Sepasang Garuda Putih Jilid 21

"Ha-ha, Ki Haryosakti. Engkau sudah kalah! Akuilah kekalahanmu dan mulai sekarang kalian semua harus menaati perintahku!"

Tiba-tiba Saruji dengan tombak ayahnya di tangan melompat maju.

“Ayah sudah kalah akan tetapi aku belum! Aku yang akan melawanmu, Bajramusti!"

Melihat majunya pemuda itu, Bajramusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, ayahnya sudah kalah kini maju anaknya. Heh, orang muda, engkau bukan tandinganku, apakah engkau sudah bosan hidup?"

Melihat puteranya maju, Ki Haryosakti juga berseru, "Saroji, mundur kau!" Dia tahu bahwa kalau puteranya maju, sama halnya dengan membunuh diri.

Pada saat itu terdengar seruan suara wanita, "Ki Bajraniusti, akulah lawanmu!"

Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya terkejut mendengar suara Retno Wilis, dan kini mereka melihat Retno Wilis muncul bersama Bagus Seto! Retno Wilis sudah melompat ke depan dan berkata kepada Saroji,

"Lebih baik andika mundur, biar aku yang menghadapi raksasa brewok ini!”

Saroji ragu-ragu, tidak tega membiarkan Retno Wilis melawan ketua Bala Cucut itu, akan tetapi sekali lagi Haryosakti menghardik kepada puteranya untuk mundur. Saroji lalu mundur dan menonton bersama adik dan ayahnya dengan hati tegang dan juga heran. Bagaimana Retno Wilis akan mampu menghadapi raksasa yang amat sakti itu. Bagus Seto juga memandang sambil tersenyum dan pemuda ini menonton di satu pinggiran, tidak mendekati keluarga Haryosakti.

Sementara itu, ketika Brajamusti melihat majunya seorang gadis yang cantik jelita, dia tertawa bergelak sambil menengadahkan kepalanya.

"Hoa-ha-ha! Jambuko Cemeng sudah kehabisan jago dan mengajukan seorang perawan cantik untuk melawan aku. Wong ayu, jangan andika yang maju, sayang kecantikanmu, sayang kulitmu yang halus kalau sampai lecet. Lebih baik andika ikut bersamaku untuk kujadikan selir, ha ha-ha!”

"Brajamusti, tidak perlu bermulut besar. Kalau andika dapat mengalahkan aku, barulah andika berhak untuk bermulut besar! Atau barangkali andika takut melawan aku?”

"Takut? Ha-ha, takut? Aku takut kalau sampai membunuh atau melukaimu, cah ayu.”

"Kalau begitu, bersiaplah andika!”

"Ha-ha-ha, aku sudah siap, ha-ha-ha!”

"Lihat seranganku! Haiiiittt...!" Retno Wilis menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu.

Brajamusti hendak memamerkan kekebalannya maka diapun membiarkan saja dadanya terbuka untuk dihantam. Jari-jari tangan Retno Wilis yang kecil mungil itu bertemu dengan dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Akan tetapi ia mempergunakan aji Wisolangking.

"Wuuuttt...dess...!”

"Aduh... mati aku...!" Tubuh yang tinggi besar itu terjengkang dan roboh terguling-guling. Brajamusti merasa dadanya seperti pecah. Untung dia tadi sempat mengerahkan ilmu kekebalannya sehingga dia tidak mati terpukul. Dia melompat bangun, menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangan kiri sambil memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong penuh kemarahan.

Sementara itu, Ki Haryosakti dan kedua orang anaknya, juga para anggota Jambuko Cemeng, menonton dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Baru sekarang mereka mengetahui bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebat sehingga sekali pukul saja dapat membuat raksasa itu roboh terguling-guling!

Terutama sekali Ki Haryosakti. Wajahnya berubah pucat lalu kemerahan. Dan dia sudah hendak memperisteri gadis itu! Sekarang baru dia merasa bahwa dia dipermainkan!

Ki Bajramusti kini marah bukan main. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, dia lalu menyerang, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menerkam tubuh gadis itu. Akan tetapi tubrukannya luput dan tiba-tiba saja gadis itu lenyap.

Kemudian dari belakang dia mendengar ada angin menyambar. Cepat dia merendahkan diri untuk mengelak. Ternyata gadis itu sudah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan gadis itu seolah-olah pandai menghilang saja. Dia menjadi semakin marah dan dengan mengeluarkan gerengan-gerengan seperti seekor harimau marah, dia melanjutkan gerakannya, menyerang secara bertubi-tubi, mencakar, menampar, menghantam bahkan kakinya yang panjang besar itu beberapa kali menendang. Namun, dia seperti menyerang angin saja. Semua serangannya tidak mengenai sasaran.

Retno Wilis telah menggunakan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak bagai seekor burung walet, menyambar-nyambar menghindar kesana-sini dan berputaran. Bajramusti ikut pula berputaran sampai kepalanya menjadi pening dan beberapa kali dia terhuyung! Ketika mendapat kesempatan bagus, Retno Wilis kembali menampar dan tamparannya mengenai leher Bajramusti.

"Wuuuttt... plak...!" Biar pun yang menampar hanya tangan yang kecil mungil, akan tetapi Bajramusti merasa seperti disambar petir. Hanya kekebalannya yang luar biasa saja yang masih melindunginya. Tubuhnya berputaran, kepalanya pening dan akhirnya diapun roboh untuk yang kedua kalinya.

Akan tetapi dia memang kebal dan kuat. Dari keadaan roboh itu dia melompat dan kedua tangannya yang besar itu berhasil menangkap pinggang ramping itu. Dia mengeluarkan suara tawa girang dan dengan sepenuh tenaga dia hendak mengangkat tubuh yang pinggangnya sudah dilingkari jari-jarinya yang panjang dan besar itu.

Akan tetapi Retno Wilis yang tadi lengah sehingga pinggangnya dapat disambar, segera mengerahkan Aji Argoselo yang membuat tubuhnya seberat batu gunung. Bajramusti mengerahkan tenaga untuk mengangkat, akan tetapi tubuh itu tak bergeming sedikit pun juga. Dia merasa terkejut dan penasaran, lalu mengerahkan lagi tenaga sampai mulutnya mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun tetap saja sia-sia. Dan Retno Wilis yang marah karena pinggangnya dipegang orang, lalu menggerakkan kakinya menendang, mengenai perut yang gendut itu.

"Wuuuttt... ngekkk...!"

Pegangan Bajramusti terlepas kemudian tubuhnya terlempar dan terjengkang ke belakang lalu terbanting keras.

Kini agak lambat dia merangkak bangun karena kepalanya terasa pening. Dan setelah dia bangkit, dia sudah merampas golok yang dibawa pembantunya. Sikapnya menyeramkan sekali. Rambutnya awut-awutan, mukanya menjadi merah sekali, matanya melotot dan mengeluarkan busa. Dia mengangkat goloknya tinggi di atas kepala.

Ki Haryosakti dan dua orang anaknya yang tadinya terkagum-kagum melihat Retno Wilis berulang kali merobohkan Bajramusti, kini memandang dengan hati khawatir sekali. Akan tetapi Retno Wilis tetap bersikap tenang, ia meloloskan pedang Sapudenta dan menanti serangan lawan dengan pedang di tangan.

Ketika Bajramusti melihat gadis itu sudah memegang sebatang pedang yang baginya amat kecil tidak berarti, dia lalu menggereng seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya sudah menerjang maju, goloknya menyambar-nyambar bagai cakar maut ke arah Retno Wilis.

Akan tetapi gadis ini dengan mudahnya mengelak ke sana sini, kemudian ketika golok itu dengan cepat menyambar ke arah kepalanya, iapun menggerakkan pedang Sapudenta untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Singgg... trakkk...!" Golok itu putus menjadi dua potong!

Ki Haryosakti sampai bersorak melihat kehebatan gadis itu. Sebaliknya Ki Bajramusti terkejut bukan main. Dia melemparkan gagang golok ke arah Retno Wilis. Gadis ini menangkis dengan pedangnya dan sisa golok itu meluncur ke bawah dan menancap ke atas tanah. Tiba-tiba Ki Bajramusti mengangkat kedua tangan ke atas, mulutnya berkemak kemik membaca mantra dan tiba-tiba saja ada asap hitam bergulung-gulung keluar dari kedua tangannya dan asap itu menyerbu ke arah Retno Wilis.

Gadis ini menyimpan pedangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk memukul dengan Aji Wisolangking. Akan tetapi asap itu hanya membuyar dan tetap menyerbu ke arahnya.

''Diajeng, mundurlah!" seru Bagus Seto dan Retno Wilis menaati perintah kakaknya. Tubuhnya mencelat ke arah Bagus Seto dan sudah berdiri di samping kakaknya.

Bagus Seto melompat ke depan menghadapi Ki Bajramusti yang menggunakan sihir itu. Ketika gulungan asap itu menyelubunginya, Bagus Seto mengambil setangkai bunga cempaka putih dan mengangkatnya ke atas. Seketika asap hitam itu membalik dan bergulung-gulung seperti melarikan diri kembali ke arah kedua tangan Ki Bajramusti! Kakek ini terkejut bukan main dan memandang kepada Bagus Seto dengan mata mencorong.

"Siapakah andika?" bentaknya marah.

"Namaku Bagus Seto dan karena andika menggunakan ilmu hitam, akulah yang mewakili adikku menghadapimu," kata Bagus Seto dengan lembut. "Lebih baik andika pergi saja dari sini dan bawa semua anak buahmu, Ki Bajramusti. Tempatmu di lautan, bukan di daratan yang menjadi wilayah Jambuko Cemeng.”

Ki Bajramusti merasa penasaran bukan main. Tadi dalam pertandingan tangan kosong maupun dengan senjata dia telah dikalahkan seorang gadis muda! Dan sekarang dia mengandalkan ilmu sihirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda yang dapat menandinginya. Dia masih merasa penasaran dan ingin mengeluarkan ilmunya yang terakhir dan yang diandalkannya.

"Bagus Seto, lihat baik-baik siapa yang kaulawan. Aku adalah Rajanya segala harimau!" Setelah berkata demikian, Ki Bajramusti melompat jungkir balik tiga kali dan berubahlah dia menjadi seekor harimau yang amat besar, harimau jadi-jadian itu besarnya hampir seperti seekor lembu! Sambil mengeluarkan suara gerengan, harimau itu membuka mulutnya dan mengancam Bagus Seto.

Semua orang yang melihat ini menjadi miris hatinya, kecuali tentu saja Retno Wilis. Gadis ini hanya tersenyum karena maklum bahwa dalam menghadapi ilmu sihir, tidak ada orang yang lebih tangguh dari pada kakaknya. Dengan gerengan yang menggetarkan seluruh perkampungan itu, harimau jadi-jadian itu kini menubruk ke arah Bagus Seto yang kelihatan diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. Semua orang melihat betapa harimau besar itu menerkam Bagus Seto.

Sarmini sampai menjerit saking ngerinya melihat pemuda yang dikagumi itu diterkam harimau besar. Juga semua orang memandang kaget dan cemas. Akan tetapi ketika harimau itu menerkam dan berusaha menggigit dan merobek-robek tubuh itu, ternyata bahwa yang diterkamnya tadi adalah sebuah batu yang keras! Dan semua orang melihat Bagus Seto sudah berdiri dengan kedua tangan bersilang di dada, tak jauh dari situ.

Harimau jadi-jadian agaknya baru sadar bahwa yang diterkamnya adalah batu sesudah taring dan cakarnya menyerang benda keras. Dia menggereng dan memutar tubuh, saat melihat Bagus Seto yang sudah berdiri di belakangnya, kembali dia menerjang, menubruk dan menerkam dibarengi auman yang menggetarkan hati. Kembali dia telah menerkam Bagus Seto seperti tadi, akan tetapi setelah yang diterkamnya roboh di atas tanah dan dicakarnya, pemuda itu berubah menjadi batu.

Setelah mempermainkan harimau jadi-jadian itu beberapa kali, Bagus Seto mengeluarkan setangkai bunga cempaka putih dan begitu harimau itu untuk sekian kalinya menubruk, dia memukulkan bunga cempaka pulih itu ke kepala harimau.

"Dar...!" terdengar ledakan dan harimau itu pun lenyap, berubah menjadi Ki Bajramusti yang mendekam di atas tanah sambil mengeluh.

"Aduh, tobaaatt...!" Dia memegangi kepalanya yang rasanya seperti remuk.

"Benarkah andika telah bertobat, Ki Bajramusti?" tanya Bagus Seto dengan lembut.

"Aku sudah menerima kalah, denmas. Aku sudah bertobat dan hendak menaati semua perintah andika. Aduhaduhhh...!”

Bagus Seto lalu berkata, "Kalau begitu berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengganggu penduduk pantai, menghentikan perbuatanmu yang jahat dan engkau berjanjilah untuk membantu Panjalu jika saatnya tiba.”

"Baik, denmas...aku berjanji...”

Bagus Seto menyentuh kepalanya dengan bunga cempaka putih sambil berkata, "Kalau begitu, sembuhlah dan pergilah membawa anak buahmu kembali ke lautan.”

Terkena sentuhan bunga itu, seketika Ki Bajramusti sembuh dan dia pun segera bangkit berdiri. Namun sekarang dia telah kehilangan kegarangannya. Dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang berdiri di samping kakaknya dengan sikap hormat.

"Aduh, paduka berdua telah mengalahkan aku. Sebetulnya siapakah paduka berdua dan mengapa pula menyuruh aku kelak membantu Panjalu?" tanyanya dengan suara tetap kasar akan tetapi dengan sikap menghormat. Memang seorang seperti dia mana dapat berbicara halus?

"Namaku Bagus Seto dan ini adikku Retno Wilis. Kami adalah putera Kanjeng Patih Tejolaksono di Panjalu.”

"Ah, maafkan aku yang telah berani melawan paduka. Baiklah, aku akan menaati segala perintah paduka. Hayo kawan-kawan, kita kembali ke lautan!" Dia lalu memutar tubuhnya dan diiringkan semua anak buahnya meninggalkan tempat itu.

Ki Haryosakti juga membubarkan semua anak buahnya. Ketika tinggal dia sendiri bersama Saroji dan Sarmini, sambil membungkuk hormat kepada kedua orang muda itu dia berkata,

"Mari silakan, anakmas berdua, kita bicara di dalam.”

Bagus Seto saling pandang dengan Retno Wilis dan mereka tanpa berkata apa-apa ikut masuk ke ruangan dalam rumah gedung itu. Setelah tiba di dalam, Ki Haryosakti lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.

"Mata saya seperti telah buta dan tidak melihat bahwa paduka berdua adalah orang-orang yang sakti mandraguna. Saya mohon ampun atas semua perbuatan saya terhadap denajeng.”

Bagus Seto cepat membangunkan ketua Jambuko Cemeng itu dan berkata, "Sudahlah, paman, adalah baik sekali bila paman telah menyadari kesalahan dan tidak akan berbuat lagi. Silakan berdiri.”

Ki Haryosakti bangkit berdiri dan mempersilakan dua orang muda itu untuk duduk. Saroji dan Sarmini juga duduk dan mereka memandang kepada kedua orang muda itu dengan takjub.

"Saya telah berbuat salah besar. Saya sungguh tidak tahu diri, akan tetapi sekarangpun saya masih mengharapkan agar paduka berdua suka menerima permohonan saya.”

Bagus Seto tersenyum.

"Permintaan apakah itu, paman? Kalau memang permintaan itu pantas dan kami berdua dapat melakukannya, tentu kami tidak akan keberatan untuk memenuhinya.”

"Ahh, sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih, denmas. Akan tetapi harap paduka berdua sudi memaafkan kalau apa yang hendak saya kemukakan itu dianggap lancang.”

"Katakan saja, paman, jangan sungkan-sungkan. Kalau ada penguneg-uneg di dalam hati memang sebaiknya dikeluarkan dari pada disimpan menjadi dendam.”

"Karena sekarang ini paduka berdua berada di sini dan saya memperoleh kesempatan yang amat baik, kapan lagi saya kemukakan niat saya ini kalau tidak sekarang karena mungkin saya tidak akan dapat bertemu dengan paduka berdua lagi.”

"Paman Haryosakti, kenapa bicara berputar-putar? Katakanlah apa yang kau kehendaki!" kata Retno Wilis yang merasa tak sabar lagi mendengar kata-kata yang melingkar lingkar itu.

Mendapat bentakan dari Retno Wilis, ketua Jambuko Cemeng yang biasanya bersikap gagah itu menjadi pucat wajahnya. Kemudian dia memberanikan diri berkata,

"Niat saya ini pun untuk menebus dosa saya terhadap denajeng... kalau paduka berdua sudi menerimanya, saya...saya ingin sekali menjodohkan anak saya Saroji dengan denajeng Retno Wilis, dan saya ingin menyerahkan anak saya Sarmini menjadi jodoh denmas Bagus Seto. Nah, legalah hati saya sudah mengeluarkan isi hati saya ini dan terserah kepada paduka berdua.”

Kakak beradik itu saling pandang, seperti juga Saroji dan Sarmini saling pandang. Tetapi kalau Sarmini memandang kakaknya lalu tersipu malu dan Saroji juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, Retno Wilis memandang kepada kakaknya dengan alis berkerut dan muka berubah merah.

Melihat sinar mata adiknya yang marah itu, Bagus Seto menggelengkan kepalanya kepada adiknya sehingga Retno Wilis terpaksa menelan lagi ucapan bernada keras yang hendak dilontarkan dari mulutnya. Bagus Seto tersenyum memandang pada Ki Haryosakti lalu berkata dengan suara lembut,

"Permintaan paman untuk menjodohkan kami berdua dengan putera puteri paman adalah permintaan yang pantas. Akan tetapi terus terang saja kami tidak dapat memenuhi permintaan itu, paman. Bukan sekali-kali kami menolak karena tidak suka. Putera dan puteri paman adalah dua orang pemuda dan gadis yang elok dan juga gagah. Akan tetapi kami terpaksa menolak karena pada saat ini kami berdua sama sekali belum mempunyai pikiran untuk berjodoh. Kami masih ingin hidup sendiri dan melanjutkan perantauan kami. Karena itu harap paman maafkan dan kami percaya bahwa adimas Saroji dan diajeng Sarmini dapat mengerti alasan kami dan tidak menjadi kecil hati dan merasa ditolak.”

Biar pun merupakan penolakan, namun kalau dikeluarkan dengan kata-kata halus dan sopan seperti itu, bagaimana Ki Haryosakti dan kedua anaknya dapat merasa tersinggung dan tidak senang hati? Mereka memang merasa kecewa, akan tetapi dapat memaklumi alasan kedua orang muda sakti itu. Pada hari itu juga, Bagus Seto dan Retno Wilis berpamit kepada Ki Haryosakti. Bagus Seto berkata,

"Paman Haryosakti, kami berdua mohon pamit hendak melanjutkan perantauan kami. Hanya ada satu harapan dari kami, mudah-mudahan saja paman akan dapat memenuhi harapan kami itu.”

"Apakah itu, denmas? Katakan, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi harapan itu."

"Nanti kalau sudah tiba waktunya Panjalu dan Jenggala menggerakkan pasukan untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang bergolak, maukah paman membawa anggota Jambuko Cemeng membantu Panjalu?”

"Ah, tentu saja, denmas. Harap jangan khawatir. Biar pun bagaimana juga, kami bukan pemberontak dan masih mengakui kekuasaan Jenggala dan Panjalu. Kalau kelak tiba saatnya, tentu kami akan membantu dengan senang hati.”

"Terima kasih, paman.”

Setelah berpamit kepada Saroji dan Sarmini, kedua kakak beradik itu lalu meninggalkan perkampungan Jambuko Cemeng, diantar oleh keluarga pimpinan Jambuko Cemeng itu sampai keluar perkampungan. Saroji dan Sarmini berdiri bagaikan patung memandang dua bayangan yang semakin jauh itu dan merasa seolah-olah semangat mereka ikut terbawa pergi. Diam-diam Saroji jatuh cinta kepada Retno Wilis dan Sarmini juga kagum sekali kepada Bagus Seto. Akan tetapi mereka merasa seperti pungguk merindukan bulan.

Cinta asmara memang menjadi sumber kesedihan kalau hanya bertepuk tangan sebelah. Dan perasaan itu diderita Saroji dan Sarmini. Mereka merasa betapa hidup ini menjadi sunyi dengan perginya orang yang mereka cinta, dan hati terasa perih sekali mengingat bahwa cinta mereka tidak dibalas.

Ki Haryosakti juga menyadari akan semua kesalahannya dan semenjak peristiwa itu wataknya berubah, tidak selalu hendak memaksakan kehendaknya seperti yang sudah-sudah.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Wasi Shiwamurti ketika menerima laporan dari Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah bertemu dan bertanding dan dikalahkan oleh Bagus Seto dan Retno Wilis. Ketika itu, Wasi Shiwamurti berada di Blambangan karena dia dianggap sebagai tamu agung oleh Adipati Blambangan, yaitu Adipati Menak Sampar. Blambangan dijadikan pusat penyebaran agama Shiwa-Durgo-Kolo yang dipimpin oleh Wasi Shiwamurti. Dia menjadi marah sekali ketika mendengar betapa penyebaran agama itu terhalang oleh Bagus Seto dan Retno Wilis.

"Bodoh!" Dia memaki kedua orang muridnya itu. "Bodoh sekali kalian! Dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis muda! Membikin malu saja kepadaku! Kalau kalian kalah dalam hal kadigdayaan, apakah kalian tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu sihir? Apa gunanya aku mengajarkan segala macam ilmu sihir kepada kalian kalau tidak dapat mengalahkan dua orang muda?”

"Maafkan kami, Kanjeng Rama," kata Ki Shiwananda pada ayah angkatnya yang marah itu. "Kami sudah mempergunakan sihir, akan tetapi semua ilmu sihir kami dipunahkan oleh pemuda yang bernama Bagus Seto itu. Ilmu kedua orang kakak beradik itu memang luar biasa hebatnya.”

"Hal itu tidaklah aneh sekali, karena mereka adalah anak-anak dari Endang Patibroto," kata pula Ni Dewi Durgomala kepada Wasi Shiwamurti yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya.

"Apa? Anak-anak Endang Patibroto?" bentak Wasi Shiwamurti. "Kalau begitu mereka adalah musuh-musuh kita yang harus dibasmi!”

Selagi Wasi Shiwamurti marah-marah, datanglah Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat Blambangan dan bersama dia datang pula Wasi Surengpati penasihat dari kadipaten Nusabarung. Sang Wasi Shiwamurti menerima kedatangan dua orang rekannya ini dan alangkah marahnya ketika dia mendengar pula dari mereka bahwa dua orang rekannya itu telah bertemu dengan Endang Patibroto, bertanding dan mereka kalah!

"Babo-babo, Endang Patibroto keparat! Kembali engkau yang menghalangi pekerjaan kami, bersama kedua orang anakmu. Aku tidak akan kembali ke Cola sebelum dapat membunuh engkau dan anak-anakmu!" Wasi Shiwamurti memukulkan tongkat naganya ke atas lantai dan pecahlah lantai itu.

“Di mana mereka sekarang? Di mana wanita jahanam itu dan anak-anaknya?" tanya Wasi Shiwamurti.

"Endang Patibroto datang ke Nusabarung untuk mencari kedua orang anaknya," kata Wasi Surengpati.

"Dan kedua orang muda itu agaknya pergi ke timur dan kalau tidak salah perhitungan kami, sekarang mereka tentu sudah berada di daerah Blambangan," kata Ni Dewi Durgomala.

"Bagus! Biarkan mereka semua masuk ke Blambangan sehingga mudah kita mencarinya. Aku sendiri yang akan turun tangan membasmi mereka!" kata Wasi Shiwamurti yang marah bukan main.

"Sebaiknya kalau kita melapor kepada Kanjeng Adipati agar diadakan persiapan untuk mencari mereka di daerah Blambangan. Siapa yang melihat mereka diwajibkan memberi laporan secepatnya, dengan cara demikian kita akan mudah menemukan mereka," kata Wasi Karangwolo.

Semua rekannya setuju. Mereka berlima lalu pergi menghadap Adipati Menak Sampar. Adipati Menak Sampar menerima kedatangan lima orang tokoh yang dihormatinya itu.

"Paman Wasi Karangwolo telah pulang?" tanyanya kepada penasihatnya itu. "Bagaimana kabarnya dengan usaha andika menyebar agama, dan agaknya ada keperluan penting sekali maka andika menghadap, didampingi oleh Wasi Surengpati, Wasi Shiwamurti, Ki Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala.”

"Sesungguhnya ada peristiwa penting yang telah terjadi, Kanjeng Adipati. Agaknya daerah Blambangan telah disusupi telik-sandi (mata-mata) yang amat berbahaya, yaitu Endang Patibroto dan kedua orang anaknya yang bernama Bagus Seto dan Retno Wilis.”

"Ahhhh...!" Wajah sang adipati berubah pucat mendengar nama itu. Endang Patibroto dan Retno Wilis adalah nama-nama yang amat terkenal di Blambangan sebagai nama dua orang wanita yang memiliki kesaktian hebat dan amat berbahaya.

"Benarkah? Bagaimana andika dapat mengetahuinya?" tanyanya.

"Saya sendiri dan adi Wasi Surengpati sudah bertemu dan bertanding dengan Endang Patibroto, sedangkan anakmas Shiwananda dan Ni Dewi Durgomala sudah bertemu dengan Bagus Seto dan Retno Wilis dan juga sudah bertanding dengan mereka.”

Orang-orang yang bersangkutan itu lalu menceritakan pengalaman mereka secara terperinci, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Adipati Menak Sampar.

"Karena itulah maka kami datang melapor kepada paduka, Kanjeng Adipati, agar dapat diambil langkah-langkah yang perlu untuk dapat menemukan tiga orang itu," kata Wasi Karangwolo.

Adipati Menak Sampar mengangguk-angguk lalu memberi tanda memanggil seorang pengawal. Setelah pengawal menghadap, dia lalu memerintahkan,

"Kamu pergilah dan panggil Senopati Rajahbeling dan Senopati Kurdolangit untuk sekarang juga datang menghadap ke sini!”

Tak lama kemudian dua orang senopati Blambangan itu muncul dan menghadap Sang Adipati sambil menyembah. Senopati Rajahbeling adalah seorang senopati yang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan tampak gagah sekali. Dia adalah ayah dari Kalinggo, pemuda Blambangan yang pernah mengikuti sayembara tanding di Nusabarung. Adapun yang kedua bernama Senopati Kurdolangit, orangnya tinggi kurus akan tetapi dia seorang yang digdaya dan amat terkenal di Blambangan.

"Kedua kakang senopati! Andika berdua terkejut kami panggil?”

"Benar, Kanjeng Adipati. Ini bukan waktunya bersidang, maka kami tentu saja heran mendapat panggilan ini," jawab Senopati Rajahbeling.

"Ketahuilah, kakang senopati. Ternyata di daerah kita Blambangan ini telah kemasukan tiga orang telik sandi yang berbahaya. Bahkan mereka pernah mengacau di Nusabarung dan kini mereka menuju ke Blambangan. Tahukah kalian siapa mereka?”

Dua orang senopati itu saling pandang dan menggelengkan kepala.

"Kami tidak dapat menduganya, gusti.”

"Ketahuilah bahwa telik sandi itu adalah Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto.”

Dua orang senopati itu sudah mendengar nama Endang Patibroto dan Retno Wilis, bahkan sudah tahu bahwa mereka itu adalah dua orang wanita yang sakti dari Panjalu.

"Di mana mereka, Kanjeng Adipati? Kami akan mengerahkan prajurit untuk menangkap mereka.”

"Inilah persoalannya. Kami belum tahu mereka kini berada di mana. Karena itu kutugaskan kalian untuk menyebar prajurit dan mata-mata. Kalau ada yang melihatnya agar cepat memberi kabar kepada Paman Wasi Karangwolo sekalian para Paman Wasi yang berada di sini agar mereka dapat ditangkap. Mereka itu sakti dan pandai menyamar, maka setiap ada orang asing memasuki wilayah Blambangan, harus diperiksa dengan cermat.”

Dua orang senopati ini menyatakan kesanggupan mereka, kemudian memberi hormat dan mengundurkan diri. Adipati Menak Sampar masih bercakap-cakap dengan para pimpinan agama Shiwa-Durgo-Kala itu, membicarakan persiapan dan rencana mereka untuk penyebaran agama dan kemudian untuk memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala. Masuknya Endang Patibroto dan Retno Wilis merupakan bahan pembicaraan mereka yang penting dan Wasi Shiwamurti sendiri mengatakan bahwa dia akan turun tangan sendiri terhadap kedua orang wanita sakti itu.

"Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi, dan kiranya hanya saya yang akan dapat mengatasi mereka,” kata Wasi Shiwamurti dan hal ini dibenarkan oleh yang lain, yang telah merasakan kehebatan ilmu kepandaian dua orang wanita itu.

"Jangan dilupakan pemuda yang bernama Bagus Seto itu, kakang Wasi," kata Wasi Karangwolo. "Biar pun kami belum mengetahui benar tingkat kadigdayaannya, tapi dalam hal menghadapi ilmu sihir dia tangguh bukan main."

Wasi Surengpati membenarkan pendapat Wasi Karangwolo ini dengan mengangguk-angguk.

"Heh-heh-heh, jangan khawatir. Selama ini ilmu sihirku tidak pernah gagal terhadap siapa pun juga. Pendeknya, kalau sudah diketahui dimana adanya Endang Patibroto, Retno Wilis, dan Bagus Seto, beri-tahulah kepadaku dan aku akan menangkap mereka bertiga.”

Ucapan Wasi Shiwamurti ini bukan sekedar bualan belaka. Wasi yang satu ini adalah saudara seperguruan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo yang memiliki kesaktian tinggi. Bahkan setelah mendengar betapa dua orang kakak seperguruannya ini tewas, dia segera memperdalam ilmunya sehingga kini ilmu kesaktiannya sudah melebihi kesaktian kedua orang kakak seperguruannya itu. Terutama sekali dalam hal ilmu sihir, dia jauh melebihi kedua orang wasi yang telah tewas itu.

Mulai hari itu juga ratusan orang prajurit disebar dan di mana-mana diadakan penjagaan. Bahkan sampai jauh ke luar kota kadipaten Blambangan para prajurit itu mencari Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto, memeriksa semua orang asing yang kebetulan lewat di situ.

Bagus Seto dan Retno Wilis yang sedang mengadakan perjalanan dan tiba di perbatasan daerah Blambangan segera mendengar cerita para penduduk dusun bahwa pasukan Blambangan sedang mengadakan pencarian terhadap telik sandi dari Panjalu dan banyak orang yang dicurigai sebagai pendatang baru dari luar daerah Blambangan ditangkapi.

"Ahh, mereka tentu sedang mencari-cari kita, kakangmas Bagus Seto. Tentu Adipati Blambangan telah mendengar tentang diri kita dari Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati ketika kita berada di kadipaten Nusabarung.”

"Kukira bukan hanya kedua orang wasi itu saja, diajeng. Akan tetapi Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda telah melapor pula ke sana. Agaknya, pusat penyebaran agama baru itu berasal dari Blambangan.”

"Kalau begitu bagaimana baiknya, kakang? Agaknya akan sukar sekali untuk melakukan perjalanan ke dalam daerah Blambangan dan menyelidiki keadaan di sana.”

"Akan lebih mudah mereka ketahui kalau kita mengadakan perjalanan berdua. Sebaiknya kita berpencar saja ketika masuk ke Blambangan, lalu kita saling bertemu di Blambangan. Bagaimana pendapatmu?”

"Begitu juga baik dan aku akan menyamar sebagai seorang pemuda.”

"Akan tetapi engkau harus dapat menahan diri, jangan menimbulkan keributan, Retno. Pertahankan perasaanmu agar tidak mudah terpancing untuk berkelahi karena hal itu akan mudah mengenal kita.”

"Sebaiknya jika di luar pakaian kita yang putih, kita memakai pakaian lain yang berwarna sehingga tidak menarik perhatian. Dan jangan memakai nama Joko Wilis karena nama itu sudah dikenal baik oleh mereka.”

"Lalu aku harus memakai nama apa, kakang?”

"Kita menggunakan nama sederhana saja dan menyamar sebagai pemuda dusun. Aku akan memakai nama Joko Slamet dan engkau memakai nama Joko Waras.”

Retno Wilis tersenyum. "Wah, nama yang mudah sekali diingat. Baiklah, kakang Slamet, mulai sekarang aku memakai nama Joko Waras.”

Setelah membeli beberapa potong pakaian dari penduduk dusun, Retno Wilis berdandan sebagai seorang pemuda dusun. Juga Bagus Seto mengenakan pakaian biasa berwarna biru untuk menutupi pakaiannya yang serba putih. Setelah selesai berdandan, Retno Wilis berdiri di depan kakaknya dan bertanya,

"Bagaimana pendapatmu, kakang? sudah pantaskah aku menjadi Joko Waras?”

Bagus Seto memandang wajah adiknya dan tersenyum.

"Engkau pandai sekali menyamar. Aku sendiri tentu akan pangling kalau tidak kau beri-tahu terlebih dulu. Ingat, jangan mencari keributan, adikku, dan kita akan saling bertemu di Blambangan.”

"Akan tetapi, Blambangan itu besar. Di mana kita akan bertemu, kakang?”

"Pada hari Respati sore datang saja ke alun-alun kadipaten. Aku akan berada di bawah pohon waringin yang berada di sana.”

Setelah mengingatkan kepada adiknya agar waspada dan sabar, tidak membiarkan diri terpancing ke dalam perkelahian, Bagus Seto lalu berpisah dari Retno Wilis, mengambil jalan masing-masing memasuki daerah Blambangan.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar