Sepasang Garuda Putih Jilid 18

Siapakah wanita yang mengamuk di luar itu? Dia bukan lain adalah Endang Patibroto!

Setelah dengan perahu ia tiba di pulau Nusabarung, ia langsung saja datang ke kadipaten. Kepada para pengawal yang berjaga di luar, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Adipati Martimpang.

Akan tetapi para pengawal melarangnya karena tidak semua orang dapat menghadap sang adipati, apa lagi ketika itu sang adipati sedang mengadakan persidangan. Karena itu, para pengawal melarangnya dan hal ini membuat Endang Patibroto menjadi marah sekali.

Ia nekat untuk memasuki gedung kadipaten, akan tetapi para pengawal menghalanginya sehingga terjadilah perkelahian. Para pengawal itu dilempar-lemparkan, ditampar dan ditendang sehingga mereka berpelantingan dan seorang di antara mereka cepat melapor ke dalam.

Ketika Wasi Surengpati tiba di luar, Endang Patibroto sudah berhenti mengamuk karena para pengawal tidak ada yang berani maju lagi. Hampir semua dari belasan orang itu sudah berkenalan dengan tamparan dan tendangannya yang kuat.

Wasi Surengpati memandang dengan penuh perhatian. Matanya yang berpengalaman dapat melihat seorang wanita berusia lima puluhan yang masih amat cantik dan bertubuh ramping padat dan dari kilatan matanya dia dapat menduga bahwa wanita itu tentu saorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Teja-teja sulaksana! Andika siapakah dan mengapa pula membuat kacau di sini?" tanya Wasi Surengpati dan lagaknya angkuh, seolah dia yang menjadi adipati di situ. Apa lagi melihat wanita itu demikian cantik, dia lalu berulah dan bergaya.

Endang Patibroto tidak menganal siapa adanya laki-laki itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa bukan itu adipatinya karena pakaiannya, biar pun mewah, tidak seperti pakaian seorang adipati.

"Aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Sang adipati Nusabarung. Biarkan aku masuk menghadapnya!" katanya merasa tidak senang dengan sikap kakek yang matanya lebar hidungnya pesek itu karena lagaknya demikian angkuh.

"Tidak mudah menghadap Sang Adipati kalau kami belum mengetahui apa yang menjadi kehendakmu. Karena itu, katakan dulu kepadaku siapa andika dan apa keperluan andika hendak menghadap Sang Adipati. Baru akan kami pertimbangkan apakah andika dapat diterima menghadap atau tidak!"

"Aku tak mau bicara denganmu! Biarkan aku masuk kalau begitu!" kata Endang Patibroto dan iapun melangkah maju untuk memasuki kadipaten.

Wasi Surengpati memalangkan tongkat ularnya menghalangi Endang Patibroto.

"Hemm, tidak mudah masuk tanpa seijinku!” bentaknya marah.

Pada saat itu muncul Adipati Martimpang sendiri. Dia tertarik mendengar ada wanita yang hendak memaksa bertemu dengannya maka diapun menyusul ke depan.

"Kakang Wasi, siapakah yang membikin ribut di sini?" tanyanya.

Melihat munculnya Sang Adipati, Wasi Surengpati menurunkan lagi tongkatnya.

"Ia belum mau mengaku siapa dirinya, Kanjeng Adipati," katanya menahan marah.

Adipati Martimpang maju selangkah lagi, kemudian dia bertanya dengan suara lantang. "Ehh, wanita, siapakah andika dan apa maksud andika hendak menghadap kami?"


Endang Patibroto memandang adipati itu dengan penuh perhatian. Seorang lelaki berusia lima puluh tahunan, bertubuh tinggi besar dengan muka hitam buruk.

"Apakah andika adipati Nusabarung ini?" Endang Patibroto balas bertanya.

"Benar, akulah Adipati Martimpang yang menguasai Nusabarung," kata sang adipati itu sambil memberi isyarat dengan matanya kepada lima orang senopatinya yang sudah menyusul keluar untuk bersiap-siap.

Lima orang senopati itu sudah tanggap dan mereka berdiri melindungi sang adipati.

"Bagus sekali kalau andika sudah keluar sendiri untuk menemuiku, Sang Adipati. Para pengawalmu ini menjemukan sekali. Mereka menghalangi dan mengeroyok aku yang ingin bertemu dengan andika, maka terpaksa aku menghajar mereka."

"Maafkan mereka. Sekarang kita telah berhadapan, katakanlah apa keperluanmu dengan kami?"

"Aku perlu bertanya kepadamu, Sang Adipati. Aku memiliki seorang puteri yang sedang mengadakan perjalanan merantau. Apakah ia lewat di sini? Namanya adalah Retno Wilis. Ia melakukan perjalanan bersama seorang puteraku yang bernama Bagus Seto. Apakah mereka pernah singgah di pulau ini?"

Mendengar pertanyaan ini, Adipati Martimpang langsung terbelalak, demikian pula para senopatinya. Wasi Surengpati bahkan mengeluarkan suara geraman marah.

"Ahh, kalau begitu apakah andika yang bernama Endang Patibroto?" tanya sang Adipati dengan muka berubah kemerahan karena dia marah sekali teringat akan pengalamannya ketika dijadikan sandera oleh Retno Wilis yang melarikan diri.

"Benar, akulah Endang Patibroto! Apakah anak-anakku itu lewat di sini?"

"Bukan hanya lewat! Anakmu yang keparat itu telah menipu dan menghina kami!"

Endang Patibroto mengerutkan alisnya. "Hemm, anakku bukan seorang penipu! Jangan andika berbohong kepadaku!"

"Bukan penipu? Ia menyamar sebagai pria dan mengikuti sayembara yang kami adakan dan memenangkan sayembara itu sehingga ia kami terima sebagai calon mantuku. Baru kemudian kami mengetahui bahwa dia seorang wanita dan dia lalu melarikan diri. Keparat gadis yang mengaku sebagai Joko Wilis itu!" Ketika mengucapkan kata-kata ini, sang adipati marah sekali.

Endang Patibroto tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa mendengar ulah Retno Wilis itu. Ia dapat membayangkan betapa anaknya itu telah membuat geger Nusabarung. Menyamar sebagai pria kemudian memenangkan sayembara untuk mendapatkan seorang puteri!

"He-he-heh-hi-hik, betapa lucunya! Apakah kalian semua telah menjadi buta tidak melihat bahwa ia seorang wanita?" Girang hatinya karena mendapat keterangan bahwa anaknya pernah berada di pulau ini. "Setelah dari sini, ia pergi kemanakah?"

"Siapa tahu? Kami tidak mengetahuinya."

"Kalau begitu, aku harus meninggalkan tempat ini untuk menyusulnya."

"Babo-babo, nanti dulu, Endang Patibroto! Setelah andika berani datang ke sini, kami tak akan melepaskanmu begitu saja. Tinggalkan dulu kepalamu di sini, baru boleh engkau pergi!" kata Wasi Surengpati sambil melintangkan tongkat ularnya.

Lima orang senopati Nusabarung melihat Wasi Surengpati sudah siap menyerang Endang Patibroto, juga lalu mengepung wanita itu.

"Endang Patibroto, andika telah dikepung, lebih baik menyerahkan diri untuk kami tawan!" kata Wasi Surengpati yang mengerahkan kekuatan sihirnya, kemudian menuding dengan tongkat ularnya ke arah muka Endang Patibroto dan dia membentak. "Endang Patibroto, berlututlah andika!"

Endang Patibroto merasa betapa ada kekuatan aneh yang seolah memaksanya supaya berlutut. Ia pun mengerahkan kekuatan batinnya untuk menolak kemudian mengeluarkan teriakan melengking yang mengejutkan semua orang. Itulah pekik dengan aji Sardulo Bairowo. Suara melengking ini mengandung pengaruh yang amat hebat dan sekaligus membuyarkan kekuatan sihir yang dikerahkan Wasi Surengpati.

Setelah melihat kakek itu menggerakkan tongkat ular dan mengerahkan kekuatan sihir, baru Endang Patibroto teringat. Ketika ia menolong Jarot, putera Adipati Pasisiran yang hendak dibunuh dua orang kakak tirinya, pendeta ini pun membantu kedua kakak tiri yang jahat itu! Ia melawan pendeta itu dan pendeta yang memegang tongkat ular ini melarikan diri. Kiranya pendeta itu kini muncul di Kadipaten Nusabarung dan berlagak sombong karena dia kini dibantu oleh banyak orang!

"Pendeta jahanam, kiranya engkau yang berlagak di sini!" bentaknya dan ia pun segera menerjang ke depan untuk mengirim pukulan mautnya kepada pendeta itu.

Wasi Surengpati yang sudah pula teringat akan wanita perkasa yang dahulu membantu Jarot itu, menjadi marah sekali.

"Mari kita basmi wanita jahat ini!" bentaknya seperti memberi isyarat kepada lima orang senopati yang sudah mengepung Endang Patibroto.

Ki Wisokolo, senopati pertama dari Nusabarung, agaknya dapat menduga bahwa wanita itu tentu berilmu tinggi, maka ia pun segera berteriak kepada para anak buahnya untuk mengepung. Sedikitnya tiga puluh orang prajurit sudah mengepung tempat itu dengan senjata di tangan. Namun Endang Patibroto tidak gentar sedikit pun.

"Aku datang hanya hendak bertanya tentang kedua orang anakku, akan tetapi kalian menyambut dengan senjata terhunus. Baiklah, kalau begitu aku tak akan memberi ampun kepadamu!"

Begitu ia bergerak maju, empat orang prajurit telah menyambutnya dengan tombak. Akan tetapi, sekali menggerakkan tangan kiri menolak, empat batang tombak itu terpental dan tangan kanannya menampar ke depan. Empat orang itu berteriak dan terpelanting roboh, tak dapat bangkit kembali! Lima orang senopati itu kini menerjang ke depan dengan golok mereka, mengeroyok Endang Patibroto, sedangkan Wasi Surengpati sendiri pun sudah menggerakkan tongkat ularnya. Pada saat terdengar seruan orang, nyaring sekali.

"Tahan semua senjata. Apakah orang-orang Nusabarung telah menjadi pengecut semua!”

Semua orang terkejut mendengar ucapan lantang ini, dan untuk sejenak menghentikan pengeroyokan mereka sambil menoleh untuk memandang siapa yang mengeluarkan kata-kata itu. Mereka melihat seorang pemuda yang berpakaian sederhana telah berdiri disitu sambil mengangkat tangannya. Melihat pemuda itu, Wasi Surengpati menjadi marah.

"Orang muda lancang mulut. Apa maksudmu mengatakan kami pengecut?"

Pemuda itu bukan lain adalah Jayawijaya. Endang Patibroto amat terkejut dan diam-diam menyesalkan kelancangan pemuda itu. Apakah dia tidak melihat bahwa kemunculannya dengan sikap seperti itu akan membahayakan dirinya sendiri?

"Kalian ini semua laki-laki yang gagah perkasa. Akan tetapi kalian sungguh tak tahu malu dan curang mengeroyok seorang wanita! Apakah hal itu tidak membuat kalian menjadi pengecut? Tidak malukah kalian?"

Wajah Wasi Surengpati berubah kemerahan.

"Tangkap pemuda lancang mulut itu!” bentaknya dan seorang prajurit lalu meringkus Jayawijaya.

Dengan mudahnya dia dapat menangkap pemuda itu dan mengikat kedua tangannya dengan tali kepada sebuah tiang rumah. Jayawijaya tidak mampu melawan dan menyerah saja ditelikung. Akan tetapi mulutnya masih mengeluarkan kata-kata lantang.

"Perbuatan kalian ini jahat dan ingat siapa yang jahat akhirnya akan kalah. Yang jahat tak akan mendapat perlindungan Hyang Widhi! Kanjeng Bibi, larilah selagi ada kesempatan!" Dia pun berseru kepada Endang Patibroto. Pemuda itu lebih mengkhawatirkan Endang patibroto dari pada dirinya sendiri.

Akan tetapi, Wasi Surengpati kembali sudah menggerakkan tongkat ularnya menyerang Endang Patibroto. Cepat sekali serangannya itu dan tahu-tahu ujung tongkat itu telah menyambar dan menusuk ke arah dada Endang Patibroto.

Akan tetapi wanita perkasa ini tidak menjadi gugup dengan serangannya itu. Tangan kirinya ditekuk dan diputar untuk menangkis sehingga tongkat itu terpental. Pada saat itu pula lima orang senopati juga sudah menyerangnya dengan golok mereka yang datang menyambar dari segala jurusan.

Endang Patibroto mengetahui dari sambaran angin serangan golok itu bahwa lima orang senopati itu bukan merupakan lawan yang lemah. Gerakan golok mereka cepat sekali dan juga mengandung tenaga yang kuat. Kini ia dikeroyok oleh enam orang yang merupakan lawan tangguh.

Ia lalu mengerahkan aji Bayutantra yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti seekor burung Srikatan cepatnya, berkelebatan di antara sinar golok dan tongkat. Ia tidak hanya mengelak saja, melainkan juga membalas serangan enam orang pengeroyoknya dengan tamparan jari tangan dengan Aji Petni Nogo.

Melihat betapa sambaran tangan wanita itu mengeluarkan suara angin berciutan enam pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka mengeroyok dengan hati-hati. Puluhan prajurit tidak berani maju mengeroyok setelah empat orang di antara mereka roboh tadi. Lagi pula pengeroyokan enam orang itu sudah amat rapat dan tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk ikut mengeroyok.

Pertandingan berlangsung seru bukan main. Enam orang itu dapat saling melindungi. Bila Endang Patibroto membalas dengan tamparannya, tentu ada saja lawan yang mencoba untuk menangkis tamparan itu dengan senjata mereka. Dengan cara begini, sampai lewat lima puluh jurus Endang Patibroto belum juga dapat merobohkan seorang pun di antara mereka. Bahkan ia terdesak oleh serangan bertubi-tubi dari enam orang pengeroyoknya itu.

Sementara itu, diam-diam Wasi Surengpati merasa kagum dan juga penasaran bukan main. Harus diakuinya bahwa kalau dia sendiri yang maju melawan Endang Patibroto, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan bantuan lima orang senopati yang terkenal sakti itu pun dia masih belum mampu mengalahkan wanita itu.

Jayawijaya yang sudah diikat kepada tiang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi dia masih dapat bersuara lantang.

"Curang, pengecut curang! Kalau memang berani, hadapilah kanjeng bibi satu lawan satu! Heii, apakah kalian semua tidak tahu malu dan bukan laki-laki sejati?"

Melihat pemuda itu masih ribut terus, prajurit yang tadi menangkapnya dan kini bertugas menjaganya, lalu menampar mulutnya.

“Plak-plak!" Dua kali mulut Jayawijaya ditampar dan bibirnya mengeluarkan darah. Akan tetapi pemuda itu tidak menghentikan teriakan-teriakannya, bahkan dia berani mencela Sang Adipati yang sejak tadi sudah menyembunyikan diri agar jangan terulang lagi dirinya ditangkap dan dijadikan sandera, seperti yang terjadi ketika Retno Wilis dikeroyok dahulu itu.

"Hai, Sang Adipati Nusabarung! Mengapa andika mendiamkan saja orang-orang andika melakukan pengeroyokan seperti pengecut yang curang? Tidak malukah andika kalau hal ini terdengar oleh orang-orang di luar kadipaten ini?" demikian Jayawijaya berteriak lagi.

"Plak-plak-plak!" Kembali prajurit itu menampar mulutnya dan kini lebih banyak lagi darah yang keluar dari mulut pemuda itu.

Endang Patibroto mendengar teriakan-teriakan ini dan dia merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu akan dibunuh orang. Dia sendiri juga menyadari bahwa tidak mungkin terus bertahan oleh pengeroyokan itu, maka ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo.

Enam orang pengeroyoknya terkejut, bahkan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan Endang Patibroto untuk melompat ke arah Jayawijaya dan sekali sambar, prajurit yang menjaganya itu terpelanting dan terguling-guling. Cepat tangan Endang Patibroto bergerak membikin putus tali-tali pengikat, lalu memegang lengan Jayawijaya dan berkata,

"Mari kita pergi dari sini!"

Jayawijaya membiarkan dirinya ditarik oleh Endang Patibroto. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat lari secepat wanita sakti itu? Akhirnya diapun diseret dan terangkat ke atas, dibawa lari Endang Patibroto seperti sebuah layang-layang.

Jayawijaya cepat memejamkan kedua matanya ketika melihat betapa cepatnya tubuhnya meluncur ke depan dan kakinya seperti tidak menginjak bumi lagi!

Akhirnya mereka tiba di pantai di mana Endang Patibroto menyembunyikan perahunya. Ia melompat ke dalam perahunya sambil menarik tangan Jayawijaya dan di lain saat mereka sudah meluncurkan perahu ke tengah lautan.

Para senopati beserta anak buahnya melakukan pengejaran, tetapi lari mereka jauh kalah cepat sehingga ketika mereka tiba di pantai, perahu yang ditumpangi Endang Patibroto sudah pergi jauh sekali.

Sambil mendayung perahunya, Endang Patibroto segera mengomeli pemuda itu. "Anak-mas Jayawijaya, mengapa andika begitu lancang datang ke sana dan membahayakan diri sendiri? Mestinya andika tidak menegur mereka karena itu sama saja dengan melakukan usaha bunuh diri."

"Eh, mengapa, kanjeng bibi? Apa salahnya bila saya menegur mereka? Mereka memang bersikap curang dan pengecut, dan pantas untuk ditegur!"

“Akan tetapi dengan berbuat seperti itu, andika memanggil bahaya maut!"

"Saya tidak berpikir demikian. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki teguran saya itu akan ada gunanya bagi mereka. Saya hanya ingin agar mereka itu mengubah perbuatan mereka yang tidak benar, mengubah jalan hidup mereka yang sesat."

"Aduh, anakmas. Tidakkah andika melihat bahwa engkau memanggil bahaya maut? Kalau mereka itu menyerangmu, andika akan mampu berbuat apakah? Tadi, baru menghadapi seorang prajurit saja, andika tidak mampu membela diri dan dapat diikat. Apa lagi kalau kakek bertongkat ular itu yang maju menyerangmu!"

Jayawijaya tersenyum lebar. "Saya tidak takut, kanjeng bibi."

"Akan tetapi andika seorang pemuda yang lemah."

"Saya memang lemah dan tidak biasa berkelahi, akan tetapi Hyang Widhi adalah maha sakti dan maha kuasa. Tidak ada kekuatan di dunia ini yang akan mampu melawanNya. Karena itu saya tidak takut karena saya yakin bahwa Hyang Widhi pasti akan melindungi saya dari marabahaya."

"Hemmm, aku ingin melihatnya!" kata Endang Patibroto yang merasa jengkel mendengar jawaban itu. "Kalau tadi tidak ada aku yang melepaskanmu dan menolongmu keluar dari sana, siapa yang akan dapat menyelamatkanmu?"

"Kanjeng Bibi, tidakkah andika melihat kekuasaan Hyang Widhi tadi telah bekerja? Hyang Widhi sudah menolong saya, melalui tangan kanjeng bibi! Tidakkah kanjeng bibi merasa bahwa Sang Hyang Widhi yang telah mempergunakan kanjeng bibi untuk menyelamatkan saya?"

Endang Patibroto tertegun mendengar ini. Ia teringat akan kata-kata suaminya bahwa manusia adalah makhluk yang selemah-lemahnya dan bahwa tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, manusia ini tidak berdaya dalam hidupnya. Teringatlah pula ia akan keterangan suaminya bahwa semua ilmu kadigdayaan yang dikuasainya adalah anugerah dari Hyang Widhi.

Kalau begitu, betapa tepat ucapan Jayawijaya bahwa ia telah dipergunakan oleh Hyang Widhi untuk bergerak menolong pemuda itu. Bukan ia yang menolong, melainkan Hyang Widhi! Betapa penuh kerendahan hati terhadap Hyang Widhi, betapa penuh dan lengkapnya iman kepercayaan kepada Hyang Widhi.

"Wah andika benar, anakmas. Aku yang telah terlupa. Agaknya seorang manusia seperti andika ini selamanya akan mendapat perlindungan Hyang Widhi. Akan tetapi setelah tiba di pantai daratan nanti, terpaksa kita harus berpisah dan aku hanya memperingatkan andika agar lebih berhati-hati. Ingatlah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat manusia yang jahat seperti iblis, yang tidak segan-segan untuk mengganggu seorang pemuda tidak berdosa seperti anakmas."

"Saya tahu, kanjeng bibi. Karena itu, sayapun harus lebih giat memperingatkan dan menasihati mereka."

Endang Patibroto menghela napas kemudian mempercepat gerakan dayungnya sehingga perahu itu meluncur dengan cepatnya menuju ke daratan yang sudah tampak dari situ. Setelah tiba di daratan, Endang Patibroto berkata,

"Sekarang aku harus meninggalkan andika untuk mencari jejak kedua orang anakku. Selamat tinggal, anakmas Jayawiya. Semoga kita akan bertemu lagi kelak."

"Selamat jalan, kanjeng bibi Endang Patibroto."

Endang Patibroto menggerakan kedua kakinya dan lenyap dari depan pemuda itu karena ia sudah menggunakan aji Bayutantra. Melihat ini Jayawijaya menarik napas panjang dan berkata seorang diri.

"Kalau saja semua orang yang memiliki kesaktian bersikap seperti kanjeng bibi Endang Patibroto, alangkah tenteramnya dunia ini."

Dia pun melangkah melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu, hanya menurutkan kata hati dan langkah kakinya saja…..

********************

Kita tinggalkan dulu Endang Patibroto yang berpisah dari Jayawijaya pemuda luar biasa itu, dan marlahi kita ikuti perjalanan Bagus Seto dan Retno Wilis yang telah berpisah dari Harjadenta yang kembali ke pegunungan Raung.

Kedua orang kakak beradik itu kembali menyusuri sepanjang pantai Laut Kidul menuju ke timur. Mereka berjalan seenaknya saja, santai dan tidak tergesa-gesa, sambil menikmati pemandangan alam yang sangat indah di sepanjang pantai Laut Kidul.

Pantai itu kadang merupakan tanah landai tertutup pasir putih yang kemilauan terkena cahaya matahari. Pantai pasir putih itu sangat luas dan merupakan pemandangan alam yang amat indahnya. Akan tetapi kadang pantai itu berupa bukit-bukit yang menjulang tinggi dan ombak samudera terhempas pada dinding karang yang kokoh kuat.

Ombak yang menghantam dinding ini menimbulkan suara dahsyat dan air pecah muncrat ke atas menimbulkan uap air yang tebal. Pemandangan ini juga teramat indahnya dan memperlihatkan kebuasan dan kedahsyatan air laut, berbeda jika pantainya datar seperti pantai pasir putih di mana air laut menjadi menipis mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti air mendidih.

Ketika mereka tiba di ujung pantai pasir putih, mereka berhadapan dengan sebuah hutan di tepi pantai yang amat lebat. Pantai berhutan itu merupakan perbukitan, akan tetapi hutannya amat lebat dan gelap menyeramkan.

"Kita sekarang akan melalui jalan pendakian yang sukar karena hutannya sangat lebat, diajeng. Kita harus hati-hati karena agaknya hutan ini mengandung hawa yang angker."

Retno Wilis, gadis yang tidak pernah mengenal rasa takut itu, tersenyum.

"Angker? Kau maksudkan hutan ini ada setannya kakang?"

"Setan yang masih gentayangan tidak perlu kita takuti, akan tetapi kita harus waspada terhadap setan yang sudah masuk ke dalam diri manusia. Manusia yang sudah kesetanan itu dapat melakukan perbuatan amat jahat dan keji, adikku. Karena itu kita perlu waspada dan hati-hati."

Mereka masuk menyusup-nyusup di antara pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar. Bagus Seto meminjam pedang Sapudenta milik adiknya untuk membabat semak yang merintangi jalan mereka. Dia berjalan di depan membabati semak sedangkan Retno Wilis berjalan di belakangnya. Hutan itu demikian lebatnya sehingga sinar matahari tidak banyak yang menerobos masuk, membuat hutan itu gelap.

Retno Wilis yang berjalan di belakang kakaknya memandang ke kanan kiri dengan penuh kewaspadaan. Dia juga dapat merasakan keadaan hutan yang angker seolah-olah di situ terdapat banyak bahaya yang mengintai mereka. Tiba-tiba saja dia memegang lengan kakaknya.

"Ada apa?" tanya Bagus Seto ketika merasa betapa kuat cengkeraman tangan adiknya.

"Sssttt, kakang, aku merasa ada orang-orang atau entah makhluk apa mengintai kita."

"Di mana?"

"Entahlah, aku tadi seperti melihat banyak pasang mata mengintai dari balik semak belukar akan tetapi sekarang sudah lenyap lagi. Kakang, aku merasa ngeri juga."

Bagus Seto tersenyum. "Jangan katakan bahwa engkau takut, diajeng."

Retno Wilis membusungkan dadanya. "Takut? Aku bukannya takut, akan tetapi bicaramu tentang setan tadi membuat aku merasa ngeri. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

Mereka melanjutkan perjalanan. Bagus Seto tetap membabati semak yang menghalangi perjalanan mereka, sedangkan Retno Wilis mengikuti dari belakang. Tiba-tiba, di bawah sebatang pohon randu alas yang amat besar, terdengar suara dari atas.

"Kaaak-kaak...!”

Otomatis Bagus Seto dan Retno Wilis memandang ke atas dan mata mereka terbelalak lebar ketika melihat ada seekor ular yang amat besar bergantung dengan ekornya pada sebatang cabang pohon dan kepalanya tergantung di bawah. Kepala itu dengan moncong terbuka lebar kini menyambar ke bawah menyerang mereka. Bagus Seto yang berada di depan cepat menangkis dengan bacokan pedangnya.

"Wuuuttt... crak...!” leher ular itu putus, kepalanya menggelinding ke bawah dan tubuhnya melepaskan lilitan pada cabang pohon dan jatuh berdebuk di atas tanah.

"Shanti-shanti-shanti...!” Bagus Seto berkata dengan penuh penyesalan. "Terpaksa aku harus membunuhmu, ular, karena engkau membahayakan keselamatan kami!"

"Kakang, kenapa engkau menyesal membunuh ular jahat itu?"

"Ia tidak jahat, diajeng."

"Tidak jahat? Kalau engkau tidak membunuhnya, tentu kita sudah ditelannya bulat-bulat! Ia buas dan liar, jahat sekali dan kejam. Ia makan hewan yang tak mampu melawannya, menelannya bulat-bulat, apakah itu tidak jahat dan kejam namanya?"

"Sama sekali tidak, adikku. Sudah ditakdirkan oleh Hyang Widhi bahwa ular hanya makan binatang lain yang lebih kecil. Ia tidak dapat makan daun atau rumput. Kalau ia tidak makan binatang yang lebih kecil, ia akan mati kelaparan, ia tadi menyerang kita juga untuk mengisi perutnya yang kosong. Ia tidak buas, melainkan bergerak menurut naluri dan kebutuhan badannya."

"Kalau begitu, mengapa engkau membunuhnya, kakang?" bantah Retno Wilis penasaran.

"Aku terpaksa membunuhnya untuk membela diri. Aku harus membunuhnya tadi, kalau tidak tentu seorang di antara kita menjadi mangsanya. Akan tetapi aku menyesal harus membunuhnya. Mari kita lanjutkan perjalanan ini."

Mereka bergerak maju lagi dan baru belasan langkah saja, mereka berhenti lagi karena terdengar suara aneh seperti raung anjing. Raung itu berkepanjangan terdengar seperti keluhan dan terdengar dari segala penjuru seolah mengepung mereka.

"Kakang, suara apakah itu?" tanya Retno Wilis. Betapapun tabahnya, ia merinding juga mendengar suara aneh itu.

"Hemm, aku tidak tahu. Agaknya seperti suara anjing meraung, atau mungkin srigala. Mari kita maju terus, mencari tempat yang lebih lapang. Kalau berada di tengah semak semak begini, akan sukar bagi kita untuk membela diri kalau muncul bahaya."

Mereka maju terus, tidak mempedulikan suara itu dan akhirnya mereka tiba di tempat terbuka. Pohon-pohon agak jarang dan tidak terdapat semak belukar. Tanahnya penuh rumput dan petak rumput ini cukup luas. Di tempat terbuka ini Retno Wilis mendapatkan kembali ketabahannya dan kembali membusungkan dadanya ia menantang dengan suara lantang.

"Heii, kalian anjing-anjing liar atau srigala atau iblis setan bekasakan! Keluarlah dan tandingilah kami, jangan hanya mengeluarkan suara seperti pengecut hendak menakut-nakuti orang! Keluarlah kalian!"

Tidak terdengar jawaban, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berkerosakan di sekeliling mereka seolah-olah banyak binatang hutan bergerak ke arah mereka. Dua orang kakak beradik itu siap siaga dan Bagus Seto masih memegang pedang pusaka Sapudenta milik Retno Wilis. Mereka berdiri, saling membelakangi untuk saling melindungi.

Akan tetapi yang muncul bukan anjing atau srigala, melainkan dua puluh orang lebih yang berpakaian serba hitam! Muka mereka semua memakai topeng srigala hitam dan yang tampak hanya sepasang mata mereka yang mencorong seperti mata srigala. Mereka mengeluarkan suara seperti srigala menggereng-gereng.

Retno Wilis dan Bagus Seto memandang dengan heran. Siapakah orang-orang bertopeng ini? Mereka memiliki tubuh yang kokoh kuat dan mereka kini telah mengepung kakak beradik itu.

"Siapakah kalian? Mau apa mengepung kami?" tanya Retno Wilis yang sudah siap untuk mengamuk.

"Kami kakak beradik kebetulan lewat di sini, kami tidak bermusuhan dengan kalian!" Kata pula Bagus Seto yang sudah menyelipkan pedang Sapudenta di ikat pinggangnya agar mereka ketahui bahwa dia tidak berniat untuk berkelahi.

Akan tetapi dua puluh lebih orang bertopeng itu mengepung semakin rapat dan tiba-tiba mereka semua mengeluarkan sebuah kantung hitam, lalu merogoh ke dalam kantung dan mereka menyambitkan bubuk hitam ke arah Bagus Seto dan Retno Wilis!

Dua kakak beradik ini tidak dapat mengelak karena dari sekeliling mereka menyambar bubuk hitam itu. Mereka menahan napas dan memejamkan mata sambil menggerakkan tangan untuk menangkis serangan. Akan tetapi tiba-tiba sebuah jala hitam menimpa dan menutup mereka!

Para pengepung itu mengeluarkan teriakan-teriakan girang melihat betapa dua orang itu telah kena terjaring. Bagus Seto berkata lirih kepada adiknya.

"Kita menyerah, lihat perkembangan!"

Retno Wilis tidak membantah dan dia pun tidak meronta ketika ada tangan menelikung kedua lengannya dari luar jaring. Bagus Seto menyuruh adiknya menyerah karena dia ingin tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap diri mereka berdua. Orang-orang ini berusaha menangkap mereka, bukannya membunuh. Dia ingin tahu mereka itu orang apa dan apa pula maksud mereka menawan dia dan adiknya.

Setelah mengikat kedua tangan Bagus Seto dan Retno Wilis ke belakang punggung, orang-orang bertopeng itu lalu membuka jaring dan mendorong kedua orang tawanan itu untuk melangkah maju mengikuti beberapa orang yang berjalan di depan. Dengan kedua tangan terbelenggu, kakak beradik itu pun melangkah mengikuti mereka.

"Kenapa, kakang?" tanya Retno Wilis lirih kepada kakaknya yang berjalan di sampingnya. Ia merasa heran mengapa kakaknya minta agar ia menyerah.

"Kita lihat mereka mau apa?” bisik Bagus Seto kembali.

"Diam kalian!" terdengar bentakan dari belakang.

Dan tahulah kedua orang kakak beradik itu bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa yang memakai topeng dan berpakaian hitam, mungkin ini menunjukkan bahwa mereka adalah anggota-anggota sebuah perkumpulan rahasia yang agaknya bersarang di hutan lebat itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar