Sepasang Garuda Putih Jilid 16

Mendengar ucapan itu, Wasi Karangwolo memandang ke arah pemuda yang bertubuh tinggi besar itu dan dia berkata sambil tersenyum ramah.

"Saudara yang bicara tadi dipersilakan naik ke panggung dan kami akan membuktikan kebenaran omongan kami. Silakan naik!"

Dengan dorongan suara para penduduk, pemuda itu lalu naik ke atas panggung.

"Nah, saudara sekalian, kita sekarang akan membuktikan semua omongan kami tadi. Ki sanak ini akan menjadi bukti bahwa kalau menjadi anggota agama kami tentu akan bahagia, sebaliknya kalau menolak, akan hidup seperti anjing."

Setelah berkata demikian Wasi Karangwolo mendekati pemuda tinggi besar itu dan menyerahkan sebuah batu sebesar kepalan tangan kepadanya. Dia memperlihatkan batu itu kepada semua orang dengan mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya.

"Lihat saudara sekalian, yang akan saya berikan kepada ki sanak ini hanyalah sebuah batu biasa. Kalian lihat baik-baik, dengan kekuasaan Sang Hyang Bathara Shiwa beserta isteri dan puteranya, batu di tangannya akan berubah menjadi emas!" Dia menyerahkan batu itu kepada pemuda tinggi besar yang masih berdiri di depannya.

Pemuda itu menerima batu itu kemudian digenggamnya, dan dia tersenyum-senyum tidak percaya. Wasi Karangwolo memegang tangannya yang menggegam batu dan berkata, "Ki sanak, sekarang pejamkan kedua matamu dan di dalam hatimu mintalah berkah kepada Sang Hyang Bathara Shiwa dan isteri serta puteranya agar batu dalam genggamanmu ini berubah menjadi emas!"

Pemuda itu masih tersenyum dan memejamkan kedua matanya. Wasi Karangwolo lalu membaca mantera, berkemak-kemik dan menggunakan kedua tangannya mendorong dan diarahkan kepada para penduduk yang berada di bawah panggung, kemudian membentak ke arah pemuda yang menggegam batu.

"Demi nama Sang Hyang Bathara Shiwa dan isteri serta puteranya, batu itu berubah menjadi emas!" teriaknya sambil menggerakkan tangan ke arah tangan pemuda yang menggegam batu itu.

"Nah, sekarang buka dan perlihatkanlah kepada semua orang!" kata Wasi Karangwolo dengan suara biasa.

Pemuda itu membuka matanya, memandang kepada batu yang digenggamnya dan dia terbelalak. Batu itu benar-benar telah berubah menjadi emas yang berkilauan!

"Ah, betul-betul berubah menjadi emas!" teriak pemuda tinggi besar itu.

Dia lalu turun dari panggung dan memperlihatkan sepotong emas itu kepada siapa pun yang ingin melihatnya. Setelah itu pemuda itu lalu melarikan diri dari situ sambil membawa emasnya. Penduduk dusun Pandakan itu tidak ada yang mengenal pemuda itu menduga bahwa pemuda itu tentu seorang yang datang dari dusun lain dan kini saking girangnya lari membawa emasnya untuk diperlihatkan kepada orang-orang di dusunnya.

Wasi Karangwolo hanya tertawa saja melihat pemuda itu melarikan diri.

"Dia seorang yang beruntung mendapat berkah, dan tentu mulai saat ini dia mau menjadi anggota agama baru kami. Sudah kami buktikan bahwa yang percaya pada agama kami akan mendapat kebahagiaan, bahkan batu dapat diubah menjadi emas kalau Sang Hyang Bathara Shiwa menghendaki. Apakah masih ada saudara yang meragukan kebenaran ucapan kami?"

Seorang pemuda lain naik ke atas panggung dan dia berkata, "Aku masih belum percaya betul bahwa agama baru ini akan membahagiakan orang!"

Wasi Karangwolo memandang pemuda itu dengan alis berkerut dan mata mencorong. "Ki sanak, tadi sudah ada buktinya dan andika masih tidak percaya? Apakah ini berarti bahwa andika menolak menjadi anggota agama kami?"

"Benar. Aku menolak karena agama kami telah turun-temurun menjadi kepercayaan kami dan mendatangkan berkah," kata pemuda itu dengan berani.

"Hai orang muda! Tahukah andika bahwa siapa yang tidak percaya dan menolak agama kami akan terkutuk dan hidup seperti anjing!" bentak Wasi Karangwolo dengan marah.

"Aku tidak takut! Para dewata akan melindungi aku yang tidak bersalah!"

Wasi Karangwolo menjadi semakin marah. Sepasang matanya mencorong dan dia segera menggerakkan dua tangannya ke arah pemuda itu dan suaranya terdengar menggeledek dan berwibawa sekali.

"Jika begitu sekarang juga kau seperti seekor anjing yang hanya pandai menggonggong!"

Semua mata yang memandang kepada pemuda yang pemberani itu tiba-tiba terbelalak. Pemuda itu yang tadinya berdiri tegak, tiba-tiba saja membungkuk sehingga berdiri di atas kaki tangannya dan dia lalu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing!

"Huk-huk-huk, aung-aung...!” Orang yang berlagak seperti anjing itu berjalan-jalan di atas panggung dengan kaki tangannya dan terus menggonggong.


"Sungguh jahat! Jahat dan tidak berperi-kemanusiaan!"

Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dan orangnya lalu naik ke panggung. Ia bukan lain adalah Jayawijaya. Semenjak tadi dia ikut menonton dengan para penduduk, melihat betapa Wasi Karangwolo mengubah batu menjadi emas dan kini menyumpahi seorang pemuda sehingga berubah menjadi seekor anjing! Dia merasa tidak tahan melihat ini dan segera naik ke panggung sambil mencela.

Melihat seorang pemuda tampan naik ke panggung sambil menegur perbuatannya.Wasi Karangwolo menjadi marah. Dia melangkah maju menghadapi pemuda itu.

"Hai, siapa andika, lancang berani naik ke panggung tanpa perkenan kami? Apa engkau sudah bosan hidup?"

Jayawijaya tidak mempedulikan bentakan ini dan dia lalu menghampiri pemuda yang masih merangkak dan menggonggong seperti anjing dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

"Ki sanak, sadarlah. Jangan bermain-main seperti anak kecil. Sadarlah andika!"

Suaranya demikian lembut dan penuh kasih sayang dan terjadilah keajaiban. Pemuda yang tadi merangkak dan menggonggong itu tiba-tiba menjadi sadar dan dia bangkit berdiri, tersipu malu dan turun dari atas panggung. Melihat ini, Wasi Karangwolo menjadi semakin marah. Dengan mengangkat tangan ke atas, memandang kepada Jayawijaya dengan sepasang mata bersinar-sinar, dia membentak,

"Orang muda, engkau juga menjadi anjing yang hanya pandai menggonggong!" Dia mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Jayawijaya agar pemuda ini terpengaruh dan merasa dirinya seperti seekor anjing. Akan tetapi, dengan pandang matanya yang lugu dan lembut sinarnya, Jayawijaya menatap wajah kakek itu dan sama sekali dia tidak terpengaruh...

"Pendeta, perbuatanmu seperti ini sungguh tidak diridhoi Sang Hyang Widhi dan andika berdosa besar!" kata pemuda itu dengan berani. "Engkau boleh menyebarkan agama apa saja, akan tetapi tidak boleh memaksa orang untuk masuk agamamu dengan ancaman. Setiap orang berhak untuk menentukan agamanya sendiri, kenapa engkau hendak memaksa orang. Perbuatanmu ini tidak benar, sadarlah!" Suara pemuda itu lantang dan terdengar oleh semua penduduk dusun Pandakan.

Mendengar ucapan pemuda itu, banyak yang menyetujuinya dan perlahan-lahan banyak di antara mereka yang meninggalkan panggung itu, kecuali mereka yang ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Wasi Karangwolo mendengus marah seperti seekor kuda.

"Orang muda, siapa namamu, berani main-main di depan Wasi Karangwolo?"

"Namaku Jayawijaya, dan aku tak merasa main-main di depanmu, Sang Wasi. Aku hanya mengatakan apa adanya dan mencoba untuk menyadarkanmu akan kesalahanmu."

Tiba-tiba Wasi Karangwolo membuat gerakan dengan dua tangannya di udara, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya lalu membentak.

"Jayawijaya, engkau berlututlah di depanku! Aku adalah penasihat Adipati Blambangan yang harus kau hormati. Berlututlah!" Perintahnya ini mengandung getaran yang amat kuat, bahkan para penonton yang tidak langsung diserang, suara itu, merasa seolah-olah ada kekuatan tersembunyi yang mendorong mereka untuk bertekuk lutut!

Akan tetapi Jayawijaya tetap berdiri, dan dengan tegak dia menjawab. "Aku bukan kawula Blambangan dan tidak ada alasannya sedikit pun juga bagiku untuk berlutut di depanmu, Wasi Karangwolo!"

Sang Wasi terkejut bukan kepalang. Kekuatan sihirnya itu hebat sekali, kuat dan dapat melumpuhkan lawan yang kuat, akan tetapi mengapa tidak mempan terhadap pemuda yang kelihatannya lemah ini? Dia melangkah maju satu langkah kemudian tangan kirinya mendorong ke depan, disertai tenaga sakti untuk menyerang dari jarak jauh.

"Robohlah!" bentaknya.

Hawa pukulan yang kuat menyambar Jayawijaya dan pemuda itu pun terjengkang roboh di atas papan panggung. Akan tetapi selain roboh, agaknya pukulan jarak jauh itu tidak melukainya karena dia segera bangkit berdiri dan berkata dengan lantang.

"Wasi Karangwolo, engkau benar-benar seorang pengecut. Menyerang orang yang tidak melawan. Akan tetapi pukulanmu tak membuat aku takut dan aku akan tetap menentang perbuatanmu hendak memaksa penduduk dusun ini memeluk agamamu dengan semua ilmu hitammu!"

Melihat pemuda itu terjengkang roboh oleh hawa pukulannya, Wasi Karangwolo menjadi semakin berani dan marah.

"Jayawijaya, engkau patut dihajar!" Dan sekarang dia melompat ke depan dan menampar. Jayawijaya tidak menangkis atau mengelak karena memang dia tak dapat bersilat hingga tamparan itu mengenai dagunya.

"Plak...!"

Kembali dia terpelanting keras dan roboh. Akan tetapi seolah-olah tamparan yang kuat itu tidak membuatnya merasa nyeri karena dia sudah bangkit berdiri lagi.

"Wasi Karangwolo, kekejamanmu ini tentu akan dikutuk oleh Sang Hyang Widhi!" dia mencela.

Tentu saja pendeta itu menjadi penasaran dan semakin memuncak kemarahannya. Kini dia mengerahkan tenaga sepenuhnya pada tangan kanannya, tenaga yang mengandung hawa beracun dan dia memukul ke arah dada pemuda itu. Kini dia yakin bahwa pukulannya itu tentu akan menewaskan pemuda yang berani menantangnya seperti itu.

"Wuuuuuuttt...!”

Wasi Karangwolo hampir berteriak saking kagetnya. Pada saat pukulan tangannya sudah dekat dengan dada pemuda itu, tiba-tiba saja tangan itu tertahan, seolah ada hawa yang luar biasa kuatnya melindungi dada itu dan membuat tangannya tak dapat menyentuhnya! Pukulan yang demikian hebat membawa serangan maut, tetapi tidak bisa mengenai dada Jayawijaya.

Wasi Karangwolo hanya melihat pemuda itu melangkah mundur selangkah. Dia menjadi penasaran dan melompat lagi menghantam dengan tangan kirinya ke arah muka pemuda itu. Akan tetapi hasilnya sama saja. Setelah kepalan tangannya berada sejengkal dengan muka pemuda itu, pukulannya tertahan. Dia sudah siap lagi memukul. Akan tetapi pukulan ke tiga ini bertemu dengan sebuah tangan di udara dan terdengar seorang wanita berseru.

"Sungguh tidak tahu malu! Seorang tua bangka menyerang seorang pemuda yang tidak melawan!"

"Dukkk...!” Pukulan itu tertangkis dan tubuh Wasi Karangwolo terhuyung karena tangkisan itu demikian kuatnya.

Sesudah dia memandang, di atas panggung itu telah berdiri seorang wanita yang cantik jelita, dan usianya sudah setengah baya. Wanita itu masih cantik dan anggun, pandang matanya mencorong penuh wibawa. Wanita itu adalah Endang Patibroto yang sedang melakukan perjalanan untuk mencari Retno Wilis dan Bagus Seto.

Ketika ia tiba di dusun itu, ia juga melihat ramai-ramai di panggung dan segera datang menonton. Ia melihat betapa dengan sihirnya pendeta itu mempengaruhi orang dusun, dan melihat pula ketika Jayawijaya naik ke panggung menentang pendeta itu. Ketika Wasi Karangwolo menggunakan sihir untuk mempengaruhi pemuda itu, Endang Patibroto juga heran dan kagum melihat pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh, ia mengira bahwa pemuda itu tentu seorang yang memiliki kedigdayaan.

Tetapi ketika dengan hawa pukulannya saja pendeta itu mampu merobohkan Jayawijaya sampai dua kali, Endang Patibroto tahu bahwa pemuda itu tidak memiliki aji kanuragan, maka begitu melihat tamparan datang lagi, ia cepat melompat dan menangkis.

Karena ia mengerahkan aji Bayutantra, maka gerakannya pada saat melompat itu seperti terbang saja cepatnya, dan tangkisannya menggunakan tenaga aji Pethit Nogo, maka tidak heran apa bila Wasi Karangwolo sampai terhuyung dan merasa lengannya tergetar hebat. Endang Patibroto memandang kepada Jayawijaya yang juga memandang padanya dan wanita sakti ini berkata,

"Orang muda, andika turunlah dari panggung dan biarkan aku menghadapi pendeta iblis ini!"

Jayawijaya mengamati wajah Endang Patibroto dan dengan halus dia berkata, "Kanjeng bibi, kuharap dengan sangat agar bibi jangan membunuhnya." Setelah berkata demikian pemuda itu segera turun dari panggung dan membiarkan Endang Patibroto berhadapan dengan pendeta itu.

"Hemm, siapakah andika ini yang berani mencampuri urusan Wasi Karangwolo?" tanya pendeta itu dengan suara keras dan memberi tekanan pada suaranya agar berpengaruh.

"Jadi andika bernama Wasi Karangwolo? Andika mencoba mengelabuhi penduduk dusun Pandakan ini dengan tipu daya dan sihirmu, lalu datang pemuda bijaksana yang mencoba untuk menyadarkanmu. Tetapi andika malah menyerangnya dan hendak membunuhnya. Tentu saja aku turun tangan menentang. Namaku adalah Endang Patibroto dari Panjalu!"

Mendengar disebutnya nama ini, Wasi karangwolo terbelalak, mukanya berubah merah dan hidungnya mendengus-dengus seperti seekor kerbau marah. Dia sudah mendengar akan kematian mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, dua orang rekannya yang menjadi utusan Kerajaan Cola. Kabarnya kematian mereka adalah karena perlawanan yang dilakukan oleh Endang Patibroto dan suaminya yang kini menjadi patih Panjalu bernama Tejalaksono!

"Babo-babo, kiranya andika yang bernama Endang Patibroto! Bagus sekali, tidak usah repot-repot aku mencarimu, kini engkau telah datang mengantarkan nyawa!"

Endang Patibroto merasa heran mendengar ini.

"Eh? Pendeta siluman, siapakah engkau dan mengapa pula engkau memusuhi ku?"'

"Mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo adalah rekan-rekanku dari Negeri Cola. Mereka tewas karena perlawanan andika dan suami andika, Tejolaksono! Oleh karena itu sekarang andika harus menggantikan nyawa mereka dengan nyawamu. Heiiiiiiitttt...!"

Dengan kemarahan meluap-luap Wasi Karangwolo lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Tiba-tiba saja cuaca menjadi gelap seolah ada awan hitam yang tiba-tiba menutupi sinar matahari. Dan dari dalam awan hitam itu terdengar gerengan-gerengan seperti suara binatang buas yang mengancam.

Melihat ini, penduduk Pandakan cerai berai melarikan diri ketakutan. Di bawah panggung kini tinggal Jayawijaya seorang yang berdiri dengan sikap tenang. Endang Patibroto yang tiba-tiba menghadapi cuaca yang gelap gulita itu, lalu mengerahkan tenaga sakti ke dalam dadanya, kemudian ia mengeluarkan pekik dengan aji Sardulo Baiworo.

Terdengar lengking yang sangat nyaring menggetarkan panggung dan segera awan gelap itu membuyar dan perlahan-lahan lenyap, seolah takut mendengar lengkingan yang tinggi dan nyaring itu.

Wasi Karangwolo masih penasaran. Dia mencabut kerisnya dan tampak sinar menyambar ke atas ketika dia melepaskan kerisnya dan keris itu berubah menjadi makhluk yang amat menyeramkan bagaikan raksasa berwajah iblis yang menubruk dan menyerang ke arah Endang Patibroto.

Wanita sakti ini tak menjadi gentar, akan tetapi merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya, kemudian kedua tangannya dari dekat pinggang didorongkan ke depan, ke arah bayangan iblis hitam itu. Itulah Aji Gelap-musti yang sangat hebat. Bayangan itu terpelanting dan kembali menjadi keris yang melayang ke arah tangan Wasi Karangwolo.

Maklum bahwa dengan ilmu sihir dia tidak dapat mengalahkan Endang Patibroto, kakek itu lalu menerjang dengan keris di tangan, menusuk dan gerakannya tangkas sekali, cepat dan kuat. Namun, Endang Patibroto telah siap siaga. Mendengar bahwa kakek ini adalah rekan dari mendiang Wasi Bagaspati dan Wasi Bagaskolo, iapun dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki kesaktian yang kuat.

Maka iapun menyambut serangan itu dengan gerakannya yang lebih cepat lagi karena ia menggunakan aji Bayu-tantra sehingga gerakannya seperti angin dan setelah mengelak dari semua serangan keris lawan, ia membalas dengan pukulan PethitNogo, bergantian dengan pukulan Wisangmolo yang beracun.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan sengit. Tidak ada lagi yang berani menonton kecuali Jayawijaya yang masih berdiri di bawah panggung dengan kagum.

Diam-diam Jayawijaya kagum sekali kepada wanita setengah tua itu. Demikian cekatan gerakannya, demikian cepat dan pukulan-pukulannya mendatangkan hawa pukulan yang menggetarkan panggung. Sebuah perkelahian yang hebat!

Dia mulai khawatir kalau-kalau seorang di antara mereka akan tewas dalam perkelahian itu. Biar pun matanya juga kabur tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian, akan tetapi di dalam hatinya Jayawijaya percaya bahwa Endang Patibroto tentu akan keluar sebagai pemenang. Karena khawatir wanita perkasa itu akan membunuh lawannya, dari bawah panggung dia lalu berseru,

"Kanjeng Bibi, harap jangan bunuh dia. Berilah kesempatan kepada orang sesat itu untuk menyadari kesesatannya dan kembali ke jalan benar."

Sementara itu, melihat betapa tangguhnya lawan, Wasi Karangwolo lalu memberi isyarat kepada dua belas orang pembantunya dan mereka semua segera naik ke atas panggung kemudian mengeroyok Endang Patibroto.

Namun pengeroyokan itu tidak membuat Endang Patibroto gentar. Ia menyambut selosin orang itu dengan amukan dan semangatnya bertambah. Jiwa petualangan wanita ini kini mendapat tempat yang luas dan dengan gembira ia menyambut pengeroyokan ini dengan tendangan dan pukulannya.

Demikian hebat sepak terjang Endang Patibroto sehingga para pengeroyok itu langsung bergelimpangan dan ada yang terguling jatuh keluar panggung. Akan tetapi ada sesuatu terkandung dalam ucapan pemuda di bawah panggung tadi supaya dia tidak melakukan pembunuhan.

Sungguh aneh. Suara itu begitu mempengaruhinya dan selalu terngiang dalam telinganya. Tanpa disadarinya apa sebabnya, ia membatasi tenaganya dan tak seorang pun di antara para pengeroyok itu terpukul tewas. Namun cukup keras membuat mereka mengaduh-aduh dengan tulang patah dan membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi.

Melihat ini, Wasi Karangwolo menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan dahsyat, tubuhnya menerjang maju, kerisnya menyambar-nyambar seperti kilat dan setiap serangannya merupakan cengkeraman maut yang mengancam nyawa Endang Patibroto.

Namun wanita sakti ini mengelak dengan cepat. Tubuhnya berkelebatan di antara sinar keris dan dia pun membalas dengan pukulan jari tangan aji Pethit Nogo yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan senjata ampuh yang mana juga. Akan tetapi Wasi Karangwolo juga bukan seorang lawan yang lemah. Dia pun dapat mengelak atau menangkis semua pukulan yang dilontarkan Endang Patibroto.

Pertandingan itu berlangsung hebat bukan main sehingga Jayawijaya yang berdiri di luar panggung dan menonton pertandingan itu merasa khawatir akan keselamatan Endang Patibroto.

Perkelahian itu sudah berlangsung cukup lama dan agaknya memang sekali ini Endang Patibroto menemukan lawan yang tangguh. Akan tetapi Wasi Karangwolo sendiri merasa khawatir dan sedikit jerih. Meski dia telah mengerahkan semua ajiannya, tetapi tidak satu pun ajian itu dapat merobohkan lawannya. Bahkan kalau wanita itu menangkis, pertemuan antara kedua lengan mereka membuat dia tergetar hebat dan kadang terhuyung.

Dengan marah dia lalu mengeluarkan pekik menyeramkan dan menusuk dengan kerisnya ke arah dada Endang Patibroto. Wanita ini cepat melangkah mundur satu tindak sambil merendahkan diri dengan menekuk kaki kirinya, lalu secara tiba-tiba sekali kaki kanannya mencuat dalam sebuah tendangan. Wasi Karangwolo tak mampu menghindarkan diri lagi.

"Wuuuuutt...! Bukkk...!"

Perut kakek itu tepat terkena tendangan kaki kanan Endang Patibroto. Walau pun hanya tendangan seorang wanita setengah tua, namun tendangan itu didorong oleh tenaga sakti yang amat hebat.

Wasi Karangwolo mengeluh dan tubuhnya terjengkang. Dia terhuyung ke belakang, tidak sampai roboh akan tetapi nyalinya sudah terbang. Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan kalah. Maka, tanpa malu-malu dia lalu melompat turun dari atas panggung dan melarikan diri. Melihat hal ini, dua belas orang anak buahnya yang tadi sudah dihajar oleh Endang Patibroto, cepat-cepat mengikuti jejak pemimpin mereka. Mereka melarikan diri tunggang langgang.

Endang Patibroto melihat ke bawah panggung. Tidak ada seorang pun penduduk dusun yang berada di situ, semuanya telah melarikan diri pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi pemuda tampan itu masih berdiri di sana, memandang kepadanya dengan kagum. Endang Patibroto lalu melompat turun dari panggung itu, berhadapan dengan Jayawijaya.

"Kanjeng Bibi sungguh sakti mandraguna dan bijaksana sekali," kata Jayawijaya dengan pandang mata kagum. "Saya sudah mendengar dari kanjeng Rama bahwa di Jenggala dan Panjalu terdapat banyak sekali orang yang sakti, dan ternyata keterangan kanjeng rama itu benar. Hari ini saya bertemu dengan seorang di antara orang-orang sakti dari Panjalu."

Endang Patibroto memandang pemuda itu dan senyumnya membayangkan rasa sukanya. Pemuda ini lembut dan agaknya lemah tidak memiliki kedigdayaan, akan tetapi memiliki keberanian luar biasa sehingga berani menentang seorang sakti seperti Wasi Karangwolo.

"Orang muda yang baik, siapakah namamu dan dari mana engkau datang?"

"Kanjeng bibi, nama saya adalah Jayawijaya dan saya datang dari pegunungan Tengger."

"Siapakah orang tuamu dan mengapa engkau dapat berada di tempat ini?"

"Memang saya tengah merantau untuk meluaskan pengetahuan dan pengalaman, kanjeng bibi. Ayah saya yang menyuruh saya merantau. Beliau adalah seorang pertapa bernama Panji Kelana. Pengembaraan saya membawa saya sampai ke tempat ini dan tadi ketika melihat pendeta itu hendak memaksakan kehendaknya kepada penduduk dusun untuk memasuki agamanya, saya lalu menegurnya. Baiknya ada kanjeng bibi yang datang dan mengusirnya, kalau boleh saya mengetahui, siapakah kanjeng bibi dan bagaimana secara kebetulan berada di sini? Saya mendengar tadi bahwa kanjeng bibi datang dari Panjalu."

"Namaku Endang Patibroto dan aku adalah isteri Ki Patih Panjalu. Aku sedang melakukan perjalanan untuk mencari dua orang anakku yang juga mengembara ke daerah ini. Nama mereka Retno Wilis dan Bagus Seto. Apakah andika pernah bertemu dengan mereka atau mendengar tentang mereka?"

"Saya tidak pernah mendengar tentang mereka, kanjeng bibi."

"Anakmas Jayawijaya, aku benar-benar heran melihat keadaanmu. Andika tidak memiliki aji kanuragan, akan tetapi bagaimana andika berani menentang seorang yang digdaya seperti Wasi Karangwolo tadi. Bagaimana kalau dia memukulmu sampai tewas?"

Jayawijaya tersenyum. "Nyawaku berada di tangan Hyang Widhi, kanjeng bibi. Apa yang harus ditakuti? Kalau Hyang Widhi belum menghendaki saya tewas, biar pun ada seratus orang seperti Wasi Karangwolo tadi, bagaimana dia dapat membunuhku? Kanjeng Bibi, saya sudah sejak kecil menyerahkan jiwa ragaku kepada Sang Hyang Widhi dan saya percaya sepenuhnya bahwa Sang Hyang Widhi akan melindungi saya dari pada mala petaka."

Endang Patibroto terbelalak heran. "Hanya dengan bekal kepercayaan dan penyerahan kepada Sang Hyang Widhi, andika berani menentang orang-orang jahat?"

"Tentu saja, mengapa tidak, kanjeng bibi? Meski pun andai kata saya memiliki ajian yang sakti mandraguna, kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematian saya, dengan mudah saja saya akan tewas."

"Akan tetapi andika berani menentang Wasi Karangwolo? Itu berbahaya sekali, anakmas Jayawijaya!"

"Saya memang diutus ayah merantau ke arah Nusabarung ini dan menurut ayah saya, di daerah ini ada golongan tertentu yang ingin menghapus agama lama dan menggantikan dengan agama baru yaitu penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo dan Bathara Kala. Ayah memesan supaya saya menentang usaha yang tidak baik itu. Apa lagi kalau usaha penyebaran agama itu dilakukan dengan cara kekerasan. Sebab itu, ketika melihat Wasi Karangwolo hendak memaksakan agama itu kepada penduduk Pandakan, saya merasa kewajiban untuk menegur dan menentangnya."

"Sungguh luar biasa! Apakah penyerahanmu kepada Sang Hyang Widhi telah sedemikian mutlaknya sehingga andika tidak takut menghadapi bahaya maut, anakmas Jayawijaya?"

"Tentu saja, kanjeng Bibi. Bukankah kita ini hanya ciptaan Sang Hyang Widhi dan kita dapat hidup ini adalah berkat kemurahanNya. Saya menyerah dengan penuh kepasrahan dan keikhlasan, sehingga andaikata saya sampai tewas dalam penyerahan saya, sayapun akan ikhlas karena kematian saya sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi."

Endang Patibaroto menghela napas panjang. Sudah banyak dia bertemu para pendeta yang sakti mandraguna dan bijaksana, tapi baru sekarang dia bertemu seorang pemuda lemah yang mempunyai keyakinan dan kepasrahan kepada Sang Hyang Widhi seperti pemuda ini.

Ia teringat akan anak tirinya Bagus Seto. Bagus Seto juga seorang pemuda aneh, akan tetapi dia mempunyai kesaktian, bahkan dia sakti mandraguna berkat ilmu-ilmunya yang diperoleh dari gurunya, Sang Bhagawan Ekadenta. Dia bisa menghadapi lawan-lawannya yang tangguh dengan ilmu yang dikuasainya.

Akan tetapi pemuda ini, seorang lemah yang tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan, akan tetapi berani sekali menentang orang-orang yang sakti mandraguna hanya dengan mengandalkan kepasrahannya kepada Sang Hyang Widhi.

"Sekarang andika hendak ke mana, anakmas?"

"Saya hendak melanjutkan perantauan saya di daerah ini, kemudian menuju Nusabarung sesuai dengan perintah ayah. Setelah sampai di Nusabarung dan menentang penyebaran agama secara paksa, baru saya akan pulang ke pegunungan Tengger."

"Kalau begitu, selamat jalan. Kita berpisah di sini dan harap andika berhati-hati menjaga dirimu, anakmas."

"Selamat berpisah, kanjeng bibi. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu lagi. Senang sekali bertemu dengan seorang yang sakti mandraguna seperti kanjeng bibi. Dan kanjeng bibi sendiri hendak ke manakah?"

"Aku akan melanjutkan pencarianku terhadap kedua orang anakku itu."

"Namanya Retno Wilis dan Bagus Seto? Aku akan membantumu, kanjeng bibi. Kalau bertemu dengan mereka, akan kuberi-tahukan bahwa mereka dicari oleh kanjeng bibi.”

"Terima kasih, anak-mas," kata Endang Patibroto sambil tersenyum. Kalau ia saja tidak berhasil mencari anak-anaknya, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Jayawijaya!

Mereka lalu berpisah. Akan tetapi belum lama Endang Patibroto berpisah dari pemuda itu, hatinya sudah merasa tidak enak. Membiarkan seorang pemuda lemah seperti Jayawijaya melakukan perjalanan seorang diri! Sungguh besar bahayanya mengancam pemuda itu. Ia merasa tidak tega dan diam-diam ia lalu menanti, kemudian membayangi perjalanan pemuda itu dari jauh.

Jayawijaya berjalan seorang diri dengan langkah tenang. Dia merasa girang sudah dapat mencegah Wasi Karangwolo membujuk penduduk dusun. Munculnya Endang Patibroto mempertebal iman kepercayaannya kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi. Tentu hanya Hyang Widhi yang menggerakkan seorang wanita sakti seperti Endang Patibroto sehingga dapat membantunya menghadapi Wasi Karangwolo. Bila Hyang Widhi hendak menolong, tidak kurang jalannya.

Karena itu sedetik pun dia tidak pernah kendur penyerahannya kepada Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Kasih. Sedetik pun dia tidak pernah menyangsikan bimbingan dan perlindungan Hyang Widhi kepadanya.

Hari telah menjelang senja ketika dia tiba di dekat sebuah hutan lebat. Tiba-tiba saja dari dalam hutan berlompatan tujuh orang pria bertubuh tinggi besar dan mereka menghadang jalan sambil menyeringai menakutkan. Jayawijaya terpaksa berhenti melangkah karena tujuh orang itu sengaja menghadang di depannya.

Dengan sabar pemuda itu hendak mengambil jalan memutari mereka, tetapi tujuh orang itu kembali menghadangnya dan kemana pun dia melangkah, mereka tentu menghadang di depannya.

"Andika sekalian ini mau apakah? Saya sedang melakukan perjalanan, tidak mengganggu kalian dan tidak mengenal kalian. Harap membuka jalan dan biarkan aku lewat," katanya dengan nada suara halus.

Tujuh orang itu dipimpin oleh seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok. Sejak tadi dia memandang ke arah buntalan di punggung Jayawijaya. Mendengar ucapan pemuda itu, dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Ketahuilah bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaan kami. Andika lewat disini, boleh saja akan tetapi tinggalkan dulu buntalan di punggungmu itu!"

"Akan tetapi kenapa? Buntalan ini berisi pakaian yang menjadi bekalku dalam perjalanan. Aku memerlukannya untuk pengganti pakaianku," Jayawijaya membantah dengan suara halus.

"Kau berani membantah? Lekas serahkan pakaian dan barang-barangmu, atau serahkan nyawamu! Kau boleh pilih, harta atau nyawa!” kata kepala perampok itu dengan suara garang.

"Hemm, jadi kalian ini adalah perampok?"

"Benar, kami adalah perampok yang menguasai daerah ini. Jangan banyak membantah kalau engkau menyayangi nyawamu!"

"Sobat, tidak tahukah kalian bahwa merampok adalah pekerjaan yang amat tidak patut dan merugikan orang lain? Sebaiknya kalau kalian cepat menyadari hal itu dan mengubah jalan hidup kalian agar tidak menumpuk dosa yang akan berat pertanggungan-jawabnya."

Tujuh orang laki-laki itu saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa lucu ada seorang pemuda yang memberi Wejangan kepada mereka seperti lagak seorang pendeta saja.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar