Perawan Lembah Wilis Jilid 70

Ia merasa bahwa lebih baik mati dari pada hidup menanggung siksa batin yang hebat. Isterinya, Setyaningsih yang sangat dicintanya, sudah berjina dengan Joko Pramono! Ia terlalu mencinta isterinya dan setelah kini ia renungkan, ia rela mengalah, ia rela tersiksa asal isterinya berbahagia. Kalau isterinya menemukan kebahagiaan dengan Joko Pramono, biarlah ia yang mundur dan jalan terbaik untuk mundur mengalah adalah mati!

Kalau ia mati, berarti tidak akan ada kesukaran dan halangan lagi bagi Setyaningsih untuk melanjutkan hasrat hatinya berlangen-asmoro (bermain cinta) dengan Joko Pramono dan dia pun tidak akan menderita batin lagi karena kematian akan membebaskannya dari segala derita. Akan tetapi, sebagai seorang satria, tentu saja la tidak boleh mati begitu saja. Masih banyak sekali tugas menanti, terutama sekali menyelamatkan ramandanya dan Kerajaan Jenggala dari cengkeraman oknum-oknum jahat.

“Duhai Adinda Setyaningsih, betapa tega hatimu...”

Ia mengeluh panjang dan pada saat itu masuklah sesosok bayangan melalui pintu yang dikunci dari luar. Di dalam kamar itu mulai gelap karena Pangeran Panji Sigit tidak menyalakan lampu, sedangkan senja telah mendatang. Maka ia menjadi kaget ketika kamar itu tiba-tiba menjadi terang oleh lampu yang dibawa masuk orang. Ia cepat menengok dan kembali ia membuang muka ketika melihat bahwa yang datang adalah Suminten!

Malam itu Suminten berusaha benar-benar untuk mengambil hati Pangeran Panji Sigit. Ia bersolek dengan teliti dan pada saat itu ia tampak amat cantik. Kulitnya yang halus hitam manis itu kelihatan seperti keemasan, halus lembut dan seolah-olah kehangatan terpancar keluar dari balik kulit itu.

Ketika ia melangkah masuk, kamar itu serta merta penuh dengan keharuman yang amat sedap dan seolah-olah segala macam bunga yang harum dikumpulkan dan sarinya berada di tubuh wanita ini.

Rambutnya yang hitam panjang dan halus mengkilap itu disisir rapi, sebagian disanggul dan dihias pengikat rambut dari emas bertabur batu permata, ujung rambut masih terurai panjang sampai ke pinggulnya.

Sepasang telinganya hinggap di belakang rambut pelipis bagaikan sepasang kupu-kupu menghisap madu bunga, menjadi lebih manis lagi karena dihias antinganting panjang terbuat dari mutiara yang diuntai seperti embun berantai tergantung di ujung daun.

Alisnya amat hitam, menjerit bukan dibuat, memang sudah sewajarnya rambut alis itu tumbuh amat rapi melindungi sepasang matanya yang seolah-olah selalu mengeluarkan api gairah asmara yang membakar.

Sepasang mata dengan bulu mata lentik panjang, yang selalu agak meredup, apa lagi di saat itu, di waktu hatinya bergelora oleh asmara, mata itu kelihatan seperti mata yang mengantuk dan justeru keredupan matanya inilah yang menambah daya tariknya yang luar biasa.

Hidung kecil mancung itu amat bagus bentuknya, akan tetapi bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan mulut di bawahnya. Memang keistimewaan Suminten, di samping seluruh bagian tubuhnya yang menarik, terutama sekali terletak pada mata dan mulutnya.

Mata dan mulutnya itu merupakan sumber-sumber yang penuh api membara, api yang dapat membakar nafsu berahi setiap orang pria. Mata dan mulut yang indah bentuknya dan membayangkan ketelanjangan yang menantang!

Suminten menghampiri Pangeran Panji Sigit yang membuang muka. Ketika melangkah maju, pinggulnya yang ramping seperti patah-patah dan pinggulnya yang menonjol keras mengimbangi dadanya itu bergerak-gerak.

“Duh Pangeran...”

Suminten merapatkan tubuhnya,sengaja menekankan dadanya yang membusung itu ke pangkal lengan Pangeran Panji Sigit suaranya menggetar ketika memanggil napasnya agak terengah karena begitu menyentuh pangeran itu, darahnya telah mendidih, nafasnya menggelora menuntut pelepasan. Tangan kirinya merangkul pundak, tangan kanannya menggerayang dada pangeran muda itu.

“Duh Pangeran, mengapa begin jadinya...?”

Suminten mengeluh lagi dan sekali ini dia tidak berpura-pura, bukannya merayu sembarang merayu, melainkan secara sungguh-sungguh karena dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini. Dua titik air mata yang mengalir di atas pipinya bukanlah air mata palsu, melainkan timbul dari hatinya yang merasa nelangsa mengapa pemuda ini tidak mau menyambut cinta kasihnya, bahkan rela menjadi tawanan dan rela pula menghadapi maut.

Tanpa menoleh, Pangeran Panji Sigit berkata kasar,

“Mau apa engkau, wanita iblis? Pergilah, aku sudah tertawan, mau bunuh atau mau siksa, terserah. Aku tidak takut mati!”

“Pangeran Panji Sigit, butakah engkau, wahai pria pujaan hamba? tidak tahukah atau memang pura-pura tidak tahu betapa Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya? Aduh Pangeran, sungguh, aku akan mempertaruhkan nyawaku untukmu! Tunjukkanlah bahwa engkau seorang pria yang suka kepadaku, akan membalas cinta kasihku, dan, percayalah, aku dapat membuat engkau menjadi Putera Mahkota Kerajaan Jenggala! Kelak, kalau engkau sudah menjadi Raja Jenggala, aku Suminten akan cukup puas kalau engkau tidak melepaskanku, akan selalu mendampingiku, menguburku dengan timbunan cinta kasihmu, sayang...”

Pangeran Panji Sigit adalah seorang manusia biasa, seorang pria yang masih muda.

Menghadapi cumbu rayu seorang wanita muda cantik jelita seperti Suminten ini benar-benar terasa amat berat baginya untuk mempertahankan hatinya. Ia merasa betapa daging lembut mendekap di bahunya, merasa betapa jantung di balik dada itu berdenyar-denyar penuh hembusan nafsu berahi, mendengar getaran penuh kemesraan dalam suara yang berbisik-bisik itu, merasa hembusan napas yang hangat dari mulut yang merah menantang, merasa betapa jari-jari tangan yang membelai dada dan lehernya mengeluarkan getaran-getaran yang membuat dia merinding.

Dapatkah kita menyalahkan Pangeran Panji Sigit kalau jantungnya sendiri mulai berdebar? Apa lagi mendengar bujukan yang amat muluk itu. Dia akan dijadikan putera mahkota, calon pengganti ramandanya! Akan tetapi, ia mengingat akan kekejian wanita ini dan tanpa menoleh ia membentak,

“Tak perlu membujukku, pergilah kau wanita berhati palsu!”

“Aduh, Pangeran Panji Sigit. Tak dapatkah engkau membedakah antara cinta sejati dan cinta palsu? Pangeran, kalau memang cintaku palsu, tentu aku tidak berani datang mengunjungimu di saat ini. Engkau dan aku tahu bahwa kalau engkau kehendaki, dengan mudah engkau akan dapat membunuhku di saat ini tanpa ada yang dapat menolongnya. Akan tetapi aku tidak peduli.. Bunuhlah kalau kau mau membunuhku; karena kalau engkau menolak cintaku, berarti engkau sudah setengah membunuhku! Duh Pangeran, dari debar jantungmu, aku tahu bahwa engkau bukan, seorang pria berdarah dingin. Aku tahu bahwa di sudut hatimu, engkau juga mencinta Suminten...”

“Tidak pergilah...!”

Akan tetapi Suminten telah merasa betapa di balik kulit dada bidang yang dibelai ujung jari tangannya itu berdebar, betapa rongga dada itu bergelora, kulitnya menjadi panas, urat-urat di leher pangeran itu menjadi berdenyut-denyut, mukanya kemerahan dan pandang matanya merenung, nafasnya memburu.

Semua ini menjadi tanda akan bangkitnya nafsu berahi yang menjalar dari tubuhnya kepada pangeran itu. Melihat tanda-tanda yang amat dikenalnya ini, Suminten tersenyum dan cepat ia menarik leher pangeran itu dengan kedua lengannya yang bulat panjang, seperti dua ekor ular lengannya. membelit leher, bergantung sehingga muka pangeran itu menunduk dan dengan sepenuh cinta kasih dan kemesraannya, Suminten mencium bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.

Begitu mesra belaian dan ciuman wanita ini sehingga pangeran muda itu kehilangan akal dan kesadaran, himpir secara otomatis Pangeran Panji Sigit membalas ciuman itu dengan napas terengah karena dorongan nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Suminten yang amat pandai merayu.

Pada saat mulut mereka berciuman, Suminten tak dapat menahan hatinya, sehingga naiklah gelak tawa dari dalam dadanya yang tertahan di mulut yang sedang berciuman.

Suara ini, suara gelak...tertahan ini, memasuki telinga Pangeran Panji seperti suara ketawa iblis sendiri..yang mengejek dan menyorakinya. Jiwa satria dalam diri Pangeran Panji Sigit meronta mendengar ini, kesadarannya kembali dan ia cepat merenggut mukanya dari pagutan wanita itu, dari ciuman yang seperti gigitan seekor lintah.

Kemudian, terbawa oleh rasa sesal mengapa ia tadi melayani belaian dan cumbuan Suminten, Pangeran Panji Sigit menggerakkan tangan kanannya menampar pipi yang halus, harum dan hangat itu.

“Plakkk...!”

Tamparan itu keras sekali dan tubuh Suminten terpelanting lalu roboh terguling di atas lantai.

Wanita itu menjerit kecil, kini bangkit dengan muka merah dan pipi sebelah kirinya membiru. Ia mengelus pipi kirinya dengan tangan kiri, menengadah memandang pangeran itu dan... tersenyum!

“Pangeran, tamparan keras itu tidak dapat menghapus kebahagiaan hatiku telah merasai belaianmu tadi. Pangeran, marilah... marilah ke sini... kita saling mencinta, tidak perlu disangkal lagi mari bersama Suminten, Pangeran Kemudian, engkau akan membunuhku, atau akan lebih suka menjadi calon raja, terserah kepadamu... aku siap menyerahkan jiwa dan ragaku kepadamu, Pangeran...”

Pangeran Panji Sigit terbelalak memandang wanita yang, setengah rebah di atas lantai itu. Ketika terguling tadi, rambut Suminten terlepas sanggulnya dan terurai kacau, kembennya. merosot dan kainnya tersingkap sampai ke paha.

Tubuh yang ramping padat itu meliuk-liuk, seperti seekor ular kepanasan, penuh daya memikat sehingga ada dorongan hasrat di hati Pangeran Panji Sigit untuk melompat, menerkam wanita itu dan melahap hidangan yang disediakan untuknya dengan kerelaan yang menggila, bahkan hampir mengharukan! Wanita ini, betapa pun jahat dan kejinya, benar-benar mencintanya, bukan hanya cinta nafsu, melainkan cinta tulus ikhlas yang aneh, cinta yang didasari kesiapan untuk berkorban apa juga.

Akan tetapi saat itu Pangeran Panji Sigit sudah sadar betul sehingga semua dorongan nafsu berahi telah dapat ia tolak dan lenyapkan. Ia memandang dan sinar matanya menjadi dingin sekali. Wanita ini telah mencelakakan ramandanya, telah mencelakakan kerajaan, telah melakukan banyak kekejaman, menyebabkan terbasminya keluarga Ki Patih Brotomenggala, menyebabkan sengsaranya permaisuri dan banyak orang tak berdosa menerima hukuman bahkan banyak pula yang ditewaskan.

Biar pun dari luar kelihatan seperti seorang wanita yang amat cantik dan gerak-geriknya selalu membetot semangat dan cinta kasih pria, namun sesunggahnya iblis sendiri yang bersembunyi di balik segala keindahan tubuh wanita ini.

“Suminten, tidak ada gunanya lagi membujuk. Aku tidak akan terpikat olehmu karena aku merasa yakin bahwa engkau sesungguhnya adalah seekor ular beracun, seorang wanita yang menjadi alat Iblis untuk menggoda dan menyeret manusia ke lembah kehinaan. Aku tidak mau membunuhmu karena engkau adalah selir kanjeng rama, akan tetapi aku pun tidak akan sudi lagi menjamahmu apa lagi mencintamu karena setiap sentuhan akan mendatangkan dosa dan noda bagiku. Jiwamu rendah sehingga tubuhmu menjadi kotor menjijikkan, lebih baik seribu kali mati dari pada menuruti cinta kasihmu yang hina dan rendah!”

Wajah Suminten menjadi pucat. Setelah kini yakin bahwa cinta kasihnya tidak akan terbalas pemuda yang dipujanya dan dicintanya ini, hatinya seperti disayat-sayat pisau dan terasa perih sekali. Sakit hati menimbulkan kebencian dan dendam.

Bagi seorang seperti Suminten, mudah saja merubah cinta kasih berkobar menjadi benci yang mendalam. Ia bangkit, membenarkan sanggulnya, merapikan pakaiannya, sikapnya juga dingin sekali. Sejenak is berdiri tegak memandang wajah pangeran itu, menahan isak dengan napas dihela panjang, kemudian berbalik yang terdengar seperti desis seekor ular,

“Aku bisa mencinta bisa pula membenci, bisa mendatangkan nikmat bisa pula mendatangkan derita! Kaukira dapat menentang kehendakku? Kita sama lihat saja, akan datang saatnya engkau bertekuk lutut di depanku, meratap mohon kasihan kepadaku!”

Setelah berkata demikian, Suminten keluar dari kamar tahanan itu. Pangeran Panji Sigit sejenak termenung, kemudian menghela napas dan duduk di atas pembaringan. Ia mendengar suara Suminten di luar kamar, agaknya bercakap-cakap dengan penjaga. Namun dia tidak peduli.

“Akan tetapi, dua orang muda itu, Pusporini dan Joko Pramono, memiliki kesaktian yang luar biasa!” kata Ki Patih Warutama sambil mengerutkan keningnya yang tebal.

Mereka sedang berunding. Ki Patih Warutama, Suminten yang duduk di kursi paling tinggi dengan sikap seperti seorang ratu, Pangeran Kukutan dan di situ menghadap,pula Cekel Wisangkoro dan dua orang tokoh sakti lainnya yang sudah kita kenal yaitu Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro.

Biar pun tidak atau belum berani berkunjung ke Jenggala secara berterang, namun kini tokoh-tokoh anak buah Wasi Bagaspati dan Biku Janapati sudah seringkali secara diam-diam, berkunjung ke Jenggala, bahkan telah diterima, sebagai sekutu oleh Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama yang merupakan tiga serangkai yang pada saat itu memegang kendali Kerajaan Jenggala.

“Ha-ha-ha, hanya dua orang bocah, mengapa begitu dikhawatirkan? Serahkan saja kepada Ki Kolohangkoro, akan kutangkap mereka berdua dengan sebelah tanganku!” kata Ki Kolohangkoro yang sudah biasa menyombongkan diri dan bersikap kasar kepada slapa pun juga.

“Boleh jadi Ki Kolohangkoro agak sombong, akan tetapi kurasa, kalau hanya dua orang pemuda itu saja, tentu dia dapat mengalahkannya. Andai kata masih terlalu berat baginya, di sini ada aku dan ada pula Kakang Cekel Wisangkoro. Selain itu di sini banyak terdapat pengawalpengawal yang cukup kuat, mengapa khawatir?” kata Ni Dewi Nilamanik sambil mengerling tajam ke arah Ki Patih Warutama yang tampan dan gagah itu.

Ki patih yang gagah itu sekali ini tidak melayani lirikan wanita cantik yang mengandung tantangan bagi kejantanannya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata,

“Saya sama sekali tidak hendak merendahkan kesaktian andika bertiga yang sudah saya ketahui dengan baik. Akan tetapi, saya telah menyaksikan pula malam tadi ketika Pusporini dan Joko Pramono dikeroyok oleh barisan pengawal pilihan. Sepak terjang mereka hebat bukan main dan...dan agaknya... saya sendiri belum tentu dapat menandingi mereka. Memang kalau andika bertiga yang maju, saya tidak perlu khawatir lagi, hanya... ah, andai kata kami bisa mendapat kunjungan Paman Wasi Bagaspati sendiri atau Paman Biku Janapati, barulah hati saya akan menjadi lega karena yakin bahwa hanya beliaubeliau itulah yang akan dapat menundukkan mereka berdua tanpa ragu lagi.”

Ni Dewi Nilamanik juga mengerutkan alisnya yang menjelirit hitam akan tetapi bukan sewajamya melainkan buatan, kemudian is berkata penuh penasaran,

“Mengapa Ki Patih demikian berkecil hati? Sesungguhnya, kalau saya tidak salah ingat, saya dan Ki Kolohangkoro pernah menghadapi dua orang muda yang bernama Joko Pramono dan Pusporini itu, dan kami pernah menawan mereka dengan amat mudah!”

Ki Patih Warutama mengangkat mukanya memandang dan tercengang.

“Benarkah itu?. Ah, kalau memang sudah terbukti andika dapat mengalahkannya, itulah baik sekali!”

Ki Kolohangkoro yang ingatannya tidak setajam ingatan Ni Dewi Nilamanik, dengan wajah bodoh bertanya,

“Bunda Dewi, yang manakah mereka itu?”

“Ihh, apakah andika tidak ingat lagi?”

Ni Dewi Nilamanik mencela. Biar pun usia Ki Kolohangkoro lebih tua dari Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi ia selalu menyebut wanita cantik genit itu “Ibunda Dewi”, hal ini adalah karena pertama, Ni Dewi Nilamanik adalah kekasih Wasi Bagaspati, dan kedua karena Ki Kolohangkoro menganggap diri sendiri sebagai penitisan Sang Bathara Kala sedangkan Ni Dewi Nilamanik dianggap sebagai penitisan Sang Bathari Durgo, maka ia menyebutnya Ibunda Dewi.

Raksasa yang menyeramkan itu menggeleng kepalanya sehingga rambutnya yang panjang dan gimbal bergoyang-goyang.

“Sudah terlalu banyak orang muda kita tangkap, mana bisa saya Mengingat mereka satu-satu?”

“Hemm, ingatkah engkau akan pertemuan kita dengan paman guruku, Paman Resi Mahesapati di dalam hutan itu?”

Raksasa itu membelalakkan matanya yang sudah lebar, lalu menyambar cawan berisi minuman tuwak yang disediakan untuknya, menggelogok isinya sampai kosong, kemudian berkata,

“Ibunda maksudkan kakek jambel yang membawa batok kelapa dan sapu lidi itu? Ihhh, tentu saja aku masih ingat!”

Raksasa itu menggerakkan pundaknya seperti orang kedinginan karena ia merasa serem kalau teringat akan kakek itu.

“Nah, waktu itulah kita menawan Joko Pramono dan Pusporini yang terpaksa kita tinggalkan karena pertemuan kita dengan paman guru itu.”

“Oh-oh, ha-ha-ha! Mereka itu? Ah, mereka hanyalah bocah-bocah yang rupawan saja, biarlah kalau mereka datang, akan kutangkap mereka!”

Ki Patih Warutama memandang Ni Dewi Nilamanik dengan pandang mata penuh selidik.

“Jadi ketika itu mereka ditolong oleh paman guru andika yang bernama Resi Mahesapati? Apakah paman guru andika itu sakti mandraguna?”

“Paman guru Mahesapati? Ihh, mengerikan sekali! Kesaktiannya seperti dewa! Kiranya setingkat dengan kesaktian Sang Wasi Bagaspati sendiri!” jawab wanita itu.

Ki Patih Warutama mengangguk-angguk. Dia sudah menyaksikan kehebatan sepak terjang dua orang muda itu dan dalam urusan ini dia tidak mau bersikap sembrono seperti Ki Kolohangkoro yang memandang rendah semua urusan.

“Kalau begitu, siapa tahu kalau mereka lalu menjadi murid kakek sakti itu,”

“Aihhh... Kalau begitu... memang mengkhawatirkan!”

Ni Dewi Nilamanik berkata dan ketika mendengar kemungkinan dua orang muda itu menjadi murid Resi Mahesapati yang amat ditakutinya, Ki Kolohangkoro juga diam saja, tidak lagi berani membual.

Suminten yang tidak mengerti tentang kesaktian dan yang sejak tadi diam saja mendengarkan para pembantunya berunding, tiba-tiba membuka mulut berkata,

“Mengadu kesaktian saja memang meragukan, akan tetapi jika menggunakan siasat kurasa tidak akan sukar menjatuhkan mereka, betapa pun sakti mereka itu.”

Semua mata memandang dan dalam pandang mata Ni Dewi Nilamanik terbayang kekaguman.

Wanita ini sudah cukup berpengalaman, sudah banyak bertemu dengan pria atau wanita yang bagaimana pun. Akan tetapi barn sekali ini ia kagum melihat seorang wanita muda yang lemah tiada kesaktian namun dapat mengangkat dirinya secara sedemikian hebatnya, dari seorang abdi sampai menjadi orang yang paling berkuasa di Kerajaan Jenggala! Kini, wanita muda ini sengaja mengumpulkan mereka untuk berunding menghadapi dua orang muda yang sakti degan sikap sedemikian dingin, penuh perhitungan, dan matang! Dibandingkan dengan kematangan wanita muda ini, akal dan pikiran seorang kakek seperti Ki Kolohangkoro tiada bedanya dengan seorang bocah saja!

Suminten sengaja memanggil para pembantunya, langsung setelah ia keluar dari kamar tahanan, setelah gagal ia merayu Pangeran Panji Sigit. Kini, mendengar betapa orang-orang sakti ini seperti kehilangan akal mendengar kemungkinan bahwa dua orang muda lawan mereka itu benar-benar amat sakti dan murid Resi Mahesapati, dia menjadi hilang sabar.

“Kalau mereka datang, dan hal ini aku yakin pasti akan terjadi, mereka itu tentu bermaksud untuk membebaskan Pangeran Panji Sigit. Karena itu, kita bahkan sebaiknya menggunakan pangeran itu sebagal umpan. Di dalam penjara istana terdapat banyak alat-alat rahasia. Kalau kita tempatkan pangeran itu di dalam kamar yang sudah dipasangi perangkap, dan mereka datang, tentu akan mudah kita menangkap mereka tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kerepotan lagi. Ada aku mendengar tentang kamar tahanan yang lantainya dapat menjebloskan penginjaknya ke dalam lubang di bawah tanah yang terbuat dari-pada baja, tanpa pintu dan jendela. Kalau kita menggunakan kamar itu...”

“Sayang hal itu tak mungkin dapat dilakukan karena adinda... eh, si bedebah Panji Sigit itu pun tahu akan rahasia kamar tahanan itu sehingga kalau para temannya datang, dia tentu akan dapat dia tentu akan memperingatkan mereka,” Pangeran Kukutan mencela.

Suminten tersenyum mentertawakan pendapat Pangeran Kukutan ini. Ketika ia tersenyum dan giginya yang putih mengkilat terkena cahaya lampu, semua yang hadir di situ memandang kagum.

Dalam senyum ini terkandung segala yang mengagumkan dari diri atau pribadi Suminten karena senyum ini membayangkan kecerdikan yang mengerikan di samping kekejaman, keberanian dan ketenangan yang tersembunyi di balik kecantikan dan kemanisan yang mempesonakan.

“Ah, Pangeran, mengapa kekurangan akal? Apa sukarnya membuat Pangeran Panji Sigit pingsan? Dalam keadaan pingsan dia dibaringkan dalam kamar itu bukankah itu merupakan umpan yang amat baik? Setelah mereka terjeblos ke dalam lubang jebakan, terkutung dalam ruangan di bawah tanah itu, tinggal terserah kepada kita tentang nasib mereka.”

“Akan kuhujani anak panah! Eh, tidak, akan kusuruh kumpulkan seratus ekor ular berbisa dan kumasukkan ularular itu ke dalam ruangan di bawah itu!”

Pangeran Kukutan berkata dengan geram.

Suminten menarik napas panjang.

“Hemm, amat tidak baik menurutkan hati panas. Hati boleh saja panas membara, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar kita dapat menggunakan kepala untuk menciptakan buah pikiran yang tepat. Mereka itu adalah orang-orang muda yang amat berguna karena memiliki kesaktian, di samping itu, Pangeran Panji Sigit adalah seorang putera terkasih sang prabu, Setyaningsih dan Pusporini adalah adik-adik Endang Patibroto yang menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono di Panjalu. Tidak baik kalau membunuh mereka begitu saja karena mereka itu adalah orang-orang yang berharga, orang-orang yang penting dan masih banyak kegunaannya bagi kita. Membunuh mereka begitu saja berarti menyia-nyiakan kegunaan mereka. Kita laksanakan lebih dulu pancingan sampai berhasil, setelah mereka berhasil terjebak barn dicari jalan yang tepat...”

“Saya amat kagum dan setuju dengan siasat itu. Harap paduka jangan khawatir, kalau mereka telah terjebak, saya mempunyai asap beracun untuk membuat mereka tak berdaya sehingga mudah ditawan,” kata Ni Dewi Nilamanik.

Demikianlah, dengan rencana yang dikemukakan Suminten sebagai dasar, mereka dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan siasat itu. Mudah saja bagi Ni Dewi Nilamanik untuk membikin pingsan Pangeran Panji Sigit yang selain kalah jauh kedigdayaannya, juga sudah tertawan dan dibelenggu sehingga tidak dapat melawan ketika asap beracun memabukkan disemprotkan ke mukanya.

Pangeran ini roboh pingsan seperti orang tertidur dan sama sekali tidak tahu bahwa dia digotong ke dalam sebuah kamar tahanan, dibaringkan di atas sebuah pembaringan batu.

Seperti telah dituturkan di bagian depan, malam hari itu juga, setelah berunding dan mendapat petunjuk-petunjuk dari Ki Wiraman, tiga orang muda perkasa, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono, menyelundup memasuki kota raja dengan niat menyerbu istana dan menolong Pangeran Panji Sigit yang masih tertinggal di istana.

Malam itu gelap karena udara tertutup mendung. Tiga bayangan berkelebat gesit sekali, berhasil meloncati pagar tembok istana dan bagaikan tiga ekor burung saja, Joko Pramono, Pusporini, dan Setyaningsih sudah melayang turun ke dalam taman istana yang paling ujung. Mereka itu sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedatagan mereka memang sudah diduga, bahkan telah direncanakan secara matang untuk menyambut mereka!

Joko Pramono selalu bergerak di sebelah depan sebagai pelopor.

Setyaningsih di tengah karena kalau dibuat perbandingan, di antara mereka bertiga, Setyaningsih yang paling lemah. Pusporini berada di belakang menjaga bahaya tiba-tiba. Mereka berindap-indap bergerak maju, menuju ke gedung tamu di mana Pangeran Panji Sigit selama ini tinggal bersama isterinya.

Joko Pramono yang dapat bergerak seperti angin saja tanpa mengeluarkan suara telah mengintai jendela pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit, lalu menoleh dan memberi isyarat kepada Setyaningsih dan Pusporini agar jangan berisik.

Mereka bertiga lalu berindap mengintai sinar jendela.Ternyata pondok yang tadinya menjadi tempat tinggal Pangeran Panji Sigit dan isterinya itu kini ditempati oleh Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Cekel Wisangkoro!

Tiga orang sakti itu sedang duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap dengan asyiknya.

Agaknya mereka itu sudah setengah mabuk karena di atas meja tersedia banyak minuman keras dan percakapan mereka sudah tidak karuan, tidak sopan sehingga Setyaningsih dan Pusporihiyang mendengarnya menjadi tersipu-sipu, merah mukanya dan gemas.

“Ha-ha-ha, lbunda Dewi. Kalau ingin mencari kepuasan malam ini, marilah kulayani! Jarang sekali Ibunda mengajak aku, dan aku tanggung Ibunda. Dewi akan puas sekali!” kata Ki Kolohangkoro.

“Heh-heh, jangan percaya dia, Ni Dewi! Biar pun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi hal ini bukan kesenangannya, mana bisa dia memberi kepuasan? Kesenangannya hanya makan bocah. Mari kulayani engkau, Ni Dewi. Aku peranakan Hindu aseli, dalam hal itu tidak kalah oleh guruku, Bapa Wasi sendiri, heh-heh!” kata Cekel Wisangkoro.

“Hushh, kalian jangan ribut-ribut. Bukan waktunya bersenang-senang. Bukankah kita ditugaskan menjaga datangnya musuh-musuh yang akan menolong Pangeran. Panji Sigit?”

Tiga orang muda di luar jendela yang tadinya merasa muak dan hendak pergi, kini mendengarkan dengan jantung berdebar.

“Aha! Panji Sigit sudah dikurung dalam kamar tahanan batu di ujung barat; selain terjaga kuat juga sudah kita pasangi alat-alat sehingga setiap usaha untuk menolongnya berarti malah membunuhnya. Perlu apa khawatir?” kata Ki Kolohangkoro dengan suara keras.

“Andai kata dapat membebaskannya, tak mungkin akan dapat lobos dari pengejaran kita. Hayolah, Ni Dewi, kaulayani aku... sudah tiga tahun aku tidak pernah berdekatan dengan wanita...“ kata pula Cekel Wisangkoro.

Tiga orang muda perkasa itu tidak mau mendengarkan lagi bahkan Joko Pramono sudah bergerak pergi meninggaikan pondok itu dibayangi oleh Setyaningsih dan Pusporini. Untung mereka mendengar percakapan itu sehingga mereka tidak perlu lagi mencari-cari.

Pangeran Panji Sigit ditahan dalam kamar tahanan batu di ujung barat! Selama mereka berada di istana, mereka sudah melakukan penyelidikan, akan tetapi mereka hanya tahu akan letak perumahan yang disediakan untuk tahanan rahasia di lingkungari istana. Mereka tidak mungkin menyelidiki keadaan kamar-kamar tahanan itu satu demi satu, akan tetapi mereka tahu di mana letaknya kamar tahanan batu di ujung barat.

Malam sudah larut sekali, keadaan, sudah sunyi tanda bahwa semua penghuni istana sudah tidur. Hanya sekali dua terdengar suara penjaga malam yang meronda. Joko Pramono dan Pusporini, dibantu pula oleh Setyaningsih, bersedakep di luar bangunan tahanan di ujung barat, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji penyirepan. Dalam waktu yang tidak lama, keadaan di situ menjadi makin sunyi karena belasan orang penjaga yang bertugas menjaga di luar bangunan itu telah jatuh pulas semua, terpengaruh oleh aji panyirepan yang amat kuat.

Tiga orang muda perkasa itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa aji panyirepan mereka tidak dapat mempengaruhi beberapa orang yang memang sudah bersiap-siap sebelumnya, tiga orang saki yang bukan lain adalah mereka yang tadi bercakap-cakap di dalam pondok tempat tinggal Pangeran Panji Sigit!

Mereka ini, Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro, telah lebih dulu memasang aji penolak sirep dan merekalah yang menjaga kamar tahanan siap untuk menggerakkan alat rahasia yang terpasang di lantai kamar.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar