Sepasang Garuda Putih Jilid 31

Ki Patih Tejolaksono bersama kedua orang isterinya mengadakan pesta makan bersama. Perjamuan itu selain untuk merayakan kemenangan, juga untuk menghormati mereka yang telah membantunya.

Semua berkumpul di situ. Jarot, Ki Haryosakti, Ki Bajramusti yang dijamu oleh Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, Ayu Candra, Retno Wilis, dan Bagus Seto serta para senopati Panjalu. Pada awal perjamuan itu, datanglah beberapa orang tamu yang segera diundang untuk duduk bersama ikut dalam perjamuan. Mereka adalah Saroji dan Sarmini, putera dan puteri Ki Haryosakti yang menyusul ayahnya ketika mendengar kemenangan di pihak Panjalu dan Jenggala yang dibantu ayah mereka.

Muncul pula Harjadenta, pemuda Gunung Raung yang pernah membantu Bagus Seto dan Retno Wilis, dan datang pula Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran yang datang menyusul puteranya Jarot dan untuk memberi selamat atas kemenangan Panjalu. Lalu yang terakhir muncul Jayawijaya seorang diri. Diapun telah mendengar akan kemenangan Panjalu dan datang untuk berkunjung dan memberi selamat.

Semua tamu ini dipersilakan masuk dan ikut dalam perjamuan karena mereka semua pernah membantu ketika Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan Blambangan.

Setelah perjamuan selesai, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang luas. Sekali ini, para senopati mengundurkan diri dan yang hadir hanyalah tamu-tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini, Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran berkata sambil memandang kepada Ki Patih Tejolaksono yang duduk diapit kedua orang isterinya, sedangkan di sebelah kiri Endang Patibroto duduk Retno Wilis berjajar dengan Bagus Seto.

"Kakangmas Patih Tejolaksono, kedatangan saya ini pertama-tama untuk menghaturkan selamat atas kemenangan pasukan Panjalu yang kakangmas pimpin."

"Hasil kemenangan kami juga karena dukungan putera andika, adimas Adipati Kertajaya," jawab Ki Patih Tejolaksono merendah.

"Adapun maksud kunjungan saya yang kedua kalinya, sebelum saya matur mohon terlebih dulu kakangmas Patih memberi maaf yang sebesar-besarnya kalau pembicaraan saya lancang dan menyinggung perasaan."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum.

"Adimas Adipati, mengapa bicara dengan sungkan-sungkan? Kita berada di antara golongan sendiri yang mengabdi kepada Panjalu dan Jenggala, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kalau ada persoalan, kemukakanlah saja terus terang, kami berjanji tidak akan menyalahkan andika dan andaikata ada yang perlu dimaafkan, kami senantiasa bersedia untuk memaafkan."

"Begini maksud saya, kakangmas Patih. Mengenai anak saya yang bodoh, yaitu Jarot yang sekarang telah berusia dua puluh dua tahun dan belum memiliki calon pasangan hidup. Kami ditangisi anak kami Jarot yang kasmaran terhadap puteri kakangmas, anak mas ayu Retno Wilis. Oleh karena itu, saya memberanikan diri berlancang mulut untuk mengajukan pinangan terhadap puteri kakangmas Patih. Sekali lagi maafkan kelancangan saya."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum dan memandang kepada Jarot dengan penuh perhatian.

"Kami semua telah menyaksikan kemampuan dan kegagahan puteramu, adimas Adipati Kertajaya. Murid siapakah puteramu ini?'

"Jarot, engkau ditanya oleh Uwa Patih, jawablah sendiri," kata Adipati Kertajaya kepada puteranya.

Jarot menyembah lalu menjawab dengan muka tunduk penuh hormat. "Hamba menerima petunjuk ilmu dari Bapa Bhagawan Dewondaru, pertapa di lereng Semeru, Uwa Patih."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Tejolaksono mengucap kagum. "Jadi gurumu adalah Kakang Bhagawan Dewondaru yang sakti mandraguna itu? Pantas engkau memiliki kemampuan yang tinggi, anak mas Jarot." Kemudian dia menoleh lagi kepada Adipati Kertajaya dan berkata, “Adimas Adipati Kertajaya, puteramu berkenan dihatiku, akan tetapi karena urusan perjodohan bagi kami tergantung kepada anak yang hendak menjalani, maka kami harus berunding lebih dulu dengan segenap keluarga dan juga dengan anak kami Retno Wilis."

"Pendapat kakangmas Patih itu memang tepat sekali dan memang seharusnya demikian. Maka saya persilakan kakangmas untuk memperbincangkan urusan penting ini dengan keluarga kakangmas yang kebetulan sekarang berkumpul semua di sini."

Ki Patih Tejolaksono lalu menoleh kepada Endang Patibroto dan tersenyum lalu bertanya. "Bagaimana pendapatmu, diajeng Endang Patibroto? Anakmu si Retno Wilis agaknya sekarang sudah dewasa benar dan sudah dipinang orang! Engkau sudah mendengar sendiri pinangan yang diajukan oleh adimas Adipati Kertajaya, bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Endang Patibroto memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, lalu menoleh kepada Retno Wilis. la melihat betapa puterinya itu juga mengerutkan alis dan puterinya melirik ke arah Jayawijaya yang sedang duduk bersila sambil menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa melihat gelagatnya ini, suaminya condong untuk menerima pinangan Adipati Kertajaya, menjodohkan Retno Wilis dengan Jarot. Ia sendiri suka kepada pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan baik budi itu, tetapi pilihan hatinya jatuh kepada Jayawijaya, pemuda yang tidak digdaya akan tetapi memiliki daya yang mujijat dan luar biasa.

"Bagaimana, diajeng?" desak Tejolaksono ketika melihat Endang Patibroto diam saja. Terpaksa Endang Patbroto menjawab.

”Terus terang saja, kakangmas. Aku sendiri sangat suka kepada anakmas Jarot. Dia seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi sebetulnya aku sudah mempunyai pilihan seorang pemuda lain untuk menjadi calon jodoh Retno Wilis."

"Ibu...!" Retno Wilis berseru dengan nada memrotes.

"Begitukah, diajeng? Nah, katakan siapa pilihanmu yang kaucalonkan menjadi jodoh anak kita itu."

"Orangnya berada di sini, dialah itu, anakmas Jayawijaya," kata Endang Patibroto sambil menunjuk ke arah Jayawijaya.

Bagus Seto tersenyum melihat ulah ibunya. Dan aneh sekali, Retno Wilis yang tadinya seperti hendak membantah, kini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan diam seribu bahasa! Kini Tejolaksono yang mengerutkan alis sambil menatap ke arah pemuda yang menunduk itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Akan tetapi, ketika terjadi perang, dia tidak membantu. Putera siapakah andika, anakmas Jayawijaya?"

"Ayah saya adalah Pertapa Panji Kelana yang bertapa di bukit Tengger, paman Patih," jawab Jayawijaya sederhana.

"Dan siapa gurumu yang mengajarkan ilmu kanuragan dan kadigdayaan kepadamu?"

"Tidak ada, paman Patih. Saya tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan."

"Ahh, kalau begitu..."

Pada saat itu, seorang pengawal datang menghaturkan sembah dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang katanya merupakan ayah dari Jayawijaya dan mohon menghadap Sang Patih. Mendengar ini, Ki Patih Tejolaksono tertegun. Orang yang baru saja dibicarakan muncul! Kebetulan sekali, urusan dapat segera diselesaikan dengan orang tua yang bersangkutan.

"Persilakan dia masuk!" katanya kepada pengawal yang melapor, sedangkan Jayawijaya menoleh keluar dengan heran.

Tak lama kemudian pengawal mengantarkan seorang yang usianya sekitar lima puluh tahun, bertubuh tegap sedang dengan punggung lurus dan wajahnya masih tampak muda dan tampan. Mulutnya dihias senyuman yang ramah dan pandang matanya sedemikian lembutnya sehingga Tejolaksono cepat mempersilakan tamunya duduk di sebuah bangku yang disodorkan oleh pengawal. Pengawal itu atas isyarat Ki Patih lalu meninggalkan ruangan itu.

"Selamat datang di kepatihan, Ki Sanak. Siapakah andika yang memberi kehormatan dengan kunjungan ini?" tanya Ki Tejolaksono dengan sikap hormat karena kepribadian orang itu sungguh mendatangkan rasa hormat dalam hatinya.

Orang itu tersenyum lebar dan memandang kepada Ki Tejolaksono dengan sinar mata kagum.

"Sudah lama mendengar akan nama besar Ki Patih Tejolaksono sebagai seorang yang bijaksana, dan sekarang baru saya dapat melihat buktinya! Ki Patih, nama saya adalah Panji Kelana, seorang pertapa di bukit Tengger dan saya adalah ayah dari Jayawijaya yang kini hadir di sini. Karena mendengar bahwa Ki Patih telah berhasil memadamkan pemberontakan di Nusabarung dan Blambangan, juga mencegah penyebar luasan agama sesat, rnaka saya sengaja datang menyusul anak saya untuk menyampaikan rasa kagum dan ucapan selamat kepada Ki Patih."

"Kebetulan sekali andika datang berkunjung, Sang Pertapa Panji Kelana. Justru kami sedang memperbincangkan tentang putera andika, anak mas Jayawijaya. Benarkah puteramu mempunyai niat untuk mempersunting puteri kami, Si Retno Wilis?"

Panji Kelana menoleh kepada puteranya dan tersenyum.

"Demikianlah dia pernah menyatakan kepada saya, Ki Patih, bahwa antara dia dan anak mas ayu Retno Wilis terjalin saling Kasih."

"Tidak mungkin! Benarkah itu, Retno Wilis?'' tanya Ki Patih Tejolaksono sambil menoleh dan memandang kepada puterinya. Retno Wilis balas memandang kepada ayahnya, kemudian dengan hati tabah ia mengangguk.

"Tidak mungkin ini terlaksana! Puteriku harus memperoleh jodoh seorang satria yang sakti mandraguna, bukan seorang pemuda lemah!" bentak Tejolaksono dengan suara nyaring.

"Kanjeng romo...!" seru Retno Wilis.

"Kakangmas...!" Endang Patibroto juga memrotes.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lantang sekali yang datangnya dari luar gedung. "Ki Patih Tejolaksono! Endang Patibroto Bagus Seto dan Retno Wilis! Keluarlah kalian, kami datang untuk membuat perhitungan!" Suara itu begitu lantang sampai menggetarkan seisi gedung ruangan gedung itu sehingga tentu saja membuat semua orang menjadi terkejut bukan main.

Seorang perwira pengawal berlari-larian dari luar dan menghaturkan sembah kepada Ki Patih Tejolaksono dan langsung melapor.

"Gusti Patih, di luar gedung terdapat dua orang kakek yang menantang-nantang. Belasan orang pengawal yang mencoba untuk mengusirnya, dengan lambaian tangan saja dirobohkan semua oleh dua orang kakek itu!"

"Keparat!" bentak Ki Patih Tejolaksono dan tanpa banyak cakap lagi diapun bangkit dan melangkah keluar, diikuti oleh Endang Patibroto, Bagus Seto, Retno Wilis, Ayu Candra, dan semua tamu yang hadir di situ, semua lalu keluar untuk melihat siapa orangnya yang berani menantang keluarga Ki Patih Tejolaksono yang sakti mandraguna itu.

Para tamu itu adalah Adipati Kertajaya dan Jarot, Ki Haryosakti dan putera puterinya Saroji dan Sarmini, Ki Bajramusti, Harjadenta, kemudian paling akhir Jayawijaya melangkah keluar bersama ayahnya, Ki Panji Kelana. Mereka berdua ini keluar tanpa tergesa-gesa seperti yang lain, bahkan dengan senyum tersungging di bibir seolah tidak ada terjadi sesuatu yang hebat dan menegangkan.

Setelah tiba di luar, Ki Patih Tejolaksono dan rombongannya melihat para pengawal masih berserakan dan mulailah mereka bangun dengan wajah ketakutan. Di sana berdiri dua orang kakek yang seorang adalah Wasi Shiwamurti yang berjubah kuning, jenggot dan kumisnya yang panjang sudah putih semua, tangannya memegang tongkat kepala naga, dan usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu.

"Siapakah andika berdua?" bentak Ki Patih Tejolaksono yang memang belum pernah bertemu dengan Wasi Shiwamurti. "Dan apa sebabnya kalian datang menantang-nantang kami?"

Sang Wasi Shiwamurti memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-dukduk dan tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar.

"Ha-ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Andika memang belum mengenal aku, akan tetapi puteramu Bagus Seto sudah mengenalku. Aku adalah Wasi Shiwamurti dan ini adalah kakak seperguruanku yang berjuluk Wasi Shiwasakti dan yang sedang bertugas di Bali-dwipa. Kami berdua datang untuk membuat perhitungan dan kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara-kita!"

Kakek ke dua yang disebut Wasi Shiwasakti itu hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia lebih tua dari Wasi Shiwamurti, sedikitnya enam puluh delapan tahun, tangannya memegang sebatang tongkat bambu kuning yang sederhana, tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, namun sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga!

"Hemm, andika berdua menantang mengadu kesaktian, dengan dasar dan maksud apa?" tanya pula Ki Patih Tejolaksono dengan lantang.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Kami hanya hendak memperebutkan hak kami untuk menyebar luaskan agama kami. Kalau kami kalah bertanding dengan pihakmu, sudahlah kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan kembali ke Cola dan tidak akan menyebar luaskan agama kami di daerah Nusa Jawa dan Bali Dwipa. Akan tetapi kalau pihakmu tidak mampu mengalahkan kami, kami berhak menyebar luaskan agama kami tanpa gangguan dari kalian. Bagaimana pendapatmu?" kata Wasi Shiwamurti dengan tidak kalah lantangnya.

Tiba-tiba Endang Patibroto melompat ke depan dan bertolak pinggang, telunjuk kirinya menuding ke arah dua orang pendeta dari Cola itu.

"Pendeta-pendeta cabul dan palsu! Bagaimana kami dapat membiarkan kalian menyebar agama yang cabul dan menyesatkan rakyat jelata kami. Hayo kalian cepat pergi dari sini sebelum kuhajar!"

"Ha-ha, Endang Patibroto! Sejak muda andika telah memusuhi kami yang datang dari negeri Cola. Andika bahkan memusuhi pula Paman Wasi Bagaspati. Sudah kami katakan. Kami akan mundur dan pergi kalau di antara kalian ada yang mampu mengalahkan kami dalam pertandingan satu lawan satu. Engkau sendiri lebih baik mundur saja, Endang Patibroto karena engkau tidak akan becus mengalahkan kami!"

Ucapan ini amat memanaskan hati Endang Patibroto. Seperti telah kita kenal, Endang Patibroto adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak pernah merasa gentar melawan siapa saja. Maka mendengar tantangan yang meremehkannya itu, wajahnya berubah merah dan kedua matanya bersinar kilat! Ia mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba ia membentak,

"Wasi palsu, sambutlah seranganku ini!" Dan ia lalu mengeluarkan pekik melengking panjang yang amat dahsyat. Itulah pekik Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas lalu menerjang ke arah Wasi Shiwamurti dengan pukulan Gelap Musti yang hebat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan jari-jari tangan yang diisi Aji Pethit Naga! Hebat bukan main serangan Endang Patibroto ini. Udara di sekitar situ seolah tergetar dengan dikeluarkannya kedua aji pukulan yang amat ampuh ini.

Akan tetapi, Sang Wasi Shiwamurti dengan tenangnya menggerakkan tongkat kepala naga itu ke atas untuk menangkis pukulan Aji Gelap Musti dan Aji Pethit Naga itu.

"Wuuuuttt... bressss...!"

Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Endang Patibroto terpental ke belakang.

Tetapi wanita perkasa ini tidak roboh, melainkan berjungkir balik menjaga keseimbangan tubuhnya dan ia dapat hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya. Endang Patibroto menjadi marah dan kembali tubuhnya mencelat ke udara. Ia menggunakan Aji Bayutantra seperti menunggang angin melayang kembali ke arah lawan dan sekali ini ia menyerang dengan menggunakan pukulan Aji Wisangmolo dan mengandung hawa beracun. Serangan ini bahkan lebih ganas dari pada tadi.

"Pergilah!" Wasi Shiwamurti membentak dan kini dia menancapkan tongkat kepala naga di atas tanah, lalu menggunakan kedua tangan yang terbuka untuk menerima serangan Endang Patibroto dengan dorongan kuat.

"Wuuuuttt...desss...!" Kembali tubuh Endang Patibroto terpental lebih keras daripada tadi dan kembali Endang Patibroto harus menggunakan kelincahannya untuk membuat salto jungkir balik sampai tiga kali sebelum ia hinggap kembali ke atas tanah. Sekali ini wajahnya agak pucat karena hawa pukulannya tadi membalik dan membuat pernapasannya agak sesak.

"Keparat!" Ki Patih Tejolaksono tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat isterinya dikalahkan sedemikian mudahnya oleh Wasi Shiwamurti. Kekalahan isterinya di depan orang banyak itu pun membuatnya merasa terhina. Dalam kemarahannya Ki Patih Tejolaksono sudah mengerahkan Aji Triwikromo! Tubuhnya yang menjadi besar seperti raksasa itu menerjang ke depan dan dengan suara menggereng yang mengandung getaran kuat dia menyerang dengan pukulan Aji Bajra Dahono yang mengandung hawa panas membakar!

Itulah serangan yang amat dahsyat dan jarang ada orang yang akan mampu menahan serangan itu. Akan tetapi kembali Wasi Shiwamurti menyambut serangan dahsyat ini dengan dorongan kedua tangannya. Angin menyambar dahsyat dari kedua telapak tangannya itu, mengandung hawa dingin sekali.

"Wuuuutttt... desssss...!" Tubuh Wasi Shiwamurti melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi tubuh Ki Patih Tejolaksono terhuyung ke belakang sampai lima langkah dan mungkin dia akan terjengkang kalau saja tiba-tiba Retno Wilis tidak menahan punggung ayahnya itu dari belakang.

Ki Patih Tejolaksono tidak roboh, akan tetapi wajahnya juga pucat, tanda bahwa ia masih kalah kuat dibandingkan Wasi Shiwamurti.

"Wasi Shiwamurti jahanam, terimalah kematianmu!" Retno Wilis sudah mencabut pedang Sapudenta dan sekali melompat tubuhnya sudah melayang ke atas lalu menukik ke arah di mana Wasi Shiwamurti berdiri.

Menghadapi serangan pedang ini, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan diapun memutar tongkat kepala naga itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Trangggg...!"

Tampak bunga api berpijar-pijar dan tubuh Retno Wilis terpental ke belakang. Tapi begitu kakinya menginjak tanah, gadis perkasa ini sudah mencelat lagi ke atas dan kembali ia menyerang dengan pedangnya, kali ini lebih hebat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantamkan pedangnya ke arah kepala kakek itu.

"Retno Wilis, pergilah engkau!" Wasi Shiwamurti membentak dan tongkat kepala naga itu menangkis lagi dengan gerakan memutar.

"Cringggg...!" Beradunya kedua senjata sekali ini lebih dahsyat lagi dan akibatnya tubuh Retno Wilis terpental semakin jauh. la berjungkir balik sampai jauh dan ketika hinggap di atas tanah ia hendak menerjang lagi dengan nekat.

Akan tetapi sebuah tangan memegang lengannya. Ia segera menoleh dan melihat Bagus Seto yang memegang lengannya.

"Diajeng Retno Wilis, dia terlampau sakti untukmu. Biar aku yang maju menghadapinya," kata Bagus Seto dengan sikap tenang.

Retno Wilis mengangguk. Memang dari semula dara ini sudah maklum bahwa satu-satunya orang yang akan mampu menandingi Wasi Shiwamurti hanyalah kakaknya ini.

Dengan langkah tenang Bagus Seto maju menghampiri Wasi Shiwamurti. Ia memandang tajam wajah sang wasi dan berkata dengan sikap berwibawa namun lembut.

"Paman Wasi Shiwamurti, mengapa andika masih saja hendak membuat kekacauan? Apakah andika pikir bahwa perbuatan andika ini layak dan patut dilakukan seorang wasi seperti andika? Harap andika menyadari kesalahan dan pergi meninggalkan Nusa Jawa, kembali ke tempat asalmu dan menyudahi permusuhan yang tidak ada artinya ini."

Sepasang alis yang putih itu berkerut dan sepasang mata Wasi Shiwamurti mengeluarkan sinar berapi-api. Dia pernah dikalahkan pemuda ini dan di dasar hatinya dia masih belum mau menerima kekalahan itu. Walau pun kini dia memiliki orang andalan, yaitu kakak seperguruannya, namun dia masih penasaran dan ingin mencoba lagi mengadu kesaktian melawan pemuda berpakaian serba putih ini.

"Bagus Seto, hari ini aku datang untuk membalas kekalahanku terdahulu! Sambutlah tongkat kepala nagaku!" Berkata demikian, Wasi Shiwamurti lalu menyerang dengan tongkatnya. Terdengar suara bersiutan ketika tongkat itu menyambar ganas. Bagus Seto mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan kembali terulang pertandingan seperti yang terjadi di bukit daerah Blambangan itu.

Tongkat itu berubah menjadi sinar melayang-layang seperti seekor naga terbang, namun tubuh Bagus Seto seperti berubah menjadi bayang-bayang atau awan di mana naga itu bermain-main dan tidak pernah naga itu mampu menjamahnya. Bagus Seto sudah melolos kain pengikat kepalanya dan kini kain putih itu menyambar-nyambar bagaikan kilat yang keluar dari awan mendung.

"Tar-tar-tarrr...!" Kain pengikat kepala itu meledak-ledak dan Wasi Shiwamurti terhuyung-huyung ke belakang. Dia melompat jauh ke belakang dan tiba-tiba melontarkan tongkat kepala naga itu ke arah tubuh Bagus Seto yang masih melayang di atas. Bagus Seto menangkis dengan kain ikat kepalanya.

"Darrr...!"

Tongkat itu membalik seperti anak panah menuju ke arah dada Wasi Shiwamurti sendiri.

Sang wasi terkejut, cepat menangkap tongkatnya, akan tetapi dia terbawa terpelanting saking kuatnya luncuran tongkat itu. Bagus Seto sudah turun lagi ke atas tanah, berdiri dengan tenang dan waspada memandang lawannya.

"Adi Wasi Shiwamurti, mundurlah. Bocah ini harus aku yang menandinginya!" terdengar suara yang kecil tinggi seperti suara wanita dan Sang Wasi Shiwasakti sudah melangkah maju membawa tongkat bambu kuningnya. Telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Bagus Seto dan diapun berkata.

"Orang muda, semuda ini andika telah memiliki kesaktian yang memadai. Katakan lah siapa yang menjadi gurumu?"

"Paman Wasi Shiwasakti, guruku bernama Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta," jawab Bagus Seto dengan sejujurnya.

Kakek itu tampak terkejut.

"Wah, dia adalah adi seperguruan dari Ki Satyadarma? Pantas! Pantas andika memiliki ilmu yang tinggi dan sakti mandraguna. Akan tetapi sekali ini andika berhadapan dengan Wasi Shiwasakti! Maka, demi kebaikanmu sendiri, mundurlah dan jangan berani menandingi aku, Bagus Seto!"

"Paman Wasi Shiwasakti, bukan aku yang mencari permusuhan. Melainkan andika yang datang mencari keributan. Demi membela keluarga ayah bundaku, terpaksa aku memberanikan diri untuk menandingi andika!"

"Babo-babo, Bagus Seto. Kalau begitu, waspada dan bersiaplah untuk menerima Aji Suryo Dahono dariku!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah di sebelah kirinya, kemudian dia mengembang kan kedua tangannya dari kanan kiri, menyembah ke atas lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto.

Terdengar suara gemuruh dan tampak api keluar dari kedua telapak tangan itu, berkobar-kobar dan semakin membesar menerjang ke arah Bagus Seto. Dan di dalam kobaran api itu seperti tampak bentuk-bentuk yang mengerikan dari binatang-binatang aneh menyeramkan dan muka-muka raksasa berambut api! Dahsyat sekali serangan ini sehingga Retno Wilis, Endang Patibroto dan Tejolaksono memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Melihat serangan yang luar biasa ini, Bagus Seto tidak berani berlaku lengah. Cepat dia mengeluarkan setangkai bunga cempaka dari rambut kepalanya dan menimpuk ke arah api berkobar-kobar itu dengan bunga cempaka putih.

"Syuuuuttt... wirrrr...!" Api yang berkobar dan bergulung-gulung itu tertahan, tidak dapat maju dan bunga cempaka putih terpental kembali ke tangan Bagus Seto.

"Aji Surya Candra!" terdengar kakek itu berseru lagi dengan suara yang mengandung getaran penuh wibawa. Dia mendorongkan kedua tangannya dan kobaran api itu maju lagi, kini tampak dua cahaya yang menyilaukan mata, merah dan kuning mendorong kobaran api itu, seperti cahaya matahari dan cahaya bulan, dua inti tenaga yang dikerahkan oleh Wasi Shiwamukti!

Bagus Seto yang maklum akan kehebatan lawan, juga merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu, menggunakan Aji Mego Gemulung sehingga dari kedua telapak tangannya tampak awan bergulung-gulung menyambut kobaran api itu.

"Wuuuuttt... bressss...!"

Tubuh Bagus Seto terpental ke belakang. Dia tidak roboh, melainkan jatuh berdiri di dekat Ki Tejolaksono. Wajahnya agak pucat dan napasnya agak terengah.

"Bagaimana kulup?" tanya Ki Tejolaksono kepada puteranya.

Bagus Seto menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Kanjeng Romo, dia terlalu tangguh untuk dapat saya tundukkan."

Ki Tejolaksono menjadi bingung. Kalau Bagus Seto saja kalah, lalu siapa lagi yang dapat diajukan sebagai jago untuk menanggulangi Wasi Shiwasakti itu?

Wasi Shiwasakti tertawa, suara tawanya juga seperti suara tawa wanita.

"Hi-hi-hik, begitu saja kesaktianmu, Bagus Seto! Hayo, orang Panjalu, siapa lagi yang dapat menandingi aku Wasi Shiwasakti? Majulah!"

Ditantang begitu, Ki Patih Tejolaksono menjadi semakin gugup dan dia teringat sesuatu. "Siapa saja yang mampu mengalahkan dia, maka pinangannya terhadap puteriku akan aku pertimbangkan!"

Mendengar ini, Harjadenta yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan, hendak mencari jasa dan dia telah mencabut keris pusakanya, yaitu Ki Mengeng dan dia berseru, ”Paman Patih, perkenankan saya menandinginya!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat ke depan dengan keris di tangan.

Ki Tejolaksono tidak mencegah, namun dari sikap dan tindakan pemuda ini diapun tahu bahwa Harjadenta ternyata juga mencinta puterinya, Retno Wilis. Hal ini tentu saja sudah diketahui oleh Retno Wilis karena pemuda itu pernah menyatakan cinta kepadanya walau pun tidak ia tanggapi. Kini dara itu memandang dengan penuh kekhawatiran, la tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu. Kalau ia sendiri dan kakaknya tidak mampu menandingi Wasi Shiwasakti, apa pula pemuda dari Gunung Raung itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar