Sepasang Garuda Putih Jilid 19

Sekarang mereka tiba di tengah hutan dan jalannya mendaki. Kemudian, di tengah-tengah hutan pegunungan tepi laut itu tampak sebuah perkampungan. Ada puluhan rumah di situ, rumah-rumah sederhana dan kecil yang mengelilingi sebuah rumah besar.

Penduduk perkampungan itu semuanya mengenakan pakaian serba hitam, tetapi muka mereka tidak memakai topeng. Ada kanak-kanak, ada pula wanita, tidak berbeda dengan perkampungan biasa. Hanya yang menyolok adalah pakaian mereka, semua mengenakan pakaian serba hitam.

Setelah sampai di perkampungan itu, orang-orang yang tadi menangkap Bagus Seto dan Retno Wilis segera melepaskan topeng mereka dan mengantongi topeng itu. Agaknya topeng itu hanya dipakai kalau mereka keluar dari perkampungan mereka.

Banyak orang yang menyambut kedatangan dua puluh lebih orang yang membawa dua tawanan itu. Mereka yang menyambut itu mengeluarkan suara pujian tentang kecantikan Retno Wilis dan ketampanan Bagus Seto dan sikap mereka seperti penduduk kampung biasa, tidak seperti penjahat.

Dua orang tawanan itu dibawa masuk ke rumah besar dan di sebuah ruangan yang luas, mereka dihadapkan seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah. Empat orang anggota yang tadi membawa Bagus Seto dan Retno Wilis masuk memberi hormat dengan sembah kepada laki-laki berpakaian hitam akan tetapi mewah itu. Kedua lengannya yang kokoh memakai gelang emas, lehernya juga mengenakan rantai besar dari emas, pakaiannya yang hitam juga terbuat dari kain yang halus.

"Denmas Haryosakti, kami mendapatkan kedua orang ini telah melanggar hutan wilayah kekuasaan kita, maka kami menangkap mereka kemudian membawa mereka menghadap paduka untuk mendapat keputusan." Seorang di antara empat orang itu melapor.


Orang yang disebut Denmas Haryosakti itu memandang kepada Bagus Seto, kemudian memandang kepada Retno Wilis dan dia pun tertawa bergelak sambil memuntir kumisnya yang mencuat ke kanan kiri. Dia melirik ke arah seorang wanita yang sebaya dengannya, wanita yang cantik dan berpakaian hitam tapi mewah.

Belum habis dia tertawa, muncul dua orang dari arah belakang. Mereka adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang tampan dan gagah perkasa, serta seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang cantik jelita. Mereka segera mengambil tempat duduk di kanan kiri orang tua mereka.

Retno Wilis menduga, bahwa kedua orang ini tentu putera puteri ketua gerombolan itu. Dan melihat wajah mereka yang elok, ia tahu bahwa mereka menuruni wajah ibu mereka yang cantik.

"Ayah, siapakah kedua orang asing ini?" tanya si pemuda kepada kepala gerombolan itu.

"Kenapa mereka dibelenggu, ayah?" tanya si gadis cantik.

"Kasihan kalau mereka dibelenggu, sebaiknya belenggu mereka itu dibuka saja ayah."

"Ha-ha-ha, engkau benar, Sarmini. Hai, Blendong, bukakan tali pengikat tangan mereka, kemudian keluarlah kalian dari sini."

Seorang di antara empat anggota itu bangkit, lalu menghampiri Bagus Seto dan Retno Wilis dan membuka pengikat tangan mereka. Blendong, pemimpin rombongan yang menangkap kedua orang muda itu, lalu menyerahkan sebatang pedang, yaitu pedang Sapudenta yang tadi dia rampas dari ikat pinggang Bagus Seto.

"Ini adalah pedang yang tadinya dibawa pemuda ini, Denmas," katanya.

Kepala gerombolan yang bernama Haryosakti itu menerima pedang dan memberi isarat kepada empat orang itu untuk keluar. Dia mengamati pedang yang sudan dihunusnya itu dan tampak kaget.

"Ah, pedang pusaka yang ampuh sekali!" katanya lalu meletakkan pedang bersarung itu ke atas meja di depannya. Setelah itu, dia memandang kepada Bagus Seto dan Retno Wilis yang masih berdiri di hadapannya. "Silakan kalian berdua duduk. Kalian tidak kami anggap sebagai tawanan, melainkan sebagai tamu. Maafkan kekasaran anak buah kami, karena kalian sudah melanggar wilayah kami," kata Haryosakti dengan suaranya yang dalam dan nyaring.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, karena kami juga bersalah sudah melanggar wilayah andika tanpa kami ketahui," jawab Bagus Seto.

"Kisanak, siapakah namamu dan dari mana andika datang?"

"Nama saya Bagus Seto dan saya datang dari Panjalu."

"Dari Panjalu? Pantas andika demikian tampan. Orang-orang Panjalu terkenal tampan dan cantik. Dan gadis cantik ini apamu?"

"Ia bernama Retno Wilis dan ia adalah adik saya," kata Bagus Seto terus terang.

"Ha-ha-ha, adikmu? Bagus, bagus sekali. Tadinya kusangka dia ini isterimu. Adikmu, ya? Bagus sekali, dia cantik dan menarik." Dia lalu menoleh kepada isterinya dan bertanya,

"Ibune, tidakkah pantas kalau dia menjadi madumu?"

Isterinya tidak menjawab, akan tetapi pemuda dan gadis itu tampak terkejut dan dengan berbareng mereka berseru,

"Kanjeng rama...!"

Akan tetapi Ki Haryosakti telah melambaikan tangan ke arah kedua orang anaknya dan membentak, "Diam kalian!" Setelah itu dia kembali memandang Bagus Seto dan berkata.

"Anakmas Bagus Seto, sekali lagi maafkan anak buah kami tadi yang telah bersikap kasar pada kalian. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang perkumpulan Jambuko Cemeng (Srigala Hitam) dan aku adalah pemimpin mereka, namaku Ki Haryosakti. Sekarang kalian berdua menjadi tamu kehormatan kami dan untuk menghormati kedatangan kalian, kami akan menyambutnya dengan sedikit pesta."

Ki Haryosakti lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan hidangan untuk pesta mereka.

Tentu saja Retno Wilis dan Bagus Seto juga mendengar saat Ki Haryosakti tadi bertanya kepada isterinya apakah tidak sudah pantas kalau Retno Wilis menjadi madunya. Akan tetapi karena Retno Wilis melihat kakaknya diam dan tenang saja, iapun pura-pura tidak tahu.

Bagus Seto memang ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kepala gerombolan itu kepada dia dan adiknya. Diapun dapat menduga bahwa Ki Haryosakti itu tentulah seorang yang sakti. Sinar matanya saja mencorong penuh wibawa. Dan mengingat betapa anak buahnya juga rata-rata memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, maka dapat dipastikan bahwa pemimpin mereka ini memiliki kesaktian.

Ki Haryosakti lalu mengajak Bagus Seto dan Retno Wilis bercakap-cakap. Dia bertanya tentang Panjalu, siapa yang menjadi rajanya, dan siapa pula patihnya.

"Patih Panjalu adalah Ki Patih Tejalaksono, yaitu ayah kandung kami!" kata Retno Wilis sambil meninggikan suaranya.

Mendengar ini, Ki Haryosakti memandang dengan mata terbelalak dan terkejut. "Ahh, jadi andika berdua adalah putera puteri Ki Patih Tejolaksono yang amat terkenal itu. Sungguh kebetulan sekali, kalau begitu kami tahu siapa adanya dua orang tamu agung kami."

Pada saat itu seorang anggota datang menghadap.

"Hei, mau apa kamu menghadap tanpa diperintah?" Ki Haryosakti langsung membentak sambil mengerutkan alisnya.

"Ampun, denmas." kata orang itu sambil menyembah. "Saya hendak melaporkan bahwa lima orang anggota bajak laut Bala Cucut sudah dapat menerobos penjagaan kami dan sekarang mereka mangamuk di depan pintu gerbang."

"Bodoh! Hanya menghadapi lima orang saja kalian tidak mampu menundukkan mereka?"

"Mereka tangguh sekali, denmas. Banyak anggota kita yang telah tewas karena melawan mereka."

"Babo-babo, iblis laknat! Pergilah dan aku sendiri yang akan menandingi mereka!"

Anggota itu bergegas pergi dan Ki Haryosakti sudah bangkit dari tempat duduknya. Dia berkata kepada Bagus Seto dan Retno Wilis.

"Kebetulan sekali ada pengacau yang mengganggu kesenangan kita, mari andika berdua menyaksikan bagaimana kami memberi hajaran kepada para pengacau."

Bagus Seto dan Retno Wilis ingin tahu apa yang telah terjadi maka mereka juga bangkit dan mengikuti Ki Haryosakti yang melangkah keluar dari rumah besar itu dengan langkah lebar. Setelah tiba diluar rumah, mereka melihat penduduk pedusunan itu seperti dalam keadaan panik, dan Ki Haryosakti terus berjalan menuju ke pintu gerbang pedusunan yang menjadi sarangnya itu.

Dari kejauhan sudah terdengar pertempuran itu. Orang-orang dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang jumlahnya belasan orang sedang bertempur melawan lima orang yang gerakannya gesit dan sepak terjang mereka membuat para pengepung itu kocar kacir.

Lima orang itu terdiri dari lima orang laki-laki tinggi besar dan kelimanya bersenjatakan golok besar yang mereka mainkan dengan hebatnya. Mudah dilihat betapa amukan lima orang itu membuat para pengeroyok terdesak dan di antara mereka sudah banyak yang roboh malang melintang. Sedikitnya ada tujuh orang anggota Jambuko Cemeng yang roboh dan terluka hebat atau mungkin tewas.

"Tahan semua senjata dan mundur!" Ki Haryosakti membentak dengan suara nyaring.

Mendengar bentakan suara yang sudah amat dikenalnya itu, semua pengeroyok menahan senjata mereka dan berloncatan mundur dengan hati lega. Ketua mereka sudah tiba sehingga mereka terbebas dari ancaman lima golok dari pihak musuh yang amat tangguh itu.

Bagus Seto dan Retno Wilis juga melihat betapa ilmu golok lima orang itu memang hebat dan tangguh sekali. Ketika melihat para pengeroyok mundur, lima orang itu juga menahan golok mereka dan menghadapi Ki Haryosakti dengan golok melintang di dada dan sikap mereka menantang sekali.

"Babo-babo, kalian orang-orang Bala Cucut mengapa mengamuk dan membikin kacau di sini?" bentak Ki Haryosakti. "Siapakah kalian yang telah berani memasuki perkampungan kami?"

Seorang di antara lima orang itu yang matanya lebar dan rambut kepalanya diikat dengan kain merah, melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang,

"Kami adalah Lima Naga dari perkumpulan Bala Cucut. Kami datang hendak membikin perhitungan karena sebulan yang lalu, beberapa orang anak buah kami telah dilukai oleh orang-orang Jambuka Cemeng. Kami tidak terima!"

"Hemm!" kata Ki Haryosakti. "Pihak Bala Cucut yang bersalah, sekarang malah hendak menuntut kami! Ketahuilah, pada waktu itu belasan orang anak buah Bala Cucut sudah merampok penduduk dusun di tepi pantai. Dusun itu termasuk wilayah kekuasaan kami. Tentu saja kami turun tangan menghajar para bajak yang merampok itu. Bukankah Bala Cucut biasanya bertindak di lautan? Kenapa tiba-tiba menyerang dusun di pantai?"

"Kami mencari rejeki di laut atau di darat, apa hubungannya dengan Jambuko Cemeng? Belasan anak buah kami luka, bahkan ada tiga orang yang tewas, maka hari ini kami Lima Naga dari Bala Cucut datang menagih hutang kalian. Sekarang andika keluar, apakah andika yang menjadi ketuanya?"

"Benar, akulah Ki Haryosakli, ketua Jambuko Cemeng!"

"Kalau begitu berlututlah dan menyembah kepada kami untuk minta maaf, dan baru kami akan menghabisi permusuhan ini. Juga sediakan upeti untuk kami bawa kepada ketua kami, atau kalau andika menolak, kami akan membuat perkampungan Jambuko Cemeng ini menjadi lautan api dan kami tumpas semua anggotanya!"

"Babo-babo, sumbarmu itu seperti dapat mengeringkan lautan meruntuhkan gunung! Kita sama lihat saja siapa yang berlutut dan menyembah minta ampun!" kata Ki Haryosakti dan mendadak dia mengangkat kedua tangannya ke atas membentuk cakar setan dan dia mengeluarkan suara yang demikian bergemuruh hingga menggetarkan semua orang yang berada di situ.

"Lima Naga perkumpulan Bala Cucut, kuperintahkan kalian agar berlutut dan menyembah kepada kami. Hayo berlutut!"

Bentakan itu mempunyai wibawa yang kuat sekali dan hal ini terasa oleh Bagus Seto dan Retno Wilis yang mengerahkan tenaga sakti mereka agar mereka tidak terpengaruh. Akan tetapi lima orang jagoan dari perkumpulan bajak laut Bala Cucut itu tampak gemetaran seluruh tubuh mereka. Agaknya mereka hendak melawan pula akan tetapi kalah kuat dan dengan serentak mereka berlima menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada Ki Haryosakti! Melihat ini, Ki Haryosakti tertawa bergelak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa.

Setelah mereka semua tertawa, agaknya pengaruh ilmu sihir itu pun membuyar dan Lima Naga dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu kelihatan seperti orang terkejut dan heran melihat diri sendiri berlutut menyembah-nyembah. Mereka segera berloncatan berdiri dan mengayun-ayun golok di atas kepala.

"Ki Haryosakti jahanam! Jangan pergunakan ilmu setanmu. Kalau andika memang gagah, lekas majulah dan lawan kami dengan menggunakan aji kanuragan!" tantang orang yang bermata lebar dan agaknya menjadi pimpinan lima orang itu.

"Kalian berlima hendak melawan aku? Ha-ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup semuanya. Hayo majulah, tidak usah satu-satu, majulah kalian berlima mengeroyok aku!" kata Ki Haryosakti dan dia sudah menyambar tombaknya yang dibawakan oleh seorang pengawalnya dari dalam.

Tombak itu matanya mencorong dan mengandung hawa yang menggiriskan. Retno Wilis dan Bagus Seto maklum bahwa tombak itu merupakan pusaka yang ampuh. Mereka berdua menghadapi dua pihak yang bermusuhan dan tidak ingin mencampuri walau pun Retno Wilis merasa khawatir kalau pihak tuan rumah yang akan dikeroyok lima itu akan kalah. Dia tadi sudah melihat gerakan lima orang dari perkumpulan bajak Bala Cucut itu yang cukup tangguh dan gerakan golok mereka berbahaya sekali.

Setelah menyambar tombaknya, Ki Haryosakti menghadapi lima orang lawannya. Akan tetapi pada saat itu, dua orang anaknya, pemuda tampan yang bernama Saroji dan gadis cantik yang bernama Sarmini, sudah dengan tangkasnya melompat ke depan ayahnya.

"Ayah, ini tidak adil namanya. Masa lima orang mengeroyok ayah seorang? Kalau mau main keroyokan, bisa saja kita mengerahkan seluruh anak buah kita! Tidak, ayah. Kalau hendak mengadakan pertandingan, biar maju satu demi satu. Aku sendiri akan melawan seorang di antara mereka!" kata Sarmini dengan lembut namun gagah dan ia menghadapi lima orang itu tanpa rasa gentar sedikit pun.

"Sarmini berkata benar, ayah. Aku pun ingin menghadapi seorang di antara mereka, baru nanti selebihnya ayah yang menandinginya."

Ki Haryosakti tertawa bergelak, agaknya merasa bangga sekali dengan penampilan kedua orang anaknya.

"Ha-ha-ha, Lima Naga, kalian sudah mendengar sendiri usul kedua orang anakku. Nah, sekarang puteriku Sarmini yang akan maju lebih dulu. Siapa diantara kalian berlima yang sanggup melawannya?" Tentu saja Ki Haryosakti sudah pula mengukur kepandaian lima orang itu ketika mengamuk tadi dan dia yakin bahwa puterinya akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka.

Orang termuda dari Lima Naga itu lalu melangkah ke depan.

"Aku yang akan menandinginya!" Setelah berkata demikian dia pun mengayun goloknya di atas kepala hendak menakut-nakuti gadis cantik itu dengan sikapnya yang bengis.

Sarmini lalu melangkah ke depan menghadapi orang itu. Sambil menatap wajah orang itu dengan tajam, ia bertanya, "Engkau hendak bertanding menggunakan senjata atau tangan kosong?"

Retno Wilis tersenyum dan kagum juga akan ketenangan gadis itu. Melihat sikapnya yang demikian tenang dia pun sudah dapat menduga bahwa gadis itu bukan sekedar berlagak, melainkan memiliki aji kanuragan yang boleh diandalkan.

Orang ke lima dari Lima Naga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang mempunyai watak mata keranjang. Karena watak inilah maka ketika gadis cantik itu maju menantang, ia segera maju menghadapinya. Sekarang mendengar pertanyaan gadis itu, dia pikir kalau bertanding dengan tangan kosong, lebih banyak kesempatan baginya untuk beradu lengan, mencolek atau mengusap gadis yang berwajah cantik dan bertubuh sintal itu.

"Ha-ha-ha, melawan seorang gadis cilik seperti andika tidak perlu menggunakan golok," katanya sambil menyelipkan goloknya di punggung. "Mari kita bertanding dengan tangan kosong saja!"

"Bagus! Mari kita mulai pertandingan ini!" kata Sarmini dan iapun sudah memasang kuda-kuda yang indah dan gagah sekali. Kaki kanan di depan dengan lutut agak dibengkokkan, kaki kiri di belakang, tangan kanan yang dikepal ditaruh di pinggang sedangkan tangan kiri dengan jari terbuka di depan dada!

Begitu melihat kuda-kuda yang dipasang gadis itu, orang ke lima dari Lima Naga yang memelihara jenggot seperti kambing tertawa dan memandang rendah.

"Engkau maju dan mulailah dulu, aku akan melayanimu!" katanya sambil tersenyum dan berlagak.

"Lihat serangan!" tiba-tiba Sarmini membentak dan tubuhnya sudah cepat bergerak maju menyerang. Kaki kirinya dilangkahkan ke depan sambil tangan kirinya membuat gerakan mencengkeram ke arah mata lawan, ada pun tangan kanannya menyusul dengan pukulan ke arah perut! Serangan ini cepat dan dari sambaran anginnya dapatlah diketahui bahwa pukulan-pukulan itu mengandung tenaga yang kuat.

"Haiiiittt...!”

Dengan berlagak si jenggot kambing itu memutar tubuh menghindari cengkeraman ke arah matanya dan tangan kirinya digerakkan dari samping untuk menangkis dan sekaligus menangkap tangan kanan gadis itu yang memukul ke arah perutnya.

Namun Sarmini gesit sekali. Ia sudah menarik kembali tangan kanannya yang hendak ditangkap itu, kemudian ia mengirim tendangan dengan kaki kiri. Kakinya mencuat tinggi menuju dada lawan.

"Ehh...?!" Si Jenggot kambing terkejut sekali karena hampir saja ulu hatinya tercium ujung kaki. Terpaksa dia melompat ke belakang, kemudian membalas serangan gadis itu yang datangnya bertubi-tubi.

Namun Sarmini amat gesitnya dan selalu dapat menghindarkan diri dari serangan balasan itu dengan jalan mengelak.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar