Sepasang Garuda Putih Jilid 22

Sebagai seorang pemuda remaja dusun yang lincah, tidak ada orang yang mencurigai Joko Waras. Di mana-mana dia diterima dengan baik sebagai seorang perjaka yang ramah dan juga pandai membawa diri. Jika malam tiba dia bermalam di rumah penduduk yang hanya hidup berdua dengan isterinya sehingga dia mendapat tempat tidur tersendiri. Kalau siang Joko Waras melakukan perjalanan menuju ke kadipaten Blambangan dan di sepanjang perjalanan dia mencari keterangan tentang keadaan kadipaten Blambangan.

Di dalam perjalanannya ini Joko Waras melihat bahwa di dusun-dusun yang dilewatinya banyak dibangun candi-candi kecil yang baru, di mana hanya terdapat arca Shiwa-Durgo-Kala. Kalau teringat akan perbuatan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, rasanya dia ingin menghancurkan candi-candi itu. Akan tetapi ia teringat akan pesan kakaknya bahwa dia tidak boleh mencari keributan. Pula, apa salahnya candi-candi itu? Itu hanya tempat pemujaan, dan orang boleh memuja dewa mana saja asalkan dalam pemujaan itu tidak mengganggu orang lain.

Iapun beberapa kali melihat rombongan prajurit Blambangan menghadang dan memeriksa orang-orang yang berlalu lalang, menanyai mereka, ada pula yang menggeledah kalau-kalau mereka menyimpan senjata. Ia sendiri yang bersikap wajar seperti seorang pemuda dusun yang masih muda, lolos dari kecurigaan. Pernah pula dia ditanyai mereka seperti seorang pesakitan,

"Siapa namamu?”

"Namaku Joko Waras. Ketika masih bayi sakit-sakitan maka lalu namaku diubah menjadi Joko Waras dan sejak itu aku waras terus, tidak pernah sakit," katanya dengan suara lemah akan tetapi nadanya kasar seperti biasa sikap dan kata-kata seorang dusun yang tidak terpelajar.

"Apa pekerjaanmu?”

"Penggembala kerbau atau sapi. Semenjak kecil aku telah berpengalaman menggembala kerbau atau sapi. Kalau andika membutuhkan penggembala yang baik, aku bersedia...”

"Sudah, pergi sana! Jangan banyak cerewet!" hardik seorang penanya dan Joko Waras bergegas pergi sambil menyeringai.

Akan tetapi pada suatu pagi ketika dia tiba di suatu dusun yang sudah masuk perbatasan Blambangan, dusun yang cukup ramai, dia melihat banyak sekali orang berkumpul dan mereka itu sedang diperiksa oleh serombongan prajurit Blambangan yang dipimpin seorang senopati yang bertubuh tinggi kurus dengan pandang mata yang tajam bersinar-sinar.

Di antara banyak orang yang dihentikan perjalanan mereka itu terdapat tiga orang wanita muda yang cantik manis. Melihat tiga orang wanita itu, senopati yang tinggi kurus segera berkata,

"Biarkan aku yang memeriksa mereka. Siapa tahu di antara mereka terdapat orang yang kita cari.”

Senopati itu adalah Kurdolangit, senopati Blambangan berusia lima puluh tahun yang terkenal sakti, akan tetapi juga terkenal mata keranjang. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, tapi sepasang matanya menunjukkan kecerdikan dan kepandaiannya.

Senopati Kurdolangit duduk di atas bangku kemudian menggapai tiga orang gadis itu. Setelah menanyakan nama mereka, tempat tinggal mereka, dia lalu menggeledah tubuh tiga orang gadis itu, menggerayangi dengan jari-jari tangannya secara kasar dan kurang ajar sekali. Tentu saja tiga orang gadis dusun itu merintih dan menjerit kecil ketika diperlakukan seperti itu.

Tiga orang laki-laki setengah tua, ayah dari para gadis itu, melangkah maju mendekat dan mohon kepada Senopati Kurdolangit untuk melepaskan tiga orang puteri mereka. Namun Kurdolangit menjadi marah mendengar permohonan ini,. Dia bangkit berdiri dan tiga kali tubuhnya bergerak, tiga orang laki-laki itu telah ditamparnya dan mereka terpelanting dan terbanting keras. Pipi mereka menjadi bengkak oleh tamparan tadi.

“Jangan mencampuri urusanku, atau kalian akan kuhukum mati! Aku sedang menjalankan tugas dan siapa pun yang kucurigai akan kugeledah. Tak seorang pun boleh mencegah!" Dan kembali tangannya dengan nakal menggerayangi tubuh ketiga orang gadis itu yang menggeliat-geliat sambil merintih.

Mendadak seorang laki-laki keluar dari rombongan orang dusun itu. Joko Waras melihat laki-laki itu masih muda, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, pakaiannya sederhana tetapi wajahnya tampan dan terutama sekali matanya demikian terang dan mengandung wibawa. Pemuda tampan itu bukan lain adalah Jayawijaya, pemuda dari pegunungan Tengger itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini telah berpisah dari Endang Patibroto setelah dia ditolong oleh wanita sakti itu.

Pada pagi hari itu perjalanannya sampai di tempat itu. Dia pun telah mendengar bahwa di banyak tempat diadakan pencegatan dan pemeriksaan oleh pasukan Blambangan dan kadang pemeriksaan itu dilakukan dengan sewenang-wenang. Kini Jayawijaya melihat dengan mata kepala sendiri perlakuan yang kurang ajar dari Kurdolangit terhadap tiga orang gadis itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan segera menghampiri senopati Kurdolangit yang tinggi kurus bermuka seperti tengkorak itu.

"Begitukah cara memeriksa wanita? Sungguh tidak sopan dan kurang ajar sekali, tidak patut dilakukan seorang senopati, pantasnya dilakukan seorang anggota perampok jahat!” Jayawijaya berkata demikian sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka senopati itu.

Kurdolangit terbelalak dan mukanya berubah merah. Dia dimaki seorang pemuda di depan umum! Dia menghentikan pemeriksaannya, mendorong tiga orang gadis itu ke luar dari tempat pemeriksaan, kemudian bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang pada Jayawijaya dengan mata melotot.

"Kau bilang apa?”

Agaknya Jayawijaya tidak tahu bahwa senopati itu marah sekali. Ia berkata dengan tegas. "Aku bilang bahwa engkau melakukan pemeriksaan terhadap wanita secara kurang ajar dan tidak sopan sama sekali. Tidak tahu malu!”

"Jahanam, apakah engkau telah bosan hidup?" bentak Kurdolangit dengan muka berubah kemerahan seperti udang direbus.

Joko Waras melihat betapa senopati itu marah sekali dan dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pemuda tampan itu terlihat pemberani bukan main dan tentu pemuda itu memiliki kepandaian yang dapat diandalkan maka ia berani menegur seorang senopati seperti itu.

Kurdolangit yang sudah tidak dapat menahan rasa malunya dimaki orang di depan umum, sudah menerjang maju dan kedua tangannya yang kurus panjang itu menyambar ke arah kepala Jayawijaya. Pemuda ini agaknya tidak tahu bahwa dia diserang, dia berdiri tenang-tenang saja sambil memandang senopati itu dengan sepasang matanya yang mencorong penuh wibawa dan kelembutan.

Kedua tangan itu menyambar ke arah kepala dengan tenaga yang dahsyat. Akan tetapi, tiba-tiba kedua tangan itu seperti bertemu dengan tenaga yang tidak tampak dan tubuh Kurdolangit terpelanting roboh!

Joko Waras terbelalak! Pemuda itu ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Kalau tadinya dia sudah bersiap untuk membantu agar pemuda yang pemberani itu tidak sampai celaka, kini diapun hanya menonton saja dengan terheran-heran. Pemuda itu seolah tidak pernah merobohkan orang dan berdiri dengan sikap masih tenang saja.

Kurdolangit yang merasa betapa pukulan kedua tangannya tadi seperti bertemu dengan tenaga dahsyat yang membuatnya terpelanting, menjadi semakin malu dan marah. Dia melompat bangkit kembali dan sudah mencabut sebatang kerisnya yang panjang dan dahsyat.

"Bocah kurang ajar! Engkau minta mati!" bentak Kurdolangit dan kini dia menggerakkan kerisnya dengan tangan kanan, menusuk ke arah dada Jayawijaya dengan keris yang besar panjang itu.

Sekarang Joko Waras memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diserang itu. Dia melihat betapa pemuda itu tidak membuat gerakan menangkis atau pun menghindar, melainkan mengangkat kedua tangannya ke atas seperti orang hendak menyembah dan terjadilah keanehan yang kedua kalinya. Keris itu seperti bertemu dengan tangkisan kuat sekali dan membalik, melukai lengan kiri Kurdolangit sendiri.


Senopati ini terhuyung mundur sambil memegangi lengannya yang berdarah. Kurdolangit masih penasaran walau pun lengan kanannya telah mengucurkan darah terkena kerisnya sendiri. Dia bangkit lagi dan menubruk dengan kerisnya, sekarang serangannya dilakukan dengan tenaga sepenuhnya sambil menggereng seperti seekor harimau terluka!

Joko Waras mengamati lagi dengan penuh kewaspadaan. ia melihat pemuda itu hanya membuat gerakan seperti mendorong ke depan dan tubuh senopati itu terpelanting seperti layang-layang putus talinya, terbanting jatuh dan bergulingan sampai jauh!

Tanpa malu-malu lagi Ki Kurdolangit cepat memberi aba-aba kepada anak-buahnya yang belasan orang banyaknya untuk melakukan pengeroyokan kepada Jayawijaya. Melihat ini, Joko Waras menjadi marah dan dia pun melompat kemudian tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga belasan orang anak buah Ki Kurdolangit itu jatuh bangun dan akhirnya tidak ada yang berani melawan lagi.

Joko Waras yang merasa kagum dan heran pada Jayawijaya segera memegang tangan pemuda itu dan menariknya, berkata, "Hayo kita cepat lari dari sini!"

Tadi Jayawijaya melihat betapa pemuda dusun berpakaian sederhana, bertubuh ramping kecil namun tampan sekali itu mengamuk dan merobohkan para prajurit. Dia membiarkan dirinya ditarik dan ikut lari bersama Joko Waras.

Joko Waras ingin menguji ilmu kepandaian Jayawijaya, maka dia berlari menggunakan aji kesaktiannya sehingga kedua telapak kakinya seolah tidak menyentuh bumi. Akan tetapi Jayawijaya tertinggal jauh dan ketika tangannya digandeng pemuda itu, dia terseret-seret!

Joko Waras menjadi semakin heran. Pemuda ini tidak mahir ilmu meringankan tubuh dan tidak mempunyai aji berlari kencang. Dia lalu berlari biasa lagi sehingga Jayawijaya dapat mengimbanginya. Sesudah melalui beberapa dusun, dengan terengah-engah Jayawijaya bertanya,

"Ki sanak, kenapa kita berlari terus? Sampai kapankah kita harus berlari seperti ini?”

Joko Waras tersenyum dan berhenti berlari. Mereka tiba di luar sebuah dusun dan saat itu sudah menjelang senja,

"Kita harus melarikan diri dari pasukan tadi, ki sanak," katanya.

"Kenapa harus lari? Kita tidak bersalah," bantah Jayawijaya.

"Hmm, mungkin kita menganggap diri kita tak bersalah, akan tetapi senopati itu dan anak buahnya takkan menganggap demikian. Kita tentu dianggap melawan dan memberontak.”

Mereka berjalan memasuki dusun itu. Di tepi dusun itu terdapat sebuah warung nasi yang ramai dikunjungi orang. Belasan orang pengunjung itu semuanya laki-laki dan kebanyakan masih muda. Dari cara mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa menunjukkan bahwa mereka sedang bergembira.

Joko Waras mengajak temannya untuk duduk di bangku paling ujung. Kini mengertilah Joko Waras kenapa para pengunjung itu semua laki-laki muda dan suasananya tampak gembira. Kiranya penjaga warung nasi yang melayani mereka itu adalah seorang perawan dusun yang cantik manis. Biar pun dandanannya sederhana sekali tapi gadis itu memang manis sekali dan memiliki daya tarik yang amat kuat.

"Ki sanak, siapakah nama andika?" tanya Joko Waras berbisik.

Jayawijaya menengok dan memandang Joko Waras sambil tersenyum. Mereka telah lari bersama dan tiba di tempat itu, memasuki warung itu bersama namun belum saling mengenal nama!

"Namaku Jayawijaya, dan siapa nama andika?”

"Aku Joko Waras dari dusun Selogiri di Gunung Kidul. Dan andika?”

"Aku dari Gunung Tengger.”

Pada saat kedua orang muda itu saling bercakap dengan berbisik, kini pelayan warung yang manis itu menunjukkan perhatiannya kepada mereka. Melihat dua orang muda yang demikian tampan, Saritem, demikian nama pemilik atau pelayan warung nasi itu, merasa kagum dan senang. Sikap kedua orang muda yang bicara dengan bisik-bisik dan sopan itu saja menunjukkan bahwa mereka bukanlah dua orang muda dusun sembarangan.

"Ki sanak, andika berdua ingin makan dan minum apa?" tanya Saritem kepada mereka sambil memandang wajah Joko Waras dengan penuh perhatian. Ketampanan pemuda ini sungguh menggerakkan hatinya.

"Oh, aku minta sepiring nasi sayur lodeh dan minum teh manis," kata Jayawijaya.

"Aku juga sama dengan permintaan kakang Jaya," kata Joko Waras sambil memandang kepada pelayan itu yang tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan indah.

"Kakang, yang jualan nasi ayu, ya?" kata Joko Waras.

Saritem tersipu dan kedua pipinya berubah kemerahan, lalu ia menyibukkan diri melayani mereka seolah tidak mendengar pujian itu. Padahal, jantungnya berdebar keras dan ia sendiri merasa heran. Sudah setiap hari ia mendengar pujian yang keluar dari mulut pria, akan tetapi mengapa pujian perjaka tampan ganteng ini membuatnya tersipu malu ?

"Hushh, adi Waras, jangan keras-keras memuji orang. Lihat, ia tersipu malu," tegur Jayawijaya lirih.

Retno Wilis memang seorang gadis yang lincah nakal. Sebagai Joko Waras dia sengaja mengerlingkan mata dan melirik tajam kepada Saritem, disertai senyum manis menawan dan ketika Saritem menjulurkan tangan menyerahkan piring nasi lodeh, dengan sengaja Joko Waras menerima piring itu dan menyentuhkan tangannya kepada tangan yang lunak lembut dan hangat itu. Saritem tidak marah, malah tersenyum dan tersipu sambil menarik tangannya dengan lembut.

Joko Waras tersenyum lebar. Ia melihat betapa Jayawijaya yang melihat perbuatannya itu mengerutkan alisnya. Seorang pemuda yang alim, pikirnya. Akan tetapi ia merasa seperti menghadapi teka-teki besar terhadap Jayawijaya.

Sudah terbukti betapa pemuda itu bisa menghindarkan semua serangan yang berbahaya dari senopati yang mata keranjang itu. Akan tetapi ketika diajaknya berlari, pemuda itu sama sekali tidak mampu berlari kencang. Dan juga ketika menarik tangan pemuda itu, tenaganya biasa-biasa saja seperti tenaga orang yang tidak memiliki kepandaian tinggi.

Pemuda macam apakah ini, yang tampaknya tidak memiliki ilmu kepandaian tetapi berani menentang kejahatan yang dilalakukan belasan orang pasukan pemerintah yang dipimpin oleh seorang senopati yang digdaya? Sekarang, dalam menghadapi Saritem, Jayawijaya memperlihatkan sikap seorang pemuda alim yang tidak suka menggoda wanita cantik!

Selagi mereka berdua makan nasi sayur lodeh yang hangat dan gurih itu, perhatian Joko Waras tidak pernah terlepas dari keadaan sekelilingnya. Ada belasan orang laki-laki muda yang berada di warung itu, duduk berserakan di bangku-bangku di dalam dan luar warung. Sebagian besar sudah selesai makan dan kini bercakap-cakap gembira sambil kadang mengerling ke arah Saritem. Tetapi ada seorang pemuda yang tidak sedang makan dan hanya duduk di sebelah dalam warung itu sangat memperhatikan mereka berdua. Joko Waras memperhatikan pemuda ini.

Dia seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Tampangnya ganteng dan tubuhnya juga tegap kokoh seperti Raden Gatutkaca. Kumis tipisnya menambah kejantanannya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam dan berwibawa.

Semenjak Saritem melayani Joko Waras dan Jayawijaya, pemuda itu terus mengamati mereka berdua, terutama sekali Joko Waras. Hal yang membuat Joko Waras diam-diam merasa jengkel karena tidak enak sekali selagi makan ditonton orang seperti itu. Seolah-olah setiap dia mengunyah makanan, laki-laki itu mengikuti setiap gerak mulutnya. Tidak enak sekali!

Karena hatinya mendongkol, setelah nasi itu dimakan habis dan melihat pemuda itu masih saja memperhatikan dia dan Jayawijaya, Joko Waras memandang kepadanya kemudian mengedipkan sebelah matanya seperti memberi isarat dengan kedip-kedipan.

Melihat mata Joko Waras berkedip-kedip kepadanya, pemuda gagah itu terbelalak lalu alisnya berkerut dan matanya menyinarkan kemarahan. Akan tetapi Joko Waras hanya tersenyum kepadanya.

"Semuanya berapa, nimas ayu?" tanya Joko Waras dan sengaja meninggikan suaranya sehingga terdengar semua orang.

Saritem yang disebut nimas ayu itu tersenyum semringah.

"Tidak tambah tehnya, kakangmas?" tanya Saritem dengan suara yang merdu ditambah kerling tajam dan senyum memikat.

"Bagiku sudah cukup, nimas. Ahh, tehmu manis sekali, semanis penjualnya. Akan tetapi entah kalau kakang Jaya ingin minta tambah air tehnya.”

"Aku juga sudah cukup," kata Jayawijaya yang segera bangkit dan mengambil uang receh dari saku bajunya dan membayar harga makanan dan minuman.

"Aih, kakangmas bisa saja memuji orang. Air teh buatan dusun begini mana bisa lezat dan manis," kata Saritem agak genit sambil tersenyum.

"Sungguh mati, nasi lodehnya hangat pulen dan gurih, air tehnya juga hangat sedap dan manis. Andika bukan saja cantik jelita dan manis, akan tetapi juga amat pandai memasak. Beruntunglah orang yang kelak menjadi suamimu, nimas ayu!" Joko Waras memuji lagi, kini agak berlebihan karena dia melihat betapa pemuda tadi memandangnya dengan mata mengandung kemarahan dan bahkan kini telah bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Ucapan Joko Waras itu pun dapat terdengar oleh para pemuda lainnya dan empat orang pemuda yang duduk di luar warung tertawa-tawa mendengar ini.

"Wah, Saritem tentu berkembang cuping hidungnya mendengar pujian setinggi langit itu!”

"Ha-ha-ha, ia memang pantas mendapat pujian!”

"Siapa yang tidak akan memujinya? Ia cantik, manis dan dagangannya juga serba enak dan murah!”

"Aku sendiri kalau sehari saja tidak jajan di sini rasanya kangen sekali!”

Pemuda yang seperti Raden Gatutkaca itu melompat dari tempat duduknya dan sudah tiba di luar warung. Sekali dia menggerakkan kakinya, meja yang dihadapi empat orang itu terbang terlempar jauh.

"Babo-babo! Siapa berani main-main dengan Saritem? Apakah kalian berempat hendak menantangku? Majulah kalian berempat, keroyoklah aku, aku tidak takut menghadapi kalian untuk mempertahankan kehormatan Saritem kekasihku!”

Empat orang pemuda itu tampak ketakutan dan seorang diantara mereka segera berkata, "Saptoko, mengapa engkau marah-marah? Bukankah kita semua adalah kawan-kawan sedusun? Kalau kami memuji-muji Saritem, hal itu bukan karena kami ingin kurang ajar, melainkan memuji dengan wajar. Siapa orangnya tidak memuji kecantikan Saritem?”

"Aku melarang kalian sembarangan memuji Saritem seperti hendak mempermainkannya. Kalian semua harus menghormatinya atau kalian boleh berkelahi melawan aku!" kata pemuda yang bernama Saptoko itu dengan bertolak pinggang, akan tetapi matanya kini menatap ke arah Joko Waras.

Seorang pemuda tinggi besar, seorang di antara empat orang pemuda tadi melangkah maju menghampiri Saptoko.

"Saptoko, jangan bersikap seperti itu. Saritem membuka warung nasi dan kami semua adalah langganannya yang baik, suka memuji-mujinya akan tetapi tidak ada yang pernah berkurang ajar kepadanya. Kenapa engkau marah-marah? Kalau tidak ingin Saritem dipuji orang, jangan perbolehkan ia membuka warung dan biarkan saja ia bersembunyi terus di dalam rumahnya.”

Saptoko maju dan sekali mendorong dengan tangan kanannya, pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat itu terdorong mundur sampai terjengkang.

"Pendeknya, aku melarang siapa saja yang berani main-main dengan Saritem, termasuk pemuda asing yang berdiri di sana itu!" katanya sambil menudingkan telunjuknya kepada Joko Waras.

Joko Waras terbelalak sambil mengerutkan alisnya. Dengan lincahnya dia melompat dan menghampiri Saptoko.

"Ehh, ki sanak. Kenapa engkau menuding-nuding aku? Apa salahku kepadamu, heh?"

Saptoko marah sekali. Ia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Joko Waras. "Andika tadi berani memuji-muji dan menyebut Saritem nimas ayu, berarti engkau telah menantangku!" Saptoko membuka kancing bajunya dan memamerkan dadanya yang kokoh dan bidang.

"Eh-ehh, apa-apaan ini? Aku menyebut nimas ayu Saritem, sedangkan orangnya merasa senang dan tidak marah, kenapa engkau justru mencak-mencak seperti orang kebakaran kumis? Aku datang dan membeli makanan minuman, beramah-tamah dengan penjualnya, dengan sopan dan tidak melanggar kesusilaan, apa pedulimu?”

"Apa peduliku? Saritem adalah kekasihku, calon isteriku!" bentak Saptoko.

"Bila engkau tidak ingin ia bicara dengan orang lain, kenapa memperbolehkan berjualan nasi? Suruh ia bersembunyi dikamarnya seperti kata saudara tadi."

"Kakang Saptoko, jangan begitu, kakang!" Saritem kini keluar dari warungnya dan berdiri di hadapan Saptoko dengan alis berkerut dan mulut cemberut. "Engkau ini ada apakah, tiada hujan tiada angin mengamuk seperti orang tidak waras?"

Orang tinggi besar yang tadi didorong jatuh, karena merasa tidak senang lalu berkata, "Kalau saja Ki Blekok yang datang mengganggu, tentu dia tidak berani apa-apa.”

Saptoko menjadi semakin marah mendengar ini. "Aku memang kalah oleh Ki Blekok, akan tetapi terhadap pemuda cilik ini, siapa takut? Jika dia berani banyak cakap, akan kurobek mulutnya!" Marah bukan main Saptoko ini singga mengeluarkan ancaman yang demikian mengerikan.

Joko Waras juga menjadi marah. Siapa yang tak akan marah mendengar mulutnya akan dirobek orang? Dia melompat lagi dan tiba di hadapan Saptoko.

”Apa kau bilang? Engkau mau merobek mulutku? Aku berani bertaruh bahwa sebelum engkau mampu menyentuh mulutmu yang akan lebih dulu robek!”

Saptoko menjadi semakin marah. Dia mengepal kedua tangannya dan bersikap hendak menyerang. Akan tetapi Saritem menghalanginya dan memegangi tangannya.

"Kakang Saptoko, jangan berkelahi. Aku akan bersedih kalau engkau seperti ini dan berkelahi dengan orang lain. Kakangmas ini sama sekali tidak bersalah, jangan pukul dia!"

Melihat Saptoko hendak menyerang Joko Waras, Jayawijaya juga maju menghalangi.

"Ki sanak, bersabarlah. Adi Joko Waras ini tidak memiliki niat buruk, maka tenangkanlah hatimu.”

Akan tetapi Saptoko mengira bahwa Jayawijaya hendak mengeroyok, maka ia memegang tangan Jayawijaya dan menariknya dengan sentakan. Tubuh Jayawijaya terhuyung dan dia tentu akan tersungkur jatuh kalau Joko Waras tidak cepat memegang tangannya dan menahannya.

"Kakang Saptoko, aku akan marah kepadamu!" teriak Saritem.

"Aih, Saritem, setidaknya berilah kesempatan kepadaku untuk melindungimu dari godaan pria lain!”

Joko Waras sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Boleh jadi Saptoko bukan orang jahat, melainkan hanya seorang kekasih yang pencemburu, akan tetapi laki-laki kasar seperti itu pantas dihajar.

"Saptoko, apakah engkau masih punya keberanian untuk bertanding dengan aku? Tanpa keroyokan?”

"Aku seorang laki-laki! Tidak sudi aku melakukan pengeroyokan.”

"Kakang Saptoko...!"

“Saritem, berilah aku kesempatan untuk menandingi pemuda ini," pinta Saptoko kepada Saritem dengan suara seolah minta dikasihani. Terhadap gadis itu suara pemuda gagah ini begitu lembut dan merayu.

Saritem kini menghadapi Joko Waras.

"Kakangmas, harap jangan layani Kakang Saptoko. Dia memang keras hati, akan tetapi hatinya baik sekali. Engkau akan kalah kalau melawan dia. Dia seorang kuat dan digdaya, kakangmas.”

Joko Waras tersenyum.

"Saritem, jangan khawatir. Aku tidak akan merobek mulut pemuda kasar ini, hanya akan membuktikan padanya bahwa di dunia ini masih terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada dia. Hayolah, Saptoko. Majulah dan lawanlah aku!" Joko Waras menantang.

"Baik, sambut seranganku ini!”

Saptoko lalu menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu dilakukan dengan mantap dan cepat menurut ilmu pencak silat yang baik. Tapi gerakan itu masih terlampau lamban bagi Joko Waras dan dengan gerakan indahnya dia menangkis sambil memutar tubuh dan tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan.

Saptoko dapat mengelak pula dan kembali ia menyerang dengan secepat dan sekuatnya, akan tetapi semua serangannya dapat dielakkan oleh Joko Waras. Sampai belasan jurus Saptoko menyerang, tapi tanpa hasil. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh Joko Waras.

"Adi Joko Waras, jangan lukai orang!” kata Jayawijaya yang menonton pertandingan itu dengan sikap tenang. Dia sudah tahu bahwa Joko Waras adalah seorang pemuda yang digdaya, dapat mengalahkan belasan orang prajurit Blambangan, maka dia bisa menduga bahwa Saptoko bukanlah lawannya dan dia khawatir kalau Joko Waras akan melukainya.

Semua orang muda yang berada di situ kini sudah membentuk lingkaran dan menonton pertandingan itu. Semua orang terkagum-kagum pada Joko Waras. Pemuda yang tampak masih remaja itu ternyata mampu menandingi Saptoko, pemuda dusun itu yang dianggap paling jagoan.

Setelah belasan jurus dan Saptoko belum juga mampu menyentuh ujung baju Joko Waras yang memperlihatkan kegesitannya seperti seekor burung srikatan, tiba-tiba saja Saptoko menggerakkan kaki kanannya menendang dengan sekuat tenaga.

"Wuuuuttt...!"

Kaki kanan itu menyambar, namun dengan enaknya Joko Waras mengelak dan sebelum Saptoko menarik kembali kakinya yang menendang, kaki itu telah dapat ditangkap oleh Joko Waras dan didorong ke atas lalu dilontarkan!

Tubuh Saptoko melayang ke atas dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh itu terbanting jatuh dan sialnya, dia jatuh telungkup sehingga ketika dia bangkit kembali, bibirnya yang ujung pecah mengeluarkan darah!

Saptoko berdiri dengan kedua kaki terpentang. Dia masih belum sadar benar apa yang sudah terjadi dengan dirinya. Barulah dia menyadari ketika para pemuda di situ bertepuk tangan memuji Joko Waras yang berdiri di depannya sambil tersenyum manis.

"Bagaimana, Saptoko, apakah engkau masih penasaran?" tanya Joko Waras. "Aku bukan musuh, akan tetapi bila engkau menantangku tentu akan kulayani. Minta berkelahi sampai berapa hari akan kulayani!”

Saptoko tercengang dan kini teringatlah dia akan perkelahian tadi. Baru tiga hari yang lalu, ketika orang yang menamakan dirinya Ki Blekok menggoda Saritem secara kurang ajar lalu berkelahi dengannya, dan dia dikalahkan oleh Ki Blekok. Akan tetapi dia kalah setelah melalui perkelahian yang ramai dan seru.

Biar pun dia kalah akan tetapi setidaknya dia dapat mengimbangi kedigdayaan Ki Blekok yang katanya merupakan jagoan dari dusun di lereng bukit. Sedangkan apa yang dia baru saja alami amatlah mengherankan. Dia sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Joko Waras bagian mana pun juga, apa lagi hendak merobek mulutnya!

Dan tadi ketika dia mengirim tendangan, sebuah ilmu serangan yang biasanya tak pernah gagal, tendangan itu luput dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah terlempar ke atas lalu jatuh terbanting keras!

Saptoko adalah seorang yang berjiwa gagah, dan tahu diri. Dia tahu pada saatnya dia kalah berhadapan dengan orang yang lebih kuat, hanya yang membuat dia penasaran, mengapa dia kalah oleh seorang perjaka tanggung seperti Joko Waras!

"Aku mengaku kalah!" katanya sambil melangkah lebar keluar dari lingkaran orang-orang itu, memasuki malam yang hampir tiba.

"Kakang Saptoko...!" Saritem keluar dari warungnya, dia mengejar dan memanggil. Akan tetapi Saptoko hanya menengok sebentar dan berkata singkat.

"Aku telah dua kali dikalahkan. Aku tidak ada gunanya, Saritem!" dan diapun melanjutkan langkahnya yang lebar.

Saritem terisak, tidak kembali ke dalam warungnya. Para pemuda yang makan di warung itu ikut merasa tidak enak dan setelah membayar harga makanan dan minuman, mereka meninggalkan tempat itu, agaknya merasa curiga dan tidak nyaman bersama dua orang pemuda asing yang telah mengalahkan jagoan mereka itu.

Joko Waras dan Jayawijaya berdua tinggal di warung.

"Saritem, sebetulnya siapakah Saptoko itu? Dia itu kekasih hatimu, calon suamimu?”

"Dulu memang begitu, kakangmas. Aku mengharapkan dia untuk menjadi suamiku karena dia baik budi dan mencintaiku, walau pun wataknya jujur dan kasar. Akan tetapi semenjak muncul Ki Blekok itu, hubungan kami terganggu karena dia merasa sudah dikalahkan Ki Blekok dan tidak akan mampu merebut aku dari tangan Ki Blekok.”

"Hemmm, dan siapa itu Ki Blekok?" tanya Joko Waras penasaran.

"Dia jagoan dari dusun Benang di lereng bukit itu, orangnya berusia empat puluh tahun, galak sombong dan mata keranjang. Tiga hari yang lalu dia makan di sini dan langsung saja dia melamarku. Aku menolak dan kakang Saptoko marah hingga terjadi perkelahian antara kakang Saptoko dan Ki Blekok. Akan tetapi kakang Saptoko kalah dan Ki Blekok pergi sesudah berkata bahwa dalam seminggu lagi dia akan datang untuk memboyongku ke dusunnya."

"Dan engkau mau?”

"Aku tidak sudi, kakangmas. Tetapi, apa dayaku? Aku hanya hidup berdua dengan ibuku yang sudah janda. Ibu juga tidak mampu berbuat sesuatu. Kami hanya mengandalkan perlindungan kakang Saptoko, tetapi kakang Saptoko sendiri bahkan kalah olehmu. Harga dirinya tentu sudah terpukul parah dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan nanti kalau Ki Blekok muncul.”

Gadis manis itu lalu menangis sesenggukan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar