Sepasang Garuda Putih Jilid 20

Pertandingan sudah berlangsung empat puluh jurus dan keadaan mereka seimbang. Si Jenggot kambing itu memiliki pukulan yang lebih mantap akan tetapi Sarrnini jelas lebih cepat gerakannya sehingga dia yang lebih banyak menekan dan mendesak. Tiba-tiba saja Sarmini menerjang lagi dan kali ini ia bergerak sambil mengeluarkan teriakan melengking tinggi.

Mendengar lengking nyaring ini, si jenggot kambing terkejut bukan kepalang dan saking kagetnya, gerakannya menjadi lambat dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba Sarmini meloncat dan kedua kakinya mendarat di dadanya!

"Bresss...!"


Si jenggot kambing terjengkang dan terbanting keras ke atas tanah. Sebelum Sarmini dapat menyusulkan serangan lanjutan, dia sudah mencabut goloknya dan memutar golok itu melindungi tubuhnya. Sarmini meloncat ke belakang.

"Pengecut! Kau menggunakan senjata!"

Si jenggot kambing itu bangkit berdiri dengan muka merah dan dia berkata, "Aku memang terdesak dalam pertandingan dengan tangan kosong. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku telah kalah. Aku tantang padamu untuk bertanding dengan senjata!"

Ucapannya dikeluarkan dengan suara lantang untuk menutupi rasa malunya karena dalam pertandingan tangan kosong tadi jelas bahwa dia sudah kalah. Sarmini tersenyum manis.

"Engkau sendiri yang menentukan, jangan menyalahkan aku kalau nanti engkau mampus di ujung kerisku!" katanya sambil mencabut sebatang keris dari ikat pinggangnya.

Keris itu kecil saja, panjangnya hanya dua jengkal dan tidak berluk, namun ada sinar mencuat keluar ketika dia mencabutnya. Setelah melihat gadis itu mancabut kerisnya, si jenggot kambing tidak berlagak lagi seperti tadi, melainkan segera memutar goloknya di atas kepala sehingga golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan suara bercuitan.

Melihat ini Retno Wilis mengkhawatirkan Sarmini, akan tetapi Bagus Seto yang berdiri di dekatnya berbisik, "Ia tidak akan kalah."

Si jenggot kambing sudah menyerang dengan sambaran goloknya ke arah leher Sarmini. Namun gadis ini dengan lincah dan dengan gerakan indah mengelak dengan loncatan ke kiri dan dari situ ia membalas dengan tusukan kerisnya ke lambung lawan.

Lawannya dapat mengelak sambil memutar golok melindungi lambungnya, kemudian dia menusukkan goloknya ke arah dada Sarmini. Tapi serangan ini pun dengan mudah dapat dihindarkan Sarmini dengan miringkan tubuhnya. Terjadilah serang menyerang yang lebih ramai dan menegangkan dari pada pertandingan tangan kosong tadi.

Kini si jenggot kambing tidak lagi membiarkan hatinya terpikat oleh kecantikan gadis itu, melainkan dia berusaha keras untuk menebus kekalahannya. Kalau perlu melukai atau bahkan membunuh lawannya. Setiap kali golok bertemu keris, terdengar suara berdencing nyaring dan tampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan menegangkan hati.

Kembali tiga puluh jurus sudah lewat, namun belum ada yang tampak mendesak atau terdesak. Ketika golok itu kembali meluncur dan membacoknya dari atas ke bawah, ke arah kepalanya, seolah hendak membelah tubuh gadis itu menjadi dua, dengan indahnya Sarmini mengelak kekanan dan kini secepat kilat kerisnya menyambar ke arah tangan yang memegang golok.

"Lepaskan...!” bentaknya nyaring dan si jenggot kambing langsung mengeluarkan teriakan mengaduh dan goloknya terlepas dari tangannya yang kini sudah berdarah, terluka oleh tusukan keris Sarmini. Sarmini menyusulkan tendangannya yang mengenai dada lawan.

Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh si jenggot kambing itu telah terjengkang untuk ke dua kalinya! Dia merangkak bangun, dengan terhuyung kembali ke rombongannya, wajahnya merah karena malu. Sarmini menggunakan kakinya untuk menendang golok yang terjatuh itu sehingga golok itu mencelat ke dekat kaki pemilik yang memungutnya dengan muka ditundukkan.

Tepuk sorak menyambut kemenangan Sarmini itu. Semua anak buah Jambuko Cemeng merasa girang atas kemenangan puteri ketua mereka. Sekarang Saroji melangkah maju menggantikan adiknya. Sambil tersenyum dia menantang.

"Siapa yang akan melawan aku?"

Sementara itu Sarmini sudah kembali ke dekat ayahnya. Dia mendekati Bagus Seto dan Retno Wilis, tersenyum bangga.

"Waduh, diajeng, ternyata engkau seorang gadis yang sakti!" Retno Wilis memuji.

"Ahh, lawanku itu saja yang hanya besar mulut akan tetapi tidak berisi." jawab Sarmini sambil mengerling ke arah Bagus Seto. Karena beberapa kali dilirik, Bagus Seto merasa tidak enak kalau berdiam saja.

"Andika memang hebat, dapat mengalahkan seorang yang digdaya seperti dia."

Dipuji demikian, Sarmini tersipu-sipu dan senyumnya semakin manis. Ia lalu mendekati ayahnya yang merasa girang dan merangkul puterinya dengan bangga.

Agaknya kini baru terbuka mata lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu betapa hebatnya kepandaian pimpinan Jambuko Cemeng. Melihat kehebatan gadis yang sudah mengalahkan saudara termudanya, pimpinan Lima Naga itu tidak mau bertindak gegabah. Dia dapat menduga bahwa tingkat kepandaian pemuda itu tentu lebih tinggi dari pada tingkat adiknya. Oleh karena itu dia sendiri yang melangkah maju menghadapi Saroji.

"Akulah yang akan menghadapimu, orang muda. Aku tantang engkau untuk bertanding dengan senjata!" Dia memutar-mutar goloknya di atas kepala sehingga mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyeramkan.

"Baik,” kata Saroji dan dia menoleh kepada ayahnya.

Ki Haryosakti tertawa dan dia melemparkan tombak yang dipegangnya kepada puteranya sambil berseru,

"Pergunakan tombakku!"

Saroji menerima lontaran tombak itu dengan cekatan dan dia melintangkan tombak itu di depan dadanya dan berseru,

"Silakan maju, aku sudah siap!"

Si mata lebar juga tidak sungkan lagi. Begitu melihat pemuda itu menggunakan tombak yang dilontarkan ayahnya, dia lalu menerjang maju sambil memutar goloknya. Pemuda itu menangkis dengan tombaknya.

"Trang-cring-tranggg...!"

Terdengar bunyi nyaring berdenting berulang kali disusul muncratnya bunga api yang berpijar.

Mereka merasa betapa senjata mereka bertemu dengan tenaga yang kuat. Mereka cepat menarik kembali senjata masing-masing untuk memeriksa. Setelah melihat bahwa senjata mereka tidak rusak, mereka lalu saling serang lagi dengan hebatnya.

Ilmu kepandaian si mata lebar ini memang satu tingkat lebih tinggi dari pada kepandaian rekan-rekannya, akan tetapi Saroji juga telah memiliki ilmu kepandaian tinggi yang diwarisi dari ayahnya. Kedua orang yang bertanding mati-matian itu bergerak cepat sekali hingga tubuh mereka berkelebatan di antara sinar golok dan tombak.

Retno Wilis memandang kagum. Pemuda itu cukup tangguh, pikirnya dan dia pun dapat menduga bahwa bajak bermata lebar itu tentu akan kalah.

Pertandingan sudah berlangsung lima puluh jurus dan mulai tampak tanda-tanda bahwa bajak itu mulai terdesak mundur dan pernapasannya sudah ngos-ngosan. Sebaliknya, gerakan tombak Saroji semakin mantap.

Ketika mendapat kesempatan baik, Saroji mengeluarkan bentakan nyaring. Bentakan ini sama dengan bentakan adiknya tadi, mengandung wibawa dan pengaruh kuat sehingga Retno Wilis dan Bagus Seto tahu bahwa dua orang kakak beradik itu sudah menerima latihan kekuatan bathin dari ayahnya.

Si mata lebar juga terkejut. Dia tahu bahwa lawannya yang muda mengerahkan aji lewat bentakannya. Dia mengerahkan tenaga untuk menolak, akan tetapi kekagetannya yang hanya sejenak itu merugikannya. Kesempatan selagi dia terkejut tadi sudah dipergunakan oleh Saroji untuk menggerakkan tombaknya menyapu kedua kaki lawan.

Si mata lebar tidak mampu mengelak dan kedua kakinya kena diserampang, membuat dia roboh terpelanting dan pada saat dia roboh, Saroji sudah menusukkan ujung tombaknya pada tangan kanannya yang memegang golok. Tangannya terluka dan golok itu terlepas dari pegangannya. Dia hendak melompat bangun, akan tetapi secepat kilat ujung tombak sudah menodong dadanya sehingga terpaksa dia diam tidak berani bergerak.

"Engkau telah kalah!" kata Saroji kepada pemimpin Lima Naga itu.

Si mata lebar menjadi pucat mukanya, lalu berubah merah dan dengan suara berat dia mengakui. "Aku sudah kalah!"

Saroji menarik kembali tombaknya dan tersenyum sambil mundur mendekati ayahnya dan mengembalikan tombak itu. Bagus Seto merasa senang melihat sikap Sarmini dan Saroji. Dua orang muda ini berhati baik, tidak kejam terhadap musuh sehingga tidak membunuh atau melukai berat. Dua sifat baik ini dia catat dalam hatinya.

"Ilmu tombaknya bagus sekali," Retno Wilis juga memuji dan Bagus Seto melirik ke arah adiknya yang memandang ke arah pemuda itu dengan kagum.

"Wataknya juga baik," kata Bagus Seto sambil tersenyum.

Kini Ki Haryosakti melangkah maju sambil membawa tombaknya.

"Dua orang di antara kalian berlima sudah kalah. Sekarang tinggal tiga orang lagi di antara kalian. Kalian bertiga boleh maju kalau masih penasaran, dan kalian bertiga boleh maju bersama untuk mengeroyok aku! Dua orang yang sudah kalah, jika tidak mengenal malu, boleh maju pula membantu!"

Tantangan ini hebat sekali. Lima Naga itu jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi dan biar pun mereka tidak akan menang melawan Ki Haryosakti kalau maju satu-satu, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng ini menantang mereka bertiga, bahkan berlima!

Akan tetapi ucapannya membuat si mata lebar dan si jenggot kambing merasa malu untuk maju lagi karena mereka memang telah kalah. Kini tiga orang dari mereka melompat maju sambil menggerakkan golok, dan mereka merasa berbesar hati.

Meski pun kedua orang rekan mereka sudah kalah, mereka bertiga belum kalah. Dan biar pun kini yang dihadapi adalah ketua Jambuko Cemeng sendiri yang tentu lebih tinggi tingkat kepandaiannya, namun mereka maju bertiga. Tidak mungkin mereka bertiga kalah oleh seorang lawan saja!

"Kakang, kenapa dia begitu berani?” bisik Retno Wilis pada kakaknya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengan Ki Haryosakti.

Bagus Seto tersenyum. "Dia sudah melihat tingkat kepandaian mereka, tentu saja dia menjadi berani karena sebelumnya sudah tahu bahwa dia akan menang."

Kini berlangsunglah pertandingan yang mendebarkan hati. Ki Haryosakti melawan tiga orang pengeroyok yang mempergunakan golok mereka. Dan tiga orang itu tidak hanya main-main, melainkan mengeroyok dengan niat membunuh. Golok mereka menyambar-nyambar bagaikan kilat dari segala jurusan.

Akan tetapi Ki Haryosakti ternyata memiliki ilmu tombak yang amat hebat. Gerakannya sama dengan yang dimainkan Saroji tadi, akan tetapi lebih cepat dan jauh lebih kuat dari pada tadi. Kini setiap kali golok lawan bertemu dengan tombak, golok itu pasti terpental dan hampir terlepas dari pegangan pemiliknya.

Perkelahian itu bagaikan tiga ekor anjing mengeroyok seekor harimau. Tidak pernah tiga orang pengeroyok itu mampu mendesak Ki Haryosakti.

Bagus Seto dan Retno Wilis memandang kagum. Mereka berdua maklum bahwa Ketua Jambuko Cemeng itu memang benar-benar tangguh. Kedigdayaan ini masih ditambah lagi dengan kekuatan ilmu sihirnya yang dapat menguasai orang lain melalui bentakan.

"Perkelahian ini tidak akan lama," pikir Retno Wilis.

Dan memang demikianlah. Belum sampai tiga puluh jurus Ki Haryosakti berseru tiga kali, sinar tombaknya menyambar-nyambar lalu tiga orang itu terjengkang dan terkapar tewas dengan dada tertembus tomhak! Seperti tadi ketika Sarmini dan Saroji keluar sebagai pemenang, kini kemenangan Ki Haryosakti disambut sorak sorai para anggota Jambuko Cemeng.

Dua orang di antara lima orang penyerbu yang sudah kalah tadi kini memandang dengan muka pucat kepada tiga orang rekannya yang sudah tak bernyawa. Ki Haryosakti tertawa dan berkata kepada mereka berdua yang bermuka pucat.

"Ha-ha-ha-ha! Kami sengaja membiarkan kalian berdua hidup agar dapat membawa pergi tiga mayat ini dan melaporkan kekalahanmu kepada ketuamu. Kalau Ketua Bala Cucut tidak terima, dia boleh datang untuk mengantar nyawanya ke sini. Ha-ha-ha!"

Mendengar ucapan itu, si mata lebar dan si jenggot kambing cepat-cepat mengangkat tiga mayat rekan-rekan mereka dan segera pergi dari tempat itu. Mereka tidak dapat berkata apa-apa lagi dan mereka meninggalkan pintu gerbang perkampungan Jambuko Cemeng.

Ki Haryosakti memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis lalu tertawa bangga.

"Bagaimana pendapat andika berdua dengan peristiwa tadi?"

Retno Wilis tak menjawab, maka Bagus Seto yang menjawab. "Kejadian ini membuktikan bahwa kepandaian andika dan kedua putera andika amat tinggi. Akan tetapi sayang, sikap andika hanya akan mendatangkan keributan dan pertengkaran."

"Eh, mengapa begitu, anakmas?" tanya Ki Haryosakti sambil memandang kepada Bagus Seto dengan penasaran.

"Paman telah membunuh tiga orang tokoh Bala Cucut dan membiarkan yang dua orang pulang melapor kepada pimpinan mereka, maka tentu pimpinan Bala Cucut tidak akan tinggal diam dan akan menyerang ke sini."

"Ha-ha-ha, kalau benar, dia berani datang, takut apa? Aku akan membunuhnya. Memang Bala Cucut sudah lama mencari perkara, berani merampoki dusun di sekitar pantai yang masih termasuk wilayah kami. Mari kita lanjutkan pesta kita yang tadi terganggu."

Dia lalu mengajak kedua orang tamunya untuk memasuki rumah besarnya dan ditemani isterinya, Saroji dan Sarmini, mereka lalu makan minum.

"Terima kasih atas kebaikan paman," kata Bagus Seto. "Sesudah kami dijamu makanan dan diterima dengan hormat, kini kami hendak mohon diri untuk melanjutkan perjalanan kami."

"Eh-eh, nanti dulu. Dan jangan menyebut aku dengan sebutan paman. Terus terang saja, setelah melihat diajeng Retno Wilis, timbul keinginan hatiku untuk mengangkat ia menjadi isteriku. Bagaimana pendapatmu, adimas Bagus Seto?"

"Ayah...!” kembali Sarmini berseru penasaran.

"Diam kau!" bentak ayahnya, lalu dia berkata kepada Retno Wilis. "Diajeng Retno Wilis, maukah andika menjadi isteriku. Aku adalah seorang yang suka berterus terang dan jujur, maka kusampaikan keinginan hatiku itu tanpa pura-pura lagi. Bagaimana pendapat andika berdua?"

Sepasang mata Retno Wilis sudah mencorong tanda bahwa ia marah sekali, akan tetapi Bagus Seto tersenyum kepadanya.

"Urusan perjodohan adalah urusan yang penting sekali, oleh karena itu perkenankan kami kakak beradik untuk merundingkan hal ini lebih dulu berdua saja."

"Ah, tentu saja, tentu saja boleh! Hanya saja andika berdua harus mengetahui bahwa aku, Ki Haryosakti, bila sudah menghendaki sesuatu maka kehendakku itu harus tercapai, dan bahwa aku adalah seorang laki-laki yang bertanggung-jawab, maka jangan khawatir kalau kelak aku akan menyia-nyiakan diajeng Retno Wilis."

Hati Retno Wilis sudah menjadi panas sekali, akan tetapi Bagus Seto segera memegang tangannya kemudian mengajak gadis itu menyingkir ke ruangan lain agar dapat berbicara berdua saja.

"Aduh, kakang. Tidak kuat hatiku, kalau engkau tidak membawaku ke sini tentu sudah kuhajar si mata keranjang itu!" kata Retno Wilis.

"Sabar dan tenanglah, diajeng. Dia bukan seorang jahat, hanya mata keranjang. Akan tetapi dia jujur, mengaku terus terang di depan isteri dan anak-anaknya. Dan kurasa dia tidak membual saja ketika mengatakan bahwa apa yang diinginkan harus tercapai."

"Apa? Apa maksudmu, kakang? Apakah aku harus menerima saja...?”

"Sabar dahulu, jangan terburu nafsu. Kalau engkau marah dan menyerangnya, kita akan berhadapan dengan seluruh anak buah Jambuko Cemeng yang jumlahnya amat banyak. Pula, bukankah kedua puteranya itu merupakan muda mudi yang baik? Sayang jika kita sampai bermusuhan pula dengan mereka."

"Lalu apa maksudmu sebenarnya?"

"Begini, diajeng. Kita harus menghadapi urusan ini dengan halus. Kita harus menyadarkan Ki Haryosakti dengan cara halus pula. Serahkan saja kepadaku, dan akulah yang akan mengatur semuanya. Engkau hanya menyatakan menyerah saja dan nanti kalau diadakan pesta pernikahan, aku yang akan mengatur supaya engkau lolos dari urusan ini. Dengan cara ini tidak akan sampai terjadi keributan dengan dia serta anak buahnya. Mereka ini merupakan kekuatan yang lumayan, jika kita bisa menariknya agar setia kepada Panjalu, tentu amat menguntungkan."

Retno Wilis cemberut. "Kalau menurutkan kata hatiku, ingin aku menghajar dia sampai dia bertobat, dan kalau anak buahnya mengeroyok, akan kuhajar semua!"

"Jangan, diajeng. Turutilah nasihatku dan semuanya ini akan terlewat dengan aman dan baik."

"Baik, sesukamulah, kakang. Aku serahkan kepadamu untuk mengaturnya, akan tetapi aku tetap tidak sudi kalau harus menjawab sendiri dan menyatakan persetujuanku untuk menjadi isteri mudanya!"

"Baik, jangan khawatir, biar aku yang menghadapinya."

Sesudah berkata demikian Bagus Seto menggandeng tangan adiknya ke luar dari sana memasuki ruangan di mana Ki Haryosakti masih menanti. Ketika mereka masuk, Saroji dan Sarmini memandang kepada mereka dengan alis berkerut. Isteri Ki Haryosakti juga memandang akan tetapi hanya sebentar. Wanita ini agaknya tidak mempunyai hak suara dalam urusan ini dan hanya tunduk saja menurut apa yang dikehendaki suaminya.

"Ha-ha-ha, kalian telah kembali? Dan bagaimana dengan keputusan jawaban kalian? Aku hanya mengharap agar jawaban itu tidak mengecewakan aku!" kata Ki Haryosakti sambil memandang kepada Retno Wilis dengan matanya yang lebar.

"Diajeng Retno Wilis, bagaimana jawabanmu terhadap pinanganku?" Dengan terus terang dia bertanya kepada gadis itu.

Retno Wilis terpaksa menundukkan mukanya agar jangan tampak betapa ia marah sekali. "Jawabannya kuserahkan kepada kakangmas Bagus Seto," katanya lirih.

"Bagus, memang seharusnya urusan perjodohan diatur oleh orang tua, dan kakakmu ini dapat saja mewakili kedua orang tuamu. Bagaimana, adimas Bagus Seto, sudahkah kau menentukan jawaban atas pinanganku?"

"Sudah, kakangmas Haryosakti. Kami berdua setuju dan menyerah saja atas kehendak andika," jawab Bagus Seto dengan suara bersungguh-sungguh.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang juga akan kuperintahkan kepada anak buahku untuk bersiap-siap. Pernikahan akan dilangsungkan lusa atau keesokan harinya!"

"Ayah, sudah tepatkah apa yang menjadi keputusan ayah itu?" mendadak Saroji berkata kepada ayahnya dengan suara lantang.

"Saroji, apa maksudmu?"

"Ayah, diajeng Retno Wilis masih begini muda, pantaskah menjadi isteri ayah?"

"Tutup mulutmu! Ini bukan urusanmu melainkan urusanku pribadi. Bila engkau tak setuju, engkau boleh pergi dari sini!"

"Ayah...!” Sarmini berseru.

"Sudah, kalian dua orang anak-anak tahu apa! Diamlah dan jangan membuat aku marah!" Ki Haryosakti membentak.

Isterinya hanya menundukkan mukanya, tidak berani mencampuri.

"Sambil menanti datangnya hari pernikahan, kalian berdua menjadi tamu kehormatan di sini. Saroji, Sarmini, antar mereka ke kamar samping. Berikan dua kamar untuk mereka dan layani mereka baik-baik!"

Dua orang anaknya yang diperintah itu lalu bangkit berdiri. Saroji menghampiri Bagus Seto sedangkan Sarmini menghampiri Retno Wilis. Bagus Seto dan Retno Wilis juga berdiri dan mengikuti mereka berdua. Sesudah mereka tiba di jajaran kamar di samping rumah besar itu, Saroji tidak mampu menahan kesabarannya lagi dan bertanya kepada Bagus Seto.

"Kakangmas Bagus Seto, apa artinya semua ini? Kenapa andika setuju saja jika diajeng Retno Wilis diperisteri oleh ayah?" pertanyaan ini diajukan dengan suara tidak senang.

"Dan andika ini bagaimana, mbakyu Retno Wilis. Mengapa tidak menolak untuk diperisteri ayah?" tanya pula Sarmini kepada Retno Wilis.

Retno Wilis hanya melirik saja kepada kakaknya. Kalau menurutkan kata hatinya ingin ia meneriakkan bahwa ia tidak sudi diperisteri Ki Haryosakti.

Bagus Seto tersenyum. "Ki Haryosakti adalah seorang yang gagah perkasa dan sangat sakti. Kalau kehendaknya tidak dipenuhi tentu dia akan marah kepada kami. Maka kami terpaksa menerimanya."

"Terpaksa menerima?" kata Saroji. "Kenapa terpaksa? Kalau kalian menolak, kami akan melindungi kalian. Ayah kami tidak pernah berbuat jahat, tentu tidak akan menggunakan kekerasan. Dia hanya tertarik oleh diajeng Retno Wilis dan menyatakan perasaannya itu dengan terus terang. Tetapi dia tidak akan memaksa kalau diajeng Retno Wilis menolak!"

Bagus Seto tersenyum. Ia tahu bahwa pemuda ini masih kurang pengalaman. Betapa pun baiknya Ki Haryosakti, bila dia telah tergila-gila kepada Retno Wilis, maka penolakannya tentu akan mendatangkan keributan dan mungkin Ki Haryosakti tidak akan malu-malu lagi untuk melakukan pemaksaan.

"Tetapi ini tidak pantas!" Sarmini berkata marah. "Kalau ayah meminang mbakayu Retno Wilis untuk kakang Saroji, ini namanya pantas. Bukan untuk diri sendiri!"

Wajah Seroji menjadi kemerahan mendengar ucapan adiknya ini. "Adikku Sarmini, engkau pun pantas sekali kalau menjadi isteri kakangmas Bagus Seto!" Dia membalas.

Sarmini memandang kakaknya dengan pipi merah. "Ihh..., engkau ada-ada saja, kakang!" berkata demikian gadis manis itu lalu berlari pergi meninggalkan mereka.

"Jangan khawatir, adimas Saroji. Jika benar-benar andika tak setuju dengan niat ayahmu memperisteri adikku, kami akan mengusahakan agar hal itu tak akan terjadi, dan mudah-mudahan ayahmu dapat menyadari kesalahannya," kata Bagus Seto.

Saroji memandang dengan alis berkerut. Pemuda itu telah menyanggupi, telah menyetujui adiknya menikah dengan ayahnya, bagaimana mungkin hal itu dibatalkan?

"Membatalkan janji merupakan kesalahan besar," katanya. "Kalau penolakan, itu adalah hak kalian. Kenapa tidak menolak saja tadi?"

"Andika tidak mengerti. Sudahlah, harap tidak merisaukan hal itu. Aku yang menanggung bahwa pernikahan itu tidak akan terjadi."

Saroji meninggalkan kakak beradik itu dengan hati bertanya-tanya. Apakah yang akan dilakukan dua orang itu untuk membatalkan pernikahan itu? Sementara itu, dengan hati senang sekali Ki Haryosakti memimpin para anggotanya untuk membuat persiapan pesta besar-besaran untuk merayakan pernikahannya dengan Retno Wilis.

Perayaan itu diadakan pada senja hari, dihadiri oleh seluruh penduduk perkampungan itu dan mereka semua mengenakan pakaian baru serba hitam. Semua penduduk bergembira mendengar ketua mereka hendak menikah dengan gadis jelita yang menjadi tamu agung di perkampungan itu.

Retno Wilis dibawa oleh isteri Ki Haryosakti ke dalam kamar pengantin dan di situ Retno Wilis didandani dengan pakaian pengantin. Selain seorang wanita yang biasa mendadani pengantin, di situ hadir pula Sarmini dan ibunya. Isteri KiHaryosakti ini agaknya menerima nasib, tidak tampak berduka walau pun suaminya hendak menikah lagi.

Semua orang sibuk berlalu lalang untuk membantu persiapan pesta. Tiga ekor sapi telah dipotong dan entah berapa puluh ekor ayam. Di dapur para wanita sibuk memasak, ada pun para pria masih ada yang sibuk menghias ruangan depan yang akan dipakai sebagai tempat pertemuan kedua mempelai dan tempat duduk para anggota Jambuka Cemeng.

Karena segera akan menjadi isteri ketua Jambuko Cemang, Retno Wilis juga diharuskan mengennakan pakaian pengantin yang terbuat dari kain sutera berwarna hitam! Mukanya memakai kerudung hitam pula sehingga hanya nampak sedikit dari balik cadar hitam itu. Bagus Seto sejak tadi tidak tampak akan tetapi hal ini tidak dipedulikan orang.

Gamelan yang berada di ruangan depan sudah dipukul orang sejak sore tadi. Anak-anak dengan gembira bermain-main di dekat situ sambil menonton gamelan yang mengiringi suara merdu tiga orang penyanyi. Tempat upacara pertemuan pengantin berikut tempat duduk para tamu sudah dirias dengan janur-janur dan kain warna-warni.

Sesudah waktunya tiba, pengantin wanita yang memakai cadar itu dibawa keluar kamar pengantin dan dipertemukan dengan pengantin pria sebagaimana mestinya diiringi suara gamelan yang memainkan lagu-lagu pertemuan pengantin, disaksikan oleh para anggota Jambuka Cemeng. Beberapa orang pini sepuh dari perkampungan itu yang melakukan upacara pernikahan itu dan semua orang mengikuti dengan gembira.

Akhirnya sepasang pengantin duduk bersanding dan semua tamu mulai berpesta makan minum dengan penuh kegembiraan.

Saroji menghampiri adiknya. "Ehh, kemana perginya kakangmas Bagus Seto? Sejak sore tadi aku tidak melihatnya."

Sarmini mengerutkan alisnya. "Sejak tadi aku juga mencarinya, akan tetapi dia tidak ada. Jangan-jangan dia sudah pergi meninggalkan tempat ini dengan diam-diam."

"Mana mungkin?" Saroji menoleh ke arah pengantin wanita yang duduk di dekat ayahnya dengan pandang mata penasaran. "Tidak mungkin dia meninggalkan adiknya."

"Ehh, kakang Saroji, apakah engkau melihat ibu?"

"Tidak, apakah tadi tidak bersama kita?"

"Memang tadi bersama kita semua, ikut membawa pengantin keluar kamar, akan tetapi setelah itu dia tidak tampak lagi. Jangan-jangan ibu menyembunyikan diri untuk menutupi kedukaannya, kakang!"

"Selama beberapa hari ini ibu tidak ada perubahan. Ibu sudah menerima kenyataan itu dengan sabar. Sungguh mengherankan, kenapa ibu tidak tampak dan kakangmas Bagus Seto juga tidak tampak."

"Mari kita berdua mencari kakangmas Bagus Seto!" Ajak Sarmini. "Bagaimana pun juga dia harus ikut merayakan pesta ini."

Kakak beradik itu lalu keluar dari tempat pesta. Di luar sunyi senyap, perkampungan itu sunyi karena semua orang pergi ke tempat pesta. Mereka mencari ke mana-mana namun percuma. Mereka tidak dapat menemukan Bagus Seto, juga tidak tampak ibu mereka di mana-mana.

Tentu saja hal ini membuat mereka berdua terheran-heran dan terpaksa mereka kembali ke tempat pesta yang sudah mulai bubaran karena pesta makan minum sudah selesai.

Sepasang mempelai memasuki kamar mereka dan karena ibunya tidak ada, Sarmini lalu mewakili ibunya mengantar sepasang mempelai ke kamar mereka. Sesudah pintu kamar ditutup, Sarmini masih berdiri termangu di depan kamar itu, pikirannya kacau dan gelisah karena dia tidak melihat ibunya.

Kemana perginya orang tua itu? Dan mengapa pula Bagus Seto tidak menghadiri pesta perayaan pernikahan adiknya? Ia pun teringat akan pembicaraan kakaknya dengan Bagus Seto dan Retno Wilis.

Bagus Seto menyatakan bahwa ia dan kakaknya tidak mengerti, dan menyatakan bahwa dialah yang akan mengurusnya agar pernikahan itu tidak sampai terjadi, bahkan pemuda itu berjanji akan menyadarkan ayahnya. Akan tetapi sesudah tiba waktunya, pemuda itu, pemuda yang amat dikaguminya, ternyata tidak muncul. Betapa kecewa hatinya!

Tiba-tiba terdengar ayahnya berteriak-teriak dan suara ibunya menangis dari dalam kamar pengantin itu.

"Jahanam, aku telah tertipu! Keluar kau, cari di mana ia!" terdengar ayahnya berteriak dan pintu kamar itu terbuka.

Ibunya keluar dan Sarmini terbelalak. Wanita yang bercadar itu, berpakaian pengantin itu, ternyata adalah ibunya! Pengantin wanita adalah ibunya!

Ki Haryosakti lalu meloncat keluar dan begitu melihat Sarmini, dia segera merangkulnya.

"Ahh, kiranya engkau di sini, diajeng Retno Wilis!" Sarmini hendak dipondongnya.

Sarmini meronta. "Ayah, ini aku, Sarmini! Lepaskan aku!"

Ki Haryosakti juga terbelalak dan sepperti baru habis mimpi, dia menggosok-gosok kedua matanya.

"Permainan apakah ini? Tiba-tiba ibumu yang menjadi pengantin wanita, dan engkau tadi kulihat seperti Retno Wilis! Siapakah yang bermain-main seperti ini?" Karena dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam ilmu sihir, tahulah dia bahwa dia menjadi permainan sihir yang amat kuat.

"Aku tidak tahu... tadi tahu-tahu mereka merias aku, dan aku sama sekali tidak mampu mengeluarkan suara..." Isteri Ki Haryosakti menangis dengan sedih.

"Apa engkau melihat Retno Wilis?" tanya suaminya.

"Tidak, aku sama sekali tidak melihatnya. Tahu-tahu dia sudah lenyap dari dalam kamar pengantin dan kulihat hanya Bagus Seto, itu pun hanya sebentar. Dia berdiri di luar pintu dan memandangku dengan sinar mata aneh."

"Huh, jangan-jangan ini permainan mereka! Mereka telah mempermainkan aku, jahanam!"

Pada saat itu terdengar sorak sorai riuh rendah yang datangnya dari luar perkampungan. Lalu datang tergopoh-gopoh tiga orang lari menghampiri Ki Haryosakti.

"Celaka, denmas, celaka. Bala Cucut datang menyerang dengan jumlah yang amat besar. Kini pemimpinnya sedang menantang-nantang di luar pintu gerbang!"

Mendengar ini Sarmini sudah berlari cepat keluar dari tempat itu. Ia hampir bertubrukan dengan Saroji yang juga keluar sambil membawa senjata tombak.

"Ada apa ribut-ribut itu?" tanya Saroji.

"Bala Cucut datang menyerbu, kakang. Mari kita ke sana!"

Mereka berdua berlari cepat untuk memimpin anak buahnya ke luar dari perkampungan. Ternyata di depan pintu gerbang sudah berdiri seorang kakek tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan mata kirinya ditutup dengan kain hitam, yang dilibatkan di kepalanya.

Kakek brewok itu berusia kurang lebih lima puluh tahun. Dia memegang sebatang golok besar yang tampaknya tajam sekali dan kelihatannya berat. Tempat itu disinari obor-obor yang dibawa para penyerbu, juga banyak anak buah Jambuko Cemeng yang membawa obor bernyala. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus orang dan mereka semuanya bersenjatakan golok. Kepala mereka diikat dengan kain merah dan wajah mereka semua tampak buas.

"Suruh Ki Haryosakti, ketua kalian keluar untuk mengadu ilmu dengan aku. Katakan ini Brajamusti ketua Bala Cucut telah datang untuk menantangnya! Cepat suruh dia keluar, atau kami akan membuat perkampungan Jambuko Cemeng menjadi karang abang (lautan api)!"

Mendengar ini Saroji dan Sarmini menjadi marah sekali. Mereka tahu bahwa ketua Bala Cucut ini hendak menuntut balas kematian tiga orang pembantunya.

"Tidak perlu ayah, kami berdua sanggup untuk mengirimmu ke neraka!" bentak Sarmini sambil menyerang dengan kerisnya.

Pada saat itu Saroji juga menyerang dengan tombaknya. Akan tetapi Brajamusti segera menggerakkan goloknya dan sekali golok bergerak, dia sudah menangkis kedua senjata itu dengan kuat sekali. Tombak dan keris itu terpental hingga hampir terlepas dari tangan kedua orang muda itu. Tentu saja mereka terkejut bukan main.

"Ha-ha-ha-ha, jangan anak kecil yang maju. Panggilkan ayah kalian!" kembali Brajamusti menantang.

Akan tetapi Saroji sudah kembali menyerang dengan menusukkan tombak ke dada orang tinggi besar itu dan Sarmini juga sudah menubruk sambil menikamkan kerisnya ke perut yang gendut itu.

"Tak...! Tak...!”

Keris dan tombak itu terpental seakan bertemu dengan dinding baja! Ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang sangat hebat.

"Ha-ha-ha-ha!" Brajamusti tertawa bergelak.

"Kalian berdua mundurlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Ki Haryosakti telah berdiri di situ, menyuruh kedua orang anaknya mundur.

Mendengar ini dan melihat betapa saktinya pemimpin Bala Cucut, dua orang muda itu lalu mundur dan menonton dengan hati tegang. Mereka tahu bahwa ayahnya kini berhadapan dengan lawan yang benar-benar sangat tangguh. Ki Haryosakti beradu pandang dengan Brajamusti.

"Andika inikah pemimpin Bala Cucut?" tanyanya dengan lantang.

"Ha-ha-ha-ha, benar, akulah pemimpin Bala Cucut. Namaku Brajamusti dan kalau benar engkau ini yang bernama Haryosakti pemimpin Jambuko Cemeng, bersiaplah kau untuk mampus di tanganku!"

"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat memecahkan gunung! Aku adalah Haryosakti dan selama hidupku belum pernah aku mundur menghadapi lawan. Apa maksudmu malam-malam begini datang dengan anak buahmu ke perkampungan kami?"

"Ha-ha-ha-ha, pertanyaan yang bodoh! Andika telah membunuh tiga orang anak buahku, tentu saja aku dating untuk membalas dendam!"

"Brajamusti, kalau benar engkau seorang gagah perkasa, datanglah pada waktu matahari telah bersinar sehingga kita dapat berhadapan dalam cuaca terang. Tidak datang seperti maling malam-malam begini. Kalau engkau berani, aku tantang engkau bertanding besok pagi setelah matahari terbit, di tempat ini! Dan tidak boleh ada yang membawa pembantu. Kita bertanding satu lawan satu. Kalau aku kalah, maka aku akan menyerah dan engkau boleh berbuat sesuka hatimu. Akan tetapi jika engkau yang kalah, engkau harus minggat dari sini bersama anak buahmu!"

Tidak ada yang tahu bahwa tantangan Ki Haryosakti ini mengandung kecerdikan. Dia tadi sudah banyak minum tuak, kini menjadi setengah mabok dan tentu saja dalam keadaan seperti itu dia tak akan dapat bertanding dengan baik. Selain itu pihak Bala Cucut datang pada malam hari, tentu sudah mempunyai perhitungan dengan baik, sedangkan pihaknya yang mendapat serangan mendadak di tengah malam itu belum sempat melakukan atau mengatur siasat. Dan lebih dari itu, baru saja dia mengalami guncangan batin yang hebat setelah melihat bahwa pengantin wanita yang dinikahinya ternyata adalah isterinya sendiri sedangkan Retno Wilis entah ke mana.

Di lain pihak, Brajamusti yang ditantang untuk bertanding besok pagi, tentu merasa malu untuk menolak. Menolak tantangan dapat diartikan tidak berani. Sebaliknya iapun mengira bahwa pihak tuan rumah tentu bisa mengatur siasat pertahanan yang lebih baik dari pada pasukannya yang tak mengenal medan. Kalau pertandingan dilakukan besok di pagi hari, dia tidak khawatir musuh mengatur jebakan-jebakan yang tidak terlihat di waktu malam.

"Babo-babo, siapa takut padamu, Haryosakti! Besok pagi di waktu matahari muncul, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawamu, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dia lalu meneriakkan anak buahnya agar mundur dan membuat perkemahan agak jauh dari kampung untuk melewatkan malam itu.

Sementara itu, Ki Haryosakti segera mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan dan menyusun pertahanan bila besok musuh datang menyerang. Setelah itu kembali dia mencari Retno Wilis, bahkan juga mengerahkan orang-orangnya untuk mencari di seluruh penjuru perkampungan itu. Namun segala usahanya sia-sia, Retno Wilis dan Bagus Seto tidak dapat mereka temukan!

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai bersinar mengusir kabut pagi, muncullah Brajamusti beserta belasan orang pembantunya yang menjadi pasukan pengawalnya dan di belakangnya datang berbondong-bondong anak buahnya yang semua sudah membawa golok telanjang. Sikap mereka itu menantang dan bengis sekali.

Ki Haryosakti menyambut musuh, diiringi Saroji dan Sarmini bersama pasukan pengawal yang belasan orang banyaknya. Namun pemuda dan gadis ini tidak berani sernbarangan maju karena mereka berdua sudah mengetahui kesaktian Brajamusti yang mempunyaii kekebalan yang luar biasa sehingga tombak dan keris mereka tidak mampu melukainya.

Ki Haryosakti yang sudah mendengar keterangan dua orang anaknya tentang kesaktian Brajamusti juga melarang mereka maju. Dia sendiri yang akan menghadapi Ki Bajramusti yang tangguh itu.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Ternyata Ki Brajamusti mempunyai kegagahan dan memenuhi tantanganku. Apakah andika sudah siap menghadapi kekalahan?" Ki Haryosakti berkata mengejek untuk menjatuhkan nyali lawan.

Ki Brajamusti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, masih untung tadi malam aku menitipkan nyawamu kepadamu, Haryosakti. Akan tetapi pagi ini aku akan mengambilnya dan semua orang-orangmu harus tunduk kepadaku atau akan kubasmi semua!"

"Babo-babo! Jangan omong besar. Sekarang tentukan bagaimana pertandingan diadakan. Kita berdua satu lawan satu, ataukah main keroyokan? Kami sudah siap!"

"Jangan seperti anak kecil, Haryosakti. Kita berdua adalah orang-orang tua yang harus memegang teguh janji. Kita akan bertanding satu lawan satu dan siapa yang kalah harus menaati kehendak yang menang. Bagaimana, setujukah engkau dengan peraturan ini?"

"Bagus, memang itulah yang kukehendaki. Marilah kita mulai!" jawab Ki Haryosakti yang telah membawa senjata pusakanya, yaitu tombak pusaka yang ampuh. Dia melintangkan tombak di depan dada dan sikapnya menantang, kuda-kudanya teguh.

Melihat ini Ki Brajamusti mengeluarkan suara tawa bergelak, kemudian ia memutar golok besarnya ke atas kepala sambil berseru, "Aku pun sudah siap, mari kita mulai!"

Ki Haryosakti tidak sungkan lagi, berteriak lantang, "Lihat tombakku!"

Dan tombaknya sudah menyambar ke depan dengan tusukan kilat ke arah perut lawan. Brajamusti menggerakkan goloknya menangkis serangan tombak yang sangat berbahaya itu. Sekarang tentu saja dia tidak berani mengandalkan kekebalan tubuhnya. Tombak itu sebatang tombak pusaka dan kini digerakkan oleh seorang yang mempunyai tenaga sakti kuat. Goloknya menangkis dari samping.

"Trangg...!"

Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa betapa telapak tangan mereka panas ketika senjata mereka saling bertemu.

Haryosakti menyusulkan serangan bertubi dengan tombaknya. Brajamusti memutar-mutar goloknya dan beberapa kali tombak itu tertangkis golok. Ketika mendapat kesempatan, Brajamusti membalas serangan lawan, goloknya menyambar dengan serangan maut.

Namun Ki Haryosakti cukup gesit untuk mengelak dan ketika golok itu terus menerjang dengan ganasnya, iapun menangkis dengan tombaknya dan kembali dua senjata bertemu dengan kuatnya. Serang menyerang terjadi dan kedua orang itu masing-masing merasa terkejut karena ternyata tingkat kepandaian mereka seimbang.

Mereka mengeluarkan semua kepandaian mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk mendapatkan kemenangan. Gerakan kedua orang itu demikian cepatnya sehingga bentuk golok dan tombak lenyap, berubah menjadi dua gulung sinar yang saling mendesak dan saling menekan. Satu jam lebih mereka bertanding dan belum tampak ada yang menang atau kalah. Entah sudah berapa puluh kali senjata mereka saling bertemu.

Namun diam-diam Haryosakti terkejut. Dia merasa betapa kedua tangannya menjadi lelah sekali karena benturan-benturan antara kedua senjata itu. Ternyata tenaga lawan luar biasa kuatnya. Karena maklum bahwa akhirnya dia akan kalah kalau pertandingan dengan senjata itu dilanjutkan, tiba-tiba dia melompat ke belakang dan berseru nyaring,

"Tahan senjata!"

Brajamusti menghentikan gerakannya dan tertawa.

"Ha-haha, belum lecet kulitmu engkau sudah mengajak berhenti. Apakah engkau hendak mengaku kalah, Haryosakti?"

"Siapa yang kalah? Aku tidak kalah. Akan tetapi karena dalam pertandingan adu senjata kita sama kuat, bagaimana kalau sekarang diganti dengan pertandingan tangan kosong? Kita mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang, bukan lagi mengandalkan senjata tetapi mengandalkan kadigdayaan. Beranikah engkau?"

Brajamusti kembali tertawa. Tadi dia sendiri sudah merasa bingung karena hingga sekian lamanya tak mampu mendesak lawan. Dan kini lawannya mengusulkan untuk bertanding tanpa senjata, maka tentu saja dia merasa senang sekali. Dia memiliki tubuh yang kebal dan tenaga yang besar.

"Bagus, siapa takut padamu? Mari kita lanjutkan dengan tangan kosong!"

Dia lalu menyerahkan goloknya kepada seorang pengawal. Haryosakti juga menyerahkan tombaknya kepada Saroji dan kedua orang ketua jagoan ini kini saling berhadapan lagi dengan tangan kosong. Diam-diam keduanya mengerahkan tenaga sakti yang disalurkan ke dalam kedua lengan, dan Haryosakti berteriak,

"Lihat pukulan!" dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, tangan kanannya menampar ke arah dagu lawan sedangkan tangan kirinya sudah siap menyusulkan serangan kalau tamparannya tidak berhasil.

"Hemm...!” Brajamusti mengelak dengan menarik mukanya ke belakang hingga tamparan itu luput dan ketika tangan kiri Haryosakti menyusulkan tonjokan ke arah dadanya, tangan kanannya membuat gerakan berputar dan dia sudah menangkis pukulan ke arah dadanya itu.

"Dukk...!” Kedua lengan bertemu dan keduanya mundur selangkah.

Brajamusti segera membalas serangan lawan dengan tendangan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali ke arah perut Haryosakti, akan tetapi ketua Jambuko Cemeng ini pun sudah dapat mengelak. Serang menyerang kembali terjadi di antara keduanya. Mereka mengerahkan tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh mereka dalam usahanya untuk merobohkan lawan.

Saroji dan Sarmini menonton dengan alis berkerut. Mereka berdua maklum bahwa pihak lawan sungguh sangat tangguh dan mereka tadi sudah melihat keringat membasahi leher ayah mereka ketika berhenti sebentar. Mereka berdua tak dapat membantu ayah mereka karena hal itu akan dianggap curang. Karena itu mereka hanya dapat menonton dengan jantung berdebar tegang.

Tidak lama kemudian kekhawatiran dua orang muda itu ternyata segera terbukti. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih, mulai tampaklah betapa Ki Haryosakti terdesak mundur. Sudah beberapa kali dia terkena tamparan serta pukulan lawan yang membuat dia terhuyung. Sebetulnya beberapa kali pukulannya juga bersarang pada tubuh lawan, akan tetapi ternyata tubuh itu kebal, membuat pukulannya mental kembali seperti mengenai benda dari karet saja.

"Robohlah!" Tiba-tiba Bajramusti berseru dan sebuah tendangan kakinya mengenai perut lawan.

Ki Haryosakti tak dapat menghindar. Perutnya tertendang dan dia pun roboh terjengkang! Bajramusti bertolak pinggang sambil menertawakan lawannya. Semua pembantunya ikut pula tertawa dan anak buahnya yang berada di belakang bersorak melihat kemenangan ketua mereka.

Sebaliknya, di pihak Jambuko Cemeng orang-orangnya hanya berdiam saja dengan hati tegang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar