Pendekar Binal Jilid 20

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
"Aku tidak sabar menunggu lagi!" bentak Siau-sian-li, berbareng ia terus menyelinap ke samping. Tapi beberapa kali ia menerjang maju, selalu dia dirintangi oleh tubuh Buyung Kiu-moay yang lemah gemulai itu.

Padahal kalau Buyung Kiu-moay benar-benar membiarkan Siau-sian-li menyerang Siau-hi-ji, rasanya juga belum tentu si nona membunuh anak muda itu. Tapi kini Buyung Kiu-moay berusaha merintanginya, ia jadi semakin dongkol dan gemas sehingga benar-benar akan membinasakan Siau-hi-ji. Untuk itu terpaksa ia harus menghalau dulu rintangannya, maka beberapa kali ia melancarkan serangan jarinya kepada Buyung Kiu-moay.

Sambil melenggang dengan gerakan enteng, Buyung Kiu-moay berucap, "Kakak Cing, kau yang mulai menyerangku lebih dulu, maka jangan kau salahkan aku."

Serangan Siau-sian-li tidak pernah berhenti sambil menjengek, "Jika aku ingin berbuat sesuatu, di dunia tiada seorang pun yang mampu merintangi aku, termasuk kau. Nah, bolehlah kau keluarkan jarum atau panah keluarga Buyung kalian yang terkenal itu...."

"Tidak perlu, lihat seranganku ini!" demikian mendadak seorang membentak di belakangnya sebelum habis ucapan Siau-sian-li. Berbareng serangkum angin pukulan terus menyambar tiba dengan dahsyat.

Cepat Siau-sian-li mendak ke bawah dan melompat mundur ke samping sambil membentak, "Bagus, Koh-siaumoay, kau juga berani menyerang padaku?"

Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, kiranya Koh Jin-giok itu berjuluk "Koh-siaumoay" (adik perempuan), rasanya poyokan ini cocok dengan orangnya. Tapi tenaga serangannya tadi tampaknya sangat hebat, biar Siau-sian-li yang lihai itu pun belum tentu dapat melawannya.

Siau-hi-ji tidak tahu bahwa ilmu silat Koh Jin-giok memang tangguh, nama "Giok-bin-sin-kun" (si pukulan sakti berwajah cakap) Koh Jin-giok cukup terkenal di dunia Kangouw.

Begitulah tampak Siau-sian-li mendelik sambil bertolak pinggang, bentaknya pada Buyung Kiu-moay dan Koh Jin-giok, "Ayolah maju semua, kalian sungkan-sungkan apa lagi?"

Dalam hati Siau-hi-ji juga berseru, "Ayolah, memangnya kalian sungkan-sungkan apa lagi!"

Tapi Koh Jin-giok ternyata diam saja dan tidak menyerang pula, katanya sambil menunduk, "Asalkan nona Thio tidak menyerang Kiu-ci, dengan sendirinya Siaute tidak berani menganggu nona Thio."

Siau-sian-li mendengus, "Hm, keturunan pukulan sakti keluarga Koh ternyata tak becus semua, selain mengambil hati Kiu-ci yang kau sukai itu memang kau tidak bisa apa-apa pula?"

Koh Jin-giok diam saja tanpa menjawab sepatah kata pun.

Siau-sian-li menjadi gusar, teriaknya, "Baiklah, Buyung Kiu, majulah, coba saja semua isi 'Jit-kiau-tay' (kantong senjata rahasia) kebanggaanmu itu boleh kau gunakan seluruhnya terhadapku!"

"Asalkan kau tidak membunuh orang di sini masakah aku ingin bergebrak denganmu?" jengek Buyung Kiu-moay.

Siau-sian-li menjadi serba susah, ia pandang Koh Jin-giok dan pandang pula Buyung Kiu-moay, kedua orang itu mengadang rapat di depannya tanpa memberi kelonggaran sedikit pun.

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berolok-olok, "Apa gunanya kau hanya memandangi mereka? Yang pasti kau takkan mampu menerobos rintangan mereka. Hahaha, Siau-sian-li yang namanya gilang gemilang ada kalanya ternyata juga mati kutu dikerjai orang."

Mendadak Siau-sian-li juga tertawa, "Haha, rupanya kau berharap mereka bergebrak mati-matian dengan aku dan kau dapat menonton dengan gratis, bahkan menarik keuntungannya nanti, betul tidak?"

"Jika kau tidak berani berkelahi melawan mereka boleh lekas pergi saja, kenapa pakai cari alasan segala?" kata Siau-hi-ji.

"Aku memang mau pergi," ucap Siau-sian-li. "Apa bila kau dapat sembunyi selama hidup di sini barulah aku benar-benar kagum padamu. Kalau tidak, begitu kau melangkah keluar rumah ini, seketika juga kucabut nyawamu."

Lalu dia berpaling kepada Buyung Kiu-moay, katanya dengan tertawa, "Kecuali kau kawin dengan dia dan menjaga dia selama hidup, kalau tidak betapa pun dia pasti akan mati di tanganku, buat apa sekarang susah payah kuberkelahi denganmu, kalau didengar orang luar mungkin aku akan dianggap mencari perkara padamu."

Habis berkata, ia melangkah mundur, mendadak tubuhnya melayang miring ke sana, di tengah suara tertawanya yang melengking nyaring itu, sekejap saja bayangannya sudah lenyap di kejauhan. Begitu bilang mau pergi segera nona itu benar-benar pergi, hal ini malah di luar dugaan Siau-hi-ji.

Setelah melenggong sejenak, akhirnya anak muda itu bergumam dengan tersenyum getir, "O, perempuan... perempuan! Sungguh menakutkan perubahan pikiran orang perempuan...."

"Perubahan pikiran orang ini memang benar sukar diterka oleh siapa pun," kata Buyung Kiumoay dengan gegetun, "bahkan tabiatnya juga sukar diraba. Ai, di dunia sekarang ini mungkin hanya dia saja yang sesuai menjadi lawanku...."

Mata Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, "Jika begitu, jadi pahlawan di dunia ini hanya kau dan dia berdua saja?!"

"Betul," jawab Buyung Kiu-moay.

"Lalu, siapa pula yang nomor satu di dunia Kangouw, dia atau engkau?" tanya Siau-hi-ji.

"Tindak-tanduknya lincah, cerdik dan aneh, perubahan pikirannya tidak menentu, bahkan aku sendiri tidak dapat meraba apa yang hendak diperbuatnya dan bagaimana tindak berikutnya, sungguh dia terhitung tokoh nomor satu paling lihai di dunia Kangouw sekarang."

"Dan kau sendiri bagaimana?" tanya Siau-hi-ji.

"Aku belum pernah berkecimpung di dunia Kangouw."

"Bila engkau berkecimpung di dunia Kangouw, dia akan berubah menjadi tokoh nomor dua, betul tidak?"

"Hm," Buyung Kiu hanya mendengus saja.

Dengan nada sungguh-sungguh Siau-hi-ji berkata pula, "Ya, engkau memang benar nomor satu di dunia ini...."

Buyung Kiu tersenyum hambar tanpa menjawab.

Tapi Siau-hi-ji lantas menyambung pula, "Kepandaianmu memuaskan diri sendiri memang benar-benar nomor satu di dunia."

Seketika berubah pula air muka Buyung Kiu-moay.

Akhirnya Siau-hi-ji tak tahan akan rasa gelinya, ia tertawa hingga terpingkal-pingkal, perutnya sampai terasa mules, katanya kemudian, "Kukira hanya lelaki saja yang bisa memuaskan diri sendiri, tak tahunya cara perempuan memuaskan diri sendiri ternyata jauh lebih hebat daripada lelaki. Haha, mengapa kau tidak keluar ke sana supaya kau tahu entah betapa banyak orang yang jauh lebih hebat daripadamu. Tapi, jika kau lebih suka mengaku nomor satu sambil menutup pintu, ya, aku pun tak berdaya."

"Kau... kau...." Buyung Kiu-moay tergagap saking gemasnya.

"Meski dua kali kau menolong jiwaku, tapi itu kau lakukan secara sukarela, aku tidak pernah mohon pertolonganmu. Kalau aku tidak utang budi padamu, dengan sendirinya aku pun tidak perlu mengambil muka padamu dengan kata muluk-muluk."

"Bagus... bagus sekali," ucap Buyung Kiu-moay. Meski dia berusaha sebisanya bersikap acuh tak acuh seperti tidak terjadi apa-apa, tapi justru sukar, badan justru gemetar saking gemasnya.

Sesungguhnya dia seorang nona yang berhati dingin dan tidak mudah marah, tapi entah mengapa, hanya dua-tiga patah kata saja Siau-hi-ji telah membuatnya gusar setengah mati.

Koh Jin-giok mendekati Siau-hi-ji, katanya, "Betapa pun Kiu-ci juga telah menolongmu, mengapa kau sengaja membuatnya marah?"

Dengan tertawa Siau-hi-ji memandang Buyung Kiu, katanya, "Aku justru suka membuatnya marah, waktu marah bukankah dia menjadi lebih bagus dipandang daripada sikap biasanya yang dingin kaku itu?"

Tanpa terasa Koh Jin-giok juga memandang Buyung Kiu, wajah yang pucat itu kini tampak bersemu merah sehingga jauh lebih menggiurkan dari pada biasanya. Melenggonglah Koh Jin-giok, sejenak kemudian barulah dia berucap, "Ya, memang betul, memang jadi lebih cakap."

Seketika Buyung Kiu-moay mendelik, omelnya, "Kau... kau pun berani bilang begitu di hadapanku? Memangnya kau anggap diriku ini apa?"

Koh Jin-giok menjadi ketakutan, cepat ia menunduk dan berkata, "O, tidak... tidak cakap, waktu marah kau menjadi sangat... sangat jelek."

Meski pikiran Thi Sim-lan penuh diliputi perasaan cemas dan sejak tadi tidak bicara, kini melihat kelakuan Koh Jin-giok itu tanpa tertahan ia jadi mengikik geli, Siau-hi-ji tidak perlu diterangkan lagi, sejak tadi ia sudah tertawa terpingkal-pingkal.

Dalam pada itu dua gadis cilik tampak datang menyusur hutan sana, dari jauh keduanya sudah lantas berseru, "Kiukohnio, Kiukohnio...."

Memangnya Buyung Kiu lagi mendongkol dan tak terlampiaskan, segera ia mendamprat, "Gembar-gembor apa? Memangnya kau kira aku tuli?"

Keruan kedua gadis cilik itu menunduk ketakutan dan berkata, "Ya, nona...." mereka melirik sekejap ke arah Siau-hi-ji, lalu menunduk pula dan berkata, "Rumah sudah kami bersihkan, apakah sekarang nona...."

"Sekarang juga kuperiksa ke sana, setiap hari juga begini, pakai tanya lagi?" omel Buyung Kiu.

Selamanya kedua pelayan itu tak pernah melihat sang nona bicara seketus itu, mereka tidak berani banyak bicara lagi, setelah mengiakan mereka terus berlari pergi.

Dengan dingin Buyung Kiu-moay berkata pula, "Jika Koh-siauya tidak ada urusan, silakan tinggal di sini mengawasi mereka, kalau tidak, bila engkau mau pergi juga boleh."

"O, tidak, aku tidak... tidak ada urusan, tidak ada urusan," kata Koh Jin-giok dengan tergagap. Buyung Kiu-moay lantas melangkah pergi tanpa berpaling.

Siau-hi-ji mengedipi Thi Sim-lan, mereka ikut keluar.

Koh Jin-giok mengintil di belakang Buyung Kiu-moay dan memandangi bayangan si nona seperti orang linglung. Thi Sim-lan juga memandang Siau-hi-ji dengan terkesima.

Tanpa terasa Koh Jin-giok menghela napas, tanpa terasa Thi Sim-lan juga menghela napas dan berkata, "Kau sungguh baik sekali terhadap dia, mungkin terlalu baik." Meski dia bicara mengenai persoalan Koh Jin-giok, tapi yang terpikir olehnya justru adalah urusan Siau-hi-ji, kalau Koh Jin-giok demikian baik terhadap Buyung Kiu, mengapa Siau-hi-ji tidak....

Begitulah makin dipikir makin luluh perasaannya sehingga dia tidak memperhatikan apa yang dikatakan Koh Jin-giok. Selang sejenak barulah dia berkata pula dengan rasa hampa, "Bukankah engkau sangat menyukai nona Buyung?"

"Aku... aku sendiri tidak tahu," ucap Jin-giok dengan bingung.

"Kau tidak tahu?" Thi Sim-lan menegas dengan tertawa.

"Ya, orang lain menganggap aku harus suka padanya, aku sendiri pun merasa pantas menyukai dia, tapi... tapi apakah aku memang suka padanya, aku sendiri pun tidak tahu, aku cuma tahu rada-rada takut padanya."

"Kau sungguh orang yang baik," ujar Thi Sim-lan dengan tersenyum.

Koh Jin-giok memandangnya sekejap, jawabnya sambil menunduk, "Engkau... engkau pun orang baik."

Sementara itu Buyung Kiu-moay sudah berjalan sampai di tengah taman, mendadak ia berpaling dan menegur dengan ketus, "Untuk apa kau ikut kemari?"

"Sebenarnya aku tidak ingin ikut ke sini," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa, "Tapi kalau aku tidak ikut dan kesempatan itu digunakan oleh Siau-sian-li untuk membunuhku, soal mati atau hidup bagiku tidak penting, tapi kau yang akan kehilangan muka."

Buyung Kiu-moay melototinya sejenak, tanpa bicara lalu melangkah pula ke depan sana.

Dengan langkah terhuyung-huyung Siau-hi-ji ikut di belakang si nona dengan napas terengah-engah, akhirnya ia berkata dengan suara lembut, "Aku tidak sanggup berjalan lagi, maukah kau memegangi tanganku?"

Buyung Kiu-moay tidak pedulikan ucapan itu, bahkan melangkah terlebih cepat.

"Baiklah, biar kumati kepayahan saja," ucap Siau-hi-ji. "Sesudah mati boleh kau serahkan jenazahku kepada Siau-sian-li dan selanjutnya dia pasti takkan merecoki kau lagi."

Sampai di sini, walau tidak menoleh, namun langkah Buyung Kiu-moay sudah mulai diperlambat.

Siau-hi-ji berkata pula, "Ada sementara anak perempuan yang tampaknya serba lebih hebat daripada lelaki, tapi kalau benar-benar bertemu dengan lelaki lantas kelihatan kelemahannya. He, pernahkah kau lihat lelaki yang tidak berani memegang tangan perempuan?"

Tampaknya Buyung Kiu-moay tidak tahan oleh olok-olok itu, jengeknya, "Hm, memangnya kau kira aku tidak berani? Aku cuma tidak...."

"Tidak sudi, begitu bukan?" sambung Siau-hi-ji. "Hahaha, di dunia ini mana ada orang yang mau mengaku dirimu tidak berani. Istilah tidak sudi memang alasan yang paling tepat bagi istilah tidak berani."

Dengan mendongkol mendadak Buyung Kiu-moay membalik tangannya, dia pegang tangan Siau-hi-ji terus diseretnya ke depan dengan terus berlari.

Tanpa kuasa Siau-hi-ji ikut lari bersama si nona, tapi mulutnya masih terus bercanda, "Hah, kecil benar tanganmu, tiada setengahnya tanganku...." Mulutnya tiada hentinya bicara, matanya juga tiada hentinya berputar, dilihatnya di samping taman sana ada sebuah serambi panjang yang berbelok menurun mengikuti tanah bukit. Di sebelah serambi panjang itu ada sebuah rumah yang indah, setiap ruangan dibangun dengan bentuk yang berbeda-beda, warna setiap pintu dan jendelanya juga berlainan.

Setelah dihitung Siau-hi-ji, jumlah ruangan rumah itu ada sembilan buah, agaknya inilah kamar pribadi kesembilan kakak beradik keluarga Buyung.

Warna daun pintu kamar pertama adalah kuning muda, Buyung Kiu mendorong pintu dan masuk ke situ, ternyata kain jendela, taplak meja, selimut dan sprei, semuanya juga berwarna kuning muda. Meski cuma beberapa macam benda sederhana itu, namun menimbulkan semacam rasa tenang dan indah.

Buyung Kiu memeriksa setiap benda itu dengan teliti, tapi Siau-hi ji justru memandangi si nona, katanya, "Inikah kamar pribadi Tacimu (kakak pertamamu)? Apakah Tacimu segera akan pulang?"

"Kalau tidak pulang apa lantas dibiarkan kotor tak terurus?" jawab Buyung Kiu-moay dengan ketus.

"Betul, biar pun penghuninya tidak pulang juga semua perabotnya harus dirawat sebaik-baiknya," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tampaknya antara kakak beradik kalian mempunyai hubungan yang erat dan penuh kasih sayang."

Tiba-tiba si anak muda tidak mengucapkan kata-kata yang berolok-olok lagi, seketika Buyung Kiu-moay menjadi bingung karena tidak dapat meraba maksud tujuannya. Maka ia hanya mendengus saja tanpa menanggapi.

Siau-hi-ji lantas berkata pula, "Tacimu tentu seorang perempuan yang cantik dan berbudi halus, suka pada ketenangan dan mendambakan keindahan. Ai, di dunia ini sungguh tidak banyak lagi perempuan yang bersifat demikian, tapi entah bagaimana dengan suaminya, apakah cocok baginya atau tidak?"

Akhirnya Buyung Kiu berpaling dan memandang sekejap pada anak muda itu, katanya, "Di dunia ini dengan sendirinya tiada lelaki yang cocok bagi Taciku kecuali seorang saja, yaitu Toacihu (kakak ipar pertama, suami kakak)."

"Dan bagaimana ilmu silatnya?"

"Tentunya kau tahu nama Bi-giok-kiam-khek (si pendekar pedang berwajah cakap)," jawab si nona dengan dingin.

Sebenarnya dia sudah bertekad tidak sudi bicara lagi dengan "setan cilik" yang menjengkelkan dan menjemukan ini, tapi kini tanpa terasa ia menanggapi ucapannya. Soalnya apa yang diucapkan setan cilik ini adalah persoalan yang paling suka dibicarakannya. Hanya dengan dua-tiga patah kata saja si setan cilik sudah dapat membuat rasa dongkolnya terlampiaskan.

Ruangan kedua berwarna serba merah, merah jambu. Dindingnya, busur yang tergantung di dinding dan sebatang pedang pendek dengan sarungnya, semuanya berwarna merah muda.

Dengan tertawa Siau-hi-ji memberi komentar pula, "Perangai Jicimu (kakak keduamu) tentunya berbeda dengan Tacimu. Dia pasti seorang yang polos dan suka terus terang, meski terkadang tabiatnya agak keras, tapi pada dasarnya dia berhati baik, bahkan suka memikirkan kepentingan orang lain."

Buyung Kiu terdiam sejenak, akhirnya tak tahan dan bertanya, "Dari mana kau tahu?"

"Kehebatan Amgi (senjata rahasia) keluarga Buyung terkenal di seluruh jagat, namun Jicimu justru tidak mau memakai senjata yang kecil itu, tapi lebih suka menggunakan busur dan panah yang besar, ini menandakan sifatnya pasti gagah dan suka cepat menyelesaikan setiap urusan, dengan sendirinya ia pun tidak suka pada permainan yang kecil-kecil itu."

"Ehm, apa lagi?" tanya Buyung Kiu-moay.

"Pedang panjang kuat, pedang pendek bahaya, pedang yang disukai Jicimu pendek bagai belati, ini menandakan bila ia sedang marah, dia pasti maju terus tak gentar apa pun juga."

Mau tak mau Buyung Kiu manggut-manggut, katanya, "Ilmu pedang Jiciku memang terkenal keras dan berbahaya, boleh dikatakan nomor satu di daerah selatan sini."

"Namun ilmu silat Jicihumu justru tidak tinggi, betul tidak?" tiba-tiba Siau-hi-ji menambahkan dengan tertawa.

Melengak juga Buyung Kiu-moay mendengar ucapan itu, ia pandang anak muda itu dengan keheranan, sampai sekian lama barulah ia mengangguk dan berkata, "Ya, Jicihu adalah putra tunggal keluarga bangsawan Lamkiong. Meski ilmu silat keluarga Lamkiong sangat tinggi, namun sejak kecil Jicihu suka sakit-sakitan, oleh karena itu... Ai...."

"Itulah dia!" ucap Siau-hi-ji sambil keplok dan tertawa.

"Kenapa?" tanya si nona.

"Bahwasanya setelah menikah, Jicimu meninggalkan senjata andalannya di rumah, dengan sendirinya disebabkan dia tidak ingin membikin malu dan rasa tidak enak bagi sang suami lantaran ilmu silatnya lebih tinggi. Dari sini dapat diketahui ilmu silat suaminya pasti di bawahnya, sebab itu pula dapat diketahui hati Jicimu sangat bajik dan suka memikirkan kepentingan orang lain."

Buyung Kiu memandangi anak muda itu sejenak tanpa menanggapi, lalu ia menuju ke kamar ketiga.

Daun jendela kamar ini ternyata ditempel dengan kertas hitam yang tebal, dengan sendirinya keadaan di dalam kamar menjadi gelap, namun cukup indah pajangan di dalam kamar, di samping meja rias ada meja catur, di atas rak buku juga penuh tertaruh gulungan lukisan, di dinding tergantung sebuah lukisan indah, tentu inilah buah tangan penghuninya sendiri.

Setelah memandang sekeliling kamar itu, dengan tertawa Siau-hi-ji memberi komentar pula, "Kakakmu yang ketiga ini tentunya seorang seniman, hanya saja tabiatnya agak terlalu angkuh dan suka menyendiri, dan juga rada pendiam serta mudah tersinggung. Ya, pada umumnya seniman seniwati dari jaman dahulu hingga sekarang memang rata-rata juga bersifat demikian."

"Dia memang tidak suka pada sinar matahari, yang paling disukai adalah suara hujan," tutur Buyung Kiu. "Lukisan yang dihasilkannya di waktu hujan sungguh sedikit pun tidak berbau kehidupan manusia di dunia fana ini. Jika dia memetik kecapi, suaranya terdengar seperti datang dari langit terbawa air hujan. Cuma sayang... sayang, sudah lama tak kudengar lagi suara kecapinya."

"Dan bagaimana dengan Samcihumu?"

"Dia adalah tokoh berbakat tinggi di dunia persilatan, bukan saja serba mahir mengenai seni lukis, seni tulis, seni catur dan seni musik, bahkan ketika berumur dua puluh sembilan beliau sudah menjadi ketua perserikatan jago-jago silat di daerah Kwitang dan Kwisay."

"Wah, yang lelaki gagah pintar dan yang perempuan cantik molek, sungguh amat mengagumkan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Begitulah Siau-hi-ji ikut Buyung Kiu memeriksa setiap kamar itu, habis memeriksa kamar kedelapan, sikap Buyung Kiu-moay sudah lebih ramah, bahkan kerlingan matanya juga tampak lembut. Dia merasa si "setan cilik" sesungguhnya tidak begitu menjengkelkan dan menjemukan, bicara punya bicara, akhirnya mereka sampai di kamar kesembilan.

Warna kamar ini serba hijau pupus, hijau muda, isi kamar sangat mewah dan sangat permai, setiap benda di dalam kamar ini adalah mestika yang jarang terlihat di dunia luar.

Buyung Kiu tidak bicara, ia hanya menatap Siau-hi-ji seakan-akan hendak bertanya, "Apakah kau tahu kamar inilah kamarku? Dapatkah kau mengatakan bagaimana pribadiku ini?"

Siau-hi-ji seperti tahu kehendak orang, ia pandang sekeliling kamar itu sekian lama, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha, penghuni kamar ini sama sekali berbeda daripada penghuni kamar bagian depan tadi."

"Berbeda bagaimana?" tanya Buyung Kiu-moay dengan sikap dingin seakan-akan tidak mempedulikan apa yang hendak diucapkan Siau-hi-ji.

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata, "Kamar ini berwarna hijau, ini menandakan bahwa penghuninya suka memuaskan diri sendiri dan anggap dirinya lain daripada yang lain, benda tetek bengek di sini menandakan sifatnya yang kekanak-kanakan. Suka pada kemewahan, kampungan...."

Belum habis komentarnya, air muka Buyung Kiu sudah berubah pucat, kehijau-hijauan, tanpa bersuara ia terus lari keluar dan tidak sudi lagi memandang barang sekejap pada si setan cilik ini.

"Hahahaha!" Siau-hi-ji terbahak-bahak geli. "Jika kusalah omong, kenapa kau mesti marah? Bila betul ucapanku, lebih-lebih kau tidak boleh marah."

Tanpa menoleh Buyung Kiu terus melangkah pergi, Siau-hi-ji ikut di belakangnya. Setelah membelok dua-tiga kali, tiba-tiba mereka sampai di suatu jalan berbatu, pada ujung jalan sana ada sebuah pintu tembaga hijau.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji tidak tahu keadaan di balik pintu sana, tapi dari daun pintunya dapat dirasakannya semacam keajaiban yang sukar diuraikan.

Dilihatnya Buyung Kiu-moay mengeluarkan sebuah anak kunci warna kuning emas terus dimasukkan ke lubang itu, setelah diputar sekali dua kali, daun pintu yang berat itu lantas terpentang tanpa suara. Serentak serangkum hawa dingin mendampar keluar dari dalam.

Segera Siau-hi-ji dapat merasakan kamar ini hampir mirip dengan rumah Ban Jun-liu di Ok-jin-kok itu, sekeliling ruangan juga penuh tertimbun aneka macam obat-obatan. Cuma rumah Ban Jun-liu itu dibangun dengan bata, sedang dinding sekeliling rumah ini terbuat dari balok batu hijau yang besar dan kuat. Hawa di rumah Ban Jun-liu terasa hangat sepanjang musim, sedangkan rumah batu ini terasa dingin menggigilkan orang.

Setelah Buyung Kiu dan Siau-hi-ji masuk ke rumah itu, segera si nona mengunci kembali pintu tembaga tadi. Wajah si nona yang memang pucat kini tambah menghijau.

"Hah, kiranya Kiukohnio kita juga seorang tabib wanita, sungguh boleh dikatakan serba pintar dan serba bisa," demikian Siau-hi-ji berucap dengan tertawa. "Eh, engkau membawaku ke sini, apakah hendak mengobati lagi penyakitku?"

"Benar," jawab Buyung Kiu-moay.

"Racunku sudah ditawarkan, masakah masih sakit?" ujar Siau-hi-ji.

"Tubuhmu berlebihan sesuatu barang, jika barang itu dipotong tentu kau akan bertambah sehat," kata Buyung Kiu-moay.

"O, barang apakah maksudmu?"

"Lidahmu!" dengus si nona.

Siau-hi-ji melelet lidah dan cepat menyingkir ke pojok sana. Dengan tertawa ia berkata, "Ucapanku dapat membuat kau marah, terasa suatu kehormatan juga bagiku."

Buyung Kiu hanya mendengus saja terus berpaling ke sana, katanya, "Obat-obatan yang berada di sini adalah benda-benda mestika yang sukar dicari, kau dilarang sembarangan menjamahnya."

"Kau kira aku akan menjamahnya atau tidak?"

"Jika kau ingin menjamahnya juga masa bodoh," ujar si nona dengan tersenyum hambar. "Hanya ingin kuperingatkan bahwa di antara obat-obatan ini meski banyak terdapat obat mujarab yang dapat menambah tenaga dan membikin panjang umur, tapi juga tidak sedikit obat-obatan beracun yang dapat membikin busuk isi perutmu, kalau kau keracunan terang tiada orang yang dapat menolong kau."

"Wah, apa betul?" Siau-hi-ji sengaja melelet lidah pula. "Ai, dasar nyaliku kecil, kau sengaja menakut-nakutiku pula, bisa mati kaku aku."

"Asalkan kau tidak sembarangan bergerak pasti tiada seorang yang mengganggu seujung rambutmu," kata si nona.

"Ditemani kau, dengan sendirinya tiada seorang pun yang mampu mengganggu diriku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Sekarang adalah waktu latihan kungfuku, aku harus pergi," kata si nona.

"Engkau... akan ke mana, aku tetap ikut," kata Siau-hi-ji.

Buyung Kiu menjadi cemas, bentaknya bengis, "Jika kau mengikuti aku lagi, sebelum orang mencelakaimu mungkin akan kubinasakan dirimu lebih dulu."

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, "Ai, anak perempuan secantik kau, sekali tersenyum saja cukup membuat orang semaput, untuk apa lagi berlatih Kungfu segala... setelah berhasil meyakinkan Kungfumu, mungkin kau sudah telanjur tua."

Buyung Kiu-moay tidak menggubrisnya lagi, ia terus menuju ke suatu pintu tembaga yang lain, ia mengeluarkan anak kunci emas pula dan membuka pintu itu, lalu menoleh dan memperingatkan Siau-hi-ji, "Jika kau berani sembarangan melangkah masuk pintu ini, maka jangan harap kau dapat keluar dengan hidup!"

"Pintunya kau kunci, cara bagaimana aku dapat masuk ke situ?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Memangnya kau dapat masuk?" jengek si nona dan segera menyelinap ke balik pintu terus dirapatkan kembali, "klik", pintu dikunci pula sehingga Siau-hi-ji tidak sempat melongok barang sekejap pun bagaimana keadaan di dalam sana.

Tapi anak muda itu pun tidak gelisah dan terburu-buru, dengan kemalas-malasan ia mengulet, lalu bergumam, "Perempuan, o, perempuan, penyakit kalian yang terbesar adalah menganggap lelaki di seluruh dunia ini tolol semuanya, kau kira aku tidak dapat membedakan obat mujarab atau obat racun yang terdapat di sini? Huh, ketahuilah bahwa sejak kecil aku dibesarkan di tengah onggokan obat-obatan, jenis obat-obatan yang kukenal jauh lebih banyak daripadamu."

Begitulah sembari menggrundel sendiri ia terus bongkar sana dan singkap sini, semua obat-obatan itu ditelitinya. Katanya kemudian dengan tertawa, "Pantas dia menakut-nakuti aku, bahkan sudah belasan tahun paman Ban sukar mendapatkannya, tapi di sini tersedia empat-lima obat-obatan mestika itu. Ah, agaknya rezeki perutku tidaklah jelek."

Benar juga, segera ia memilih beberapa jenis di antara obat-obatan itu terus dilalapnya. Kalau saja Buyung Kiu-moay menyaksikan caranya Siau-hi-ji menghabisi obatnya mungkin dia akan jatuh kelengar saking gemasnya.

Beberapa jenis obat-obatan yang jarang ditemukan itu sebenarnya juga belum pernah dilihat oleh Siau-hi-ji, cuma Ban Jun-liu pernah melukiskannya agar dia kenal bentuknya. Sudah berpuluh tahun Ban Jun-liu berusaha mencari obat-obatan itu dan tidak berhasil, dari sini dapatlah dibayangkan betapa tinggi nilai obat-obatan itu, kalau sudah diracik menjadi obat jadi, satu biji saja mungkin dapat menghidupkan orang yang sudah sekarat.

Tapi cara Siau-hi-ji melalap obat-obatan mestika itu benar-benar seperti orang awam makan kacang goreng, sedikit pun tidak merasakan betapa tinggi nilai daripada benda yang sukar dicari itu, hanya sebentar saja beberapa raup obat-obatan itu sudah dimakannya habis.

Sambil meraba perutnya anak muda itu bergumam pula, "Perutku sayang, hari ini kau sungguh beruntung!"

Tiba-tiba ia celingkukan kian kemari, seleranya seperti belum terpenuhi seluruhnya, otaknya bekerja pula mengincar obat-obat jadi yang berada di bejana itu. Segera ia membuka tutup bejana-bejana itu, isinya diperiksa dan dicium, lalu dicomotnya segenggam terus dimakan dengan lezatnya seperti makan kacang goreng. Malahan sebagian ia jejalkan ke saku bajunya, setelah sakunya penuh, sisa obat jadi itu dicampur aduknya menjadi satu.

Habis itu dia melelet lidah dan mencibir sendiri, katanya dengan tertawa, "Karena kau terlalu iseng, maka sengaja kucarikan pekerjaan untukmu."

Sudah tentu perbuatannya ini benar-benar membikin susah Buyung Kiu-moay. Betapa tidak? Untuk memilih kembali jenis-jenis obat yang berlainan itu mustahil dapat selesai dalam tiga hari.

Akan tetapi kini Siau-hi-ji sendiri pun merasakan akibatnya, belasan macam obat yang ditelannya itu seperti mulai membakar di dalam perutnya, panasnya bukan main, perutnya serasa akan meledak, bibir sampai pecah dan mulut kering.

Dalam keadaan kelabakan ia masih dapat merenung sejenak, lalu dikeluarkannya sepotong kawat kecil, ia masukkan kawat itu ke lubang kunci pintu tembaga, gumamnya dengan tertawa, "Memangnya kau mengira aku tak mampu masuk ke situ? Hah, aku justru akan masuk ke situ biar kau tahu kesanggupanku."

Ia mendekatkan telinganya ke lubang kunci dan memutar-mutar kawat kecil tadi, sembari bekerja sambil mendengarkan, sejenak kemudian dia mulai tersenyum dan bergumam pula, "Ini dia, di sini... ya, betul di sini!" Dan terdengarlah "klik" sekali, pintu itu pun dapat dibukanya.

Di dalam kamar itu ternyata jauh lebih dingin daripada di luar, hawa dingin segera menerjang keluar dari sela-sela pintu, tapi bagi Siau-hi-ji justru terasa sangat sejuk, ia menarik napas panjang-panjang dan berkata, "Ehmmm, sungguh segar!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar