Sepasang Garuda Putih Jilid 23

”Jangan menangis, Saritem, dan jangan khawatir. Kalau Ki Blekok datang lagi dan hendak memaksamu menjadi isterinya di luar kehendakmu, nanti aku yang akan mencegah dan menegurnya. Tidak ada aturan yang membenarkan seseorang memaksa seorang wanita untuk menjadi isterinya di luar kehendak wanita itu!" kata Jayawijaya dengan suaranya yang lembut dan ucapan ini tentu saja merupakan hiburan besar bagi Saritem.

"Benarkah andika akan melakukan hal itu, kakangmas? Ahh, terima kasih sekali!" kata gadis itu dengan girang.

"Tentu saja kakang Jayawijaya akan melakukan hal itu. Dia seorang laki-laki sejati yang sekali berjanji pasti akan dipenuhi. Perkenalkanlah, Saritem. Dia ini kakang Jayawijaya dan aku adalah JokoWaras. Pekerjaan kami berdua memang menegakkan yang lurus dan meluruskan yang bengkok, membela kebenaran dan keadilan dan menentang yang tidak benar.”

"Ah... ah... terima kasih, kakangmas berdua. Sekarang aku akan menutup warung ini dan segera menemui kakang Saptoko untuk memberi-tahu kepadanya agar hatinya ikut pula menjadi tenang.”

"Mari kami bantu, Saritem!" kata Joko Waras dan dia pun telah membantu tanpa diminta.

Melihat ini, Jayawijaya terpaksa membantu juga. Pada mulanya Jayawijaya merasa tidak senang menyaksikan Joko Waras seperti bermanis muka dan merayu si gadis manis itu, akan tetapi melihat kesungguhan hatinya untuk membantu gadis itu dan kekasihnya, rasa tidak senangnya pun hilang. Dia percaya lagi bahwa teman barunya itu bukan golongan pemuda yang mata keranjang dan suka mengganggu wanita cantik…..

********************

Suara suling itu mengalun naik turun. Lengkingannya yang merdu itu mendendangkan tembang Megatruh yang mengiris kalbu dan mendatangkan rasa trenyuh bagi siapa yang mendengarnya. Suara suling bambu yang mendayu-dayu itu datang dari sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah yang padinya sedang tumbuh dengan suburnya, menjelang berbunga dan berbuah. Suara itu seperti rintihan yang memanggil-manggil jiwa Saritem.

Gadis ini tahu belaka siapa peniup suling bambu itu. Ia telah mengenal benar tiupan suling itu. Siapa lagi kalau bukan Saptoko yang pandai menyuling seperti itu. Lengkingan suara suling seperti mempercepat larinya di sepanjang pematang sawah, menuju ke gubuk yang diterangi sebuah-lampu minyak kelapa yang kecil. Akhirnya tibalah dia di dekat gubuk itu dan dengan hati penuh perasaan iba dia memandang sesosok tubuh yang rebah telentang di atas gubuk sambil meniup suling bambu.

Saptoko yang sedang asyik dibuai perasaannya sendiri yang hanyut oleh tiupan sulingnya, tidak mendengar dan tidak tahu bahwa gubuknya telah dihampiri orang. Dia meniup terus sampai selesai memainkan tembang Megatruh yang mendayu-dayu itu. Sesudah selesai memainkan tembang itu, dia bangkit duduk dan hendak meniup lagi tembang yang lain. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara merdu memanggilnya.

"Kakang Saptoko...!”

Saptoko menaruh sulingnya di dalam gubuk dan dia meloncat turun, menyambut gadis yang baru tiba.

"Saritem! Kenapa engkau menyusulku ke sini?”

"Kakang, engkau pergi dalam keadaan begitu terpukul, maka aku harus menemuimu dan membicarakan sesuatu denganmu." Saritem lalu menghampiri dan dia pun naik ke dalam gubuk lalu duduk di sebelahnya.

“Saritem, apa yang dapat dibicarakan lagi? Aku telah dikalahkan Ki Blekok, tidak berhasil melindungimu dan aku tidak tahu bagaimana aku harus melindungi nanti kalau Ki Blekok muncul. Aku seorang pria sejati, Saritem, dan aku akan mempertahankan kehormatanmu walau pun aku harus mati di tangan Ki Blekok. Akan tetapi apa yang terjadi? Hari ini aku kalah pula oleh seorang pemuda remaja yang berani menggodamu. Ahh, sudahlah, apa lagi yang dapat dibicarakan? Aku siap mati nanti kalau Ki Blekok muncul! Hanya jiwa dan kematianku yang dapat kupersembahkan kepadamu sebagai bukti cintaku.”

"Kakang Saptoko...!" Saritem merangkul leher pemuda itu dengan kedua tangannya dan menjatuhkan mukanya di dadanya.

Saptoko memeluknya dengan hati terasa sebesar gunung.

"Kakang Saptoko, terima kasih atas cintamu yang demikian besar kepadaku, akan tetapi dengarlah dulu, jangan berputus asa seperti itu, kakang. Dengarlah, orang yang kau kira menggodaku itu, pemuda yang masih remaja itu, dia adalah kakangmas Joko Waras dan sahabatnya bernama kakangmas Jayawijaya. Mereka sama sekali bukan orang jahat atau orang kurang ajar, kakang. Bahkan aku telah menceritakan semua tentang Ki Blekok dan mereka berdua sudah berjanji bahwa mereka yang akan menanggulangi kalau Ki Blekok datang hendak memboyongku ke dusunnya!"

"Saritem, bagaimana aku dapat menerima bantuan itu? Apa akan kata orang kalau aku mengandalkan dua orang asing untuk membantuku menghadapi Ki Blekok? Kehormatan dan harga diriku akan amblas, Saritem. Tidak, aku terpaksa menolak uluran tangan kedua orang asing itu dan dengan kaki tanganku sendiri aku akan menghadapi Ki Blekok sebagai seorang laki-laki sejati yang melindungi dan mempertahankan kekasihnya!”

Terdengar tepuk tangan menyambut ucapan yang gagah ini.

"Waduh gagahnya, seperti Raden Gatutkaca saja! Hebat, andika Saptoko. Akan tetapi apa arti semua kegagahan itu kalau tidak ada isinya? Apa artinya semua pengorbananmu, bahkan nyawamu, kalau akhirnya Saritem diboyong dan dipaksa menjadi isteri Ki Blekok? Harga diri dan kehormatan itu memang perlu bagi seorang lelaki sejati, akan tetapi kalau keterlaluan malah menjadi semacam keangkuhan yang sama sekali tidak ada manfaatnya bahkan merugikan diri sendiri!”

Saptoko melompat turun dari atas gubuknya dan dia berhadapan dengan Joko Waras dan Jayawijaya.

"Apa yang dikatakan adi Joko Waras itu benar, ki sanak. Pengorbananmu itu tidak ada artinya kalau kekasihmu tetap akan dipaksa menikah dengan orang lain," kata Jayawijaya dengan suaranya yang lembut.

"Akan tetapi bagaimana aku dapat menentang orang yang mengganggu Saritem dengan minta bantuan dua orang asing? Itu akan merendahkan kehormatanku.”

"Saptoko yang angkuh!" kata Joko Waras. "Baiklah, apa bila engkau merasa direndahkan kalau kami membantumu, kami tidak akan membantumu sama sekali. Kalau jahanam Ki Blekok itu berani datang di dusun ini, kami akan mengusirnya tanpa menyebut namamu. Kami akan membuat dia bertobat dan tidak akan berani memaksakan kehendaknya lagi. Dan ada lain jalan yang tidak akan menyinggung harga dirimu yang demikian mahal, yaitu kalau besok pagi-pagi engkau mau datang ke gubuk ini, aku akan menunggumu dan aku akan mengajarkan semacam ilmu yang dapat kau pergunakan untuk menundukkan Ki Blekok. Bagaimana pendapatmu?"

"Kakang! Aku sudah bilang. Mereka berdua adalah ksatria-ksatria yang berbudi. Terimalah penawarannya itu, kakang, demi aku!”

"Hemm, jalan itu memang baik sekali. Dan alangkah baiknya kalau aku sendiri yang dapat mengalahkan Ki Blekok. Baiklah, Joko Waras. Aku menerima uluran tanganmu dan besok pagi-pagi aku akan berada di tempat ini.”

"Bagus! Sekarang kami akan pergi mencari tempat menginap!"

Joko Waras menggandeng tangan Jayawijaya. "Mari kakang Jaya, kita pergi agar jangan sampai mengganggu keasyikan mereka!" kata Joko Waras dengan sikap jenaka sehingga sepasang muda-mudi yang ditinggalkan itu tersipu dan menjadi merah mukanya.

Malam itu dengan mudah Joko Waras dan Jayawijaya mendapat tempat untuk bermalam, di rumah kepala dusun yang sudah mendengar akan sepak terjang mereka. Kepala dusun sendiri merasa cemas dengan ancaman Ki Blekok dan diapun tidak berani menghadapi Ki Blekok yang jagoan, maka mendengar bahwa ada dua orang pemuda asing yang datang ke dusun itu dan bersedia menolong, dengan senang hati dia menawarkan tempat untuk bermalam bagi kedua orang pemuda itu.

"Kakang Jayawijaya, aku mempunyai kebiasan buruk sekali yang sudah kubiasakan sejak kecil, yaitu aku tidak dapat tidur dalam satu pembaringan dengan orang lain. Karena itu biarlah engkau tidur di pembaringan itu dan aku akan tidur di lantai saja.”

Jayawijaya yang lembut hati itu tentu saja menolak dengan keras. "Itu tak adil, Joko. Aku yang lebih tua, maka sudah sepatutnya aku yang mengalah. Aku sudah terbiasa tidur di tempat yang dingin. Di Tengger sana aku dapat tidur di lantai tanah, apa lagi di sini yang hawanya tidak begitu dingin. Tidurlah di atas, adi Joko dan aku akan tidur di bawah.”

"Terima kasih, kakang Jaya, engkau memang seorang kakak yang baik hati sekali." Joko Waras memberi hadiah senyuman yang manis.

Pada esok harinya Jayawijaya menyentuh kaki Joko Waras dan mengguncang tubuhnya. "Adi Joko, ayam telah berkokok. Ingat akan janjimu kepada Saptoko!”

Joko Waras menggeliat seperti seekor kucing lalu bangkit dan tersenyum.

"Enak sekali tidurku tadi malam," katanya dan dia lalu cepat pergi ke sumur di belakang rumah untuk membersihkan diri dan sudah siap berangkat.

Tanpa mengganggu keluarga Lurah mereka berdua lalu meninggalkan rumah itu dan menuju ke sawah di luar dusun. Di gubuk yang semalam, mereka menemukan Saptoko telah duduk menanti dan dia segera meloncat turun ketika melihat mereka berdua.

“Ilmu apa yang akan andika ajarkan kepadaku, adimas Joko Waras?" tanya Saptoko dengan sikap ramah setelah semalam dia mempertimbangkan segalanya dan disadarkan oleh Saritem bahwa dia telah bersikap terburu nafsu terhadap dua orang muda penolong itu.

"Adi Joko yang akan mengajarkan ilmu kepadamu, aku sendiri tidak bisa apa-apa," kata Jayawijaya.

"Kakang Saptoko, sebelum aku menentukan ilmu apa yang akan kuajarkan, aku ingin bertanya dulu sampai di mana tingginya ilmu kepandaian Ki Blekok itu. Bagaimana kalau dibandingkan dengan ilmu silatmu?”

Saptoko tersipu. "Sebetulnya selisihnya tidak berapa banyak, hanya aku kalah dalam hal tenaga, juga kecepatan. Pertandingan kami berlangsung seru, tetapi akhirnya aku kalah.”

Joko Waras tersenyum.

”Ahh, sepele kalau begitu. Hanya menang sedikit di atas tingkat Saptoko. Dan apakah dia menggunakan senjata?"

"Ketika bertanding denganku dia tidak menggunakan senjata, akan tetapi andai kata dia yang terdesak tentu dia akan mencabut kerisnya yang besar dan panjang."

"Bagus! Kalau begitu aku akan mengajarkan padamu bagaimana cara melawan kerisnya dan mengalahkannya.”

Saptoko tertegun. "Mengalahkan kerisnya? Dengan senjata apa?”

"Dengan senjatamu yang paling ampuh, yaitu sulingmu itu. Mana sulingmu yang kemarin sore engkau tiup dengan indahnya itu?”

Saptoko makin heran. "Sulingku? Akan tetapi, adimas. Sulingku itu hanya sebatang suling bambu. Bertemu tangan saja dapat patah dan remuk, apa lagi bertemu keris!”

"Hemm, engkau agaknya masih belum percaya padaku. Ambil sulingmu!”

Saptoko mengambil suling itu dari dalam gubuk kemudian menyerahkannya kepada Joko Waras. Sebatang suling bambu yang panjangnya setengah lengan.

"Apakah di sini engkau memiliki senjata tajam?"

Saptoko menggeleng kepala. "Bukan senjata, hanya sebatang arit.”

"Bagus, ambillah arit itu.”

Arit diambil dan Joko Waras lalu berkata, "Sekarang gunakan arit itu untuk menyerangku, akan kuperlihatkan bagaimana sebatang suling bambu dapat mengalahkan sebatang arit!”

Karena masih belum dapat percaya, Saptoko lalu mau mencobanya.

"Lihat seranganku!" teriaknya sambil mengayunkan arit itu menyerang, dengan cepat dan kuatnya karena ia memperhitungkan kalau pemuda remaja itu menangkis dengan suling, tentu suling bambu itu akan hancur diterjang aritnya.

Akan tetapi arit itu hanya mengenai tempat kosong dan tiba-tiba saja suling itu meluncur, ujungnya mengenai sambungan siku kanan dan seketika tangannya menjadi kaku dan arit itu pun terlepas!


"Nah, kau lihat?" Joko Waras meyakinkan.

Saptoko menjadi bengong, namun dia masih belum puas. "Kekalahanku demikian mudah karena aku yang lengah. Apa bila aku berhati-hati sehingga sikuku tidak terkena sodokan suling, tentu aku belum kalah dan kalau suling itu menangkis arit, tentu sulingnya yang menjadi remuk," katanya.

"Engkau masih belum yakin bahwa sulingmu dapat mengalahkan keris lawan? Tidak baik sekali kalau engkau belum yakin, itu akan melemahkan dirimu sendiri. Sekarang coba lagi. Ambil aritmu dan serang aku lagi sesukamu.”

Saptoko mengambil aritnya dan kembali dia berseru, "Awas serangan!"

Kini dia menyerang dengan hati-hati dan aritnya menyambar-nyambar ganas. Tetapi Joko Waras dengan lincah mengelak ke sana sini dan sulingnya menyambar-nyambar dengan ganasnya dan kadang suling itu menangkis arit, mengeluarkan bunyi nyaring akan tetapi sama sekali tidak pecah atau rusak ketika bertemu arit, bahkan Saptoko merasa lengan kanannya tergetar hebat.

Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba suling itu menotok dua kali, sekali mengenai pundak kanan Saptoko dan yang kedua kali mengenai lambung. Maka tanpa dapat dicegah lagi tubuh Saptoko terpelanting jatuh, sekali lagi aritnya terlepas dari tangan.

Setelah untuk kedua kalinya kalah, Saptoko baru yakin bahwa ilmu silat dengan suling itu hebat sekali maka diapun bangkit lalu membungkuk kepada Joko Waras.

"Waduh, hebat bukan main ilmu silat suling itu, adimas Joko. Akan tetapi apakah dalam beberapa hari ini saja aku akan dapat memainkannya dengan baik?"

"Tentu saja dapat asal engkau menaati semua pesanku," kata Joko Waras.

Dan di tempat itu pula mulailah Joko Waras mengajarkan ilmu silat dengan suling kepada Saptoko, juga cara dia menghimpun tenaga sakti hingga gerakan sulingnya mengandung tenaga yang dahsyat. Memang pada dasarnya Saptoko memiliki bakat yang baik sekali dan dia telah memiliki dasar ilmu silat yang cukup tinggi maka tidak terlalu sukar bagi Joko Waras untuk menurunkan ilmu lagi kepadanya.

Sementara itu, Jayawijaya hanya menonton saja dan dia merasa semakin kagum kepada Joko Waras yang masih demikian muda namun telah memiliki kedigdayaan yang tinggi. Jayawijaya sendiri tidak suka mempelajari aji kesaktian atau ilmu kedigdayaan. Sejak kecil dia digembleng oleh ayahnya di Tengger supaya tidak mempergunakan kekerasan dalam menghadapi segala sesuatu, tapi menghadapinya dengan kelembutan dan kebijaksanaan.

Kalau dia terancam bahaya, dia merasa terlindungi oleh Kekuasaan Hyang Widhi dan dia selalu menyerah dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Baginya sudah menjadi kepercayaan yang bulat dan mendalam lahir batin bahwa tidak ada apapun atau siapapun akan bisa mecelakainya selama Hyang Widhi melindunginya. Dia seolah selalu berlindung di bawah bayang-bayang Kekuasaan Hyang Widhi dengan penuh iman dan penyerahan sehingga selalu merasa aman dalam keadaan apapun, aman seperti bayi yang berada di dalam gendongan Ibunya.

Akan tetapi Jayawijaya kagum pada Joko Waras karena pemuda remaja ini menggunakan semua aji kedigdayaan yang dimilikinya itu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan menentang yang jahat.

Selama lima hari lima malam, hampir tak pernah berhenti, Saptoko melatih dirinya dengan ilmu silat sulingnya di bawah bimbingan Joko Waras dan setelah lewat lima hari, hati Joko Waras telah merasa puas dan diam-diam dia memuji "muridnya" yang berbakat dan amat tekun itu.

Hari yang dinanti-nanti tiba. Pagi hari itu warung Saritem sudah penuh pemuda, bahkan yang tidak biasa jajan di situ, hari itu memerlukan datang untuk melihat apa yang akan dilakukan Ki Blekok terhadap gadis penjual nasi yang manis itu. Bahkan Ki lurah sendiri juga datang, hanya tidak langsung memasuki warung itu melainkan menonton dari sebuah rumah seorang penduduk yang tidak berapa jauh dari warung nasi itu.

Setelah matahari naik tinggi dan semua orang yang datang ke warung nasi sudah sarapan pagi, muncullah orang yang ditunggu-wnggu, yaitu Ki Blekok!

Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan jalannya seperti seekor singa kelaparan, sinar matanya tajam dan penuh keangkuhan, jenggotnya sekepal sebelah dan setiap gerak geriknya menunjukkan bahwa dia seorang jagoan tulen! Pada pinggangnya terselip sebatang keris yang panjang dan besar dan kepalanya memakai ikat kepala wulung.

Dengan sikap congkak dia berjalan di depan, pakaiannya serba baru dan di belakangnya dia diikuti oleh belasan orang yang di antaranya ada yang membawa sebuah joli. Agaknya dia benar-benar datang hendak mengangkut atau memboyong Saritem untuk dijadikan isterinya. Karena dia yang menjadi pimpinan berlagak sombong sekali, maka belasan orang bawahannya juga bersikap sombong semua.

Setelah tiba di depan warung nasi, Ki Blekok berteriak dari luar warung dengan suaranya yang parau dan lantang.

"Heii, diajeng Saritem, apakah engkau sudah siap untuk kuboyong ke Benang? Kenapa warung nasimu masih juga dibuka?”

Orang-orang muda yang tadinya duduk di dalam warung sudah keluar semua dan mereka berdiri di tempat yang cukup aman. Mereka semua memandang kepada Ki Blekok dan rombongannya dengan sikap takut-takut. Karena tidak mendapatkan jawaban, Ki Blekok mengerutkan alisnya yang tebal dan dengan langkah tegap diapun menghampiri warung nasi itu dan memasukinya.

Warung itu nampak sepi. Saritem duduk di belakang meja dagangannya seperti biasa dan dia hanya mengangkat muka memandang tanpa rasa takut sedikitpun kepada Ki Blekok! Dan di sebelah wanita cantik itu duduk seorang laki-laki yang bukan lain adalah Saptoko.

Tentu saja Ki Blekok menjadi marah. Dia sudah tahu bahwa Saptoko mengaku sebagai kekasih Saritem dan pemuda itu pernah dihajarnya. Sekarang pemuda itu masih berani duduk di samping Saritem dan tidak mempedulikan kedatangannya.

Ki Blekok maju selangkah sehingga mendekati meja dagangan Saritem dan memandang kepada gadis itu dengan kumis bergerak-gerak dan mata terbelalak, lalu membentak,

"Saritem! Hayo cepat keluar dan masuk ke joli yang sudah kusediakan untukmu!"

"Ki Blekok, sejak kapan engkau menganggap aku sebagai calon isterimu? Aku tak pernah menerima pinanganmu dan aku tidak suka menjadi isterimu. Jangan ganggu aku dan pergilah dari sini," kata Saritem dan suaranya sedikitpun tidak menunjukkan sikap gentar.

"Brakk...!” Ki Blekok menghantam meja dengan telapak tangannya dan ujung meja tebal itu menjadi remuk.

"Keluar dan masuk joli atau aku akan meruntuhkan warung nasi ini dan akan memaksamu dan menyeretmu keluar!”

"Hem, sungguh sikap yang amat tidak patut!" terdengar seruan halus.

Ki Blekok cepat memutar tubuhnya dan baru melihat bahwa di ujung bangku panjang di sebelahnya duduk dua orang pemuda, yang seorang adalah pemuda remaja yang tengah memandangnya dengan sikap mengejek dan senyum cengar-cengir, sedangkan yang tadi menegurnya adalah seorang pemuda ganteng yang bersikap lembut.

"Apa katamu?!" bentak Ki Blekok menghadapi dua orang pemuda yang masih duduk di bangku itu. Dia marah sekali melihat ada orang berani menegurnya.

"Ki sanak, aku mengatakan bahwa sikapmu ini benar-benar tidak patut dan aku hendak mengingatkanmu bahwa perbuatan yang tidak patut tentu akan berakibat buruk terhadap pelakunya sendiri. Engkau akan memetik buah dari pada pohon yang kau tanam sendiri, karena itu tanamlah pohon yang berguna dan baik demi kebaikanmu sendiri.”

"Apa pedulimu dengan perbuatanku, setan alas!" Ki Blekok memaki dan sekali tangannya bergerak, bangku yang diduduki dua orang pemuda itu telah ditendangnya.

Joko Waras dapat meloncat sebelum tendangan tiba, akan tetapi Jayawijaya terpelanting jatuh. Akan tetapi dia bangkit berdiri lagi dan menghadapi Ki Blekok dengan sikap sedikit pun tidak merasa takut.

"Ki sanak, kuperingatkan sekali lagi. Kalau engkau melanjutkan perbuatanmu memaksa Saritem menjadi isterinya, engkau akan menyesal kelak. Bertobatlah sekarang sebelum terlambat!”

"Keparat kau! Sudah bosan hidup rupanya!" Ki Blekok mengepal tangan kanannya dan melontarkan pukulan yang keras sekali ke wajah Jayawijaya.

Akan tetapi pada saat itu, mangkok yang terisi penuh sambal pecel telah melayang dan tepat mengenai mukanya. Tentu saja ini perbuatan Joko Waras.

"Eh, aup... aduh pedas...!” Ki Blekok megap-megap dan mendesis-desis karena matanya yang kemasukan sambal pecel terasa pedas dan panas bukan main.

Sambil meraba-raba dia lalu keluar dari warung nasi itu. Teman-temannya segera datang menolongnya. Ada yang membersihkan mukanya dari sambal pecel dan ada pula yang mencari air bersih untuk mencuci muka dan matanya. Akhirnya Ki Blekok dapat melihat lagi. Mukanya menjadi kemerahan dan dia sudah bertolak pinggang dan mengamangkan kerisnya ke arah warung sambil membentak.

"Eh, ki sanak yang berada di warung. Kalau engkau memang seorang laki-laki, keluarlah dan tandingilah aku, Ki Blekok dari dusun Benang! Jangan berbuat curang seperti seorang perempuan!”

Suasana menjadi tegang dan hening setelah dia mengeluarkan tantangan itu dan semua mata ditujukan ke arah warung itu untuk melihat siapa yang akan keluar untuk melawan Ki Blekok yang sudah mencabut kerisnya itu. Segera semua orang terbelalak heran dan juga khawatir saat melihat Saptoko keluar dari warung itu dengan langkah satu-satu dan sikap yang tenang sekali, sebatang suling bambu terselip di pinggangnya. Di belakangnya, agak jauh, keluar pula Joko Waras dan Jayawijaya, juga Saritem ikut keluar dan memandang dengan sinar mata penuh kekhawatiran kepada kekasihnya.

"Ki Blekok! Kalau kedatanganmu untuk memaksa Saritem menjadi isterimu, akulah yang melarangmu dan akulah yang akan menandingimu!" kata Saptoko dengan kedua kaki dipentang lebar dan kedua lengan terlipat di depan dada, pandang matanya bersinar-sinar tertuju ke arah Ki Blekok.

Semua orang merasa heran dan juga khawatir. Sudah jelas bahwa beberapa hari yang lalu Saptoko tidak mampu melawan Ki Blekok dan dihajarnya, padahal ketika itu Ki Blekok hanya menggunakan tangan kosong belaka. Sekarang Ki Blekok memegang keris pusaka dan Saptoko hendak maju menandinginya? Seperti mencari mati!

"Hua-ha-ha-ha-ha! Andika yang bernama Saptoko itu, bukan? Tempo hari aku masih menaruh kasihan padamu dan tidak membunuhmu. Sekarang andika berani menantangku lagi? Ingatlah baik-baik, orang muda. Aku adalah Ki Blekok, juara dari dusun Benang, gemblengan yang sakti mandraguna. Kalau andika maju lagi sekali ini andika tentu akan mati karena aku tidak pernah mau memberi ampun untuk kedua kalinya!”

"Wah-wah-wah, sumbarnya seperti dapat menggugurkan Mahameru! Padahal baru kena sambal pecel saja sudah berkaok-kaok seperti kerbau disembelih. Ini yang namanya juara dan pendekar sambal pecel, sombongnya kepati-pati akan tetapi tak ada artinya, gentong kosong dipukul nyaring!" tiba-tiba Joko Waras mengejeknya dan semua orang mau tidak mau tersenyum karena teringat akan peristiwa tadi ketika Ki Blekok disiram sambal pecel mukanya.

"Jahanam keparat! Jadi engkau anak kecil yang tadi melemparku dengan sambal pecel? Mari, kubunuh dulu engkau baru yang lain!" kata Ki Blekok.

Ia sudah hendak mengejar Joko Waras, akan tetapi Saptoko cepat menghadangnya. "Ki Blekok, karena urusanmu mengenai Saritem, maka tidak ada orang lain kecuali akulah lawanmu. Saritem adalah milikku, calon isteriku, dan akulah yang akan mempertahankan kehormatannya!”

Kini kemarahan Ki Blekok telah mencapai puncaknya, apa lagi karena ejekan Joko Waras tadi. Keris di tangannya gemetar saking marahnya dan dia memandang Saptoko dengan mata seakan hendak menelannya bulat-bulat.

"Saptoko, sekarang engkau mampus!" Dia segera membentak dan seperti seekor biruang dia sudah menubruk dan menyerangkan kerisnya ke arah dada Saptoko.

Saptoko mengelak ke belakang sambil mencabut sulingnya, kemudian sambil menggeser langkahnya ke samping dia sudah mengayun sulingnya menusuk ke arah leher lawan. Melihat pemuda itu mempergunakan sebatang suling menusuk lehernya, Ki Blekok hanya menyampok dengan tangan kirinya dan dia melangkah mundur sambil tertawa.

"Heh, Saptoko, apa engkau sudah menjadi gila? Engkau hendak melawan kerisku dengan sebatang suling bambu? Ha-ha, engkau membuat aku menjadi malu! Gantilah senjatamu itu, aku segan membunuh orang yang tidak memegang senjata!”

"Babo-babo, Ki Blekok. Biar pun aku hanya menggunakan sebatang suling, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menang dariku. Majulah, aku akan menandingimu!”

"Hemm, jangan salahkan aku kalau lehermu kutebas berikut sulingmu!" bentak Ki Blekok dan diapun menyerang lagi, kini lebih hebat dari tadi, mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkan saingannya ini secepat mungkin agar dia dapat segera memboyong Saritem ke dusunnya di mana sudah dipersiapkan pesta pengantin.

Akan tetapi pemuda itu bergerak cepat mengelak dan kadang menangkis kerisnya namun suling itu sama sekali tidak menjadi remuk atau patah. Bahkan belasan jurus kemudian ujung suling sudah menyerempet urat nadinya, membuat dia hampir melepaskan kerisnya dan selagi dia kaget, sebuah tendangan kaki Saptoko mengenai perutnya.

"Bukk!"

Tubuh Ki Blekok terpental ke belakang akan tetapi dia tidak jatuh malah menyerang lebih dahsyat karena dia mendengar orang memuji kemenangan Saptoko itu.

Saptoko memainkan ilmu silat sulingnya seperti yang diajarkan Joko Waras. Akan tetapi karena dia baru berlatih selama lima hari, tentu saja gerakannya belum mahir benar. Melihat kekurangan ini, Joko Waras diam-diam mengambil sebuah batu kerikil dan sekali menyentil dengan batu kerikil itu, melesatlah kerikil itu dan tepat mengenai bawah telinga kiri Ki Blekok. Tak seorang pun mengetahui akan hal ini dan Ki Blekok tiba-tiba menjerit dan mengaduh lalu tubuhnya terhuyung.

Kesempatan ini segera digunakan oleh Saptoko untuk menotokkan ujung sulingnya pada tekukan siku dari lawan. Tak dapat dicegah lagi, keris itu pun terlempar jatuh dan tangan kiri Saptoko, memukul, mengenai leher Ki Blekok dan betapapun kuatnya tubuh Ki Blekok, dia terjungkal juga.

Terdengar sorak sorai para pemuda dusun Lentur yang bangkit kembali semangatnya setelah melihat kemenangan mutlak Saptoko atas diri Ki Blekok sehingga timbul kembali keberanian mereka. Akan tetapi Ki Blekok merangkak bangun, mengambil kerisnya dan memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mengeroyok Saptoko.

"Hei, jangan main keroyok. Itu tidak adil!" teriak Jayawijaya.

Akan tetapi Joko Waras sudah melompat ke depan dan berkata kepada para pemuda dusun Lentur.

"Wahai para pemuda dusun Lentur! Apakah kalian akan tinggal diam saja melihat Kakang Saptoko dikeroyok? Hayo maju!" Dan dia sendiri sudah maju lalu kaki tangannya bergerak merobohkan dua orang pengeroyok! Ketika dilihatnya Ki Blekok dengan keris di tangan hendak mengeroyok Saptoko pula, Joko Waras segera melompat ke depannya kemudian menjulurkan lidahnya.

“Ki Blekok pendekar sambal pecel, tidak malukah engkau mengeroyok?”

Melihat pemuda remaja ini mengejeknya, Ki Blekok lalu menubruk dengan kerisnya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa Saptoko yang telah mengalahkannya adalah "murid" lima hari pemuda remaja ini. Tubrukannya mengenai tempat kosong dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, kerisnya sudah berpindah tangan karena tangan kanannya menjadi lumpuh.

Joko Waras menggunakan keris itu untuk mencoret dua kali ke arah muka Ki Blekok. Ki Blekok menjerit. Mukanya digores ujung keris dua kali sehingga tergores dan berdarah. Kemudian di depan matanya yang terbelalak ketakutan, ia melihat betapa pemuda remaja itu mematah-matahkan kerisnya dengan jari-jari tangannya yang kecil lalu melemparkan patahan-patahan keris itu ke atas tanah. Dia melihat pula bahwa teman-temannya kini berbalik dikeroyok banyak sekali pemuda Lentur. Melihat pihaknya mengalami kekalahan, Ki Blekok lalu memekik sambil mendesis kesakitan karena mukanya terasa pedih sekali.

"Kawan-kawan, lari...!”

Ki Blekok dan kawan-kawannya lari lintang pukang, meninggalkan jolinya yang segera dihancurkan para pemuda di situ. Para pemuda itu bersorak gembira melihat kemenangan di pihak mereka dan mereka memuji-muji Saptoko. Biar pun Saptoko merasa bangga dan harga dirinya seolah kembali terangkat, akan tetapi kini dia menyadari tidak ada gunanya berbangga diri, maka dia lalu berkata,

"Kawan-kawan, dengarkan dulu ceritaku!”

Suara gaduh dari semua orang itu terhenti dan semua orang memandang pada Saptoko yang menggandeng tangan Saritem.

"Kawan-kawan, kalian tentu merasa heran kenapa sekarang aku dapat menang melawan Ki Blekok. Semua ini berkat pertolongan adimas Joko Waras dan kakangmas Jayawijaya, dua orang penolong dan penyelamat kita. Mari kita menghaturkan terima kasih kepada mereka!”

Akan tetapi ke manapun mereka semua mencari-cari, dua orang pemuda itu telah lenyap. Agaknya Joko Waras telah dapat menduga apa yang akan dilakukan Saptoko, maka dia telah menarik tangan Jayawijaya kemudian diajak pergi secepatnya dari tempat itu tanpa diketahui siapapun.

Biar pun kedua orang penolongnya itu sudah tidak ada, Saptoko menceritakan semua pengalamannya kepada mereka. Dia sekarang menjadi seorang yang rendah hati, tidak angkuh lagi sehingga semua orang semakin menyukainya dan mengangkatnya sebagai pemimpin para pemuda. Dan sejak saat itu, dusun Lentur menjadi dusun yang terkenal kuat pemudanya, tidak mudah orang dari lain tempat berlaku sewenang-wenang di situ. Saritem juga segera menikah dengan Saptoko, dirayakan orang sedusun…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar