Perawan Lembah Wilis Jilid 23

Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak pernah tersenyum, juga tidak tampak marah.

Wajah keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa.

Melihat ini semua,Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi mudah dikuasai perasaan.

Maka iapun tidak mau lagi banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja bertanya,

“Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!”

“Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin mengenalku? Aku adalah Cekel Wisang koro, abdi dan murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati! Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang wasi.”

Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah kelanjutan dari pada munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu.

Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.

“Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?”

Kembali Cekel Wisangkoro tertawa.

“Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua prajuritmu. Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami? Kami memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud baik, akan tetapi para prajuritmu menyerang kami.. Sungguh pun demikian, kami masih menaruh kasihan dan tidak membunuh seorang pun, hanya merobohkan karena kami harus membela diri, bukan? Hal itu saja sudah Membukti kan bahwa kami datang dengan maksud baik!”

Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep dan semua prajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya babak-belur dan patah tulang saja.

“Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro,sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan kausampaikan kepadaku?”

“Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecahbelah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami datang untuk membebaskan rakyat dari pada kesengsaraan. Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu...!”

“Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?”

Adipati Tejolaksono memotong dengan suara marah.

“Heh, Cekel Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh prajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat Panjalu!”

“Hi-hi-hik, Tejolaksono.Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat akan menentang kami? Hihik, sang adipati yang tampan dan gagah. Pikirlah baik-baik, bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat dari pada menjadi musuh? Aku percaya bahwa kalau engkau dan aku menjadi sahabat... ehemm... kita dapat menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku cocok sekali! Hi-hi-hik!”

Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,

“Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni? Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku? Bahwa Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila...”

“Pusporini..., diam...!” Roro Luhito membentak puterinya.

Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan orang banyak...

“Bocah..., kau sudah bosan hidup...!”

Tanpa disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali, tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka Pusporini.


“Rini... Pethit Nogo...!”

Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong sudah tak keburu lagi. Pukulan yang dilakukan oleh Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan adiknya, juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat melawan kuku-kuku beracun.

Biar pun Pusporini masih muda dan lincah gembira,namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.

“Plakk...!”

Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan tersenyum.

“Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang,kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena racun bangkai yang kau makan!”

Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel Wisangkoro berkata halus kepadanya, “Sudahlah, Wuni,untuk apa melayani seorang anak kecil?”

“Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah, jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan kata-kata kosong memancing keributan.” Tejolaksono menegur.

“Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan 'yang lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan di Selopenangkep dan membiarkan kami bergeak ke timur.”

“Kalau aku menolak?”

“Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar dari pada pasukan Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami, mengapa kau menolak?”

“Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau banyak tingkah!” Pusporini sudah tak dapat dapat menahan kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.

“Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami lawan!” kata pula Ayti Candra yang juga sudah marah.

“Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!” kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba gagang kerisnya.

Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel Wisangkoro.

“Engkau telah menyaksikan dan mendengar sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apa lagi aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!”

Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya dibusungkan.

“Babo-babo... Tejolaksono! Engkau tak dapat diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran keluargamu sendiri, seperti pohon itu!”

Cekel Wisangkoro meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang besar itu dan menampar.

“Blukkk... I”

Pohon itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak roboh. Semua prajurit Selopenangkep yang melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-tawa mengejek, akan tetapi suara ketawa itu segera sirep dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan mulut mereka. ternganga ketika melihat betapa daun-daun pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan,diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini menjadi busuk dan berjatuhan!

Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik ketika para prajurit menjadi marah dan mereka kini mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro Luhito sudah marah sekali.

Wanita tua perkasa ini mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,

“Pendeta bajul! Apa kaukira dengan sihirmu ini kami menjadi takut?!”

Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono menyambut mereka sambil membentak,

“Keparat, kalian mau apa?”

Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan menimbulkan suara berdesing.

Pedang itu menyambar dari kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar sehingga para prajurit Selopenangkep menahan napas.

Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong!

Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya.

Harapan mereka ini tidak sia-sia.

Dengan gerakan amat tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh Tejolaksono dan terdengar bunyi “krek-krek!” ketika sang adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan kanan mereka patah!.

Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan pedang lawan telah terampas olehnya, kin! kedua kakinya bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya.

Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara keluhan sungguh pun rasa sakit pada lengan mereka menusuk sampal ke ulu hati.

Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,

“Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi tanpa terganggu, maka aku membiar kan kalian pergi dalam keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal itu hanya karena kesala han mereka sendiri sebagai hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada gunanya ini!”

Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan kedua tangannya dan

“krak-krak!”

Dua batang pedang itu patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para prajurit bersorak memuji menyaksikan kesaktian junjungan mereka ini.

Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang temannya itu dan memaki,

“Sungguh bodoh kalian!”

Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut.

“Engkau sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan menjadi karang-abang (lautan api)? Akan tetapi karena engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka, akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang sebelum me nyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami terpaksa menggunakan kekerasan!”

“Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para prajuritku kehabisan sabar!”

Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para prajurit pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan tertawaan.

Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh, Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak mempunyai pasukan yang besar.

Seluruh pasukan hanya terdiri dan dua ratus empat puluh orang prajurit. Akan tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk menjaga kadipaten secara bergiliran.

Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini maklum akan ancaman bahaya dari plhak lawan, maka merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan siap siaga.

Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorang pun musuh.

Malam hari itu pun tidak ada penyerbuan musuh secara terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiris kan hati para prajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang prajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka.

Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorang pun musuh, juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang, didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak mengurangi ketegangan hati mereka.

Mula-mula mereka tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika “awan” ini dapat melayang turun dan merupakan asap hitam yang menyerang mereka! Keadaan makin menjadi gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan sendiri! Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini, mereka barn tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi.

Apa lagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia, gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat itu.

Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan tetapi tanpa tubuh. Paniklah para prajurit.

Ada pula yang pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu hanya uptuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan!

Setelah terjadi pukul-memukul dan serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya, akhirnya “awan” hitam itu lenyap dan keadaan menjadi terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat peristiwa itu.

Enam orang prajurit luka-luka oleh pukulan kawan sendiri, dan sepuluh orang prajurit lenyap tak meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!

Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka In! adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang prajurit tiap pasukan.

Pengalaman mereka tidaklah mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis dan rambut mereka terurai.

Wanita-wanita ini dengan sikap amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu dan pikatan. Kepala kedua pasukan yang tetap waspada membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik yang mencurigakan itu.

Akan tetapi, mendadak tercium ganda yang harum semerbak dan semua prajurit seperti mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika melihat betapa anak-anak buah mereka bersanda-gurau dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu.

Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika dicacahkan, ternyata dua puluh orang prajurit telah lenyap bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!.

Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke gedungnya.

Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh.

Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito, Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para dewata.

Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan tegang, maka hampir solo Tejolaksono tunduk dan menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan yang amat kuat!

Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu. Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang adipati maldum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat.

Terjadilah “perang tanding” yang aneh dan tidak tampak oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih menindih.

Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu lenyap!

Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung keluar dari sanggar pamujan.

Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya dan ayundanya.

Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba ringkas, bajunya berwarna biru muda berlengan pendek sampai di siku. Baju lengan pendek ini amat baik dipakai dalam menghadapi pertandingan sehingga kedua lengannya akan dapat bergerak leluasa.

Kainnya dikenakan secara longgar dan agak tinggi, dengan ujung dikumpulkan lalu dikaitkan ke belakang sehingga kainnya di bawah naik sampai ke lutut dan tampaklah celana hitam sampai ke bawah lutut. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau tendangannya.

Di pinggangnya tampak sebatang keris luk tiga menyelempit di balik sabuk sutera. Rambutnya yang hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai membuat gerakan tidak leluasa lagi.

Tangan kanannya memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil dari pada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai ronce-ronce sutera merah.

Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang selama ini ia pelajari, pikirnya.

Dan seorang muda seperti dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah mentimun.

Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam tidak juga muncul seorang pun musuh, hatinya menjadi kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya untuk “mencari angin sejuk” di belakang kadipaten, di dalam taman bunga.

Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman.

Akan tetapi begitu ia melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini duduk di atas bangku dalam taman.

Angin sejuk semilir menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa nyaman. Ganda harum semerbak yang datang terbawa angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman.

Malah cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali menutup mulut dengan punggung tangan kirinya.

Tak lama kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil duduk di atas bangku.

Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari balik pohon di taman itu. Dengan ,beberapa loncatan saja orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar dan dipondongnya.

Golok yang dipegang Pusporini terlepas dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika tubuhnya dipondong dan dibawa lari.

Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati mereka bukanlah tanda hati khawatir.

Mereka tidak khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh.

Kedua orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka.

Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.

Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya, mengguncangnya dan berbisik,

“Ayu... Bangun... Awas, musuh menggunakan aji penyirep!”

Biar pun terpengaruh aji penyirepan, karena memang Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini.

Bau kembang menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan. itu membuat kepala mereka terasa pening.

Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro Luhito berbisik,

“Cepat... kita cari Pusporini...!”

Mereka meloncat bangun dan menggu nakan Aji Widodo Mantera untuk memperkuat batin.

Setelah menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka ketika mereka keluar dari pintu butulan di belakang, memasuki taman sari.

“Ah, Bibi... lihat...!” Ayu Candra berseru kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh Pusporini!

“Keparat...! Kejar...!” teriak Roro Luhito sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.

Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini tadi, empat orang laki-laki ini pun selain tinggi besar, juga kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat.

Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro Luhito dan Ayu Candra.

Jari-jari tangan mereka yang sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.

Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar.

Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu berkali-kali.

Dua orang wanita perkasa itu mendapat kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata, mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.

Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.

Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini telah mengeluarkan ajinya Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya, yaitu Resi Telomoyo.

Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar