Sepasang Garuda Putih Jilid 32 (Tamat)

"Wasi jahat, akulah lawanmu!" Harjaden ta membentak dan melompat ke depan kakek itu. Melihat gerakan ini, Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hl-hi-hik, bocah kemarin sore berani maju? Apakah hendak mengantar nyawa?"

"Terimalah pusakaku Ki Mengeng!" Harjadenta lalu menerjang dan menusukkan keris Ki Mengeng ke arah dada kakek itu. Akan tetapi Wasi Shiwasakti tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dia menerima tusukan keris itu dengan dadanya.

"Tukkk!" Keris itu seperti mengenai dinding baja, bahkan tangan Harjadenta yang terpental dan terguncang hebat.

Wasi Shiwasakti mengebutkan lengan baju tangan kirinya dan ujung lengan baju itu menyambar ke arah dada Harjadenta.

"Wirrr... bukkk!"

Tubuh pemuda itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan jatuh terbanting keras ke atas tanah.

Masih untung baginya bahwa Wasi Shiwasakti tidak ingin membunuh, maka dia hanya terkejut saja, tidak mengalami luka parah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani maju lagi. Kini Jarot melompat ke depan. Melihat Harjadenta berani maju melawan kakek itu, Jarot yang tadi mendengar ucapan Ki Patih Tejolaksono, lalu menjadi nekat. Dia harus memperlihatkan dirinya sebagai seorang satria sejati yang tidak takut menghadapi lawan tangguh, tidak takut mati. Karena dengan demikian barulah pantas dia menjadi pasangan Retno Wilis, dara perkasa itu. Dengan gerakan ringan sekali dia melompat ke depan Wasi Shiwasakti.

"Wasi Shiwasakti, akulah lawanmu!" katanya dengan sikap gagah.

Wasi Shiwasakti melihat betapa gerakan pemuda ini berbeda dengan gerakan Harjadenta. Ia memandang penuh perhatian, lalu bertanya, "Orang muda, siapakah andika dan murid siapakah andika?"

"Namaku Jarot dan aku adalah murid Bapa Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru."

"Hemm, bagus! Pernah aku mendengar tentang Bhagawan Dewondaru yang kabarnya memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Nah, majulah, Jarot dan perlihatkan kemampuanmu kepadaku!"

Jarot mencabut senjata kerisnya yang bernama Nogo Ireng. Sinar kehitaman tampak berkelebat ketika keris itu dicabut.

"Jaga serangank'u, Wasi Shiwasakti!" kata Jarot yang mulai menyerang dengan kerisnya. Serangannya cukup kuat dan cepat dan agaknya sekali ini Wasi Shiwasakti ingin menguji kepandaian silat pemuda itu. Diapun mengelak dan tongkat bambu kuning ditangannya membalas, menyambar dari samping dengan tusukan ke arah lambung Jarot. Akan tetapi pemuda ini dengan gesitnya dapat pula mengelak lalu menubruk maju lagi dengan kerisnya, menusuk kearah perut lawan. Gerakannya licin bagaikan belut dan Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hi-hi-hik, andika boleh juga, Jarot!" katanya sambil memutar tongkat bambu kuningnya untuk menghalau keris Jarot yang menyerang secara bertubi-tubi.

"Trang-trang-cring...!"

Jarot terkejut bukan main. Tigakali beradu senjata itu membuat tangan kanannya seperti lumpuh karena tergetar hebat sekali, dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba kaki Sang Wasi Shiwasakti mencuat dan tak dapat dihindarkannya lagi tubuhnya terkena tendangan.

"Bukkk...!" Tubuh Jarot terlempar jauh dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi seperti juga halnya Harjadenta, dia tidak menderita luka parah karena agaknya Wasi Shiwasakti memang sengaja tidak mau membunuhnya.

Melihat betapa semua orang telah kalah oleh Wasi Shiwasakti, Ki Patih Tejolaksono mulai merasa gelisah. Siapa lagi yang akan mampu menandingi wasi yang sakti mandraguna itu? Sebetulnya sejak tadi, setelah melihat kekalahan Bagus Seto, dia sudah putus asa.

"Adimas Jayawijaya, hanya andikalah tumpuan harapan kami. Harap andika suka maju menghadapi Wasi Shiwasakti!" tiba-tiba Bagus Seto mendekati Jayawijaya dan berkata dengan suara lembut.

Jayawijaya memandang kepadanya dan sejenak dua pasang mata bertemu pandang, dua pasang mata yang penuh pengertian dan Jayawijaya tersenyum mengangguk.

"Mohon doa restu, kakangmas Bagus Seto," bisiknya.

"Majulah dan jangan ragu, adimas." Jayawijaya menghampiri ayahnya lalu menyembah, "Kanjeng Romo, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ayahnya tersenyum, mengangguk.

"Sang Hyang Widhi melindungimu, kulup," katanya.

Jayawijaya menghampiri Ki Patih Tejolaksono dan berkata lirih, "Kanjeng Paman, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ki Tejolaksono terbelalak heran, tak bisa berkata-kata saking herannya dan hanya mampu mengangguk. Setelah itu, Jayawijaya menghampiri Endang Patibroto dan berkata hormat.

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, hamba mohon doa restu."

Endang Patibroto yang sudah mendengar ucapan Jayawijaya kepada suaminya tadi, tersenyum mengangguk.

"Berhati-hatilah, anakmas Jayawijaya."

Paling akhir Jayawijaya menghampiri Retno Wilis dan berkata, "Diajeng, aku mohon doa restumu."

"Kakang Jaya, jaga dirimu baik-baik," kata Retno Wilis sambil mencoba untuk menahan kegelisahannya. Kekasihnya hendak menandingi Wasi Shiwasakti yang sakti madraguna itu. Pada hal ia sendiri dan kakaknya sudah kalah! Kekasihnya sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Biar pun ia juga tahu bahwa kekasihnya itu mempunyai sesuatu yang luar biasa, namun tetap saja ia merasa khawatir sekali.

Kini Jayawijaya melangkah maju dengan tenang, langkahnya perlahan-lahan, menghampiri Wasi Shiwasakti yang masih menanti tanding. Melihat seorang pemuda yang berwajah terang dan bersikap lemah-lembut menghampirinya, dia merasa heran. Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu, dia terkejut bukan main. Dia merasa seolah olah sinar matanya yang tajam amblas dan tenggelam ke dalam samudera ketenangan yang terkandung dalam sepasang mata pemuda itu.

"Hati-hati, kakang Wasi. Pemuda ini memiliki kelebihan," dia mendengar Wasi Shiwamurti berbisik di belakangnya.

Akan tetapi Wasi Shiwasakti adalah seorang sakti mandraguna yang jiwanya tersesat. Karena dia memiliki kedigdayaan yang linuwih, maka timbul kesombongan dalam hatinya. Dia merasa bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang akan mampu menandingi kesaktiannya. Apa lagi hanya seorang pemuda seperti ini! Maka dia tertawa cekikikan ketika melihat Jayawijaya menghadapinya.

"Hi-hi-hi-hik, bocah yang masih berbau kencur! Mau apa engkau datang menghadapi aku?"

Jayawijaya bersikap sabar dan dia mengangkat mukanya, memandang kepada wajah kakek itu dengan tenang. Lalu katanya, dengan suara yang lemah lembut pula.

"Paman Wasi Shiwasakti, masihkah andika belum juga mau menyadari kesalahan andika sendiri? Ingat, Paman Wasi, kejahatan kalau dilanjut-lanjutkan akhirnya akan menjerat leher sendiri. Permusuhan dan kebencian kalau dibiarkan akan menjadi racun bagi bathin sendiri. Hentikan lah semua ini, Paman Wasi, dan kembalilah ke tempat asalmu, hidup dengan aman tenteram penuh damai. Bukankah hal itu akan menjadi baik sekali?"

"Hi-hi-hi-hik! Bocah masih berbau pupuk berani berkhotbah di depanku! Aku melihat engkau seorang pemuda yang masih bersih, hanya itu kelebihanmu. Dengan apa engkau hendak melawanku? Lebih baik engkau mundur, aku tidak tega untuk mencelakai orang seperti engkau."

"Nah, hati nuranimu telah bicara, Paman Wasi. Turutilah suara hati nuranimu itu, larutkan kebencian dan perrrtusuhan ini. Yang kalah atau menang akan sama saja, tidak ada artinya memperebutkan kemenangan karena akhirnya akan kalah juga pada saatnya. Biarkan Kekuasaan Hyang Widhi yang akan mengatur segalanya. Andika tidak perlu mencampuri pekerjaan Hyang Widhi."

"Heh, bocah lancang! Bagaimana mungkin aku tidak mencampuri pekerjaan Hyang Widhi? Penyebar luasan agama kalau tidak kubantu, bagaimana Hyang Widhi dapat bekerja sendiri?" kata Wasi Shiwasakti yang tadinya tertunduk tetapi lalu membantah.

"Memang menjadi tugas kita setiap orang manusia untuk membantu pekerjaan Sang Hyang Widhi. Akan tetapi membantu bukan berarti mencampuri, karena mencampuri itu bersifat menentang, sedangkan membantu bersifat mendukung! Yang andika lakukan adalah menentang kehendak Sang Hyang Widhi, Paman Wasi. Andika mengajarkan agama yang sesat, yang membawa manusia menjadi hamba nafsu yang akan menyeret mereka ke lembah duka. Karena itu insaflah, Paman Wasi, dan hendaknya andika suka mundur dan tidak melanjutkan pekerjaan yang tidak benar itu, sebelum terlambat."

"Sebelum terlambat? Bocah sombong, apa yang akan dapat kau lakukan terhadap diriku kalau aku tidak mau mundur?"

"Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Paman Wasi Shiwasakti, akan tetapi aku yakin bahwa Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang akan bekerja untuk menghentikan tindakan yang menyimpang dari kebenaran."

"Babo-babo, Jayawijaya! Ucapanmu semakin lancang dan engkau menantang aku! Apa engkau kira akan mampu untuk melindungi dirimu sendiri terhadap serangan aji kesaktianku?"

"Aku tidak mampu melindungi diriku sendiri, akan tetapi aku bersandar kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi, Paman Wasi."

"Engkau tidak takut mati?"

"Mati atau hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki aku mati, bahkan engkau sekali pun tidak akan mampu membunuhku, Sang Wasi! Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematianku di tanganmu, aku pun akan menerimanya dengan ikhlas dan penuh penyerahan, tidak akan menyesal seujung rambut sekali pun!"

"Hati-hati, kakang Wasi. Bocah ini mengerikan," bisik Wasi Shiwamurti di belakang kakak seperguruannya.

"Biar aku membinasakannya, Adi Wasi!" Wasi Shiwasakti berseru dan dia menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah, kemudian kedua tangannya berkembang, membentuk sembah lalu dibuka lagi, mulutnya mengeluarkan pekik menggetarkan.

"Aji Suryo Dahono...!"

Seperti tadi ketika menyerang Bagus Seto, tampak api keluar dari sepasang telapak tangan itu, api yang makin lama semakin berkobar, di sebelah dalam kobaran itu terdapat bentuk-bentuk yang menggiriskan, seperti binatang-binatang buas dan kepala-kepala setan, semua hendak menyergap berikut kobaran api ke arah Jayawijaya! Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tampak gentar. Dengan tabah dia malah maju menghampiri dan menyambut kobaran api itu, kedua lengannya bersedekap, matanya dipejamkan dan dari mulutnya terdengar ucapan yang jelas dan lembut.

"Hong, nir boyo sedyo rahayu! Hong, nir ing sambekala sedyo rahayu!" Kobaran api itu kini "menelan" tubuh Jayawijaya.


Semua orang yang menyaksikan menjadi tegang dan khawatir sekali, terutama Retno Wilis yang khawatir kalau kekasihnya akan terbakar hangus dan menemui kematiannya. Ki Patih Tejolaksono juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah dia melihat peristiwa seperti itu! Dia tahu benar betapa saktinya aji yang dikeluarkan Wasi Shiwasakti itu, akan tetapi pemuda yang tampak lemah lembut dan tidak memiliki kedigdayaan itu berani memasuki kobaran api yang bernyala nyala dan di dalamnya terkandung sosok-sosok binatang buas dan kepala-kepala setan itu!

Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak kagum dan terpesona. Bentuk-bentuk mengerikan dalam kobaran api itu begitu bertemu dengan Jayawijaya, tampak ketakutan seperti sekawanan anjing dibawakan cambuk! Mereka mundur-mundur dan kobaran api itu dengan sendirinya juga mundur ke belakang dan semakin menyempit dan mengecil.

"Aji Surya Candra...!" Wasi Shiwasakti mengeluarkan pekik mengerikan lagi dan kini kedua telapak tangannya mendorong sehingga api mulai berkobar lagi ditambah dua cahaya mengkilat yang menyilaukan mata. Kobaran api itu menyambar ke arah Jayawijaya yang masih bersedakap dan kini pemuda itu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya Aji Surya Candra itu sehingga seolah-olah Jayawijaya tidak akan kuat bertahan!

Retno Wilis menahan napas, matanya terbelalak memandang kekasihnya yang terancam bahaya, tangan kirinya menutup mulutnya seolah hendak menahan agar ia tidak menjerit. Semua orang juga merasa gelisah sekali, kecuali Bagus Seto dan Ki Panji Kelana yang masih menonton dengan sikap tenang sekali.

Bagus Seto bersikap tenang karena dia maklum bahwa dia bertemu dengan seorang yang telah dilindungi oleh Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Kekuatan atau kekuasaan apakah di dunia ini yang akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang sudah melindungi seseorang? Karena pengertian inilah maka dia bersikap tenang saja, yakin bahwa tidak ada sesuatu yang akan mampu mencelakai Jayawijaya.

Adapun Ki Panji Kelana bersikap tenang karena dia adalah seorang yang telah menyerah penuh kepada Kehendak Sang Hyang Widhi, seperti yang diajarkannya kepada puteranya sejak Jayawijaya kecil. Kepasrahan dan penyerahan ini yang membuat dia tenang dan tidak pernah gelisah karena apapun yang akan terjadi menimpa diri Jayawijaya sudah diikhlaskan karena semua itu sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematian Jayawijaya atau dirinya sendiri, setiap saat dia ikhlas dan dia akan merelakan tanpa rasa penyesalan sedikitpun. Dengan penyerahan yang mutlak lahir bathin ini, bagaimana hati Ki Panji Kelana dapat menjadi khawatir?

Tubuh Jayawijaya bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan, seperti di dorong-dorong oleh kekuatan gaib yang amat besar. Seolah-olah setiap saat dia akan roboh terjengkang. Tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Kedua lengannya yang tadinya bersedakap, bergerak lepas, kemudian kedua tangan itu dirangkap dan dia melakukan gerakan menyembah ke atas. Gerakan yang wajar dan sama sekali tidak dibuat-buat karena gerakan ini memang terjadi dengan sendirinya, gerakan yang bukan digerakkan oleh hati akal pikiran, tetapi gerakan langsung dari jiwanya.

Kemudian, kedua tangan yang menyembah itu meluncur lurus ke depan, kedua telapak tangan menghadap ke depan seperti orang mendorong. Gerakan ini pun wajar dan lembut, sama sekali tidak mengandung tenaga, hanya kedua tangan itu tergetar dan... kobaran api itu tertiup mundur, sosok-sosok dan bentuk-bentuk mengerikan terjengkang ke dalam kobaran api dan kobaran api itu terus mundur sampai mengenai tubuh Wasi Shiwasakti sendiri. Terdengar jerit mengerikan keluar dari mulut Wasi Shiwasakti!

"Auuugrgghh ..! Tobat... tobat... hamba menyerah...!" Dan tubuhnya bergulingan di atas tanah.

Wasi Shiwamurti cepat membantu kakak seperguruannya bangkit berdiri lagi. Kobaran api telah lenyap dan kini tampak betapa semua rambut, kumis dan jenggot Wasi Shiwasakti terbakar habis dan mukanya masih terbungkus hangus sehingga kelihatan lucu dan juga mengerikan. Wasi Shiwamurti memondong tubuh yang lunglai itu, yang kini hanya dapat mendesis-desis seperti kepanasan, dan Wasi Shiwamurti menyeret tongkat kepala naganya, lalu pergi dari tempat itu sambil memondong tubuh kakak seperguruannya yang sudah tidak berdaya sama sekali.

Semua orang yang menonton pertunjukan luar biasa hebatnya itu bersorak sorai atas kemenangan Jayawijaya. Pemuda itu bersikap biasa saja dan ketika Ki Tejolaksono menghampirinya dan memegang kedua pundaknya sambil memuji, dia berkata lirih.

"Sang Hyang Widhi yang menalukkannya, bukan saya..."

Semua orang mendekat kemudian merubung Jayawijaya dan saking girang hatinya, Ki Tejolaksono memandang Adipati Kertajaya sambil berkata,

"Maafkan kami, adimas Adipati, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima pinangan andika kepada puteri kami untuk puteramu itu, karena Retno Wilis telah memiliki seorang calon jodohnya, yaitu anak mas Jayawijaya."

Adipati Kertajaya menghela napas dan menoleh kepada Jarot yang mengangguk sambil tersenyum, rela menerima "kekalahan" itu.

"Kami mengerti, Kakangmas Patih. Kami menjadi saksi bahwa yang mampu menandingi Wasi Shiwasakti tadi adalah anak mas Jayawijaya, maka sudah sepantasnya kalau dia yang berhak mempersunting puterimu."

Ki Patih Tejolaksono lalu menghadapi Ki Panji Kelana dan berkata dengan sikap ramah.
"Marilah, adimas Panji Kelana, kita semua bicara di dalam karena pinanganmu kepada Retno Wilis untuk putera andika Jayawijaya kami terima dengan senang hati."

Semua orang dipersilakan masuk dan kembali mereka disuguhi perjamuan kecil untuk merayakan kemenangan atas kedua orang wasi dari Cola itu. Suasana meriah dan biar pun Jarot ditolak pinangannya namun dia tidak menjadi kecil hati. Dia maklum benar bahwa memang Jayawijaya lebih berhak, bukan saja pemuda itu telah menandingi dan mengusir Wasi Shiwasakti, akan tetapi lebih-lebih lagi karena dia merupakan pilihan hati Retno Wilis. Juga Harjadenta tidak merasa penasaran walau pun cintanya bertepuk tangan sebelah. Retno Wilis memang terlalu tinggi baginya untuk dijangkau. Jarot segera mengalihkan perhatiannya, yaitu kepada puteri Adipati Blambangan yang bernama Dyah Ayu Kerti.

Jarot membisikkan kehendak hatinya kepada ayahnya dan orang tua itu tidak merasa ragu untuk mengajukan pinangan kepada keluarga yang menjadi tawanan terhormat itu. Ayah Jarot adalah seorang adipati pula, dan dia sendiri sedang menjadi tawanan, maka melihat uluran tangan yang meminang puterinya itu, Adipati Menak Sampar dari Blambangan tidak melihat jalan lain yang lebih terhormat kecuali menerimanya. Apa lagi dia melihat bahwa Jarot adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, dan kelak menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Adipati di Pasisiran. Juga Dyah Ayu Kerti tidak menolak ketika ditanya ayahnya karena puteri ini pun sudah meiihat kegagahan dan ketampanan Jarot.

Saroji, putera Ki Haryosakti pemimpin perkumpulan Jambuko Cemeng, memiliki, pilihan lain. Dia segera tertarik sekali kepada Dyah Candramanik, puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung. Maka dia memberanikan diri dengan perantaraan ayahnya dan didukung oleh keluarga Ki Patih Tejolaksono yang telah hutang budi atas bantuan Jambuko Cemeng, dia meminang Dyah Candramanik. Adipati Martimpang juga menerima pinangan ini dengan senang hati mengingat bahwa ayah pemuda itu, Ki Haryosakti merupakan ketua dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang cukup terkenal kesaktiannya.

Harjadenta tidak mau kalah. Dia telah melihat Sarmini, puteri Ki Haryosakti yang cantik manis dan lembut, maka dengan bantuan Bagus Seto dan Retno Wilis, dia minta pertolongan kepada Ki Patih Tejolaksono untuk sudi menjadi walinya karena dia sudah yatim piatu dan gurunya berada jauh. di Gunung Raung, untuk meminangkan puteri Ki Haryosakti itu. Pinangan ini pun diterima dengan senang hati.

Maka lengkaplah sudah orang-orang muda itu mendapatkan jodoh masing-masing, Hanya Bagus Seto seorang yang belum mendapatkan jodoh. Ayu Chandra, ibunya menoleh kepada puteranya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya masuk ke dalam gedung. Setelah berada berdua saja, ibu ini bertanya dengan suara terharu.

"Dan engkau sendiri bagaimana, angger? Kapan engkau akan menentukan pilihan hatimu dan menikah? Ibumu sudah rindu menimang cucu darimu."

Bagus Seto tersenyum dan menggeleng kepalanya.

"Belum tiba saatnya, ibu. Saya masih suka menyendiri, mengarungi Bumi Nusantara yang luas ini."

Pada saat itu, Ki Patih Tejolaksono memasuki ruangan tengah itu. Ketika melihat isterinya menggapai Bagus Seto masuk ke dalam, hati Ki Patih ini sudah dapat menduga maka diapun menyusul ke dalam.

"Bagus Seto, bagaimana dengan engkau? Siapa yang akan menjadi jodohmu?"

"Baru saja kami membicarakannya kakangmas." kata Ayu Candra dengan suara kecewa. "Akan tetapi dia masih belum menentukan pilihannya, masih suka menyendiri dan ingin berkelana mengarungi Bumi Nusantara."

"Hemm, bagaimanakah engkau ini, kulup? Usiamu sudah tiga puluh tahun. Akan menanti kapan lagi? Tunjukkan puteri mana yang kaukehendaki dan aku tentu akan meminangkan untukmu," kata Ki Patih Tejolaksono.

"Terima kasih, kanjeng romo. Akan tetapi jodoh berada di Tangan Sang Hyang Widhi. Kalau belum jodohnya tentu tidak akan bertemu. Pula, hati saya belum tertarik untuk urusan perjodohan, kanjeng romo. Harap kanjeng romo dan kanjeng ibu tidak menjadi kecewa dan suka memaafkan puteranda."

"Tetapi, kulup Bagus Seto. Adikmu Retno Wilis sudah memperoleh jodoh, kenapa engkau malah belum? Apakah adimu harus menikah lebih dulu?" tanya Ki Patih Tejolaksono.

Bagus Seto tersenyum. "Saya merasa berbahagia sekali bahwa diajeng Retno Wilis telah memperoleh jodoh seorang pemuda yang bijaksana dan budiman. Saya merasa yakin bahwa diajeng Retno Wilis akan memperoleh kebahagiaan hidup dibawah bimbingan adimas Jayawijaya. Tidak mengapa kalau ia menikah lebih dulu, kanjeng romo. Jodoh masing-masing tidaklah dapat ditentukan."

"Aku hanya khawatir kalau-kalau engkau tidak mau menikah dan akan hidup sebagai seorang pertapa. Ingat, hanya engkau yang menjadi tumpuan harapanku untuk memperoleh keturunan dari ayah, anakku."

Bagus Seto kembali tersenyum. "Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki, apapun yang akan terjadi kepada saya tentu akan saya terima dengan rela, kanjeng romo. Untuk penyerahan seperti ini kita harus banyak belajar dari adimas Jayawijaya."

Para tamu mulai berpamitan meninggalkan kepatihan dan kembali ke tempat masing-masing. Ki Patih Tejolaksono lalu mengawal para tawanan menuju ke istana Sang Prabu di Panjalu di persidangan dan di situ Sang Prabu memutuskan tindakan apa yang akan dijatuhkan kepada kedua orang adipati itu.

Sang Prabu Panjalu adalah orang yang bijaksana. Beliau mengerti bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang adipati terutama sekali karena ada dorongan, dan dari para utusan Cola dan persekutuan mereka dengan Bali-dwipa. Maka Sang Prabu memaafkan mereka, mengangkat Adipati Martimpang kembali menjadi adipati di Nusabarung. Juga beliau mengangkat Adipati Menak Sampar kembali menjadi adipati di Blambangan dengan disertai janji dan sumpah bahwa mereka tidak lagi akan mengulang perbuatan mereka yang memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala.

Tentu saja kedua orang adipati itu sekeluarga merasa bersukur sekali dan setelah menghaturkan sembah dan terima kasih, mereka semua lalu kembali ke kadipaten masing-masing, siap untuk mengadakan, pesta pernikahan bagi anak-anak mereka.

Jayawijaya melangsungkan pernikahannya dengan Retno Wilis. Pernikahan berlangsung secara meriah sekali dan mengingat akan jasa-jasa Ki Patih Tejolaksono, Sang Prabu di Panjalu dan Jenggala berkenan menghadiri pesta pernikahan itu.

Setelah menikah, di dalam kamar mereka, Jayawijaya berkata kepada isterinya. "Diajeng, setelah sebulan tinggal di sini, aku akan mengajakmu ke Tengger dan kita tinggal di sana, Tentu engkau suka tinggal bersamaku di sana, bukan?"

Retno Wilis melirik manja. "Tentu saja. Di mana engkau tinggal, di sanalah tempatku berada, kakangmas."

"Akan tetapi, diajeng. Engkau terbiasa hidup di kepatihan yang serba mewah dan hidup senang. Apakah engkau akan betah tinggal di pegunungan yang sunyi, sebagai seorang petani yang hidup bersahaja?"

Retno Wilis tersenyum. "Hidup di manapun sama saja kakangmas. Aku sudah pernah hidup di dalam hutan, pernah hidup di kota raja, dan pernah menjadi pengembara. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh keadaan lahir, melainkan keadaan batin. Di mana saja aku hidup, jika berada di sampingmu, aku akan selalu merasa bahagia, kakangmas!"

Jayawijaya merangkul isterinya dengan hati bahagia.

"Berbahagia sekali aku mendapatkan seorang isteri seperti engkau, diajeng."

"Aku hanya isterimu yang bodoh dan membutuhkan bimbinganmu dalam hidup ini, kakangmas. Aku akan merasa berbahagia kalau engkau bahagia."

Sepekan kemudian, keluarga Ki Patih Tejolaksono mengantarkan Bagus Seto yang berpamit untuk pergi mengembara. Mereka mengantar pemuda itu sampai keluar kota raja dan baru berhenti setelah tiba di luar batas kota, melihat pemuda itu berjalan perlahan mendaki sebuah bukit di timur. Makin ke atas, gerakan pemuda itu makin cepat sehingga akhirnya yang tampak hanya titik putih seperti seekor garuda putih yang melayang menjauh.

Ayu Candra mengusap matanya yang menjadi basah. Ki Patih Tejolaksono cepat-cepat merangkulnya.

"Relakanlah, diajeng. Dia menuju kepada kebahagiaannya dan jika memang Sang Hyang Widhi menghendaki, kita tentu akan bertemu lagi dengan dia, putera kita."

Mereka kembali ke kepatihan dan sebulan kemudian Retno Wilis diajak pergi Jayawijaya, suaminya, menuju ke Tengger untuk menemui ayahnya, Ki Panji Kelana. Sementara itu Jarot melaksanakan pernikahannya dengan Dyah Ayu Kerti yang diboyongnya ke kadipaten Pasisiran. Saroji, putera Ki Haryosakti, menikah dengan Dyah Candramanik dan oleh Adipati Martimpang di Nusabarung, mantunya itu disuruh tinggal di Nusabarung dan diberi kedudukan senopati. Adapun Harjadenta memboyong Sarmini puteri Ki Haryosakti ke Gunung Raung di mana dia tinggal bersama Empu Gandawijaya, gurunya. Harjadenta ini kemudian kelak menjadi seorang empu pembuat keris yang pandai.

Sementara itu Kerajaan Jenggala tampak semakin mundur. Kini kejayaannya kalah oleh Kerajaan Panjalu dan akhirnya, melihat betapa daerah-daerah di timur, terutama Bali-dwipa masih selalu merupakan daerah rawan, Kerajaan Jenggala lalu bersatu dengan Kerajaan Panjalu dan berubah kembali menjadi Kerajaan Kediri yang semakin besar, kuat dan jaya.....
T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar