Pendekar Binal Jilid 12

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
“Berapa harganya, katakan saja,” ujar Siau-hi-ji.

Mata si jangkung berkedip-kedip, katanya dengan rada samar-samar. “Harganya paling sedikit sera... seratus... seratus sembilan puluh... seratus sembilan puluh tahil perak.”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian sambil menggeleng, “Kukira harga ini tidak betul.”

Tiba-tiba wajah si jangkung yang berseri-seri tadi berubah menjadi merengut, “Mengapa tidak betul, kau harus tahu, ini kuda wasiat, sedikitnya berharga....”

“Jika kuda wasiat, maka sedikitnya berharga tiga ratus delapan puluh tahil perak, permintaanmu cuma seratus sembilan puluh tahil perak, terlalu sedikit, sungguh terlalu murah.”

Si jangkung jadi melenggong, mendadak ia berteriak dengan gusar, “He, kau sengaja berkelakar?”

“Emas selamanya tidak pernah berkelakar....” kata Siau-hi-ji dengan tertawa. “Satu tahil emas bernilai enam puluh tahil perak, tiga ratus delapan puluh tahil perak sama dengan emas enam tahil koma tiga tiga-tiga-tiga.... Nah, kertas emas ini kira-kira berbobot tujuh tahil, ambil saja!”

Sekali ini si jangkung benar-benar melenggong dan mengira sedang mimpi, dengan setengah linglung ia terima daun emas itu dan tanpa sadar mengangsurkan tali kendali kudanya. Kalau pegangannya tidak kencang, bisa jadi daun emas itu sudah jatuh ke tanah.

Dengan tertawa gembira Siau-hi-ji lantas pesiar ke sana kemari dengan menuntun kuda putih yang baru dibelinya itu. Segera ia mendapatkan penemuan baru pula, yakni selain orang-orang itu lebih banyak yang bodoh dari pada yang pintar, yang bermuka buruk juga jauh lebih banyak dari pada yang berwajah cakap. Hanya ada seorang pemuda baju putih yang bentuknya sama sekali berbeda dengan orang-orang lain.

Pemuda baju putih itu berdiri jauh menyendiri di sana seakan-akan tidak sudi bercampur-baur dengan orang-orang lain. Baju putih pemuda itu bergerak tertiup angin seperti salju di puncak Kun-lun-san, matanya gemerlap laksana kelip bintang yang dilihatnya semalam.

Tanpa terasa Siau-hi-ji memandang beberapa kejap kepada pemuda itu, ternyata mata si pemuda baju putih yang besar itu pun sedang memandang Siau-hi-ji.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji menyambut pandangan orang itu dengan tertawa, tapi pemuda itu ternyata tidak mengacuhkannya, bahkan berkedip pun tidak. Siau-hi-ji berkerut-kerut hidung dan melelet-lelet lidah padanya dengan muka badut, tapi pemuda itu lantas berpaling ke sana seakan-akan tidak sudi memandang Siau-hi-ji lagi.

Mendongkol juga hati Siau-hi-ji, ia bergumam, "Hm, lagaknya! Kau tidak sudi gubris diriku, memangnya aku sudi gubris dirimu?!" Ia sengaja melantangkan suaranya agar didengar pemuda itu.

Tapi pemuda itu justru anggap tidak mendengar.

Siau-hi-ji terus menuju ke sana, menghampiri sebuah dasaran pedagang yang terdekat dengan pemuda itu. Banyak perhiasan barang tiruan yang dijajakan di situ, bentuknya indah dan bercahaya, seakan-akan sedang menunggu orang yang mau masuk perangkap.

Siau-hi-ji ambil sebuah perhiasan bunga mutiara, matanya memandang pemuda tadi dan bertanya, "Ini dijual tidak?"

Tapi yang menjawab bukanlah pemuda itu melainkan seorang pendek berkopiah tinggi, dengan cengar-cengir si buntak ini berkata, "Pandangan tuan muda sungguh jitu, mutiara pilihan ini sungguh sukar dicari." Sambil bicara, matanya terus mengincar pinggang Siau-hi-ji. Rupanya ia sudah menyaksikan cara Siau-hi-ji membeli kuda tadi.

"Berapa harganya?" tanya Siau-hi-ji.

"Empat... lima... tu... tujuh puluh tahil."

"Tujuh puluh tahil?!" teriak Siau-hi-ji.

Si buntak berjingkat kaget, cepat ia menanggapi, "Ya, tu... tujuh puluh tahil tidaklah mahal."

"Tapi mutiara ini kan imitasi," ujar Siau-hi-ji.

"Imitasi? Siapa bilang?" seru si buntak dengan agak penasaran. "Ini... ini sungguh suatu penghinaan bagiku."

"Haha, sejak umur dua tahun aku sudah bermain mutiara dan menggunakannya sebagai peluru pelinteng, tulen atau palsunya mutiara akan ketahuan bila kucium dengan hidung saja," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Diam-diam perut si buntak hampir meledak saking gemasnya, ia heran mengapa bocah ini mendadak berubah menjadi cerdik. Tapi ia pura-pura berlagak penasaran dan berkata, "Wah, baiklah, kuberi diskon, biarlah kuhitung enam puluh tahil saja...."

"Ah, kau salah lagi," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Mutiara yang tulen dapat digagapi dengan mudah di lautan, sedangkan mutiara palsu justru harus membuatnya dengan susah payah, bahkan hasilnya sedemikian miripnya, maka harga mutiara palsu harus lebih mahal daripada yang tulen."

Kembali si buntak melengak, katanya dengan tergagap, "Ini... ini...."

"Kalau tulen harganya tujuh puluh tahil, maka yang palsu harus seratus empat puluh tahil perak, kira-kira emas murni dua tahil lebih...." demikian Siau-hi-ji sengaja membual dengan harapan si pemuda baju putih tadi akan tertarik dan memandang atau tertawa padanya.

Siapa tahu pemuda itu ternyata tidak menggubrisnya, bahkan menyingkir pergi.

Lekas-lekas Siau-hi-ji melemparkan emasnya dan berkata, "Nah, ini bobotnya tiga tahil." Tanpa ambil pusing si buntak yang ternganga bingung itu, cepat ia memburu ke sana. Namun pemuda baju putih entah berada di mana, sudah tidak kelihatan lagi.

Siau-hi-ji rada kecewa, ia termangu-mangu sambil menggigit bibir. Pada saat itulah tiba-tiba sebuah tangan menjulur tiba terus menyeretnya berlari. Tangan itu putih halus, itulah tangan Tho-hoa.

Begitulah dengan tarik-menarik, akhirnya mereka lari masuk ke kemah si Tho-hoa, wajah nona itu tampak merah, napasnya tersengal-sengal, ia mengomel perlahan, "Kau... kau ini sungguh bodoh, ingin membeli barang kenapa tidak cari padaku, tapi lebih suka ditipu orang. Kudamu ini harganya tidak sampai delapan puluh tahil perak, mutiara ini...."

"Paling tinggi sepuluh tahil," sambung Siau-hi-ji.

Tho-hoa jadi melengak malah, tanyanya, "Jadi kau... kau pun tahu?"

"Orang pintar seperti diriku ini masakah tidak tahu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Sudah tahu mengapa kau kena tipu?"

"Tertipu terkadang berarti menarik keuntungan," ujar Siau-hi-ji sambil memicingkan mata.

Tho-hoa memandang Siau-hi-ji dengan mata melotot laksana sedang memandang sesuatu makhluk yang aneh dan ajaib. Sungguh selama hidupnya belum pernah melihat bocah seaneh ini.

Bunga mutiara imitasi yang baru dibelinya itu lantas ditancapkannya pada ikal rambut si Tho-hoa, lalu Siau-hi-ji berkata, "Cici yang baik, jangan marah ya? Lihatlah betapa cantiknya engkau memakai bunga mutiara ini, sungguh mirip seorang putri. Cuma sayang, di sini tidak ada pangeran yang cocok bagi sang putri."

"Bukankah kau ini sang pangeran bodoh!" demikian Tho-hoa berseloroh.

Siau-hi-ji berkedip-kedip pula, katanya, "Kau bilang aku bodoh, sebentar lagi tentu kau akan tahu bahwa aku tidaklah bodoh. Sebentar lagi orang yang menipu aku tadi pasti akan lebih konyol tertipu olehku."

"Mereka akan tertipu olehmu?" tanya Tho-hoa heran.

Siau-hi-ji hanya tertawa tanpa menjawab. Ia tepuk leher kuda putih yang baru dibelinya dan berkata, "Kuda yang baik, lekas keluar dan berdiri di sana agar orang-orang itu datang kemari dan masuk perangkapku."

Kuda itu meringkik perlahan, seperti tahu kehendak tuannya, benar juga lantas menerobos keluar kemah, tapi Siau-hi-ji tetap memegangi ekornya agar tidak jauh meninggalkan perkemahan.

Dengan gegetun Tho-hoa berkata, "Ai, kau benar-benar anak ajaib, apa yang kau katakan selalu tidak dipahami orang dan apa yang kau lakukan tentu sukar ditebak."

Belum lagi Siau-hi-ji menjawab, tiba-tiba terdengar suara ribut di luar kemah. Seorang bersuara serak sedang berteriak, "He, tuan muda yang membeli kuda tadi apakah berada di dalam kemah?"

Siau-hi-ji berkerut hidung terhadap Tho-hoa, katanya dengan tertawa, "Itu dia orang yang mau masuk perangkapku telah datang sendiri!" Mendadak ia dorong Tho-hoa ke dalam selimut, katanya, "Baik-baik berbaring di sini, sayang, jangan bersuara."

Tentu saja Tho-hoa merasa bingung dan ingin bicara, namun sebelum membuka mulut, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah menyelubungi kepalanya dengan selimut sambil berseru, "Aku berada di sini, silakan masuk!"

Yang masuk sedikitnya ada belasan orang, dipimpin oleh si jangkung penjual kuda tadi. Belasan orang itu sama membawa bungkusan besar kecil masing-masing, bungkusan yang dibawa si buntak yang menjual bunga mutiara itu adalah terbesar sehingga dia seakan-akan menjadi satu gumpalan bersama bungkusannya itu.

Siau-hi-ji sengaja berkerut kening dan menegur, "He, apa-apaan kalian? Barang sebanyak ini...."

Si jangkung munduk-munduk dan menjawab dengan menyeringai, "Hehe, kata peribahasa, barang baik harus dijual pada yang mengerti. Ketika kawan-kawan ini mendengar tuan muda adalah seorang ahli membeli barang, berbondong-bondong mereka pun ingin memperlihatkan barang dagangan baik mereka kepadamu."

"Hihi, kalian tidak menipu aku, bukan?" Siau-hi-ji berolok dengan tertawa.

Cepat si jangkung menanggapi, "Ah, mana bisa jadi, mana bisa jadi.... Ayolah, lekas membuka bungkusan kalian dan perlihatkan kepada tuan muda kita." Belum habis ucapannya, serentak bungkusan besar kecil itu sudah dijereng di depan Siau-hi-ji.

Barang baik dalam bungkusan-bungkusan ini memang tidak sedikit, ada mutiara mestika, ada perhiasan tulen, ada kulit binatang yang mahal, ada Siahio (bibit wewangian dari kelenjar binatang sebangsa serigala) dan macam-macam lagi, pada hakikatnya barang-barang ini baru saja mereka beli dari orang-orang Tibet tadi.

"Ehm, barang-barang ini tidak jelek, aku ingin beli semuanya," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Belasan orang sama tertawa gembira hingga mulut mereka seakan-akan sukar terkatup kembali, serentak mereka berseru, "Alangkah baiknya tuan muda beli seluruhnya."

"Baik, bungkus saja semuanya," kata Siau-hi-ji.

Beramai-ramai belasan orang itu lantas meringkasi belasan bungkusan kecil itu menjadi satu sehingga bungkusannya sekarang lebih besar dari pada Siau-hi-ji, mungkin sekali sukar diangkat oleh orang biasa.

Habis itu, belasan orang itu lantas berdiri tegak dan menunggu pembayarannya. Namun Siau-hi-ji seperti tidak ambil pusing, ia bersiul-siul kecil sendirian seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Akhirnya si buntak tidak tahan, katanya, "Tuan muda, harga... harga barang...."

"O, kau minta pembayaran? Apa susahnya? Berapa, katakan saja sesuka kalian!" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Beramai-ramai belasan orang itu lantas menyebut harga barang bawaannya masing-masing, sudah tentu harga yang mereka sebut sedikitnya tujuh atau delapan kali lipat daripada nilai yang sebenarnya.

Tho-hoa tidak tahan lagi mendengar harga-harga yang disebut itu, dia ingin melompat keluar, tapi kepalanya ditahan oleh tangan Siau-hi-ji sehingga tak dapat berkutik. Didengarnya Siau-hi-ji lagi berkata dengan tertawa, "Dan total jenderal menjadi berapa?"

Rupanya si jangkung memang ahli hitung cepat, dalam sekejap saja ia dapat menjumlah seluruhnya dan berseru, "Total seluruhnya menjadi enam ribu enam ratus tahil perak."

"Ah, harga ini tidak betul," tiba-tiba Siau-hi-ji menggeleng.

Si buntak dan si jangkung sudah pernah mendengar kalimat ini, mereka tahu sang juragan muda mempunyai kebiasaan menambah satu kali lipat dari harga yang disebut, sudah barang tentu orang lain juga sudah mendengar akan sifat baik dan kebiasaan baik sang juragan muda kita. Maka mereka sama menjawab dengan mengiring tawa, "Ya, ya, harga tersebut tidak betul, terserah saja kepada juragan muda."

"Terserah padaku?" Siau-hi-ji menegas. "Tapi jangan-jangan kalian...."

"Kami pasti setuju," cepat beberapa orang memotong.

"Jika begitu...." Siau-hi-ji sambil merogoh bungkusan di pinggangnya, "baiklah, menurut perhitunganku, harga barang-barang kalian total jenderal kubayar...." pandangan semua orang sama terbelalak mengikuti gerak jari Siau-hi-ji, terlihat dua jarinya menjepit sepotong kecil daun emas, lalu menyambung pula dengan tertawa, "kubayar seluruhnya satu tahil emas kepada kalian."

Baru sekarang belasan orang itu melenggong, dengan menyeringai dan tergagap-gagap si jangkung berkata, "Tuan... tuan muda janganlah bercanda."

Tiba-tiba Siau-hi-ji menarik muka, katanya, "Kan pernah kukatakan bahwa emas tidak suka bercanda. Kalian sendiri bilang terserah padaku, bahkan menyatakan pasti setuju. Sekarang sudah terlambat biar pun kalian merasa menyesal." Ia lemparkan potongan kecil emas itu ke tanah, bungkusan besar tadi terus diangkatnya dan hendak melangkah pergi. Padahal bungkusan itu jauh lebih besar daripada tubuhnya, namun sedikit pun ia tidak buang tenaga untuk mengangkatnya.

Sekarang Tho-hoa baru tertawa geli, diam-diam ia menongolkan kepalanya, dilihatnya belasan orang itu sama terkesima. Tapi segera mereka membentak gusar dan mengudak keluar.

"Penipu kecil, kembalikan barang kami!" demikian orang-orang itu sama berteriak.

Lalu terdengar Siau-hi-ji menjawab, "Siapa penipu? Kalian sendirilah penipu."

Menyusul lantas terdengar serentetan suara orang menjerit kesakitan dan teriakan minta tolong, berbareng terdengar pula suara gedebukan seperti jatuhnya benda berat.

Tho-hoa bersabar sejenak, akhirnya ia tidak tahan dan segera melompat bangun dan berlari keluar, terlihatlah belasan orang tadi tiada satu pun yang berdiri, semuanya roboh terguling. Belasan laki-laki kekar itu telah dihajar Siau-hi-ji hingga babak-belur, ada yang mukanya bengkak, ada yang hidungnya keluar kecap, ada yang patah tulang kakinya, semuanya menggeletak di tanah dan tidak sanggup bangun.

Mau tak mau Tho-hoa melongo kaget juga, ia tahu kaum musafir yang berani berdagang ke daerah terpencil ini rata-rata bertenaga besar dan mahir beberapa jurus. Sungguh sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa si anak aneh itu ternyata memiliki kepandaian setinggi itu, belasan lelaki kuat itu dapat dirobohkan sekaligus.

Sekian lamanya Tho-hoa termangu-mangu, ketika kemudian ia berpaling, cahaya sang surya cerlang-cemerlang menyinari padang rumput, namun si anak ajaib dengan kuda putih yang baru dibelinya itu sudah tak kelihatan lagi…..

********************

Bungkusan itu terletak di punggung kuda putih, Siau-hi-ji sendiri menuntun kuda itu, sekaligus mereka lari hingga beberapa li jauhnya. Sungguh geli dan ingin tertawa jika Siau-hi-ji ingat tampang belasan orang yang diakalinya itu.

Menjelang lohor, sinar matahari makin panas, Siau-hi-ji belum begitu merasakannya, tapi kuda putih itu sudah rada payah.

Padang rumput yang luas itu tiada kelihatan bayangan orang maupun tempat berteduh. Tiba-tiba pikiran Siau-hi-ji tergerak, ia membuka bungkusan besar itu, diambilnya sepotong tanduk kambing benggala (dapat digunakan sebagai obat), ia pandang benda berharga itu, lalu tertawa dan membuang jauh tanduk itu.

Begitulah sambil berjalan Siau-hi-ji terus membuang, satu bungkus besar barang-barang yang sangat berharga itu telah dilemparkannya dengan tertawa riang tanpa sayang sedikit pun, sama saja seperti orang membuang sampah.

Sampai akhirnya sisa barang tinggal sedikit, tanpa pikir Siau-hi-ji mengemasi bungkusan itu terus dilemparkan jauh ke tengah semak rumput. Habis itu ia berkeplok tangan dan tertawa puas.

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara nyaring orang memanggilnya, "Siau-hi... Kang Hi... berhenti dulu, tunggu!"

Seekor kuda tampak berlari tiba secepat terbang, penunggangnya berbaju gemerlap, belasan kuncir tampak menari-nari tertiup angin, wajahnya merah menyerupai bunga Tho.

"Aha, hebat sekali kepandaian menunggang kudamu... sungguh indah!" seru Siau-hi-ji memuji.

Setelah dekat, Tho-hoa sudah berdiri di punggung kuda, mendadak ia berjumpalitan di udara. Siau-hi-ji kaget, tapi Tho-hoa sudah berdiri di depannya.

Sambil menggigit bibir, Tho-hoa membanting-banting kaki, matanya mengembang air, seperti habis menangis dan seakan-akan ingin menangis, dengan napas terengah ia mengomel, "Mengapa... kau pergi tanpa... pamit? Kau...."

"Aku telah menimbulkan onar, kalau tak kabur tentu membikin susah dirimu," ujar Siau-hi-ji tertawa.

"Ken... kenapa engkau menipu orang lain?" kata Tho-hoa pula.

"Mereka menipu aku, kenapa aku boleh menipu mereka?" jawab Siau-hi-ji.

Tho-hoa melengak, matanya yang jeli mengerling dan bertanya, "Mana barangnya?"

"Sudah kubuang semua," tutur Siau-hi-ji.

"Kau buang?" Tho-hoa terkejut."Ken... kenapa engkau berbuat begitu?"

"Habis tadinya barang-barang itu termuat di punggung kuda, aku sendiri malah harus berjalan kaki di bawah terik sinar matahari, bukankah aku menjadi orang tolol? Makanya kupikir barang-barang itu harus kubuang saja."

Mata Thoa-hoa terbelalak lebar, katanya, "Ta... tapi barang-barang itu sangat berharga, engkau tidak merasa sayang?"

"Bukan soal bagiku, sudah tentu aku tidak sayang," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Barang-barang berharga di dunia ini kan tidak cuma barang tadi, jika mau setiap saat aku bisa mendapatkannya."

"Kau... kau sungguh gila," omel Tho-hoa.

Siau-hi-ji bergelak tertawa, selang sejenak barulah ia berkata pula, "Barang-barang yang kubuang itu tentu akan ditemukan orang, jika penemu itu orang baik-baik, tentu mereka akan kegirangan. Bila kubayangkan wajah mereka yang tertawa gembira itu, rasanya hatiku pun ikut gembira, hal ini sudah cukup bagiku daripada susah payah kubawa sendiri barang-barang itu dalam perjalanan."

"Tapi kalau penemu itu orang busuk, lalu bagaimana?" tanya Tho-hoa.

"Bila penemu itu orang-orang busuk, maka mereka pasti akan berkelahi karena pembagian rezeki yang tidak rata, malahan kalau ada yang bermaksud mencaplok sendiri rezeki yang ditemukan, bisa jadi kawan sendiri akan dibunuhnya."

"Begini kau pun senang?" tanya Tho-hoa.

"Mengapa tidak senang? Haha, teramat senang!"

"Kau... kau sungguh telur busuk!" omel Tho-hoa dengan terbelalak.

"Selain itu, bila barang-barang itu ditemukan oleh manusia malas, pasti dia tidak mau bekerja apa-apa lagi dan sehari-harian hanya ingin mencari rezeki di tengah semak-semak rumput itu, dia mencari dan mencari terus sampai dia lupa daratan dan mati kelaparan." Siau-hi-ji terkekek-kekek, lalu menyambung pula, "Coba lihat, aku cuma membuang sedikit barang begitu, tapi jelas akan mengubah betapa banyak kehidupan manusia, bukankah ini permainan yang paling menarik di dunia ini?"

Tho-hoa melongo seperti patung, sekian lamanya barulah dia menghela napas perlahan dan bergumam, "Kau sungguh iblis kecil."

"Baik, tadi kau memaki aku tolol, memaki aku gila dan iblis kecil, jika begitu, mengapa kau menyusul ke sini?"

Tho-hoa menunduk, jawabnya dengan lirih, "Aku... aku cuma ingin tanya mengapa... mengapa kau pergi tanpa pamit."

"Apa pun juga aku toh harus berangkat, pamit dan tidak apa gunanya?" ujar Siau-hi-ji. "Jika pamit dapat membuat kau melupakan diriku tentu tidak menjadi soal, cuma sayang kau kan tak dapat melupakan daku?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tho-hoa memandangnya dengan mata melotot, entah mengapa, air matanya lantas bercucuran.

"Apa yang kau tangiskan?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa. "Usiaku masih kecil, kan tidak dapat menjadi suamimu, apa lagi kau sangat cantik, tidak perlu khawatir takkan mendapatkan suami."

"Kau... kau sangat...." Tho-hoa berteriak dengan suara serak, tapi ia tidak sanggup melanjutkan lagi, sukar baginya untuk memilih istilah yang cocok untuk melukiskan tindak-tanduk makhluk cilik yang binal ini. Mendadak ia membanting kaki terus mencemplak ke atap kudanya, ia pukul pantat kuda sekeras-kerasnya terus dilarikan secepat terbang.

Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala, katanya dengan gegetun, "O, perempuan... kiranya perempuan kebanyakan rada sinting."

Dia membelai-belai bulu suri kuda putih dan bergumam pula, "Wahai, kudaku sayang, apa bila kau pun cerdik seperti aku, maka jangan sekali-kali mendekati perempuan, lebih-lebih jangan mau ditunggangi perempuan, kalau tidak, bisa konyol dan sial kau, sebab bila marah, orang perempuan akan menjadikan kau sebagai sasaran pelampias marahnya.... Ai, kukira pantat kuda itu pasti akan bengkak dipukul si Tho-hoa."

Ia lantas naik kudanya dan melanjutkan perjalanan ke depan. Tapi belum seberapa jauh, tiba-tiba seorang mengadang di tengah jalan.

Di bawah cahaya matahari terlihat jelas pakaian orang ini seputih salju, matanya bersinar, meski wajahnya tampak mengunjuk marah, sedikit pun tidak menakutkan, bahkan kelihatannya sangat menyenangkan.

Segera Siau-hi-ji dapat mengenalinya, yaitu si pemuda yang angkuh itu. Dengan tertawa ia menyapa, "Eh, kiranya kau berada di sini. Apakah kau sedang berjemur di sini?"

"Menunggu kau!" dengus pemuda itu.

"Menunggu aku?" Siau-hi-ji menegas dengan tertawa. "Tadi kau tidak menggubris diriku, sekarang malah...."

"Tidak perlu banyak omong, serahkan!" bentak pemuda baju putih.

"Serahkan? Serahkan apa?" tanya Siau-hi-ji heran.

"Barang hasil tipuanmu itu," kata si pemuda.

Kembali Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, "O, kiranya maksudmu barang-barang itu. Jika kutahu kau menginginkan barang-barang itu tentu akan kusimpan untukmu. Tapi sekarang... ai, sekarang sudah kubuang seluruhnya."

"Kau buang? Hm, memangnya kau ingin mendustai aku?" teriak pemuda baju putih dengan gusar.

"Untuk apa kudusta? Apa gunanya pula barang-barang rongsokan sebanyak itu?" ujar Siau-hi.

Setelah mengikik tawa, lalu ia berkata, "He, apakah kau tahu waktu marah wajahmu yang kemerah-merahan ini menjadi sangat cakap, sungguh mirip... mirip anak perempuan.... Sungguh aku kenal seorang anak perempuan, waktu marah mukanya kemerah-merahan dan sangat cantik, tampaknya dia dan kau adalah suatu pasangan yang setimpal, apakah mau kuperkenalkan kalian...?."

Muka si pemuda baju putih bertambah merah, dia ingin memperlihatkan sikap yang lebih garang dan bengis, tapi justru tidak bisa, terpaksa ia hanya mendelik saja, katanya dengan suara keras, "Jika benar kau telah membuang barang-barang itu, maka harus kau ganti."

"Kau minta ganti padaku?" tanya Siau-hi-ji.

"Ya, harus ganti!"

"Kedatanganmu ini benar-benar demi mengejar barang-barang itu?"

"Tentu!"

"Ah, kukira belum tentu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Mati-hidup orang-orang ini tidak kau pikirkan apa lagi cuma sedikit barang yang tertipu, mana lagi semua itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri. Kukira kau bukan... bukan mengejar barangnya, tapi... tapi mengejar diriku."

Dengan muka merah si pemuda baju putih membentak, "Benar aku memang mengejarmu. Selagi usiamu masih kecil begini sudah sedemikian busuk perbuatanmu, kalau sudah besar apa lagi!"

Siau-hi-ji meraba-raba kepalanya yang tidak gatal, tanyanya kemudian dengan tertawa, "Kau ingin membunuh aku?"

"Bunuh kau juga pantas," seru si pemuda. "Cuma... cuma usiamu masih kecil, rasanya masih ada obatnya. Kalau kau mau mengangkat aku sebagai guru, setelah kudidik dengan baik, mungkin kau akan menjadi orang baik-baik."

Siau-hi-ji menatapnya sejenak, habis itu mendadak ia tertawa terpingkal-pingkal, katanya, "Hahahaaah! Kau ingin menerimaku sebagai murid!?"

"Memangnya apa yang perlu ditertawakan?" sahut pemuda itu dengan gusar.

"Sebenarnya mempunyai guru muda secakap dirimu ini juga lumayan, cuma, apa yang dapat kau ajarkan padaku? Dalam hal apa kau lebih kuat daripadaku? Huh, kukira lebih tepat bila kau yang menjadi muridku."

"Hm, kau ingin belajar silat tidak?" jengek pemuda baju putih.

"Memangnya kau kira ilmu silatmu lebih tinggi daripadaku?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Tahukah bahwa aku ini jago nomor satu di wilayah Jwantiong (daerah tengah propinsi Sujwan)?" seru pemuda baju putih dengan gusar.

"Haha, jika benar jagoan kelas tinggi, tentu kau takkan lari ke sini, betul tidak?" ucap Siau-hi-ji dengan tenang. "Kedatanganmu ke sini bukan untuk berdagang dan juga tidak melancong, tapi seorang diri berada di daerah terpencil ini pasti kau ingin menghindari pencarian seseorang, betul tidak?"

Seketika air muka pemuda baju putih berubah, rupanya ucapan Siau-hi-ji itu dengan tepat mengenai lubuk hatinya. Tiba-tiba sorot matanya menjadi buas, bentaknya, "Siapa kau sebenarnya? Kau berasal dari mana?"

"Peduli siapa diriku? Kau pun tidak perlu urus kudatang dari mana," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau kau anggap ilmu silatmu cukup tinggi, boleh juga kau coba-coba dengan aku, yang kalah harus menjadi murid."

"Baik, aku justru ingin tahu dari mana aliran ilmu silatmu," jengek si pemuda baju putih.

"Ingat, kalah harus menjadi murid yang menang, kau sudah sanggup, tidak boleh mungkir janji...." belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak tubuhnya mengapung dari punggung kudanya, kedua kakinya sekaligus menendang, yang diarah adalah kedua mata lawan. i

Sama sekali si pemuda baju putih tidak menyangka gerak tubuh Siau-hi-ji bisa sedemikian gesit dan cepat, ia benar-benar terkejut. Tapi ilmu silat pemuda ini memang juga tidak lemah, pengalaman tempurnya juga luas, dalam keadaan terkejut ia tidak menjadi gugup. Sebaliknya ia malah mendesak maju sambil mengegos ke samping, dengan demikian ia sempat memutar ke belakang Siau-hi-ji dan tanpa menoleh lagi sebelah tangannya terus menabok. Serangan ini sangat cepat, gayanya juga indah, Hiat-to yang diarah juga jitu seakan-akan di punggung juga bermata.

Tadinya Siau-hi-ji mengira sekali serang akan dapat mendahului musuh, siapa tahu kesempatan menyerang segera direbut oleh lawan. Cepat kedua kakinya memancal, ia berjumpalitan di udara, lalu turun beberapa depa di sebelah sana. Katanya dengan tertawa, "Eh, tunggu, tunggu dulu!"

"Tunggu apa?" terpaksa si pemuda baju putih menghentikan serangannya.

"Apakah betul kau mampu melihat dari mana asal aliran ilmu silatku?" tanya Siau-hi-ji.

"Pasti, dalam sepuluh jurus cukup," jengek pemuda baju putih.

"Hah, aku tidak percaya," Siau-hi-ji menggeleng dengan tertawa, berbareng kedua kepalan lantas menjotos. Meski tertawa, namun pukulannya cukup keras dan ganas, inilah ajaran yang diperolehnya dari Ha-ha-ji, yakni di balik tertawa terus menikam.

Pemuda baju putih ternyata kena dikerjai, walau pun tidak sampai terkena jotosan, tapi kesempatan menyerang dahulu tadi jadi berantakan dan berbalik kena dicecar oleh Siau-hi-ji.

"Hihi, kukira kau lebih baik...." belum lanjut ucapan Siau-hi-ji, pemuda itu membarengi dengan menghantam dada lawan, ternyata dia menjadi nekat untuk gugur bersama Siau-hi-ji.

Sekali ini yang terkejut adalah Siau-hi-ji, sudah tentu dia tidak ingin merasakan hantaman lawan, cepat ia menangkis sambil tubuh mendoyong ke belakang terus menggeliat dan menerobos ke samping.

Mana si pemuda baju putih mau memberi kelonggaran, ia terus membayangi dan mengejar ke sana, kedua kepalan beruntun menghantam pula tanpa kenal ampun.

Terpaksa Siau-hi-ji melayani serangan lawan dengan sangat tangkasnya, terkadang dia memakai kepalan, mendadak berubah menjadi telapak tangan, gerak serangannya kadang-kadang keji, tiba-tiba cuma pancingan belaka, suatu saat keras, lain kali lunak dan macam-macam variasi lagi.

Begitulah Siau-hi-ji mengeluarkan segenap kemahirannya yang diperoleh dari para paman dan mamak di Ok-jin-kok, yaitu kombinasi kekejian Toh sat, kelicikan Im Kiu-yu, kekerasan Li Toa-jui, kelembutan To Kiau-kiau serta kepalsuan Ha-ha-ji.

Dengan ilmu silatnya itu sebenarnya sudah jarang ada tandingannya di dunia Kangouw, siapa tahu ilmu pukulan pemuda baju putih ini ternyata luar biasa dahsyatnya, serangan membadai dan membikin Siau-hi-ji hampir tak sempat bernapas.

Namun diam-diam pemuda baju putih juga terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa ilmu silat anak muda ini dapat berubah sebanyak ini sehingga sama sekali ia tak dapat menerka dari mana asal-usulnya.

"Hei, berhenti!" mendadak Siau-hi-ji berteriak.

"Baik, berhenti!" kata pemuda baju putih, tapi berbareng dengan ucapannya itu sekaligus ia menyerang pula enam kali.

Siau-hi-ji berkelit ke kanan dan mengegos ke kiri, pada kesempatan itu ia pun balas menghantam tiga kali, serunya, "Huh, beginikah caramu berhenti?"

"Hm, sekali ini aku takkan tertipu lagi," jengek pemuda baju putih.

"Tapi sepuluh jurus yang kau sebut tadi sudah lalu, dapatkah kau lihat asal-usul ilmu silatku? Kalau tidak hendaklah lekas berhenti dan dengarkan keteranganku," seru Siau-hi-ji sambil berkelahi.

Mau tak mau gerak serangan si pemuda baju putih menjadi rada kendur, kesempatan itu segera digunakan oleh Siau-hi-ji untuk melompat mundur, katanya sembari tertawa, "Coba katakan, dapatkah kau kenali aliran silatku?"

Terpaksa pemuda baju putih menghentikan serangannya, jengeknya, "Hm, dengan sendirinya sukar dikenali, pada hakikatnya ilmu silatmu tidak memakai aturan dan jelas bukan berasal dari sesuatu aliran."

"Bukannya tidak beraliran, sebaliknya terlalu banyak alirannya sehingga kau sendiri bingung," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Coba katakan, dapatkah kau kenali aliran silatku?"

"Terlalu banyak alirannya? Aliran mana?" tukas pemuda itu.

"Baiklah kuberitahu, ilmu silatku ini berasal dari ajaran lima orang, ilmu silat kelima orang ini pun entah meliputi berapa banyak alirannya, ilmu silat masing-masing juga sangat ruwet, hebat dan juga aneh...."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar