Perawan Lembah Wilis Jilid 86

Ketika Ratu Wilis menyampaikan niatnya untuk menyerbu terus ke Jenggala, hal ini disetujui oleh Adiwijaya.

“Harap Paduka suka bersabar, Gusti Puteri. Selain prajurit kita banyak yang gugur sehingga kekuatan kita berkurang, juga Kerajaan Jenggala tidaklah selemah Ponorogo. Di sana memiliki bala tentara besar, apa lagi tentu Kerajaan Panjalu membantunya, juga banyak terdapat orang-orang sakti mandraguna.”

Adiwijaya cukup cerdik untuk tidak menyebut nama Tejolaksono dan Endang Patibroto untuk tidak melukai hati orang yang disayangnya.

“Selain itu, juga Ponorogo hanya menyerah karena terpaksa. Amat sukar mengharapkan bantuan dari rakyat Ponorogo, maka kita harus menghimpun dan memperbesar jumlah prajurit dari daerah-daerah lain yang sudah kita taklukkan. Prajurit-prajurit baru perlu dilatih. Pendeknya, untuk menggempur Jenggala membutuhkan persiapan yang lebih matang, Gusti.”

Retna Wilis yang ingin sekali melihat cita-citanya cepat terkabul, mengerutkan alisnya.

“Kalau aku menuruti rencanamu, bukankah hal itu akan makan waktu bertahuntahun? Terlalu lama, Paman. Kalau perlu, aku sanggup dengan seorang diri menaklukkan kerajaan-kerajaan itu!”

Adiwijaya memandang junjungannya itu penuh kagum. Sepasang matanya bersinar-sinar dan ia membayangkan betapa kalau dara perkasa ini melakukan serbuan seorang diri saja ke Jenggala!

Dia tahu bahwa hal itu tidak mungkin karena mana bisa seorang diri saja, betapa pun saktinya, menghadapi bala tentara yang laksaan jumlahnya? Pula, banyak sekali orang sakti di sana! Ia cepat menyembah dan berkata,

“Maafkan hamba, Hamba percaya akan kesaktian dan kesanggupan Paduka, akan tetapi menyerbu seorang diri bukanlah menjadi kebiasaan seorang ratu yang besar. Harap Paduka bersabar, dan kalau Paduka menganggap bahwa menghimpun dan melatih pasukan kuat akan memakan waktu terlalu lama, hamba masih mempunyai jalan lain yang kiranya lebih singkat dan akan lebih menghasilkan.”

“Bagus sekali, Paman. Aku percaya akan daya upaya dan kecerdikanmu. Jalan apakah yang kau maksudkan itu? Lekas beritahukan,” kata Retna Wilis dengan wajah gembira.

“Paduka tentu maklum bahwa keadaan Jenggala sekarang jauh lebih kuat dari pada sebelum sang prabu yang sepuh diganti oleh Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi raja. Bahkan gusti permaisuri Jenggala adalah bibi Paduka sendiri yang sakti mandraguna. Belum lagi diingat bahwa patihnya yang menjadi benteng Jenggala sekarang adalah Joko Pramono dan isterinya yang perkasa.”

Kembali alis yang kecil hitam itu berkerut.

“Paman, tidak perlu Paman menyebut nama-nama mereka. Mereka itu benar para paman dan bibiku, akan tetapi kalau mereka tidak suka tunduk kepadaku, aku akan menghadapi mereka sebagai lawan!”

Adiwijaya mengangguk-angguk.

“Hamba juga percaya bahwa Paduka akan sanggup mengalahkan lawan yang mana pun juga. Akan tetapi, bukankah kalau terjadi hal itu, akan amat tidak enak, Gusti? Sebaiknya kalau kita mengadakan persekutuan dengan pihak Sriwijaya dan Cola. Kedua kerajaan itu mempunyai wakil-wakil yang sakti dan yang sudah menyusun barisan yang cukup kuat pula. Kita ajak mereka bersekutu untuk menggempur Jenggala dan kalau hal itu terjadi, tidak perlu Paduka sendiri yang hams menghadapi para paman dan bibi Paduka di Jenggala.”

“Ihh, Paman Adiwijaya, omongan apa yang kau keluarkan ini?”

Retna Wilis membentak marah dan mengangkat kedua alisnya, matanya terbelalak memandang tajam kepada patihnya.

“Aku tidak takut menghadapi kerajaan mana pun juga, mengapa mesti bersekutu? Aku tidak sudi bersekutu apa lagi dengan kerajaan-kerajaan asing itu. Bersekutu hanya menunjukkan bahwa kita lemah, dan kemenangan yang dicapai seolah-olah mengandalkan bantuan sekutu-sekutu itu!”

“Maksud hamba tidak demikian, Gusti. Pertama, penyerangan terhadap Jenggala dan Panjalu di mana terdapat keluarga Paduka yang menjadi senopati, amat tidak enak bagi Paduka sendiri, maka sebaiknya meminjam tenaga orang-orang Sakti dari kerajaan asing itu. Ke dua, dan hal ini penting sekali, orang-orang dari Sriwijaya dan Cola itu merupakan ancaman kelak bagi Paduka. Mereka adalah musuh-musuh rakyat dan mereka itu menyusun tenaga secara nyiluman (seperti siluman, bersembunyi dan rahasia) sehingga amat sukar untuk membasmi mereka.”

“Kalau mereka diajak bersekutu, tentu mereka akan tampak dan kelak kalau kita sudah mempergunakan tenaga mereka sehingga berhasil, mudah saja bagi kita untuk membasmi mereka dari permukaan bumi!”

Retna Wilis termenung sampai lama. ia mempertimbangkan usul pembantunya yang setia ini.

Memang ada benarnya. Biar pun ia tidak peduli kalau terpaksa harus melawan para bibi dan pamannya, akan tetapi kalau ia teringat akan bibinya Setyaningsih, ia raguragu juga apakah akan tega menurunkan tangan kepada bibinya itu. Apa lagi kalau ia ingat akan ayah bundanya yang berada di Panjalu. Kalau mereka itu maju, dan hal ini tak dapat disangsikan lagi mengingat bahwa ayah bundanya adalah hamba-hamba setia dari Panjalu, biar pun dia tidak takut dan pasti akan menentang mereka kalau ayah bundanya berusaha menghalangi cita-citanya, namun tetap saja ada sedikit perasaan tidak enak di hatinya. Dan para wakil kedua kerajaan asing itu, tentu kelak hanya akan menjadi gangguan yang memusingkan. Usul patihnya amat baik, sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat.

Menggunakan mereka untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu, kemudian setelah berhasil, membasmi mereka sebelum mereka sadar akan muslihat ini.

“Usulmu menarik sekali, Paman. Akan tetapi, benarbenarkah Sriwijaya dan Cola mempunyai tokoh-tokoh yang sakti, yang boleh dipercaya akan dapat kita pergunakan untuk menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu?”

“Banyak sekali tokoh mereka, Gusti. Dan terutama sekali pucuk pimpinan yang sengaja dikirim dari Kerajaan Sriwijaya dan Cola. Hamba mengenal pemimpin utusan Kerajaan Cola yang bernama Sang Wasi Bagaspati. Kakek ini memiliki kesaktian yang amat hebat, Gusti, yang sukar dicari bandingnya pada saat ini “

“Hemm, aku pernah mendengar dari guruku nama itu. Manusia sombong yang mengaku sebagai penitisan Sang Hyang Shiwa! Lalu, siapa lagi, Paman?”

“Masih banyak tokoh Kerajaan Cola yang menjadi pembantu Sang Wasi Bagaspati, dan yang memiliki aji kesaktian luar biasa. Adapun pemimpin utusan Kerajaan Sriwijaya belum pernah hamba jumpai, akan tetapi kabarnya juga memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri, namanya Sang Biku Janapati.”

Retna Wilis mengangguk-angguk. Nama-nama ini pernah ia dengar dari Nini Bumigarba. “Paman, apakah Paman dapat menghubungi mereka?”

“Hamba kira akan dapat mencari tokoh-tokoh Kerajaan Cola, Gusti. Dan melalui mereka kiranya hamba akan dapat menghubungi pula tokoh-tokoh Sriwijaya. Apakah Paduka dapat menyetujui kalau kita bersekutu dengan mereka?”

“Kalau Paman merasa sebaiknya demikian, aku pun dapat menerima. Sekarang Paman pergilah menghubungi mereka dan panggil Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku Janapati datang menghadap aku!”

Adiwijaya membelalakkan mata dan wajahnya berubah. Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah. Ia hanya merasa khawatir apakah kedua orang tokoh sakti itu akan sudi datang kalau disuruh menghadap seorang ratu muda belia seolah-olah mereka itu adalah orang-orang taklukan atau orang-orang yang tingkatnya lebih rendah. ia menyanggupi, kemudian menyembah dan berpamit untuk segera melaksanakan perintah puteri sakti itu, mencari dan menghubungi Wasi Bagaspati dan Biku Janapati.

Adiwijaya maklum atau dapat menduga bahwa tentu tokoh-tokoh besar yang dicarinya itu masih belum meninggalkan daerah Jenggala.

Biar pun mereka itu telah gagal dalam usaha mereka menguasai Jenggala dengan jalan halus, namun mereka itu tentu tidak mau sudah begitu saja. Tentu Wasi Bagaspati diam-diam sedang menyusun tenaga untuk melanjutkan usahanya menguasai Jenggala dan agaknya bersembunyi di dalam hutan-hutan, di gunung-gunung yang sunyi.

Mulailah Adiwijaya merantau, seorang diri karena untuk melakukan tugas rahasia ini ia tidak menghendaki rombongan pembantu atau pengawal yang selain dapat mudah membocorkan rahasia, juga akan membuat ia kurang leluasa saja. Ia tahu dari siapa ia harus mencari berita tentang tempat persembunyian tokoh-tokoh dari kerajaan Cola itu.

Maka ia lalu masuk keluar hutan dan akhirnya ia bertemu dengan serombongan perampok yang ia kenal sebagai bekas anak buah pasukan Jenggala yang melarikan diri.

Ketika ia memasuki sebuah hutan yang lebat pada suatu pagi, tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak berloncatan belasan orang yang dikepalai seorang tinggi besar yang berkumis tebal melintang sekepal sebelah.

Adiwijaya mengenal pemimpin perampok itu dan beberapa orang anggota perampok sebagai bekas anak pasukan yang dahulu menjadi pengawal Pangeran Kukutan, akan tetapi mereka tidak mengenalnya karena memang kini bekas Patih Warutama sudah banyak berubah.

“Heh, kisanak, berhenti dulu! Tanggalkan semua pakaian dan tinggalkan semua bawaanmu sebagai pengganti nyawamu!” Si kumis melintang membentak garang.

Adiwijaya tersenyum, berdiri tegak dan berkata, “Kakang Jodi, apakah engkau tidak lagi mengenal aku? Aku adalah bekas Ki Patih Warutama, orang sendiri, bukan lawan.”

Beberapa orang bekas anak buah Jenggala, juga Ki Jodi, memandang dengan mata terbelalak diikuti oleh anak buahnya.

“Ha-ha-ha, engkau pandai membadut, Kisanak! Akan tetapi kami tidak mempunyai waktu untuk mendengar ocehanmu. Lekas tanggalkan pakaian atau terpaksa aku akan membunuhmu lebih dulu, baru melucuti pakaianmu!”

Kepala perampok itu membentak dengan sikap mengancam.

“Hemm, memang wajahku sudah berubah. Akan tetapi apakah engkau tidak lagi mengenal suara dan bentuk tubuhku? Baiklah, sebelum diberi bukti kalian tentu tidak percaya. Nah, Kakang Jodi, majulah!”

Ki Jodi menjadi marah. Orang ini yang mengaku bekas Patih Jenggala adalah seorang yang tubuhnya tidak membayangkan kekuatan, agaknya sekali pukul saja ia akan mampu membikin remuk kepala itu. Maka ia lalu berteriak keras dan menerjang maju, tangan kirinya mencengkeram ke arah leher dan kepalan tangan kanannya menjotos kepala.

Tentu saja serangan yang hanya berdasarkan tenaga kasar ini dipandang rendah oleh Adiwijaya yang sakti. Tubuhnya hanya miring sedikit, kemudian kedua tangannya bergerak, menyambar pinggang yang besar itu, diangkatnya tubuh Ki Jodi ke atas lalu dibanting ke atas tanah.

“Brukkk... ngekkk!”

“Aduhhhh... tohobaattt...!”

Ki Jodi terengah-engah dan merintih, tulang punggungnya serasa patah dan is tidak dapat bangkit. Kawan-kawannya menjadi marah, akan tetapi sebelum mereka bergerak maju, Ki Jodi sambil terengah-engah berkata,

“Mundur kalian semua! Apakah kalian buta? Beliau adalah Gusti Patih Warutama!”

Semua anak buah perampok mundur dan memandang dengan jerih. Adiwijaya menghampiri Ki Jodi, menepuk punggungnya dan menariknya bangun. Ki Jodi menyeringai dan bangkit dengan tubuh bongkok, kedua tangannya menekan pinggang dan pantat yang rasanya nyeri sekali.

“Ampun, Gusti Patih...!”

“Tidak mengapa, Kakang Jodi. Aku pun tidak berniat mengganggu kalian, hanya kebetulan saja pertemuan ini karena memang aku sedang mencari teman-teman bekas prajurit Jenggala. Aku ingin bertanya ke mana kiranya aku dapat menemui tokoh-tokoh Cola, Wasi Bagaspati dan para pembantunya.”

“Hamba... hamba tidak tahu, Gusti. Semenjak melarikan diri dari Jenggala, hamba bersama kawan-kawan bersembunyi di hutan ini. Hanya ada hamba mendengar berita bahwa pasukan wanita penyembah Sang Bhatari Durgo bermarkas di lereng gunung Arjuna. Kiranya dari mereka itu Paduka akan dapat mendengar lebih jelas tentang para tokoh yang Paduka cari.”

Adiwijaya mengangguk-angguk.

“Baik. Aku akan mencari ke sana. Kakang Jodi, engkau kumpulkan kawankawan bekas prajurit Jenggala dan bawa mereka sebanyak mungkin pergi ke lereng Wilis. Di sana kalian boleh menghambakan diri menjadi prajurit Wilis.”

Ki Jodi membelalakkan matanya. “Kerajaan Wilis? Ahhh, hamba sudah mendengar akan kerajaan baru itu. Hamba... takut, Gusti, Jangan Jangan begitu sampai di sana, hamba segerombolan akan dibasmi oleh pasukan Wilis yang terkenal kuat.”

Adiwijaya tersenyum bangga.

“Jangan khawatir. Katakan bahwa Gusti Patih Adiwijaya yang menyuruh kalian datang. Kalian pasti akan cliterima sebagai anggota pasukan. Aku sekarang adalah Ki Patih Adiwijaya, patih dari Kerajaan Wilis yang jaya. Ingat, Ki Patih Adiwijaya, bukan lagi Patih Warutama. Mengerti?”

“Baik, Gusti Patih.”

Ki Jodi menjawab dan dengan girang ia menerima beberapa potong emas dari Adiwijaya.

Adiwijaya melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian tibalah ia di lereng gunung Arjuna. Karena hari telah menjelang senja dan ia merasa lelah dan lapar sekali, Adiwijaya berhenti mengaso di bawah sebatang pohon cemara, membuka bungkusan daun jati dan makan nasi bekalnya yang tadi ia beli di dalam dusun di kaki gunung.

Baru saja ia habis makan dan minum air yang memancur keluar dari celahan batu sambil mencuci tangan, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya bayangan orang. ia maklum bahwa ada orang sakti datang, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan melanjutkan mencuci tangan, akan tetapi diam-diam ia bersikap waspada.

“Wirrrr...!”

Adiwijaya miringkan kepala, tangan kirinya meraih dan sebatang tusuk konde cepat ia tangkap dari samping dengan jari tangannya. Ia menoleh ke arah datangnya senjata rahasia tusuk konde itu sambil berkata,

“Saya Adiwijaya bukanlah musuh, harap Andika sudi keluar dan bicara.”

“Ihhhh...!”

Terdengar seruan tertahan seorang wanita disusul jerit melengking yang agaknya menjadi tanda bahaya, kemudian dari balik semak-semak muncul keluar seorang wanita cantik manis dengan sinar mata genit dan pakaian tipis membayangkan tubuh yang ramping padat, berusia kurang lebih tiga puluh tahun.

Sekali pandang Adiwijaya dapat menduga bahwa wanita ini tentulah anak buah Ni Dewi Nilamanik, seorang penyembah Bathari Durgo. Cepat ia menjura dengan sikap hormat dan berkata,

“Saya bernama Adiwijaya dan datang dengan niat baik, harap Andika jangan lagi main-main dengan senjata yang bahaya ini. Kurasa tusuk konde ini lebih pantas untuk menghias rambut Andika yang hitam halus itu.”

Sambil berkata demikian, Adiwijaya menggerakkan tusuk konde di tangannya yang melesat cepat dan menancap di konde (sanggul) rambut wanita itu yang menjadi terkejut sekali.

“Apa niatmu datang ke tempat kami? Apakah Andika sudah bosan hidup?”

Wanita itu menatap wajah dan tubuh Adiwijaya dengan penuh selidik, juga merasa sayang kalau pria ini terbunuh. Biar pun sudah setengah tua, pria ini amat menarik, dan membayangkan kejantanan, di samping kedigdayaan yang sudah diperlihatkan tadi ketika menangkap senjata rahasianya dan mengembalikannya dengan cara mengagumkan.

“Saya datang untuk minta menghadap Sang Wasi Bagaspati, atau Ni Dewi Nilamanik. Bukankah Andika ini anak buah Ni Dewi Nilamanik?”

Kembali wanita itu kelihatan kaget dan tercengang. Baik Wasi Bagaspati maupun Ni Dewi Nilamanik berada di tempat itu secara sembunyi dan tempat ini dirahasiakan. Bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Akan tetapi sebelum is men jawab, terdengar suara halus seorang wanita,

“Ki Warutama, mau apa Andika datang ke sini?”

Adiwijaya membalikkan tubuh dan melihat Ni Dewi Nilamanik telah berdiri di situ dengan sikap angkuh. Wanita ini masih cantik menarik penuh daya pikat dan biar pun dahulu sudah beberapa kali wanita ini melayaninya sebagai seorang kekasih, namun kini bersikap angkuh dan dingin.

Di tangannya tampak pengebut lalat dari serat merah buntut kuda, kebutan yang mungkin lebih banyak mengebut melayang nyawa manusia dari pada nyawa lalat. Kagumlah Adiwijaya.

Benar-benar wanita ini selain sakti juga amat awas sehingga begitu bertemu telah mengenalnya.

“Ni Dewi Nilamanik, selamat berjumpa. Sungguh pertemuan ini amat membahagiakan hati saya karena membuktikan betapa perjalanan saya tidak sia-sia dan harapan saya untuk dapat menghadap Sang Wasi Bagaspati terpenuhi.”

“Hemm, tidak begitu mudah, Ki Warutama. Kecuali anggota kami, siapa pun juga yang sudah lancang naik ke sini tidak akan dapat turun lagi. Dan Andika bukanlah anggota kami. Apa kehendakmu?”

“Ahh, Ni Dewi. Tentu Andika mengerti bahwa kalau membawa niat buruk, saya tidak akan begitu lancang berani naik ke sini. Saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis, dan kedatangan saya ini sebagai utusan Kerajaan Wilis untuk menghadap Sang Wasi Bagaspati.”

Ni Dewi Nilamanik memandang tajam, menggerakgerakkan kedua alisnya. Diam-diam ia merasa kaget dan juga kagum. Benar-benar laki-laki ini amat cerdik. Baru saja terguling dari kedudukannya sebagai Patih Jenggala, kini telah muncul lagi sebagai patih Kerajaan Wilis dan mempunyai nama baru lagi, Ki Patih Adiwijaya! Benarbenar seorang laki-laki yang hebat!

“Ikutlah aku, akan tetapi aku tidak mau kau salahkan kalau nanti rakanda Wasi marah-marah dan membunuhmu!”

Tanpa menanti jawaban Ni Dewi Nilamanik mengebutkan kebutannya dan membalikkan tubuh, kemudian melesat ke depan, lari cepat mendaki puncak, Adiwijaya tersenyum dan mengerahkan aji kesaktianya mengejar.

Ia melihat betapa di balik semak-semak dan pohon-pohon kini telah berkumpul puluhan orang wanita cantik yang bersenjata lengkap. Tentu anak buah Ni Dewi Nilamanik yang berdatangan karena jerit melengking kawan mereka tadi.

Ah, memang hebat anak buah Kerajaan Cola di bawah pimpinan Sang Wasi Bagaspati ini, pikirnya. Kalau Retna Wilis dapat bersekutu dengan mereka, tentu bukanlah hal yang sukar lagi untuk menggempur dan menaklulckan Jenggala, bahkan Panjalu sekali pun.

Hanya seorang tokoh yang amat dikhawatirkan, yaitu Bagus Seta, putera Ki Patih Tejolaksono yang memiliki kesaktian luar biasa itu sehingga Sang Wasi Bagaspati sendiri kabarnya kalah oleh pemuda itu.

Diam-diam ia seringkali membandingkan Bagus Seta dan Retna Wilis dan bergidik. Retna Wilis puteri Ki Patih Tejolaksono! Entah bagaimana jadinya kelak kalau kakak beradik satu ayah lain ibu itu bertemu sebagai lawan!

Jalan mendaki puncak itu melalui tempat-tempat rahasia yang sukar dilalui, dan di dekat puncak menuruni sebuah jurang yang amat curam sehingga kalau orang luar takkan mungkin dapat mengira bahwa jurang seperti ini dijadikan markas sementara bagi Wasi Bagaspati dan anak buahnya.

Kiranya di dekat dasar jurang itu terdapat terowongan dan setelah melalui terowongan, mereka berada di dasar jurang lain yang tidak tampak dari atas, dasar yang rata dan amat luas.

Di tempat inilah Sang Wasi Bagaspati tinggal bersama Ni Dewi Nilamanik dan anak buahnya yang berjumlah hampir seratus orang wanita.

Di situ telah dibangun pondok-pondok bambu yang sederhana namun cukup besar dan biar pun tempatnya sederhana, karena dikelilingi puluhan orang wanita muda dan cantik, bagi seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahi merupakan surga dunia.

Pasukan yang menjaga pondok terbesar juga merupakan prajurit-prajurit wanita yang bersenjata lengkap, memegang tombak dan menyarungkan pedang. Mereka nampak cantik dan gagah, akan tetapi mereka semua memiliki pandang mata yang bersinar penuh kegenitan seperti yang terdapat pada pandang mata Ni Dewi Nilamanik.

Adiwijaya memasuki pondok itu di belakang Ni Dewi Nilamanik dan begitu ia berhadapan dengan Sang Wasi Bagaspati yang duduk bersama seorang kakek lain yang memandangnya penuh perhatian, dia merasa bulu tengkuknya meremang.

Selalu ia merasa ngeri kalau bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian merah darah, bertubuh tinggi kurus dan mukanya merah mengingatkan dia akan tokoh Raja Alengkapura, yaitu Maharaja Dasamuka dalam cerita Ramayana.

“Heh, Warutama, manusia yang berhati penuh khianat! Inginkah engkau mendapat kehormatan tewas di tanganku maka engkau berani datang ke sini?”

Wasi Bagaspati membentak dan Adiwijaya yang berdiri menunduk penuh hormat itu gemetar kedua kakinya. ia lalu memberi hormat dan duduk bersila di depan kakek itu.

“Duhai Sang Wasi yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Mohon ampun akan kebodohan saya, akan tetapi saya tidak merasa telah melakukan khianat,” bantah Adiwijaya, menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.

Ia mengingat akan junjungannya, Retna Wilis, dan seketika rasa gentarnya lenyap. Puteri junjungan nya itu tidak akan meninggalkannya, tidak akan membiarkannya diganggu, biar oleh seorang sakti seperti kakek ini sekali pun.

Dan dalam hal kesaktian, ia merasa yakin bahwa ratunya itu tidak akan kalah oleh kakek ini. Keyakinan ini menimbulkan ketabahan di hatinya, mengusir rasa takut sehingga ia dapat mempergunakan akal budi dan kecerdikannya.

“Heh, Warutama. Andika telah membunuh Suminten dan Pangeran Kukutan, masih mengatakan Andika tidak berkhianat? Andika melarikan diri meninggalkan sekutu, bukankah hal itu membuktikan hatimu yang khianat?”

Adiwijaya sudah menduga akan datangnya tuduhan itu, maka ia sudah siap dengan jawabannya yang keluar dengan suara tenang,

“Duh Sang Wasi yang mulia. Saya tidak berkhianat ketika membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para prajurit yang melarikan diri. Mereka berdualah yang berkhianat, karena bukankah kegagalan di Jenggala terjadi karena kebodohan dan kelancangan mereka berdua? Setelah gagal karena kecerobohan mereka, kedua orang manusia palsu itu melarikan diri. Saya muak melihat mereka maka saya membunuh Pangeran Kukutan dan menyerahkan Suminten kepada para prajurit yang melarikan diri. Kalau tidak karena kebodohan mereka, tentu saya masih menjadi patih di Jenggala dan usaha Sang Wasi yang dihimpun dan dipupuk secara susah payah tidak akan sirna begitu saja.”

Wasi Bagaspati mengelus rambutnya yang putih dan terurai ke pundak. Matanya tidak beringas lagi dan suaranya ketika bicara menunjukkan bahwa kemarahannya reda mendengar alasan Adiwijaya yang kuat.

“Engkau pandai bicara dan mungkin engkau benar. Kami pun tidak lagi membutuhkan mereka. Akan tetapi kami pun sama sekali tidak membutuhkan engkau, Warutama. Apa kehendakmu datang menghadap aku?”

Adiwijaya tersenyum tenang dan sabar.

“Tentu saja Sang Wasi tidak membutuhkan saya, dan kedatangan saya ini pun karena teringat akan budi Sang Wasi dan teringat bahwa kita dahulu pernah bekerja sama. Saya menyesal akan kegagalan kita yang disebabkan oleh kebodohan Pangeran Kukutan dan Suminten. Maka sekarang saya hendak memberi jalan kepada Sang Wasi untuk menebus kekalahan yang lalu, bersama menggempur dan menaklukkan Jenggala dan Panjalu.”

Terdengar suara menggereng seperti harimau dan tempat itu menjadi tergetar hebat. Adiwijaya terkejut sekali dan memandang kakek ke dua yang duduk di sebelah kiri Sang Wasi Bagaspati, yang mengeluarkan suara menggereng hebat, mengandung daya kekuatan dan wibawa ampuh itu.

“Hhrrrrrggg... Manusia yang begini mudah menggerakkan lidah mana dapat dipercaya? Kakang Wasi, biar kuganyang jantungnya!'

Melihat wajah Adiwijaya berubah pucat, Wasi Bagaspati mengangkat tangan mencegah kakek itu sambil berkata,

“Biarkan dia bicara lebih dulu.”

Kemudian ia menoleh kepada Adiwijaya,

“Warutama, kau bicaralah yang benar, kalau tidak, aku akan membiarkan adikku Wasi Bagaskolo mengganyang jantungmu. Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu tadi? Adikku ini benar kalau mengatakan bahwa engkau terlalu mudah menggoyang Iidah hendak menaklukkan Jenggala dan Panjalu.”

Hati yang kaget dan gentar dari Adiwijaya berubah girang ketika mendengar bahwa kakek yang hebat dan jelas memiliki kesaktian tinggi itu adalah adik Wasi Bagaspati. Cepat ia berkata,

“Saya tidak berani membohong atau menipu, Sang Wasi. Sekali ini kita pasti akan berhasil menghancurkan Jenggala. Hendaknya Sang Wasi mengetahui lebih dulu bahwa saya sekarang telah menjadi Ki Patih Adiwijaya dari Kerajaan Wilis.”

“Hemmm...!”

Sungguh pun Wasi Bagaspati hanya mengeluarkan suara menggeram, akan tetapi seperti juga Ni Dewi Nilamanik, ia menjadi kagum akan kecerdikan laki-laki ini

“Aku sudah mendengar akan Kerajaan Wilis yang baru berdiri dan sudah banyak menaklukkan kadipaten. Lalu bagaimana?”

“Saya sengaja datang menghadap sebagai utusan junjungan saya, Sang Ratu Wilis, untuk mengajak Sang Wasi bersama-sama menyerbu Jenggala dan Panjalu.”

“Ha-ha-ha-ha! Andika benar-benar seorang yang amat cerdik, Warutama... eh, siapa nama barumu tadi? Ki Patih Adiwijaya? Akan tetapi kecerdikanmu tidak cukup besar untuk mudah saja membujuk kami, Ki Patih Adiwijaya! Apa artinya sebuah kerajaan kecil seperti Wilis yang baru saja muncul?”

“Harap Sang Wasi tidak memandang rendah Kerajaan Wilis. Kadipaten Ponorogo dalam waktu singkat dan dengan mudah saja dapat kami taklukkan dan kini Kerajaan Wilis telah mempunyai pasukan yang tidak kurang dari dua laksa orang besarnya, semua merupakan pasukan pilihan. Selain itu, junjungan saya, Sang Ratu Wlilis memiliki aji kesaktian yang amat hebat!”

“Hemm, masih belum meyakinkan akan dapat menghadapi Jenggala,” kata Wasi Bagaspati yang termenung kalau teringat akan kesaktian Bagus Seta. Dia sengaja mendatangkan adik seperguruannya, Wasi Bagaskolo, dari Kerajaan Cola untuk membantunya karena dari pihak Biku Janapati tidak ada bantuan. Namun dia masih ragu-ragu apakah kedudukannya cukup kuat untuk menyerbu Jenggala.

“Siapa nama ratumu dan berapa usianya?”

Dengan bangga lahir batin Adiwijaya menjawab,

“Ratu kami bernama Retna Wilis, masih dara remaja, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun.”

“Weh! Bedes monyet keparat!”

Wasi Bagaskolo meloncat dari tempat duduknya dan membanting kaki kanannya di atas tanah. Tubuh Adiwijaya sampai hampir mencelat ke atas karena tanah itu tergetar hebat.

“Bocah perempuan cilik, perawan berusia delapan belas tahun kau pamerkan di sini? Kau hendak menghina kami, ya?”

Adiwijaya mengangkat kedua tangan, digerak-gerakkan sebagai tanda bahwa dia tidak menghina, di dalam hatinya memaki-maki kakek yang amat galak ini.

“Sama sekali tidak, Sang Wasi. Hendaknya diingat bahwa Bagus Seta yang amat sakti mandraguna itu pun masih muda remaja. Dan Gusti Ratu Retna Wilis adalah adik seayah Bagus Seta.”

“Apa...? Benarkah itu...?” Wasi Bagaspati bertanya kaget.

“Benar Sang Wasi. Gusti Ratu Wilis adalah puteri Ki Patih Tejolaksono dan Puteri Endang Patibroto, bahkan beliau adalah murid tunggal Nini Bumigarba.”

“Ooommmm... Sang Hyang Bathara Shiwa penguasa jagad raya...!”

Wasi Bagaskolo berseru, mukanya berubah dan kini dia tidak berani lagi memandang rendah “perawan remaja” itu setelah ia mendengar bahwa Ratu Wilis yang masih muda remaja itu adalah murid Nini Bumigarba.

Wasi Bagaspati membelalakkan mata dan hatinya tertarik sekali.

“Hemm, jadi diakah? Akan tetapi dia adalah puteri Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bagaimana mungkin bekerja sama dengan kami?”

“Biar pun puteri mereka, namun pendirian orang tua dan puteri tidaklah sama.” Adiwijaya lalu menceritakan halihwal Retna Wilis, betapa ratu muda itu telah menentang ibunya sendiri dan bertekad untuk menaklukkan Jenggala dan Panjalu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar