran pukulan lawan. Kuda-kudanya pun tergempur mundur setiap kali ia memapaki serangan dengan tongkatnya.
"Yeaaa...!"
Sepasang Kumbang Setan kembali berseru nyaring! Kunta Reja benar-benar dibuat pusing oleh gerakan lawan yang demikian cepat! Karuan saja lelaki gagah itu terdesak hebat! Sehingga untuk membalas serangan lawan pun, ia sudah tidak mampulagi!
Wuuus...! Wuuuk...!
Lelaki gagah yang sudah terdesak hebat itu hanya mampu mengeluarkan pekik tertahan, saat dua pukulan pengeroyoknya datang mengancam! Dan....
Buggg! Desss!
"Aaakh...!" Kunta Reja memekik ngeri saat dua buah pukulan dari lawannya, menghajar telak tubuhnya! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki gagah itu terlempar deras ke belakang! Darah segar menyembur, menandai Kunta Reja mengalami luka parah!
Tubuh Kunta Reja yang terbanting menabrak tiang penyangga bangunan utama, meregang sesaat, lalu diam tak bergerak! Rupanya lelaki gagah itu tewas, karena tak sanggup menahan pukulan lawan yang mematikan itu!
***
TIGA
SETELAH berhasil menamatkan riwayat Kunta Reja, Sepasang Kumbang Setan segera melangkah memasuki kancah pertempuran yang masih berlangsung sengit! Tentu saja masuknya kedua orang kepercayaan Harimau Cakar Setan, membuat murid-murid Perguruan Tongkat Baja makin terdesak hebat! Meskipun jumlah murid-murid Perguruan Tongkat Baja jauh lebih banyak ketimbang lawannya, tapi gerombolan berambut merah itu rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Dengan masuknya Sepasang Kumbang Setan, membuat murid-murid Perguruan Tongkat Baja semakin tak berdaya.
Begitu memasuki kancah pertempuran, Sepasang Kumbang Setan langsung saja menggumbar pukulan dan tendangannya, membuat korban di pihak murid-murid Perguruan Tongkat Baja semakin banyak berjatuhan. Sepak terjang kedua orang kepercayaan Harimau Cakar Setan itu memang menggiriskan sekali! Setiap tangan dan kakinya bergerak, dapat dipastikan korban-korban bertumbangan! Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh murid perguruan itu terbantai habis!
Mayat-mayat yang bergelimpangan dan saling tumpang tindih, menebarkan bau anyir. Mereka, tinggalkan begitu saja seperti bangkai tikus. Di bawah pimpinan Sepasang Kumbang Setan, rombongan orang-orang berjubah merah itu bergerak mendekati bangunan utama perguruan, tempat di mana Ketua Perguruan Tongkat Baja tinggal. Tidak munculnya ketua perguruan itu, membuat mereka semakin leluasa merusak apa saja yang ditemuinya.
Harimau Cakar Setan sendiri mengerutkan keningnya dalam- dalam. Ia merasa heran melihat Ketua Perguruan Tongkat Baja tidak juga menampakkan diri. Padahal, kegaduhan suara pertempuran tadi, sanggup membangunkan seorang yang sedang pingsan. Tentu saja hal itu membuat benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan.
Rasa penasaran membuat Harimau Cakar Setan melesat mendahului anggota-anggotanya. Tanpa rasa kemanusiaan sedikit pun, lelaki gemuk itu enak saja melepaskan pukulan mautnya kepada wanita maupun anak-anak yang ditemuinya di dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja.
"Hm...," Harimau Cakar Setan bergumam perlahan ketika ia hendak melewati sebuah kamar yang besar. Sekali hantam saja, pintu kamar itu langsung hancur berantakan!
"Ohhh..." Harimau Cakar Setan menghentikan langkahnya di muka pintu. Suara jeritan yang tertahan itu, membuat keningnya berkerut. Dan, apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, membuat lelaki gemuk berwajah bengis itu tertawa berkakakan. Sepasang matanya yang tajam bagaikan mata elang, menatap buas ke arah sosok tubuh ramping yang tengah bersembunyi di sudut ruangan.
"He he he..., siapa kau manis, dan ke mana perginya Ketua Perguruan Tongkat Baja yang bernama Panjarasa itu? Siapa pula anak yang ada dalam dekapanmu itu...?" tegur Harimau Cakar Setan terkekeh sambil melahap wajah ayu di depannya.
Wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan wajah bulat telur itu, memang cukup memikat. Kulit wajahnya yang kuning langsat dengan sepasang bibir menantang, membuat mata Harimau Cakar Setan menjadi liar.
"Jangan ganggu aku dan anakku. Pergilah..., Kakang Panjarasa tidak ada di sini. Ia pergi bersama dua orang muridnya. Ada urusan yang harus diselesaikan," jawab wanita ayu itu sambil mendekap erat tubuh anak lelaki berusia sekitar sembilan tahun. Mata anak itu sendiri menatap wajah Harimau Cakar Setan tanpa rasa takut sedikit pun. Hanya saja wajah bocah itu agak bingung melihat ibunya menangis.
Bocah berusia sembilan tahun yang bermata jernih dan tajam itu meronta dari dekapan ibunya. Dengan beraninya ia melangkah menghampiri Harimau Cakar Setan. Ditelitinya wajah lelaki gemuk itu dengan mata bocahnya yang masih polos.
"Orang tua, kau siapakah? Mau apa kau mencari ayahku? Mengapa kau menakut-nakuti ibuku? Kau pasti bukan kawan ayahku. Sahabat ayah tidak pernah merusak pintu untuk masuk ke sini...," suara bening bocah itu terdengar lantang dan mencerminkan sikap gagah. Sehingga, Harimau Cakar Setan sempat tertegun dibuatnya.
Sang lbu muda yang merasa ketakutan, segera meraih tubuh anaknya dan dipeluknya kembali. Sambil berbuat demikian, tak henti-hentinya ia berkata dengan nada menghiba. "Pergilah, jangan ganggu kami, Orang Tua. Kalau kau mempunyai keperluan dengan Kakang Panjarasa, kau cari sendiri. Itu pun kalau memang kau seorang pemberani...," ucap wanita muda itu di sela isaknya. Tubuhnya tampak gemetar. Karena sebagai seorang wanita, ia tahu apa arti tatapan mata buas dari lelaki gemuk itu.
"lbu, mengapa harus takut?" tantang sang Bocah sambil berusaha melepaskan diri dari tangan ibunya yang berusaha memeluknya. "Orang tua gemuk itu berani datang karena ayah tidak ada. Kalau ayah ada, mungkin sudah dihajar ayah," ujar bocah itu lagi sambil mengelus rambut kepala ibunya.
"Hm... ini benar-benar nasib baik namanya. Tidak bertemu dengan orangnya, istrinya pun jadilah," gumam Harimau Cakar Setan sambil menjelajahi tubuh molek di depannya, "Bocah, dengarlah. Ayahmu justru saat ini tengah lari terbirit-birit karena takut akan kedatanganku. Andai ayahmu ada di sini, kepalanya akan kupukul pecah seperti pintu itu," ujar Harimau Cakar Setan yang segera mengulurkan tangannya dan merebut bocah itu dari tangan ibunya. Diangkatnya tubuh bocah itu tinggi-tinggi. Sepertinya lelaki gemuk itu akan membanting tubuh bocah itu.
"Jangan bunuh anakku! Kau setan pengecut! Mengapa tidak kau cari saja Kakang Panjarasa...," wanita itu segera bangkit sambil berusaha untuk merebut anaknya kembali. Tapi, gerakan tangan Harimau Cakar Setan jauh lebih cepat. Diraihnya tubuh molek itu ke dalam pelukannya.
"Hm..., kalau kau ingin anakmu selamat, ikutilah kemauanku. Kalau tidak, terpaksa tubuh bocah ini kuhempaskan ke lantai," ancam Harimau Cakar Setan yang dengan rakusnya mulai menciumi wajah wanita ayu itu.
"Bangsat kau! Manusia Iblis, lepaskan aku...!" wanita muda istri Ketua Perguruan Tongkat Baja itu berusaha memberontak dan menghindari ciuman Harimau Cakar Setan. Sehingga, lelaki gemuk itu menjadi berang!
"Nah, pergilah!" bentak Harimau Cakar Setan yang segera saja menghempaskan tubuh wanita itu hingga jatuh terguling di lantai.
"Ibu..!" bocah cilik dalam genggaman Harimau Cakar Setan berteriak memanggil ibunya. Ia meronta-ronta dalam cengkeraman lelaki gemuk itu. Sayangnya cekalan yang menjepit tubuhnya demikian kuat, hingga usahanya untuk melepaskan diri sia-sia.
"Sekali lagi kuberi kau kesempatan untuk berpikir. Kau pilih melayani aku, atau tubuh bocah ini kubanting hancur ke lantai? Jawab, kuhitung sampai tiga!" terdengar Harimau Cakar Setan kembali mengancam.
"Satu..."
"Ohhh...," wanita ayu itu menangis sambil menatap wajah anaknya yang berada di atas kepala lelaki gemuk itu. Mata bocah yang jernih itu menatapnya polos, sehingga hati wanita muda itu makin terasa diremas-remas.
"Dua...," kembali terdengar suara Harimau Cakar Setan menghitung.
"Baik,.., tapi, lepaskan dulu anakku...," ujar wanita itu karena tidak sanggup membayangkan tubuh anaknya yang hancur di lantai, ibu muda itu terpaksa menuruti kemauan Harimau Cakar Setan.
"Bagus. Itu tandanya kau sayang kepada anakmu," sambil berkata demikian, Harimau Cakar Setan menurunkan tubuh bocah itu dan menotoknya. Kemudian direbahkannya di lantai.
"Anakku..!" wanita ayu itu segera saja menghambur hendak meraih tubuh anaknya. Tapi, langkahnya tertahan oleh tangan kasar Harimau Cakar Setan.
"Kau harus melayaniku dulu, baru boleh menyentuh tubuh bocah itu. Tapi ingat! Bila kau tidak bisa memuaskan aku, bocah itu menjadi tanggungannya. Kau harus menganggap aku sebagai suamimu, dan melayani dengan baik," ancam Harimau Cakar Setan sambil terkekeh parau.
Wanita malang itu hanya bisa menganggukkan kepalanya di antara uraian airmata. Sambil tetap memperdengarkan kekehnya yang memuakkan, Harimau Cakar Setan menghempaskan tubuh molek itu ke atas pembaringan. Bagai seekor harimau kelaparan, diterkamnya tubuh wanita malang itu, yang hanya bisa pasrah melayani nafsu bejad Harimau Cakar Setan.
Di ruangan lain, apa yang dilakukan Sepasang Kumbang Setan pun tidak jauh berbeda dengan Harimau Cakar Setan. Bahkan kedua orang lelaki ini bertindak lebih buas. Mereka memaksakan kehendaknya kepada wanita-wanita yang berada di dalam bangunan utama Perguruan Tongkat Baja. Sedangkan wanita tua dan anak-anak, dibantai tanpa ampun!
Puas melepaskan nafsu iblisnya, Sepasang Kumbang Setan meninggalkan korbannya begitu saja, tidak dipedulikannya lagi ketika anak buahnya saling berebut untuk ikut mencicipi tubuh wanita-wanita malang itu. Setelah puas menyiksa wanita-wanita itu, mereka enak saja memenggal kepala perempuan-perempuan malang itu tanpa ampun! Benar-benar tindakan mereka seperti iblis! Dengan wajah berseri dan diiringi suara kekeh sesekali, Sepasang Kumbang Setan membawa anak buahnya untuk meninggalkan bangunan itu.
"He he he..., bagus manis, ternyata kau tidak mengecewakan. Pantas saja Panjarasa memilihmu untuk menjadi istrinya...," Harimau Cakar Setan terkekeh sambil mengenakan pakaiannya. Sedang di atas pembaringan, tubuh istri Ketua Perguruan Tongkat Baja tergeletak tertutup sehelai kain. Sesekali terdengar isaknya yang memilukan.
Harimau Cakar Setan sepertinya jengkel mendengar suara isak tangis wanita ayu itu. Terdengar suara lelaki gemuk itu menggeram lirih, sebelum meninggalkan kamar itu. "Katakan kepada suamimu! Aku, Harimau Cakar Setan murid dari Raja Racun Merah yang melakukan semua ini! Aku melakukan semua ini, karena mereka telah membunuh belasan orang anak buahku. Kalau suamimu ingin menuntut balas, aku akan menantinya," ujar lelaki berwajah bengis itu kepada wanita ayu yang tergolek di atas ranjang.
Usai berkata, Harimau Cakar Setan meraih tubuh bocah yang tengah tergeletak di lantai. Diangkatnya tubuh putra Panjarasa itu, lalu dilemparkannya hingga membentur dinding. Darah segar muncrat menodai lantai dan dinding kamar itu. Lantaran kepala bocah berusia sembelas tahun itu pecah!
"Aaah...!" Mata istri Ketua Perguruan Tongkat Baja terbelalak dan menjerit-jerit dengan suara yang memilukan. Karena tak sanggup menahan guncangan batin, wanita itu terkulai tak sadarkan diri.
"He he he...!" Sambil memperdengarkan tawanya yang serak, Harimau Cakar Setan melenggang meninggalkan kamar itu. Tidak ada rasa sesal sedikit pun di wajah bengis itu. Sepertinya, hati orang-orang seperti Harimau Cakar Setan dan anak buahnya memang telah mati!
"Ayo, kita berangkat..!"
Sepasang Kumbang Setan dan para anggotanya, segera menaiki kudanya masing-masing. Harimau Cakar Setan masih tertawa-tawa tanda hatinya puas. Para anggotanya tahu, apa yang membuat ketua mereka tampak gembira. Karena mereka sempat mendengar jeritan wanita di kamar ketika ketua mereka tadi masuk. Meski demikian, tak seorang pun dari anggota Gerombolan Rambut Merah itu berani menanyakannya. Termasuk Sepasang Kumbang Setan. Mereka hanya mengikuti saja ketika lelaki gemuk itu memerintahkan untuk segera meninggalkan Perguruan Tongkat Baja.
***
Sosok tubuh ramping terbungkus pakaian berwarna kuning cerah, melangkah sambil melenggang memasuki sebuah kedai makan. Sosok yang sudah pasti seorang wanita itu, berdiri sejenak di ambang pintu kedai memperhatikan ruangan lebar di dalamnya. Beberapa saat kemudian, langkahnya segera terayun ke arah sebuah meja kosong.
Setelah memesan minuman dan makanan, sosok berpakaian kuning itu kembali merayapi sekitarnya. Wajah cantik yang memiliki sinar mata galak itu, nampak berkerut keningnya. Pandangannya segera tertuju ke arah dua orang lelaki yang tengah berbincang beberapa meja dari tempatnya duduk.
"Eh!?" Gadis cantik itu menarik tubuhnya ke belakang saat mendengar salah satu dari kedua orang itu menyebut-nyebut sebuah nama yang sangat dikenalnya. Hal itu membuatnya penasaran, sehingga, ia mengarahkan pendengarannya agar bisa menangkap lebih jelas.
"Kudengar Raja Racun Merah sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan. Mengapa kini muncul murid-muridnya membuat keonaran? Bahkan kabarnya seluruh murid Perguruan Tongkat Baja dibantai habis, saat Ki Panjarasa dan dua orang murid utamanya tidak ada di tempat. Bukankah kekejian seperti itu sudah tidak bisa didiamkan lagi?" terdengar ucapan salah seorang dari keduanya yang berusia lebih muda memiliki raut wajah gagah. Nada bicaranya jelas terdengar mengandung kegeraman dan rasa penasaran. Dan, gadis cantik itu terhenyak duduk di kursinya.
"Sungkana. Orang-orang sesat seperti mereka mana bisa dipegang ucapannya. Apalagi seorang datuk sesat seperti Raja Racun Merah. Ucapannya itu tentu hanyalah untuk menutupi perbuatannya, agar ia tidak dipersalahkan. Sejak berita tentang datuk itu mengundurkan diri dari dunia persilatan, aku memang tidak mempercayainya. Nah, sekarang ucapanku terbukti.
Raja Iblis itu sengaja menebar berita bohong, agar para tokoh golongan putih menjadi lengah," ucap lelaki yang usianya lebih tua sekitar tujuh atau delapan tahun dari kawannya. "Pada saat kita semua lengah," ujar lelaki tua melanjutkan kata-katanya. "Pengikut Raja Racun Merah dapat berbuat leluasa. Hal seperti ini jelas tidak bisa kita diamkan begitu saja. Orang-orang berhati Iblis itu harus mendapat hukuman yang setimpal. Biar yang lain melihat, dan tidak lagi melakukan pembantaian keji seperti yang kau dengaritu."
Ucapan-ucapan mereka jelas mencerminkan kalau mereka berdua adalah tokoh-tokoh persilatan golongan putih, yang merasa dendam terhadap Raja Racun Merah dan para begundalnya itu.
"Hm..., orang-orang bermulut besar dan sombong! Apakah kalian melihat sendiri kalau yang melakukan semua itu adalah Raja Racun Merah? Atau kalian hanya mendengar saja, lalu percaya terhadap fitnah yang keji itu?" tiba-tiba terdengar sebuah teguran bernada mengancam. Ketika kedua orang lelaki itu menoleh, mereka melihat seraut wajah cantik berpakaian kuning cerah telah berdiri dekat meja mereka.
"Apa maksudmu dengan fitnah keji itu, Nisanak? Atau kau orang segolongan dengan Raja Racun Merah? Kau tidak senang kami menuduh manusia iblis itu berbuat jahat?" lelaki muda yang berwajah gagah itu segera saja bangkit dengan wajah gelap. Jelas ucapan gadis cantik itu tidak bisa diterimanya. Lelaki yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun, sahabat pemuda bernama Sungkana itu, ikut bangkit dan menyabarkan kawannya. Lalu ditatapnya wajah cantik gadis berpakaian kuning cerah itu dengan penuh selidik.
"Siapakah kau, Nisanak? Mengapa kau membela seorang datuk sesat berwatak keji seperti Raja Racun Merah?" tanya lelaki itu dengan kening berkerut. Lelaki itu tampaknya juga tidak senang dengan teguran wanita muda yang berdiri dekat meja makannya.
"Aku adalah orang yang sempat menyaksikan Raja Racun Merah benar-benar telah bertobat! Kalau kalian tidak percaya, boleh tanyakan kepada seorang tokoh perkumpulan pengawal barang yang bernama Ki Mahinta! Orang tua gagah itu sempat mendengar janji Raja Racun Merah. Bahkan ia sempat menyelamatkannya dari keganasan para perampok!" ujar gadis cantik itu berapi-api. Sehingga, kedua orang tokoh golongan putih itu semakin curiga, dan ingin mengetahui siapa dan apa hubungan gadis itu dengan Raja Racun Merah.
Untuk lebih jelasnya tentang tokoh bernama Ki Mahinta, pembaca dapat menyimaknya pada episode Keturunan Datuk-datuk Persilatan.
"Hm..., sayang kau ketinggalan berita, Nisanak. Orang yang bernama Ki Mahinta itu telah mengalami sendiri keganasan Raja Racun Merah dan murid-muridnya. Belum lama ini barang kawalannya telah dirampas oleh Gerombolan Rambut Merah. Dan, gerombolan itu adalah murid-murid Raja Racun Merah. Nah, apa yang akan kau katakan sekarang?" Sungkana yang merasa jengkel dengan gadis cantik itu segera saja menukas. Sehingga, gadis itu menjadi terkejut dan tidak bisa berkata apa- apa untuk beberapa saat lamanya.
"Bohong! Itu pasti fitnah...!" setelah terdiam beberapa saat, gadis itu kembali membantah, meskipun kali ini ia tidak bisa mengatakan alasannya.
"Nisanak. Seorang datuk sesat berhati keji seperti Raja Racun Merah, mana mungkin bisa sadar dari kesesatannya? Bisa saja kau mendengar kata-kata tokoh iblis itu. Tapi, orang-orang seperti itu ucapannya tidak bisa dipegang. Kau sudah dikelabuinya mentah-mentah," lelaki gagah di sebelah Sungkana kembali menasihati gadis cantik itu.
"Janji Raja Racun Merah tidak mungkin bohong!" gadis cantik itu masih berusaha membantah. Bahkan wajah dara itu telah berubah merah dengan sorot mata memancarkan kemarahan.
"Mengapa tidak mungkin! Orang jahat seperti..."
"Diam! Sekali lagi kalian berani mencela dan menghina ayahku. Aku akan memisahkan kepala kalian dari badan, mengerti?!" gadis cantik yang tidak lain dari Aryani itu membentak marah. Tentu saja penjelasannya itu membuat kedua orang lelaki gagah itu tersentak kaget seperti disengat kalajengking.
"Aaah...!? Pantas saja kau membelanya mati-matian. Rupanya kau pun sama jahatnya dengan ayahmu!" Sungkana yang memang sudah jengkel dengan Aryani segera saja melontarkan kejengkelannya. Apalagi setelah Aryani mengaku sebagai putri datuk sesat itu, maka tak ayal lagi makian pun terlontar dari mulutnya. Untuk berjaga-jaga, Sungkana segera menggeser mundur tubuhnya.
Suasana di dalam kedai pun menjadi tegang, setelah Aryani mengaku dirinya sebagai putri Raja Racun Merah. Datuk sesat yang belakangan ini memang tengah ramai dibicarakan oleh tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Beberapa orang pengunjung sudah buru-buru angkat kaki meninggalkan kedai makan itu. Sedangkan Sungkana dan kawannya telah merenggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan!
***
EMPAT
SUNGKANA, pemuda berwajah gagah itu menggeser langkahnya agak mendekat ke arah kawannya. Wajah pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu nampak tegang. Ia sadar kalau gadis itu pasti bukan orang sembarangan. Sebagai seorang putri datuk sesat yang ditakuti, tentu gadis cantik berpakaian kuning itu telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang ganas dan keji.
"Kakang Purgawa," bisik Sungkana sambil tetap menatap ke arah Aryani, "Gadis putri datuk sesat itu pasti sangat berbahaya..."
"Hm..., aku sudah menduga demikian, Adi Sungkana. Lihat saja tatapannya yang berkilat tajam itu. Tenaga dalam yang dimilikinya pasti sangat tinggi. Kita harus berhati-hati...," jawab lelaki berusia tiga puluh tiga tahun itu, juga berbisik tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Aryani. Bahkan jemari lelaki gagah itu telah meraba gagang senjata yang tergantung di pinggang kanannya.
"Kalian memang menusia-manusia sombong yang selalu menganggap diri bersih. Mungkin setelah diberi sedikit pelajaran, baru mata kalian dapat terbuka...," desis Aryani dengan nada datar, tapi mengandung ancaman. Usai berkata demikian, gadis cantik itu segera menggeser meja yang menghalangi jalannya.
Sungkana dan Purgawa terbelalak melihat apa yang dilakukan gadis cantik itu. Gerakan tangannya yang kelihatan perlahan itu, ternyata sangat mengejutkan! Meja yang digeser tangan halus itu melesat deras menghantam meja-meja lainnya, sehingga menimbulkan suara gaduh! Bahkan beberapa meja itu terlihat patah! Benar-benar sebuah pertunjukan tenaga dalam yang hebat.
"Hik hik hik..., mengapa wajah kalian pucat, Pendekar- pendekar Sombong? Rupanya hati kalian tidak sebesar mulut-mulut kalian...," tawa Aryani terdengar menyakitkan. Apalagi ucapannya yang jelas-jelas mengejek kedua orang lelaki gagah itu. Karuan saja Sungkana yang berdarah panas segera menggereng dengan wajah berubah merah.
"Kuntilanak! Siapa takut kepadamu! Apa kau kira kami tak bisa melakukan apa yang kau pertunjukkan itu? Rasakan kepalanku!" sambil membentak keras, Sungkana yang tidak bisa menahan kemarahan segera melesat dengan disertai lontaran pukulan yang menimbulkan angin menderu.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Aiiih, sayang luput…," ejek Aryani yang dengan mudahnya menghindari serangan beruntun Sungkana. Sehingga hati pemuda gagah itu kian terbakar. Tapi, Aryani tidak peduli sama sekali.
Purgawa yang melihat Sungkana sudah bertarung dengan gadis cantik itu, semula enggan untuk mengeroyok. Sebagai seorang lelaki, tentu saja ia merasa malu mengeroyok seorang gadis muda. Meskipun gadis itu mengaku sebagai keturunan seorang datuk sesat. Tapi, saat melihat betapa mudahnya gadis cantik itu melayani Sungkana, Purgawa tidak bisa lagi berpangku tangan.
"Awas serangan...!" sambil berteriak dengan maksud untuk memperingatkan lawannya, Purgawa menerjunkan dirinya ke dalam arena pertempuran itu. Sekali bergerak saja, tangan dan kakinya langsung mengancam tubuh Aryani dengan serangkaian serangan beruntun!
Aryani hanya mendengus mendengar peringatan lawannya. Tanpa diberi diperintah, sebenarnya gadis cantik itu sudah dapat mendengar suara desingan angin pukulan yang datang mengancam dari belakangnya. Dan, semua itu tidak menimbulkan kesulitan sama sekali bagi Aryani. Gadis cantik itu dengan lincah menggeser tubuh ke samping. Kemudian, langsung mengirimkan tendangan kilat, ketika serangan lawan lewat tanpa hasil!
Purgawa yang memang sudah menduga kalau gadis itu memiliki kepandaian tinggi, tidak menyangka sama sekali gerakan lawan sangat cepat. Sadar untuk mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka Purgawa memutar telapak tangan yang dihindari lawan tadi. Dan....
Plakkk!
"Aaah.!"
Kaget bukan main hati lelaki gagah itu ketika merasakan betapa hebatnya tenaga yang mengalir di kaki lawan! Purgawa sampai mengeluarkan pekik tertahan! Karena tangkisannya justru membuat tubuhnya terpental dan nyaris jatuh! Sedangkan lengan yang digunakan untuk menangkis, terasa ngilu sampai ke tulang. Benar-benar suatu pengalaman yang mengejutkan bagi Purgawa.
Sedangkan Aryani sendiri, tidak mempedulikan lagi Purgawa. Karena, serangan Sungkana sudah mencecarnya. Untuk kali ini Aryani sama sekali tidak berusaha mengelak. Gadis cantik itu sengaja menanti serangan Sungkana, dan siap menangkis.
Wuuut! Bettt!
"Hiaaah...!" Aryani membentak nyaring saat pukulan Sungkana datang mengincar perut dan pelipisnya! Gadis cantik itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Dengan merendahkan kuda-kudanya, sepasang tangan Aryani bergerak ke depan secara bersilang
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!" Sungkana mengeluh ketika merasakan lengannya seperti membentur sepasang besi panas! Karuan saja pemuda itu menarik pulang kedua tangannya. Tapi, Aryani tidak berhenti di situ saja. Sepasang tangannya yang bersilang itu, berputar, dan langsung menggedor dada Sungkana secara telak!
Bressshhh...!
"Aaakh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gagah itu langsung terjengkang. Jeritannya terdengar dibarengi semburan darah segar yang mengotori lantai kedai!
"Sungkana...!?" Purgawa berteriak kaget melihat tubuh Sungkana terjatuh dan menghantam meja-meja kedai, hingga patah! Pemuda gagah itu sendiri menyeringai kesakitan. Kedua tangannya tampak sibuk memegangi dada dan pinggang yang terasa sakit. Tentu saja pemandangan itu membuat Aryani tertawa geli!
"Hik hik hik..! Kau benar-benar lucu, Sungkana! Tingkahmu itu persis seperti monyet kelaparan...!" ejek Aryani yang memang sejak semula merasa sakit hati dengan ucapan-ucapan kasar pemuda itu. Kini hatinya benar-benar merasa puas dapat menertawakan pemuda gagah itu.
"Bangsat! Kau... kau... dasar perempuan setan...!" Sungkana memaki-maki kalang kabut! Pemuda gagah itu menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia hanya bisa memaki untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
"Hik hik hk.. makilah sepuasmu, Pemuda Dogol! Karena sebentar lagi kau tidak akan bisa memaki..," sambut Aryani dengan bibir mengulas senyum mengejek. Nada ucapan gadis itu jelas mengandung ancaman!
Purgawa yang menyadari maksud ucapan Aryani, segera menyeret Sungkana keluar dari dalam kedai. Lelaki gagah itu sudah melolos senjatanya untuk melindungi dirinya dan Sungkana.
"Ah, hanya segitu sajakah keberanian pendekar-pendekar gagah yang ingin memberi pelajaran kepada Raja Racun Merah? Baru menghadapi aku saja kalian sudah jungkir balik. Bagaimana hendak menangkap ayahku...?" kembali Aryani mengejek kedua orang lawan yang diduganya hendak melarikan diri itu.
"Kami tidak akan berbuat sepengecut itu, Kuntilanak. Mari kita lanjutkan pertarungan di luar kedai," Purgawa yang juga telah merasa jengkel, segera menyahuti ucapan Aryani. Dan, ucapannya memang bukan sekadar omong kosong. Terbukti setelah tiba di luar kedai, Purgawa dan Sungkana berdiri tegak menanti kedatangan Aryani. Di tangan kedua laki-laki gagah itu telah tergenggam senjata mereka masing-masing.
Aryani melangkah ringan dari dalam kedai. Gadis itu tampak berdiri sejenak di pintu kedai sambil menatap kedua lawannya. Kemudian, kembali melangkah pelan menghampiri kedua orang lelaki gagah, yang sepertinya telah siap melanjutkan pertarungan.
"Bersiaplah! Jaga mulut kalian...!" terdengar desis dingin dari mulut Aryani saat ketiganya telah berhadapan dalam jarak satu tombak. Baru saja gadis itu menyelesaikan ucapannya, tubuhnya yang ramping sudah melesat dengan kecepatan menggetarkan!
"Haiiit..!"
Purgawa dan Sungkana kali ini benar-benar tercekat! Gerakan gadis cantik itu tampak demikian cepat, sepasang mata mereka tidak mampu melihat gerakan gadis itu dengan jelas! Cepat keduanya melompat mundur dan merenggang dengan maksud untuk menggencet lawan dari dua arah.
Tapi, serangan Aryani kali ini tidak dapat disamakan dengan serangan-serangan sebelumnya. Sepasang tangan gadis cantik itu bergerak cepat melakukan tamparan-tamparan yang menimbulkan desingan angin tajam! Jelas Aryani sudah tidak ingin lagi bertindak tanggung-tanggung!
Sungkana yang menjadi sasaran utama gadis cantik itu, setengah mati menghindarkan diri. Untuk membendung serangan lawan sesekali ia mengibaskan senjatanya! Sayang gerakan pemuda itu kalah cepat dengan lawannya! Akibatnya...!
Plakkk! Plakkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Sungkana kali ini tidak mungkin dapat menyelamatkan diri lagi! Dua buah tamparan lawan yang menghajar telak wajahnya, membuat wajah pemuda itu bengkak dan berwama biru. beberapa buah giginya tanggal tanpa dapat dicegah! Belum lagi sebuah gedoran keras yang menghantam dadanya. Karuan saja tubuh pemuda gagah itu terjengkang disertai semburan darah segar dari mulutnya!
"Bangsat keji...!" Purgawa yang saat itu sudah tiba di belakang Aryani, mengumpat marah! Pedang di tangannya langsung saja berkelebat dengan pengerahan seluruh kekuatan dan kecepatannya!
Aryani yang mendengar adanya desingan tajam dari sebelah belakang, cepat memutar tubuh dengan kuda-kuda rendah! Begitu senjata lawan lewat di atas kepalanya, kepalan mungil gadis cantik itu langsung meluruk tajam, dan menerpa tubuh Purgawa tanpa ampun!
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Bagai dilemparkan tangan raksasa, tubuh Purgawa terpental balik, dan jatuh berdebuk dengan kerasnya! Darah segar menyembur membasahi bumi! Lelaki gagah itu mengerang lirih, dan berusaha bangkit dengan susah payah!
"Hei...!"
Gadis cantik yang tengah melangkah perlahan menghampiri Purgawa, menoleh cepat. Suara deruan angin pukulan yang datang tiba-tiba itu, langsung saja membuat gadis cantik itu melompat ke samping. Sehingga serangan itu luput!
Aryani, gadis cantik keturunan datuk sesat itu, menatap tajam seorang lelaki gagah yang tadi berteriak dan menyerangnya tanpa alasan.
"Hm..., siapa kau, Orang Tua? Mengapa tanpa hujan dan angin kau menyerangku? Apa kau kawan dari tikus-tikus busuk yang sombong itu?" tegur Aryani dengan nada tak senang.
"Benar, aku adalah kawan dari kedua orang korban kekejamanmu itu. Aku adalah Ki Panjarasa, Ketua Perguruan Tongkat Baja," setelah berkata demikian, lelaki gagah itu menoleh ke arah dua orang lelaki yang menyertai kedatangannya, "Nah, mereka itu adalah murid-muridku, Jarinta dan Gumang...," lanjut lelaki gagah itu memperkenalkan kedua orang muridnya.
"Hm..., kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu? Kedatanganmu tentu untuk membantu mereka bukan? Nah, aku sudah siap...," tantang Aryani tanpa rasa gentar atau terkejut sedikit pun. Gadis galak yang tidak pernah mengenai takut itu, menatap Ki Panjarasa lekat-lekat.
Ki Panjarasa tidak mempedulikan tantangan Aryani sama sekali. Lelaki gagah berusia sekitar empat puluh tahun itu, melangkah menghampiri Purgawa yang masih terduduk lemah. Karena lelaki itu tidak bisa bangkit akibat hantaman Aryani tadi.
"Hati-hati, Ki. Gadis itu adalah keturunan Raja Racun Merah yang kau cari-cari itu. Kepandaiannya... tinggi sekali...," Purgawa terbatuk-batuk setelah memberitahukan kepada Ki Panjarasa tentang gadis cantik itu.
"Benarkah apa katamu itu, Purgawa? Dan, karena persoalan itukah kalian sampai bertarung?" tegas Ki Panjarasa yang segera merunduk di dekat Purgawa. Menilik dari wajahnya, Ki Panjarasa cukup terkejut dengan keterangan Purgawa.
"Benar, Ki.... Bagaimana keadaan Sungkana...?" sahut Purgawa sambil menanyakan keadaan kawannya
"Maksudmu pemuda itu...." jawab Ki Panjarasa sambil menunjuk ke arah tubuh Sungkana yang sudah tidak bergerak- gerak lagi. Lelaki gagah itu menggeleng penuh sesal. Tadi ia sudah diberitahukan oleh Jarinta dan Gumang, pemuda bernama Sungkana itu tidak bisa diselamatkan lagi.
"Ia... tewas...?" desak Purgawa yang menginginkan jawaban tegas dari Ki Panjarasa.
"Menyesal sekali kedatangan kami terlambat Purgawa. Kawanmu telah tewas beberapa saat yang lalu...," desah Ki Panjarasa menundukkan kepala dengan desahan napas penuh sesal.
"Bukan salahmu, Ki. Kesaktian gadis keturunan datuk sesat itu memang sangat tinggi sekali...," Purgawa mendesah dengan helaan napas berat.
"Hei... hei...! Mengapa kalian berubah seperti perempuan-perempuan cengeng? Apakah aku disuruh menonton tingkah- tingkah kalian yang menjemukan itu!" seru Aryani yang menjadi jengkel melihat sikap orang-orang itu dengan menyumpah dan melontarkan ejekan-ejekan yang menyakitkan. Sehingga, Ki Panjarasa bangkit berdiri, dan menatap tajam wajah cantik di depannya itu.
"Nisanak..," ucap Ki Panjarasa sambil menekan kemarahan di dalam dadanya, "Seluruh murid, anakku, juga istriku telah tewas di tangan murid-murid Raja Racun Merah. Meskipun istriku tidak dibunuh secara langsung, tapi perbuatan orang-orang biadab itu telah mendorongnya bunuh diri. Dan, kalau kau memang benar keturunan datuk sesat tu, kau harus bertanggung jawab atas semua kejadian itu," jelas Ki Panjarasa dengan suara bergetar. Tampak di wajahnya kejadian itu masih menyiksabatinnya.
"Hm..., ayahku memang pernah mempunyai beberapa orang murid. Tapi, setelah ayah sadar dan mengundurkan diri dari dunia sesat beliau telah menekankan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan kebiasan lama. Ayahku juga mengancam akan menghukum mereka, apabila terdengar mereka kembali berbuat kejahatan. Tapi, aku yakin semua itu hanyalah fitnah yang keji dilemparkan kepada ayahku. Aku tetap menyangkalnya...," sahut Aryani dengan suara ketus dan sepasang mata berkilat tajam.
"Boleh jadi ayahmu pernah berkata untuk meninggalkan dunia sesat. Tapi, apakah kau bisa menjamin kalau datuk-datuk sesat kawan ayahmu itu datang dan mengajak bekerja sama untuk membangkitkan kejayaan kaum sesat? Apa kau kira ayahmu bisa menolak?" tukas Ki Panajarasa yang tetap tidak mengubah tuduhannya kepada Raja Racun Merah. Lelaki gagah itu sama sekali tidak dapat percaya kalau seorang datuk sesat seperti Raja Racun Merah dapat meninggalkan segala kebiasaan buruknya.
"Aku tetap tidak bisa menerima apa pun alasanmu, Orang Tua! Bagiku, ayah adalah manusia terbaik di dunia ini. Tidak seperti kalian manusia-manusia jahat yang bersembunyi di balik nama kependekaran kalian. Padahal hati kalian busuk!" hardik Aryani tetap tidak sudi bila ada orang yang menuduh ayahnya jahat. Dan, untuk itu Aryani berani menghadapi siapa pun yang menghina ayahnya.
"Hm..., kau akan kutangkap, agar Raja Racun Merah keluar dari persembunyiannya, untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya!" ujar Ki Panjarasa tidak mau kalah. Setelah berkata, lelaki gagah itu sudah bersiap untuk menangkap Aryani.
"Bagus! Sebaiknya memang begitu. Untuk apa buang-buang tenaga dengan segala omongan tiada guna!" desis Aryani yang juga telah siap menghadapi lawannya.
"Yeaaat..!"
Disertai dengan sebuah teriakan nyaring, Ki Panjarasa melesat secepat kilat! Sekali bergerak, kedua tangannya langsung melontarkan dua buah pukulan yang mengancam tubuh Aryani! Aryani mendengus kasar. Gadis cantik itu cepat memutar kedua tangannya dan mengeluarkan jurus andalan. Tampaknya gadis itu ingin menyelesaikan pertarungan secepatnya.
"Haiiit..!"
Wuuut! Wuuut!
Sebentar saja, sekitar arena pertarungan telah dipenuhi udara beracun yang memabukkan. Bau harum yang memusingkan kepala menebar, ketika Aryani mengeluarkan ilmu andalannya. Dan, dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, gadis cantik itu dengan lincah memapaki serangan lawannya!
Namun Ki Panjarasa bukanlah orang bodoh yang mudah dikelabui gadis cantik itu. Lelaki gagah itu secepat kilat menggeser tubuhnya ke samping dengan lompatan pendek! Sepasang tangannya yang semula dimaksudkan untuk melontarkan pukulan, diputar sedemikian rupa menghindari benturan telapak tangan lawan. Lalu, dengan gerakan yang cepat dan gesit, telapak tangan Ki Panjarasa melontarkan sebuah tamparan ke arah bahu kiri lawan!
Wuuut!
"Haiiit...!"
Dengan tidak kalah gesitnya, Aryani memutar tangannya yang semula terdorong ke depan. Sambil merendahkan kuda-kudanya, wanita cantik itu memutar sikunya dan langsung memapaki telapak tangan lawan! Gerakannya yang cepat bagai kilat, tak sempat lagi dielakkan Ki Panjarasa!
Plakkk...!
"Uhhh...!" Tanpa dapat dicegah lagi, Ki Panjarasa terdorong mundur disertai keluhan lirih. Benturan yang cukup keras itu hampir saja membuat Ki Panjarasa terjatuh! Untunglah kuda-kudanya sangat kokoh! Sehingga, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan sebuah putaran tubuh yang mengagumkan!
"Gila...!" desis Ki Panjarasa sambil menatap tajam wajah gadis cantik itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tenaga dalam yang dimiliki gadis itu sangat tinggi!
Kini keduanya saling menatap dengan tajam. Tak satu pun dari mereka yang berniat mendahului.
***
LIMA
JARINTA dan Gumang, dua orang murid utama Ki Panjarasa bergerak merenggang dan mengepung Aryani. Melihat betapa guru mereka dapat dipukul mundur oleh gadis berpakaian kuning itu, mereka pun segera membantu tanpa diperintah gurunya. Mereka sadar kalau yang dihadapi Ki Panjarasa kali ini bukanlah gadis sembarangan. Melainkan seorang keturunan datuk sesat yang terkenal kesaktian dan kekejamannya. Alasan itulah yang membuat keduanya segera turun tangan tanpa diperintah.
Gumang, murid tertua Ki Panjarasa segera melemparkan tongkat baja di tangannya, yang segera ditangkap oleh Ketua Perguruan Tongkat Baja. Sedang dia sendiri sudah menggunakan sebuah tongkat baja putih, yang ukurannya lebih kecil dari milik Ki Panjarasa. Melihat dari senjata yang digunakan Gumang, jelas murid tertua itu telah mewarisi ilmu 'Tongkat Penghancur Gunung' yang merupakan ilmu andalan Ki Panjarasa.
Demikian pula dengan Jarinta. Lelaki tinggi kurus bertubuh padat itu, juga telah menggenggam sebatang tongkat baja putih yang ukurannya sama dengan milik Gumang. Kedua orang murid andalan Perguruan Tongkat Baja itu tentu telah mewarisi ilmu tongkat gurunya. Mereka berdua tampaknya dipercaya oleh Ki Panjarasa.
Wuuuk! Wuuuk!
Ki Panjarasa memutar-mutar tongkat baja putihnya hingga menimbulkan deruan angin mengaung tajam! Daun-daun kering dan bebatuan kecil beterbangan, menandakan kekuatan yang tersembunyi di dalam ilmu tongkat itu tidak bisa dipandang rendah!
Begitu pula dengan Jarinta dan Gumang. Kedua orang murid utama Ki Panjarasa itu memutar-mutar tongkat bajanya, sambil melangkah perlahan mengitari Aryani yang berada di tengah ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja. Agaknya ketiga lelaki gagah itu hendak menjepit lawannya dari tiga arah.
Aryani sendiri masih tampak tenang. Wajah dara cantik itu sama sekali tidak menggambarkan rasa gentar. Hanya sepasang matanya saja yang mengikuti gerakan ketiga orang lawannya. Sepertinya gadis cantik itu sengaja menunggu lawannya mulai menyerang. Tindakan Aryani tentu saja menandakan kecerdikan otaknya. Karena jika lawan menyerang lebih dahulu, ia dapat menebak dan tindakan Aryani itu sama sekali bukan karena ia merasa gentar menghadapi keroyokan lawannya.
Sebagai seorang keturunan datuk sesat tentu saja bukan hanya sekadar ilmu silat tinggi yang diturunkan ayahnya. Raja Racun Merah pun pernah menceritakan kepada putrinya itu tentang adanya ilmu gabungan yang dijalankan lebih dari dua atau tiga orang. Meskipun rata-rata ilmu silat lawan berada di bawahnya, namun apabila lawan menggunakan ilmu gabungan bisa jadi ia sendirilah yang mungkin akan celaka di tangan lawan-lawannya.
Nasihat ayahnya itulah yang membuat Aryani tidak mau bertindak ceroboh. Ia ingin melihat dulu, apakah ketiga orang pengeroyoknya itu menggunakan ilmu gabungan, atau hanya keroyokan biasa. Untuk mengetahui hal itu, Aryani menunggu serangan lawan, agar ia dapat menilainya.
Ki Panjarasa dan kedua orang muridnya, tampak mengitari gadis itu dengan berpindah-pindah tempat. Terkadang kedudukan Ki Panjarasa berada tepat di depan Aryani. Di lain saat, orang tua gagah itu bisa berada di belakang lawannya. Jelaslah kini bagi Aryani bahwa ketiga lawannya menggunakan ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh tiga orang secara kompak dan saling melindungi.
"Hm...," Aryani bergumam sambil tetap berdiri tanpa bergeming sedikit pun. Gadis cantik itu terlihat mulai merenggangkan kedua kakinya membentuk kuda-kuda. Sepasang tangannya tampak meliuk ke atas kepalanya. Dari getaran-getaran dan juga bau wangi yang ditebarkannya, jelas kalau gadis cantik itu menggunakan ilmu andalannya guna menghadapi Ki Panjarasa dan dua orang muridnya.
"Haiiit..!"
Mendadak! Gumang yang berada di depannya berteriak nyaring disertai dengan lompatan panjang ke arah Aryani. Tongkat Baja di tangan lelaki gemuk itu berputaran sehingga menimbulkan suara mengaung ribut!
Cepat Aryani melompat ke samping, mengelakkan terjangan tongkat baja yang lurus mengancamnya. Kening gadis cantik itu baru berkerut ketika menyadari kalau gerakan Gumang hanya sekadar tipuan dan bukan penyerangan sungguh-sungguh! Karena serangan itu belum mencapai tubuhnya, Gumang kembali berseru nyaring, dan tubuh lelaki gemuk itu telah melambung melewati kepala lawannya! Sayang kesadaran gadis cantik itu sedikit terlambat!
Selagi ia tertegun dengan gerakan tipu Gumang, Jarinta yang berada di sebelah kirinya tahu-tahu telah membabatkan tongkat bajanya dan mengancam kedua kaki gadis cantik itu! Aryani langsung melesat ke depan menghindari serangan itu! Baru saja kedua kaki Aryani menjejak tanah, terdengar sebuah desingan nyaring yang nyaris menulikan telinganya. Gadis cantik itu sempat terkejut melihat datangnya ujung tongkat baja yang siap menghunjam batok kepalanya!
"Haiiit..!"
Sambil memekik nyaring, Aryani melompat dan memutar tubuhnya! Lagi-lagi serangan yang dilancarkan Ki Panjarasa itu hanyalah sebuah tipuan, dan bukan serangan sungguh- sungguh! Sehingga....
Bukkk!
"Aaakh...!?" Aryani yang baru saja hendak menjejak tanah, memekik kesakitan! Sebuah kibasan tongkat yang cukup keras, menghantam telak punggungnya! Karuan saja tubuh gadis itu terjerunuk ke depan! Meskipun ia telah melindungi tubuhnya dengan tenaga sakti, tetap saja gadis itu meringis menahan rasa nyeri yang menggigit punggungnya!
"Setan...!" Aryani menyumpah sambil menatap tajam lelaki gemuk yang telah menyarangkan pukulan tongkatnya di punggung gadis itu. Orang itu tak lain adalah Gumang, lelaki yang pertama kali membuka serangan!
Gadis cantik keturunan datuk sesat itu tidak sempat berpikir panjang. Pada saat bersamaan, ketiga orang lawannya telah menerjang secara berbarengan! Karuan saja Aryani mengerutkan keningnya. Karena cara kerja lawan-lawannya telah berubah sama sekali!
"Kurang ajar...!" lagi-lagi Aryani mengumpat kesal. Gadis cantik keturunan datuk sesat itu benar-benar dibuat jengkel olehlawan-lawannya.
Kali ini Aryani mengambil sikap nekat! Karena ia tidak tahu apakah serangan itu sungguhan atau sekadar tipuan, maka gadis itu mengambil sikap menanti! Kedua kakinya dibuka sedikit dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Aryani siap menyambut datangnya ketiga batang tombak baja lawan!
Lagi-lagi gadis cantik itu terpaksa harus menelan kejengkelannya. Hatinya yang sudah tegang menanti datangnya serangan tongkat lawan, berubah menjadi jengkel! Betapa tidak, pada saat ketiga batang tongkat itu tinggal beberapa jengkal lagi dari tubuhnya, tahu-tahu saja ketiga lawannya berteriak secara bersamaan. Berbarengan dengan itu, Ki Panjarasa, Jarinta, dan Gumbang tiba-tiba saja tubuhnya melenting ke udara berpencaran! Serangan mereka ternyata hanya sebuah tipuan untuk membuat lawan terombang-ambing perasaannya.
"Yeaaah...!"
Belum lagi ketegangan di hati Aryani lenyap, tiba tiba Ki Panjarasa berseru nyaring sambil menusukkan ujung tongkatnya ke tubuh gadis cantik itu! Serangan yang jelas mengandalkan kekuatan penuh itu, ternyata sebuah serangan yang mematikan, dan sepertinya memang bukan sebuah tipuan!
Menyadari gerakan ketiga orang pengeroyoknya memiliki banyak tipuan yang tidak diketahui, maka Aryani mengambil keputusan untuk tetap tenang. Ia bertekad tidak akan menghindar serangan lawan sebelum mengancamnya. Tekad itu membuat Aryani tidak berusaha menghindari, gempuran tongkat baja Ki Panjarasa!
Meski serangan itu terlihat sungguh-sungguh, gadis itu tidak mempedulikannya. Ia tidak mau terkecoh untuk kesekian kalinya! Sayang perkiraan Aryani meleset. Ujung tongkat baja Ki Panjarasa meluncur deras mengancam tubuhnya. Gadis itu tidak berusaha untuk menghindar. Ia menanti hingga ujung tongkat lawan benar-benar dekat dengan tubuhnya!
Wuuuk!
"Hihh...!"
Aryani sempat memekik kaget ketika ujung tongkat itu, ternyata benar-benar akan menghantam tubuhnya! Cepat gadis cantik itu berkelit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan Ki Panjarasa lewat setengah jengkal di depan tubuh gadis cantik itu! Langsung saja Aryani menggerakkan tangannya dari atas ke bawah dengan maksud untuk merebut tongkat itu dari tangan lawan! Sambil berbuat demikian, ia merendahkan kuda- kudanya, dan mengirimkan tebasan tangan kiri ke leher lawannya!
Bettt!
Tebasan tangan kiri dan cengkeraman Aryani pada tongkat lawan, mengenai angin kosong! Karena secara tak terduga, Ki Panjarasa membungkuk dengan kuda-kuda yang sangat rendah! Dan, lelaki gagah itu menyusulinya dengan menyontekkan ujung tongkatnya dan mengancam dagu gadis cantik itu! Karuan saja serangan itu membuat Aryani terkejut! Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang menghindari hantaman tongkat pada dagunya!
Tapi, gadis cantik itu terpaksa harus menelan pil pahit untuk kedua kalinya! Pada saat tubuhnya terlontar ke belakang, tahu- tahu saja sebatang tongkat yang berada di tangan Jarinta, telah menghajar punggungnya dengan keras!
Buggg!
"Aaakh...!" Aryani memekik kesakitan! Hantaman keras itu membuat tubuhnya meluncur tidak terkendali! Sehingga, tubuh gadis cantik itu terbanting di atas tanah!
"Bangsat! Setan Keparat...!" Aryani memaki kalang kabut. Gadis cantik itu menyusut sudut bibirnya yang tampak mengalirkan darah! Jelas hantaman tongkat baja Jarinta telah membuat tubuh gadis cantik itu mengalami luka dalam. Meskipun tidak terlalu parah, tapi cukup membuat Aryani mati kutu oleh ketiga orang tokoh Perguruan Tongkat Baja itu.
Dengan sepasang mata berkilat tajam, Aryani bangkit berdiri. Sikap gadis cantik itu tak ubahnya seperti binatang buas yang terluka! Kikitan nafsu membunuh terlihat jelas pada sinar matanya.
"Meskipun aku harus mati, tapi kalian semua tidak akan kubiarkan hidup!" ujar Aryani sambil melesat menerjang Gumang, lawan yang terdekat dengannya.
"Yeaaat..!"
Sayang Aryani lebih banyak mempergunakan kemarahannya dalam menghadapi ilmu tongkat gabungan itu. Kalau saja ia mencoba untuk berpikiran jernih dan mau memecahkan kelemahan ilmu lawan, rasanya tidak terlalu suit. Karena dara cantik itu miskin pengalaman, tidak mengherankan bila ia mempergunakan kemarahan dan emosinya dalam melayani keroyokan lawan. Tentu saja tindakan itu tidak menguntungkan dirinya. Malah sebaliknya, ia sendiri yang akan menderita kerugian dengan tindakan emosinya!
Aryani menerjang kalang kabut bagaikan kerasukan setan. Beberapa kali hantaman tongkat lawan tidak lagi dirasakannya. Ia hanya berpikir, bila ia harus tewas, paling tidak ia mesti membawa salah seorang dari lawannya ke alam kematian! Tekad itu pula yang membuatnya tidak mempedulikan hantaman tongkat baja lawan pada tubuhnya.
Malang sekali nasib keturunan Raja Racun Merah itu. Tubuhnya jungkir balik dipermainkan Ki Panjarasa dan kedua orang muridnya! Wajah cantik itu pun berubah pucat dan kebiruan karena terlalu banyak pukulan yang harus diterima! Tapi dengan gigih Aryani melakukan perlawanan mati-matian demi membela nama ayahnya!
"Haiiit..!"
Desss...!
Aryani kembali memekik kesakitan ketika sebuah hantaman tongkat lawan kembali menyengat tubuhnya! Darah segar meleleh membasahi pakaiannya! Tapi, gadis cantik itu memaksa bangkit untuk melakukan perlawanan!
Bresssh...!
Putri Raja Racun Merah menggulingkan tubuhnya menjauhi ujung tongkat yang mengincarnya! Sehingga, hantaman tongkat baja Gumang menghantam tanah, tempat di mana Aryani semula berada! Untunglah gadis cantik itu lebih dahulu menghindar! Kalau tidak, mungkin batok kepalanya terkena hantaman ujung tongkat lawannya.
"Hiaaah...!"
Belum lagi Aryani sempat bangkit tegak, sebuah ujung tongkat lain datang mengancam tubuhnya! Melihat serangan yang datang demikian cepat dan kuat itu, sepertinya sulit bagi Aryani untuk menghindarkan diri! Apalagi keadaan tubuhnya sudah mulai lemah!
Wuuuk!
Gadis cantik itu terpaksa menanti datangnya maut dengan tatapan tajam! Kedua kakinya yang terasa lemah dan sukar untuk digerakkan membuatnya terpaksa mengangkat tangan guna melindungi kepalanya dari hantaman maut lawan!
Ki Panjarasa yang merasa yakin sasarannya tidak akan selamat, semakin menambah kekuatan pada ujung tongkatnya. Sehingga suara mengaung yang ditimbulkannya semakin ribut!
"Tahan...!"
Pada saat yang benar-benar berbahaya itu, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras yang mengguntur! Berbarengan dengan terdengarnya seruan keras itu, sesosok tubuh berkelebat bagaikan kikitan sinar yang langsung memapaki luncuran ujung tongkat Ki Panjarasa!
Plakkk...!
Terdengar sebuah benturan keras yang memekakkan telinga! Berbarengan dengan itu, tampak tubuh Ki Panjarasa terpental bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak!
"Aaakh...!?" Ki Panjarasa memekik kaget! Di balik rasa terkejutnya, ada rasa keheranan menyelinap di lubuk hatinya. Meskipun jelas-jelas tubuhnya terpental, tapi sama sekali tidak merasakan adanya kenyerian pada lengannya yang memegang tongkat! Padahal, menurut dugaannya, paling tidak ia pasti akan menderita luka dalam akibat benturan keras itu! Ternyata ia hanya terlempar sejauh satu setengah tombak, dengan tubuh terasa ringan bagaikan tidak berbeban!
"Aryani, kau... bagaimana dengan lukamu...?" sesosok tubuh terbungkus jubah putih tampak tengah merunduk dan mencoba untuk menarik bangkit tubuh Aryani. Pancaran kabut bersinar putih keperakan tampak masih tersisa pada tubuhnya.
"Kakang Panji...!?" bibir mungil yang dipenuhi noda darah itu berdesis perlahan dan hampir tidak terdengar. Ada genangan air mata tampak di mata indah itu. Jelas Aryani merasa terharu dengan kehadiran pemuda tampan berjubah putih itu. Gadis itu sadar kalau pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya kembali.
"Benar, kami yang datang, Aryani...," terdengar suara halus yang merdu. Berbarengan dengan itu, seorang dara jelita melangkah menghampiri Panji dan Aryani. Siapa lagi gadis jelita berpakaian serba hijau itu kalau bukan Kenanga.
"Ah, aku selalu saja membuat kalian repot..," desis gadis cantik itu sambil berusaha berdiri tegak dipapah oleh pemuda tampan berjubah putih itu.
"Sudah tahu begitu, mengapa kau lari dari kami...? Dasar kau saja yang bendel...," sahut gadis jelita berpakaian serba hijau itu sambil mengulur tangannya dan menggantikan Panji memapah tubuh Aryani.
Aryani sendiri sama sekali tidak marah dengan ucapan gadis cantik itu. Karena, ia tahu meski ucapan itu agak ketus, tapi Kenanga tidak benar-benar marah kepadanya.
"Maafkan aku, Kakang. Aku tidak mau melibatkan kalian dalam urusanku ini...," sahut Aryani dengan tatapan mohon pengertian dari gadis jelita itu. Tampak Aryani merasa menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap pasangan pendekar yang sangat baik terhadap dirinya.
"Hm..., nyatanya kami terlibat juga, bukan...?" balas Kenanga tersenyum menggoda.
Aryani hanya menarik napas mendengar ucapan Kenanga. Gadis cantik itu merasa terharu bukan main atas kebaikan pasangan pendekar terkenal itu. Padahal, mereka baru kenal beberapa hari. Tapi, pasangan pendekar itu telah banyak melepas budi kepadanya. Dua kali nyawanya diselamatkan dari kematian. Dan itu bukan jasa yang kecil menurut pikiran Aryani. Dalam hati, ia berjanji akan membalas jasa pasangan pendekar itu, meski ia tidak tahu bagaimana caranya.
Kenanga yang membawa Aryani ke tempat yang aman, segera mengobati luka-luka yang dialami gadis keturunan daruk sesat itu. Sepertinya gadis jelita itu percaya sepenuhnya bahwa Panji atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih, dapat menyelesaikan persoalannya dengan baik. Pikiran itu yang membuatnya tenang dalam melakukan pengobatan terhadap Aryani.
***
ENAM
Jarinta dan Gumang merapat mendekati Ki Panjarasa. Dua orang murid utama Ketua Perguruan. Tongkat Baja itu benar-benar terkejut melihat guru mereka terpental. Kendati mereka tidak tahu penyebabnya, namun jelas semua itu terjadi karena kemunculan pemuda tampan berjubah putih itu. Mereka menduga pasti dikarenakan tindakan pemuda berjubah putih itu. Maka, Jarinta dan Gumang mendekati gurunya, dan siap membantu.
Ki Panjarasa sendiri sempat tertegun menatap pemuda berjubah putih itu. Setelah meneliti beberapa saat lamanya, ia teringat dengan lelaki gagah itu, seorang pendekar muda yang pada masa itu sangat terkenal di kalangan rimba persilatan. Melihat ciri-ciri pemuda di depannya, Ki Panjarasa mulai dapat menebak siapa sesungguhnya pemuda gagah dan tampan itu.
"Kisanak, bukankah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Panjarasa melangkah maju beberapa tindak mendekati Panji. Jarinta dan Gumang tetap mengiringi guru mereka dengan sikap slap untuk bertarung.
"Begitulah, orang-orang persilatan menyebutku, Paman. Maaf, kalau aku telah membuat Paman terkejut..," jawab Panji dengan wajah yang tetap tenang dan penuh senyum.
"Hm..., tahukah kau, siapa gadis cantik yang kau selamatkan itu? Dia adalah putri seorang datuk sesat berhati iblis yang berjuluk Raja Racun Merah! Serahkanlah dia kepada kami...," lanjut Ki Panjarasa dengan tekanan nada agak berat dan setengah memaksa.
"Aku tahu, Paman. Bahkan sebelumnya aku telah mengenal gadis yang bernama Aryani itu. Sayang tuduhan Paman keliru. Aryani tidaklah sejahat yang Paman kira. Bahkan ayahnya pun telah sadar akan kesesatannya. Itulah sebabnya aku berani menyelamatkan gadis itu," jawab Panji tetap tenang dan tidak terpancing oleh nada ucapan lawannya.
"Kau tahu, Pendekar Naga Putih. Raja iblis itu kini telah mengutus murid-muridnya untuk membuat kekejaman. Salah satunya yang menjadi sasaran adalah keluarga dan seluruh murid-murid perguruanku. Semuanya dibantai habis secara keji dan biadab! Nah, apakah perbuatan pengikut iblis-iblis itu harus kubiarkan berkeliaran begitu saja? Salahkah kalau aku berniat untuk menawan gadis itu, agar ayahnya datang mencariku?" nada ucapan Ki Panjarasa mulai meninggi karena terbawa emosi dan dendam.
"Tapi, semua itu belum tentu benar, Paman. Siapa tahu ada orang-orang yang sengaja menyebarkan fitnah keji kepada Raja Racun Merah. Pikirkanlah tindakan Paman, jangan sampai menyesal dikemudian hari," jelas Panji mencoba mengingatkan lelaki gagah itu kalau-kalau tindakannya akan disesali kemudian hari.
"Hm..., aku tidak perlu dengan khotbahmu, Pendekar Naga Putih. Meskipun kau seorang pendekar besar yang diagung-agungkan orang banyak, tapi Ki Panjarasa tidak gentar! Karena aku yakin kebenaran berada dipihakku!" tukas Ki Panjarasa dengan nada yang semakin keras.
"Tapi, Paman."
"Cukup!" bentak Ki Panjarasa memotong ucapan Panji, "Sekarang boleh kau putuskan! Di pihak mana kau sebenarnya berdiri!"
"Maaf, aku terpaksa harus membelanya, sebelum semua persoalan ini jelas. Dan, aku..."
"Sambut pukulanku...!" Ki Panjarasa yang tidak mau mendengar alasan Pendekar Naga Putih lagi, membentak nyaring dengan dibarengi lesatan tubuhnya. Tongkat Baja di tangannya berputaran menimbulkan deruan angin keras!
Bettt! Bettt!
Dua kali sabetan tongkat baja itu berhasil dihindari Panji dengan melempar tubuhnya ke belakang. Tapi, Ki Panjarasa tidak memberi kesempatan kepada pemuda tampan itu untuk berbicara lebih jauh lagi! Tongkat baja di tangannya terus menyambar-nyambar mengincar tubuh Pendekar Naga Putih!
Panji, untuk kesekian kalinya, terpaksa bentrok dengan tokoh-tokoh segolongan dalam membela Aryani. Dan, ia sama sekali tidak berusaha membalas serangan Ki Panjarasa. Meskipun Ketua Perguruan Tongkat Baja itu menyerangnya dengan gencar. Pemuda itu hanya mengelak, dan menghindari sambaran tongkat baja yang mengancam tubuhnya itu!
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Jarinta dan Gumang yang melihat guru mereka telah bertarung dengan pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu, segera memasuki arena pertempuran dan langsung membantu gurunya! Masuknya kedua orang murid utama lelaki gagah itu ke dalam pertarungan, tentu saja membuat Panji sedikit sibuk! Pemuda tampan itu terpaksa melakukan lompatan panjang jauh ke belakang dan berputaran beberapa kali di udara, sebelum menjejakkan kakinya di atas tanah.
Tapi, baru saja Panji menjejakkan kakinya di tanah, sambaran tongkat baja di tangan Ki Panjarasa kembali mengancam tubuhnya! Ketika pemuda itu melesat ke samping kanan untuk menghindari sabetan tongkat lelaki gagah itu, ujung tongkat Gumang datang mengancam pelipisnya!
"Hebat..!" mau tidak mau Panji terpaksa memuji kekompakan ketiga orang lelaki gagah itu. Ujung tongkat baja di tangan lelaki gemuk itu ditepiskan Panji dengan menggunakan telapak tangannya!
Plakkk!
"Uhhh...!" Gumang mengeluh pendek ketika tubuhnya terjajar mundur akibat tangkisan, yang kelihatan pelan dan sembarangan itu! Lelaki gemuk itu terlihat agak menyeringai, sambil memijat lengan kanannya yang terasa linu! Ia pun sadar kalau tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Naga Putih memang sukar untuk diukur!
Wuuuk!
Cepat bagai kilat, Pendekar Naga Putih berbalik ketika telinganya menangkap desir angin tajam dari belakangnya. Kening pemuda itu agak berkerut melihat datangnya serangan tongkat dari lelaki kurus yang tak lain Jarinta. Namun, pemuda itu cepat menggeser juga tubuhnya, meski ia agak ragu melihat serangan lawan. Karena ketajaman matanya, pemuda tampan itu dapat menebak serangan tongkat baja Jarinta seperti sebuah gerak tipu, dan bukan serangan sungguhan!
Dugaan Panji memang tidak meleset! Secara mendadak, Jarinta menarik pulang serangan tongkatnya, dan langsung melempar tubuh ke samping, lalu berjumpalitan beberapa kali! Belum lagi Panji sempat berpikir melihat tongkat lelaki kurus itu, yang menurutnya sangat aneh, tiba-tiba saja dari tempat di mana tadi serangan lelaki kurus itu datang, telah muncul ujung tongkat baja lain yang meluncur deras ke arah tenggorokannya! Barulah Panji sadar kalau ketiga orang lelaki gagah itu telah mempergunakan ilmu tongkat gabungan untuk menundukkannya!
"Sayang mereka terlalu cepat mengambil keputusan...," gumam Pendekar Naga Putih menyayangkan betapa ilmu tongkat yang hebat itu harus digunakan kepada orang yang salah.
Panji yang telah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran, segera dapat melihat inti dari ilmu tongkat gabungan lawannya. Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda itu segera melambung tinggi melampui tubuh Ki Panjarasa yang menyerangnya. Dengan demikian, tindakan pemuda itu berarti telah membuat ilmu tongkat gabungan lawannya mati, dan tidak dapat berkembang. Dan, itu satu-satunya kelemahan yang terdapat pada ilmu tongkat gabungan yang mengikuti gerak lawan secara berlawanan.
Jarinta dan Gumang yang melihat tindakan Pendekar Naga Putih, tentu saja menjadi terkejut. Mereka yang siap menyerang apabila Panji mengelak atau memapaki serangan gurunya, kini hanya bisa berdiri bingung! Karena saat itu lawan yang hendak mereka serang jauh berada di belakang mereka. Sehingga, baik Jarinta maupun Gumang tidak dapat berbuat apa-apa.
"Kurang ajar! Pendekar Naga Putih rupanya telah mengetahui kelemahan kita...," desis Ki Panjarasa yang diam-diam menjadi kagum melihat ketelitian pemuda itu dalam memecahkan kelemahan ilmu tongkat gabungannya.
Ketiga orang itu kembali berlompatan mengepung Pendekar Naga Putih. Tongkat di tangan mereka berputar menimbulkan deruan angin yang tajam. Melihat dari sikapnya, jelas Ki Panjarasa dan murid-muridnya hendak bertarung sampai titik darah yang penghabisan!
Panji yang tidak ingin keliru dalam menghadapi masalah. Segera mengambil keputusan untuk tidak melayani lawannya. Pemuda tampan itu segera mengedipkan sebelah matanya ke arah Kenanga yang tidak jauh di samping kanannya.
Kenanga yang mengerti isyarat Panji segera mengangkat Aryani. Kemudian, gadis jelita itu bergegas meninggalkan tempat itu dengan membawa putri Raja Racun Merah. Setelah melihat tubuh Kenanga dan Aryani lenyap di balik kelebatan pepohonan, Panji segera mengeluarkan ilmu tenaga dalamnya. Sedetik kemudian, pemuda itu melontarkan pukulan jarak jauhnya ke arah sebatang pohon besar!
Wuuus....
Duaaarrr.!
Terdengar suara bergemuruh ketika pohon besar yang berada dekat arena pertarungan roboh dengan suara hiruk- pikuk! Sehingga, dalam sekejap saja, suasana menjadi gaduh! Bersamaan dengan itu, tubuh Pendekar Naga Putih melesat secepat kilat meninggalkan arena pertarungan!
"Setan...!" Ki Panjarasa hanya bisa menyumpah-nyumpah, ketika suasana kembali tenang, sosok pemuda tampan itu ternyata telah lenyap tanpa bekas. Lelaki gagah itu hanya dapat menarik napas jengkel. Karena ia sendiri tidak sempat melihat ke mana perginya Pendekar Naga Putih!
"Licik...!" Gumang yang juga merasa penasaran mendesis dengan geramnya.
"Kita harus mengejar gadis jelita itu dan menangkapnya, Guru. Kalau perlu kita mengadu nyawa dengan Pendekar Naga Putih yang sombong itu!" ujar Jarinta dengan tidak kalah geramnya.
"Tentu. Setelah menguburkan mayat Sungkana, dan mengobati Purgawa, kita akan cari mereka sampai dapat! Biar ia berada di ujung dunia sekali pun, aku akan tetap mengejarnya!" sahut Ki Panjarasa berapi-api.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu memerintahkan kedua orang muridnya untuk menguburkan mayat Sungkana. Sedang ia sendiri sudah menghampiri Purgawa. Ki Panjarasa berniat hendak mencarikan orang pandai untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh Purgawa.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat keempat sosok tubuh itu bergerak meninggalkan desa. Purgawa yang masih lemah, dipapah oleh Jarinta dan Gumang.
***
Sosok berjubah putih itu terus bergerak meninggalkan desa. Jubahnya yang panjang berkibaran, karena sosok itu bergerak cepat dengan kaki yang laksana tak menginjak bumi. Langkahnya baru melambat setelah cukup jauh meninggalkan desa, tempat di mana ia semula singgah.
"Itu Kakang Panji...!" seru seorang data jelita berpakaian serba hijau menunjuk ke arah sosok berjubah putih, yang saat itu tengah menghampirinya.
Tidak salah apa yang dikatakan gadis jelita itu. Sosok berjubah putih, yang baru saja meninggalkan lawannya, memang Panji. Pemuda itu tersenyum kepada dua orang data yang tengah menantinya.
"Apakah mereka mengejar kita, Kakang...?" tanya data jelita berpakaian serba hijau itu, dan bergerak bangkit menyambut kedatangan Panji. Sedang dara cantik berpakaian kuning cerah di sebelahnya, tampak hanya terduduk menatap pemuda tampan itu.
"Syukurlah mereka dapat kukelabui. Untuk sementara ini aku kira kita aman. Sebab mereka tidak mengejarku," sahut Panji mengulurkan tangannya merengkuh tubuh dara jelita yang tidak lain Kenanga. Kemudian keduanya berjalan menghampiri gadis berpakaian kuning, Aryani.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang? Kita harus mencari penyelesaian dari masalah ini. Kalau tidak, semua tokoh persilatan golongan putih akan tetap memusuhi kita. Ini akan menyulitkan langkah kita, Kakang...," ujar Kenanga meminta pertimbangan sambil menatap wajah kekasihnya.
Masalah yang mereka hadapi kini memang makin pelik dan berbahaya. Kalau sampai apa yang dikhawatirkan gadis jelita itu menjadi kenyataan, langkah mereka selanjutnya pasti tidak akan aman.
"Ya. Sedang kunci semua masalah ini hanya terletak pada Raja Racun Merah. Sepertinya kita harus mencari datuk itu lebih dahulu. Dari tokoh itu, mungkin kita dapat menemukan jawaban terhadap masalah pelik ini," sahut Panji disertai dengan helaan napas yang berat. Kemudian pemuda tampan itu mengalihkan pandangannya ke arah Aryani, yang saat itu tengah duduk menanti kedatangan keduanya.
Panji dan Kenanga menghempaskan tubuhnya di samping gadis cantik itu. Aryani terlihat masih agak pucat wajahnya. Gerak-geriknya nampak agak lemah. Jelas kalau kesehatan gadis itu belum pulih sepenuhnya.
"Bagaimana keadaanmu, Aryani...?" tanya Panji sambil menatap wajah cantik yang agak pucat itu.
"Sudah agak baikan, Kakang. Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. Entah bagaimana aku harus membalas budi kalian yang begitu besar kepadaku...?" desah Aryani dengan nada suara yang terdengar lemah.
Panji menghela napas ketika mendengar nada kesedihan dalam ucapan Aryani. Pemuda tampan itu bukan tidak tahu apa yang membuat putri datuk sesat itu berduka. Persoalan- persoalan yang dihadapinya membuat Aryani menjadi terpukul. Karena ke manapun langkahnya terayun, di situ ia pasti akan bertemu dengan orang-orang yang memusuhi ayahnya.
"Sabarlah, Aryani. Tidak ada satu persoalan di dunia ini yang tidak mempunyai jawaban. Apa yang kau temui selama ini memang sangat menyakitkan hati. Tapi, kita tidak boleh menyerah dalam menghadapinya. Satu yang harus kita jaga, hindari pertempuran sebisa mungkin selama persoalan ini belum terjawab. Sebab kita tidak tahu, siapa yang bersalah sebenarnya dalam masalah ini.
Aku percaya kau tidak jahat. Tapi, aku juga yakin orang-orang yang bertempur dan melukaimu itu, juga belum tentu jahat. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat itu," tutur Panji mencoba menghibur Aryani agar gadis cantik itu tidak tenggelam dalam kedukaannya.
"Aku sebenarnya tidak terlalu menyalahkan mereka, Kakang. Tapi, hinaan-hinaan mereka terhadap ayahku, membuat aku lupa diri, dan tidak bisa menahan emosi. Ah... mengapa sulit sekali untuk berbuat kebaikan? Apakah diriku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi orang jahat? Tidak bisakah mereka menerimaku sebagai mana adanya, tanpa mengaitkan dengan nama kotor ayahku?" desah Aryani sambil menghembuskan napas berat. Wajah cantik yang agak pucat itu semakin nampak gambaran kedukaannya.
"Satu-satunya jalan untuk menemukan kunci dari semua masalah ini, hanyalah ayahmu. Kita harus menemui beliau secepatnya, Aryani. Aku khawatir kalau kita sampai keduluan oleh tokoh-tokoh persilatan yang mamusuhi dan dendam terhadap ayahmu. Kalau hal itu sampai terjadi, semakin sulitlah bagi kita untuk menyelesaikannya," jelas Pendekar Naga Putih memberikan usul.
Mendengar ucapan pemuda tampan itu, Aryani menoleh, dan menatap Panji penuh selidik. Dirayapinya wajah tampan itu dengan tatapan mata tajam. Kemudian, ditatapnya tepat di kedua bola mata pemuda itu. Sepertinya gadis cantik itu ingin mengetahui maksud Panji menemui ayahnya. Ada kilatan kecurigaan dalam tatapan mata putri datuk sesat itu.
Panji hanya tersenyum melihat gadis cantik itu memandangnya penuh curiga. Pemuda itu maklum, setelah apa yang selama ini dialami Aryani, membuat gadis cantik itu mudah curiga. Apalagi kalau hal itu menyangkut ayahnya.
"Apa maksud Kakang hendak menemui ayahku...? Apa kau juga tidak percaya kalau ayahku itu telah bertobat, dan meninggalkan segala kesesatannya selama ini...?" tanya Aryani ragu-ragu. Sambil tetap tidak melepaskan pandangannya dari wajah pendekar muda yang tampan itu.
"Hm... kau lupa apa yang baru saja kukatakan kepadamu, Aryani. Kita harus menghadapi persoalan ini dengan kesabaran. Ingatlah! Satu-satunya kunci dari masalah ini adalah ayahmu. Dan, aku ingin menemui beliau bukan sebagai musuh. Tapi sebagai seorang manusia yang ingin mencari kebenaran. Aku harap kau tidak keberatan apabila mengantarkan kami berdua kepada beliau," sahut Panji tetap dengan nada tenang. Pemuda tampan itu sama sekali tidak tersinggung dengan tuduhan Aryani, meskipun tidak secara berterus-terang itu.
"Aryani, Kakang Panji ingin membantumu untuk membersihkan nama Raja Racun Merah. Untuk itu, kita harus bertemu langsung dengan ayahmu. Kecurigaanmu itu sama sekali tidak berdasar. Pikirkanlah baik-baik tanpa rasa curiga. Kalau Kakang Panji hendak berbuat jahat, mengapa ia harus menyelamatkanmu dengan risiko dimusuhi orang-orang segolongan? Kita harus menemui ayahmu, Aryani. Beliaulah yang dapat menjawab semua masalah yang kita hadapi ini," Kenanga yang semenjak tadi hanya mendengarkan, terpaksa ikut angkat bicara.
Aryani termenung sejenak setelah mendengar ucapan Kenanga. Ia menyadari kebenaran ucapan gadis jelita itu. Untuk apa ia diselamatkan berkali-kali, kalau Pendekar Naga Putih ingin mencelakakannya? Ucapan Kenanga terus terngiang-ngiang dalam pikirannya.
"Baiklah," jawab Aryani kemudian, "Aku akan membawa kalian menemui ayahku Mudah-mudahan itu merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan ini," desah Aryani penuh harap. Setelah berkata demikian, gadis cantik itu bangkit dari duduknya.
"Syukurlah kalau kau telah menyadarinya...," gumam Kenanga dengan wajah cerah. Gadis jelita itu segera bangkit dakuti Panji.
Ketiganya segera berangkat mengikuti Aryani untuk menemui Raja Racun Merah. datuk sesat yang kini menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh persilatan golongan putih!
***
TUJUH
GUNUNG Kalang berdiri kokoh bagaikan sosok raksasa penyangga langit. Puncaknya yang tinggi menjulang, pagi itu tampak diselimuti kabut tebal. Bila orang memandangnya dari kaki gunung, puncak itu laksana menembus langit.
Pagi itu, udara pegunungan yang sejuk menyapu lembut wajah tiga orang muda yang tengah bergerak menyeberangi sebuah aliran sungai. Setelah tiba di seberang sungai, ketiganya tampak berhenti sejenak memandang puncak Gunung Kalang yang tinggi menjulang.
"Di puncak itukah tempat ayahmu mengasingkan diri, Aryani," tanya sosok pemuda tampan berjubah putih sambil menoleh ke arah dara cantik berpakaian kuning cerah.
Ketiga orang muda itu rupanya Paji, Kenanga, dan Aryani. Kedatangan mereka ke Gunung Kalang untuk menemui Raja Racun Merah, tokoh sesat yang menggemparkan itu.
"Bukan, Kakang. Beliau mendirikan tempat peristirahatan di salah satu lembahnya. Sedang puncak itu sendiri menurut ayah belum pernah dijamah manusia. Entah benar atau tidak keterangan ayahku itu. Tapi, melihat ketinggian puncak itu yang bagaikan menembus langit, sepertinya benar keterangan ayahku," sahut Aryani sambil menengadahkan kepalanya menatap puncak.
"Hm..., sebuah tempat yang tenang dan damai. Benar-benar cocok sebagai tempat untuk mengasingkan diri...," Kenanga, dara jelita berpakaian serba hijau itu berdesah perlahan. Matanya yang bulat dan indah itu, tampak berpendar memancarkan kebahagiaan. Sehingga, Panji yang sempat mendengar gumaman kekasihnya sejenak tertegun.
Ditatapnya wajah gadis jelita yang tampak demikian terhanyut oleh keindahan suasana Gunung Kalang. Sejenak hati pemuda itu tergetar, seolah-olah ia mengerti ke mana arah ucapan kekasihnya yang lirih itu.
Aryani sendiri seperti sadar akan suasana hati pasangan pendekar itu. Ia melangkah perlahan mendahului mereka. Gadis cantik itu mengerti dan tidak mengganggunya. Panji berdesah perlahan agar tidak sampai terdengar oleh Kenanga, yang terlihat seperti terpaku dengan ketenangan dan ketenteraman alam Gunung Kalang itu. Perlahan pemuda tampan itu melingkarkan tangannya dan merengkuh tubuh kekasihnya.
"Suatu saat kelak, kita akan mencari tempat yang tenang dan tenteram seperti ini, Kenanga...," bisik Panji merapatkan tubuh gadis jelita itu ke tubuhnya. Ada nada keharuan dan iba dalam ucapan Pendekar Naga Putih kali ini.
Kenanga agak tersentak bagaikan direnggut dari alam mimpi yang indah. Gadis jelita itu baru menyadari ucapannya saat mendengar bisikan Panji di telingnya. Ada sorot sesal di mata dara jelita itu.
"Hhh... maafkan aku, Kakang. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku... begitu terpengaruh dengan suasana alam yang menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Suasana alam Gunung Kalang membuat tubuhku terasa lelah dan ingin segera meninggalkan kehidupan yang keras selama ini kita jalani...," ucap Kenanga berdesah penuh sesal.
"Kau tidak salah, Kenanga. Perjalanan kita selama ini memang selalu diwarnai oleh petualangan dan kekerasan. Wajar bila kau merasa lelah setelah merasakan betapa indahnya hidup dalam alam yang tenteram dan damai. Seperti yang kukatakan tadi, suatu hari kelak, kita pasti akan tinggal di tempat seperti ini...," sahut Panji lembut. Dikecupnya kening dara jelita itu dengan sepenuh perasaannya.
"Ahhh, mengapa kita harus melupakan tujuan kedatangan kita ke tempat ini? Ayolah, Kakang. Lupakan saja apa yang aku ucapkan tadi..," sambil berkata demikian, Kenanga melangkah menyusul Aryani yang telah lebih dulu mendaki lereng gunung.
Panji menghembuskan napas berat seraya melangkah menyusul kekasihnya dan Aryani. Diam-diam pemuda tampan itu berjanji dalam hatinya untuk mengabulkan keinginan kekasihnya bila sang waktu menginginkan mereka.
***
"Ayah...!"
Aryani berteriak dengan penuh kegembiraan, ketika ia tiba di dekat sebuah pondok sederhana. Disertai luapan kegembiraannya, gadis cantik itu berlari dan bergegas membuka pintu pondok.
Panji dan Kenanga yang tidak jauh berada di belakang gadis cantik itu tersenyum melihat kegembiran Aryani. Keduanya saling berpandangan dan melangkah menyusul Aryani menuju pondok.
Belum lagi Panji dan Kenanga menyentuh pintu pondok, Aryani telah melompat keluar dan hampir bertubrukan dengan pasangan pendekar itu. Untung saja Panji dan Kenanga telah melompat ke samping, Sehingga, benturan itu bisa dielakkan.
"Ada apa, Aryani...?" tegur Kenanga yang merasa hatinya tidak enak melihat wajah gadis yang tampak tegang!
"Ayah tidak ada di dalam pondok. Ini aneh! Padahal, ayah biasanya pasti tahu bila ada orang yang datang berkunjung ke lembah ini...," sahut Aryani yang segera melesat meninggalkan pasangan pendekar itu. Maksudnya tentu saja hendak mencari ayahnya.
"Aryani! Tenanglah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak...!" Panji berseru mengingatkan karena sosok gadis itu telah cukup jauh meninggalkan mereka. Sehingga, pemuda tampan itu berniat untuk menanti Aryani di depan pondok.
Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik berpakaian kuning cerah itu sudah kembali dengan napas agak memburu. Wajah cantik itu terlihat agak pucat, dengan lelehan keringat yang turun membasahi pipinya.
"Pasti ada sesuatu yang telah terjadi dengan ayah! Tidak biasanya beliau meninggalkan lembah sepagi ini!" dengan napas terengah-engah, Aryani mengutarakan kekhawatirannya kepada Panji dan Kenanga.
"Hm..., kalau begitu, kita berpencar. Apabila ada yang menemukannya salah satu dari kita, cepatlah beri isyarat dengan siulan," sahut Panji mengusulkan.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua gadis itu pun mengangguk setuju. Sebentar kemu- dian, ketiga orang muda itu telah berpencar untuk mencari Raja Racun Merah. Panji bergerak ke sebelah Barat Lembah Gunung Kalang. Sambil menyusuri daerah yang ditumbuhi pepohonan lebat, pemuda itu mengedarkan pandangannya, dan juga meningkatkan ketajaman pendengarannya.
"Suiiit...!"
Setelah memasuki wilayah itu agak lama, tiba-tiba Panji menangkap suara siulan yang berasal sebelah Timur. Panji tahu kalau siulan itu berasal dari Kenanga. Sebab kekasihnya itulah yang berada di sebelah Timur. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda tampan itu segera melesat dengan pengerahan seluruh ilmu larinya.
"Kau menemukan sesuatu, Kenanga...?" tanya Panji dalam jarak sekitar dua tombak lebih. Dilihatnya gadis jelita itu tengah berdiri tegak mengawasi sekitarnya.
"Aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa kita jadikan sebagai petunjuk, Kakang...," jawab Kenanga ketika Panji telah berada di dekatnya.
"Apa yang kalian dapatkan...? Di mana ayahku...?" belum lagi Panji sempat meneliti apa yang ditemukan Kenanga, tiba-tiba terdengar suara Aryani. Keduanya berdiri tegak menanti kedatangan gadis cantik itu.
"Kami hanya menemukan sesuatu yang mungkin saja bisa dijadikan sebagai petunjuk...," sahut Kenanga ketika gadis itu telah tiba di dekat mereka.
"Mari kita periksa...," ajak Panji yang segera meneliti seperti jejak-jejak yang terdapat di daerah itu. Kemudian terus menyusuri ke lereng sebelah bawah.
"Jejak-jejak itu lenyap di sini, Kakang...," Kenanga berkata dengan nada kecewa ketika jejak-jejak itu lenyap di kaki Gunung Kalang sebelah Timur.
"Hm..., jelas mereka menyeberangi sungai ini..," duga Paji, karena jejak-jejak itu memang lenyap di tepi aliran sungai yang membentang. "Berpencarlah, mudah-mudahan kita bisa menemukan petunjuk lain di tempat ini...," usul Panji lagi.
Untuk kedua kalinya, ketiga orang muda itu kembali berpencar untuk mencari petunjuk lain. Karena petunjuk pertama jelas sudah tidak mungkin untuk diikuti.
Panji yang kembali menyusuri lereng gunung, tersentak saat mendengar teriakan pilu yang berasal dari arah kanannya. Cepat pemuda itu melesat ke tempat asal suara jeritan yang ia tahu pasti berasal dari Aryani.
"Aryani, ada apa...!?" seru Paji ketika dalam jarak kira-kira empat tombak lebih, tampak gadis cantik itu tengah membungkuk memeluk dan menangisi sesosok tubuh berpakaian merah darah yang tak bergerak-gerak.
"Raja Racun Merah...!?" desah Panji ketika melihat sosok berpakaian merah darah yang terbujur kaku. Noda-noda darah yang mengotori pakaian dan sebagian wajahnya, jelas menandakan bahwa orang tua itu tewas dalam sebuah pertarungan sengit!
Kenanga tiba setelah Panji melempar pandangannya karena tidak sanggup melihat kesedihan Aryani. Tangisan gadis cantik itu terdengar sangat memilukan, mengingatkan dia akan ayahnya yang juga telah tiada.
"Menurutmu, siapakah pembunuh Raja Racun Merah itu, Kakang?" tanya Kenanga berbisik lirih di telinga Panji.
"Entahlah, aku tidak bisa memastikannya. Yang jelas, Raja Racun Merah tewas karena pukulan-pukulan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. Hhh..., persoalan ini jelas semakin bertambah rumit..," desah Panji menghela napas berat. Karena kunci satu-satunya dari jawaban masalah mereka, ternyata telah tewas secara misterius!
"Sudahlah, Aryani, sebaiknya kita bawa mayat ayahmu ke lembah. Biar lembah itu menjadi tempat beristirahat untuk selamanya," bujuk Panji berusaha untuk menghibur gadis cantik yang bemasib malang itu.
"Ayah...," desis Aryani dengan bibir bergetar, "Aku bersumpah untuk membalas kematian ini! Akan kuhirup darahnya, dan akan kukunyah jantung manusia keji yang telah membunuhmu!" geram Aryani dengan wajah bersimbah air mata. Jelas sekali kalau gadis cantik itu merasa sangat terpukul dengan kematian ayahnya. Karena hanya orang tua itulah satu-satunya tempat ia mengadu di dunia selama ini.
"Aryani, kami berdua berjanji akan membantu untuk mencari pembunuh ayahmu. Kasihan beliau di tempat yang sedingin dan kotor ini, apakah tidak sebaiknya kita kuburkan di lembah?" Kenanga ikut membujuk sambil membelai punggung gadis malang itu dengan lembut. Kemudian diajaknya bangkit dan membimbing gadis itu mendaki lereng gunung.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengangkat mayat Raja Racun Merah untuk dibawanya ke puncak. Tidak ada bau busuk yang menyebar dari tubuh mayat menandakan Raja Racun Merah belum lama tewas. Dengan sebuah upacara sederhana, ketiga orang muda itu memakamkan Raja Racun Merah. Usai melakukan penguburan, Panji dan Kenanga meninggalkan Aryani yang masih bersimpuh di tanah makam itu. Pasangan pendekar itu berniat menanti Aryani di pondok. Mereka sengaja tidak ingin mengganggu, dan membiarkan gadis itu menumpahkan kesedihannya di depan makam ayahnya.
***
Setelah menemani Aryani selama tiga hari di lembah Gunung Kalang, Panji dan Kenanga mengajak gadis itu untuk mencari pembunuh orang tuanya.
"Cukup sudah air matamu, Aryani. Tidak baik terbenam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Air matamu tidak akan bisa mengembalikan ayahmu ke dunia ini. Satu yang harus kau ingat. Kalau kau yakin akan ketulusan hati ayahmu untuk meninggalkan dunia sesat, lanjutkanlah. Agar arwah beliau tenang di alam sana," nasihat Panji sebelum mereka meninggalkan Lembah Gunung Kalang.
"Aku harus membalas kematian ayahl Akan kucari pembunuh keji itu biar ke ujung dunia sekali pun!" geram Aryani dengan wajah kaku. Sorot mata gadis cantik itu tampak dingin dan menggetarkan. Kematian ayahnya telah menimbulkan dendam membara dalam hati gadis cantik itu. Jelas saat itu tidak mungkin untuk menjejalinya dengan segala macam nasihat. Panji yang sadar akan hal itu, hanya mendiamkan saja. Karena ia pun pernah merasakan hal yang serupa.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, ketiga orang muda itu segera meninggalkan Gunung Kalang. Ilmu lari ketiganya yang tinggi, membuat perjalanan tidak terlalu sulit. Menjelang siang, mereka telah memasuki sebuah desa yang terlihat cukup ramai. Baru saja mereka menjejakkan kaki di mulut desa itu, Aryani yang berjalan di sebelah depan, tiba-tiba menggeram marah! Sebelum Panji sempat mencegah, tubuh gadis cantik berpakaian kuning cerah itu telah melesat meninggalkan keduanya.
"Jahanam! Pasti kaulah manusia keji itu...!" terdengar suara Aryani membentak marah! Sambil berkata demikian gadis cantik itu langsung saja melontarkan serangan kilat yang mematikan ke arah sosok tinggi tegap yang tengah berjalan di samping seorang wanita bertubuh ramping padat.
Wuuut...!
Serangkum angin keras berbau harum menebar ketika telapak tangan Aryani terlontar mengancam punggung sosok bertubuh tegap itu!
"Aryani, tahan...!"
Panji yang merasa terkejut melihat serangan mematikan yang dilontarkan Aryani berseru mencegahnya! Sayang teriakan pemuda tampan itu sia-sia saja. Saat itu pukulan Aryani sudah tiba dengan derasnya!
Sosok tubuh tegap itu cepat berbalik dengan gerakan kilat. Terdengar suara mendengus kasar dari mulutnya. Tanpa berusaha untuk mengenal, lelaki bertubuh tegap itu mengangkat tangan kanannya memapaki pukulan Aryani! Dan....
Plakkk!
"Aiiih.!?"
Gerakan yang kelihatannya perlahan dari lelaki tegap itu, ternyata berakibat mengejutkan! Tubuh Aryani terpental balik seiring dengan suara benturan yang memekakkan telinga! Jelas lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani itu bukan orang sembarangan! Tanpa berpikir panjang lagi, Panji segera melesat dan menangkap tubuh gadis cantik itu. Sehingga, tubuh Aryani tidak sampai terbanting ketanah!
"Aryani, kau tidak apa-apa...?" tanya Panji cemas. Kemudian, dilepaskannya tubuh Aryani, dibantunya gadis itu berdiri.
"Lepaskan aku, Kakang Panji aku tidak apa-apa. Mati pun aku tidak takut demi tenangnya arwah ayahku...!" Aryani meronta dari pelukan Pendekar Naga Putih. Sehingga, Panji terpaksa melonggarkan pegangannya.
Begitu merasakan pegangan pada tubuhnya mengendur, Aryani kembali melesat ke depan! Dengan sorot mata tajam, ditatapnya wajah lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun yang didampingi seorang wanita cantik berusia sekitar bga puluh lima tahun lebih!
"Datuk Tangan Malaikat...!?" desis Panji dan Kenanga hampir bersamaan. Kedua pendekar muda itu terkejut bukan main setelah mengetahui lelaki tinggi tegap yang diserang Aryani.
"Hm..., kiranya kau, Gadis Liar! Aku memang telah lama mencarimu! Tak tahunya kau malah datang mengantarkan nyawa!" geram lelaki gagah yang memang Ki Angga Merta atau yang lebih dikenal sebagai Datuk Tangan Malaikat itu. Dan, tanpa banyak cakap lagi, pendekar sakti itu segera saja melesat disertai dengan cengkeraman mautnya!
Panji tentu saja terkejut setelah mengetahui lelaki tinggi tegap itu. Khawatir akan keselamatan Aryani, pemuda tampan itu segera melesat untuk mencegah serangan maut Datuk Tangan Malaikat.
Plakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
"Aaakh...!?"
Terdengar suara benturan keras sebanyak dua kali. Seiring dengan suara benturan itu, tubuh keduanya terpental balik sejauh satu tombak lebih!
"Setan! Lagi-lagi kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih! Hm..., rupanya kau memang perlu diajar adat!" kemarahan Datuk Tangan Malaikat semakin menjadi-jadi setelah ia mengenali siapa adanya orang yang berani menangkis serangannya itu. Maka dengan kemarahan yang meledak-ledak, tokoh sakti itu segera menerjang Panji dengan serangan-serangan mautnya!
Wuuut! Wuuut!
"Aiiih...!?"
Cepat Panji menggeser tubuhnya dengan langkah-langkah pendek untuk menghindari serangkaian serangan lawannya. Merasa tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara, terpaksa Panji melontarkan serangan balasan agar ia tidak terlalu terdesak!
"Hiaaah...!"
Bettt! Bettt! Bettt!
Terdengar suara benturan keras sebanyak dua kali, ketika terjadi pertemuan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi! Serangkaian pukulan yang dilontarkan Pendekar Naga Putih membuat Datuk Tangan Malaikat melompat mundur sejauh satu setengah tombak.
"Bagus...!" seru Datuk Tangan Malaikat mau tidak mau terpaksa memuji serangan lawannya yang sempat membuatnya sibuk itu.
"Sabarlah, Ki. Semua ini hanya salah paham. Harap Ki Angga mau menerangkan, apa yang Aki kerjakan di desa ini...?" tanya Panji berusaha untuk mencari tahu apa yang dilakukan pendekar besar itu di desa dekat kaki Gunung Kalang. Diam-diam hati pemuda itu cemas ketiga muncul dugaan dalam benaknya bahwa Ki Angga Merta-lah yang membunuh Raja Racun Merah. Kalau dugaannya benar, persoalan yang dihadapinya semakin rumit.
"Hm..., kau sendiri, apa yang kau lakukan di tempat ini, Pendekar Naga Putih? Mengapa kau mengurusi orang lain? Tanyalah dirimu, apa yang kau kerjakan di desa ini?" hardik Datuk Tangan Malaikat yang tentu saja merasa tidak senang mendengar pertanyaan pemuda itu, yang berbau kecurigaan.
Panji tertegun demi mendengar ucapan Datuk Tangan Malaikat. Ucapan itu menyadarkannya kalau tidak mempunyai hak untuk menanyakan hal itu. Sehingga, beberapa saat lamanya pemuda itu hanya termangu tanpa kata.
"Untuk apa banyak bicara lagi dengan pendekar sombong itu, Kakang!" tukas Aryani yang segera saja melangkah maju dan siap menerjang Datuk Tangan Malaikat.
Cepat Panji mencegah dan mencoba untuk menyabarkan Aryani. Pemuda tampan itu ingin lebih dulu mengetahui secara jelas, apakah Ki Angga Merta sudah mengetahui kematian Raja Racun Merah atau belum. Untuk itu ia harus menanyakannya kepada lelaki gagah itu.
***
DELAPAN
"PENDEKAR Naga Putih. Dua kali kau menentangku dan membela putri datuk sesat keparat itu! Tapi, kali ini aku, Ki Angga Merta, tidak akan melepasmu begitu saja seperti tempo hari. Bersiaplah! Kau harus kutindak sebelum tersesat lebih jauh lagi...," ujar Ki Angga Merta yang segera membentuk kuda-kuda menunggang kuda, dengan sepasang tangan mendorong ke langit. Tentu saja ucapan Datuk Tangan Malaikat bukan hanya sekadar gertak sambal belaka.
"Tunggu, Ki! Sebelum kita bertarung, bolehkah aku mengajukan sebuah pertanyaan...?" cegah Panji sebelum pendekar sakti itu bergerak menggebraknya.
"Hm..., cepatlah, sebelum kesabaranku habis...!" geram Datuk Tangan Malaikat yang seperti memberikan peluang kepada pemuda itu sebelum dibinasakannya.
"Apakah kau sudah berjumpa dengan Raja Racun Merah dalam beberapa hari terakhir ini...? Jawablah, Ki. Ini penting sekali artinya bagiku, dan juga bagi seluruh tokoh persilatan yang mendendam terhadap Raja Racun Merah...," ujar Panji menanti jawaban pendekar besar itu dengan sedikit tegang. Karena jawaban Datuk Tangan Malaikat bisa mengungkapkan masalah yang tengah melanda di kalangan persilatan.
"Kalau hanya itu yang ingin kau tanyakan, aku jawab tidak! Justru kehadiranku di desa kaki Gunung Kalang ini hendak mencari datuk iblis itu. Mengapa kau tanyakan itu, Pendekar Naga Putih?" Datuk Tangan Malaikat balik bertanya dengan kening berkerut. Karena tokoh sakti itu belum bisa menebak apa maksud pertanyaan Panji.
"Terima kasih, aku percaya terhadap jawaban seorang pendekar besar seperti Tangan Malaikat. Ketahuilah, Ki. Aku baru saja kembali dari Gunung Kalang. Beberapa hari yang lalu, kami bertiga menemukan mayat Raja Racun Merah. Itulah sebabnya aku mengajukan pertanyaan yang mungkin kedengaran agak aneh," jelas Panji setelah mendengar jawaban Datuk Tangan Malaikat.
"Bohong! Kau pendekar pengecut! Pendusta yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Aryani yang masih berduka karena kematian ayahnya, membentak keras. Sehingga, Panji terpaksa harus mencekal lengan gadis itu agar tidak membuat keributan lagi.
"Kurang ajar kau, Perempuan Liar! Sebagai seorang pendekar, kehormatan lebih penting daripada nyawa bagiku! Lagipula, apa yang kutakutkan? Tak satu satu pun di muka bumi ini yang pantas untuk membuat gentar Tangan Malaikat'" hardik Ki Angga Merta yang menjadi merah wajahnya ketika mendengar makian Aryani. Kalau saja Panji tidak segera mencegah Aryani, kemungkinan besar pertempuran akan terjadi kembali. Untunglah pemuda tampan itu bertindak cepat.
"Tenanglah, Aryani. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Datuk Tangan Malaikat," ujar Panji menenangkan Aryani yang kembali terisak karena teringat kematian ayahnya.
Datuk Tangan Malaikat pun bukan orang bodoh. Ia sadar bahwa apa yang diucapkan Pendekar Naga Putih itu bukanlah suatu dusta yang dicari-cari. Dengan hati yang mulai dingin, lelaki tinggi tegap itu melangkah maju mendekati Panji.
"Pendekar Naga Putih. Kalau memang benar apa yang kau katakan itu, berarti ada orang ketiga yang memancing di air keruh. Mereka sengaja menimbulkan kericuhan dengan maksud-maksud tertentu," ujar Datuk Tangan Malaikat menghela napas berat. Sepertinya pendekar besar itu merasa kecewa, karena perjalanan jauhnya sia-sia.
"Kalau boleh aku tahu, mengapa Aki hendak mencari Raja Racun Merah? Apa yang membuat Aki begitu dendam kepadanya?" tanya Panji ingin mengetahui tujuan pendekar itu secara jelas.
"Putraku diculik orang, saat ia minggat dari rumah. Kemudian, datang suara tantangan dari Raja Racun Merah. Datuk itu mengancam akan membunuh anakku apabila aku tidak memenuhi tantangannya," jelas Ki Angga Merta yang mulai bingung, ke mana harus mencari putranya yang diculik orang itu.
Mendengar penjelasan Ki Angga Merta, teringat Panji akan seorang pemuda yang ditawan empat orang tokoh aneh. (Untuk mengetahui tentang penculikan Puja Merta, pembaca dapat mengikuti episode sebelumnya, yang berjudul Keturunan Datuk-datuk Persilatan)
"Jelas sekarang, siapa yang menjadi biang keladi dari semua persoalan ini. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah memergoki seorang kakek bertubuh cebol, dan tiga orang lelaki kekar yang membawa seorang pemuda tampan. Sayang aku berhasil dikelabuinya saat itu. Sehingga, mereka dapat lolos dengan membawa serta putramu," jelas Panji kepada Ki Angga Merta dan istrinya.
"Keparat! Kakek yang kau sebutkan tadi, pastilah datuk sesat wilayah Timur yang berjuluk Bocah Iblis. Sedangkan ketiga orang lainnya pasti murid-muridnya yang dijuluki sebagai Tiga Iblis Gundul! Sedangkan menurut dua orang muridku, orang yang menyampaikan undangan kepadaku berjumlah tiga orang. Jelas ketiga orang itu pasti suruhan Bocah Iblis! Jahanam! Aku harus mencari keparat-keparat itu!" geram Datuk Tangan Malaikat sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
"Semua persoalan sudah mulai jelas sekarang. Rupanya Datuk Timur yang mendengar Raja Racun Merah telah sadar, tidak dapat menerimanya. Lalu, ia membuat rencana dengan mengadakan kekacauan di mana-mana atas nama Raja Racun Merah. Dengan demikian. Raja Racun Merah akan dimusuhi, dan mau tidak mau orang tua itu akan kembali kepada kesesatannya," ujar Panji lagi yang mulai dapat menebak duduk persoalannya.
"Kalau begitu, siapa yang membunuh ayahku?" Aryani yang semakin bertambah bingung itu mengeluh perlahan.
"Sudah pasti Bocah Iblis dan begundal-begundalnya. Mungkin, setelah Raja Racun Merah dimusuhi golongan putih, Datuk Timur itu datang untuk mengajaknya bergabung. Ketika Raja Racun Merah menolak, maka dibunuhlah ayahmu itu. Tentu jejak-jejak yang kita temukan adalah bekas para begundal Datuk Timur itu..." jelas Panji lagi dengan cara merangkaikan urutan kejadian itu. Sehingga, Datuk Tangan Malaikat sendiri merasa kagum atas daya pikir Pendekar Naga Putih. Yang biarpun masih muda, tapi telah memiliki pandangan luas.
"Hm..., ke mana kita harus mencari mereka...?" desah Datuk Tangan Malaikat sambil menatap Panji.
"Satu-satunya jalan, kita harus mencari gerombolan perampok Rambut Merah, yang telah membantai habis keluarga dan murid Perguruan Tongkat Baja," sahut Panji yang langsung saja teringat akan keterangan Ki Panjarasa, Ketua Perguruan Tongkat Baja.
"Kalau begitu, untuk apa membuang-buang waktu lagi...," gumam Datuk Tangan Malaikat yang seperti sudah tidak sabar untuk bertemu dengan penculik putranya.
Setelah semuanya saling menyetujui, berangkatlah rombongan tokoh-tokoh persilatan itu untuk mencari gerlombolan Rambut Merah!
***
Di tengah teriknya sengatan sinar matahari siang itu, tampak sesosok tubuh terseok-seok menerobos rimbunan dedaunan lebat. Menilik dari langkahnya yang tersaruk-saruk jatuh bangun, jelas orang itu mengalami sesuatu yang tidak beres.
"Ouh...!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali terjatuh menabrak sebatang pohon di depannya. Untunglah tangannya telah lebih dahulu meraih batang pohon. Kalau tidak, mungkin kepalanya akan membentur batang pohon besar itu.
Setelah melihat lebih dekat, nyatalah sosok lelaki gagah yang tengah menderita luka-luka di sekujur tubuhnya. Noda darah tampak di beberapa bagian tubuhnya, seperti tersayat senjata tajam. Meski demikian, lelaki itu tetap berusaha untuk keluar dari dalam hutan. Dengan langkah yang sempoyongan, dan berkat kekuatan hatinya, lelaki gagah itu tiba di luar hutan. Tapi, karena kakinya sudah tidak kuat lagi menyangga tubuhnya, orang itu ambruk ke tanah.
"Hei, lihat...!"
Terdengar sebuah seruan nyaring dari sebelah belakang lelaki gagah itu. Beberapa saat kemudian, muncullah enam orang lelaki berpakaian serba merah, dengan senjata di tangannya. Enam lelaki kasar itu langsung mengurung lelaki yang tengah rebah itu.
"Tunggu apa lagi?" Penggal saja batang lehernya...," salah seorang yang bertubuh jangkung berkata dengan nada bengis! Usai berkata demikian, ia langsung saja mengayunkan pedangnya ke arah leher lelaki yang sudah tidak berdaya itu.
Wuuut!
Sinar pedang berkeredep menyilaukan mata, saat senjata itu terayun ke leher calon korbannya!
Trangngng!
"Aaakh...!"
Mendadak saja, pada saat yang mendebarkan itu, seberkas sinar hitam meluncur datang, dan langsung menghantam pedang di tangan lelaki jangkung itu! Karuan saja lelaki itu memekik kesakitan, dan terjengkang ke tanah!
Belum lagi keenam orang lelaki kasar itu menyadari apa yang terjadi dengan kawannya, lima sosok bayangan berkelebat dan langsung mendaratkan kakinya di dekat lelaki yang tengah sekarat itu.
"Aryani, jangan...!" terdengar salah seorang dari lima sosok tubuh itu berteriak mencegah! Sayang seruannya terlambat!
Terdengarlah jeritan-jeritan kematian yang susul-menyusul. Darah segar berhamburan membasahi bumi seiring dengan robohnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian merah itu. Seorang gadis cantik berdiri tegak dengan sebuah pedang yang basah oleh darah segar. Gadis itu tidak lain dari Aryani, yang begitu tiba langsung saja merebut salah satu senjata dari tangan orang itu, dan sekaligus menghabisi nyawa mereka.
"Maafkan aku, Kakang. Mereka adalah para pengikut murid-murid ayahku. Sepertinya murid-murid ayahku memang telah menyimpang dari apa yang telah ditekankan ayah, sebelum beliau mengundurkan diri dan dunia persilatan," jelas Aryani tertunduk dengan wajah penuh sesal.
Panji hanya bisa menghela napas panjang. Pemuda itu segera memeriksa sosok lelaki gagah yang ternyata adalah Purgawa. Panji mengenalinya ketika ia bertarung dengan Ki Panjarasa sewaktu menyelamatkan Aryani.
"Kisanak, apa yang telah terjadi? Ke mana perginya Ki Panjarasa dan dua orang muridnya?" tanya Paji yang segera menotok jalan darah di sekitar leher dan punggung lelaki itu. Karena pemuda itu melihat, nyawa Purgawa jelas tidak bisa ditolong lagi.
"Manusia-manusia keparat di dalam Hutan Damar, telah membunuh Ki Pan... jara... sa, dan murid... muridnya... ahhh...," setelah berkata demikian, Purgawa menghembuskan napasnya yang penghabisan. Lelaki gagah itu tewas di atas pangkuan Pendekar Naga Putih.
"Hm..., rupanya di dalam Hutan Damar ini pengecut- pengecut itu bersembunyi...!" desis Datuk Tangan Malaikat yang datang bersama Panji dan lainnya.
"Ki, tunggu...!" Panji berseru mencegah ketika melihat Ki Angga Merta sudah hendak mendahului menuju hutan.
Ketika Ki Angga Merta dan istrinya menahan langkah, Panji segera mengutarakan rencananya. Kemudian, baru melepaskan Datuk Tangan Malaikat dan istrinya mendahuluinya!
Setelah menguburkan mayat-mayat itu, barulah Panji mengajak Kenanga dan Aryani untuk menyusul Datuk Tangan Malaikat dan istrinya. Tidak sulit bagi Panji untuk menemukan tempat kediaman para perampok itu. Dengan mengendap-endap, pemuda itu mengajak kedua rekannya untuk mendekat ke arah bangunan yang cukup besar di tengah hutan lebat itu.
"Kita harus membuat keributan, agar kehadiran Datuk Tangan Malaikat dan istrinya lolos dari pengawasan mereka," ujar Panji yang bersiap melompati pagar kayu di depannya.
"Memangnya ke mana pendekar itu pergi, Kakang?" tanya Kenanga yang tidak sempat mendengar rencana Panji.
"Aku menyarankan agar mereka bergerak dari belakang, saat keributan terjadi di sebelah luar. Ayolah...," ujar Panji yang segera melesat melewati pagar kayu bulat itu. Tanpa banyak cakap, Kenanga dan Aryani bergegas menyusulnya.
***
"Hei, siapa itu..!?"
Terdengar teguran saat Panji dan dua orang dara cantik itu menjejakkan kakinya di halaman dalam bangunan itu. Tanpa banyak ribut lagi, cepat Panji melesat dan membungkam empat orang lelaki berpakaian merah yang memergokinya.
Empat orang lelaki kasar betpakaian merah itu, langsung roboh tak berkutik, terkena hantaman kepalan Pendekar Naga Putih. Sayangnya, suara teriakan tadi sempat terdengar oleh yang lain. Sehingga, dalam waktu singkat saja, Paji, Kenanga,vdan Aryani telah terkurung puluhan lelaki kasar betpakaian merah.
"Murid murtad!" Aryani memaki marah ketika melihat seorang lelaki berwajah bengis yang diapit oleh dua orang lelaki lainnya.
"Ha ha ha...! Jangan marah adik manis. Lebih baik kau ikutlah bersamaku daripada menyusul arwah ayahmu," sahut lelaki berwajah bengis yang tidak lain, Harimau Cakar Setan. Sedang dua orang lainnya adalah Sepasang Kumbang Setan, juga murid-murid dari Raja Racun Merah. Jelas mereka telah mengkhianati gurunya.
"Setan! Kaulah yang harus menyusulnya untuk dosa-dosamu yang telah melewati takaran itu!" sambil membentak nyaring, Aryani langsung saja melesat dengan lontaran pukulan beracunnya!
Buggg! Desss!
"Aaa...!"
Harimau Cakar Setan dan Sepasang Kumbang Setan sudah melompat menghindari serangan putri guru mereka itu. Akibatnya, empat orang berseragam merah yang di kiri-kanan mereka, terpental muntah darah terkena pukulan Aryani yang nyasar!
Aryani tidak peduli sama sekali dengan korban pukulannya. Gadis itu terus mengejar ketiga orang murid ayahnya dengan lontaran pukulan beracunnya. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi!
Kenanga sendiri saat itu sudah mencabut keluar Pedang Sinar Bulannya. Kilatan cahaya putih keperakan berkeredep menyambar-nyambar mencarl sasaran! Sebentar saja, korban di pihak gerombolan orang-orang Rambut Merah itu berjatuhan. Darah segar menggenang dan membanjiri halaman dalam bangunan besar itu.
"Heaaat..!"
Pada saat Pendekar Naga Putih tengah mengamuk membagi- bagi pukulan tendangannya, terdengar seruan parau yang dibarengi melesatnya sesosok bayangan kecil!
Wuuut!
Begitu tiba, sosok bayangan kecll itu langsung melontarkan pukulan maut ke arah Panji.
"Bocah iblis...!" seru Panji begitu ia mengenali orang yang menyerangnya itu. Cepat pemuda itu menggeser tubuhnya, dan langsung melontarkan pukulan balasan yang tidak kalah cepat dan kuatnya!
Wuuuk!
"Aiiih...!?"
Terkejut bukan main sosok tubuh kecil itu ketika melihat cahaya keperakan meluncur mengancam tubuhnya! Cepat sosok bayangan yang tidak lain dari Datuk Timur itu melesatkan tubuhnya dan terus berjumpalitan di udara.
Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja. Tokoh bertubuh kerdil yang diduganya sebagai biang keladi semua kekacauan itu, dikejar dan dicecar dengan pukulan-pukulan yang saling susul-menyusul, bagaikan gelombang lautan! Sepertinya pemuda itu sengaja mengumbar pukulannya agar lawan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat licik!
"Setan! Anjing Kurap! Monyet Kudisan!" Datuk bertubuh kerdil itu memaki kalang kabut karena serangan Panji benar-benar membuatnya kelabakan! Sehingga, di satu kesempatan, tokoh cebol itu terpaksa harus menerima sebuah hantaman keras di perutnya!
Desss!
"Hukhhh...!" Bagaikan sebuah bola, tubuh cebol itu terpental deras akibat hantaman telapak tangan Panji yang menggedor telak perut datuk sesat itu! Namun, karena pukulan itu tidak dilontarkan dengan tenaga yang kuat, maka tokoh cebol itu hanya menderita luka ringan! Meski begitu, akibat pukulan itu membuat gerakannya sedikit terganggu.
"Yeaaat...!"
Setelah dapat menenteramkan debaran dalam dadanya, Bocah Iblis itu berseru parau, dan menerjang Panji dengan jurus-jurus yang membingungkan! Bahkan gerakan itu masih diringi pula dengan menebar bubuk-bubuk beracun yang memabukkan!
"Hm..., kali ini kau tidak bisa lagi mengecohku, Manusia Jahat! Petulanganmu harus segera berakhir!" desis Panji yang segera memutar tangannya yang telah membentuk cakar naga. Detik berikutnya, tubuh Panji sudah melesat disertai dengan putaran tangannya yang menimbulkan hawa dingin menggigit tulang!
Beberapa orang anggota gerombolan Rambut Merah yang berjarak satu tombak lebih dari tempat Panji berdiri, langsung menggelepar dengan tubuh menggigil dan berwarna kebiruan! Mereka tewas karena tidak sanggup menahan serbuan hawa dingin yang luar biasa itu!
"Heaaat...!"
Disertai dengan suara teriakan mengguntur, tubuh Panji berkelebatan dengan lontaran-lontaran pukulan yang menebarkan hawa dingin! Sehingga, tokoh bertubuh cebol itu kembali dibuat kelabakan! Racun-racun yang ditebarkannya tidak lagi mempunyai guna. Semuanya lenyap tersaput hawa dingin yang menyambar-nyambar dengan cepat!
"Kurang ajar! Setan! Gandaruwo!" kembali terdengar Bocah Iblis memaki kalang kabut! Gerakan tokoh bertubuh kerdil itu tampak mulai kaku. Rupanya serbuan hawa dingin itu telah merasuk ke dalam tubuhnya. Sehingga gerakannya tidak lagi lincah dan gesit seperti biasa!
Wuuut!
Sebuah serbuan angin keras berhawa dingin, kembali mengancam dada Bocah Iblis! Datuk sesat wilayah Timur itu kaget! Sebisa mungkin, tokoh cebol itu melemparkan tubuhnya ke samping, dan terus bergulingan menjauhkan diri! Sayang Panji tidak sudi melepaskan lawannya begitu saja! Dengan gerakan seperti sambaran kilat, tubuh pemuda tampan itu mencelat mengejar lawannya! Baru saja tokoh bertubuh cebol itu bangkit, sebuah hantaman telak menggedor dadanya!
Desss!
"Aaakh...!" Darah segar menyembur seiring tubuh cebol itu tersentak deras ke belakang! Kali ini jelas pukulan Panji tidak akan membuat tokoh itu selamat! Nasib malang rupanya masih terus menyertai Bocah Iblis. Belum sempat tubuhnya menyentuh tanah, sebuah tebasan pedang dari sosok ramping berpakaian kuning menyambutnya, dan langsung membabat putus leher datuk sesat itu.
Wuuut! Crakkk!
Tanpa ampun lagi, kepala Bocah Iblis itu lepas dari tubuhnya! Darah segar menyembur dari luka menganga pada leher Bocah Iblis!
"Aryani...!?" desis Panji agak terkejut melihat apa yang dilakukan dara cantik keturunan datuk sesat itu. Ketika pemuda itu menoleh ke arah tempat pertarungan Aryani, Panji melihat tiga sosok tubuh murid ayah gadis itu telah menggeletak dengan kepala putus dari tubuhnya. Diam-diam pemuda itu bergidik menyaksikan pembalasan dendam yang dilakukan Aryani.
Tewasnya datuk sesat dari Timur serta tiga pemimpin gerombolan Rambut Merah, membuat sisa-sisa pengikut tokoh-tokoh sesat itu menjatuhkan dirinya, berlutut sambil memohon ampun.
"Dengar! Kami akan mengampuni kalian, bila kalian mau berjanji untuk hidup sebagai orang baik-baik. Jika kelak aku bertemu dengan salah seorang dari kalian masih melakukan tindak kejahatan, terpaksa aku mencabut nyawa kalian!" ujar Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa yang amat kuat. Sehingga, sisa pengikut gerombolan Perampok Rambut Merah mengangguk-anggukkan kepala sambil mengucapkan kata-kata.
"Kami berjanji... kami berjanji..."
Merasa yakin mereka tidak akan berani menyeleweng, Panji melepaskan sisa-sisa gerombolan itu. Bagaikan dikomando, belasan orang berpakaian merah itu menghambur meninggalkan Hutan Damar.
Baru saja sisa gerombolan perampok Rambut Merah yang telah diampuni meninggalkan bangunan itu, muncullah Datuk Tangan Malaikat bersama istri dan putranya yang dipapah oleh lelaki gagah itu.
"Ah, syukurlah putra Paman berhasil diketemukan dalam keadaan selamat," sambut Panji yang merubah panggilannya terhadap pendekar sakti itu.
"Aku berhasil menemukan tempat putraku disekap. Untung kedatangan kita tidak terlambat, Pendekar Naga Putih. Karena saat matahari terbit esok, putraku Puja Mera akan mereka gantung di halaman depan ini. Dan, aku juga telah menemukan dan menghukum Tiga Iblis Gundul yang mengirimkan surat tantangan atas nama Raja Racun Merah," jelas Datuk Tangan Malaikat dengan tarikan napas penuh kelegaan.
"Hm..., apakah kau masih menyalahkan aku, Orang Tua?" Aryani yang masih belum hilang jengkelnya terhadap Datuk Tangan Malaikat langsung melontarkan ucapan bernada ketus.
Datuk Tangan Malaikat dan istrinya tersenyum menatap wajah gadis cantik itu. Tidak nampak sinar kemarahan sedikit pun pada wajah suami istri pendekar besar itu. Jelas mereka telah menyadari kesalahannya.
"Maafkan kami, Aryani. Pendekar Naga Putih ternyata jauh lebih bijaksana daripada orang tua seperti aku. Kuharap kau mau memaafkan kesalahan kami," ucap Datuk Tangan Malaikat dengan nada penuh sesal.
"Kami harus segera kembali. Puja Merta masih sangat lemah, akibat siksaan manusia-manusia jahat itu. Kalau kau bersedia, aku ingin mengajakmu untuk tinggal bersama kami, Aryani. Tapi, semua itu terserah padamu, kami tidak memaksa. Bukan begitu, Kakang?" ujar wanita cantik istri Ki Angga Merta sambil mengulurkan tangannya dan membelai pangkal lengan Aryani. Sehingga, gadis yang keras hati dan galak itu tertunduk menahan keharuan hatinya.
"Bukan aku menolak, Bibi. Tapi, berikanlah aku waktu untuk memikirkannya," ucap Aryani dengan kepala tertunduk.
"Datanglah kapan kau suka. Pintu kami selalu terbuka untukmu," setelah berkata demikian, Datuk Tangan Malaikat yang menimpali ucapan istrinya segera berpamitan, dan melangkah meninggalkan tempat itu.
Tak lama setelah keluarga Datuk Tangan Malaikat pergi, Aryani pamit dengan Panji dan Kenanga. Gadis cantik itu ingin melajutkan petualangannya untuk meluaskan pengalamannya.
"Ingat, jangan gunakan kekerasan hatimu dan kemarahan dalam menghadapi setiap persoalan yang kau temukan," pesan Panji sebelum Aryani meninggalkan mereka.
Gadis cantik itu tersenyum menganggukkan kepalanya. Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Panji dan Kenanga yang melambaikan tangannya, melepas kepergian gadis itu.
S E L E S A I