Sepasang Garuda Putih Jilid 07

"Diajeng, sebaiknya sekarang kita lari saja meninggalkan pulau. Bila engkau terlalu lama di sini, akhirnya engkau akan menemui halangan. Permainanmu ini terlampau berbahaya, diajeng."

"Nanti dulu, kakangmas. Hari ini telah terjadi hal yang penting. Ada dua orang utusan dari Blambangan tiba di sini dan mereka itu adalah orang-orang yang pandai. Bahkan seorang di antara mereka sudah mencoba untuk mempengaruhi aku dengan ilmu sihirnya. Aku harus menyelidiki dulu apa maksud mereka datang berkunjung. Sesudah itu barulah kita melarikan diri."

"Engkau telah menipu Dyah Candramanik, jika ia mengetahui kepalsuanmu, tentu ia akan sakit hati. Karena itu berhati-hatilah, diajeng."

"Jangan khawatir, kakang. Aku akan bersikap hati-hati sekali. Dyah Candramanik itu tidak merupakan bahaya karena ia sudah tergila-gila padaku, ia memang cantik, kakang. Kalau saja engkau yang mengikuti sayembara dan menikah dengannya, tentu serasi sekali!"

"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, diajeng. Jangan terlalu lama engkau menyelidiki dua orang pendeta dari Blambangan itu. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini. Hasil penyelidikanmu itu sudah cukup."

"Baik, kakangmas. Berilah waktu seminggu lagi kepadaku. Seminggu kemudian kita akan bertemu di sini, di waktu senja dan kita lari bersama."

Sesudah bercakap-cakap melepas rindu, mereka lalu kembali ke kadipaten, mengambil jalan masing-masing. Menurut cerita Bagus Seto kepada Retno Wilis, pemuda itu mondok di rumah seorang duda tua yang hidup menyendiri di sudut kota.

Pada keesokan harinya, Retno Wilis memasuki taman-sari seperti biasa untuk menemui Dyah Candramanik mengajarkan ilmu memanah. Hatinya lega karena dia sudah bertemu dengan kakaknya dan dengan wajah berseri ia bertemu dengan puteri itu.

Ia melihat betapa Dyah Candramanik mengenakan pakaian baru berwarna merah muda sehingga tampak lebih cantik dari biasanya. Retno Wilis yang sedang senang hatinya lalu memuji kecantikan puteri itu.

"Wahai, diajeng Candramanik, engkau kelihatan secantik bidadari dari kahyangan."

Wajah Dyah Candramanik menjadi kemerahan dan ia berkata manja. "Ah, kakangmas, harap jangan terlalu memujiku."

Ia menggapai kepada seorang pelayan dan minta agar pelayan mengambilkan minuman untuk Joko Wilis. Setelah minum, Dyah Candramanik lalu berkata,

"Kakangmas Joko Wilis, mengapa aku amat bodoh? Mempelajari ilmu memanah, sampai sekarang aku belum juga pandai memanah."

"Siapa bilang, diajeng? Engkau telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Bukankah kemarin tiga kali anak panahmu mengenai sasaran. Itu sudah cukup bagus!"

"Kalau setiap kali melepas anak panah mengenai sasaran, itu baru dapat dibilang bagus, kakangmas. Aku masih lemah dalam hal membidik, dan ketika melepaskan anak panah, jari tangan kananku kurang tenang. Aku minta diajarkan membidik lagi yang lebih baik kakangmas!"

"Baiklah, diajeng. Hari ini akan kuajarkan engkau membidik ke arah sasaran supaya tepat dan bagaimana engkau harus mengerahkan tenaga agar anak panahmu dapat meluncur dengan lurus."

Mulailah mereka berlatih memanah dan untuk mengajarkan bagaimana membidik dengan baik, maka terpaksa Joko Wilis harus memegang kedua lengan puteri itu dan untuk dapat melakukan ini, dia harus berdiri mepet di belakang puteri itu serta merangkulnya untuk membimbing kedua tangan yang memegang busur dan anak panah. Dengan cara begini, punggung puteri itu dekat sekali dengan dada Joko Wilis.

Pada waktu mereka berdua sedang asyik belajar membidik, tidak ada orang lain yang menyaksikan karena para pelayan sudah disuruh pergi oleh Dyah Candramanik, ketika ia menarik gendewa dan membidik, tiba-tiba puteri itu mengeluh dan tubuhnya condong ke belakang seperti hendak jatuh. Joko Wilis yang tidak menyangka, menjadi terkejut ketika siku lengan puteri itu telah mendesak buah dadanya.

"Ihh...!” Dyah Candramanik terkejut dan sekarang yakin bahwa Joko Wilis adalah seorang perempuan, ia membalik dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.

"Ternyata engkau... engkau adalah seorang wanita...!” bisiknya dengan napas terengah-engah karena tegang hatinya.

Retno Wilis juga terkejut sekali, tidak menyangka bahwa rahasianya akan dapat diketahui puteri itu. Ia tidak dapat mengelak lagi dan demi kebaikan puteri itu sendiri maka ia harus berterus terang agar puteri itu tidak terus tergila-gila kepadanya.

"Maafkan saya, diajeng, terus terang saja saya memang seorang perempuan."

"Gila kau! Kenapa engkau mempermainkan aku seperti ini? Mengapa engkau mengikuti sayembara itu, bahkan memenangkannya dan bersedia dijodohkan dengan aku?"

"Sekali lagi maafkan saya. Saya seorang petualang dan dalam perantauan saya, saya melihat sayembara itu. Melihat para pengikut sayembara yang sombong-sombong dan kasar-kasar, saya tidak tega membiarkan diajeng menjadi isteri seorang di antara mereka. Karena itu aku lalu memasuki sayembara untuk mengalahkan mereka semua sehingga andika terhindar dari pada bahaya menjadi jodoh orang-orang kasar itu."

Akan tetapi Dyah Candramanik tidak menjawab dan ia menangis, lalu bangkit berdiri dan lari meninggalkan Retno Wilis, kembali ke gedung kadipaten.

Sejenak Retno Wilis bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apa pula yang akan dilakukan puteri itu? Apakah ia harus cepat-cepat melarikan diri? Retno Wilis menanti di taman-sari sampai cukup lama, mengharapkan sang puteri akan kembali ke situ. Akan tetapi setelah dinanti-nanti sampai agak lama sang puteri tidak juga muncul, ia lalu kembali ke kamarnya dan mengambil keputusan untuk melarikan diri pada waktu senja nanti.

Sementara itu, Dyah Candramanik berlari ke dalam gedung kadipaten sambil menangis. Ia mencari ayahnya dan melihat ayahnya sedang berada di ruangan tamu bersama dua orang tamu kakek dari Blambangan itu, ia tidak peduli dan terus lari memasuki ruangan itu dan langsung menubruk ayahnya sambil menangis.

"Duh, kanjeng Romo...!” ia menangis.

"Ehh, Dyah Candramanik, ada apakah? Apa yang terjadi dan mengapa engkau menangis seperti ini?"

"Aduh celaka sekali, kanjeng Romo, kita telah tertipu dan terhina...!” kata-katanya terhenti karena tangisnya yang tersedu-sedu.

"Tenanglah, anakku. Ceritakan dengan tenang dan jelas apa yang telah terjadi."

“Kanjeng Romo, Joko Wilis itu...dia itu... ternyata adalah seorang wanita...!”

"Apa?" Adipati Martimpang bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Di mana si bedebah itu? Berani ia mempermainkan kita!"

"Aku meninggalkannya di taman-sari, kanjeng Romo."

"Kanjeng Adipati, biarlah kami berdua yang akan menangkapnya!" kata Wasi Karangwolo yang sudah bangkit berdiri bersama adik seperguruannya, Wasi Surengpati.

"Akan kukerahkan pasukan untuk membantu andika berdua!"

Terjadi kesibukan. Tidak kurang dari tiga puluh orang dikerahkan untuk mengawal dua orang pendeta yang akan menangkap Retno Wilis itu. Mereka lalu mencari dara yang menyamar sebagai pemuda itu. Akan tetapi Retno Wilis sudah meninggalkan taman-sari dan berada di dalam kamarnya.

Ketika itu Retno Wilis masih merasa bimbang. Ia masih ingin menyelidiki kehadiran dua orang pendeta utusan Blambangan itu, tetapi tidak disangkanya sama sekali rahasianya akan terbuka oleh sang puteri. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dirinya sudah dibayangi oleh dua orang pendeta itu, bahkan kini kamarnya sudah dikepung oleh tiga puluh orang prajurit yang membawa gendewa dan anak panah!

Ketika ia mendengar gerakan orang-orang di luar kamarnya, Retno Wilis lalu mengintai dari balik jendela. Alangkah terkejutnya melihat banyak prajurit sudah menodongkan anak panah mereka ke arah pintu, juga jendela kamarnya. Kalau ia berusaha keluar dari pintu atau jendela itu, tentu hujan anak panah akan menyambutnya dan itu berbahaya sekali. Mana mungkin menangkis puluhan batang anak panah yang dihujamkan ke arahnya.

"Joko Wilis, keluar dan menyerahlah. Engkau sudah dikepung!" terdengar bentak nyaring dan Retno Wilis mengenal suara ini sebagai suara Adipati Martimpang sendiri.

Maklumlah ia bahwa rahasianya tentu sudah dibuka oleh Dyah Candramanik sehingga sang adipati itu juga sudah tahu bahwa ia seorang wanita yang menyamar pria. Ia harus dapat meloloskan diri dari situ karena bahaya besar mengancamnya! Jalan melalui pintu atau jendela sudah tertutup, tak mungkin ia keluar dari situ. Satu-satunya jalan adalah menerobos atap rumah!

Setelah menghadapi ancaman bahaya ini barulah ia merasa menyesal mengapa ia tidak menurut nasihat Bagus Seto untuk melarikan diri kemarin, dan lebih menyesal lagi bahwa ia tidak membawa pedang pusakanya. Dengan pedang itu mungkin ia dapat menerobos keluar dan memutar pedangnya menangkis hujan anak panah. Sekarang ia bertangan kosong, tidak mungkin ia menempuh bahaya itu.

Sesudah mengambil keputusan, Retno Wilis segera mengerahkan tenaga saktinya dan ia pun meloncat naik melalui atap yang diterobosnya dengan kedua tangannya. Dia berhasil menerobos atap dan berada di atas atap. Akan tetapi sama sekali ia tidak mengira bahwa di situ sudah menanti Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati!


Dua orang pendeta ini sudah menduga bahwa Retno Wilis mungkin mengambil jalan menerobos atap, maka begitu tubuh dara perkasa itu muncul, Wasi Karangwolo sudah menyambutnya dengan sambitan tepung berwarna kuning ke arah muka Retno Wilis dan Wasi Surengpati menyodokkan tongkat ularnya ke arah lehernya !

Retno Wilis menangkis sodokan tongkat ular itu, akan tetapi ia tidak dapat menghindar ketika bubuk kuning itu sebagian mengenai mukanya! Matanya mendadak menjadi pedih dan tidak dapat dibuka, dan hidungnya mencium bau yang amis dan keras. Tiba-tiba saja ia merasa napasnya sesak dan terpelantinglah Retno Wilis di atas atap!

Dengan mudah Wasi Karangwolo menyambut tubuhnya dan menelikung sehingga Retno Wilis yang jatuh pingsan itu tidak berdaya lagi. Wasi Karangwolo membawanya loncat ke bawah. Melihat Joko Wilis sudah tertawan, Adipati Martimpang menghunus kerisnya dan hendak menusukkan keris itu ke dada Joko Wilis.

"Biar kubunuh penipu dan pengacau ini!" hardiknya.

Akan tetapi Wasi Karangwolo menghalangi.

"Sabar dulu, Kanjeng Adipati. Jangan tergesa-gesa membunuhnya. Mungkin saja ia dapat mengaku terus terang siapa sebenarnya dia, mungkin telik sandi yang dilepaskan Panjalu atau Jenggala untuk menyelidiki keadaan kita. Kalau ia sudah membuat pengakuan, nah, baru boleh ia dibunuh di depan rakyat jelata agar mereka takut membuat kacau seperti dara ini."

Adipati Martimpang mengangguk-angguk dan menyarungkan kembali kerisnya.

"Sesuka andika berdua sajalah untuk memeriksanya, kalau perlu boleh menyiksanya agar ia mengaku."

Wasi Karangwolo tersenyum. "Kamu mempunyai cara yang lebih baik untuk membuat ia mengaku, bukan dengan penyiksaan karena boleh jadi dara ini cukup tangguh untuk membungkam mulut dan menahan segala siksaan. Dengan cara kami ia akan dengan sendirinya membuat pengakuan. Akan tetapi ia telah menghisap bubuk racun kuning kami dan mungkin sore nanti baru sadar. Kami hanya minta sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat untuk mengurung dirinya."

Retno Wilis lalu diangkat ke dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari batu dan pintunya terbuat dari besi tebal dengan jeruji di bagian atasnya. Setelah kedua kaki dan tangannya diikat dengan tali yang kuat, ditelikung seperti seekor domba yang hendak disembelih, Retno Wilis lalu dilempar ke dalam kamar tahanan itu.

Wasi Karangwolo dan Resi Surengpati minta kepada para penjaga untuk meninggalkan mereka bertiga saja dengan tawanan itu. Setelah semua orang pergi, mereka lalu mengerahkan tenaga batin mereka untuk melakukan sihir atas diri Retno Wilis. Dalam keadaan tidak sadar, Retno Wilis dibuka kedua pelupuk matanya dan kedua orang pendeta itu memandang dengan sinar mata mencorong ke dalam mata Retno Wilis.

"Hei, wanita muda yang menyamar sebagai Joko Wilis. Engkau akan menuruti semua kehendak kami! Kalau sudah sadar engkau harus menjawab semua pertanyaan kami dengan sebenarnya!" Kalimat itu di ulang-ulang dan beberapa mantera dibisikkan oleh kedua Wasi itu sampai akhirnya Retno Wilis yang masih pingsan itu mengangguk-angguk.

Mereka melepaskan lagi Retno Wilis yang rebah tak berdaya diatas lantai dan barulah mereka keluar dari kamar tahanan itu. Gadis itu sudah dikuasai dan dikendalikan pikirannya dengan ilmu sihir dan kedua kaki tangannya juga terikat kuat, sedikitpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri. Belum lagi keadaan kamar tahanan itu yang kokoh kuat dan di luar kamar tahanan terdapat belasan orang prajurit yang menjaganya. Biar ditambah sepasang sayap di pundak dara itu tak mungkin ia dapat meloloskan diri.

Tubuh di dalam kamar tahanan itu bergerak-gerak, menggerakkan kaki tangannya akan tetapi dia tidak mampu bangkit. Kedua kaki dan tangannya sudah terbelenggu kuat-kuat. Retno Wilis mulai sadar dari pingsannya, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Kepalanya terasa pening sekali. Ketika membuka matanya, ia melihat bahwa dirinya menggeletak di atas lantai yang dingin. Ketika ia mencoba menggerakkan kaki tangannya, ia tidak dapat. Tubuhnya terasa lemas sekali.

Ia tidak dapat mengingat dengan jelas apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia kini hanya tahu bahwa ia telah dibelenggu kaki tangannya dan berada dalam sebuah kamar yang tidak berapa luas, yang hanya mempunyai sebuah pintu baja yang bagian atasnya ada terali besinya yang sangat kuat. Ia telah ditawan! Pikiran ini membingungkannya. Ketika timbul niatnya untuk mematahkan belenggu pada kaki tangannya, mendadak di dalam kepalanya terdengar suara yang amat berwibawa.

"Engkau tidak dapat membebaskan diri dari belenggu karena semua tenagamu habis. Engkau merasa tubuhmu tidak berdaya, lemah lunglai!"

Ia harus membenarkan kata-kata yang terngiang di dalam telinganya ini. Tidak mungkin ia membebaskan diri dari belenggu yang demikian kuatnya, sedangkan tubuhnya demikian lemas tak berdaya.

"Aku lemah... tubuhku lemah tak berdaya..." katanya membenarkan, dan dia pun tidak berani mencoba mengerahkan tenaganya lagi, melainkan rebah miring tak berdaya.

Tiba-tiba Retno Wilis melihat dua muka orang muncul di luar terali besi itu. Ia tidak ingat lagi siapa mereka, akan tetapi yang tampak olehnya hanya dua pasang mata yang mencorong seperti api dan yang seolah-olah mengikatnya. Ia menjadi gelisah menatap dua pasang mata itu.

"Wanita muda, siapakah namamu? Jawab yang benar!"

Retno Wilis merasa aneh sekali. Mengapa ada orang bertanya seperti itu dan ia merasa tak berdaya, merasa bahwa ia harus menjawab sejujurnya? Akan tetapi ia tidak mampu menahan diri dan ia harus menjawab sejujurnya, seolah ada sesuatu yang amat kuat mendorongnya untuk menjawab.

"Namaku Retno Wilis."

Dua orang kakek itu adalah Wasi Surengpati dan Wasi Karangwolo. Mendengar jawaban itu, mereka saling pandang. Wasi Karangwolo lalu bertanya lagi sambil mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Rara Wilis.

“Dari mana engkau datang?"

"Dari Panjalu."

Kembali dua orang kakek itu saling pandang dan pada saat itu, Adipati Martimbangpun datang dan ikut menjenguk lewat terali besi di bagian atas pintu. Melihat kehadiran adipati Martimpang, Wasi Karangwolo mengulang lagi pertanyaannya.

"Wanita muda, katakan siapa namamu dan dari mana engkau datang!"

Bagaikan seorang yang sedang mimpi, jawaban itu meluncur dari mulut Retno Wilis di luar kehendaknya sendiri.

"Namaku Retno Wilis dan aku datang dari Panjalu."

Adipati Martimpang terkejut. Dia tidak mengenal nama Retno Wilis akan tetapi pengakuan gadis itu bahwa ia datang dari Panjalu mengejutkan hatinya. Kiranya benar bahwa gadis ini seorang telik-sandi yang dikirim oleh Kerajaan Panjalu!

"Siapa yang mengutusmu datang ke Nusabarung?”

"Tidak ada yang mengutusku."

"Apa maksudmu datang ke Nusabarung?"

"Hendak melihat-lihat keadaan, menentang kejahatan, membela yang benar dengan adil!" kata-kata terakhir itu adalah tugas yang selalu didengungkan oleh Bagus Seto kepada Retno Wilis, maka sekarang kata-kata itu keluar dengan sendirinya."

"Siapa ayah bundamu?" Wasi Karangwolo kembali bertanya untuk dapat mengetahui lebih banyak tentang gadis yang menjadi tawanan itu.

"Ayahku Patih Panjalu Tejolaksono dan ibuku Endang Patibroto!"

Dua orang kakek dan adipati itu terkejut setengah mati. Mata mereka terbelalak ketika mereka saling pandang. Memang nama Retno Wilis belum mereka kenal, namun nama Tejolaksono dan Endang Patibroto itu tentu saja telah mereka kenal dengan baik! Dua orang yang sakti mandraguna, yang pernah menggegerkan Nusabarung dan Blambangan.

Wasi Karangwolo selain terkejut juga girang bukan main. Dia menganggap Tejolaksono dan Endang Palibroto sebagai musuh besarnya. Kakek ini adalah guru dari para senopati di Blambangan yang dahulu terbunuh oleh Endang Patibroto. Para muridnya itu adalah Mayangkrudo, Kolonarmodo, dan Haryo Baruno. Bahkan Adipati Blambangan di waktu itu, Menak Linggo juga terbunuh oleh wanita sakti itu.

Dan kini puteri Endang Patibroto dan Tejolaksono berada di dalam tangannya! Sungguh merupakan balas dendam yang terasa manis sekali bagi Wasi Kawangwolo. Adipati Martimpang kini yakin pula bahwa puteri patih Panjalu itu pasti datang untuk menyelidiki keadaan dan kekuatan Nusabarung. Gadis ini merupakan orang yang berbahaya sekali.

"Ia seorang yang berbahaya sekali!" kata Adipati Martimpang. "Kita bunuh saja ia sebelum ia dapat memberi keterangan tentang Nusabarung kepada Raja Panjalu!"

"Nanti dulu, Kanjeng Adipati. Kita kuras dulu keterangan darinya sebanyak-banyaknya," kata Wasi Karangwolo. Dia lalu memandang lagi kepada Retno Wilis dan suaranya menggetar penuh wibawa ketika dia bertanya, "Retno Wilis, dengan siapa saja engkau datang ke Nusabarung?"

"Dengan kakakku."

"Siapa kakakmu itu?" tanya Wasi Karangwolo, semakin penasaran.

"Kakangmas Bagus Seto."

"Di mana dia sekarang?"

"Di Nusabarung."

"Ya, tapi di mana?"

Retno Wilis tidak menjawab karena memang ia tidak tahu di mana kakaknya berada.

"Retno Wilis, jawab, atau aku akan membikin pecah kepalamu. Engkau merasa kepalamu nyeri sekali, seperti dipukuli dari dalam!"

Mendadak Retno Wilis memejamkan matanya dan mengerang kesakitan, menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa nyeri sekali.

"Hayo katakan, di mana adanya Bagus Seto?"

Tiba-tiba tampak uap putih, dan sesosok bayangan putih berkelebat, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda, berpakaian serba putih.

"Aku berada di sini!" kata Bagus Seto yang dengan kepandaiannya yang tinggi sudah dapat memasuki tempat itu.

Dia lalu melemparkan tangkai bunga cempaka putih ke arah kepala Retno Wilis dan dia berkata lembut namun penuh getaran yang berwibawa.

"Diajeng Retno Wilis, sadarlah! Engkau telah bebas dari pengaruh jahat yang menguasaimu, tenagamu telah pulih kembali seperti sedia kala!"

Adipati Martimpang terkejut sekali dan berteriak memanggil para senopatinya yang masih berada di luar.

"Tangkap pemuda itu!" bentaknya dan dia sendiri lalu menyelinap dan pergi dari tempat itu.

Wasi Karangwolo dan Wasi Surengpati juga merasa marah sekali melihat munculnya pemuda berpakaian putih itu.

"Keparat, menyerahlah!" bentak mereka sambil mengerahkan ilmu sihir mereka untuk menundukkan Bagus Seto. Akan tetapi pemuda itu tersenyum dan berkata kepada dua orang kakek itu. "Sayang sekali mempelajari ilmu hanya untuk melakukan kejahatan!"

Dua orang kakek itu menyerang dan menubruk maju, akan tetapi sekali berkelebat Bagus Seto telah lenyap dari tempat itu.

Sementara itu Retno Wilis seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Ia merasa betapa tenaganya sudah pulih kembali dan kini ia sadar betul bahwa ia telah tertawan dan terbelenggu. Dengan marah Retno Wilis lalu mengeluarkan suara melengking tinggi dan sekali menggerakkan kaki tangannya, dara perkasa ini telah membuat belenggu kaki tangannya patah-patah! Ia meloncat berdiri dan mengerahkan tenaganya menerjang daun pintu dari besi itu.

"Wuuuuuut...! Braaaakkkk!"

Pintu itu jebol dan Retno Wilis sudah melompat keluar dari dalam kamar tahanan.

Melihat ini, semua orang terkejut dan belasan orang penjaga, juga dua orang kakek itu, mundur dan keluar dari tempat tahanan itu. Retno Wilis mengejar mereka dan ketika ia tiba di luar, ia telah terkepung oleh para prajurit yang bersenjatakan tombak dan golok. Dara itu mengamuk!

"Retno, jangan membunuh orang! Aku akan menunggumu di dalam goa di mana engkau menyimpan pakaianmu!" terdengar suara kakaknya berdengung di dekat telinga Retno Wilis, akan tetapi kakaknya itu tidak tampak berada di situ.

Biar pun ia marah sekali dan mengamuk seperti seekor naga betina, namun peringatan kakaknya ini diturutnya dengan patuh. Ia menggerakkan kaki tangannya, menampar dan menendang merobohkan para pengeroyok, akan tetapi tidak ada seorang pun yang ia bunuh.

Ia membatasi tenaganya dalam setiap tamparan dan tendangan sehingga yang terkena tidak sampai tewas, hanya terlukai yang membuat mereka tidak dapat mengeroyok lagi. Akan tetapi Adipati Martimpang sendiri sekarang memimpin lima orang senopatinya yang tangguh untuk mengeroyok Retno Wilis,

"Bunuh wanita ini!" bentaknya kepada Ki Wisokolo dan keempat orang rekannya! Lima orang itu lalu membentak para prajurit supaya mundur dan mereka berlima mengepung Retno Wilis.

Dara yang sakti mandraguna itu tidak menjadi gentar. Biar pun lima orang senopati itu menyerangnya dari lima penjuru, akan tetapi dengan kegesitannya ia mampu mengelak dan menangkis sehingga serangan mereka itu semua gagal. Bahkan ketika ia menangkis dengan lengannya, ia mengerahkan tenaga saktinya hingga lima orang lawannya merasa lengan mereka tergetar hebat dan nyeri seperti sudah bertemu dengan lengan baja! Di belakang lima orang senopati itu tampak puluhan orang prajurit yang telah mengepung dara itu.

Retno Wilis merasa heran dan agak kesal hatinya mengapa kakaknya tidak turun tangan membantunya. Dia maklum bahwa kakaknya itu seorang yang tidak suka berkelahi, akan tetapi melihat adiknya dikeroyok seperti ini, mengapa dia tidak membantu sama sekali? Ia maklum bahwa tidak mungkin ia melawan terus. Pasukan itu bisa datang beratus-ratus, tak mungkin dengan tenaganya seorang diri ia harus melawan mereka.

Ketika melihat Adipati Martimpang di belakang Ki Wisokolo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung dan menyerangnya, Retno Wilis menemukan akal. Ia segera membalik dan menyerang Ki Wisokolo dengan Aji Wisolangking. Tubuh Ki Wisokolo terpental dan terjengkang oleh pukulan ini dan secepat kilat Retno Wilis sudah melompat lalu pada lain saat ia telah menangkap lengan kanan Adipati Martimpang dan menekuknya ke belakang tubuh.

"Hayo perintahkan mereka semua mundur kalau engkau tidak ingin mati dengan kepala remuk!" kata Retno Wilis.

Dan ia menekuk lengan itu lebih kuat ke belakang punggung sang adipati sehingga Adipati Martimpang mengeluh kesakitan. Sedikit lagi Retno Wilis mendorong tangannya ke atas di belakang punggungnya, sambungan tulang pundaknya bisa terlepas!

"Baik, jangan bunuh aku...!”

Adipati Martimpang lalu berseru nyaring. "Semua orang mundur, jangan menyerang lagi!"

Melihat betapa dara itu telah menangkap majikan mereka, semua pengeroyok bergerak mundur. Juga kedua Wasi itu mundur dengan khawatir. Mereka maklum bahwa dara itu bukan hanya menggertak saja. Mungkin sang adipati akan benar-benar dibunuh oleh dara yang sakti mandraguna itu kalau mereka tak mau mundur. Terpaksa mereka juga mundur sampai agak jauh. Retno Wilis berkata kepada adipati yang telah ditawannya.

"Mari temani aku untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kalau orang-orangmu menyerangku, aku akan lebih dulu membunuhmu kemudian mengamuk dan membunuh semua orangmu!"

Sang Adipati Martimpang juga bukan seorang yang lemah. Akan tetapi ketika ia berusaha untuk meronta dan melepaskan tangannya dari pegangan dara itu, dia sama sekali tidak mampu berkutik. Bukan main kuatnya tangan yang memegang pergelangan tangannya itu. Karena takut, akan ancaman Retno Wilis, diapun berteriak,

"Kalian jangan menghalangi Retno Wilis! Mundur semua dan jangan ada yang mencoba menyerangnya!"

Retno Wilis merasa lega. Ia telah menemukan cara yang terbaik untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ini jauh lebih mudah dan baik dari pada ia harus melawan sekian banyaknya pengeroyok. Ia lalu mendorong tubuh sang adipati dan mengajaknya keluar dari kota kadipaten, terus ke hutan di luar pintu gerbang. Hari telah hampir gelap dan ketika Retno Wilis tiba di depan goa, ia melihat Bagus Seto telah berada di sana, berdiri sambil menyilangkan lengan di depan dada dan tersenyum.

"Bagus sekali, kakangmas! Andika enak-enak saja di sini membiarkan aku menghadapi pengeroyokan ratusan orang prajurit!" kata Retno Wilis dengan suara kesal.

"Suatu latihan yang sangat baik bagimu, terutama untuk menahan kesabaranmu, diajeng. Ini buntalan pakaianmu, tukarlah pakaian di dalam goa dan tinggalkan sang adipati disini. Dia tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri." Bagus Seto menyerahkan buntalan pakaian Retno Wilis. Dara itu menerimanya lalu menghilang ke dalam goa yang sudah gelap.

Kini Adipati Martimpang berdiri di depan goa, hanya berdua saja dengan Bagus Seto. Adipati itu mempertimbangkan keinginannya untuk melarikan diri. Biar pun adiknya sangat sakti, tetapi pemuda ini belum tentu memiliki kesaktian seperti dara itu, pikirnya. Dia akan mencoba-coba.

Cuaca sudah mulai gelap dan dia lebih mengenal medan dari pada pemuda asing ini. Dia dapat menghilang ke dalam hutan yang lebat itu.

Melihat pemuda itu sama sekali tidak memperhatikan dia dan memandang ke arah lain, Adipati Martimpang menggunakan kesempatan itu untuk mengerahkan seluruh tenaganya meloncat dan melarikan diri. Dan betapa lega hatinya ketika dia tidak melihat pemuda itu berteriak atau mengejarnya. Dia sudah lolos! Dengan sekuat tenaga dia pun berloncatan sambil berlari cepat.

Tiba-tiba saja dia terbelalak, memandang ke depan. Di sana, di depannya, sudah berdiri pemuda berpakaian putih tadi, tersenyum sambil menyilangkan kedua lengan di depan dadanya seperti tadi ketika dia meninggalkannya di depan goa!

Adipati Martimpang cepat memutar tubuhnya dan berlari cepat ke lain jurusan. Akan tetapi tiba-tiba saja dia melihat pemuda itu sudah berdiri pula di depannya tanpa bicara hanya tersenyum saja. Dia bergidik ngeri, lalu timbul kenekatannya. Dia segera menerjang maju dan mengirim pukulan ke arah dada pemuda itu. Pemuda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak.

"Wuuutt...! Bukkk!"

Pukulan itu tepat mengenai dada pemuda itu, akan tetapi pemuda itu tidak bergoyang sedikit pun juga. Sebaliknya, Adipati Martimpang menahan teriakannya karena tangan kanan yang memukul itu seperti remuk rasanya, seolah dia memukul sebuah dinding baja. Dia hanya dapat memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kirinya dan mendesis-desis menahan rasa nyeri.

"Kanjeng Adipati, mari kita kembali ke goa." kata pemuda itu dengan suara yang lemah lembut.

Adipati Martimpang maklum bahwa dia menghadapi seorang yang bahkan lebih sakti dari pada Retno Wilis, maka dia pun tidak banyak membantah, seperti seekor domba dituntun dia mengikuti pemuda itu kembali ke tempat tadi. Retno Wilis keluar dari dalam goa dan di bawah sinar matahari yang hampir tenggelam, sang adipati memandang dengan bengong! Ia melihat seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Sukar untuk dapat percaya bahwa dara secantik ini dapat menjadi seorang yang sangat sakti!

"Kanjeng Adipati Martimpang, kini andika harus mengawal kami sampai menyeberang ke daratan sana. Mari, kakangmas Bagus, kita tinggalkan pulau ini."

Mereka bertiga lalu keluar dari dalam hutan itu. Dari jauh tampak banyak prajurit, dipimpin oleh lima orang senopati dengan senjata lengkap seperti hendak maju perang. Akan tetapi mereka hanya berani mengawasi dari jauh saja.

Ketika tiga orang itu berjalan menuju ke selatan, mereka pun hanya berani membayangi dari jauh. Begitu pula saat Retno Wilis memaksa Adipati Martimpang mencarikan sebuah perahu dan mereka bertiga dengan naik perahu menyeberang ke daratan, para senopati Nusabarung juga sibuk mencari perahu dan membayangi dari jarak jauh.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar