Perawan Lembah Wilis Jilid 08

“Apa yang ditakutkan? Ada aku di sini, nimas. Kalau aku berada di sini, siapakah yang akan dapat mengganggu Bagus atau kita? Di samping aku, engkaupun bukan seorang ibu yang boleh dipandang rendahi Belum lagi bicara tentang bibi Roro Luhito yang galak, dan bibi Kartikosari yang sakti mandraguna. Siapa berani main-main hendak mengganggu anak kita?”

“Tapi… tapi…“ suara Ayu Candra sudah tak begitu takut lagi, bahkan gemetar bukan oleh takut, melainkan oleh rasa mabuk yang selalu datang apa bila suaminya sudah menciumi tengkuk dan lehernya seperti itu. “Kalau benar kakangmas pergi seperti dikatakan kakek itu...”

“Ah, pergi ke mana? Agaknya, Ki Tunggaljiwa melihat bakat baik dan kebersihan diri anak kita, saking inginnya mengambil murid lalu menakut-nakuti aku...“

Akan tetapi, di sudut hatinya, kekhawatiran besar yang timbul sejak pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa tak dapat juga diusirnya. Karena itu, ia mencari perlindungan kepada isterinya, kepada orang yang paling dicintanya di seluruh dunia ini, tenggelam ke dalam pelukannya, membiarkan diri terseret oleh arus nikmat cinta kasih.

Mereka tak bercakap-cakap lagi, tidak ada yang perlu dipercakapkan pada saat itu. Malam menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan semua kekhawatiran di dalam hati, lenyap tak terpikirkan lagi. Bahkan dunia ini seakan-akan hanya berisi mereka berdua.

Alangkah kecil dan lemah manusia ini kalau dibanding­kan dengan kebesaran dan kekuasaan alam yang begini hebat dan kuat. Manusia yang banyak akal dan sudah merasa amat maju dengan pelbagal ilmu kepandaian, merasa bahwa dia telah menguasai dan mempermainkan segala apa di alam dunia.

Alangkah piciknya pendapat demikian itu. Menguasai alam. Menundukkan alam. Sungguh mentertawakan, menggelikani Banyak orang dalam kepicikannya tidak sadar bahwa manusla hidup di dunia bagaikan hidup di atas panggung sandiwara.

Dunia bagaikan panggung di mana manusia bermain dalam peran masing-masing yang tanpa dapat dikuasainya telah diserahkan dan diatur, diharuskan oleh Sang Sutradara yang tidak nampak namun yang kekuasaan-Nya amat mutlaki Manusia berebut untuk merampas peran yang paling tinggi kedudukannya, yang paling mulia dan paling penting menurut anggapan manusia. Sungguh banyak orang lupa din, mengira bahwa peranannya, yang paling penting.

Padahal bukanlah kedudukan peranan yang diperhatikan penonton, yakni manusia-manusia lainnya di dunia,melainkan cara ia mernainkan peranan itulahi Jauh lebih baik menjadi seorang pemegang peran abdi dengan permainan yang ba ik dari pada menjadi pemegang peran raja namun dengan permainan yang amat buruk

Dengan kata-kata yang lebih jelas lagi : Jauh lebih baik hidup sebagai manusia miskin yang kaya akan kebajikan dari pada seorang kaya yang miskin akan kebajikan, sebagai manusia miskin yang merasa cukup dari pada sebagai manusia kaya yang tak pernah merasa cukup.

Jauh lebih baik hidup sebagai manusia berkedudukan rendah namun berkepribadian dan berbudi tinggi dari pada sebagai manusia berkedudukan tinggi dengan kepribadian yang rendah

Adipati Tejolaksono adalah seorang manusia gemblengan lahir batin. Bukan hanya ia sakti mandraguna,murid terkasih dari Rakyana Patih Kanuruhan Sang Narotama, bahkan telah menerima pula aji-aji linuwih dari mendiang Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi juga adipati yang masih muda ini memiliki pribudi yang tinggi dan mengabdi kebesaran, keadilan dan kebajikan.

Betapa pun juga sang adipati yang bijaksana dan sakti itu tiada lain pun juga seorang manusia biasa. Manusia biasa yang harus tunduk kepada kehendak Sang Sutradara,seorang manusia yang hanya merupakan mahluk lemah,yang kedua kakinya terikat oleh belenggu yang amat kuat,yaitu belenggu cinta kasih kepada isteri dan puteranya.

Didalam pelukan isterinya yang mencintanya sepenuh jiwa raga, Adipati Tejolaksono tenggelam ke dalam madu cinta, menyeret pula isterinya sehingga Ayu Candra akhirnya lupa pula akan segala kekhawatirannya.

Mereka berdua untuk kesekian kalinya mabuk oleh cinta mesra masing-masing yang tak pernah mengecil apa lagi padam dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan masing-masing,lupa kekhawatirannya dan tidur tanpa mimpi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan wajah berseri-seri dan segar, suami isteri ini sedang duduk menghadapi sarapan pagi ketika tiba-tiba pengawal datang menghadap dan mengabarkan bahwa sepagi itu telah datang utusan dari Kerajaan Panjalu.

Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. ia menyuruh pengawalnya keluar dan agar mempersi lahkan utusan itu menanti di pendopo. ia lalu bertukar pandang dengan isterinya. Perasaan hati mereka meraba sesuatu, sehubungan dengan perasaan khawatir yang mereka bicarakan kemarin. Namun, tanpa mengeluarkan kata­kata, Ayu Candra mempersiap kan pakaian untuk suaminya, karena menerima utusan raja harus mengenakan pakaian kebesaran.

Dalam hal pakaian dan makan, adipati muda ini tidak pernah mau dilayani orang lain kecuali isterinya, sebaliknya, Ayu Candra juga tidak membiarkan suaminya dilayani orang lain.

Setelah selesai berpakaian, Adipati Tejolaksono pergi keluar menemui utusan. Makin berdebar rasa jantung adipati itu ketika mendapat kenyataan bahwa pengunjungnya, utusan Kerajaan Panjalu itu bukanlah sembarang utusan, melainkan Ki Patih Suroyudo sendiri, patih dalam sang prabu di Panjalui Tergopoh Adipati Tejolaksono menyambut patih yang sudah putih rambutnya, mempersilakannya duduk.

Kalau sang prabu sampai mengutusnya, seorang patih kerajaan, untuk datang sendiri ke kadipaten, tak dapat diragukan lagi tentu ada urusan yang amat gawat

Setelah berlangsung salam-menyalam seperti telah menjadi tradisi kebudayaan nenek moyang yang tak pernah meninggalkan tata susila dalam hidup bangsa kita, barulah Ki Patih Suroyudo menyampaikan tugas yang dibebankan ke pundaknya oleh sang prabu junjungannya.

Mula-mula Ki Patih Suroyudo menceritakan kepada Adipati Tejolaksono tentang segala petistiwa yang terjadi, yaitu tentang kematian-kematian ajaib yang menimpa beberapa orang perwira dan senopati pilihan di Panjalu.

“Menurut pemeriksaan para ahli pengobatan di kota raja, kematian para ponggawa tinggi itu bukanlah karena serangan semacam penyakit,” demlkian Ki Patih Suroyudo melanjutkan ceritanya.

“Para empu dan ahli mengatakan bahwa mereka itu tewas akibat ilmu hitam yang amat jahat, namun tak seorang pun di antara mereka dapat menangkap penyerang pengecut itu. Kematian para ponggawa semua terjadi dalam waktu cepat, tak tersangka-sangka sehingga kami tidak tahu siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya.”

Sang Adipati Tejolaksono mengerutkan keningnya yang hitam tebal. Sepasang matanya yang tajam itu memancarkan sinar aneh. Kemudian terdengar ia bertanya,

“Menurut penuturan paman patih tadi, gejala-gejala yang tampak pada jenazah-jenazah para ponggawa adalah pendarahan yang keluar begitu saja dari kaki tangan dan dada tanpa ada luka di bagian-bagian tubuh itu?”

“Benar, anakmas. Tidak ada luka sedikitpun, namun darah bercucuran dari kaki, tangan dan terutama sekali dari ulu hati seakan-akan bagian-bagian itu ditusuk dengan keris. Mereka itu, rekan-rekan kita yang malang, tewas tanpa dapat melakukan perlawanan, juga tidak tahu siapa musuh yang melakukannya. Karena inilah, maka sang prabu mengutus saya untuk datang ke Selopenangkep dan mengundang anakmas datang ke Panjalu menghadap sang prabu setelah anak mas berhasil menangkap penjahat dan pembunuh itu.”

“Setelah saya berhasil menangkap nya?”

Adipati Tejolaksono menegas.

“Benar, anakmas. Sang prabu berpendapat bahwa hanya anakmas yang akan dapat membikin terang perkara gelap ini karena menurut pendapat umum, menurut pula desas-desus yang menyelinap masuk sampai ke istana, pelaku dari pada semua pembunuhan yang terjadi di Panjalu, juga di Jenggala, adalah... hem m... puteri mantu sang prabu di Jenggala...”

Terbelalak mata yang tajam itu ketika memandang kepada tamunya, “Paman... paman maksudkan...isteri Gusti Pangeran Panjirawit, diajeng Endang Patibroto?”

Ki Patih Suroyudo yang tua itu menganggukanggukkan kepalanya perlahan.

“Demikianlah bunyl desas-desus, anakmas adipati. Menurut penuturan para ahli kami di Panjalu yang sudah tua-tua, di jaman dahulu yang pandai akan ilmu hitam seperti itu hanyalah tokoh dari Kerajaan Wengker,kerajaan siluman itu. Dan mengingat bahwa... beliau adalah murid Ki Dibyo Mamangkoro...hemm...dan kesaktiannya sudah tersohor di kedua kerajaan, maka bukan hanya semua orang, bahkan sang prabu sendiri berkenan menyatakan kekhawatiran dan dugaan beliau bahwa agaknya memang benarlah isi desas-desus itu. Kemudian sang prabu menyatakan bahwa hanya anakmas adipati seoranglah yang akan dapat mengatasl urusan ini, maka paman diutus untuk menyampaikan semua ini kepada anakmas.”

Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Hatinya merasa tidak enak sekali. Mengapa nasib selalu hendak mempertemukannya dengan Endang Patibroto?

Terbayanglah semua pengalamannya dahulu dengan wanita sakti itu, dan terbayang pula pertandingannya melawan Endang Patibroto yang mati-matian (baca cerita Badai
Laut Selatan).

Harus ia akui bahwa selama hidupnya,belum pernah ia bertemu tanding sehebat dan sesakti Endang Patibroto. Boleh dikatakan bahwa tingkat ilmu kesaktian mereka seimbang, tidak berbeda jauh. Dan kini, setelah bertahun-tahun ia hidup dalam keadaan aman tenteram, tiba-tiba saja ia dihadapkan perkara yang akan mengharuskan ia lagi-lagi berhadapan dengan Endang Patibroto.

“Baiklah, paman Patih Suroyudo. Hamba menerima tugas ini dengan ketaatan. Harap paman sudi menyampaikan penghaturan sembah bakti saya kepada gusti sesembahan kita di Panjalu dan akan hamba usahakan sekuat tenaga untuk menyelidiki perkara ini kemudian menangkap pelakunya.”

Setelah beramah-tamah dan menikmati hidangan, Ki Patih Suroyudo minta diri dan berangkat kembali ke Panjalu diiringkan pasukan pengawalnya.

Adipati Tejolaksono termenung sejenak ketika tamunya sudah lama pergi dan barulah sadar dari pada lamunannya ketika sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. ia menoleh dan melihat bahwa Ayu Candra sudah berdiri di situ.

Lengannya lalu meraih pinggang yang langsing itu, menariknya duduk di atas kursi di depannya. Karena mereka duduk di pendopo yang terbuka, maka sang adipati menahan hasrat hatinya membelai isterinya. ia hanya tersenyum dan memandang wajah isterinya yang kelihatan khawatir itu.

“Nimas, kau pergilah menemui kedua bibi dan minta mereka suka datang bercakap-cakap di ruangan dalam. Ada urusan penting yang ingin kusampaikan kepada mereka, bahkan hendak kumintai pertimbangan mereka.”

“Ada apakah, kakanda? Ki Patih tadi membawa kabar apakah?” tanya Ayu Candra dengan alis berkerut.

Adipati Tejolaksono menangkap tangan isterinya dan meremas-remas jari tangannya.

“Jangan kau khawatir, isteriku sayang. Dan sebaiknya kalau adinda suka memanggil kedua bibi agar bersama dapat membicarakan urusan yang dibawa ki patih tadi.”

Biar pun hatinya diliputi kekhawatiran, namun melihat wajah suaminya yang tenang, Ayu Candra tidak mendesak lagi. Memang, betapa pun juga besar cinta kasih dan kemanjaannya, ia tetap taat akan segala yang diminta dan dikatakan suaminya. ia mengangguk, lalu pergilah ia masuk ke dalam.

Dan dari belakangnya, Adipati Tejolaksono memandang tubuh belakang isterinya dengan hati gembira. Biar pun sudah menjadi ibu dan usianya sudah bertambah, tiada perbedaan terjadi pada tubuh Ayu Candra. Dan ia tersenyum karena maklum bahwa pendapat ini menambah tebal cinta kasihnya.

Sang adipati lalu masuk ke ruangan dalam. Ketika isterinya kembali bersama dua orang bibi,yaitu Roro Luhito dan Kartikosari yang memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan dan dugaan, barulah Adipati Tejolaksono teringat akan perintah sang prabu dan sikapnya menjadi sungguh-sungguh. ia mempersilakan kedua orang wanita setengah tua itu duduk, kemudian mulailah ia bercerita yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ayu Candra, Kartikosari, dan RoroLuhito.

Ketika ia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan mengerikan dan aneh yang terjadi atas diri banyak ponggawa-ponggawa Panjalu dan Jenggala, tiga orang wanita itu saling pandang dengan perasaan ngeri.

Mereka bertiga bukanlah orang-orang lemah, terutama sekali Kartikosari. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan seaneh dan sengeri itu baru sekarang ia pernah mendengarnya.

“Demikianlah, bibi. Karena kejadian aneh itu menimpa para ponggawa dan tidak dapat diduga semula siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya, keadaan di Panjalu menjadi geger dan dicekam suasana ngeri dan takut. Sang prabu mengutus paman Patih Suroyudo untuk memerintahkan saya pergi menanggulangi perkara itu, menyelidiki dan kemudian menangkap si jahat yang melakukan pembunuhan-pembunuhan secara pengecut dan keji.”

Menggigil tubuh Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tahu benar akan hal ini melihat dari pandang mata serta gerak leher isterinya.

“Aahhh bagaimana seorang manusia dapat melawan iblis? Kurasa hanya iblis sendiri yang dapat melakukan pembunuhan-pembunuhan keji seperti itu.” kata Ayu Candra.

Adipati Tejolaksono tersenyum. ingin sekali hatinya menceritakan tentang desas-desus yang tertiup angin di Kerajaan Panjalu tentang dugaan umum siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang yang bijaksana.

Endang Patibroto adalah anak kandung bibi Kartikosari. Bagaimana ia dapat menyebut nama Endang Patibroto di depan bibinya ini? Tidak, ia tidak akan menceritakan hal itu, apa lagi nama Endang terbawa dalam peristiwa itu hanya sebagai desas-desus yang belum ada buktinya.

Kecuali kalau memang kemudian ternyata bahwa Endang Patibroto yang melakukan hal itu, dan ini sama sekali tidak dipercayainya, tentu saja ia tidak akan menutupinya.

“Bukan iblis bukan siluman, yayi, melainkan seorang tukang tenung, seorang dukun lepus ahli ilmu hitam Dan kalau dapat kuselidiki dan kutemui orangnya, tentu akan kuhajar dia Seorang yang melakukan perbuatan seperti itu bahkan lebih kejam dari pada iblis sendiri.”

“Tapi tapi dia tentu memiliki kesaktian yang amat hebat...”

Kembali Ayu Candra berkata penuh kekhawatiran sambil memandang suaminya, wajahnya agak pucat.

“Ayu, mengapa engkau kini menjadi begini penakut? Mana kegagahanmu yang dahulu, cah-ayu? Ahhhh, benar-benar cinta kasih bisa membuat orang menjadi penakut,” tegur Roro Luhito kepada Ayu Candra.

Memang Roro Luhito kalau bicara jujur tanpa tedeng aling-aling lagi.

“Kau tahu bahwa suamimu memiliki kesaktian yang dapat mengatasi musuh-musuhnya, apa lagi hanya seorang dukun lepus. Jangan kau khawatir, seperti bukan wanita gemblengan sajai”

“Betul ucapan bibimu Luhito, anakku. Tidak perlu khawatir jika kali ini suamimu melaksanakan tugas dan perintah junjungan. Memang ini sudah menjadi kewajibannya. Apa lagi, aku yakin benar bahwa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu bukanlah seorang yang benar-benar sakti mandraguna. Bukanlah seorang sakti yang suka melakukan perbuatan pengecut seperti itu, melainkan seorang lemah dan penakut. Yang tidak berani menghadapi aldbat perbuatannya. Jangan kau khawatir, anakku, suamimu tidak akan menemui bahaya.”

Mendengar hiburan kedua orang tua itu, agak legalah hati Ayu Candra. Alangkah bangga dan besar hati Adipati Tejolaksono. Untung ada kedua orang bibi ini yang seratus prosen boleh diandalkan.

Kalau tidak ada mereka, agaknya iapun akan ragu-ragu dan khawatir meninggalkan isteri tercinta sendirian di rumah bersama puteranya. Kalau tidak ada kedua orang bibinya yang boleh dipercaya ini, agaknya ia akan “mengantongi” isteri dan anaknya itu dan membawanya serta ke mana pun ia pergi.

“Saya mohon perhatian dan bantuan bibi berdua, bukan untuk menghadapi urusan pembunuhan di Panjalu melainkan... hemm... Bagus Seta...”

KARTIKOSARI mengangguk. “Ki Tunggaljiwa?” Wanita ini sudah dapat menduga apa yang dipikirkan sang adipati.Tejolaksono mengangguk.

“Saya tidak. menyangka bahwa orang tua itu mempunyai niat buruk. Akan tetapi, hemm, keadaannya juga amat aneh. Oleh karena Itulah sepeninggal saya ke Panjalu, saya harap bibi berdua sudi membantu Ayu untuk mengamat-amati Bagus Seta. Tentu saja hal Ini sudah dan akan bibi lakukan tanpa saya minta, akan tetapi.., hati saya akan lega dalam perjalanan kalau saya sudah membicarakan hal ini secara berdepan begini dengan bibi yang saya percaya dan hormati setingginya.”

Kartikosari tersenyum. Biar pun Roro Luhito lebih pandai bicara dari padanya, akan tetapi menghadapi segala urusan, selalu dia yang menjadi dan penentunya. Roro Luhito hanya akan mengikuti semua jejaknya.

“Anakku adipati, kami mengerti perasaanmu setelah pengalamanmu bersama Bagus Seta di dalam hutan. Dan bukan hal yang kebetulan saja ucapan Ki Tunggaljiwa kepadamu yang meramalkan bahwa dalam waktu singkat anaknda akan pergi dari Selopenangkep. Oleh karena itu, harap engkau waspada dan hati-hati dalam perjalanan menunaikan tugas yang dibebankan oleh sang prabu kepadamu. Adapun tentang keadaan di Selopenangkep sepeninggalmu, harap legakan hati dan jangan khawatir. Isterimu, Ayu Candra bukan seorang anak-anak melainkan seorang ibu yang tentu akan dapat menjaga putera dan rumah tangga sebaiknya. Adapun kami, kedua bibimu ini, tentu saja akan mengamat-amati kesemuanya dan akan membela Selopenangkep seisinya dengan taruhan nyawa.”

Ucapan Kartikosari yang tenang dan mantap ini membuat hati Adipati Tejolaksono menjadi lega. Lapang rasa dadanya dan ia dapat pergi dengan tenang.

Ayu Candra juga sadar bahwa ketidakrelaannya yang diperlihatkan atas kepergian suaminya, amatlah tidak baik. Suaminya adalah seorang yang sakti mandraguna. Kalau hanya menghadapi seorang penjahat pengecut saja, memang tidak perlu dikhawatirkan sama sekali.

Demikianlah, pada pagi hari itu juga, Adipati Tejolaksono meninggalkan Selopenangkep, menunggang seekor kuda berbulu dawuk yang besar dan kuat, membawa perbekalan dan tidak lupa membawa senjata pusakanya, yaitu keris Megantoro, sebatang keris berlekuk tujuh yang mengeluarkan sinar keputihan seperti awan. Hatinya tenang karena kepergiannya diantar senyum penuh kepercayaan oleh isteri dan kedua biblnya, dan dibekali peluk cium puteranya, Bagus Seta.

Akan tetapi ketenangan hati Adipati Tejolaksono lenyap seperti awan ditiup angin ketika perjalanannya membawa ia makin mendekati Kerajaan Panjalu.

Ia melakukan perjalanan ini seorang diri, tidak berpengawal karena apakah artinya pengawal bagi seorang sakti seperti adipati muda ini? Apa lagi, perjalanannya kali ini adalah perjalanan untuk melakukan penyelidikan dan mencari seorang penjahat sakti sehingga perlu ia lakukan dengan diam-diam.

Hatinya makin gelisah setelah ia dekat dengan Kerajaan Panjalu karena santer terdengar olehnya akan desas-desus tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Apa lagi setelah pada suatu pagi ia tiba di luar kota raja, kagetnya bukan main mendengar berita bahwa di Kota Raja Panjalu terjadi geger yang hebat sekall. Yaitu tentang penyerbuan Endang Patibroto ke istana Pangeran Darmokusumo yang gagal.

Berita ini membuat ia terkejut dan termenung di atas kudanya yang ia hentikan di tepi jalan agar mendapat kesempatan makan rumput hijau. Endang Patibroto menyerbu dan berniat membunuh Pangeran Darmokusumo? Inilah hebat! Untung, menurut berita itu, bahwa penyerbuan itu dapat digagalkan oleh pasukan-­pasukan Panjalu yang memang sudah berjaga-jaga. Nyaris Endang Patibroto tertangkap, demikian berita itu. Penasaran memenuhi hati Adlipati Tejolaksono.

Mengapa Endang Patibroto melakukan hal itu? Bukankah wanita ini telah menjadi seorang isteri berbahagia dari Pangeran Panjirawit dan hidup mulia di Kerajaan Jenggala? Bukankah Pangeran Darmokusumo itu masih saudara iparnya sendiri karena isteri Pangeran ini adalah adik kandung Pangeran Panjirawit? Ah, hampir tak dapat ia mempercayai berita aneh itu. Akan tetapi, bukan hanya dari satu dua orang ia mendengar berita ini! Ia harus segera ke Jenggala, sekarang juga! Ia harus bertemu sendiri dengan Endang Patibroto dan bercakap-cakap dengan adik angkatnya itu.

Sebelum melihat bukti dan mendengar keterangan dari mulut Endang sendiri, ia tidak akan mengambil tindakan tergesa-gesa dan harus amat berhati-­hati karena ia sudah cukup mengenal watak Endang Patibroto yang boleh dikatakan sejak kecil selalu menjadi musuhnya (baca cerita Badai Laut Selatan).

Tanpa memasuki Kota Raja Panjalu, Tejolaksono lalu membedal lagi kudanya berangkat menuju ke Jenggala. Melalui jalan-jalan yang amat dikenalnya ini terkenang lagilah sang adipati akan masa mudanya, terkenang akan segala peristiwa yang terjadl pada dirinya belasan tahun yang lalu dan terkenanglah ia kepada Endang Patibroto,gadis sakti mandraguna yang amat galak terhadapnya dahulu itu.

Endang Patibroto, yang sejak kecil selalu benci kepadanya, yang merupakan lawan terberat baginya, bahkan yang telah membunuh ibu kandungnya! Wanita yang amat dikasihaninya, dikaguminya akan tetapi juga pernah dibencinya karena telah membunuh ibunya.

Namun karena ibu kandungnya menjadi pembunuh ayah kandung wanita ini, maka kesadaran hatinya telah menyudahi rasa bencinya, dan berbalik ia menjadi kasihan kepada Endang Patibroto, apa lagi setelah ia hidup berkecimpung di dalam kebahagiaan cinta kasih dengan isterinya, Ayu Candra.

Dan hatinya ikut girang dan bahagia ketika ia mendengar berita bahwa Endang Patibroto juga hidup bahagia di samping seorang suami yang amat mencintanya, yaitu Pangeran Panjirawit.

Akan tetapi sekarang muncul peristiwa yang amat aneh ini.

Mula-mula terjadi pembunuhan-pembunuhan gelap, kemudian timbul desas-desus bahwa Endang Patibrotolah orangnya yang melakukan perbuatan pengecut dan keji ini. Dan sekarang, yang amat mengejutkan adalah berita tentang penyerbuan Endang Patibroto seorang diri di malam gelap untuk membunuh Pangeran Darmokusumo. Mana ia bisa percaya?.

Hari telah menjadi malam ketika Adipati Tejolaksono memasuki Kota Raja Jenggala yang dahulu amat dikenalnya itu. begitu ia menuntun kudanya memasuki pintu gerbang, lima orang penjaga menghadang dan memandangnya penuh kecurigaan. Akan tetapi sebelum mereka sempat menegurnya, seorang di antara para penjaga yang sudah tua usianya memandang Tejolaksono penuh perhatian, kemudian ia menudingkan telunjuknya ke arah adipati ini dan berkata gagap,

“Bukankah.. andika ini.. Raden Bagus Joko Wandiro?! “

Tejolaksono tersenyum. Sebetulnya ia, tidak ingin memperkenalkan diri, karena ia ingin diam-diam mengunjungi Pangeran Panjirawit dan menemui Endang Patibroto, tidak mau memberitakan tentang kedatangannya ke Jenggala kepada orang lain. Akan tetapi karena penjaga tua ini mengenalnya, ia tidak dapat menyangkal lagi dan mengangguk.

“Benar, paman. Aku ingin pergi mengunjungi Gusti Pangeran Panjirawit “

Tejolaksono menghentikan ucapannya ketika melihat perubahan muka kelima orang penjaga itu yang tampak nyata di bawah sinar lampu di pintu gerbang. Mereka itu terbelalak, jelas kaget sekali mendengar disebutnya nama pangeran itu. Ia menyangka pasti ada hal yang hebal terjadi, maka cepat ia bertanya,

“Ada terjadi apakah, paman?”

Penjaga tua itu bertanya,

“Benarkah paduka ini Raden Bagus Joko Wandiro yang kini sudah menjadi gustl adipati di Selopenangkep?”

Kembali Tejolaksono mengangguk tak sabar. la tidak mempersoalkan dirinya, melainkan ingin mendengar tentang Endang Patibroto. Melihat orang muda ini mengangguk, lima orang penjaga itu lalu memberi hormat. Yang empat adalah penjaga-penjaga muda yang belum pernah melihat Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono, akan tetapi sudah mendengar nama besar ksatria yang sakti mandraguna ini.

“Maafkan hamba berlima tadi berlaku kurang hormat, gusti adipati. “

“Ah, bangkitlah, paman dan harap suka menceritakan apa yang telah terjadi.”

Dan Tejolaksono melongo keheranan ketika mendengar penjaga tua itu bercerita. Makin banyak ia mendengar, wajahnya makin keruh. Keheranan bercampur dengan kegelisahan dan tidak percaya.

Bagaimana ia bisa percaya mendengar betapa Endang Patibroto benar-benar telah membunuh-bunuhi para ponggawa Jenggala dan Panjalu dengan ilmu hitam, kemudian betapa wanita sakti yang oleh para penjaga disebut “iblis betina” itu telah menyerbu istana Pangeran Darmokusumo, kemudian betapa Pangeran Panjirawit yang membela nama isterinya itu ditangkap sendiri oleh ayahnya, sang prabu di Jenggala lalu dipenjarakan.

Betapa kemudian, iblis betina itu secara hebat dan seorang diri telah menyerbu penjara yang terjaga amat kuatnya, menyamar sebagai pria, sebagai penjaga kemudian berhasil melarikan suaminya itu dari penjara.

“Iblis itu hebat bukan main, gusti adipati. jelas bahwa dia bukan manusia biasa, melainkan iblis. Kalau manusia biasa, bagaimana bisa berhasil merampas gusti pangeran yang terjaga oleh ratusan orang prajurit dan pengawal? Bahkan dikerocok (dihujani) anak panah, masih berhasil melesat pergi seperti terbang saja dan keluar dari kota raja, entah ke mana, hanya setan yang tahu”

Adipati Tejolaksono hanya bisa mengeluarkan suara “ahh!” berkali-kali, kemudian ia mengucapkan terima kasih dan pergi dari situ, meninggalkan para penjaga sambil menuntun kudanya, berjalan perlahan seperti orang mimpi melalui jalan yang amat gelap itu.

la memang merasa seperti mimpi mendengar semua itu. Ia tersenyum kalau teringat akan keheranan para penjaga yang menceritakan tentang perbuatan Endang Patibroto membebaskan suaminya Ia tidak heran mendengar itu.

Seorang sakti seperti Endang Endang Patibroto tentu saja mampu melakukan hal itu, bahkan yang lebih dari pada itu sekali pun! Ia tersenyum kalau membayangkan betapa Endang Patibroto mempermainkan ratusan orang prajurit itu, membakari sebagian istana dan menyamar sebagai prajurit, kemudian melarikan diri, dikeroyok puluhan orang pengawal dan menangkis semua anak panah yang datang bagaikan hujan. Ia sudah tahu akan kesaktian wanita itu.

Iblis betina? Ah, ia cukup tahu akan watak Endang Patibroto.

Kalau sedang marah memang melebihi iblis, akan tetapi sebetulnya mempunyai dasar watak satria puteri utama! Akan tetapi, tidak habis keheranannya mendengar semua peristiwa itu. Endang Patibroto membunuhi para ponggawa dengan ilmu hitam yang mujijat? Memang hal ini pun tidak aneh dan bisa saja Endang Patibroto melakukannya, mengingat bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro yang jahat dan sakti seperti iblis sendiri.

Akan tetapi, ia yakin bahwa tanpa alasan yang amat kuat, tak mungkin Endang Patibroto mau melakukannya, apa lagi sebagai isteri Pangeran Panjirawit yang terkenal berbudi bawa-laksana!

Kalau begitu, apa sebabnya? Mengapa terjadi semua itu? Mengapa? Dan ke mana ia harus mencari Endang Patibroto? Ia tidak akan menjatuhkan sesuatu pendapat atau penilaian atas peristiwa semua itu sebelum ia mendengar sendiri dari orang yang bersangkutan, dalam hal ini Endang Patibroto dan suaminya.

Ia harus mencari Endang Patibroto dan Pangeran Panjirawit. Ia menyesal mengapa tidak datang lebih pagi.

Peristiwa penyerbuan penjara oleh Endang Patibroto itu baru terjadi dua hari yang lalu!
Adipati Tejolaksono memeras otaknya. Di dalam gelap, ia berhenti berjalan, lalu duduk bersila, merenung dan mengerjakan otaknya.

Peristiwa ini terlalu aneh, tidak mungkin terjadi tanpa dasar yang amat kuat. Ia merasa yakin bahwa tentu ada sesuatu yang menggerakkan semua itu, sesuatu yang memaksa Endang Patibroto melakukan perbuatan-perbuatan hebat itu, yakni menyerbu istana Pangeran Darmokusumo dan kemudian menyerbu penjara membebaskan suaminya, melawan prajurit-prajurit mertuanya sendiri, Sang Prabu Jenggala!

Dan, satu-satunya hal yang mungkin terjadi adalah bahwa tentu penggerak itu merupakan musuh besar Kerajaan Jenggala dan Panjalu. Siapa? Kadipaten Nusabarung merupakan musuh besar terakhir dari Jenggala, akan tetapi kadipaten itu telah dihancurkan.Siapa lagi yang dapat memusuhi Jenggala dan Panjalu?

Memang banyak kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tunduk kepada kedua kerajaan ini, akan tetapi mereka itu tak mungkin dapat melakukan hal yang amat hebat ini. Kemudian ia teringat. Bukankah kerajaan Adipati Nusabarung mempunyai sekutu yang amat besar dan kuat? Adipati di Blambangan! Ya, kiranya Kadipaten Blambangan inilah merupakan satu-satunya musuh besar yang termasuk kuat dan berbahaya.

Akan tetapi bagaimana Blambangan dapat mempengaruhi Endang Patibroto? Ini pun kiranya tak masuk di akal karena setahunya, hubungan Endang Patibroto dengan pengaruh-pengaruh luar hanya dengan Dibyo Mamangkoro yang telah meninggal dunia, pula, Kerajaan Wengker di mana dahulu Dibyo Mamangkoro menjadi senopati besarnya, kini telah tiada pula.

Adipati Tejolaksono bangkit berdiri, menuntun kudanya, kemudian melompat naik ke punggung kudanya.

“Dawuk, satu-satunya peganganku hanya Blambangan. Semoga perhitunganku tak salah. Kita ke Blambangan!” Ia menarik kendali kudanya dan mulailah ia melakukan perjalanan, menuju ke timur. Ke Blambangan.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar