Sepasang Garuda Putih Jilid 13

"Bibi mencari siapa?" Ni Dewi Durgomala yang di antara para pekerja dan para anggota disebut Ni Dewi saja, bertanya sambil tersenyum manis.

"Saya... saya mencari dua orang anak saya, yang laki-laki bernama Sularko dan yang perempuan bernama Sawitri. Saya mendengar bahwa malam tadi mereka ikut pesta di sini." Kata Mbok Rondo Gati dengan suara penuh harap akan tetapi juga lirih karena merasa segan berhadapan dengan wanita yang pandang matanya amat berwibawa itu.

Ni Dewi Durgomala mengerutkan sepasang alisnya yang hitam panjang lalu berkata, "Sularko dan Sawitri? Aha, aku ingat sekarang. Mereka adalah dua orang kakak beradik yang menjadi anggota baru perkumpulan kami. Memang benar, bibi, mereka semalam ikut berpesta dengan kami."

Bukan main girang dan leganya hati Mbok Rondo Gati mendengar keterangan ini. "Den ajeng, di mana adanya mereka sekarang? Semalam mereka tidak pulang," tanyanya.

Ni Dewi Durgomala mengerutkan alisnya dan memandang heran.

"Tidak pulang? Akan tetapi pagi tadi mereka sudah meninggalkan tempat ini, seperti para anggota lain, kecuali mereka yang bekerja di sini."

“Sudah meninggalkan tempat ini? Akan tetapi mengapa mereka tidak pulang?"

"Barangkali ketika andika ke sini, mereka sudah sampai di rumah, bibi. Kami tidak tahu, akan tetapi mereka pagi tadi sudah meninggalkan tempat ini," setelah berkata demikian, Ni Dewi Durgomala menoleh kepada para pekerja dan memberi petunjuk ini itu, seolah memberi tanda kepada Mbok Rondo Gati bahwa ia sedang sibuk bekerja dan bahwa kehadiran wanita setengah tua itu hanya mengganggu saja.

Mendengar jawaban itu, Mbok Rondo Gati timbul pula harapannya. Mungkin saja kedua anaknya itu sudah pulang sekarang. Maka ia mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan tempat itu. Bergegas ia pulang ke rumahnya dengan harapan akan melihat kedua orang anaknya sudah pulang, begitu tiba di rumah, ia sudah memanggil-manggil sambil berlari masuk.

"Sularko...! Sawitri...! Di mana kalian?" Akan tetapi, biar pun ia sudah mencari sampai ke dapur dan kebun belakang, ia tidak melihat kedua orang anaknya itu. Tentu saja harapan tipis itu segera membuyar lagi dan ia mulai menangis lagi sambil meratap, memanggil-manggil kedua orang anaknya. Akan tetapi tidak ada yang menjawab.

Kini tidak ada tetangga yang datang menjenguknya. Mereka semua sudah pergi bekerja, ke sawah ladang atau ke sungai mencari ikan.

Mbok Rondo Gati tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis. Hendak mencari, harus dicari ke mana? Ia tadi sudah mencari di seluruh pelosok Bulumanik. Ia menangis terus sampai hari menjadi siang, air matanya sudah habis dan ia menjadi bingung tidak tahu harus berbuat apa. Ia lupa makan, lupa segala, kadang duduk, ada kalanya berdiri atau merebahkan diri di atas bale-bale sambil terus menangis. Tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya dari luar rumah.

"Mbok Rondo Gati! Mbok Rondo Gati!"

Mendengar ada suara orang memanggilnya, ia cepat keluar. Walau pun tubuhnya terasa lemas karena sejak semalam ia tidak makan atau minum dan hatinya yang sedih dan gelisah membuat tubuhnya lemas sekali, namun kini ia bangkit dan berlari keluar, muncul harapannya akan mengetahui di mana adanya kedua anaknya. Setibanya di luar rumah, ia melihat seorang pemuda kawan Sularko sedang berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak.

"Mbok Rondo Gati, aku... aku melihat Sularko dan Sawitri...!"

Tentu saja wanita setengah tua itu menjadi girang sekali, ia lari menghampiri pemuda itu dan memegang lengannya.

"Di mana? Di mana engkau melihat mereka?"

"Aku... aku... ah...!” Pemuda itu menggagap dan agaknya sukar sekali bicara.

Mbok Rondo Gati menjadi bingung. "Mengapa? Ada apa? Mari minumlah dahulu, engkau kelihatan begitu tegang." Ia menuntun pemuda itu memasuki rumah dan menyerahkan sebuah kendi.

Pemuda itu menerima kendi dengan kedua tangan menggigil lalu dia menuangkan air dari mulut kendi ke dalam mulutnya yang ternganga. Setelah minum air kendi, pemuda itu tampak lebih tenang dan dia meletakkan kendi kembali ke atas meja dan memandang kepada Mbok Rondo Gati.

"Nah, sekarang ceritakan di mana engkau melihat kedua anakku itu," kata Mbok Rondo Gati.

Pemuda itu menarik napas panjang dua kali, lalu memandang wajah wanita itu dan mulai bercerita, "Begini, Mbok Rondo, tadi pagi-pagi sekali aku sudah mendayung perahuku ke hilir sungai sambil menjala ikan. Sialnya aku tidak berhasil, maka aku terus mendayung perahuku ke hilir, mencari tempat sepi untuk mendapatkan ikan lebih banyak. Kemudian tadi aku... aku melihat ada dua benda terapung di sungai... dan ketika aku mendayung perahuku mendekat... kulihat... kulihat dua benda yang terapung itu adalah Sularko dan Sawitri... sudah menjadi mayat...”

Mbok Rondo Gati mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan iapun jatuh pingsan! Tentu saja pemuda itu menjadi bingung, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil Mbok Rondo Gati. Akhirnya Mbok Rondo Gati siuman dari pingsannya dan ia lalu menangis lagi dengan sedihnya.

"Apakah engkau sudah membawa mereka ke tepi sungai?" tanyanya memelas dengan suara lirih.

Pemuda itu menggelengkan kepalanya. "Aku seorang diri, Mbok. Dan saking takut dan tegang hatiku, aku lalu mendayung perahuku kuat-kuat untuk kembali dan cepat memberi-tahu kepadamu. Aku belum memberi-tahu kepada siapapun juga kecuali kepadamu."

Wanita itu menangis lagi. "Ahh, mengapa tidak kau bawa ke tepi? Kau biarkan mereka hanyut terus...?"

Mbok Rondo Gati lalu mengajak pemuda itu ke sungai. Ia pun memiliki sebuah perahu, yang biasa dipergunakan Sularko untuk mencari ikan.

"Hayo tunjukkan kepadaku dimana engkau milihat mereka," katanya dan iapun mengikuti perahu pemuda itu ke hilir.

Namun tentu saja mereka tidak menemukan dua jenazah yang hanyut itu, entah sudah sampai di mana. Mungkin saja sudah sampai di Laut Kidul. Saking bingung dan takutnya karena ditanya terus oleh Mbok Rondo Gali, pemuda itu lalu kembali ke Bulumanik untuk minta bantuan orang-orang mencari dua jenazah itu. Sedangkan wanita itu melanjutkan sendiri pencariannya. Akan tetapi ia tidak berhasil menemukan dua mayat anaknya itu, dan Mbok Rondo Gati terus mendayung hilir mudik sambil menangis dan kadang seperti orang yang sudah berubah pikirannya, ia memanggil-manggil nama kedua anaknya.

"Sularko...! Sawitri... Di mana kalian, anak-anakku...?" ia memanggil-manggil.

Tiba-tiba ada suara dari tepi sungai. "Mbok, ada apakah, mbok?"

Mbok Rondo Gati menoleh dan memandang ke arah tepi sungai dan wajahnya tiba-tiba berseri, matanya terbelalak dan mulutnya tersenyum.

"Sularko! Sawitri! Anak-anakku...!” Dan dengan cepat ia mendayung perahunya ke tepi sungai di mana berdiri sepasang orang muda itu. Setelah tiba di pantai, ia meninggalkan perahunya dan lari ke arah dua orang muda. "Sawitri anakku...!” Dia menjerit kemudian menubruk, merangkul gadis itu.

Gadis itu terheran-heran, tetapi ia membiarkan wanita itu merangkul dan menciumnya. Ia merasa terharu sekali. Pemuda itu menyentuh pundak Mbok Rondo Gati sambil berkata,

"Mbok, tenanglah, mbok dan waspadakan siapa sebetulnya kami berdua."

Suara pemuda itu lembut sekali. Mbok Rondo Gati melepaskan rangkulannya dari gadis itu dan kini ia merangkul pemuda itu sambil menangis,

"Sularko... anakku Sularko...!”

Pemuda itu membiarkan dirinya dipeluk, akan tetapi dia mengusap ke arah dahi wanita tua itu dan berkata lagi dengan suara lembut,

"Mbok, sadarlah, mbok. Kami bukan anak-anakmu.”


Mbok Rondo Gati tampak terkejut, memandang wajah pemuda yang tersenyum lembut itu, lalu melepaskan rangkulannya dan mundur tiga langkah. Kemudian ia menoleh ke arah gadis itu, matanya penuh keheranan dan juga kekagetan, digosok-gosoknya kedua matanya dengan punggung tangan akan tetapi matanya yang merah dan basah itu tidak menipunya.

Yang berdiri di hadapannya memang seorang gadis dan seorang pemuda yang sebaya kedua anaknya, yang bentuk tubuhnya juga sama, akan tetapi jelas mereka itu bukan anak-anaknya. Pemuda itu seorang pemuda tampan berpakaian serba putih, dan gadis itu pun berpakaian serba putih akan tetapi bukan Sawitri. Tubuhnya seketika menjadi lemas, ia terhuyung dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja gadis itu tidak dengan cepat merangkulnya.

Gadis itu adalah Retno Wilis dan pemuda itu adalah Bagus Seto. Seperti yang telah kita ketahui, Bagus Seto dan Retno Wilis naik perahu bersama Harjadenta menuju ke hilir. Harjadenta dalam usahanya mencari keris pusaka Ki Carubuk milik gurunya yang hilang dicuri orang dan menurut gurunya dia harus mencari sampai ke muara Kali Mayang. Ada pun Retno Wilis dan Bagus Seto ikut naik perahu itu karena mereka hendak kembali ke pantai laut Kidul untuk melanjutkan perjalanan mereka ke timur.

Ketika perahu sudah mendekati muara Kali Mayang, tepat pada pertemuan antara Kali Mayang dan Kali Sanen, Bagus Seto berkata kepada Harjadenta.

"Adimas Harjadentra, kurasa cukup sampai di sini saja. Kami akan mendarat kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Engkau pun harus melakukan penyelidikanmu sampai ke muara Kali Mayang, bukan?"

"Betul, kakangmas. Tetapi aku tidak tahu ke mana aku harus melakukan penyelidikan di tempat sunyi ini," kata Harjadenta yang tiba-tiba merasa sedih karena harus berpisah dengan kakak beradik itu, terutama harus berpisah dari Retno Wilis. Akan tetapi biar pun dia berkata demikian, dia mendayung perahunya ke pinggir seperti yang diminta oleh Bagus Seto.

Pada saat kakak beradik itu mendarat itulah mereka mendengar tangis Mbok Rondo Gati yang naik perahu seorang diri. Bagus Seto lalu menegur wanita malang itu. Harjadenta juga belum menengahkan perahunya lagi, dan mereka belum sempat berpamitan. Dia juga tertarik sekali melihat wanita yang menangis dan yang mengira Bagus Seto dan Retno Wilis anaknya, maka Harjadenta juga ikut mendarat dan mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia lalu menghampiri dan melihat wanita itu pingsan dalam rangkulan Retno Wilis.

“Ia kenapakah, diajeng Retno?" tanyanya sambil menghampiri.

"Kami belum tahu, akan tetapi ia pingsan setelah mengetahui bahwa kami bukan anak-anaknya. Kasihan sekali orang ini."

Retno Wilis lalu merebahkan tubuh wanita itu di atas rumput. Bagus Seto memijit-mijit tengkuk Mbok Rondo Gati dan wanita itu pun siuman dari pingsannya. Tubuhnya amat lemah karena sehari semalam ia sama sekali tidak makan atau minum dan terus-menerus menangis. Kini begitu siuman dari pingsannya dan melihat tiga orang muda berjongkok di dekatnya. Ia memandang mereka lalu matanya mencari-cari, ia bangkit dan bertanya,

"Di mana mereka?”

"Mereka siapa? Andika mencari siapa, Mbok?" tanya Retno Wilis.

"Anakku... anak-anakku, Sularko dan Sawitri, di manakah mereka? Ya Gusti...kalau mereka benar-benar sudah mati, di mana mayat mereka? Kalau masih hidup, di mana mereka?" Wanita itu kembali menangis teringat akan cerita pemuda yang mengabarkan bahwa dia melihat mayat Sularko dan Sawitri.

"Tenanglah, mbok, dan ceritakan kepada kami apa yang terjadi dengan anak-anakmu. Siapa andika dan di mana andika tinggal dan apa yang terjadi dengan mereka berdua?"

Harjadenta ikut bertanya karena hatinya tertarik sekali. Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang Empu yang sakti dan gurunya itu menyuruh dia mencari jejak pencuri di tempat itu. Siapa tahu ada hubungan antara peristiwa wanita kehilangan anak-anaknya ini dengan hilangnya Ki Carubuk. Mendengar ucapan orang-orang muda yang tenang sabar itu, Mbok Rondo Gati merasa agak tenang juga. Setelah menyusut air matanya yang hampir kering, iapun bercerita.

"Saya adalah Mbok Rondo Gati dari Bulumanik, kademangan di hulu sana. Saya mempunyai dua orang anak bernama Sularko dan Sawitri, yang usianya sebaya dengan andika bertiga. Malam tadi... malam yang menyeramkan... saya melihat dua orang anak saya itu diculik orang... eh, diculik mahluk halus."

"Diculik makhluk halus? apa maksudmu, mbok?" tanya Retno Wilis penasaran sekali.

"Saya melihat sendiri Sularko dipanggul seorang wanita cantik dan Sawitri dipanggul seorang laki-laki seperti raksasa. Ketika saya berteriak wanita itu hanya menggerakkan tangan ke arah saya dan saya terjengkang seperti disambar halilintar. Mereka lalu lenyap membawa kedua oranganak saya itu..." Wanita itu mulai menyusuti air matanya lagi yang sudah jatuh bercucuran.

"Tenanglah, mbok. Kami bertiga akan membantu. Lalu bagaimana lanjutan ceritamu?” tanya Bagus Seto dengan lembut.

"Semalam saya menangis, tidak berani keluar karena malam tadi malam Respati terang bulan purnama. Saya takut kepada setan-setan yang berkeliaran di luar rumah. Baru tadi pagi saya keluar dari rumah dan mencari-cari anak saya sampai ke seluruh pelosok kademangan Bulumanik."

"Lalu?" desak Retno Wilis yang tertarik sekali oleh cerita itu.

"Saya tidak dapat menemukan mereka. Lalu saya datang ke candi yang baru dibangun. Seperti biasa, pada malam Respati di candi itu diadakan pesta pada malam harinya dan saya mencari ke situ kalau-kalau kedua orang anak saya berada di sana. Dari beberapa orang pekerja di candi itu saya mendapat kabar bahwa semalam memang kedua anak saya ikut berpesta, katanya mereka menjadi anggota-anggota baru agama itu."

"Hemm, agama apakah itu, mbok?"

"Saya sendiri tidak tahu, hanya kabarnya, agama baru itu didukung oleh Ki Demang dan kabarnya yang disembah adalah arca Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala...”

Retno Wilis dan Bagus Seto saling pandang dan mereka menjadi tertarik sekali. Mereka berdua sudah pernah mengalami bentrok dengan tokoh-tokoh penyembah tiga bathara dan bathari itu. Harjadenta yang belum mempunyai pengalaman mengenai agama baru itu, bertanya,

"Lalu bagaimana, mbok?"

"Saya lalu pergi menemui pimpinan agama itu yang disebut Ni Dewi, akan tetapi ia mengatakan bahwa memang semalam kedua anak saya ikut berpesta, akan tetapi pagi tadi telah pergi lagi seperti para anggota lain yang tidak ikut bekerja membangun candi."

"Kalau begitu, kedua anakmu tentu masih selamat dan yang perlu kita ketahui, ke mana mereka pergi," kata Retno Wilis.

Tiba-tiba wanita itu menangis lagi. "Ada berita buruk sekali... aduh Gusti... kuatkanlah hamba...”

"Tenang, mbok. Ceritakanlah kepada kami apa yang terjadi selanjutnya," kata Bagus Seto dan suara pemuda itu menenangkan hati Mbok Rondo Gati.

"Ketika saya sedang bingung dan berada di rumah karena tidak tahu harus mencari ke mana, tiba-tiba datang seorang pemuda dusun, yaitu seorang kawan dari Sularko. Dia memberi-tahu kepada saya bahwa ketika dia sedang mencari ikan, dia melihat mayat kedua orang anakku terapung di tengah sungai...! Saya sudah mencari-carinya, akan tetapi tidak dapat saya temukan...”

"Kenapa ketika pemuda itu melihat mayat anak-anakmu, dia tidak mengambilnya?" tanya Retno Wilis.

"Dia bilang... dia kaget dan ketakutan, karena hanya seorang diri, maka dia cepat-cepat mendayung perahunya untuk memberi-tahu kepada saya."

"Jadi mbok tadi sedang mencari-cari kedua orang anak yang dikabarkan sudah mati itu ketika mendengar kami memanggil?"

Mbok Rondo Gati mengangguk. "Memang saya sudah hampir gila. Ketika andika berdua memanggil, saya kira andika adalah Sularko dan Sawitri anak saya, maka... maafkanlah saya...”

"Mbok, apakah keterangan pemuda kawan anak andika itu betul-betul boleh dipercaya kebenarannya?"

Mbok Rondo Gati menghapus air matanya dan mengangguk. "Dia sahabat Sularko, dia pasti tidak berbohong biar pun saya mengharap mudah-mudahan keterangannya tentang kematian anak saya tidak benar."

"Sudahlah, mbok. Sekarang sebaiknya mbok pulang saja dan kami bertiga yang akan melakukan penyelidikan dan mencari ke mana hilangnya kedua orang anakmu itu." Retno Wilis membujuk.

Akhirnya Mbok Rondo Gati menurut nasihat itu dan Retno Wilis naik perahu janda itu, ada pun Bagus Seto kembali naik perahu Harjadenta. Mereka berempat segera mendayung perahu untuk kembali ke Bulumanik.

Untuk sementara tiga orang muda perkasa itu tinggal mondok di rumah Mbok Rondo Gati dan hal ini merupakan hiburan besar bagi janda yang berduka karena kehilangan dua orang anaknya itu. Tiga orang muda yang berjanji untuk menyelidiki hilangnya dua orang anaknya itu mendatangkan harapan dalam hatinya.

Akan tetapi harapan untuk bertemu kembali dengan dua orang anaknya itu sudah hilang ketika Bagus Seto mengundang pemuda yang mengabarkan akan adanya dua mayat anak Mbok Rondo Gati dan pemuda itu menyatakan dengan sumpah bahwa dia tidak berbohong. Mbok Rondo Gati hanya mengharapkan untuk dapat mengetahui siapa yang menculik anaknya dan siapa pula yang membunuhnya. Maka ia melayani tiga orang muda itu dengan baik, memasakkan makan dan minum sederhana untuk mereka. Malam itu mereka bertiga berunding.

"Biar malam ini aku sendiri yang mengadakan penyelidikan ke candi yang baru dibangun itu. Kita harus mencurigai mereka karena sejak dahulu, penyembah Bathari Durgo dan Bathara Kala itu selalu melakukan penyelewengan-penyelewengan. Sebaiknya kalian mengaso dulu dan menanti hasil penyelidikanku."

Retno Wilis dan Harjadenta menyetujui pendapat Bagus Seto ini. Mereka berdua tentu saja maklum akan kesaktian pemuda itu dan tidak perlu mengkhawatirkan kepergiannya seorang diri.

Malam itu bulan masih bersinar terang, Bagus Seto menggunakan kepandaiannya untuk berkelebat di antara baying-bayang pohon dan tidak lama kemudian tibalah dia di candi yang sedang dibangun itu. Malam itu tidak ada yang bekerja dan juga tidak diadakan pesta seperti pada malam Respati. Keadaan di sekitar candi itu sunyi.

Bagus Seto mengadakan pemeriksaan dari atas atap, akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Dia melihat para pekerja pria berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan besar dan para pembantu wanita berkumpul dan bermalam di sebuah bangunan lain.

Tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Memang menjadi peraturan agama itu, kecuali pada hari Respati malam, tidak diperbolehkan mereka saling berhubungan atau saling mengganggu dengan ancaman hukuman berat yaitu dikutuk.

Di bagian belakang candi itu terdapat belasan buah kamar yang kebanyakan kosong dan di dalam dua kamar di antaranya, Bagus Seto melihat seorang wanita cantik duduk bersamadhi. Dari hawa di sekitar kamar itu saja tahulah Bagus Seto bahwa wanita itu adalah seorang yang memiliki kesaktian.

Dia mendapatkan pula seorang laki-laki bertubuh raksasa, juga sedang bersamadhi. Laki-laki ini pun memiliki kesaktian. Bagus Seto membayangkan cerita Mbok Rondo Gati. Apakah dua orang ini yang menculik Sularko dan Sawitri? Akan tetapi, mereka kelihatan sebagai orang-orang yang berilmu, rasanya tidak masuk akal kalau mereka melakukan kejahatan seperti itu.

Setelah puas melakukan penyelidikan keadaan candi yang baru dibangun, sebuah candi yang indah dan di mana-mana terdapat arca Bathara Shiwa, Bathara Kala dan Bathari Durgo. Bagus Seto lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah Mbok Rondo Gati.

"Aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di sana," katanya kepada Retno Wilis dan Harjadenta. "Kecuali dua orang yang sakti, yaitu seorang perempuan cantik dan seorang pria raksasa."

"Hemm, jangan-jangan mereka itu yang menculik Sularko dan Sawitri!" kata Harjadenta.

"Rasanya sulit dipercaya orang-orang yang memiliki kesaktian seperti mereka melakukan penculikan," kata Bagus Seto.

"Akan tetapi kita hatus menyelidiki dua orang itu!" kata Retno Wilis.

"Tidak ada lain jalan. Kita harus menanti sampai datangnya hari Respati malam di waktu mereka mengadakan pesta dan kita lihat saja apa yang terjadi di sana."

"Hari Respati malam masih kurang sepekan lagi," kata Retno Wilis.

"Kita harus bersabar kalau ingin berhasil,” kata kakaknya.

"Dan untuk memancing mereka mengulangi lagi perbualan mereka, kita perlu mengadakan umpan."

"Akan tetapi itu berbahaya sekali!" kata Retno Wilis. "Aku sendiri sudah pernah menjadi korban ilmu sihir dan guna-guna mereka."

"Justru itulah, kita harus memancing. Dan sebaiknya adimas Harjadenta yang menjadi umpan. Beranikah engkau menjadi umpan untuk mereka, adimas?"

Harjadenta tersenyum, biar pun agak masam karena hatinya agak gentar juga mendengar betapa Retno Wilis saja menganggap hal ini berbahaya.

"Tentu saja aku berani. Bukankah di sini ada anda berdua yang pasti akan melindungiku?"

"Tentu saja kami akan melindungimu, adimas."

"Lalu bagaimana pemasangan umpan itu dilakukan kakang?" tanya Retno Wilis.

"Pada hari Respati, sebaiknya kalau adimas Harjadenta datang ke sana dan minta pekerjaan membangun candi. Engkau tentu dapat melakukan pekerjaan memahat dan mengukir, adimas?"

"Walau pun bukan ahli, akan tetapi aku dapat membantu pekerjaan mereka.”

"Bagus, nanti pada hari Respati, engkau minta pekerjaan di sana dan aku yakin pasti akan diterima. Nah, malamnya tentu engkau akan kebagian pesta pula. Dan aku mengharap pada malam hari itu akan terjadi sesuatu yang akan mengungkap rahasia ini."

"Apakah tidak sebaiknya kalau aku pun menjadi umpan, kakang? Ingat, yang menjadi korban, anak-anak Mbok Rondo Gati, adalah seorang pemuda dan seorang pemudi. Biarlah aku pun ikut memancing mereka dan engkau yang melindungi aku dan kakangmas Harjadenta."

Bagus Seto menggelengkan kepalanya. "Aku tidak setuju dengan pendapatmu itu. Ingat, engkau bukanlah gadis yang tidak terkenal. Aku khawatir jika ada di antara mereka yang sakti itu mengenalmu dan bila mereka mengenalmu, tentu akan gagallah usaha kita untuk memancing. Berbeda dengan adimas Harjadenta, dia belum lama turun gunung dan tidak pernah berurusan dengan orang-orang dari golongan itu. Sudahlah, pada Respati malam nanti, pada waktu dalam pesta, engkau mengintai dan menyelidiki bagian wanita, dan aku menyelidiki bagian pria. Akan tetapi hati-hati diajeng, di sana ada wanita yang cantik dan sakti yang berbahaya sekali.”

"Wanita cantik yang sakti? Aku jadi ingat akan pesan guruku." kata Harjadenta.

Retno Wilis tersenyum dan memandangnya. “Tentu engkau menduga ia menjadi pencuri Ki Carubuk, bukan?"

Bagus Seto berkata, "Bukan tak mungkin ia yang mencuri pusaka itu! Di sekitar kamarnya aku mencium adanya kekuatan tersembunyi seperti kekuatan sihir dan guna-guna."

"Bagus! Kalau begitu aku menjadi lebih bersemangat pula untuk melakukan penyelidikan. Biar aku yang menjadi umpannya untuk menangkap pencuri laknat itu!" kata Harjadenta.

Demikianlah tiga orang itu tinggal di rumah Mbok Rondo Gati. Sesudah hari Respati tiba, Harjadenta pagi-pagi benar telah pergi mengunjungi candi yang baru dibangun. Ketika dia mengatakan pada para pekerja dan penjaga bahwa kedatangannya adalah hendak minta pekerjaan untuk membantu pembangunan candi, dia segera dihadapkan kepada Ni Dewi Durgomolo.

Wanita yang masih cantik dan genit itu menyambut kunjungan Harjadenta dengan wajah berseri dan matanya yang tajam itu meneliti Harjadenta dari kepala sampai ke kaki dan agaknya ia merasa puas dengan apa yang dilihatnya. Seorang pemuda yang tegap tampan dan gagah, wajahnya riang dan terang penuh senyum. Bukan seperti pemuda dusun kebanyakan, melainkan lebih pantas menjadi seorang pemuda kota atau pemuda bangsawan.

"Siapa namamu?" tanyanya ketika Harjadenta menghadapnya.

Pemuda yang tampak sangat hormat itu mengangkat mukanya. Dia duduk bersila di atas lantai sedangkan Ni Dewi Durgomala duduk di atas sebuah kursi. Harjadenta memandang wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita yang cantik, pikirnya.

Usianya sukar ditaksir. Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, agaknya ia baru berusia dua puluhan tahun, tapi pandang matanya yang tajam demikian matang dan penuh pengertian seperti pandangan mata seorang wanita yang lebih tua. Matanya mengerling tajam dan genit, senyumnya memikat dan setiap habis bicara ia menggunakan ujung lidahnya yang merah untuk menjilat bibirnya sendiri.

Seperti seekor ular yang cantik, pikir Harjadenta, menduga-duga apakah wanita ini yang dimaksudkan gurunya, yang telah mencuri Ki Carubuk.

"Nama saya Harjadenta," jawabnya sederhana, kemudian menundukkan mukanya karena pandang wanita itu penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hatinya melalui pertemuan pandang mata.

"Dari mana engkau datang, siapa orang tuamu?" tanya pula Ni Dewi Durgomala penuh selidik. Kalau yang minta pekerjaan itu seorang pemuda dusun, ia tidak akan bertanya sebanyak itu.

"Saya datang dari hulu Kali Manyar dari dusun Manukan," dia membohong. Dia tidak berani mengaku bahwa dia berasal dari Gunung Raung karena kalau benar wanita ini yang mencuri Ki Carubuk, tentu wanita ini akan menjadi curiga kepadanya. "Saya sudah tidak mempunyai orang tua lagi, sudah yatim piatu."

Wanita cantik itu berseri, girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu.

"Dan engkau datang ke tempat ini mau apa?" tanyanya lagi sambil memandang dengan tersenyum manis.

"Saya adalah seorang pengembara yang mencari pengalaman hidup dan disini saya mendengar bahwa pembangunan candi ini membutuhkan banyak tenaga. Nah, kalau sekiranya saya dapat diterima, saya akan senang sekali bekerja di sini, membantu pembangunan candi ini."

"Engkau dapat membuat arca, memahat dan mengukir?"

"Sedikit-sedikit, dan saya dapat belajar dari ahli-ahli yang berada di sini."

“Bagus sekali! Engkau diterima, akan tetapi kalau menjadi pekerja di sini, engkau juga harus menjadi anggota perkumpulan agama kami. Sanggupkah engkau?"

"Kalau memang itu persyaratannya, tentu saja saya sanggup."

"Baik sekali, Harjadenta. Malam ini adalah malam Respati, malam nanti ada pesta di sini dan pada kesempatan ini engkau dapat menerima pengangkatan sebagai seorang anggota baru." Ni Dewi Durgomala memandang kepada Harjadenta dengan sinar mata penuh arti. Pemuda ini diam-diam bergidik. Pandang mata itu begitu penuh tantangan, penuh rayuan, penuh daya tarik maka dia cepat-cepat menundukkan mukanya.

"Saya bersedia, den ajeng...”

"Hemm, jangan sebut aku den ajeng, tetapi sebut aku Ni Dewi begitu saja. Ketahuilah bahwa aku yang memimpin pembangunan di sini, dan wakilku adalah Ki Shiwananda. Kalau engkau bekerja dengan baik dan penurut, engkau tentu akan dapat menemukan kebahagiaan di sini. Agama kami bertujuan membahagiakan semua anggotanya."

"Terima kasih."

Harjadenta lalu diajak pergi menemui para tukang membuat arca dan diperbantukan di bagian ini. Mulai pagi itu Harjadenta sudah bekerja ikut membangun candi.

"Andika diterima sendiri oleh Ni Dewi dan diberi pekerjaan di sini? Ah, andika beruntung sekali," kata seorang di antara mereka, seorang laki-laki muda yang mukanya penuh noda hitam bekas cacar. "Aku tidak seberuntung andika."

"Mengapa engkau mengatakan aku beruntung?" tanya Harjadenta.

"Engkau tentu diterima menjadi anggota agama baru, bukan?"

"Benar."

"Nah, engkau akan mengerti sendiri malam nanti. Engkau sungguh beruntung dan aku iri kepadamu,” kata pula pria yang mukanya bernoda itu. Dia sudah menutup mulut dan tidak mau bercerita lebih banyak dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pekerjaannya mengukir dan memahat.

Berdebar tegang juga hati Harjadenta menanti datangnya malam. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Mengapa laki-laki bopeng itu mengatakan bahwa dia beruntung?

Siang dan sore itu semua pekerja mendapatkan makan yang cukup banyak dan enak. Harjadenta juga ikut makan dan dia mendapat kenyataan betapa para pekerja itu bekerja dengan rajin dan agaknya patuh sekali kepada atasan mereka. Mereka bekerja sambil bernyanyi dan bersenandung.

Kalau Ni Dewi datang menjenguk, mereka semua mengangguk dan wajah mereka berseri gembira. Wanita cantik itu pun bersikap ramah sekali kepada para pekerja, apa bila ada yang bekerja benar, ia memuji-muji dan jika ada yang pekerjaannya tidak benar, ia akan memberi petunjuk dengan sabar.

Tidak mengherankan bila mereka bekerja dengan senang, pikir Harjadenta. Para pekerja diperlakukan dengan ramah dan mendapat makan yang cukup memadai.

Malam Respati itu pun tibalah. Bulan muncul dan masih cukup terang karena bulan masih muncul tiga perempatnya. Gamelan sudah dibunyikan dan para pekerja dan para anggota agama baru itu sudah mandi dan bersiap-siap untuk ikut dalam pesta. Harjadenta disuruh mandi dan bertukar pakaian. Lalu dia dipanggil oleh Ni Dewi Durgomala. Setelah dia menghadap, wanita itu berkata dengan ramah.

"Sudah siapkah, engkau untuk melakukan upacara pengangkatan sebagai anggota baru dari agama kami?"

Harjadenta mengangguk dan menjawab, "Saya sudah siap, Ni Dewi."

"Kalau begitu, engkau ikutilah para peserta lainnya mendekati panggung dan kalau nanti aku dan Ki Shiwananda sudah muncul di panggung, engkau harus naik ke panggung dan berlutut memberi hormat kepadaku. Ketika itu engkau harus minum anggur kebahagiaan sebagai tanda bahwa engkau telah menerima agama baru sebagai agamamu, dan engkau telah menjadi anggota kami. Dan selanjutnya, sebagai seorang anggota yang baik dan taat, engkau harus melaksanakan segala perintahku. Mengertikah engkau, Harjadenta?"

Harjadenta mengangguk. "Saya mengerti."

"Bagus, nah sekarang bersiaplah dengan para anggota yang lain. Malam ini, untuk menghormati kemunculan Sang Bathari Durgo dan Sang Bathara Kala yang menjelma menjadi aku dan Ki Shiwananda, kita semua akan mengadakan pesta seperti biasa, engkau boleh ikut bersenang-senang dan mendapatkan kebahagiaan."

Harjadenta tidak mengerti apa yang dimaksudkan wanita itu, akan tetapi dia mengangguk dan tidak banyak bertanya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dia akan menghadap apa yang datang nanti sambil mencari kesempatan untuk menyelidiki tentang pusaka Ki Carubuk, dan juga tentang nasib Sularko dan Sawitri.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar