Sore hari itu, menjelang senja, belasan orang datang memasuki pekarangan rumah Ki Dirun dan mereka semua kelihatan bengis. Lima orang tukang pukul yang siang hari tadi dihajar Harjadenta juga tampak berada di antara mereka dan mereka mengiringi seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang tubuhnya seperti raksasa.
Orang ini mukanya penuh brewok, matanya besar dan mengenakan pakaian yang serba hitam. Celana hitamnya sampai di bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sehelai ikat pinggang atau kolor yang besar, sebesar lengan tangan. Kolor itu berwarna merah dan panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter. Ikat kepalanya juga berwarna hitam dan raksasa ini Nampak kokoh kuat seperti seekor gajah!
"Ho-ho-ha-ha! Siapakah orang yang bernama Harjadenta? Majulah ke sini menghadapi aku kalau engkau memang seorang jantan!" kata raksasa itu sambil tertawa-tawa.
Ki Dirun sudah mendekam di atas lantai, tak berani bergerak saking takutnya. Harjadenta dengan langkah tenang keluar dari ruangan depan dan menghampiri raksasa berpakaian hitam itu.
"Akulah yang bernama Harjadenta. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Harjadenta dengan tenang dan tabah.
Raksasa itu memandang Harjadenta dari kepala sampai ke kaki, lalu tertawa bergelak dan memandang wajah pemuda yang tingginya hanya sepundaknya itu.
"Ha-ha-ha! Kukira seorang yang gagah perkasa, kiranya hanya seorang pemuda remaja yang masih berbau pupuk! Heh, Harjadenta bocah kemarin sore! Engkau berhadapan dengan Suropekik, warok yang paling gemblengan dari Ponorogo. Hayo engkau cepat menyerah untuk kubawa dan kuhadapkan Ki Demang Grobokan. Kalau engkau melawan, akan kupatahkan semua tulangmu kemudian kuseret ke depan Ki Demang!"
Harjadenta marah sekali mendengar ini. Raksasa itu amat sombong dan diapun melayani kesombongannya itu, tidak mau kalah gertak.
"Suropekik, ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang biasa membasmi warok-warok yang jahat seperti engkau! Aku tidak takut padamu, biar kaugerakkan semua pengikutmu ini untuk mengeroyokku, aku tidak akan undur selangkahpun!"
Tantangan Harjadenta ini benar-benar mengejutkan semua orang dan membuat wajah yang tertutup brewok itu berubah merah saking marahnya. Ki Suropekik adalah seorang jagoan yang sukar dicari tandingannya dan selama merajalela di dunia ramai, dia jarang menemukan tandingan yang sama kuatnya.
Kini mendengar tantangan Harjadenta yang begitu berani, tentu saja dia merasa terhina. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang besar berotot itu seolah-olah tangannya sudah terasa gatal-gatal untuk segera melaksanakan ancamannya, yaitu mematahkan semua tulang pemuda itu, dari suaranya terdengar parau dan kasar.
"Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan! Majulah, Harjadenta dan jangan engkau nanti bersambat kepada ibumu kalau kuhajar sampai tulang-tulangmu patah semua!"
"Suropekik, engkau yang datang mencari permusuhan, bukan aku. Maka engkaulah yang harus maju lebih dulu. Aku siap menghadapi sumbarmu yang seperti gentong kosong!"
Suropekik menggereng seperti seekor harimau dan dari mulutnya mengepul uap putih. Agaknya, saking marahnya maka dari dalam dadanya keluar uap panas! Kemudian bagaikan seekor biruang, dia sudah menerjang maju dengan kedua lengan terbuka dan agaknya dia hendak menangkap pemuda itu dan meremukkan tulang-tulangnya dalam dekapannya.
Akan tetapi dia hanya menubruk angin saja karena yang ditubruk dengan gesitnya sudah mengelak ke samping. Dari samping Harjadenta mengirim tamparan tangan kiri ke arah pelipis raksasa itu. Akan tetapi ternyata Suropekik yang besar tubuhnya itu bisa bergerak dengan gesit pula. Tangan kanannya menangkis tamparan Harjadenta dengan kuatnya.
"Dukkk...!"
Dua lengan bertemu dengan kerasnya dan Harjadenta merasa betapa lengannya terpental dan tergetar, tanda bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat besar. Suropekik tertawa bergelak dan kini dia menyerang dengan hebat dan cepatnya, mengirim pukulan dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, bahkan kakinyapun kadang menyelingi pukulannya mengirim tendangan yang kalau mengenai sasaran tentu akan membuat tubuh Harjadenta terlempar jauh.
Akan tetapi gerakan Harjadenta sangat cepat dan lincah. Dia dapat meloloskan diri dari semua sergapan ini, bahkan kadang membalas dengan tamparan tangannya.
"Wuuuutttt...! Desss!"
Sebuah tamparan tangan kanan Harjadenta mengenai dada raksasa itu, akan tetapi tidak membuatnya roboh. Tamparan yang dilakukan dengan penuh tenaga itu ternyata bertemu dengan dada yang kokoh kuat bagaikan dinding baja saja dan hanya membuat Suropekik melangkah mundur dua langkah saja!
Ternyata warok itu memiliki tubuh yang kebal. Harjadenta terkejut dan tahulah dia bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang sangat tangguh. Karena pukulannya tidak dapat merobohkan lawan, Harjadenta lalu mencabut sebatang keris yang tadinya terselip di pinggangnya. Keris itu adalah pemberian gurunya, bernama Ki Mengeng, sebatang keris berluk tujuh.
"Ho-ho-ha-ha, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, tapi engkau sudah mencabut pusaka!" kata Suropekik yang tahu bahwa keris itu adalah sebuah pusaka ampuh melihat dari pamornya yang mencorong. Diapun merasa miris untuk melawan pusaka itu dengan tangan kosong saja, maka diapun segera meloloskan sabuknya, yaitu kolor yang besar dan panjang itu.
“Akan tetapi aku tidak takut pada pusakamu itu, dan rasakanlah ini kehebatan pusakaku Kyai Gunturgeni!" Dia menggerakkan kolornya dan kolor itu menjadi seperti sebatang pecut dan terdengarlah ledakan-ledakan ketika dia mengayun kolor itu ke atas. Tampak asap mengepul mengikuti suara ledakan.
Harjadenta semakin waspada. Diapun mengenal pusaka ampuh, maka ketika kolor itu menyambar, dia cepat mengelak dan mencari kesempatan untuk menusukkan kerisnya! Akan tetapi lawannya yang juga gentar untuk menerima keris itu dengan kekebalan tubuhnya, memutar-mutar kolornya dan membuat Harjadenta tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk memasukkan kerisnya dalam serangan.
Terjadilah pertandingan yang menegangkan. Semua sambaran kolor dapat dielakkan atau ditangkis dengan keris oleh Harjadenta, akan tetapi juga tusukan-tusukan kerisnya tidak dapat mengenai sasaran karena selalu dihalau oleh sambaran kolor. Kolor yang diputar-putar itu berubah menjadi sinar merah bergulung-gulung yang kadang mengeluarkan ledakan, dan perlahan namun tentu Harjadenta mulai terdesak!
Suropekik merasa penasaran sekali karena sebegitu jauh dia belum dapat merobohkan pemuda itu. Dia ingin menangkap Harjadenta hidup-hidup untuk dapat memamerkan dan membanggakan keunggulannya. Akan tetapi ternyata pemuda itu sukar sekali dirobohkan. Dia mulai merasa khawatir kalau pemuda itu meloncat lalu mempergunakan kecepatan gerakannya untuk melarikan diri. Karena itu, dia lalu berseru nyaring,
"Kawan-kawan, mari bantu aku menangkap bocah liar ini!"
Belasan orang itu kini menyergap ke depan, menggerakkan senjata mereka yang berupa golok atau keris. Tentu saja Harjadenta yang tadinya memang sudah terdesak, menjadi semakin repot. Dia telah dikepung ketat dan sama sekali tidak ada jalan keluar baginya untuk melarikan diri.
Lagi pula bagaimana dia dapat dan mau melarikan diri dengan meninggalkan Ki Dirun sekeluarga yang terancam. Tidak, dia tidak akan lari, namun akan melawan sampai titik darah penghabisan. Ki Dirun menjadi cemas sekali. Wajahnya pucat dan tubuhnya yang mendekam itu menggigil ketakutan. Kemudian ia teringat akan anak bininya yang berada di dalam rumah.
“Melarikan diri!" Demikian terlintas dalam pikirannya.
Selagi semua orang itu mengeroyok Harjadenta, ia memiliki kesempatan untuk membawa lari anak isterinya. Maka, biar pun tubuhnya menggigil, dengan merangkak, berhasil juga dia memasuki rumahnya. Dia melihat Lasmini saling rangkul dengan ibunya dan menangis tanpa suara, sedangkan Martono juga berdiri bingung menghibur ibunya yang juga sedang menangis.
"Martono, cepat bawa ibumu lari dari sini. Lari dan bersembunyilah. Aku dan anak biniku juga akan melarikan diri. Kita berpisah dahulu, supaya dapat menyelamatkan diri masing-masing. Cepat sebelum terlambat!" Dia lalu memegang tangan Lasmini dan tangan isterinya, ditarik dan dibawanya lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang. Martono yang kebingungan juga menirunya, menarik tangan ibunya dan dibawa lari melalui pintu belakang rumah.
Setelah tiba di kebun belakang, mereka lalu melarikan diri cepat-cepat dan menuju ke sungai yang berada tak jauh dari dusun Grobokan. Ki Dirun yang kadang bekerja sebagai nelayan memiliki sebuah perahu, maka dia menarik isteri dan anaknya kedalam perahu. Martono dan ibunya tidak memiliki perahu dan untuk ikut dalam perahu Ki Dirun, perahu itu terlalu kecil.
"Engkau bawalah ibumu menyusuri sungai ini, pendeknya kemana saja asal jauh dari Grobokan. Kelak kita akan dapat bertemu kembali!" kata Ki Dirun dan dia segera mendayung perahunya ke tengah sungai dan perahu itu hanyut oleh aliran sungai, ditambah tenaga dayung Ki Dirun sehingga perahu itu meluncur cepat.
Martono masih menggandeng tangan ibunya, dengan terseok-seok mereka melarikan diri, menyusuri sungai, masuk keluar hutan dalam cuaca yang mulai gelap itu. Ibu Martono menangis terisak-isak sambil berlari.
Tangisnya ini menarik perhatian dua orang yang kebetulan sedang berada di tepi hutan itu. Mereka adalah Bagus Seto dan Retno Wilis.
Tertarik akan keindahan pemandangan di sepanjang Kali Mayang, kedua orang muda itu kemudian menyusuri sungai itu arah ke hulu. Makin jauh mereka mengikuti hulu sungai, pemandangan semakin indah dan mereka terus menyusuri sungai itu. Setelah berbulan-bulan melihat pemandangan pantai Laut Kidul, pemandangan yang baru ini tampak lain dan mempnyai keindahan yang khas. Dan sore itu mereka tiba di hutan di mana mereka mendengar tangis wanita yang terisak-isak.
Mereka tentu saja menjadi tertarik dan segera menghampiri dari mana datangnya tangis itu. Dan mereka menjumpai Martono dan ibunya yang sedang melarikan diri. Melihat seorang wanita setengah tua ditarik-tarik oleh seorang pemuda dan wanita itu menangis, Retno Wilis menjadi marah. Sekali melompat ia telah berada di depan Martono dan ia membentak.
"Manusia jahanam! Kenapa engkau menyeret-nyeret wanita ini? Lepaskan!"
Martono terkejut sekali ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya berada di depannya dan membentaknya. Juga ibunya terkejut. Akan tetapi ibu ini segera mengerti bahwa gadis itu salah paham, maka ia cepat berkata.
"Den ajeng, dia ini anakku dan kami berdua sedang melarikan diri dari ancaman bahaya maut."
Retno Wills merasa mukanya panas saking rikuhnya. Ia telah mengira yang bukan-bukan. Ternyata pemuda itu sama sekali bukan orang jahat. Ia lalu bertanya dengan suara lembut,
"Bahaya maut apakah yang mengancam kalian sehingga kalian melarikan diri?"
Dengan tergesa-gesa Martono lalu bercerita.
"Ki Demang Grobokan hendak merampas tunangan saya dan dia mengirim tukang-tukang pukulnya untuk merampas Lasmini, tunangan saya. Kami dibela seorang denmas yang sakti bernama Harjadenta, akan tetapi sekarang dia dikeroyok oleh belasan orang tukang pukul di depan rumah orang tua Lasmini. Kini Lasmini dan ayah ibunya sudah melarikan diri dan saya mengajak ibu melarikan diri pula karena terancam."
"Hemm, di mana penolong itu dikeroyok?" tanya Retno Wilis.
"Di rumah Paman Dirun di dusun Grobokan, tak jauh dari sini, itu diluar hutan ini. Permisi, kami harus melarikan diri.” Martono lalu menggandeng tangan ibunya lagi dan diajak lari.
Retno Wilis menoleh kepada Bagus Seto yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
"Kakang, aku khawatir akan nasib penolong itu yang dikeroyok para tukang pukul. Mari kita ke sana, kakang."
"Baiklah!" kata kakaknya sambil tersenyum.
Retno Wilis lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Tubuhnya melesat seperti angin menuju ke dusun Grobokan dan Bagus Seto mengikutinya dari belakang. Setelah tiba di dusun itu, dengan mudah Retno Wilis dapat mencari rumah Lasmini karena dusun itu sudah gempar dengan adanya perkelahian itu.
Dengan cepat Retno Wilis dan Bagus Seto tiba di tempat itu dan Retno Wilis melihat seorang pemuda yang memegang keris dikeroyok belasan orang yang memegang golok. Terutama sekali seorang raksasa yang bersenjatakan kolor merupakan lawan yang amat tangguh sehingga pemuda itu kini main mundur, bahkan sudah ada beberapa batang golok yang mengenai tubuhnya.
Paha dan pundaknya sudah terluka, namun pemuda itu tidak gentar sedikitpun juga, masih tetap melakukan perlawanan gigih dengan kerisnya. Ada pula lima orang di antara para pengeroyok yang sudah roboh oleh pemuda itu, dan mereka hanya merintih dan menonton dari pinggiran, tidak dapat ikut mengeroyok lagi.
Mudah bagi Retno Wilis untuk berpihak apa lagi ia telah mendengar dari Martono bahwa pemuda itu merupakan penolong keluarga Lasmini. Ia mengeluarkan suara panjang melengking dan tubuhnya sudah meloncat ke dalam pertempuran, tangannya bergerak menampar ke arah raksasa yang memutar kolornya secara dahsyat.
"Wuuuttt...! Plakk...!"
Biar pun hanya ditampar pundaknya yang kebal, namun tubuh Suropekik terhuyung dan dia merasa seolah dirinya disambar petir! Dia terhuyung dan melihat siapa orangnya yang berani menyerangnya sehebat itu dengan tangan kosong dan ketika dia melihat seorang wanita muda yang amat cantik berdiri di depannya, ia terbelalak dan juga marah.
Sementara itu, ketika tidak lagi didesak oleh Suropekik, Harjadenta leluasa mengamuk menghadapi anak buah warok itu sehingga para pengeroyoknya menjadi kocar kacir. Diam-diam Harjadenta memperhatikan Retno Wilis dan dia terkejut, juga kagum. Akan tetapi timbul kecurigaan dalam hatinya.
Yang mencuri keris pusaka Carubuk adalah seorang wanita cantik yang sakti. Jangan-jangan ini orangnya? Tetapi karena wanita itu kini bertanding melawan Suropekik, diapun diam saja dan hanya mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang lawannya.
Bagus Seto hanya berdiri menonton. Dia tidak khawatir akan adiknya karena sekali pandang saja dia tahu bahwa betapa hebatpun kolor raksasa itu, dia tidak akan mampu mengalahkan adiknya. Yang di khawatirkan malah Harjadenta. Pemuda ini mengamuk dengan kerisnya dan dia khawatir kalau kalau pemuda itu membunuh orang banyak. Sayang kalau seorang pemuda segagah itu melakukan pembunuhan terhadap banyak orang dan melihat betapa dia sudah luka-luka, bukan tidak mungkin dia menjadi mata gelap dan membunuhi para pengeroyoknya. Setelah membuat penilaian, Bagus Seto lalu menggerakkan kakinya dan tubuhnya seperti melayang ke arah Harjadenta yang sedang mengamuk.
"Tidak perlu membunuhi orang, ki sanak!" katanya dan dengan tangannya dia menangkis keris pusaka Harjadenta yang menyambar-nyambar mencari korban.
Harjadenta terkejut sekali ketika ada orang menangkis keris pusakanya hanya dengan tangan kosong saja. Akan tetapi karena orang itu tidak menyerangnya, maka diapun hanya menghentikan amukannya dan memandang dengan heran. Dia melihat seorang pemuda berpakaian serba putih yang kini dikeroyok banyak orang. Tentu para pengeroyok itu mengira bahwa pemuda pakaian putih itu membantunya, maka mereka kini mengayunkan senjata mereka untuk menyerang si pemuda pakaian putih.
Melihat betapa orang-orang itu meninggalkan pemuda yang mengamuk tadi dan kini mereka menyerangnya, Bagus Seto lalu menggerakkan kedua tangannya seperti orang mendorong dan mereka yang menyerbu ke arahnya itu terjengkang seperti daun-daun kering ditiup angin. Tentu saja mereka terkejut dan belum tahu mengapa mereka tiba-tiba terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuatnya. Mereka bangkit dan menyerang lagi. Kini Bagus Seto menggerakkan tangan seperti menampar dan orang-orang itu berpelantingan keras. Kini mengertilah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang amat sakti, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lari tunggang langgang.
Harjadenta melihat ini semua dan dia terbelalak kagum. Diapun tahu bahwa pemuda berpakaian putih itu memiliki kadigdayaan yang luar biasa, seorang sakti mandraguna. Akan tetapi karena pemuda itu kini memandang ke arah pertempuran antara Suropekik dan wanita cantik itu, Harjadenta juga memandang dan menonton pertandingan yang seru dan hebat itu. Dia semakin kagum. Wanita itu bertangan kosong saja menandingi kolor di tangan Suropekik. Padahal dia melihat wanita itu membawa sebatang pedang di punggungnya. Ia tidak mau menggunakan pedang dan melawan dengan tangan kosong saja, berarti bahwa wanita itu yakin akan mampu mengalahkan lawan!
Dan apa yang dilihatnya memang demikian. Suropekik berusaha untuk menghantamkan kolornya yang ampuh, namun gadis itu dengan gerakan seperti seekor burung srikatan saja mengelak ke sana sini, bahkan kadang ia berani menangkis pukulan kolor itu dengan tangannya!
Dan gadis itu membalas dengan tamparan-tamparan tangannya yang membuat Suropekik menjadi repot untuk mengelak atau menangkis dengan kolornya. Menghadapi tamparan-tamparan itu tampaknya Suropekik merasa jerih untuk menerimanya dengan kekebalan tubuhnya.
Memang demikianlah. Tadi Suropekik mengandalkan kekebalan tubuhnya, menerima tamparan Retno Wilis dengan dadanya. Ia menganggap bahwa pukulan seorang gadis itu tentu tidak berapa kuat, maka dia menerima dengan dadanya sambil mengerahkan tenaganya.
"Bukk...!”
Tubuh Suropekik terjengkang dan hampir saja dia roboh, dadanya terasa panas dan sesak. Dia menjadi marah dan mengamuk dengan kolornya, namun senjatanya itu sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Retno Wilis yang bergerak dengan ilmu silat Pancaroba yang membuat tubuhnya bergerak demikian cepatnya sehingga sering kali Suropekik kehilangan lawan. Dia secara ngawur hanya memutar kolornya dan berputar-putar, mencoba menandingi kecepatan gerakan Retno Wilis dengan putaran kolornya.
Retno Wilis kini bergerak mengitari lawan dan memaksa Suropekik juga berputaran. Karena sejak tadi Suropekik mengerahkan seluruh tenaganya untuk menggerakkan kolornya dan dia harus berputar-putar, lama kelamaan pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pusing. Melihat keadaan lawan sudah mulai mengendur gerakan kolornya, Retno Wilis menggerakkan kakinya menendang. Lutut Suropekik disentuh ujung kaki dara perkasa itu, membuat dia hampir roboh dan lutut kanannya ditekuk, dan pada saat itu, sebuah tamparan tangan kiri Retno Wilis hinggap di dagunya.
"Dess...!"
Tubuh raksasa itu berputar dan diapun roboh terpelanting, kepalanya berdenyut nyeri dan dadanya sesak, akan tetapi karena dia memang kuat dan kebal, Suropekik sudah dapat bangkit kembali. Dia menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir kepeningannya dan kedua matanya yang besar berubah merah. Dia marah sekali. Biar pun dia melihat betapa semua anak buahnya sudah melarikan diri, dia tetap nekat. Dia tidak percaya bahwa dia dikalahkan oleh seorang dara yang bertangan kosong!
Dia tak bisa menerima kenyataan ini. Dia bangkit berdiri mengerahkan aji yang dimilikinya sehingga tangan yang memegang kolor itu seperti menggigil, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas dan dia mengayun kolornya ke atas kepala, lalu menerjang maju sambil menghantamkan kolornya.
"Darrr...!”
Retno Wilis menggunakan kedua tangan untuk menyambut hantaman kolor itu dengan pukulan jarak jauh dan begitu terdengar kolor itu meledak seperti sebuah cambuk, Suropekik roboh! Dia masih memegangi kolornya, akan tetapi dari mulutnya muntah darah segar, tanda bahwa dia telah terluka parah di sebelah dalam tubuhnya akibat benturan tenaganya dengan tenaga sakti dara itu.
"Pergilah kalau engkau tidak ingin mati!" kata Retno Wilis yang merasa penasaran juga melihat kenekatan orang tinggi besar itu.
Kini Suropekik benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mampu menandingi dara itu, maka dengan lemah dia bangkit berdiri, memandang kepada Retno Wilis dengan mata mencorong, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung pergi tanpa menengok lagi.
Harjadenta yang menonton pertandingan itu, menjadi kagum bukan main. Dia yang menggunakan keris pusakanya saja tidak mampu mengalahkan Suropekik, akan tetapi dara itu dengan bertangan kosong saja dapat mengalahkan raksasa itu hanya dalam pertempuran yang pendek. Tahulah dia bahwa dara itu, dan juga pemuda berpakaian putih seperti juga pakaian dara itu, keduanya adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat. Maka dia lalu menghampiri mereka sambil membungkuk-bungkuk memberi hormat.
"Banyak terima kasih saya ucapkan atas pertolongan andika berdua," katanya sambil menatap wajah mereka. "Kalau andika berdua tidak datang membantu, tentu aku sudah mati dikeroyok mereka."
"Tidak perlu berterima kasih, sobat. Kita semua hanya melaksanakan tugas-kewajiban kita saja secara wajar. Andika juga telah menyelamatkan keluarga Ki Dirun."
"Nama saya Harjadenta. Bolehkah saya mengetahui nama andika berdua yang terhormat?"
Bagus Seto tersenyum. "Namaku Bagus Seto dan ini adalah adikku bernama Retno Wilis. Kami datang dari Panjalu. Dan andika datang dari manakah?"
"Saya datang dari Gunung Raung, hendak mencari seseorang... barangkali andika berdua dapat membantu saya. Saya sedang mencari seorang wanita yang telah mencuri keris pusaka guru saya. Apakah andika berdua mengetahui seorang wanita cantik yang sakti, yang mencuri Pusaka Carubuk milik guru saya?" Harjadenta menatap tajam wajah Retno Wilis untuk melihat perubahan pada wajah itu.
Namun Retno Wilis tidak bereaksi apa-apa terhadap ucapan itu, bahkan dia lalu berkata, "Kita tidak boleh berhenti sampai di sini saja! Demang keparat itu harus dihajar agar jera memaksa gadis menjadi selirnya. Hayo kakang, kita cari Demang jahanam itu!"
"Terserah kepadamu, diajeng. Akan tetapi aku pesan agar engkau membatasi diri, jangan membunuh orang."
"Tadinya saya memang berniat untuk memberi hajaran kepada Demang itu, akan tetapi melihat dia mempunyai begitu banyak tukang pukul, tentu saja saya tidak berdaya. Sekarang setelah andika berdua muncul, saya akan membantu andika berdua memberi hajaran kepada Demang dan anak buahnya yang jahat dan sewenang-wenang itu." kata Harjadenta.
"Adimas Harjadenta, engkau telah terluka. Lihat, paha dan pundakmu masih berdarah. Engkau perlu merawat diri dan mengobati lukamu. Biar urusan dengan Demang ini dirampungkan oleh diajeng Retno Wilis."
"Hanya luka kecil saja, kakangmas Bagus Seto. Tidak semestinya kalau diajeng Retno Wilis melakukan tugas itu seorang diri saja. Biar aku membantu kalian."
"Marilah kita pergi. Kakangmas Harjadenta, apakah engkau sudah mengetahui di mana letak rumah Demang jahanam itu?"
"Aku sendiri belum pernah ke sana. Akan tetapi mudah saja. Kita bisa bertanya kepada penduduk, tentu mereka semua mengetahuinya."
Mereka bertiga lalu keluar dari pekarangan rumah Ki Dirun itu. Cuaca sudah mulai gelap ketika mereka bertanya kepada seorang dusun di mana rumah Demang dan segera menuju ke tempat itu.
Rumah itu paling besar di dusun Grobokan. Pekarangannya juga luas dan ketika mereka bertiga tiba di pekarangan itu, sedikitnya dua puluh orang segera mengepung mereka. Selain penerangan dari lampu-lampu yang tergantung di luar rumah, juga ada di antara mereka yang membawa obor sehingga tempat menjadi terang seperti siang. Bagus Seto yang melihat para tukang pukul itu mengepung, segera maju dan berkata dengan suara lantang namun lembut.
"Saudara sekalian! Kami datang untuk bertemu dengan Ki Demang! Minta dia keluar menemui kami dan harap saudara sekalian mundur. Kami tidak ingin berkelahi dengan kalian!"
Para tukang pukul itu memang sudah merasa jerih. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi membantu Suropekik dan mereka sudah mengetahui bahwa tiga orang muda itu memiliki kesaktian. Akan tetapi untuk mundur merekapun takut akan kemarahan Ki Demang, maka mereka semua hanya ragu-ragu dan tetap mengepung, biar pun tidak ada yang berani turun tangan menyerang.
"Kakangmas, aku khawatir kalau demang itu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Biar aku menangkapnya dan membawanya keluar," kata Retno Wilis kepada kakaknya.
Bagus Seto mengangguk dan sekali berkelebat, gadis itu segera lenyap dari situ. Para pengepung hanya melihat bayangan orang berkelebat, tidak tahu bahwa yang berkelebat itu adalah dara perkasa yang telah melompat di atas kepala mereka.
Retno Wilis terus masuk ke dalam gedung. Ketika tiba di ruangan belakang, ia melihat seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun sedang hendak melarikan diri. Tangan kirinya membawa sebuah buntalan kain dan tangan kanannya memegang sebatang tombak. Dari pakaiannya saja Retno Wilis dapat menduga bahwa orang itu tentulah demang dusun Grobokan itu. Ia lalu membentak nyaring.
"Engkau tentu Demang Grobokan keparat itu! Hendak lari kemana kau?"
Orang itu memang Demang Grobokan. Kepala dusun yang kaya raya ini memang seorang yang mata keranjang, mengandalkan kekuasaannya untuk merampas wanita yang disukainya. Tidak peduli gadis, janda atau bahkan yang sudah bersuami, kalau menimbulkan seleranya, tentu akan dimintanya dengan halus maupun kasar. Dia memiliki kurang lebih tiga puluh orang anak buah atau tukang pukul yang sekarang berada di pekarangan mengepung Bagus Seto dan Harjadenta.
Ketika melihat seorang gadis cantik tahu-tahu berada di depannya, demang itu terkejut sekali. Dia memang sudah dilapori anak buahnya betapa anak buahnya kocar kacir diamuk oleh dua orang pemuda dan seorang gadis cantik yang digdaya. Kini melihat gadis itu datang membentaknya, dia dapat menduga bahwa ini tentu gadis yang dimaksudkan anak buahnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang dengan tombaknya. Tombak yang runcing itu dengan tepat sekali meluncur dan menusuk ke arah perut Retno Wilis!
Akan tetapi dengan sigap Retno Wilis miringkan tubuhnya dan menangkap tombak itu dengan tangan kanannya kemudian sekali tarik tombak itu telah pindah ke tangannya. Ia lalu menekuk gagang tombak dengan kedua tangan.
"Trakkk...!” Gagang tombak itu patah di tengah-tengahnya.
Melihat ini, Demang Grobokan terkejut dan ketakutan. Dia meloncat untuk berlari pergi, akan tetapi kaki Retno Wilis menyambar, menendang lututnya dan Demang Grobokan jatuh menelungkup, buntalan di tangan kirinya terlepas dan isinya tercecer. Kiranya buntalan itu berisi banyak perhiasan emas permata! Retno Wilis sudah melangkah maju dan menginjak punggung Demang Grobokan.
"Apakah engkau masih akan berani melawan?!" bentak Retno Wilis sambil mengerahkan tenaga pada kakinya yang menginjak punggung.
"Uhhh... hekkkkk... uhhh, ampunkan saya...!” Demang itu terengah-engah dan mengeluh.
Sesungguhnya Retno Wilis marah sekali kepada orang itu. Kalau saja ia tidak mendapat peringatan dari kakaknya tadi agar jangan membunuh orang, tentu dia sudah menginjak pecah dada Demang Grobokan. Ia melepaskan kakinya.
Demang Grobokan merangkak untuk bangkit, akan tetapi kaki kiri Retno Wilis menyambar lehernya dan dia roboh kembali sambil merintih kesakitan. Ketika tiga kali dia mencoba bangkit selalu disambut tendangan kaki gadis itu yang membuat pipinya bengkak-bengkak dan kepala seperti pecah rasanya, dia tak berani bangkit kembali, dan tetap menelungkup sambil mengeluarkan rintihan menangis.
Retno Wilis merasa sudah cukup memberi hajaran. Ia tadi memang sengaja menghajar Demang itu.
"Hayo bangkit!” bentaknya dan Demang Grobokan dengan ketakutan, wajahnya bengkak-bengkak dan mukanya pucat tubuhnya menggigil bangkit dan terhuyung. "Hayo keluar!" Retno Wilis mendorongnya dan Demang Grobokan dengan rasa takut sekali melangkah keluar. "Perintahkan tukang-tukang pukulmu untuk mundur semua!"
Melihat di luar semua tukang pukulnya mengepung dua orang pemuda akan tetapi mereka tidak berani bergerak itu, Demang Grobokan lalu berteriak dengan suara gemetar,
"Kalian semua mundurlah. Mundur dan jangan turun tangan!"
Biar pun tidak dilarang oleh Demang Grobokan, para tukang pukul itu memang sudah tidak berani berkutik. Kini mendengar perintah majikan mereka, semua tukang pukul lalu mundur dan hanya menonton dari jauh.
"Hei, kalian anak buah Demang Grobokan. Cepat perintahkan semua penduduk Grobokan untuk berkumpul di sini. Cepat !"
Tiga puluh orang itu lalu berpencar dan cepat mereka memanggil para penduduk Grobokan untuk berkumpul di pekarangan rumah Demang Grobokan. Para penduduk dusun itu berbondong-bondong datang di tempat itu.
"Ampunkan saya, den ajeng...!” Demang Grobokan minta ampun sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
"Diam kau! Kita tunggu sampai semua penduduk berkumpul di sini!" kata Retno Wilis.
Bagus Seto hanya tersenyum melihat sepak terjang adiknya dan Harjadenta memandang dengan sinar mata penuh kagum. Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dara perkasa itu. Hatinya penuh kekaguman akan kehebatan sepak terjang Retno Wilis dan penuh pesona akan kecantikannya. Mimpipun belum pernah dia bertemu dengan seorang dara seperti itu! Kalau hanya mendengar cerita orang tentang seorang dara seperti Retno Wilis, tentu dia tidak akan percaya. Mana ada dara segagah dan sehebat itu? Namun Retno Wilis melampaui semua khayalnya.....