Sepasang Garuda Putih Jilid 12

Mbok Rondo Gati menyambut kedua anaknya dengan gembira. Setelah menyuruh mereka mandi, ia lalu mengeluarkan hidangan makan malam yang sederhana untuk mereka. Mereka bertiga lalu makan bersama dengan gembira. Bukan main lezatnya hidangan sederhana itu bagi Sularko dan Sawitri yang sudah merasa lelah dan kelaparan setelah sehari bekerja di ladang. Sejak sarapan pagi sebelum berangkat ke ladang, mereka tidak makan apa-apa lagi sampai sore.

Malam itu terang bulan. Malam yang indah karena bulan muncul sepenuhnya. Ramai suara anak-anak yang bermain di pelataran rumah sambil berdendang. Suara banyak anak-anak bertembang "ilir-ilir" terdengar mengalun dan mengandung pengaruh aneh yang mendatangkan rasa haru. Malam Respati (Kamis malam) yang indah akan tetapi juga menyeramkan.

Bau kembang dan kemenyan dibakar menambah keseraman malam itu. Telah terjadi kepercayaan umum bahwa pada malam Respati seperti itu, para jin setan dan mahluk-mahluk halus lainnya keluar dari sarang mereka untuk mandi sinar bulan purnama yang memperkuat tubuh halus mereka dan berpesta sekenyangnya dalam asap kemenyan dan keharuman bunga setaman yang oleh manusia memang dihidangkan untuk mereka.

Setelah suara anak-anak bertembang menghilang, tanda bahwa anak-anak itu telah memasuki rumah masing-masing dan tidur, suasana menjadi hening. Keheningan yang menghanyutkan manusia dalam lamunan yang ajaib. Suara burung malam kini menggantikan tembang anak-anak, akan tetapi suara burung-burung hantu itu mendatangkan suasana yang mengerikan, seolah-olah suara itu menjadi pertanda bahwa akan datang suatu malapetaka bagi mereka yang mendengarnya.

Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara gamelan. Suara ini datangnya dari candi yang sedang dibangun. Tahulah para penduduk dusun Bulumanik bahwa di candi itu diadakan pesta seperti yang sering diadakan tiap Respati malam. Tidak ada penduduk yang berani menonton keramaian itu karena pesta itu diadakan untuk para anggota khususnya.

Di halaman depan candi itu dibuat panggung dan diatas panggung inilah orang-orang itu mengadakan pesta dengan iringan gamelan yang bertalu-talu. Biasanya, dalam pesta itu terjadi pengangkatan anggota baru. Banyak sudah kaum muda, laki-laki dan perempuan yang sudah masuk menjadi anggota agama baru penyembah Bathara Shiwa, Bathari Durgo, dan Bathara Kala itu.

Bukan hanya para anggota agama baru yang berpesta, akan tetapi juga mereka yang bekerja membangun candi itu. Para pekerja ini dengan sendirinya telah menjadi anggota mereka sehingga dalam waktu beberapa bulan saja sudah ratusan orang yang menjadi anggota agama baru itu.

Pesta ini selain untuk memuja tiga dewa dewi itu, juga untuk memberi hiburan dan kesenangan kepada para anggotanya. Di situ mereka diberi kesempatan untuk makan dan minum sepuasnya, juga ikut berpesta pora mengumbar nafsu secara bebas dalam keadaan mabok-mabokan. Sambil minum tuak (minuman keras dari pohon aren) mereka berpesta pora dan diperbolehkan mencari pasangan masing-masing dan memuaskan nafsu mereka dengan bebas.

Malam itu gamelan baru saja dibunyikan dan pesta belum dimulai. Biasanya pesta baru dimulai kalau Ni Dewi Durgomala yang memimpin pesta itu sudah muncul bersama Ki Shiwananda yang dianggap sebagai puteranya. Kalau kedua orang ini muncul, barulah dilakukan sembahyangan untuk mengundang Wasi Shiwamurti yang dianggap sebagai titisan Bathara Shiwa, yang datang pada setiap Respati malam di waktu bulan sedang purnama.

Hanya sebulan sekali Wasi Shiwamurti muncul di situ, sekalian untuk memeriksa hasil pembangunan candi yang pada hari-hari biasa dipimpin oleh Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Malam itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda belum muncul dan semua orang menantikan ke dua orang ini karena kemunculan mereka berarti pesta pora dimulai.

Sularko dan Sawitri juga mendengar suara gamelan yang menggantikan suara tembang anak-anak tadi. Mereka merasa heran mendengar gamelan itu dan mengingatkan mereka akan pertemuan mereka dengan dua orang di ladang pagi tadi.

Sawitri yang merasa gelisah, tidak dapat tidur. Setelah ibunya pulas, ia keluar dari kamar dan dilihatnya kakaknya juga belum tidur dan sedang duduk di ruangan depan. Ia lalu duduk pula di dekat kakaknya.

"Engkau belum tidur, Sawitri?"

Sawitri menggeleng kepalanya. "Engkau juga belum kakang? Aku tidak dapat tidur, suara gamelan itu terdengar mengerikan."

Walau pun hatinya sendiri merasa tidak tenang, namun Sularko menghibur adiknya. "Ah, apanya yang mengerikan?

“Gamelan itu adalah gamelan biasa, hanya lagunya yang asing bagi kita. Tidak ada yang mengerikan. Tidurlah, Sawitri. Apakah ibu sudah tidur?"

"Sudah, kakang. Justru karena ibu sudah tidur dan aku belum, maka aku merasa seram dan melihat engkau duduk di sini, aku lalu datang mencari kawan."

Sularko tertawa. "Ha-ha, engkau penakut benar, Sawitri. Apakah yang kau takutkan?"

"Entahlah, kakang. Aku seperti dapat firasat buruk, hatiku terasa berdebar tak menentu dan sepasang mata laki-laki tinggi besar itu seperti mengikuti aku terus."

"Itu hanya karena engkau membayangkan terus, Sawitri..."

Tiba-tiba Sularko menghentikan kata-katanya dan dia memandang ke arah pintu depan. Terdengar suara tawa lirih dari depan dan disusul suara seorang wanita yang merdu.

"Orang muda yang bagus, aku telah datang. Bukakan pintu rumahnya."

Suara itu segera disusul suara yang dalam dan berat, "Perawan ayu, aku datang untuk menjemputmu, bukalah pintunya."

Sawitri menggigil ketakutan dan ia berlari mendekati kakaknya, bersembunyi di belakang tubuh kakaknya.

"Kakang, aku takut...”

Sularko adalah seorang pemuda pemberani, biar pun dua suara itu membuat tengkuknya meremang, namun dengan tabah dia lalu membentak ke arah luar,

"Kalian datang mau apa? Kami tidak membutuhkan kalian dan tidak ingin bertemu dengan kalian. Kalian pergilah dari sini!"

"Orang muda, namamu Sularko dan adikmu bernama Sawitri, bukan? Kami datang untuk mengajak kalian bersenang-senang. Bukalah pintunya dan biarkan kami bercakap-cakap dengan kalian."

"Tidak! Kalian pergilah, atau kami akan berteriak agar semua orang datang mengeroyok kalian!" kata pula Sularko, lalu dia melepaskan rangkulan Sawitri, yang ketakutan untuk mengambil sebuah arit yang berada di sudut ruangan. Setelah memegang arit, Sularko menjadi tabah.

Terdengar suara Ki Shawananda. "Bukalah pintunya, atau kami terpaksa menjebolnya."

"Kalau kalian berani menjebol pintu maka kalian akan kubunuh!" Sularko berteriak penuh kemarahan dan tangannya memegang gagang arit dengan kuat. Sawitri masih memegang lengan kakaknya dan bersembunyi di balik tubuh kakaknya.

Hening sejenak, kemudian terdengar suara keras.

"Brakkkk...!” Daun pintu rumah itu jebol dan pada saat kedua orang itu muncul, Sawitri menjerit ketakutan.

Ni Dewi Durgomala menggerakkan kedua tangannya ke atas seperti menggapai kepada kakak beradik itu, kemudian tiba-tiba saja Sularko dan Sawitri merasa tubuhnya lemas dan kesadarannya hilang. Mereka berdua terkulai lemas, seolah kedua kaki mereka tidak bertenaga lagi dan keduanya seperti terhuyung hendak jatuh.

Pada saat itu Ni Dewi Durgomala melompat ke depan dan merangkul tubuh Sularko, sedangkan Ki Shiwananda juga memeluk tubuh Sawitri dara itu juga tidak sampai jatuh. Kemudian mereka memanggul tubuh kakak beradik yang sudah terkulai lemas itu dan membawanya keluar.

Pada saat itu pula Mbok Rondo Gati yang mendengar jeritan Sawitri tadi, terbangun dari tidurnya dan tergopoh keluar kamar. Ia sempat melihat kedua orang anaknya dipanggul dua orang yang tidak dikenalnya dan dibawa keluar. Tentu saja ia menjadi terkejut dan marah.

"Heii, tahan dulu! Apa yang terjadi dengan anak-anakku? Hendak kalian bawa ke mana mereka?" Ia mengejar.

Ni Dewi Durgomala segera membalikkan tubuhnya dan melihat seorang wanita setengah tua mengejar, ia lalu mendorongkan tangan kirinya ke arah Mbok Rondo Gati.

Bagaikan dilanda angin yang amat kuat tubuh janda itu terjengkang dan roboh. Dadanya terasa sesak dan ketika ia merangkak dan berhasil berdiri, kedua orang anaknya yang dipanggul dua orang itu telah lenyap dari situ. Hanya angin malam saja yang menerobos masuk melalui pintu yang telah jebol.

Mbok Rondo Gati menjerit-jerit dan menangis. Ketika para tetangga datang, ia hanya dapat mengatakan bahwa kedua orang anaknya dibawa lari orang. Akan tetapi ia tidak dapat bercerita dengan jelas bagaimana rupa orang-orang yang dikatakan menculik kedua orang anaknya.

Para tetangga menjadi ragu. Rasanya sukar dipercaya ada dua orang dewasa diculik begitu saja oleh dua orang. Padahal mereka semua tahu bahwa Sularko adalah seorang pemuda yang pemberani dan juga bukan pemuda lemah karena pernah mempelajari kanuragan. Akan tetapi melihat daun pintu yang jebol mereka juga merasa heran sekali.

Para penduduk Bulumanik masih percaya sekali akan tahyul, maka para tetangga Janda Mbok Gati itu segera menduga bahwa yang dapat melakukan penculikan itu tentulah sebangsa mahluk halus atau iblis. Mereka lalu pulang dan bersembunyi di rumah masing-masing. Dalam malam Respati seperti itu mereka semua percaya bahwa di luar banyak hantu dan setan yang bergentayangan mencari korban, dan mereka percaya bahwa yang mendatangi rumah Mbok Rondo Gati tentulah sebangsa setan pula.

Mbok Rondo Gati yang ditinggal pergi para tetangganya, hanya dapat menangis. Ia sendiri juga ketakutan dan percaya bahwa dua orang yang membawa pergi anak-anaknya tentulah sebangsa iblis. Buktinya, hanya dengan gerakan tangan, wanita cantik yang memanggul tubuh Sularko membuat ia roboh terjengkang, ia menangis akan tetapi tidak berani keluar untuk mencari kedua orang anaknya.

Sementara itu, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda membawa dua orang muda itu ke dalam ruangan belakang candi. Ni Dewi Durgomala lalu mencekoki Sularko dan Sawitri dengan secawan minuman yang telah diramu dan dimantera sehingga kedua orang muda itu terbangun akan tetapi mereka seperti orang mimpi. Mereka menurut saja apa yang dikehendaki dua orang itu dan ketika mereka diajak keluar dari ruangan itu menuju ke panggung di halaman depan, keduanya hanya menurut saja. Kemunculan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda disambut dengan meriah, dengan sorak sorai.

Semua orang bergembira karena kemunculan mereka ini menjadi pertanda bahwa pesta pora akan segera dimulai. Ketika mereka melihat bahwa Sularko dan Sawitri, mereka yang berasal dari Bulumanik mengenal mereka dan menjadi gembira sekali, menganggap bahwa kedua orang muda itu sependapat dengan mereka dan mau masuk menjadi anggota agama baru dan malam ini tentu akan diadakan upacara penerimaan mereka menjadi murid atau anggota baru. Maka mereka bersorak dengan gembira.

Sedikitnya ada seratus orang anggota agama baru itu berkumpul di situ. Mereka adalah juga para pekerja yang membangun candi, dari para seniman pembuat arca dan pemahat yang pandai, sampai kuli-kuli angkut batu dan pelaksana pekerjaan berat lainnya. Pada malam pesta seperti itu mereka diperlakukan sama. Hal ini yang menggembirakan mereka. Pada malam seperti itu biasanya mereka berpesta pora, makan berlimpah ruah dan mereka diperbolehkan mengumbar nafsu mereka. Para anggota itu bukan hanya laki-laki, akan tetapi juga banyak perempuannya. Kesemuanya masih muda-muda dan berkulit bersih. Bahkan banyak di antara mereka yang tampan dan cantik.

Di sudut panggung serombongan penabuh gamelan dan di atas panggung itu tampak tiga kursi. Kursi yang tengah besar dan diukir indah, sedangkan dua kursi yang mengapitnya lebih kecil dan lebih sederhana bentuknya. Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda naik ke panggung bersama Sularko dan Sawitri.

Pemuda dan pemudi ini tampak seperti domba yang jinak. Kalau tadi mereka baru dibawa dari rumah mereka, keduanya seperti kehilangan semangat dan lesu, tetapi setelah diberi minum ramuan minuman seperti tuak itu, keduanya menjadi penurut dan menaati semua perintah Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda. Mereka ikut naik ke panggung dan ketika Ni Durgomala dan Ki Shiwananda duduk dikursi yang mengapit kursi besar, Sularko dan Sawitri juga duduk di atas lantai panggung.

Malam itu tidak seperti malam Respati lainnya. Pada malam Respati yang tidak disinari bulan purnama, pesta itu dilakukan oleh para anggota dan dipimpin oleh dua orang tokoh agama baru itu. Akan tetapi, khusus diwaktu malam terang bulan purnama, seperti pada bulan-bulan yang lalu, Wasi Shiwamurti sendiri akan muncul dan memimpin upacara dan pesta. Para anggota masih gaduh menyambut munculnya Sularko dan Sawitri.

Ni Dewi Durgomala mengangkat tangannya ke atas sambil berdiri dari kursinya, memberi isyarat supaya semua orang diam tidak membuat gaduh. Semua terdiam dan suasana menjadi hening, bahkan gamelan juga dihentikan.

"Saudara-saudara para anggota sekalian, anak-anakku yang berbahagia, seperti kalian dapat melihat sendiri, pada malam ini ada seorang pemuda dan seorang pemudi masuk menjadi anggota kita. Dan pada malam ini Sang Wasi Shiwamurti sebagai penjelmaan Sang Hyang Bathara Shiwa akan hadir dan memimpin sendiri upacara penerimaan murid dan pesta yang akan diadakan pada malam hari ini, untuk menyatakan syukur bahwa pembangunan candi berjalan lancar dan hampir selesai. Sekarang diminta kalian diam karena kami membutuhkan suasana hening untuk mengundang Yang Mulia Sang Wasi Shiwamurti datang ke tengah-tengah kita.”

Seorang gadis cantik yang memang menjadi pembantu Ni Dewi Durgomala naik ke panggung membawa sebuah pedupaan di mana terdapat arang membara yang mengepulkan sedikit asap putih. Setelah berjongkok di depan Ni Dewi Durgomala, gadis itu meletakkan pedupaan di atasi lantai panggung. Ni Dewi Durgomala menerima sebungkus besar kemenyan dari gadis itu dan ia memberi isyarat agar gadis itu mundur!

Hanya ada Sularko dan Sawitri yang masih duduk bersimpuh di atas panggung depan Ni Dewi Durgomala dan Ki Shawananda, duduk tak bergerak bagaikan telah menjadi arca. Ni Dewi Durgomala lalu membaca doa seperti orang berkidung yang terdengar aneh, makin lama semakin nyaring, kemudian ia mengambil kemenyan dan memasukkannya ke dalam bara api dipedupaan. Asap putih yang tebal mengepul dari pedupaan, terus kemenyan itu ditambah sambil membaca mantera dan asap yang mengepul semakin tebal. Tercium bau harum yang menyeramkan dari asap itu.

Semua orang membelalakkan mata karena mereka maklum, seperti yang biasa dilakukan setiap bulan purnama, Wasi Shiwamurti tentu akan datang memenuhi panggilan itu secara luar biasa. Dan benar saja, tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan muncullah seorang kakek berjubah pendeta yang usianya sudah enam puluh lima tahun, berjenggot dan berkumis putih, memegang sebatang tongkat yang gagangnya terukir kepala naga, tahu-tahu telah duduk di atas kursi besar yang berada di tengah sambil tersenyum!

Ni Dewi Durgomala lalu menaburkan bunga mawar ke kaki Sang Wasi, sambil memberi hormat dan Ki Shiwananda juga memberi hormat dengan menyembah. Semua anggota memandang dengan kagum dan hormat disertai rasa takut karena bagi mereka Wasi Shiwamurti adalah titisan Sang Hyang Shiwa sendiri. Dan mereka percaya bahwa Wasi Shiwamurti pandai menghilang dan melakukan segala macam kesaktian.

Wasi Shiwamurti lalu mengangkat tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa upacara dapat segera dimulai. Para penabuh gamelan cepat membunyikan gamelan mereka dan suasana mendadak menjadi meriah.

Seorang anggota wanita yang cantik lalu naik ke panggung membawa seekor ayam jago putih, diikuti seorang anggota lain yang membawa periuk dan pisau. Pisau yang tajam berkilau itu diserahkan kepada Wasi Shiwamurti sambil berlutut oleh anggota wanita itu.

Wasi Shiwamurti lalu menggunakan pisau itu untuk menyembelih ayam jantan putih dan darahnya lalu ditampung ke dalam periuk tanah. Kemudian datang lagi seorang anggota membawa seguci besar yang terisi tuak, dan darah ayam itu dituangkan kedalam guci, bercampur dengan tuak.

Wasi Shiwamurti membaca mantera di atas guci itu, kemudian mulailah pesta minum-minum tuak yang telah dicampur darah. Mula-mula Ni Dewi Durgomala yang menuangkan tuak darah itu ke dalam dua buah cawan, menyerahkan kepada Sularko dan Sawitri, lalu menyuruh mereka meminumnya.

Dua orang yang sudah menjadi seperti boneka hidup itu, tanpa ragu lalu minum tuak itu sampai habis, diikuti sorak sorai para anggota. Setelah itu, setiap orang anggota kebagian secawan tuak dan beramai-ramai mereka meminumnya. Hidangan lalu dikeluarkan dan para anggota mulai naik ke atas panggung dan mereka mulai makan minum, disaksikan oleh Wasi Shiwamurti, Ni Dewi Durgo mala dan Ki Shiwananda sambil tertawa-tawa.

Gamelan terus dipukul gencar. Semua orang bergembira. Tuak dituangkan dan diminum dan tak lama kemudian banyak di antara mereka menjadi mabok. Ni Dewi Durgomala melaporkan kepada Wasi Shiwamurti tentang dua orang muda yang mulai malam itu masuk menjadi anggota. Wasi Shiwamurti mengangguk-angguk senang.

"Kuserahkan kepada andika berdua untuk melatih mereka agar menjadi anggota yang setia dan baik," kata Wasi Shiwamurti sambil tersenyum.

Dua orang muridnya itu mengangguk senang. Setelah makan minum selesai dan semua bekas pesta disingkirkan dari panggung, mulailah kini pesta menari yang dimulai dengan tarian Ni Dewi Durgomala. Wanita ini menari dengan indah dan liar, tersenyum-senyum dan ia menari di depan Wasi Shiwamurti yang menonton sambil tertawa-tawa senang. Kadang kalau Ni Dewi Durgomala menari dekat, tangannya meraih dan membelai murid yang kadang juga menjadi kekasihnya itu. Karena Wasi Shiwamurti menganggap dirinya titisan Bathara Shiwa, dan Ni Dewi Durgomala sebagai titisan Bathari Durgo, maka wanita itu dianggap sebagai isterinya. Dan Ki Shiwananda yang menjadi putera angkat Wasi Shiwamurti dianggap sebagai titisan Sang Bathara Kala, putera Bathawa Shiwa.

Setelah menari beberapa waktu lamanya, Ni Dewi Durgomala lalu berteriak kepada para anggotanya supaya segera menari merayakan malam Respati bulan purnama itu. Maka mulailah tari-tarian yang gila-gilaan. Para anggota wanita menari-nari, diikuti anggota pria dan di panggung itu mereka menari berpasang-pasangan. Dalam keadaan mabok mereka menari.

Terjadi hal yang benar-benar aneh, yaitu Sularko dan Sawitri yang tadinya seperti orang kehilangan semangat dan menurut saja, kini pun bangkit dan ikut pula menari! Mereka menari sambil memejamkan mata, dengan tarian liar, asal melenggang-lenggokkan tubuh menurutkan irama gamelan yang dipukul gencar.

Karena mereka menari berpasangan dan liar dalam keadaan setengah mabok, sebentar saja nafsu mereka memuncak, bagaikan api membakar mereka semua dan mulailah terjadi perbuatan yang tidak sopan yang tidak terkendalikan lagi. Mereka itu, laki-laki dan perempuan mulai saling berangkulan, berciuman dan saling membelai.

Dengan berpasang-pasangan mereka mulai turun dari panggung dan sambil menari-nari mereka pergi menjauhkan diri, mencari tempat-tempat sunyi dan gelap, membiarkan nafsu berahi menggulung dan menelan mereka.

Melihat ini, Wasi Shiwamurti lalu melempar kemenyan di atas pedupaan dan selagi asap mengepul tebal, diapun menghilang di balik asap. Ni Dewi Durgomala lalu menghampiri Sularko yang masih menari-nari, menggandeng pemuda itu, mengajaknya menari bersama kemudian mereka berdua-pun turun dari panggung dan masuk ke bagian belakang candi di mana terdapat kamar Ni Dewi Dbrgornala.

Demikian pula Ki Shiwananda. Raksasa ini menari dan menuntun Sawitri menuruni panggung. Sawitri yang seperti mabok itu hanya tertawa dan menurut saja ketika tangannya digandeng dan ia digiring masuk ke dalam kamar Ki Shiwananda yang berada di belakang candi pula. Inilah yang menarik banyak orang muda untuk memasuki perkumpulan agama baru itu. Ada pesta pora, ada mabok-mabokan lalu terjadi permainan cinta yang liar di antara mereka, dapat memilih pasangan masing-masing dan dalam keadaan mabok mereka menenggelamkan diri ke dalam lautan nafsu berahi dan melampiaskan nafsu sepuas-puasnya.

Bagaikan sebuah boneka hidup, Sularko menurut saja segala kemauan Ni Dewi Durgomala. Dia bagaikan telah kehilangan kesadarannya karena pengaruh minuman keras, juga karena ilmu sihir dan guna-guna yang dikerahkan wanita itu untuk menundukkannya. Tentu saja Ni Dewi Durgomala girang bukan main dan wanita iblis ini berpelesir sampai pagi, bersenang-senang tanpa ada yang menghalanginya. Selama semalam Sularko memenuhi semua permintaan atau perintah Ni Dewi Durgomala seperti orang yang telah kehilangan pribadinya, bahkan akal pikirannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Semua terjadi seperti mimpi yang tidak dapat dikuasainya.

Akan tetapi menjelang pagi, ketika Ni Dewi Durgomala yang telah kelelahan itu tertidur, berangsur-angsur lenyaplah kekuasaan yang mencengkeram dan mempengaruhi batin Sularko dan diapun mulai sadar akan keadaan dirinya. Tentu saja dia menjadi terkejut dan menyesal. Dengan hati-hati dan cepat dia membereskan pakaiannya dan meninggalkan Ni Dewi Durgomala yang masih tertidur.

Sularko teringat akan adiknya. Secara samar-samar, seperti dalam mimpi, dia kini teringat kembali betapa dia dan adiknya berada di rumah mereka dan akan kedatangan dua orang, yaitu Ni Dewi Durgomala dan seorang laki-laki seperti raksasa. Dia khawatir sekali akan keadaan adiknya. Kalau dia dibawa ke tempat ini tanpa diketahui, tentu adiknyapun dibawa ke sini pula. Dia lalu menyelinap keluar dari kamar itu dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di bagian belakang dari candi yang sedang dibangun. Dia menjadi bingung. Terdapat beberapa buah kamar di situ dan dia tidak tahu di kamar mana adiknya berada. Dia tahu bahwa tempat itu amat berbahaya dan di situ terdapat banyak orang sakti, maka dia tidak berani sembarangan membuka pintu kamar-kamar itu.

Sementara itu, keadaan Sawitri tak banyak bedanya dengan keadaan kakaknya, Sularko. Bahkan sebagai seorang wanita muda, keadaan Sawitri lebih parah lagi. Seperti juga dengan Sularko, Sawitri sama sekali tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia hanya taat dan menurut saja apa yang dikehendaki Ki Shiwananda darinya. Iapun berada di bawah pengaruh sihir dan minuman yang mengandung obat pembius.

Seperti juga Ni Durgomala, setelah kelelahan Ki Shiwananda tertidur pulas dan sedikit demi sedikit Sawitri mendapatkan kembali kesadarannya. Bisa dibayangkan betapa kaget dan sedih hatinya ketika mendapat kenyataan tentang dirinya yang telah ternoda. Dengan menahan rasa sakit di badan dan hati, Sawitri yang melihat Ki Shiwananda sedang tidur mendengkur, segera membereskan pakaiannya. Ia melihat sebatang keris tergantung di dinding. Dengan hati-hati diambilnya keris itu, kemudian ia menghampiri Ki Shiwananda yang sedang tidur, kemudian dengan segala kebencian yang terkandung di hatinya, ia menusukkan keris itu pada dada raksasa yang telah merusak kehormatan dirinya itu.

"Wuuutt...! Takk...!"

Sawitri terkejut sekali. Keris itu tidak dapat menembus kulit dada yang tebal dan kebal itu. Bahkan Ki Shiwananda terbangun dari tidurnya. Melihat Sawitri memegang keris terhunus dan hendak menusuknya lagi, dia menjadi marah sekali. Tangan kirinya cepat menampar, mengenai tangan Sawitri yang memegang keris sehingga keris itu terlepas dari tangannya dan terlempar ke atas lantai.

"Jahanam! Berani engkau mencoba membunuhku!" Ki Shiwananda melompat bangun dan dengan langkah lebar dia menghampiri Sawitri.

Gadis yang marah akan tetapi juga ketakutan ini menjerit pada saat tangan yang besar itu menyambar dan mengenai kepalanya. Tubuhnya terputar dan terbanting keras ke atas lantai dan Sawitri tidak dapat bangun kembali. Kepalanya retak terkena hantaman tangan Ki Shiwananda.

Pada saat itu Sularko berada di luar pintu kamar itu. Terkejut sekali dia ketika mendengar jerit adiknya. Dengan nekat dia lalu mendobrak daun pintu sehingga terbuka. Dia melihat Ki Shiwananda dengan pakaian tidak karuan berdiri marah dan Sawitri menggeletak di atas lantai, tak dapat gerak lagi.

“Sawitri...!” Sularko memekik dan menubruk adiknya.

Diangkatnya kepala adiknya dan ketika dia melihat bahwa adiknya telah tewas dengan kepala mengeluarkan darah, dia menjadi marah bukan main. Lupa akan kekuatan sendiri, Sularko merebahkan kembali adiknya, lalu dia meloncat dan menyerang Ki Shiwananda dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan itu keras sekali karena Sularko yang sangat marah itu mengerahkan seluruh tenaganya. Kepalan tangan kanannya menghantam dada Ki Shiwananda.

"Bukk...!”

Tangan Sularko terasa nyeri dan terpental seolah dia memukul dinding baja. Sebelum dia dapat menyerang lagi, Ki Shiwananda yang sudah marah telah menggerakkan tangannya, dihantamkan ke arah kepala Sularko.

"Wuuuuuttt...! Prakkkk!"

Sekali pukul saja retaklah kepala Sularko dan tubuhnya terpelanting. Robohlah Sularko di dekat tubuh adiknya yang sudah menjadi mayat dan diapun tewas seketika!

Begitu mendengar suara ribut-ribut, Ni Dewi Durgomala berlari keluar dari kamarnya dan memasuki kamar Ki Shiwananda. Melihat pemuda dan gadis yang tadi malam menjadi permainan mereka itu menggeletak di atas lantai dan tewas, ia menegur Ki Shiwananda.

"Apa yang kau lakukan ini?"

"Terpaksa kubunuh mereka, gadis ini mencoba untuk menyerangku dengan kerisku, dan pemuda itu masuk kamar kemudian memukulku," jawab Ki Shiwananda dengan pendek dan masih marah.

"Ah, engkau terburu nafsu. Sekarang cepat bawa mereka keluar dan lemparkan ke Kali Mayang!"

Karena malam itu baru menjelang pagi dan suasana masih sunyi sekali, Ki Shiwananda cepat mengangkat dua buah mayat itu kemudian membawanya keluar dari candi. Dia menggunakan ilmunya berlari cepat dan sebentar saja ketika fajar mulai menyingsing, dia sudah tiba di tepi Kali Mayang. Dia lalu melemparkan dua mayat itu ke dalam sungai dan dua mayat itu hanyut. Setelah melihat dua mayat itu hanyut, Ki Shiwananda lalu cepat kembali ke Bulumanik dan masuk ke dalam candi.

"Bagaimana?" tanya Ni Dewi Durgomala.

"Sudah beres, mereka sudah hanyut di sungai," jawab Ki Shiwananda puas.

"Hemm, lain kali engkau harus lebih dapat menahan diri. Sejauh ini kita belum pernah membunuh secara langsung seperti itu. Kalau ada orang lain mengetahui, sungguh tidak enak sekali."

"Aku menjadi mata gelap ketika mereka berani menyerangku," Ki Shiwananda membela diri. "Biasanya, tidak ada yang bersikap seperti dua orang muda itu."

Ni Dewi Durgomala menghela napas panjang. "Itulah yang membuat mereka menjadi istimewa. Sayang kita lalai dan tidak mengikat kesadaran mereka lebih jauh sehingga mereka mendapatkan kesadaran dan mencoba untuk menyerangmu. Pemuda-pemuda lain kalau sadar lalu menjadi jinak seperti domba dan menjadi anggota yang baik."

"Begitu pula gadis itu. Coba pikir, ia berani menyerangku dengan kerisku sendiri. Untung aku keburu sadar dan dapat mengerahkan aji kekebalan pada saat ia menusuk dadaku. Karena marah aku menamparnya, akan tetapi terlalu kuat sehingga dia tewas seketika. Biasanya, para gadis lain yang sudah melayani aku tidak bersikap seperti gadis itu. Dan pemuda itu agaknya hendak membela adiknya kemudian menyerangku, maka terpaksa pula kurobohkan dia dengan pukulan."

"Sudahlah, yang sudah terlanjur tak dapat diubah. Akan tetapi selanjutnya agar engkau berhati-hati, jangan sembarangan membunuh secara langsung seperti itu. Kalau sampai ada yang mengetahui, tentu kepercayaan mereka pada kita akan berkurang atau bahkan hilang dan kita tentu akan mendapat teguran keras dari Bapa Guru Wasi Shiwamurti."

Setelah matahari mulai naik, kedua orang itu sudah sibuk lagi memimpin para pekerja yang membangun candi. Tidak ada yang tahu bahwa pagi tadi telah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh Ki Shiwananda, orang yang mereka anggap sebagai pembantu Ni Dewi Durgomala…..

********************

Sementara itu Mbok Rondo Gati yang kehilangan dua orang anaknya, baru berani keluar setelah malam berganti pagi. Ia menangis dan menceritakan kepada para tetangganya tentang dua orang anaknya yang dibawa pergi seorang laki-laki dan seorang wanita yang dapat bergerak seperti iblis cepatnya. Para tetangga tidak ada yang dapat menduga siapa yang melakukan penculikan itu, hanya menduga bahwa tentu iblis sendiri yang datang mengganggu.

Dengan bingung dan sambil menangis, Mbok Rondo Gati lalu keluar dari rumahnya dan pergi mencari-cari kedua anaknya, bertanya-tanya kepada siapa saja kalau-kalau ada yang melihat dua orang anaknya. Akhirnya ia pergi ke candi yang baru dibangun dan di situ ia mendapat keterangan dari seorang pemahat arca bahwa semalam kedua anaknya ikut berpesta di candi itu. Mbok Rondo Gati merasa girang sekali mendengar ini.

"Akan tetapi kenapa mereka sampai sekarang belum pulang? Di manakah kedua orang anakku itu?"

"Kami tidak tahu bibi, tetapi kalau bibi bertanya kepada Ni Dewi, mungkin ia akan dapat memberi-tahu kepada bibi ke mana perginya dua orang anak bibi itu." Orang itu lalu bekerja lagi dan tidak memperhatikan lagi kepada Mbok Rondo Gati.

Wanita yang kehilangan anaknya itu lalu bertanya-tanya di mana dia dapat menemui Ni Dewi. Akhirnya ia diberi-tahu bahwa Ni Dewi berada di bagian belakang candi dan sedang memberi petunjuk kepada para pekerja yang mengerjakan ukir-ukiran pada batu relief.

Dia pergi ke belakang candi dan benar saja, di situ dia dapat bertemu dengan Ni Dewi Durgomala. Mbok Rondo Gati memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan alis berkerut. Ia merasa ragu-ragu. Wanita yang semalam memanggul Sularko mirip wanita ini, akan tetapi juga ada perbedaannya. Kalau yang semalam bersikap mengerikan, yang sekarang berhadapan dengannya itu merupakan seorang wanita yang ramah, murah senyum dan lemah lembut.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar