Pendekar Binal Jilid 34

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Kang Giok-long meliriknya dengan kejut-kejut girang, tapi cepat ia menunduk pula dan berkata, "Harta pusaka ini ditemukan dulu olehmu, dengan sendirinya adalah milikmu, aku... aku cukup diberi sebagian saja sudah sangat berterima kasih."

"Aku tidak mau," kata Siau-hi-ji.

"Engkau tidak mau?" tukas Kang Giok-long dengan kaget, tapi segera ia menunduk pula dan menambahkan, "Jiwaku saja atas hadiahmu, sekali pun kau tidak mau membagi padaku juga aku tidak menyesal."

"Haha, mungkin kau sangka aku mencoba hatimu dan berdusta padamu?"

"Aku... aku tidak...."

"Ketahuilah bahwa aku benar-benar tidak mau, sedikit pun tidak mau."

Mata Kang Giok-long terbelalak, tanyanya, "Seb... sebab apa?".

"Barang-barang ini tidak ada gunanya bagiku," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Lapar tidak dapat dimakan, haus tidak dapat diminum, kalau dibawa hanya menjadi beban belaka, malahan senantiasa berkhawatir kalau dibegal orang, untuk apa aku memilikinya?"

Kang Giok-long jadi melenggong.

Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia mengitari ruangan itu dan bergumam pula dengan gegetun, "Tempat ini pun buntu, jelas jalan keluarnya tidak terletak di sini."

Mendadak Kang Giok-long bergelak tertawa, tertawa keras.

"Ada apa? Kau melihat setan?" tanya Siau-hi-ji.

"Aku pun tidak menginginkan barang ini."

"O, sungguh aneh. Sebab apa?"

"Sedangkan soal kita dapat keluar dari sini dengan hidup atau tidak juga belum diketahui, untuk apa memikirkan barang begini?"

"Haha, tampaknya kau tidak terlalu bodoh dan masih bisa berpikir," seru Siau-hi-ji sambil berkeplok tertawa. "Justru banyak orang yang lebih suka mengorbankan jiwa demi barang beginian, sungguh aku menyangsikan otak mereka itu apakah waras?"

Begitulah kemudian Siau-hi-ji memutar lagi roda tembaga, apa yang dilihatnya di dalam ruangan itu adalah berbagai bentuk senjata yang jumlahnya tak terhitung banyaknya, aneka macam senjata berat dan juga senjata rahasia. Banyak senjata yang dikenalnya, tapi lebih banyak senjata yang aneh dan tidak diketahui namanya. Mungkin segala macam senjata pembunuh di dunia ini terdapat di ruangan ini.

Sekenanya Siau-hi-ji melolos sebatang pedang, "trang", terdengar suara mendering dengan cahaya yang menyilaukan. Tanpa terasa ia berseru memuji, "Pedang bagus!"

"Biar pun pedang ini terhitung senjata tajam, tapi belum apa-apa kalau dibandingkan senjata yang lain," ujar Giok-long. Lalu ia mengambil semacam senjata dan berkata pula, "apakah kau kenal senjata ini?"

Senjata itu berbentuk kepala naga, ada tanduknya dan mulut terbuka sehingga kelihatan lidahnya.

"Tampaknya seperti Kim-liong-pian (ruyung naga emas)" kata Siau-hi-ji.

"Betul, ini memang Kim-liong-pian, tapi ruyung ini berbeda daripada ruyung umumnya."

"O, ya?"

"Ruyung ini bernama Kiu-hian-sin-liong-pian (ruyung naga nawa sakti), senjata ini sekaligus mencakup sembilan daya-guna."

"Wah, sungguh menarik, coba ceritakan!"

"Sepanjang ruyung ini penuh sisik terbalik yang dapat dibuat membetot senjata musuh atau juga buat melengket senjata rahasia lawan, tanduk yang bercabang ini khusus mengatasi segala macam senjata lemas lawan, kalau lidah terjulur dapat digunakan untuk menutuk Hiat-to. Mulut naga yang terbuka itu dapat menggigit senjata musuh, selain itu sepasang naga itu adalah senjata rahasia yang dapat meletus, di mulut naga tersimpan pula tiga belas biji paku berbisa, asal lawan berdarah segera tutup napas. Dalam keadaan kepepet, batang ruyung yang penuh sisik itu pun dapat dihamburkan untuk menyerang musuh."

"Wah, benar-benar senjata bagus, senjata lihai!"

"Cuma sayang senjata macam begini, di seluruh jagat ini hanya ada dua buah saja. Entah mengapa yang sebuah ini dapat berada di sini."

"Dan di mana pula yang sebuah?"

"Senjata ini sudah lama menghilang di dunia Kangouw, yang sebuah lagi juga entah lenyap ke mana. Kalau saja yang sebuah itu muncul pula di dunia Kangouw, maka sukar dibayangkan betapa banyak akan mengambil korban."

"Sungguh tidak menyangka usiamu sebelia ini, tapi sudah sangat hafal terhadap senjata yang hebat itu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tiba-tiba Kang Giok-long mengedip seakan-akan menyadari apa yang diucapkannya itu agak terlalu banyak, cepat ia menjawab, "Ah, aku pun dengar dari orang lain. Kau tahu ayahku sangat luas pergaulannya dan di antara sahabatnya tentu ada satu-dua orang yang serba tahu."

"Jika demikian, jadi kau dapat menggunakan senjata ini?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa hambar.

"A... alangkah baiknya jika kudapat menggunakan senjata ini," jawab Giok-long dengan menyeringai. Seperti acuh tak acuh ia taruh kembali ruyung itu, padahal matanya terus mengincar gerak-gerik tangan Siau-hi-ji.

Siau-hi-ji tertawa-tawa saja seperti menaruh perhatian apa-apa, tapi pandangannya sebenarnya juga tidak pernah meninggalkan ruyung sakti yang dipegang Kang Giok-long.

Meski keduanya masih muda belia, tapi betapa licin jalan pikiran mereka biar pun dua puluh tujuh kakek berumur tujuh puluh tahun bergabung menjadi satu juga tiada melebihi salah satu di antara mereka.

"Kalau begitu, bila salah sebuah senjata yang terdapat di sini dikeluarkan pasti juga akan membikin geger dunia persilatan," ujar Siau-hi-ji. "Lebih-lebih ruyung sakti ini.... Ai, toh aku tidak mahir menggunakannya, biarlah kau ambil saja."

Tapi sebelum habis Siau-hi-ji berkata, lebih dulu Kang Giok-long sudah menyingkir ke sana, jawabnya dengan tertawa, "Senjata keji begitu, lebih baik tak kupakai."

"Padahal senjata adalah benda mati, yang hidup manusianya, asalkan manusianya kuat, senjata apa pun yang dipakainya juga sama saja, senjata begini memang sebaiknya jangan digunakan," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Mendadak ia lolos sebilah pedang yang tajam, ia tabas ruyung beracun itu hingga terkutung menjadi berpuluh bagian.

Dengan sendirinya Kang Giok-long tetap tersenyum simpul dan berulang-ulang menyatakan setuju senjata keji itu dimusnahkan saja. Tapi berbareng ia lantas berpaling ke sana, matanya merah beringas, kalau bisa Siau-hi-ji hendak diganyangnya bulat-bulat.

Perlahan Siau-hi-ji meraba pedangnya, katanya dengan tertawa, "Sungguh pedang bagus, mestinya akan kubawa serta, tapi kupikir lebih baik tetap kutinggalkan di sini saja, bagi orang seperti diriku ini, biar pun bertangan kosong juga...."

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar Kang Giok-long menjerit, "He, lihat ini...."

Kiranya di pojok sana tergeletak serangka jerangkong yang bersandar miring pada dinding. Pakaian pada jerangkong yang bersandar miring itu pun sudah hancur, kerangka tulang yang mestinya berwarna putih kelabu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman, di bawah kemilau sinar berbagai senjata itu tampaknya menjadi seram.

"Aneh, mengapa orang ini bisa mati di sini?" Mengapa dia tidak dibuang ke dalam kuburan tadi?" demikian Kang Giok-long bergumam sendiri.

"Orang yang dapat masuk ke kamar ini mungkin adalah tuan rumahnya," ucap Siau-hi-ji. "Tuan rumah di sini dengan sendirinya mutlak tokoh terkemuka dunia persilatan."

"Tapi tuan rumah mengapa bisa mati di sini?" demikian ia menambahkan pula dengan berkerut kening. "Siapakah yang membunuhnya? Kalau melihat caranya bersandar di situ jelas tiada tanda-tanda gerakan melawan, terang dia dibinasakan lawannya dengan sekali hantam."

"Bila melihat warna tulangnya, tampaknya dia mati keracunan," kata Giok-long.

"Benar," tukas Siau-hi-ji.

Sejenak kemudian, mendadak kedua orang berseru berbareng, "He, kiranya dia terkena senjata rahasia berbisa."

Kiranya mereka menemukan di antara ruas tulang jerangkong itu tertancap berpuluh-puluh jarum lembut, jarum perak sekecil itu ternyata dapat menembus kulit daging dan menancap di tulang.

"Lihai amat senjata rahasia ini dan luar biasa kejinya," kata Siau-hi-ji dengan ngeri.

"Entah sia... siapa yang turun tangan sekeji ini," ucap Giok-long.

Siau-hi-ji memandangnya sekejap, katanya kemudian, "Tidak perlu kau ganti ucapan, tidak cuma kau yang kenal senjata rahasia ini, aku pun tahu."

"Ya, Tau-kut-coan-sim-ciam (jarum penembus tulang dan penancap hati) ini memang tidak malu sebagai senjata rahasia nomor satu di dunia," kata Kang Giok-long dengan menyengir. Mendadak sekilas dilihatnya di rak senjata sana ada sebuah bumbung kecil berwarna kuning kemilau, cepat ia menggunakan tubuhnya untuk mengalingi pandangan Siau-hi-ji, sembari berbatuk-batuk ia terus menggeser ke sana.

"Ah, jika kau terbatuk-batuk terus, aku bisa ketularan olehmu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Habis itu ia benar-benar ikut terbatuk-batuk sehingga berjongkok.

Pada waktu Siau-hi-ji berjongkok itulah, secepat kilat tangan Kang Giok-long terus meraih bumbung kecil tadi. Tak diketahuinya bahwa pada saat yang sama Siau-hi-ji juga telah mengambil sesuatu benda dari tangan jerangkong itu terus disisipkan ke baju.

Yang diambil Siau-hi-ji itu hanya sepotong bambu dan tak diketahui apa gunanya, dia hanya merasakan benda yang tergenggam kencang di tangan orang mati, mustahil kalau benda itu tiada gunanya.

Kang Giok-long sendiri berusaha menahan rasa girangnya, ia pura-pura berkerut kening dan berkata, "Jika orang mati ini pemilik tempat ini, mengapa dia bisa diserang orang mati di sini? Apa bila dia bukan tuan rumahnya, tentunya tiada alasan dia mati di sini."

"Ya, kalau dia bukan tuan rumahnya, pada hakikatnya dia tidak dapat masuk ke sini," Siau-hi-ji menambahkan. "Tampaknya di sini masih banyak tersimpan rahasia dan teka-teki yang belum tersingkap."

"Rahasia yang menakutkan," tukas Giok-long.

"Di dunia ini tidak ada rahasia yang menakutkan, semua rahasia di dunia cukup menarik," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Begitulah mereka lantas keluar dari ruangan yang menakutkan dan juga menarik itu, mereka jalan berjajar sambil mengangkat tinggi-tinggi kedua tangan mereka yang memegangi lentera untuk membuktikan bahwa mereka tidak mengambil sesuatu benda yang berada di kamar itu.

Waktu mereka memutar lagi roda besi, cahaya lentera lantas menembus ke dalam kamar besi yang berhawa dingin.

Kang Giok-long melangkah masuk lebih dulu, baru saja ia memandang sekejap sekeliling, sekonyong-konyong ia menjerit dan mundur kembali, sikap kagetnya itu mengingatkan orang pada perempuan yang kaget melihat lelaki telanjang.

"Ada apa lagi di dalam situ?" tanya Siau-hi-ji.

Dengan muka pucat Giok-long menjawab, "Pernahkah kau lihat jerangkong berdiri?"

"Jerangkong berdiri? Belum pernah lihat."

"Segera kau dapat melihatnya."

"Ehm, jerangkong berdiri, menarik juga!" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa sambil melangkah masuk.

Tapi segera ia tidak jadi tertawa lagi. Ruangan besi sangat luas dan amat tinggi. Sekeliling kosong melompong tiada sesuatu barang pun, seorang kalau berdiri di situ akan merasa seperti berdiri di tengah lapangan yang luas.

Justru di tengah ruangan yang luas dan seram itulah terkontal-kantil berdiri dua kerangka jerangkong. Dua jerangkong yang putih dan saling rangkul dengan erat. Sudah tentu kulit daging kedua orang mati itu sudah hancur dan musnah, tapi kedua kerangka jerangkong itu masih berdiri saling rangkul.

Merinding juga Siau-hi-ji menyaksikan keadaan itu, tapi di mulut ia berkata dengan tertawa, "Mungkin mereka ini lelaki dan perempuan, bahwa menghadapi ajal mereka tetap berpelukan, dapat diduga hubungan mereka pasti sangat istimewa, bisa jadi mereka mati demi cinta."

"Kalau antara mereka ada hubungan istimewa, tentunya mereka tidak mati berdiri," kata Giok-long yang telah ikut masuk.

"Ah, hal ini tak terpikir olehku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ya, dalam hal ini kau memang lebih berpengalaman daripadaku. Tapi kalau kedua orang ini lelaki semua, sebab apa pula berpelukan?"

Sembari bicara ia pun mendekat ke sana, ia termenung di depan kedua jerangkong itu, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata pula, "Kedua orang ini ternyata lelaki semua."

"Sudah jelas engkau melihatnya?" tanya Kang Giok-long.

"Ehm," jawab Siau-hi-ji.

"Hubungan antara lelaki dan lelaki terkadang juga bisa mesra."

"Tapi hubungan kedua orang ini bukan saja tidak mesra, bahkan sangat buruk."

"Dari mana kau tahu?" tanya Giok-long.

"Lihat saja sendiri dan tentu kau akan tahu," jawab Siau-hi-ji.

Kiranya kedua kerangka jerangkong itu sebenarnya tidak berpelukan, tapi telapak tangan orang sebelah kiri langsung menusuk masuk ke dalam iga orang yang sebelah kanan, dengan tangan telanjang dapat menusuk ke dalam lambung lawannya, betapa hebat ilmu silatnya sungguh sukar dibayangkan. Akan tetapi rusuk sendiri juga patah tujuh atau delapan batang, tulang tenggorokannya juga kena diremas hancur oleh lawannya sehingga kepalanya terkulai di atas pundak lawan.

Jadi kedua orang ini saling melancarkan serangan maut dalam satu duel sengit dan akhirnya gugur bersama.

"Sungguh Eng-jiau-kang (ilmu cakar elang) yang lihai dan tenaga pukulan yang dahsyat," kata Kang Giok-long dengan kagum. "Tampaknya kedua orang ini adalah tokoh terkemuka dunia persilatan, entah mengapa bisa mati di sini."

Belum habis ucapannya, terdengarlah suara gemeresak, kedua kerangka jerangkong itu serentak ambruk dan berubah menjadi onggokan tulang.

Siau-hi-ji termenung sejenak, katanya, "Melihat kelihaian ilmu silat mereka, mungkin mereka pun salah satu tuan rumah di sini, mereka mengasingkan diri bersama di tempat rahasia begini, hubungan mereka tentu sangat karib, tapi mengapa mereka saling labrak mati-matian dan berakhir dengan gugur bersama." Sembari berkata ia menjemput pula dua macam barang dari onggokan tulang itu.

"Yang kuherankan adalah sebab apa tiada yang mengurus kematian kedua orang ini? Bahwa jerangkong mereka sampai tadi masih berdiri, ini menandakan kamar ini sudah berpuluh tahun tidak pernah dimasuki orang," ujar Kang Giok-long.

"Betul juga," ucap Siau-hi-ji sambil menyimpan kedua barang yang ditemukannya tadi.

"Lalu, ke mana perginya orang-orang lain yang menghuni istana bawah tanah ini? Memangnya sudah mati semuanya?"

"Bukan saja mati semua, bahkan mati dalam waktu yang sama, kalau tidak, kerangka tulang mereka tentu takkan tertinggal sampai sekarang."

Baru sekarang mereka menemukan di ruangan longgar dan seram ini masih ada lima buah meja pendek, di atas meja ada alat-alat tulis dan buku.

"Tampaknya ruangan ini adalah kamar tulis, sungguh menarik," kata Siau-hi-ji.

"Bukan kamar tulis, kamar tulis tidak seluas ini," ujar Giok-long.

"Orang suka kamar yang besar, peduli apa kau?" kata Siau-hi-ji sambil melangkah ke sana. Ia membalik-balik iseng halaman buku yang terletak di meja itu. Mendadak air mukanya berubah hebat.

Melihat itu, cepat Kang Giok-long juga mendekat ke sana, ia pun membalik-balik halaman buku di meja lainnya. Hanya sebentar saja membaca isinya, seketika air mukanya juga berubah.

Buku-buku itu tersusun dari kain sutera yang halus, yang tercatat di situ ternyata adalah ajaran ilmu silat yang mahatinggi.

Meski ilmu silat Siau-hi-ji dan Kang Giok-long diperoleh dari guru yang ternama, tapi kini mereka pun merasa tercengang ketika mengetahui ilmu silat yang pernah mereka pelajari itu pada hakikatnya tidak ada artinya apa bila dibandingkan dengan ilmu silat yang tercatat dalam buku itu. Buku sutera itu masih terpegang di tangan mereka dan terasa berat untuk dikembalikan ke tempat semula.

Sampai agak lama barulah Siau-hi-ji menarik napas panjang, katanya, "Tahulah aku sekarang."

"Kau tahu apa?" tanya Giok-long sambil tetap memandangi buku yang dipegangnya itu.

"Di sini tentu ada lima orang top jago silat, mereka berlima berkumpul di ruangan ini untuk berlatih, dari hasil teori dan praktik mereka inilah segera mereka catat di meja pendek itu."

"Betul juga," Kata Giok-long. "Makanya ruangan ini sangat luas karena memang tempat latihan ilmu silat."

"Lima tokoh, yang sudah kita lihat baru tiga," ujar Siau-hi-ji. "Jika tidak keliru dugaanku, pada dua kamar yang lain pasti ada jenazah kedua orang lagi. Marilah kita pergi."

Baru sekarang pandangan Kang Giok-long beralih dari buku yang dipegangnya itu dan menegas, "Pergi? Kau... kau bilang pergi?"

"Ada apa? Masa mendadak kau tidak paham perkataanku?"

"Tapi... tapi kitab pusaka ilmu silat ini...?." tanya Kang Giok-long.

"Taruh saja di situ, toh mereka takkan lari," ucap Siau-hi-ji.

"Ba... baiklah... aku menurut saja," belum habis ucapannya, mendadak ia keluarkan bumbung warna emas yang ditemukannya di kamar senjata tadi, lalu menyambung pula dengan menyeringai, "Apakah engkau masih kenal barang ini?"

Siau-hi-ji seperti terkejut, jawabnya, "Tau-kut-coan-sim-ciam...."

"Benar, tajam benar ingatanmu," kata Giok-long. "Sebenarnya barang ini baru akan kugunakan terhadapmu bila kita keluar dari sini. Tapi sekarang tak dapat kuampunimu lagi."

"Kau... kau ingin membunuhku?"

"Kecuali kau mampu menghindari paku penembus tulang ini. Tapi kulihat kau tidak mempunyai kemampuan ini, di dunia ini memang tidak banyak yang memiliki kemampuan demikian."

"Jika kau bunuh diriku, apakah kau takkan kesepian tinggal sendirian di sini."

"Ilmu silat mahatinggi dan harta karun maha besar yang terdapat di sini kini sudah menjadi milikku seluruhnya, setelah kutemukan jalan keluarnya segera aku akan menjadi tokoh nomor satu di dunia, ya mahakaya, ya mahalihai, lalu apa lagi yang perlu kutakuti?"

"Ah, baiklah jika begitu, silakan kau bunuh saja," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.

"Kau tidak takut?" tanya Giok-long sambil menyeringai.

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Kutakut? Hahahaha, apa yang perlu kutakuti? Bumbung jarum berbisa yang kau pegang itu kosong!"

"Kosong?" Giok-long menjadi pucat.

"Masakah tak kau pikirkan, apa bila bumbung jarum itu tidak kosong, kenapa orang membuangnya di lantai. Jarum yang tersimpan di dalam bumbung itu sudah digunakan pemiliknya untuk membunuh lawannya, habis itu barulah dia buang bumbung kosong ini. Teori sederhana begini masakan tak terpikirkan olehmu?"

"Kau... kau...." suara Giok-long menjadi gemetar.

"Tadi kau pura-pura batuk untuk menjemput bumbung ini, jika aku tidak yakin bumbung ini kosong, mana bisa kubiarkan kau mengambilnya," setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, "Apa lagi jarum ini sangat sukar cara pembuatannya, bumbung tanpa jarum sama dengan benda tak berguna."

Dahi Kang Giok-long tampak berkeringat, katanya dengan tergagap, "Bukan... bukan maksudku hendak membunuhmu sungguh-sungguh, aku hanya... hanya...." Mendadak "trang" sekali, bumbung yang dipegangnya itu jatuh ke lantai.

"Ya, ya, kutahu engkau hanya bercanda saja denganku," ucap Siau-hi-ji setengah mengejek.

"Sumpah mati, sejak awal mula kupandang engkau sebagai kakakku," kata Giok-long pula dengan sikap sungguh-sungguh, sedikit pun tidak malu.

"Memangnya, kau pandang diriku sebagai kakak, mana bisa kau membunuhku."

"Asalkan Toako tahu saja, maka legalah hati Siaute (adik)," kata Kang Giok-long.

"Dan sekarang, kau mau keluar bukan?"

Giok-long mengiakan dan terpaksa melangkah keluar dengan tertunduk.

Kini yang diputar Siau-hi-ji adalah roda timah. Dengan tertawa ia berkata, "Kamar batu itu adalah kuburan, kamar besi dijadikan ruangan latihan, kamar emas tempat harta pusaka, kamar tembaga tempat senjata, semua itu memang masuk di akal. Dan apa isi kamar timah ini, dapatkah kau menerkanya?"

"Jangan-jangan kamar tidur?" ucap Giok-long sambil berkedip-kedip.

"Persetan! Masa tidur di kamar timah?" kata Siau-hi-ji sambil tertawa.

"Menurut pendapatmu, apa isi kamar ini?"

"Kukira...." belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, terlihatlah dinding timah telah mulai bergerak dan mendadak dari dalam menerjang keluar seekor singa sehingga Giok-long yang tepat berdiri di depan dinding itu hampir kena terkam. Keruan anak muda itu terkejut dan cepat melompat mundur.

Waktu diteliti, kiranya singa itu sudah tidak bernyawa lagi, bulunya masih utuh, tapi kulit dagingnya sudah tidak ada lagi, hanya tertinggal kerangka tulang berbalut kulit yang menakutkan itu saja.

"Singa itu tentu kelaparan setengah mati dan berusaha keluar, waktu mati dia masih berdiri bersandar pintu sehingga membuat kaget kita pula," kata Siau-hi-ji.

"Sungguh tak tersangka bahwa tempat ini adalah kandang binatang buas," ucap Giok-long.

"Mereka memelihara binatang buas di kamar ini, kukira pasti juga mempunyai maksud tujuan...." sembari berkata begitu ia pun sudah melangkah masuk dan mendadak berseru pula, "Ah, kiranya begitu tujuannya."

Cepat Kang Giok-long ikut masuk ke situ, dilihatnya ruangan yang berwarna putih kelabu itu penuh bercahaya gemilapan menyilaukan mata. Dipandang dari jauh bisa jadi orang akan menyangka ruangan ini tersimpan harta pusaka pula. Tapi setelah diawasi barulah jelas bahwa harta pusaka yang beraneka warna itu tidak lain daripada berbagai benda jenis botol kecil yang bentuknya aneh dan berbeda-beda.

"Tentunya kau tahu apa isi botol-botol ini?" tanya Siau-hi-ji.

Giok-long menarik napas dingin, katanya, "Racun!"

"Benar, mereka memelihara singa ini untuk menjaga obat racun di sini."

"Tapi... tapi siapakah yang mampu masuk ke sini? Pada hakikatnya mereka tidak perlu menjaganya."

"Yang mereka jaga justru kawan sendiri."

"Kawan sendiri?" Giok-long mengeret dahi.

"Ya, misalnya kau tinggal bersamaku setiap saat aku pun harus waspada kalau-kalau kau meracuni aku. Tapi dengan singa penjaga ini tentu sukar jika ingin masuk ke sini untuk mencuri racun, sebab pasti akan ketahuan kawan yang lain."

Habis itu, mendadak Siau-hi-ji berjongkok memandang lantai dan berseru, "Ah, jenazah orang keempat ternyata betul berada di sini!"

Giok-long melihat Siau-hi-ji hanya menjemput sekerat tulang dari lantai. Setelah berpikir ia pun berseru, "Hah... jangan-jangan mayatnya telah menjadi isi... isi perut singa?"

"Ya, mungkin sudah nasib bagi orang ini, bukan saja terbunuh di sini, bahkan mayatnya dimakan singa," ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

Lalu ia jemput pula dua kerat tulang, katanya sambil mengernyit kening, "Tampaknya selain singa di sini masih ada serigala dan harimau."

"Serigala dan harimau? Di mana?"

"Kakap makan teri, yang lemah menjadi mangsa yang kuat. Tentunya lebih dulu kawanan binatang buas itu makan manusia, habis itu serigala dimakan harimau dan singa, lalu giliran harimau dimakan singa. Maklumlah, selera makan singa biasanya lahap dan tidak pandang bulu."

Sekonyong-konyong Kang Giok-long tertawa ngakak.

"Urusan apa membuatmu bergembira?" tanya Siau-hi-ji.

"Coba menoleh!" sahut Kang Giok-long dengan tertawa. Entah sejak kapan dia ternyata sudah memegang sesuatu benda kehitam-hitaman seperti bumbung bambu. Sambil tertawa ia berkata pula, "Sungguh mujur aku sehingga dapat menemukan mestika ini."

"Apa itu?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip.

"Kau tidak kenal benda ini? Sungguh dangkal pengetahuanmu? Dahulu jago pedang nomor satu di dunia Bu-tim Totiang juga tewas oleh barang-barang ini, supaya kautahu, inilah Ngo-tok-cui (air pancabisa) yang lihai, tubuh siapa saja asalkan kena setitik air ini, dalam waktu setengah jam saja sekujur badan pasti akan membusuk dan mati."

"Wah, jika begitu, bawalah ke sana agak jauh agar aku tidak kena," kata Siau-hi-ji.

"Hm, kau berlagak pilon atau memang bodoh dan tidak paham?" jengek Kang Giok-long sambil menyeringai.

"Hah, masakah kau... kau hendak membunuhku?" Siau-hi-ji garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Sekali ini jangan harap kau mampu lolos lagi," ancam Giok-long. "Air berbisa ini baru saja sudah kucoba, asalkan tanganku sedikit bergerak, maka tamatlah riwayatmu."

"Apakah kau benar-benar harus membunuh diriku?" tanya Siau-hi-ji sambil tersenyum getir.

"Kalau tadi kau tidak banyak cincong dan membiarkan kubawa serta kitab pusaka ilmu silat itu, bisa jadi kau akan hidup lebih lama, tapi sekarang mau tak mau kau harus mati."

"Jangan lupa, mestinya aku dapat membunuh dirimu, tapi selama ini tidak kulakukan."

"Hm, itu kan salahmu sendiri, jangan menyesalkan diriku," jengek Kang Giok-long.

"Hah, bagus...." seru Siau-hi-ji gegetun. Habis ini mendadak ia tertawa dan berkata, "Hahaha, coba lihat dulu apa yang kupegang ini."

Yang dipegangnya ternyata adalah bumbung jarum berbisa yang dibuang Kang Giok-long tadi.

Dengan sendirinya Kang Giok-long tertawa geli, ejeknya, "Hahaha, mungkin kau ketakutan sehingga otakmu miring, masa menggunakan bumbung kosong itu untuk menggertak orang."

"Kosong? Siapa bilang?" tanya Siau-hi-ji dengan terkikik.

"Kau... kau sendiri tadi...." Kang Giok-long jadi melenggong malah.

"Ya, memang benar tadi kubilang bumbung ini kosong, tapi itu tipu belaka. Coba pikir, dalam keadaan begitu, kalau aku tidak menipumu, lalu apa jadinya?"

Air muka Kang Giok-long berubah pucat, tapi ia menjengek, "Hm, sekarang kau hendak menipuku pula, bukan? Bumbung jarum itu jelas sudah terpakai...."

"Benar, sudah terpakai, tapi terpakai berapa kali"

"Berapa kali? Sudah tentu hanya sekali."

"Itu dia, di situlah letak kebodohanmu," Siau-hi-ji berolok-olok. "Tahukah kau bahwa karena cara pembuatan jarum berbisa ini memakan waktu lama, maka setiap pesawat bumbung ini diisi dengan tiga susun jarum. Dengan demikian bumbung ini sekaligus dapat digunakan tiga kali berturut-turut."

Seketika keringat dingin mengucur di muka Kang Giok-long, katanya dengan suara gemetar, "Habis apa... apa kehendakmu?"

"Aku tidak menghendaki apa-apa, cukup kau pikir saja, apakah air berbisa yang kau pegang itu lebih cepat semprotnya atau jarum berbisa yang kubidikkan ini lebih cepat?"

Tangan Kang Giok-long mulai gemetar, jawabnya, "Kau... kau jangan menipu aku lagi, kau tidak... tidak tahu...."

"Hm, aku tidak tahu?" jengek Siau-hi-ji. "Sejak kecil aku dibesarkan di Ok-jin-kok. Senjata berbisa macam apakah yang tidak kuketahui?"

Tubuh Kang Giok-long menjadi lemas, ucapnya dengan menyengir, "Ya, dengan sendirinya pengetahuan dan pengalaman Toako jauh lebih luas, mana Siaute dapat menandingi." Belum habis ucapannya, botol berisi air berbisa itu cepat-cepat dikembalikannya ke tempat semula.

"Hehehe, kalau aku tidak membunuhmu, tentunya salahku sendiri, begitu bukan?" demikian Siau-hi-ji mengulangi ejekan Kang Giok-long tadi.

"O, ma... maaf Toako, usiaku terlalu muda sehingga sembarangan omong, harap Toako sukalah me... memaafkan," kata Giok-long sembari menyurut mundur.

"Ai, memang anak pintar, tidak sedikit pengetahuanmu, cuma sayang dibandingkan aku masih terpaut sedikit," kata Siau-hi-ji dengan gegetun, perlahan jarinya menekan pesawat bumbung jarum.

"Klik", bumbung jarum itu berbunyi satu kali, sekujur badan Kang Giok-long terasa lemas dan hampir semaput karena takutnya. Tapi bumbung jarum berbisa itu ternyata tidak membidikkan sesuatu.

Dalam pada itu botol air berbisa tadi pun sudah diambil oleh Siau-hi-ji, katanya dengan bergelak tertawa, "Hahaha, supaya kau tahu bahwa bumbung ini memang kosong sungguh-sungguh. Sekali jepret jarum berbisa ini 130 biji, bumbung sekecil ini, mana bisa menyimpan tiga susun jarum sebanyak itu. Teori sederhana begini saja tak terpikir olehmu?"

Kang Giok-long menggerung sekali dan benar-benar jatuh pingsan. Bukan pingsan lantaran ketakutan tapi pingsan saking dongkolnya…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar