Pendekar Binal Jilid 21

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Sementara itu ia merasa tubuhnya panas seperti terbakar, maka hawa semakin dingin itu baginya terasa semakin sejuk, ia terus membuka pintu itu dan melangkah ke dalam sembari berseru dan tertawa, "Hahaah, Kiukohnio, inilah aku sudah masuk ke sini, silakan kau tetap berlatih, takkan kuganggu dirimu."

Habis ucapannya ia pun tercengang seketika, dilihatnya di kamar batu ini masih ada sebuah lorong di bawah tanah, di dalam lorong itu penuh tertimbun balok-balok es batu yang terkumpul di musim dingin. Tertampak Buyung Kiu-moay duduk di atas sepotong es batu besar, kedua tangannya merangkul kedua paha terus melingkar ke bagian betis dan akhirnya telunjuknya menggantol di tengah-tengah bawah telapak kaki.

Yang luar biasa adalah sekujur badan nona itu dalam keadaan telanjang bulat tanpa seutas benang pun.

Sebesar ini, yang dilihat Siau-hi-ji sudah cukup banyak, tapi gadis telanjang bulat begini belum pernah dilihatnya. Biasanya dia tidak pernah terkejut melihat apa pun juga, tapi sekarang tidak urung dia berdiri terpaku dan melenggong.

Kedua mata Buyung Kiu-moay terbuka, maka ia pun melihat masuknya anak muda ke situ, sungguh sukar dilukiskan betapa rasa kejut, gusar, cemas dan malu, semua dapat terlihat dari sinar matanya yang mencorong aneh. Tapi tubuhnya ternyata tidak bergerak sedikit pun, agaknya memang tidak dapat bergerak lagi.

Cukup lama Siau-hi-ji berdiri terkesima, habis itu dia membalik tubuh dan berlagak celingukan kian kemari serta berseru, "Kiukohnio, engkau berada di mana? Mengapa tak kulihat dirimu!"

"Setan cilik" ini memang pandai meraba perasaan anak perempuan, apa yang diucapkannya ini sudah tentu dapat diketahui Buyung Kiu-moay sebagai pura-pura saja, tapi sedikitnya hati si nona jadi terhibur.

Sembari berseru Siau-hi-ji terus hendak melangkah keluar, tiba-tiba ia lihat di dinding sebelah tergantung sembilan buah lukisan, ia jadi tertarik dan coba mengamat-amatinya.

Terlihat lukisan pertama itu menggambarkan seorang telanjang bulat dengan berjungkir di atas balok es, di samping gambar ada beberapa huruf kecil yang memberi petunjuk cara berlatih ilmu menurut gambar. Ilmu itu disebut "Hoa-ciok-sinkang", ilmu sakti pembentuk batu, untuk melatihnya harus berbadan perawan dan memerlukan waktu tiga tahun, apa bila ilmu sakti itu sudah berhasil diyakinkan, maka tiada tandingannya di dunia.

Melihat lukisan berlatih ilmu sakti yang aneh itu, Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala, katanya, "Untuk meyakinkan ilmu setan ini, orang harus digembleng hingga seperti mayat hidup, pantas sikap Buyung Kiu-moay menjadi dingin terhadap siapa pun juga setelah meyakinkan ilmu setan ini."

Ia coba memeriksa pula lukisan kedua, ternyata orang dalam lukisan tidak lagi berjungkir, tapi sudah berdiri normal, di sebelahnya juga ada beberapa huruf sebagai petunjuk caranya berlatih.

Siau-hi-ji malas untuk melihat lukisan-lukisan lainnya, ia pun tidak berminat terhadap ilmu-ilmu begituan, kalau manusia harus berubah menjadi kaku dan dingin seperti batu, lalu apa gunanya biar pun nanti tiada tandingannnya di dunia ini?

Ia lihat gambar yang terlukis pada lukisan ketiga itu serupa dengan sikap yang sedang dilakukan Buyung Kiu-moay sekarang. Anak muda itu menghela napas lega, gumamnya, "Syukur dia baru berlatih sampai tingkat ketiga dan sudah kepergok olehku, kalau tidak, bila ilmu setan ini berhasil dilatihnya, tentu dia juga akan berubah menjadi makhluk yang aneh dan akibatnya selain membikin susah dirinya sendiri juga akan membikin celaka orang lain."

Dia tidak ingin memeriksa lagi lukisan yang lain, dengan cepat ia tarik lukisan-lukisan itu secara serabutan.

Sudah tentu perbuatan itu disaksikan juga oleh Buyung Kiu-moay, sorot matanya yang semula mengunjuk rasa malu itu berubah menjadi gusar, tapi akhirnya berubah pula menjadi memohon dikasihani.

Siau-hi-ji tidak berpaling ke sana, dia hanya berseru, "Kiukohnio, janganlah kau benci padaku, apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikanmu, kau hidup baik-baik dan bahagia, mengapa kau lebih suka menyiksa dirimu sendiri dengan berlatih ilmu konyol begini?"

Kalau saja Buyung Kiu dapat bicara, andaikan tidak mencaci maki tentu juga dia akan memohon dengan sangat agar Siau-hi-ji tidak melakukan pengrusakan, atau kalau dia dapat bergerak, bisa jadi Siau-hi-ji ditelannya bulat-bulat saking dongkolnya. Celakanya dia tidak dapat bicara dan tidak bergerak, terpaksa dia hanya menyaksikan anak muda itu merobek kesembilan lukisan itu tanpa bisa berdaya selain meneteskan air mata belaka.

Siau-hi-ji membawa kesembilan lukisan itu keluar dan dibakar di anglo pemasak obat, lalu dia membuka pintu bagian luar tadi dan melangkah keluar, tanpa menjenguk Thi Sim-lan lagi ia terus meninggalkan perkampungan itu.

Tindak-tanduk Siau-hi-ji seringkali terdorong oleh hasratnya seketika, terkadang tepat tindakannya, seringkali juga berbuat salah. Tapi salah atau benar tidak menjadi soal baginya, yang penting ia merasa puas karena telah berbuat, apa akibat daripada perbuatannya ia pun tidak ambil pusing.

Cuma sekarang badannya sedikit pun tidak enak rasanya, bukan saja panas, bahkan rasanya melembung. Sekaligus ia berlari-lari sekian jauhnya terus menyusup ke dalam hutan, hawa di hutan rimbun itu terasa jauh sejuk daripada di luar sana.

Langkahnya mulai terasa berat, dia tidak mampu bergerak lagi, terpaksa ia merebahkan diri di bawah pohon dengan napas tersengal-sengal, dia berharap dalam keadaan demikian semoga Siau-sian-li tidak muncul, begitu pula Buyung Kiu-moay jangan menyusulnya ke sini.

Semakin panas badannya dan serasa membesar, bahkan terasa gatal dan kering, ia bergumam, "Betapa baiknya jika di sini ada sebuah kolam, yang kuperlukan sekarang adalah air... ya, air...."

Mendadak seorang menanggapinya dengan mendengus, "Hm, yang kau perlukan sekarang bukan air melainkan peti mati!"

Segera Siau-hi-ji merasa kuduknya nyes dingin, mata pedang telah dipalangkan di atas tengkuknya.

Keruan ia melengak kaget, tapi segera ia berucap dengan menyengir, "Hah, betapa pun memang perempuan lebih lihai, seorang lelaki kalau sudah diincar seorang perempuan, maka selama hidupnya jangan harap akan bisa lolos."

"Baru sekarang kau tahu, apa tidak terlambat?" jengek pula suara tadi.

"Engkau ini nona Buyung atau Siau-sian-li?"

"Hm, memangnya kau mimpi akan ditolong lagi oleh budak kesembilan itu?" jengek orang itu.

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha, bagus, bagus, kiranya kau! Dasar nasibku masih mujur!"

Sudah tentu Siau-sian-li tidak tahu bahwa saat ini yang paling ditakuti Siau-hi-ji bukanlah dia melainkan Buyung Kiu-moay. Dia malah menyindirnya, "Benar, nasibmu memang mujur, kau lari ke jurusan ini dan aku justru menantikan kau di sini."

Siau-hi-ji mengerutkan kuduknya sedikit, tanyanya, "Pedangmu ini cukup tajam tidak?"

"Hm, kukira tidak terlalu tajam," kata Siau-sianli. "Tapi kalau kepalamu sudah kupenggal, mungkin mulutmu masih dapat bicara."

"Sedemikian hebat caraku menganiaya kau, apakah dendammu cukup terlampias dengan memenggal kepalaku?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa "Hehe, jika kujadi dirimu tentu takkan kulakukan tindakan semurah ini."

"Cara bagaimana akan kau terima hukumanmu, coba katakan saja, kujamin kaupasti akan puas dan tidak kecewa," kata Siau-sian-li.

"Paling sedikit harus dipukuli dulu sepuas-puasnya," ujar Siau-hi-ji.

"Memangnya kau kira aku tidak berani memukulmu," jengek si nona.

"Biar pun kau tega membunuh diriku, tapi jelas kau tidak sampai hati memukuli aku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Belum habis perkataannya, "plak, bluk", tiba-tiba tengkuknya kena ditonjok sekali dan punggungnya ditendang pula.

"Benar, aku tidak sampai hati memukulmu, tepat sekali...." begitulah Siau-sian-li berteriak dengan geregetan, sambil bilang "benar", berbareng ia terus menghantam, katanya "tidak sampai hati", kontan ia menendang pula.

Keruan Siau-hi-ji terguling-guling di tanah, tapi mulutnya justru berteriak-teriak sambil tertawa, "Hahahaha! Sungguh enak... enak sekali...."

Dia memang benar-benar merasa enak dan nyaman, jadi bukan berolok-olok belaka, soalnya tubuhnya terasa panas seperti dibakar, terasa melembung seakan-akan meledak, terasa kering dan gatal pula. Maka pukulan dan tendangan Siau-sian-li itu baginya menjadi seperti memijat dan mengurutnya.

Dengan sendirinya Siau-sian-li tidak tahu hal ihwal itu, dia tambah gusar dan mendamprat, "Bagus, kau bilang enak, biar kuhantam lebih keras." Berbareng itu punggung Siau-hi-ji merasakan pukulan keras satu kali.

"Tidak cukup, masih terlalu enteng... lebih keras lagi!" seru Siau-hi-ji.

Hampir meledak dada Siau-sian-li oleh ucapan anak muda itu, tapi demi melihat air muka Siau-hi-ji memang tidak mengunjuk rasa derita sedikit pun, ia menjadi heran dan sangsi.

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa saat itu di dalam perut Siau-hi-ji sedang bekerja khasiat belasan macam obat mujarab yang dimakannya tadi, biar pun tubuhnya dipalu sekarang juga takkan melukai dia.

Begitulah dengan mendongkol Siau-sian-li masih menghujani pukulan dan tendangan, tapi sampai tangan dan kakinya terasa pegal, Siau-hi-ji masih tetap berteriak, "Enak, nyaman! Ayolah lebih keras sedikit...."

Siau-sian-li jadi teringat kejadian tempo hari ketika anak muda itu diajarnya hingga babak-belur, tapi mendadak dapat melancarkan serangan balasan padanya hingga dirinya tergeletak tak bisa berkutik. Sungguh dia tidak habis paham mengapa anak muda itu sedemikian tahan pukul?

Selagi bimbang karena tidak tahu harus memukul lagi atau berhenti saja, tiba-tiba terdengar seorang berucap dengan nada dingin, "Apakah sudah cukup kau menghajarnya?"

Cepat Siau-sian-li berpaling, dilihatnya Buyung Kiu-moay sudah berdiri di bawah pohon sana. Kelihatan rambutnya awut-awutan, matanya merah dan tangannya rada gemetar.

Sama sekali Siau-sian-li tidak tahu mengapa Buyung Kiu-moay bisa berubah menjadi begitu rupa, dengan suara keras ia pun menjawab, "Belum cukup kuhajar dia, kau mau apa?"

"Baiklah, pukul lagi!" ujar Buyung Kiu.

Siau-sian-li jadi melengak malah, katanya dengan gusar, "Kalau sudah cukup kupukul dia, lalu kau mau apa?"

"Jika sudah cukup kau pukul dia, serahkan dia padaku."

"Di sini bukan lagi rumahmu, kalau kau merintangi aku lagi, aku pun...."

"Kau kira kudatang untuk menolong dia?"

Kembali Siau-sian-li melenggong, "Tidak menolong dia? Memangnya kau datang untuk membunuh dia?"

"Benar, ingin kubunuh dia!" kata Buyung Kiu-moay, ia melompat ke samping Siau-hi-ji, belati dilolos dan segera menikam.

Melihat kedua nona itu datang semua, hati Siau-hi-ji menjadi tidak takut malah. Ia pikir, kalau toh harus mati, apa pula yang perlu ditakuti?

Begitulah dengan mata terbelalak ia pandang belati orang. Mendadak sinar perak berkelebat, "tring", pedang pendek yang dipegang Siau-sian-li telah menangkis belati Buyung Kiu-moay.

"Tadi kau bilang hendak membunuh dia, mengapa sekarang kau malah menolong dia?" tanya Buyung Kiu-moay dengan gusar.

"Tadi kau pun hendak menolong dia, mengapa sekarang kau malah ingin membunuh dia?" Siau-sian-li balas menjengek.

"Kau... kau tidak perlu urus!"

"Aku justru ingin urus!" teriak Siau-sian-li.

Sekali bergerak, secepat kilat Buyung Kiu-moay melancarkan beberapa kali serangan belatinya sambil berkata, "Terserah, siapa pun yang berusaha merintangi aku, pokoknya aku harus membunuh dia sekarang!"

Secepat kilat Siau-sian-li juga putar pedangnya menahan serangan Buyung Kiu-moay itu sambil berkata, "Tadi kau melarang aku membunuh dia, sekarang aku pun melarang kau membunuhnya!"

Mendadak Buyung Kiu melompat mundur, jengeknya, "Hm, baik juga, silakan kau membunuh dia, biar aku menyaksikannya dari sini."

Kembali Siau-sian-li melengak, pedangnya sudah diangkatnya, tapi lantas diturunkan lagi, jengeknya, "Hm, kau ingin membunuh dia, aku justru tidak jadi membunuhnya."

"Apa artinya ini?" teriak Buyung Kiu dengan gusar.

"Mengapa aku harus menuruti kehendakmu?" ucap Siau-sian-li.

"Tadi dengan mati-matian kau berusaha membunuh dia, sekarang berbalik menolong dia, jangan-jangan... jangan-jangan kau dan dia...."

Muka Siau-sian-li menjadi merah, ia pun menjawab dengan suara keras, "Tadi kau pun berusaha menolongnya dengan mati-matian, sekarang kau pun berbalik ingin membunuhnya, jangan-jangan karena... karena dia dan kau...."

"Kau ngaco-belo!" bentak Buyung Kiu-moay, mukanya yang pucat berubah menjadi merah.

"Kau sendiri yang mengaco-belo!" Siau-sian-li balas membentak.

Serentak kedua orang sama menyerang, "trang" senjata kedua orang kebentur dan tangan keduanya sama-sama terasa kemeng dan tergetar mundur. Tapi mendadak pula kedua orang sama-sama berteriak kaget, Siau-hi-ji sudah tak kelihatan lagi.

"Gara-garamu...." omel Siau-sian-li dengan membanting kaki.

"Gara-garamu...." Buyung Kiu-moay juga menyemprot.

Kedua orang buka mulut berbareng dan tutup mulut bersama, yang terucapkan juga sama dan akhirnya wajah keduanya sama-sama merah jengah.

Setelah saling pandang memandang sekejap, kemudian Buyung Kiu-moay menunduk, Siau-sian-li juga menunduk.

"Kukira dia takkan lari jauh!" ucap Siau-sian-li tiba-tiba.

"Benar, ayolah kita kejar dia!" jawab Buyung Kiu.

Begitulah kedua orang saling pandang pula, ingin tertawa, tapi urung.

"Kalau tertangkap, sekali ini kita binasakan dia bersama!" ucap Siau-sian-li sambil menggigit bibir.

Betapa pun Siau-hi-ji menyadari kemampuan sendiri, ia tahu baik mengenai Ginkang maupun soal tenaga jelas tidak mampu lolos dari pencarian kedua nona itu, sebab itulah dia tidak kabur ke mana-mana melainkan terus lari balik malah, lari kembali menuju ke Buyung-san-ceng, perkampungan keluarga Buyung.

Setiba di tempat tujuan, langsung dia menuju ke kamar batu berpintu tembaga itu, ia membuka kunci dengan kawat wasiatnya dan dengan mudah dapatlah ia masuk ke situ. Kemudian dia mengunci kedua pintu itu dari bagian dalam, lalu berbaring di lorong bawah tanah penuh timbunan balok es itu dengan rasa nyaman, teringat kepada kedua nona yang ditinggalkan bertengkar sendiri itu, tanpa terasa ia tertawa geli.

Kedua nona dalam pandangan orang lain adalah pendekar perempuan, gadis cendikia, tapi bagi pandangan Siau-hi-ji mereka tak lebih hanya perempuan biasa, dalam pandangan anak muda itu, lelaki di dunia ini mungkin ada seratus delapan puluh macam, tapi perempuan hanya ada satu macam saja.

Namun tubuhnya terasa semakin panas, mulut kering dan bibir pecah, saking tak tahan ia terus bergulingan di atas balok-balok es itu, ia ketok pula sepotong es batu terus dimamah hingga berkeriat-keriut, setelah mengertak beberapa potongan es, badan terasa lebih segar dan sangat nyaman, segera ia berbaring lagi di atas balok es dan akhirnya tertidur pulas. Dalam keadaan demikian dan di tempat begini dia dapat tidur nyenyak, kepandaian ini sungguh harus dipuji.

Di tengah mimpinya tiba-tiba terdengar suara "krek" sekali, pintu tembaga telah dibuka orang. Jantung Siau-hi-ji juga berdebar keras, ia tidak berani bergerak sedikit pun dan sebisanya menahan napas.

Terdengar suara Siau-sian-li sedang berkata, "Wah, dingin amat!"

Lalu Buyung Kiu-moay lagi menjawab, "Waktu ibu membangun gudang es ini dahulu tujuannya untuk menyimpan es batu agar setiap saat dapat membuat es jeruk peras di musim panas bagi ayahku, siapa tahu kemudian gudang es ini telah dimanfaatkan untuk keperluan lain."

"Keperluan apa?" tanya Siau-sian-li.

Buyung Kiu tidak menjawab, ia terdiam sejenak, akhirnya berkata perlahan dengan gegetun, "Tapi sekarang tidak diperlukan lagi." Di dalam ucapannya penuh mengandung rasa duka dan kecewa, juga penuh mengandung dendam dan benci.

Merinding Siau-hi-ji mendengar ucapan itu, ia tahu nona Buyung benar-benar teramat benci padanya, kalau dirinya sampai ditutup di dalam gudang es ini, maka jangan harap dapat lolos.

"Memangnya kau khawatir setan cilik itu lari dan sembunyi di sini?" demikian Siau-sian-li lagi berkata.

"Ehm," terdengar Buyung Kiu mengiakan.

"Ah, kau terlalu banyak khawatir, masakah setan cilik itu berani lari balik ke sini?" ujar Siau-sian-li dengan tertawa.

"Sungguh aku tidak mengerti ke mana dia telah lari?" kata Buyung Kiu.

"Bangsat cilik itu memang licin seperti setan, banyak pula tipu muslihatnya," kata Siau-sian-li dengan gegetun. "Maka lain kali bila ketemu dia, tanpa bicara pasti kubunuh dia, ingin kulihat dia mampu main gila apa lagi?"

Suara percakapan mereka semakin menjauh dan "klik", kembali pintu telah terkunci dari luar.

Diam-diam Siau-hi-ji bersyukur karena kedua nona itu telah pergi. Pikirnya dengan geli, "Untung perempuan lebih teliti dalam hal-hal kecil dan teledor dalam hal-hal besar. Ingin memeriksa ruangan ini, tapi toh tidak memeriksanya dengan teliti, kalau tidak pasti celakalah diriku."

Dengan tenteram ia berbaring hingga lama sekali di situ, akhirnya badan mulai terasa dingin dan barulah ia melompat bangun. Apa bila dia terus mengatur pernapasan dan menjalankan tenaga dalam, menghimpun khasiat obat yang dimakannya tadi ke pusat sehingga pasti akan banyak menambahkan kekuatanya, tapi sayang, begitu mendusin segera dia melompat bangun sehingga kesempatan yang bagus itu telah disia-siakannya secara percuma.

Dengan hati-hati dan menahan napas ia mendekati pintu sana, ia coba mengintip keluar melalui lubang kunci, segera dilihatnya Siau-sian-li dan Buyung Kiu masih berada di ruangan bagian luar. Siau-sian-li tampak bersandar pada dinding seperti sedang memikirkan sesuatu, adapun Buyung Kiu-moay tampak berdiri tegak dengan wajah pucat menakutkan.

Thi Sim-lan juga berada di situ, nona itu duduk di depan bejana obat dan sedang menyortir obat, sebiji demi sebiji dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam kaleng obat yang berbeda-beda. Air matanya tampak berlinang-linang, setiap kali memilih satu biji obat, setiap kali pula air mata menetes.

Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening dan tersenyum geli, pikirnya, "Maksudku semula ingin membikin susah Buyung Kiu, tak tahunya yang kena getahnya adalah Sim-lan. Mungkin Buyung Kiu teramat benci padaku, maka Sim-lan dijadikannya sebagai alat pelampias dan dijadikan kuli."

Dan ke manakah Koh Jin-giok? Mungkin dia sama sekali dilarang masuk ke ruangan ini.

Setelah termangu-mangu sekian lama, mendadak Siau-sian-li mendekati Thi Sim-lan. Karena kaget, secomot pil di tangan Thi Sim-lan sampai jatuh berserakan di lantai.

Terdengar suara Siau-sian-li berkata, "Jangan takut, aku takkan membikin susah padamu. Kita... kita sama-sama menjadi korban penipu setan cilik itu, jadi kita senasib dan harus saling solider."

Sim-lan menunduk, air matanya bercucuran.

Siau-sian-li tertawa dan berseru, "Marilah lekas kita pungut pil ini, kubantu kau, kalau tidak kerja keras nona Buyung takkan memberi makan pada kita."

Buyung Kiu memandang mereka dengan dingin tanpa mengunjuk sesuatu perasaan apa pun.

Diam-diam Siau-hi-ji gegetun, pikirnya, "Lahirnya Siau-sian-li kelihatan galak, tapi hatinya sebenarnya tidak jahat... padahal kebanyakan perempuan memang begitu, betapa pun galaknya, cukup beberapa patah kata manis saja sudah dapat membuat mereka bertekuk lutut."

Selang sejenak tiba-tiba Siau-sian-li berkata pula, "Tentang peta itu... apakah benar ditipu dan diambil setan cilik itu?"

Thi Sim-lan tidak lantas menjawab, ia diam sejenak, kemudian berkata dengan suara lirih, "Dia tidak menipu, aku sendiri yang memberikannya."

"Diberikan padanya?" Siau-sian-li menegas. "Mengapa kau berikan padanya?"

"Karena... karena aku...." jawab Sim-lan dengan tergagap dan menunduk.

"Tampaknya kau pun banyak ditipu olehnya," kata Siau-sian-li, "kau...."

Mendadak Thi Sim-lan berdiri dan berteriak, "Kusuka berikan pada siapa adalah urusanku, orang lain tidak perlu ikut campur."

Siau-sian-li melenggong, katanya kemudian dengan tertawa, "He, mengapa kau marah-marah."

"Meski ilmu silatmu lebih tinggi daripadaku juga tidak perlu mengejek diriku!" teriak Sim-lan dengan ketus.

Siau-sian-li menggeleng-geleng, katanya dengan gegetun, "Tidak ada yang mengejek kau, sungguh tiada yang mengejek kau."

Diam-diam Siau-hi-ji tertawa geli, pikirnya, "Sifat Siau-sian-li keras di luar lunak di dalam, sebaliknya Thi Sim-lan lunak di luar keras di dalam, perangai mereka benar-benar berlawanan, sedangkan Buyung Kiu karena dia meyakinkan ilmu sesat itu sehingga dingin kaku, mungkin batinnya juga dingin sebagai es. Di antara ketiga nona ini paling sukar dilayani adalah Buyung Kiu."

Selang tak lama, terdengar Siau-sian-li berkata, "Kau masih marah tidak?"

Sim-lan menunduk dan merasa kikuk. Kalau orang lain bersikap garang padanya, maka mati pun dia tidak mau tunduk, sebaliknya kalau orang bersikap ramah padanya, dia menjadi tak berdaya malah.

"Tentunya kau sendiri sudah pernah membaca peta itu?" demikian tanya Siau-sian-li pula.

"Ehm!" Thi Sim-lan mengiakan lirih. "Masihkah kau ingat bentuk peta itu?"

"Aku... aku tidak begitu ingat lagi."

"Hendaklah maklum bahwa sama sekali bukan tujuanku hendak memperoleh harta karun itu, aku bersumpah pasti takkan menjamahnya. Cuma, cuma kupikir setan cilik itu pasti akan datang ke sana, bila mana kau masih ingat tempatnya, maka dapatlah kita menemukan dia dan pasti akan kubela kau dan memberi hajaran setimpal padanya."

"Aku benar-benar tidak ingat lagi, aku tidak bohong," ucap Thi Sim-lan dengan semakin menunduk.

Dari lubang kunci dengan tepat Siau-hi-ji dapat melihat muka Thi Sim-lan, tertampak biji matanya mengerling ke kanan dan ke kiri, diam-diam ia merasa geli, "Dia pasti tahu tempat harta karun itu, tapi tidak mau dikatakan kepada orang lain. Budak ini tampaknya polos, mulutnya tidak berbohong, tapi kalau sudah mau dusta dia benar-benar dapat pegang teguh pendiriannya."

Tiba-tiba terpikir olehnya, "Dan untuk apa dia berdusta? Apakah... apakah lantaran diriku? Padahal aku sangat busuk terhadap dia, sampai sekarang dia tetap tidak menista diriku barang sepatah kata pun, bahkan dia menjadi marah bila mendengar orang lain menjelek-jelekkan diriku. Apa sebabnya dia bersikap demikian?"

Pikir punya pikir, ia sendiri menjadi terkesima, tapi segera ia mengomel sendiri, "Ah, peduli apa sebabnya? Pokoknya setiap perempuan memang sinting."

Tiba-tiba tertampak Buyung Kiu melangkah keluar dengan cepat, selagi Siau-hi-ji merasa heran, terlihat nona itu masuk lagi, tangannya membawa sebuah serok tembaga kecil.

"Apa itu?" tanya Siau-sian-li.

"Timah," jawab Buyung Kiu.

"Timah?Untuk apa?" tanya Siau-sian-li.

Buyung Kiu tidak menjawab pula, serok tembaga itu dipanggangnya sejenak di atas anglo, matanya memancarkan semacam sinar yang kejam dan buas, lalu katanya dengan perlahan, "Ruangan dalam situ sudah tak terpakai lagi, biarlah lubang kunci ini kututup dengan timah, dengan demikian siapa pun jangan harap akan masuk lagi ke situ dan siapa pun jangan harap akan dapat keluar."

Melihat senyuman aneh si nona Siau-hi-ji sudah merasakan gelagat tidak enak, setelah mendengar ucapan itu, ia tambah ketakutan. Sungguh keji amat hati Buyung Kiu ini, ternyata Siau-hi-ji hendak dikurungnya hidup-hidup di dalam gudang es itu.

Jadi sejak tadi nona itu sudah tahu Siau-hi-ji sembunyi di dalam situ, cuma dia pura-pura tidak tahu, soalnya ia khawatir Siau-sian-li dan Thi Sim-lan akan berusaha menolongnya.

Tentu saja Siau-hi-ji terperanjat dan cepat hendak membuka pintu itu untuk menerjang keluar, namun Buyung Kiu-moay sudah bertindak lebih dulu, sekali seroknya menyiram ke lubang kunci, langsung segala apa pun tidak tertampak lagi, lubang tersumbat oleh cairan timah dan sebentar saja lantas membeku, lalu suara apa pun tidak terdengar lagi, luar dalam kini sudah terpisah. Bahkan di luar mendadak ada orang menggedor pintu dengan keras.

Rupanya Buyung Kiu-moay cukup cerdik, ia khawatir Siau-hi-ji menggedor pintu dari dalam sehingga terdengar oleh Siau-sian-li dan Thi Sim-lan, maka ia lantas mendahului menggedor pintu, andaikan Siau-hi-ji benar-benar menggembrong pintu juga takkan terdengar lagi.

Anak muda itu benar-benar mati kutu, terkejut dan khawatir pula, tapi apa daya, ia hanya dapat mencaci maki sendiri, "Buyung Kiu, kau setan alas, kau perempuan bejat, mengapa kau begini jahat, kan aku tidak membunuh ayah ibumu, juga tidak pernah memperkosa kau, kenapa kau menginginkan kematianku? Huh, kalau saja tadi aku tidak muak melihat barisan tulang igamu yang mirip pagar bambu dan tanah lapang di dadamu mungkin kesempatan tadi telah kugunakan untuk mengerjai kau, dan pasti sekarang kau malah mengharapkan aku hidup seterusnya."

Begitulah ia mencaci maki habis-habisan, segala kata-kata kotor juga di keluarkan. Anak yang dibesarkan di Ok-jin-kok sudah tentu seninya memaki orang jauh lebih tinggi dibandingkan orang lain.

Kalau saja caci maki Siau-hi-ji itu didengar langsung oleh Buyung Kiu, mustahil nona itu tidak jatuh semaput. Akan tetapi kini mereka dipisahkan oleh pintu tembaga yang tebal dan rapat, lubang kunci telah tersumbat pula, biar pun Siau-hi-ji mencaci maki sekeras-kerasnya juga tidak terdengar sedikit pun di luar.

Sesudah berteriak-teriak setengah harian dengan macam-macam istilah kotor dan keji, akhirnya Siau-hi-ji merasa kerongkongan menjadi kering, ia tahu kendati dirinya memaki lagi juga tiada gunanya. Ia coba mengelilingi ruangan itu sambil ketok sana dan pukul sini, pikirnya kalau-kalau dapat menemukan sesuatu jalan keluar.

Akan tetapi siapa pun maklum, bangunan gudang es tentu jauh lebih rapat dan kukuh daripada rumah biasa, sedikit pun tidak boleh ada lubang hawa, jadi lorong bawah tanah benar-benar penjara alam, biar pun Siau-hi-ji sudah memeras otak tetap tak dapat menemukan sebuah lubang kecil apa pun.

Diam-diam anak muda itu menyeringai dan bergumam, "Siapa bilang ruangan ini tak berguna? Bukankah sangat baik memenjarakan orang di sini? Tampaknya aku bakal berubah menjadi ikan beku nanti."

Lambat-laun ia merasa kedinginan, ia mulai menggigil, terpaksa ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam, setelah hawa murni berputar, akhirnya badan terasa hangat.

Siau-hi-ji memang bukan anak yang suka belajar, walau pun tahu tadi telah menyia-nyiakan kesempatan bagus, tapi ia pun tidak menyesal. Soalnya ia merasa dirinya adalah manusia paling pintar di dunia ini, ilmu silatnya tinggi atau tidak bukan soal baginya, yang jelas tokoh-tokoh mahalihai macam apa pun juga kewalahan bila kebentur dia, lalu buat apa dia berlatih dengan susah payah?

Akan tetapi dalam keadaan memaksa dia harus giat berlatih dan baru disadarinya betapa hebat khasiat belasan macam obat yang telah dimakannya itu, jika disia-siakan sungguh teramat sayang. Maka dia mulai mengerahkan tenaga dalam lebih teratur, ia sampai lupa akan urusan mati-hidupnya sendiri.

Entah sudah lewat berapa lama, entah berapa jam atau berapa hari, yang jelas kalau merasa lapar ia lantas makan obat yang berada di sakunya itu, dengan begitu hilanglah rasa lapar dan juga tidak kedinginan lagi.

Tapi bila mengingat dirinya tidak mampu keluar, lambat atau cepat akan mati kelaparan terkurung di situ, lalu apa gunanya andaikan berhasil meyakinkan ilmu mahasakti?

Jika teringat hal itu, Siau-hi-ji lantas patah semangat dan masa bodoh. Tapi bila dia tidak berlatih, segera rasa dingin menyerang pula. Bukan soal baginya jika dia harus mati, tapi tersiksa di kala dia masih hidup, betapa pun hal ini tak bisa diterimanya.

Apa pun juga dia bukan malaikat dewata, akhirnya perutnya terasa lapar pula, ransum sudah habis sehingga laparnya tak tertahankan, dengan sendirinya semangat untuk berlatih juga tak ada karena perut kosong, dan karena lapar, rasa dingin semakin menjadi-jadi. Maka tahulah Siau-hi-ji ajalnya sudah tidak jauh lagi.

Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa orang mahapintar seperti dia ini akhirnya bisa mati terkurung di sini, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa ia mati di tangan orang perempuan. Baru sekarang ia menyadari bahwa sesungguhnya perempuan tidak sederhana dan begitu bodoh sebagaimana anggapannya semula.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar