Jejak Dibalik Kabut Jilid 21

Wajah orang yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu menggeram. Dipandanginya Raden Sutawijaya dengan tajamnya.

Terasa angin semilir menyentuh tubuh Raden Sutawijaya. Demikian segarnya menyapu wajahnya, seakan-akan Raden Sutawijaya berada di sejuknya bayangan pohon yang rindang, di saat matahari menjadi terik.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa orang yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu menjadi sangat marah. Orang itu sudah mulai menyerangnya. Angin yang segar itu dapat membuat seseorang menjadi sangat mengantuk, sehingga kehilangan pemusatan nalar budi meskipun di medan pertempuran.

Tetapi Raden Sutawijaya adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas. Karena itu, maka dengan penuh kesadaran, ia telah meredam lapisan pertama ilmu Lintang Wora-wari yang tersimpan di dalam diri orang tidak berbaju itu. Lewat pandangan matanya ia mampu membuat lawannya menjadi lemah dengan seribu macam cara.

Raden Sutawijaya tiba-tiba menguap. Matanya menjadi redup. Namun sebenarnyalah bahwa ia sama sekali tidak terpengaruh oleh lapisan pertama ilmu lawannya itu.

“Aku sudah menyebut namaku. Siapakah namamu?” bertanya Ki Ageng Carangcendana.

Raden Sutawijaya mengusap matanya. Dengan nada dalam ia pun menjawab, “Namaku Sasangka. Aku adalah murid sulung perguruan Ki Panengah”

Ki Ageng Carangcendana menarik nafas panjang. Katanya, “Namamu bagus. Jika kau murid sulung Ki Panengah, maka kau merasa bahwa di antara murid-muridnya yang lain, kau adalah murid yang memiliki ilmu tertinggi”

Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Tidak. Ada dua orang saudaraku yang memiliki ilmu seimbang dengan aku. Murid kedua dan ketiga. Namanya Wijang dan Paksi. Ia juga berada di arena ini”

Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Ia pun kemudian memandang berkeliling. Orang-orang di sekitarnya sudah mulai bergeser dan bahkan saling menjajagi kemampuan lawan.

“Kalian akan sangat menyesal dengan melayani tantangan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

Tetapi Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Tidak. Kami tidak menyesal. Perbandingan ilmu ini akan dapat menambah luasnya wawasan kami terhadap ilmu kanuragan”

“Kau salah, Sasangka. Setelah perbandingan ilmu ini, kalian tidak akan pernah mampu menyimpan ilmu yang paling dasar sekalipun. Meskipun tubuh kalian tidak cacat, tetapi urat nadi dan simpul-simpul syaraf kalian akan rusak, sehingga kalian akan menjadi orang-orang yang dungu. Lemah ingatan dan kehilangan pribadi”

“Bukankah tujuan perbandingan ilmu itu bukan begitu? Kita hanya akan melihat siapakah yang lebih unggul di antara kita. Itu saja”

Orang yang mengaku bernama Carangcendana itu tertawa. Katanya, “Kau mulai menyesal? Tidak ada gunanya sekarang. Semuanya harus berjalan menurut rencana. Kalian semuanya akan mengalami nasib yang sama, kecuali anak yang bernama Paksi itu. Ia akan kami bawa ke padepokan kami. Ia akan menyesali nasibnya untuk waktu yang sangat panjang. Bahkan sepanjang hidupnya. Ia akan merintih setiap hari, tetapi ia tidak akan cepat mati meskipun ia menghendaki. Paksi telah mempermalukan salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal yang justru bermaksud baik untuk menjemputnya atas permintaan ayahnya”

“Ternyata kalian tidak jujur” desis Raden Sutawijaya. “Sebagaimana kau lihat, disini sepasukan prajurit siap untuk bertempur. Satu kata saja meluncur dari mulut Ki Gede Pemanahan, maka kalian akan menjadi debu. Apalagi jika Ki Gede Pemanahan dan Ki Kriyadama turun ke arena setelah mereka mengetahui kecurangan kalian. Niat kalian yang curang”

“Bukankah dalam perkelahian dapat saja terjadi kecelakaan sehingga kalian akan menjadi orang yang tidak waras seumur hidup kalian?”

“Jika itu terjadi tiba-tiba, memang tidak akan dapat dipersalahkan. Tetapi kali ini kau sudah merencanakannya”

“Tinggal kejantananmu dan kawan-kawanmu termasuk gurumu. Apakah kalian pengecut atau bukan”

“Baiklah. Jika demikian, jelas bagiku, apa yang harus aku lakukan”

Ki Ageng Carangcendana itu pun tertawa. Kembali terasa angin berhembus semilir mengusap wajah Raden Sutawijaya.

Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya sengaja memandang ke pusat mata Ki Ageng Carangcendana yang seakan-akan tersembunyi di dalam lubang yang sangat dalam. Pada mata itu, Raden Sutawijaya seakan-akan melihat kabut tipis yang mengepul, berhembus bersama semilirnya angin itu ke wajahnya.

Raden Sutawijaya itu pun menguap. Sementara itu terdengar suara Ki Ageng Carangcendana, “Jangan mengantuk, anak manis. Kita berada di tengah-tengah gelanggang pertarungan”

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Namun angin lembut itu pun masih saja terasa. Tidak henti-hentinya. Sementara itu sekali lagi Raden Sutawijaya menguap.

“Jika udara panas bagaikan mencekik, aku senang dapat berbicara dengan kau, Ki Ageng Carangcendana”

“Kenapa?”

“Terasa kesejukan berhembus mengusap tubuhku. Aku memang mengantuk. Tetapi jangan takut bahwa aku akan tertidur, karena aku sadar, kita berada di arena”

“Tetapi beberapa kali kau menguap. Matamu jadi redup, tidurlah anak manis”

Raden Sutawijaya merasakan sentuhan kekuatan ilmu Ki Ageng Carangcendana sejak mereka mulai. Namun Raden Sutawijaya tidak juga memejamkan matanya.

“Tidurlah, Sasangka. Sudah waktunya kau tidur dan tidak akan pernah dapat bangun dengan kesadaran yang utuh”

Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, “Kenapa bukan kau saja yang tidur, Ki Ageng? Aku tidak biasa tidur di arena”

Dahi Ki Ageng itu pun berkerut. Ia melihat Raden Sutawijaya masih berdiri tegak. Matanya masih tetap memandangnya dengan tajamnya.


“Apakah ilmuku tidak mempengaruhinya?” bertanya Ki Ageng itu di dalam hatinya.

Tetapi Raden Sutawijaya itu pun justru tersenyum sambil bertanya, “Ki Ageng, apakah Ki Ageng sudah terbiasa menjadi pemomong kanak-kanak sehingga mempunyai kemampuan lebih untuk dapat menidurkannya?”

“Anak iblis kau. Kenapa kau menguap?” bertanya Ki Ageng.

“Sudah aku katakan, anginmu terasa semilir menyejukkan. Sayang kita berada di arena pertarungan, sehingga aku tidak boleh tertidur”

Ki Ageng Carangcendana pun kemudian yakin, bahwa lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Bahkan agaknya ia telah mampu menebaknya dan berpura-pura menguap.

Kemarahan Ki Ageng Carangcendana itu pun bagaikan membakar jantungnya. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Raden Sutawijaya. Tangannya yang terayun didahului dengan sambaran angin yang tajam, yang seakan-akan menusuk sampai ke tulang.

“Agaknya orang ini memang sangat berbahaya” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. “Ia langsung pada tataran ilmu yang tinggi seakan-akan tanpa ancang-ancang”

Sebenarnyalah. Ki Ageng Carangcendana tidak merasa perlu menjajagi ilmu lawannya. Demikian yakin akan kemampuannya, maka Ki Ageng berniat langsung menghancurkan lawannya dan membuatnya tidak berdaya untuk seterusnya. Kemudian Ki Ageng akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain, karena pertarungan itu ditentukan bukan berdasarkan atas siapa melawan siapa. Tetapi berlima melawan berlima pula.

Tetapi ternyata Ki Ageng telah membentur kemampuan yang tidak diduganya sebelumnya. Ternyata lawannya yang masih terhitung muda itu tidak dapat segera dikuasainya.

Ayunan tangannya yang diharapkannya dapat mengakhiri perlawanan orang yang menyebut dirinya Sasangka itu, ternyata tidak menyentuh kening.

Raden Sutawijaya masih sempat memiringkan kepalanya ketika ayunan tangan itu dengan cepatnya menyambar ke arah wajahnya. Yang terasa adalah desis angin yang membuat kulit wajah Raden Sutawijaya terasa pedih.

Namun dengan demikian Raden Sutawijaya pun segera meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak dapat bermain-main menghadapi orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi itu.

Karena itulah, maka pertarungan di antara kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu dengan cepat telah menjadi semakin sengit. Keduanya saling mendesak. Serangan dibalas dengan serangan.

Ki Ageng Carangcendana menjadi semakin marah. Lawannya yang masih terhitung muda itu masih mampu mengimbangi ilmunya. Serangannya di awal pertempuran sama sekali tidak menyusutkan kesadaran dan kemampuan lawannya itu. Bahkan lawannya itu semakin lama menjadi semakin garang.

Sementara itu, yang lain pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Untuk sementara ternyata mereka terikat seorang melawan seorang.

Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan pertarungan di arena yang luas itu dengan jantung yang berdebaran. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah orang yang tidak berbaju, yang menyebut dirinya Ki Ageng Carangcendana itu. Ki Ajar Wisesa Tunggal melihat Ki Ageng mulai mengerahkan kemampuannya.

“Aneh” berkata Ki Ajar di dalam hatinya, “siapakah lawan Ki Ageng sehingga ia tidak segera dapat menundukkannya? Jika Ki Ageng ingin bermain-main, bukanlah waktunya. Ia harus segera mengurangi jumlah lawan, sehingga ia dapat membantu kawannya menghadapi lawan-lawannya. Sehingga dengan demikian, maka satu demi satu kelima orang dari padepokan Ki Panengah itu dapat dilumpuhkan. Seperti yang direncanakan, maka orang-orang yang dikalahkan itu akan tetap hidup. Tetapi hidupnya tidak akan berarti apa-apa. Bagian dalam tubuhnya akan dirusakkannya sehingga meskipun ujud kewadagannya masih tetap utuh, tetapi ada bagian-bagian dalam tubuhnya yang tidak dapat bekerja dengan wajar. Dengan demikian, maka perguruan Ki Panengah itu dengan sendirinya akan berakhir sampai disini. Ki Gede Pemanahan yang hadir di pinggir arena itu akan dapat melihat, apa yang sebenarnya terjadi, sehingga ia akan berpaling dari perguruan ini ke perguruanku. Dengan demikian segala macam bantuan itu akan mengalir dari istana Pajang ke padepokanku. Anak-anak para pemimpin di Pajang pun akan dikirim ke padepokanku untuk berguru dalam olah kanuragan”

Tetapi kenyataan itu ada di hadapannya. Ki Ageng Carangcendana harus mengerahkan kemampuannya untuk menundukkan lawannya. Bahkan ternyata Ki Ageng Carangcendana rasa-rasanya harus berpacu dengan kawan-kawannya yang lain.

“Apa yang terjadi dengan Ki Ageng?” pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Tetapi sebenarnyalah Ki Ageng mengalami kesulitan untuk dengan cepat menundukkan lawannya yang terhitung masih muda itu.

Di lingkaran pertarungan yang lain, Paksi yang masih sangat muda dibandingkan dengan lawannya itu, berloncatan dengan tangkasnya. Dengan kecepatan yang tinggi Paksi menghindari setiap serangan Ki Surakanda. Namun sekali-kali Paksi pun berusaha menjajagi kekuatan lawannya dengan menangkis serangannya.

Benturan-benturan kecil yang terjadi, memperingatkan Ki Surakanda agar berhati-hati menghadapi Paksi. Paksi telah mempermalukan Ki Semburwangi di hadapan ayahnya yang ingin mengirimkan Paksi ke padepokannya dengan pesan khusus.

Ternyata Ki Surakanda harus mengakui tingkat kemampuan ilmu Paksi. Anak muda itu bukan saja sekedar menghindari serangan-serangannya. Tetapi kemudian anak muda itu pun mampu menyerang kembali. Bahkan semakin lama tidak menjadi semakin mengendor, tetapi ketika kulitnya sudah basah oleh keringat, anak muda itu menjadi semakin garang.

“Kau harus menerima hukumanmu” geram Ki Surakanda. “Kau harus berada di padepokanku untuk menjalani satu kehidupan yang tentu tidak kau senangi. Jika semula ayahmu ingin membuatmu menjadi seorang laki-laki yang tidak ada duanya di Pajang, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya”

Paksi tidak menjawab. Tetapi yang sangat mengejutkan itu terjadi. Kaki Paksi ternyata berhasil menembus pertahanan Ki Surakanda sehingga ia mengatupkan mulutnya.

Ternyata Paksi mampu menggoyahkan tubuh Ki Surakanda ketika kakinya menyentuh lambungnya.


Ki Surakanda itu harus meloncat mengambil jarak dan memperbaiki kedudukannya sambil mengumpat. Paksi sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Surakanda menilai apa yang baru saja terjadi.

“Kau dapat berbangga untuk sementara, Paksi. Tetapi jangan samakan aku dengan Ki Semburwangi”

“Kau memang tidak sama dengan Ki Semburwangi. Kemampuanmu memang lebih tinggi. Agaknya kekuasaanmu pun lebih besar pula di padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal” sahut Paksi.

“Tetapi tidak ada gunanya kau melawanku. Akhirnya kau harus tunduk kepada kehendakku. Kepada keinginanku. Kau harus ikut aku ke padepokan dan menjalani satu kehidupan yang sudah kami persiapkan bagimu”

“Kenapa bukan kau saja yang ikut aku dan hidup di padepokan ini? Mungkin kau akan menjalani satu kehidupan yang lebih menyenangkan dari kehidupanmu di padepokanmu itu”

Ki Surakanda menggeretakkan giginya. Paksi memang keras kepala. Ia sama sekali tidak nampak gentar menghadapi keadaan yang gawat itu.

Ketika keduanya kembali bertempur, maka Ki Surakanda semakin merasakan bahwa Paksi memang berilmu tinggi. Karena itu, maka Surakanda harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat menundukkan anak muda itu.

Tetapi ternyata sulit untuk dapat mengatasi Paksi. Meskipun tataran ilmu Ki Surakanda sudah hampir sampai ke puncak, namun Paksi masih tetap mampu mengimbanginya.

Sekali-sekali serangan Ki Surakanda memang mampu menembus pertahanan Paksi. Kaki Ki Surakanda sempat mengenai dada Paksi sehingga Paksi terdorong beberapa langkah surut. Tetapi Paksi tidak memaksa diri untuk mempertahankan keseimbangannya. Paksi justru menjatuhkan diri dan berguling menjauhi lawannya. Ketika ia melihat lawannya meloncat memburunya, maka Paksi itu pun telah melenting berdiri dan siap menghadapi lawannya.

Bahkan ketika Ki Surakanda menghentikan langkahnya, Paksi lah yang justru meloncat menyerang dengan cepatnya meskipun serangannya itu tidak menyentuh sasaran.

Sebenarnyalah bahwa Ki Surakanda harus memperhatikan kenyataan itu dengan bersungguh-sungguh, bahwa ia tidak segera dapat mengalahkan anak muda yang bernama Paksi itu.

Ketika Ki Surakanda sempat memperhatikan Ki Ageng Carangcendana sejenak, maka jantungnya berdesir. Tepat pada saat ia memperhatikan orang tua tidak berbaju itu, telapak tangan Raden Sutawijaya yang terbuka, menghantam dada Ki Ageng di arah jantungnya.

Ki Ageng Carangcendana itu terdorong dua langkah surut, namun keseimbangannya sempat menjadi goyah.

Tetapi lawannya tidak memburunya. Meskipun ia meloncat maju, namun lawannya yang masih terhitung muda itu telah menunda serangannya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Ageng Carangcendana?” bertanya Ki Surakanda di dalam hatinya. Ki Ageng Carangcendana adalah salah seorang yang diharapkan dapat menyelesaikan lawannya dalam waktu singkat. Kemudian ia akan dapat membantu kawan-kawannya yang membutuhkan bantuannya. Itulah sebabnya, Ki Ajar Wisesa Tunggal menentukan untuk membuat pertarungan dalam kebulatan kelompok. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera menyelesaikan lawannya. Bahkan lawannya yang masih terhitung muda itu telah menggoyahkan pertahanannya.

Sementara itu, kawan-kawan Ki Surakanda yang lain pun telah bertempur dengan garangnya. Tetapi mereka telah menjumpai lawan yang sangat tangguh. Bahkan orang yang berhadapan dengan Pangeran Benawa tidak segera mempercayai apa yang telah terjadi meskipun ia telah bertempur beberapa lama.

“Apakah yang sebenarnya terjadi atas diriku?” bertanya orang itu.

Lawan Pangeran Benawa adalah orang yang bertubuh kecil, tetapi sudah ubanan. Tubuh yang kecil itu selalu saja bergerak. Rasa-rasanya sulit untuk dapat menyentuhnya. Tetapi Pangeran Benawa sama sekali tidak menjadi bingung menghadapinya. Menghadapi orang yang tidak pernah berhenti bergerak itu, Pangeran Benawa justru lebih banyak diam. Ia berdiri saja tegak pada kedua kakinya. Lututnya sedikit merendah. Ia hanya bergeser saja setapak-setapak menghadapi ke arah orang bertubuh kecil yang tidak pernah berhenti bergerak itu.

Ketika orang itu mulai menyerang, maka kakinya berloncatan ringan sekali. Kadang-kadang orang itu bergerak seperti seekor kera. Tetapi tiba-tiba ia menggeliat dengan kedua tangannya terjulur seperti dua buah kepala dari seekor ular yang garang sedang mematuk-matuk mengerikan.

Namun kaki orang bertubuh kecil itu mampu melontarkan tubuhnya dengan sangat ringan, seakan-akan tubuhnya itu sama sekali tidak berbobot.

Meskipun demikian, serangan-serangannya tidak segera dapat menyentuh tubuh Pangeran Benawa yang nampaknya seakan-akan tidak bergerak. Serangan-serangan orang bertubuh kecil itu selalu membentur pertahanan Pangeran Benawa yang agaknya tidak ingin menghindar.


Namun setelah benturan-benturan itu terjadi beberapa kali, Pangeran Benawa semakin yakin, bahwa ia mampu mengimbangi kekuatan dan kemampuan orang bertubuh kecil yang sangat cekatan dan tangkas itu. Tekanan pertahanan Pangeran Benawa justru pada kecepatan gerak dalam kediamannya, karena lawannya pun mengandalkan kecepatan geraknya pula.

Orang bertubuh kecil itulah yang kemudian menjadi heran. Serangan-serangannya selalu saja membentur pertahanan lawannya yang nampaknya tidak terlalu banyak bergerak. Tetapi ternyata lawannya itu mampu bergerak mengimbangi kecepatan geraknya, sehingga setiap serangannya tidak mampu menembus pertahanannya.

Dalam pada itu, dua orang yang lain, yang harus berhadapan dengan Ki Panengah dan Ki Waskita, yang tidak memakai ikat kepala itu, segera mengalami kesulitan. Lawannya, Ki Panengah sendiri, dengan cepat mendesaknya.

“Kau tentu sudah mengetahui namaku, Ki Sanak” berkata Ki Panengah ketika orang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak itu meloncat surut mengambil jarak, “tetapi aku belum mengetahui namamu”

“Apakah itu penting?”

“Aku kira memang penting” jawab Ki Panengah. “Mungkin waktu selanjutnya kita akan selalu berhubungan. Siapa tahu, dalam perbandingan ilmu semacam ini, kita akan dapat mengambil manfaatnya. Kita akan dapat saling mengasah sehingga kemampuan kita akan bersama-sama meningkat semakin tajam”

“Jangan bermimpi. Kau tidak sedang tidur, Ki Panengah. Kita berada di arena pertarungan. Meskipun kita tidak berniat saling membunuh, tetapi mungkin saja tanganku di luar sadarnya, melubangi dadamu di arah jantung, karena jari-jariku tidak kalah tajamnya dengan ujung pedang”

“Jangan terlalu garang, Ki Sanak. Bukankah kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk saling bermusuhan?”

“Muridmu yang bernama Paksi itu adalah sumber dari permusuhan di antara kita”

“Persoalan anak-anak itu akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa melibatkan orang-orang tua seperti sekarang ini”

“Kau tentu melindungi muridmu yang sombong dan keras kepala itu”

Ki Panengah tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku malu kepada para prajurit yang menonton permainan ini. Orang-orang tua masih harus menari-nari di gelanggang seperti anak-anak bermain jamuran di saat bulan terang”

“Itulah sebabnya murid-muridmu juga menjadi orang-orang sombong, karena kau sendiri juga seorang yang sangat sombong”

“Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, Ki Sanak. Tetapi baiklah, aku hanya ingin tahu, siapa namamu”

Orang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak itu menggeram. Serangan-serangannya menjadi semakin garang. Ayunan tangan dan kakinya seakan-akan telah menggetarkan udara di seluruh arena yang luas itu.


Tetapi serangan-serangannya yang garang, getar udara dan pusaran angin yang timbul karena serangan-serangannya itu sama sekali tidak berarti bagi Ki Panengah.

“Kau belum menyebut namamu” desis Ki Panengah sambil meloncat menghindari serangan orang berkepala botak itu. Namun tiba-tiba saja tubuhnya berputar dengan cepat. Tangannya terayun menyambar kening lawannya, sehingga lawannya itu tergetar selangkah surut. Pandangan matanya menjadi baur sesaat.

Orang itu justru meloncat surut untuk mengambil jarak. Sedangkan Ki Panengah sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu memperbaiki kedudukannya.

Namun terdengar Ki Panengah yang melangkah mendekatinya berdesis, “Sebut namamu, Ki Sanak. Jangan takut, bahwa aku akan menenungmu”

“Tidak ada seorang juru tenung pun yang dapat menenungku” geram orang itu.

“Karena itu, sebut namamu”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang bergetar ia pun kemudian berkata, “Namaku Suradirga”

“Nama yang bagus” berkata Ki Panengah. “Sayang jika nama itu menjadi cacat karena tingkah laku pemiliknya”

“Persetan. Kau tidak akan dapat mencoba mempengaruhi aku dengan cara itu. Aku akan tetap menghancurkanmu sekarang”

Ki Panengah tidak menjawab. Tetapi ia mendesak terus, sehingga Suradirga itu seakan-akan tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menyerang.

Dalam pada itu, seorang yang berwajah tampan dengan kumis tipis di bawah hidungnya, harus berhadapan dengan Ki Waskita yang berewok. Namun yang berewoknya sudah nampak berwarna rangkap sebagaimana rambutnya yang ubanan.

Orang yang berwajah tampan itu ternyata seorang yang berilmu sangat tinggi. Ketika ia meningkatkan ilmunya hampir sampai ke puncak, maka telapak tangan orang itu seakan-akan nampak berasap. Asap yang memancarkan udara panas itu sempat beberapa kali menyentuh kulit Ki Waskita.

Tetapi Ki Waskita tidak menjadi gagap. Sebangsal pengalamannya dilambari dengan ilmunya yang sangat tinggi, menempatkannya pada kedudukan yang lebih mapan dari lawannya yang berwajah tampan itu.

Bahkan lawannya yang tampan itu sempat menjadi gelisah. Apa pun yang dilakukan, orang tua yang bernama Ki Waskita itu seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan beberapa kali tangan orang tua berewok itu sempat menyentuh tubuhnya.


Ketika tangan Ki Waskita menyentuh bahunya, rasa-rasanya di bahunya itu telah diletakkan sepikul beban yang sangat berat, sehingga tubuh orang berwajah tampan itu tertekan dan lututnya sedikit merendah.

Tetapi dengan cepat orang itu meloncat surut untuk mempersiapkan dirinya serta mengambil ancang-ancang. Dengan cepat orang itu pun kemudian melenting sambil menjulurkan kakinya ke arah dada Ki Waskita.

Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak berusaha menghindar. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya, sehingga kaki orang berwajah tampan itu telah membentur kedua tangan Ki Waskita yang bersilang itu.

Akibatnya sangat buruk bagi orang berwajah tampan itu. Dengan keras orang itu terlempar surut. Tubuhnya terbanting di tanah seperti sebatang dahan yang patah dari batangnya.

Meskipun orang itu dengan cepat mencoba melenting berdiri, namun demikian ia tegak, mulutnya masih saja menyeringai menahan sakit pada punggungnya.

“Gila kau iblis tua” geramnya.

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Kenapa?”

“Kau akan menyesali nasibmu yang buruk”

“Apakah nasibku buruk?”

“Tulang-tulangmu akan aku remas hingga remuk dan tidak akan pernah dapat pulih kembali”

“Jangan begitu. Kita tidak akan saling menghancurkan. Kita hanya sekedar melakukan penjajagan”

Orang berwajah tampan itu tidak menjawab. Tetapi sambil menggeram ia melangkah setapak demi setapak.

“Kau nampak semakin garang” desis Ki Waskita.

Orang itu tetap berdiam diri. Sambil bergeser selangkah.

Ki Waskita pun bertanya, “Siapa namamu?”.

“Sumirat” desis orang itu.

“Nama yang bagus. Sayang, bahwa kau berada di tempat yang salah, sehingga tempatmu berdiri tidak sebagus namamu”

“Persetan dengan igauanmu” geram orang itu kemudian.

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Baiklah. Kita akan menyelesaikan penjajagan ilmu ini sampai tuntas. Tetapi jangan takut, aku tidak akan bersungguh-sungguh”

“Aku akan membunuhmu”

Ki Waskita menarik nafas panjang. Katanya, “Jangan dipengaruhi oleh pikiran buruk itu. Kita tidak akan saling membunuh”

“Jangan menyesali nasibmu”

Ki Waskita tidak menjawab. Ketika orang itu meloncat menyerang, maka Ki Waskita hanya bergeser selangkah ke samping. Tetapi serangan itu tidak mengenai sasaran.

Bahkan asap tipis yang memancarkan panas yang mengepul dari telapak tangan orang berwajah tampan itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap lawannya yang berewok itu.

Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi sangat tegang. Ia berharap Ki Ageng Carangcendana dapat mengalahkan lawannya dalam sekejap. Kemudian ia membantu kawan-kawannya, menghancurkan lawannya seorang demi seorang. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang mengaku bernama Sasangka itu. Bahkan pertempuran di antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit.

“Kenapa dengan Ki Ageng Carangcendana itu?” pertanyaan itu semakin bergejolak di dalam dada Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Hampir saja Ki Ajar itu meloncat memasuki arena. Tetapi ketika terpandang olehnya Ki Gede Pemanahan, maka ia pun menjadi ragu-ragu. Ia menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah seorang yang sulit dicari tandingannya.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal hanya sekedar menggeram menahan kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.

Bahkan Ki Ajar pun harus menahan kebiasaannya untuk tidak mematuhi segala macam peraturan, paugeran dan apalagi sekedar kesepakatan. Di dalam arena itu terdapat seorang yang masih terhitung muda yang dapat melakukan hal yang sama. Orang yang masih terhitung muda itu telah mengancamnya akan menggerakkan para prajurit yang ada di sekitar arena itu jika Ki Ajar Wisesa Tunggal melanggar kesepakatan.

“Orang gila itu sangat mengganggu perasaanku” berkata Ki Ajar di dalam hatinya. “Gila. Semua orang sudah menjadi gila” geram Ki Ajar Wisesa Tunggal yang hanya dapat didengarnya sendiri.

Sebenarnyalah bahwa Ki Ageng Carangcendana tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan lawannya yang mengaku bernama Sasangka itu telah berani menatap matanya tanpa terpengaruh sama sekali.

Tetapi Ki Ageng Carangcendana belum benar-benar sampai ke puncak ilmunya meskipun tataran demi tataran ilmu itu terus meningkat.

Tetapi Ki Ageng Carangcendana sendiri sempat tidak percaya atas kenyataan yang dihadapinya, bahwa meskipun ilmunya sudah hampir sampai ke puncak, namun lawannya itu sama sekali masih belum dapat ditundukkan. Bahkan serangan-serangan orang yang masih terhitung muda itu semakin lama menjadi semakin berbahaya.

Dalam pada itu, kegelisahan merambah jantung Ki Ageng Carangcendana. Apalagi ketika ia adalah orang yang mendapat kepercayaan untuk menjadi tumpuan kekuatan kelima orang dari perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu. Tetapi ternyata Ki Ageng Carangcendana tidak segera mampu menyelesaikan lawannya itu.

Sementara itu, Ki Surakanda yang bertempur melawan Paksi pun ternyata tidak mampu menguasai lawannya. Anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Tenaga dan kemampuannya yang tinggi, sekali-sekali membuat Ki Surakanda harus berloncatan surut.

“Gila, anak ini” geram Ki Surakanda. Ternyata yang dikatakan oleh Semburwangi tidak berlebihan dan tidak dibuat-buat sekedar untuk menutupi kekalahannya.

Namun Ki Surakanda memiliki kelebihan dari Ki Semburwangi. Karena itu, Ki Surakanda yakin, bahwa ia akan dapat mengalahkan dan menguasai Paksi. Menawannya dan membawanya ke padepokannya.

Tetapi kegelisahannya pun menjadi semakin besar ketika ia menyadari, bahwa orang yang diandalkannya, Ki Ageng Carangcendana masih belum mampu menguasai lawannya. Bukan karena Ki Ageng dengan sengaja mengulur waktu. Tetapi ia benar-benar dalam kesulitan. Jika ia mengulur waktu, maka Ki Ageng benar-benar tidak bijaksana karena beberapa orang yang lain justru mulai terdesak.

Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal menentukan bahwa penjajagan ilmu itu dilakukan dalam keutuhan dari kelima orang yang turun ke arena dari masing-masing pihak, adalah karena Ki Ajar berharap bahwa Ki Ageng akan dapat menyelesaikan masalah jika yang lain mengalami kesulitan.

Tetapi ternyata Ki Ageng sendiri yang dianggap memiliki ilmu tanpa tanding, tidak dapat segera mengalahkan lawannya.

Dengan demikian, maka semua gambaran dan angan-angan yang telah memenuhi kepala Ki Ajar Wisesa Tunggal dan orang-orangnya itu mulai menjadi kabur.

Mereka mulai menjadi ragu, bahwa Pajang akan berpaling ke padepokan mereka, bahwa para senapati akan mengirimkan anak-anak mereka bergabung dengan perguruan mereka. Angan-angan mereka bahwa bantuan Pajang bagi padepokan Ki Panengah akan beralih ke padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal pun semakin buram.

Dalam pada itu, Ki Ageng Carangcendana pun menjadi gelisah pula. Ia menyadari, bahwa kawan-kawannya mengalami kesulitan. Mereka sangat mengharap bantuan Ki Ageng Carangcendana.

Tetapi Ki Ageng sendiri masih terikat dalam pertempuran yang tidak segera dapat dimenangkan.

Dalam pada itu, lawan Pangeran Benawa yang bertubuh kecil itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Ia tidak mungkin mampu menembus pertahanan Pangeran Benawa.

Bahkan jika ia mengerahkan tenaga dan kekuatannya menyerang Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa justru akan membenturnya. Orang bertubuh kecil itulah yang akan terlempar dan kehilangan keseimbangannya.

Dalam kesulitan itu, maka orang bertubuh kecil itu pun telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Ia tidak menghiraukan lagi akibat yang bakal terjadi. Jika lawannya terbunuh oleh ilmu puncaknya, maka itu adalah satu kecelakaan.

“Seharusnya aku tidak membunuhnya. Tetapi membuatnya tidak berdaya untuk selamanya” berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya. Namun ia tidak mampu melakukannya.

Karena itu, maka tanpa menghiraukan akibatnya, bahkan tanpa menghiraukan sepasukan prajurit yang seakan-akan mengepung arena itu, maka orang bertubuh kecil itu tiba-tiba menggeliat. Kedua tangannya pun menggeliat di depan dadanya. Kelima ujung jarinya merapat sementara itu mulutnya berdesis seperti desis ular bandotan yang marah.

Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa lawannya telah sampai pada puncak ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka Pangeran Benawa itu pun harus menjadi semakin berhati-hati. Apalagi ketika ia melihat sejenis cairan yang berwarna putih gelap memercik dari ujung-ujung jarinya yang kuncup itu.

Pangeran Benawa pun bergeser selangkah surut. Ia yakin, bahwa cairan yang berwarna putih gelap itu adalah racun.

Karena itu, maka Pangeran Benawa pun dengan cepat menghisap ibu jarinya seperti kebiasaan seorang bayi yang kehausan.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur lagi dengan sengitnya. Kedua tangan orang bertubuh kecil itu mematuk-matuk seperti kepala seekor ular liar yang sangat garang.

Pangeran Benawa harus menyesuaikan dirinya dengan gerak lawannya. Ia pun telah berloncatan pula menghindari sentuhan tangan lawannya.

Namun akhirnya, tangan orang bertubuh kecil itu sempat pula mematuk lengan Pangeran Benawa.

Ternyata kuku-kuku orang bertubuh kecil itu sangat tajam, sehingga sentuhan ujung jarinya yang kuncup menyatu itu telah melukai lengan Pangeran Benawa itu.

Pangeran Benawa meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Namun orang bertubuh kecil itu tidak memburunya.

Ketika Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu, maka orang bertubuh kecil itu tertawa sambil berdesis, “Aku tidak peduli apa yang terjadi atas dirimu. Dalam perbandingan ilmu seperti ini, dapat saja seseorang mati terbunuh. Tetapi itu adalah satu kecelakaan. Aku tidak sengaja membunuhmu”

Pangeran Benawa berdiri tegak sambil memandang orang itu. Sementara orang bertubuh kecil itu berkata, “Jika racun itu merasuk ke dalam urat darahmu, itu karena kelemahanmu sendiri. Racun itu memang sudah ada di dalam kantung racun di kuku-kukuku. Itu bukan senjata. Karena itu, aku tidak menyalahi ketentuan, karena aku tidak bersenjata”

Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian Pangeran Benawa itu pun berkata, “Tidak ada orang yang menuduhmu menyalahi ketentuan. Kau sudah berpegang kepada ketentuan itu. Karena itu, jangan gelisah. Tidak ada yang akan menghukummu karena menyalahi ketentuan itu”

Orang bertubuh kecil itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Sayang, bahwa kau akan mati. Sebaiknya kau minta diri kepada saudara-saudara seperguruanmu. Kepada gurumu dan kepada semua orang di sekitar arena ini”

“Untuk apa aku minta diri? Siapa yang mengatakan bahwa aku akan mati?”

“Racun itu?”

“Racun yang memercik dari ujung-ujung jarimu?”

“Ya. Racun itu setajam bisa ular”

“Aku sudah terlalu sering digigit ular jenis apapun. Ular dakgrama, ular gadung, ular welang, weling, dan bahkan ular kendang dan ular bandotan. Tetapi tidak apa-apa. Jika racunmu hanya setajam bisa ular, maka jangan cemas. Racunmu tidak akan membunuhku”

Wajah orang bertubuh kecil itu tiba-tiba menegang. Dipandanginya Pangeran Benawa dengan tajamnya. Namun luka di lengan Pangeran Benawa itu kemudian telah mengalirkan darah. Semula biru kehitam-hitaman. Namun kemudian darah itu menjadi merah segar. Namun kemudian darah itu pun menjadi pampat kembali.

“Anak iblis kau. Kau kebal terhadap racun dan bisa?”

“Mungkin, Ki Sanak” jawab Pangeran Benawa.

Orang bertubuh kecil itu pun menggeram. Tiba-tiba saja ia pun meloncat menerkam. Kedua tangannya terjulur menggapai leher Pangeran Benawa.

Tetapi Pangeran Benawa telah bersiap menghadapi serangan itu. Serangan yang dilakukan dengan tergesa-gesa karena kemarahan yang menghentak-hentak di dalam dada orang bertubuh kecil itu. Kegagalan racunnya seakan-akan telah membuat nalarnya menjadi gelap.

Demikian kedua tangan orang bertubuh kecil itu terjulur, maka dengan sikapnya Pangeran Benawa telah menangkap pergelangan tangan itu, langsung diputarkannya seperti baling-baling.

Orang bertubuh kecil itu berteriak. Namun suaranya pun kemudian terputus ketika Pangeran Benawa melepaskan orang itu dan melemparkannya ke arah Ki Ajar Tunggal Wisesa.

Kekalahan orang bertubuh kecil itu membuat darah Ki Ajar menggelegak. Karena itu, ketika tubuh orang itu terpelanting menimpanya, maka Ki Ajar justru telah membentur tubuh itu dengan kedua belah tangannya.

Terdengar orang bertubuh kecil itu berteriak lagi. Jauh lebih keras. Namun kemudian tubuhnya terbanting jatuh di tanah tanpa sempat menggeliat. Orang bertubuh kecil itu mati justru karena membentur tangan Ki Ajar yang marah.

“Kau bunuh orangmu sendiri” teriak Pangeran Benawa.

“Orang itu pantas mati” geram Ki Ajar. Kemudian katanya, “Aku akan menggantikannya”

“Tidak” Ki Kriyadama lah yang menyahut. “Kedudukannya tidak dapat digantikan oleh siapa pun juga”

“Diam kau” bentak Ki Ajar Wisesa Tunggal. “Akulah yang memimpin pertarungan ini”

“Siapa yang menentukan bahwa kau pemimpin dari pertarungan di arena ini?”

“Aku. Segala sesuatunya akulah yang menentukan”

“Tidak. Aku mengambil alih pimpinan perbandingan ilmu ini. Minggir. Aku akan berdiri di tengah-tengah arena”

“Apa hakmu mengambil alih pimpinan pertarungan ini?”

“Sekehendakku. Aku akan berbuat menurut kehendakku sendiri. Jika kau tidak senang, pergilah”

“Setan tua. Apakah kau ingin mati?”

Tiba-tiba saja terdengar Pangeran Benawa berteriak, “He, Ki Lurah, siapkan prajuritmu. Perintahkan mereka menarik senjata mereka. Jika aku memberi isyarat, perintahkan prajuritmu mencincang orang-orang gila ini. Mereka hanya mengotori padepokan ini saja”

“Kau tidak dapat berbuat demikian” geram Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Tergantung kepada sikapmu”

Ki Ajar Wisesa Tunggal mengumpat kasar. Sementara itu, orang-orang yang bertempur di arena itu seakan-akan telah mendapat perintah untuk berhenti.

Ki Ageng Carangcendana pun telah bergeser mengambil jarak. Demikian pula orang yang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak. Orang yang berwajah tampan dan Ki Surakanda.

Bahkan Ki Carangcendana pun telah melangkah mendekati orang yang bertubuh kecil yang terbaring diam di sebelah kaki Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Kenapa kau bunuh orang ini” desis Ki Ageng Carangcendana.

“Ia tidak berarti lagi bagiku” jawab Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Orang ini sangat setia kepadamu”

“Tetapi ia sudah mempermalukan padepokan kita. Ia sudah dikalahkan oleh bocah edan itu”

“Kita memang dihadapkan pada satu kenyataan pahit sekarang ini. Orang-orang dari padepokan ini adalah orang-orang berilmu tinggi. Kau lihat, apakah ada seorang pun di antara kami yang turun di arena dapat menguasai lawan?”

“Kita akan memastikan diri bahwa padepokan kita lebih berarti dari padepokan buruk ini”

“Kita tidak dapat bersikap kekanak-kanakan seperti itu” berkata Ki Ageng Carangcendana. “Kita harus mengakui kenyataan ini. Bahkan aku yakin bahwa Surakanda akan dapat dikalahkan oleh anak itu. Dan aku bahkan tidak yakin bahwa aku akan dapat memenangkan pertarungan ini dengan lawanku yang masih terhitung muda itu”

“Ki Ageng, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut?”

“Aku bukan pengecut. Tetapi aku adalah orang yang berdiri di atas kenyataan yang kita hadapi? Kita tidak dapat bermimpi indah, tetapi kemudian terpelanting jatuh ke dalam kenyataan pahit”

Ki Ajar Wisesa Tunggal memperhatikan orang-orangnya yang termangu-mangu. Sebenarnyalah ia melihat, bahwa orang-orangnya tidak akan mampu mengalahkan orang-orang pertama di padepokan Ki Panengah itu. Bahkan Ki Ageng Carangcendana sudah mengakui pula, bahwa ia tidak yakin akan dapat menang atas lawannya itu.....

“Lalu apa katamu?” suara Ki Ajar Wisesa Tunggal itu merendah.

“Kita pulang. Lupakan keinginanmu untuk merebut pengaruh padepokan ini. Lupakan Paksi yang telah menghajar Semburwangi yang hanya dapat menyombongkan dirinya tetapi kemampuannya sama sekali tidak berarti. Lupakan semuanya”

Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi tegang. Dipandanginya orang-orangnya yang masih berdiri termangu-mangu.

Sementara itu Ki Panengah pun melangkah mendekatinya sambil berkata, “Segala sesuatunya terserah kepadamu, Ki Ajar Wisesa Tunggal. Apakah kita anggap bahwa permainan ini sudah selesai, atau kita akan meneruskannya berdasarkan atas kesepakatan kita atau apa saja”

“Kalian telah memenangkan pertandingan ini” Ki Ageng Carangcendana lah yang menyahut. Lalu katanya, “Seorang korban telah cukup. Tetapi kau harus menyadari Ki Panengah, bahwa kemenanganmu tidak berlaku untuk selamanya. Roda pedati yang berputar, bagian-bagiannya sekali tersuruk ke dalam lumpur, namun pada kesempatan lain akan naik ke atas. Sedangkan yang di atas kemudian akan membenam di dalam lumpur”

“Aku mengerti” desis Ki Panengah.

“Apa katamu, Ki Ajar?” bertanya Ki Ageng Carangcendana kemudian.

“Kita pulang. Tetapi persoalan antara kedua padepokan ini masih belum tuntas”

Ki Panengah tertawa. Katanya, “Terserah kepadamu, Ki Ajar”

Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, maka Ki Ajar itu pun telah berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke kudanya.

Para pengikutnya pun telah mengikutinya pula. Sementara itu Ki Ageng Carangcendana justru melangkah mendekati Raden Sutawijaya sambil berdesis, “Kau luar biasa, Sasangka. Tetapi yang kau lihat belum segala-galanya”

“Aku tahu. Kau belum sampai ke puncak ilmu Lintang Wora-warimu”

Ki Ageng Carangcendana mengerutkan dahinya, sementara Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Aku pernah menghadapi ilmu Lintang Wora-wari yang mengerikan itu. Bahkan sampai ke puncaknya”

“Kau jangan membual, anak muda”

“Tidak. Aku tidak membual”

“Siapakah yang pernah kau hadapi? Hanya ada beberapa orang yang memiliki ilmu Lintang Wora-wari”

“Seorang pertapa dari Tlagahima”

“Kakang Resi Wiguna?”

“Ya. Telah terjadi salah paham di antara kami”

“Kau bunuh orang itu?”

“Tidak. Tiga hari kami bertempur. Di malam hari kami berhenti. Akhirnya Resi Wiguna menghentikan pertempuran itu”

Wajah Ki Ageng Carangcendana terasa panas. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “Kau mengembara sampai ke Tlagahima?”

“Ya”

Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, kau menghadapi ilmu Lintang Wora-wari kali ini dengan tabah. Tanpa kesan kecemasan sedikit pun. Jika kau mampu menghadapi Kakang Resi Wiguna sampai tiga hari, maka aku harus mengaku bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu”

“Entahlah. Tetapi aku siap untuk mencobanya”

Ki Ageng Carangcendana itu tersenyum. Katanya, “Jika demikian kau bukan murid Ki Panengah”

“Aku murid Ki Panengah. Kau kenali unsur-unsur gerak padepokan ini”

“Mungkin kau memang murid Ki Panengah. Tetapi Ki Panengah bukan satu-satunya gurumu”

Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun justru bertanya, “Apa bedanya?”

“Selamat, Ki Sanak” berkata Ki Ageng Carangcendana.

Sementara itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal dan para pengiringnya sudah meninggalkan halaman. Ki Ageng Carangcendana tertinggal seorang diri. Tetapi ia pun kemudian minta diri dengan unggah-ungguh yang utuh. Ditemuinya Ki Gede Pemanahan untuk minta maaf atas tingkah lakunya.

“Aku terseret arus, Ki Gede” berkata Ki Ageng Carangcendana.

“Tergantung kepadamu. Jika kau memiliki keteguhan hati, maka kepribadianmu tidak akan tenggelam”

Ki Ageng Carangcendana mengangguk-angguk. Kemudian ia pun telah minta diri pula kepada Ki Panengah, Ki Waskita, Ki Kriyadama dan orang-orang yang berada di arena. Bahkan sambil menepuk bahu Paksi ia pun berkata, “Kau harapan bagi masa datang”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Terima kasih, Ki Ageng”

Ki Ageng Carangcendana tersenyum. Kepada Pangeran Benawa, Ki Ageng itu pun bertanya, “Darimana kau sadap ilmumu? Dengan begitu mudahnya kau kalahkan Ricik yang licin seperti belut, tetapi licik seperti ular itu”

“Ia memang ular, Ki Ageng”

“Ya. Dan kau memiliki kekebalan yang sangat tinggi terhadap bisa dan racun”

Pangeran Benawa tidak menjawab.

Demikianlah sejenak kemudian Ki Ageng Carangcendana itu pun telah meninggalkan padepokan itu pula. Orang tua itu berkuda sendiri, menyusuri jalan panjang menjauhi Alas Jabung.

Sekali ia masih sempat berpaling. Kemudian kudanya dipacunya lebih cepat. Namun dalam pada itu, hatinya telah digelitik oleh sebuah pertanyaan, “Untuk apa aku ikuti jejak Ki Ajar Wisesa Tunggal? Aku hampir kehilangan wawasan luasnya bumi. Ternyata ada orang yang masih terhitung muda yang dapat mengimbangi ilmu Lintang Wora-wari. Membebaskan diri dari cengkaman kuasa ilmu itu”

Meskipun demikian, kaki kuda Ki Ageng Carangcendana itu pun masih juga mengikuti jejak kaki-kaki kuda yang berlari lebih dahulu menjauhi Hutan Jabung itu.

Dalam pada itu, yang ditinggalkan di Hutan Jabung pun telah bernafas lega. Para prajurit yang berada di sekitar arena itu pun telah berkumpul di halaman barak mereka. Sedangkan para cantrik telah naik ke pendapa bangunan induk padepokan sementara di pinggir Hutan Jabung itu.

“Kita sudah menyelesaikan persoalan dengan padepokan Ki Ajar itu” berkata Ki Panengah.

“Ya” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk, “mereka meninggalkan seorang kawannya yang terbunuh begitu saja”

“Kita akan mengurusnya” desis Pangeran Benawa.

“Ya, kita akan mengurusnya”

“Untuk sementara mereka tidak akan mengganggu kita” berkata Raden Sutawijaya.

“Belum tentu” sahut Pangeran Benawa. “Mereka adalah orang-orang gila. Mereka dapat berbuat di luar penalaran yang waras. Mereka tinggalkan begitu saja seorang kawannya tanpa berpaling sama sekali. Kematian kawannya itu sama sekali tidak berbekas di hati mereka”

“Ya” Ki Waskita mengangguk-angguk, “mereka memang tidak waras. Mereka dapat berbuat apa saja di luar dugaan. Tetapi sikap Ki Ageng Carangcendana nampaknya mengisyaratkan, bahwa mereka tidak akan bertindak tergesa-gesa”

“Agaknya ia adalah satu-satunya orang yang waras di lingkungan padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal” desis Pangeran Benawa.

“Tetapi kita tidak boleh lengah terhadapnya” sahut Raden Sutawijaya.

Pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama. Para cantrik setelah mendapat beberapa pesan, diminta untuk meninggalkan pendapa dan membantu mengurus penguburan orang yang bertubuh pendek dan kecil yang terbunuh oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal sendiri ketika orang itu dilemparkan oleh Pangeran Benawa.

Dalam pada itu, pada hari itu, para prajurit tidak diminta kembali ke pekerjaan mereka. Ketegangan yang telah mencengkam jantung mereka harus dilepaskan. Karena itu, maka para prajurit itu pun justru diminta untuk beristirahat.

Di pendapa, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Ki Panengah, Ki Waskita, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan kepada mereka, jika sesuatu yang tidak diduga telah terjadi.

Namun beberapa saat kemudian, Ki Gede itu pun minta diri untuk kembali ke Pajang.

Ki Kriyadama yang berada di antara para prajurit telah datang pula ikut melepas Ki Gede di halaman padepokan sementara itu.

Demikianlah, Ki Gede dan para pengawalnya telah meninggalkan Hutan Jabung. Sementara para cantrik sibuk menyelenggarakan penguburan pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal yang ditinggalkan begitu saja di padepokan itu.

Hutan Jabung memang tidak terlalu jauh dari Pajang. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan pun tidak terlalu lama berada di perjalanan.

Sementara itu, di istana Pajang, Sekarsari menjadi semakin bebas keluar dan masuk istana. Para prajurit pengawal dan para pelayan dalam tidak lagi menghentikannya dan bertanya apa keperluannya masuk ke dalam istana. Sekarsari seakan-akan mendapat ijin khusus untuk keluar dan masuk menemui Kangjeng Sultan.

Bahkan Kangjeng Sultan pun telah menentukan dimana Sekarsari dapat menemuinya setiap saat.

Kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu juga membuat Ki Gede Pemanahan semakin prihatin.

Namun kebebasan Sekarsari keluar masuk istana itu tidak dipergunakannya untuk menemui Harya Wisaka. Bahkan rasa-rasanya Sekarsari menjadi semakin jarang menengok suaminya yang berada di dalam bilik tahanan khusus di istana Pajang. Tetapi ia justru lebih banyak bertemu dengan Kangjeng Sultan.

Tidak seorang pun yang dapat mencegahnya. Ketika seorang prajurit masih juga menghentikan Sekarsari dan bertanya untuk apa ia masuk ke dalam istana, maka demikian Sekarsari melaporkannya, prajurit itu langsung dipecatnya.

“Ia tidak pantas menjadi prajurit yang bertugas di istana Pajang” berkata Kangjeng Sultan.

Setiap kali Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berbicara dengan prajurit yang bertugas untuk menjaga Harya Wisaka, maka prajurit itu pun berkata, “Perempuan itu menjadi semakin jarang mengunjungi Harya Wisaka”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang aku cemaskan, Sekarsari justru akan memanfaatkan kebebasannya itu untuk kepentingan Harya Wisaka”

“Perempuan itu hampir melupakan suaminya. Bahkan nampaknya Harya Wisaka mulai menjadi curiga. Kami sering mendengar keduanya bertengkar jika Sekarsari datang menengoknya”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jangan menjadi lengah. Harya Wisaka adalah orang yang sangat berbahaya”

“Ya, Ki Gede” prajurit itu mengangguk-angguk.

Tetapi yang kemudian didengar oleh Ki Gede Pemanahan bukan hanya kebebasan Sekarsari masuk keluar istana serta pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari dan suaminya jika ia datang berkunjung. Tetapi seperti yang pernah didengarnya, seorang petugas sandi telah melaporkan kepada Ki Gede Pemanahan bahwa Sekarsari menjadi semakin sering berdua dengan seorang lurah prajurit, justru seorang pelayan dalam.

“Sampai sekarang, Kangjeng Sultan dan petugas-petugas sandinya masih belum mengetahuinya” desis Ki Gede. “Jika saja Kangjeng Sultan mengetahuinya, maka lurah pelayan dalam yang masih muda itu tidak akan berumur panjang”

“Ternyata perempuan itu bukan seorang perempuan yang setia. Agaknya ia berpaling dari Harya Wisaka yang ada di penjara itu bukan karena Kangjeng Sultan. Tetapi karena lurah pelayan dalam itu”

“Perempuan bodoh” desis Ki Gede Pemanahan. “Apa artinya seorang lurah pelayan dalam baginya. Harya Wisaka adalah seorang yang memiliki wibawa dan pengaruh yang besar di lingkungannya. Apalagi kemudian Sekarsari itu seakan-akan sudah seperti seorang selir yang sangat dikasihi oleh Kangjeng Sultan. Tetapi kenapa ia masih berhubungan dengan seorang lurah prajurit?”

“Tetapi lurah pelayan dalam itu memang tampan, Ki Gede.

Tubuhnya yang kokoh kekar tetapi tidak nampak gemuk. Kulitnya yang kuning keputih-putihan, kumisnya yang tipis, senyumnya, kemudaannya”

“Sekarsari telah dibakar oleh berbagai macam nafsu sehingga ia dapat melekat pada Kangjeng Sultan, tetapi juga pada prajurit muda itu”

“Agaknya memang demikian, Ki Gede”

“Baiklah. Tetapi ikut awasi Harya Wisaka. Para prajurit yang bertugas menjaganya, langsung berada di bawah perintah Kangjeng Sultan sehingga aku tidak dapat memberikan perintah langsung kepada mereka. Yang dapat aku lakukan hanya memberikan peringatan kepada mereka untuk berhati-hati”

“Baik, Ki Gede. Tetapi gerak kami sangat terbatas. Para pelayan dalam akan merasa wewenangnya dilanggar jika kami mencampuri tugas-tugas mereka”

“Berhati-hati sajalah”

Petugas sandi kepercayaan Ki Gede itu pun kemudian telah minta diri.

Kebebasan Sekarsari di istana benar-benar tidak dapat diganggu lagi. Ki Gede Pemanahan harus menerima kenyataan itu dengan gelisah. Seperti biasanya, jika Kangjeng Sultan sedang terikat dengan seorang perempuan, maka tidak seorang pun yang dapat memperingatkannya.

Tetapi kali ini, perempuan itu mempunyai hubungan dengan seorang yang sangat berbahaya, Harya Wisaka.

Namun Kangjeng Sultan sendiri nampaknya tidak menghiraukan Harya Wisaka lagi. Sementara itu Harya Wisaka pun menjadi keras kepala. Ia tidak mau berbicara jika tidak dengan Kangjeng Sultan sendiri.

Kadang-kadang timbul niat Ki Gede untuk berbicara dengan Pangeran Benawa. Kadang-kadang Kangjeng Sultan merasa segan kepada puteranya yang sudah dewasa itu, sehingga Kangjeng Sultan itu harus membatasi tingkah lakunya sendiri. Tetapi nampaknya kehangatan Sekarsari benar-benar telah membuat Kangjeng Sultan kehilangan kesempatan untuk mempergunakan penalarannya. Bahkan Pangeran Benawa pun tidak akan dapat mengusiknya.

Karena itu niatnya itu pun telah diurungkannya. Persoalan itu justru hanya akan mengganggu ketenangan Pangeran Benawa saja.

Tetapi pertengkaran yang sering terjadi antara Sekarsari dan Harya Wisaka nampaknya menjauhkan kekhawatiran Ki Gede Pemanahan terhadap kelicikan Sekarsari.

Meskipun demikian, setiap kali Ki Gede memperingatkan agar para prajurit yang bertugas tidak menjadi lengah.

Di hadapan Ki Gede Pemanahan para prajurit yang bertugas itu menyatakan kesiapan mereka. Namun jika Ki Gede pergi, maka mereka pun telah melupakannya.

“Kita tidak berada di bawah perintah Ki Gede” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku sudah menyampaikan kepada Ki Gede, bahwa Sekarsari tidak lagi menghiraukan suaminya. Jika ia datang tentu hanya sekedar memenuhi kewajiban seorang isteri. Namun kemudian disini mereka bertengkar. Hampir saja Sekarsari itu dicekiknya sampai mati. Jika saja kita tidak melerainya”

“Ya. Perempuan itu tentu lebih senang jika suaminya tetap berada di penjara. Ia akan dapat berbuat sesuka hatinya”

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan terkejut ketika Kangjeng Sultan tiba-tiba memanggilnya untuk berbicara langsung hanya berdua saja, tanpa ada orang lain yang ikut serta.

“Kakang, menurut Kakang, hukuman apakah yang paling baik aku berikan kepada Harya Wisaka”

“Tetapi selama ini, hamba masih belum dapat berbicara dengan Harya Wisaka, Sinuhun”

“Apa yang akan Kakang bicarakan dengan Harya Wisaka?”

“Bukankah kita wajib mengetahui, bobot kesalahan Harya Wisaka. Apakah alasan-alasan yang telah mendorongnya untuk melawan Kangjeng Sultan. Apa pula yang pernah dilakukan, direncanakan tetapi belum sempat dilakukan. Orang-orang yang bekerja bersamanya dan mungkin hal-hal lain yang perlu kita dengar”

“Harya Wisaka bukan pencuri yang dapat dipaksa untuk mengaku sudah berapa kali ia mencuri, Kakang. Jika ia tidak mau berbicara, maka kematian pun tidak akan dapat membuka mulutnya”

“Tetapi pembicaraan kita dengan Harya Wisaka akan dapat menentukan, setidak-tidaknya memberikan batasan tentang bobot kesalahannya”

“Itu tidak perlu. Harya Wisaka telah memberontak melawan kekuasaanku. Kita tahu, apakah hukuman yang paling pantas untuk seorang pemberontak”

Wajah Ki Gede menjadi tegang.

“Kakang, hukuman yang paling pantas bagi Harya Wisaka adalah hukuman mati”

Ki Gede terkejut sehingga dipandanginya wajah Kangjeng Sultan dengan tajamnya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kangjeng Sultan, setiap orang sampai sekarang menyebut Kangjeng Sultan sebagai seorang raja yang pengampun. Dua orang utusan Harya Penangsang yang tertangkap basah di bilik peraduan Kangjeng Sultan dengan keris Kiai Setan Kober yang sudah terhunus itu tidak menerima hukuman mati. Bahkan Kangjeng Sultan telah membebaskan mereka dan membiarkan mereka kembali ke Jipang”

“Persoalannya tentu lain, Kakang. Waktu itu, aku sengaja berniat untuk mengguncang ketahanan jiwani Harya Penangsang”

“Paduka juga sudah mengampuni Surengjurit yang menyerang paduka selagi paduka mencoba beberapa ekor kuda terbaik yang ingin Paduka ambil menjadi kuda tunggangan Paduka”

“Persoalannya lain lagi, Kakang. Surengjurit marah karena aku mengambil anak perempuannya tanpa setahu orang lain. Namun akhirnya ia sama sekali tidak berkeberatan dan membiarkan anak perempuannya berada di istana”

“Kangjeng Sultan” berkata Ki Gede Pemanahan, “hamba adalah orang yang paling membenci Harya Wisaka. Tetapi hamba mohon Kangjeng Sultan memerintahkan Harya Wisaka untuk bersedia berbicara dengan hamba. Baru kemudian hamba dapat menyampaikan pertimbangan hamba tentang hukuman yang pantas bagi Harya Wisaka”

“Harya Wisaka sudah bersalah dua kali. Ia telah memberontak dan kedua ia menolak berbicara dengan Kakang. Karena itu, maka hukuman yang paling pantas baginya adalah hukuman mati”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Keputusan hukuman itu tentu dipengaruhi oleh hubungan Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Kematian Harya Wisaka adalah satu kepastian, bahwa Sekarsari tidak akan lari lagi dari sisi Kangjeng Sultan.

Tetapi sampai kapan Sekarsari mampu mengikat Kangjeng Sultan dengan kehangatan sikapnya? Pada saatnya, Sekarsari akan tidak lagi diperkenankan melewati pintu gerbang istana. Para prajurit akan mendapat perintah untuk mencegah Sekarsari masuk. Tetapi mungkin keputusan itu justru dikehendaki oleh Sekarsari sendiri yang ingin membebaskan diri dari tangan Harya Wisaka. Mungkin Sekarsari juga sadar, bahwa pada suatu saat ia akan terlempar dari istana. Tetapi ia sudah mempunyai seorang lurah prajurit yang muda dan tampan.

Karena Ki Gede tidak segera menjawab, maka Kangjeng Sultan itu telah mendesaknya, “Bagaimana pendapat Kakang?”

“Beri hamba waktu, Kangjeng Sultan”

“Kau akan berbicara dengan Harya Wisaka?”

“Hamba mohon, Kangjeng Sultan memerintahkannya”

Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kangjeng Sultan itu pun berkata, “Aku akan memanggilnya”

Ki Gede Pemanahan tidak sempat menjawab. Kangjeng Sultan itu pun telah memberi isyarat kepada seorang prajurit pengawal yang bertugas di luar ruangan.

Demikian prajurit itu masuk, maka Kangjeng Sultan itu pun memberikan perintah, “Perintahkan kepada para prajurit pelayan dalam yang bertugas menjaga Harya Wisaka untuk membawanya menghadap sekarang. Hati-hati. Jika orang itu terlepas maka semuanya akan aku gantung di alun-alun sebagai gantinya”

Demikianlah, maka prajurit itu pun telah menyampaikan perintah itu kepada para prajurit yang bertugas.

Lurah prajurit yang memimpin sekelompok petugas itu pun menerima perintah itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka menyadari bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga kemungkinan buruk dapat saja terjadi.

Karena itu, maka ketika Harya Wisaka dibawa menghadap, maka pengawalannya pun dilakukan dengan seluruh kekuatan yang ada.

Namun Harya Wisaka tidak berusaha untuk melarikan diri. Harya Wisaka pun sadar, bahwa jika ia mencobanya, maka Kangjeng Sultan sendiri tentu akan turun tangan jika Ki Gede Pemanahan tidak sedang berada di istana.

Ketika ia memasuki bilik khusus dan melihat Kangjeng Sultan dan Ki Gede Pemanahan sudah berada di dalam, maka dipandanginya Ki Gede Pemanahan sambil tersenyum.

Meskipun tidak terucapkan, tetapi Harya Wisaka itu menyatakan kemenangannya. Akhirnya, ia dapat berbicara langsung dengan Kangjeng Sultan. Tidak hanya dengan Ki Gede Pemanahan.

Harya Wisaka itu pun kemudian duduk menyilangkan kakinya sambil menyembah, “Hamba menghadap, Kangjeng Sultan”

Kangjeng Sultan memandanginya sejenak. Namun kemudian Kangjeng Sultan itu pun berkata lantang, “Dengar Harya Wisaka, Ki Gede Pemanahan akan berbicara dengan kau. Jawab semua pertanyaannya dengan jujur. Hasil pembicaraanmu akan menentukan berat ringannya hukumanmu. Semakin berbelit-belit kau menjawab pertanyaannya, maka hukumanmu akan menjadi semakin berat. Hukumanmu dapat lebih berat melampaui hukuman mati”

Harya Wisaka memandang Kangjeng Sultan dengan tegang. Sementara Kangjeng Sultan berkata, “Di Pajang masih berlaku bagi mereka yang mempunyai kesalahan yang sangat besar hukuman picis. Atau hukuman-hukuman jenis lain yang akhirnya terhukum juga akan mati”

“Kangjeng Sultan” potong Harya Wisaka, “hamba akan mengatakan dengan jujur apa yang telah terjadi kepada Kangjeng Sultan. Hamba tidak mau berbicara dengan anak petani seperti Ki Gede Pemanahan. Derajatnya terlalu rendah bagiku untuk berbicara dengan aku”

“Harya Wisaka. Aku rendahkan derajatmu. Aku cabut kedudukan kebangsawananmu. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan akan mewakili aku sehingga kedudukannya di hadapanmu sama dengan kedudukanku”

Wajah Harya Wisaka menjadi tegang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, maka Kangjeng Sultan itu telah bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu.

“Kangjeng Sultan” Harya Wisaka itu memanggil. Tetapi Kangjeng Sultan sama sekali tidak berpaling.

Harya Wisaka itu kemudian memandang Ki Gede Pemanahan dengan tajamnya. Dengan geram ia pun berkata, “Kau kira aku akan tunduk kepada perintah ini. Tidak. Aku tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu”

Namun Ki Gede Pemanahan itu menjawab, “Jawaban-jawabanmu itu penting artinya bagimu. Tidak bagiku. Terserah, apakah kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku atau tidak. Bagiku sama saja, karena aku tidak akan dirugikan. Aku tidak akan digantung atau bahkan dihukum picis atau dihukum yang lebih berat atau lebih ringan. Aku adalah orang yang bebas. Aku tidak akan dikembalikan ke penjara”

“Persetan kau, Pemanahan. Akan datang saatnya aku membunuhmu kelak”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Kau tidak akan sempat melakukannya, Harya Wisaka. Tetapi jika kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku, kau masih mempunyai waktu”

“Aku tidak akan menjilat ludah sendiri meskipun aku akan dihukum picis”

“Aku hargai kekerasan hatimu. Tetapi aku cela kebodohanmu”

“Setan kau, Pemanahan. Aku tantang kau berperang tanding”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Bagaimana mungkin aku melayani tantangan seorang yang sedang dalam tahanan dan menghadapi hukuman mati?”

“Aku bunuh kau sekarang”

Harya Wisaka itu pun tiba-tiba telah bangkit berdiri. Tetapi beberapa ujung senjata dari para pengawal dengan cepat telah terarah ke tubuhnya.

“Kau kira senjata-senjatamu itu berarti bagiku?”

Para prajurit itu termangu-mangu. Sementara Ki Gede Pemanahan pun telah bangkit pula sambil berkata, “Bawa Harya Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ia ingin berada di dalamnya sampai hari terakhirnya”

“Persetan kau, Pemanahan”

Para prajurit itu pun kemudian telah menggiring Harya Wisaka kembali ke bilik tahanannya. Ki Gede pun mengikutinya pula. Jika Harya Wisaka itu kehilangan akal, maka para prajurit itu tentu akan mengalami kesulitan.

Demikian Harya Wisaka berada di dalam bilik tahanannya, maka Ki Gede pun kembali menghadap Kangjeng Sultan untuk memberikan laporan tentang sikap Harya Wisaka itu.

“Jika demikian, sepantasnya Harya Wisaka dihukum mati” geram Kangjeng Sultan.

“Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Sultan. Tetapi hamba mohon pelaksanaannya tidak dilakukan dengan segera, sehingga masih mungkin terjadi perubahan”

“Jika aku sudah menjatuhkan keputusan, maka tidak akan ada perubahan”

“Jika demikian, hamba mohon Kangjeng Sultan tidak tergesa-gesa menjatuhkan keputusan”

“Aku akan memberikan keputusan itu dalam dua tiga hari ini,
Kakang”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat terlalu banyak memohon, karena hal itu akan dapat membuat Kangjeng Sultan justru menjadi semakin marah.

Karena itu, maka Ki Gede pun justru telah mohon diri. Katanya, “Hamba menunggu titah Paduka. Hamba mohon diri”

“Baik, Kakang”

Ki Gede Pemanahan pun segera kembali ke rumahnya. Namun rasa-rasanya sikap Harya Wisaka itu tidak segera dapat dilupakannya. Harya Wisaka yang sudah menjadi tahanan itu masih sempat merendahkannya.

Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak ingkar akan dirinya. Ia tidak pernah menolak jika orang menyebutnya sebagai keturunan pidak pedarakan. Keturunan rakyat kebanyakan.

Namun sebenarnyalah Ki Gede Pemanahan ingin menghapus kesan buruk jika Kangjeng Sultan menjatuhkan hukuman mati kepada Harya Wisaka. Orang banyak tentu akan segera menghubungkan hukuman mati itu dengan hubungan antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Sehingga hukuman itu tentu akan mendapat penilaian tersendiri meskipun pada kenyataannya Harya Wisaka memang sudah memberontak melawan kekuasaan Kangjeng Sultan.

Keinginannya untuk menguasai cincin kerajaan itu adalah satu ujud dari niatnya menentang kuasa Kangjeng Sultan dan membangun kekuasaan bagi dirinya sendiri.

Berhasil atau tidak berhasil, dengan atau tanpa cincin kerajaan itu, sebenarnyalah bahwa Harya Wisaka menolak kuasa Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang.

Tetapi justru karena Sekarsari sering berada di istana, maka terutama orang-orang yang menentang kuasa Kangjeng Sultan akan dapat mempergunakan peristiwa itu untuk menjatuhkan wibawanya.

Ketika malam turun, Ki Gede Pemanahan tidak segera dapat tidur. Meskipun Ki Gede sudah berbaring di dalam biliknya, namun rasa-rasanya matanya tidak mau dipejamkannya.

Bahkan sampai ayam jantan berkokok di tengah malam, Ki Gede masih tetap belum dapat tidur sekejappun. Rasa-rasanya bayangan hukuman mati itu tidak dapat dilepaskannya dari angan-angannya. Seakan-akan Ki Gede melihat Harya Wisaka itu berayun di tiang gantungan di alun-alun, disaksikan oleh rakyat Pajang. Namun yang kemudian berteriak-teriak meneriakkan ketamakan Kangjeng Sultan yang ingin mengambil isteri orang yang mati di tiang gantungan itu.

Ketika lewat tengah malam, Ki Gede terlena sesaat, bayangan itu menjadi semakin jelas. Dalam sekejap itu Ki Gede telah bermimpi bahwa hukuman mati itu sudah dilaksanakan. Tidak hanya seorang Harya Wisaka. Beberapa orang Harya Wisaka telah dihukum mati. Seorang digantung, seorang dipancung, yang lain dihukum picis sedang yang lain lagi disapu sampai mati.

Kangjeng Sultan dan Sekarsari menonton di pinggir alun-alun sambil tertawa berkepanjangan.

Tetapi Ki Gede tidak dapat berbuat apa-apa.

Namun dalam pada itu, Ki Gede yang terlena sesaat itu terkejut. Di dalam mimpi, Ki Gede melihat orang-orang berkuda memasuki alun-alun dan langsung mengacaukan suasana. Mereka mengayun-ayunkan pedang mereka sambil berteriak-teriak.

Tidak seorang pun tahu, siapakah orang-orang berkuda itu. Mereka hanya memakai kain panjang dan tidak berbaju. Ikat kepala mereka berwarna gelap sebagaimana kain panjang mereka. Wajah-wajah mereka tidak nampak jelas, seakan-akan berada di belakang tirai tipis berwarna kehitam-hitaman.

Dalam pada itu, terdengar pintu butulan diketuk orang sehingga Ki Gede dengan serta-merta telah bangkit langsung berdiri di sisi pembaringannya.

Ki Gede mengusap matanya. Namun ketukan di pintu butulan itu masih terdengar.

“Siapa?” bertanya Ki Gede.

“Aku, Ki Gede. Lumintu”

Ki Gede mengenal suara itu. Salah seorang pengawal yang bertugas malam itu di rumahnya.

Setelah membenahi pakaiannya Ki Gede pun melangkah ke pintu butulan, mengangkat selaraknya dan membuka pintu.

“Ada apa Lumintu?” Ki Gede sudah menduga, tentu ada hal yang sangat penting, sehingga ia dibangunkan lewat tengah malam.

“Ada utusan dari istana, Ki Gede”

“Utusan dari istana? Dimana orang itu?”

“Sudah aku persilahkan duduk di pendapa. Tetapi mereka tidak mau. Katanya, mereka hanya ingin menyampaikan perintah kepada Ki Gede”

Ki Gede mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menemui mereka”

Ki Gede pun kemudian masuk kembali ke pembaringannya. Dikenakannya kerisnya di punggung, kemudian Ki Gede itu pun telah keluar lewat pintu pringgitan.

Tiga orang berdiri di halaman memegangi kuda masing-masing, sehingga Ki Gede itu pun berkata di dalam hatinya, “Aku bukan sekedar bermimpi. Aku benar-benar mendengar derap kaki kuda meskipun tidak sebanyak dalam mimpi”

Ki Gede itu pun turun ke halaman dengan jantung yang berdebaran.

Sebelum Ki Gede bertanya, seorang di antara ketiga orang itu pun berkata, “Aku, Ki Gede. Lurah Wirasana”

“O, kau Ki Lurah Wirasana. Ada apa?”

“Kangjeng Sultan memanggil Ki Gede untuk menghadap sekarang juga”

“Sekarang? Apakah ada sesuatu yang sangat penting telah terjadi di istana?”

“Ya, Ki Gede”

“Apa yang telah terjadi itu?”

“Harya Wisaka melarikan diri”

“Harya Wisaka berhasil melarikan diri? Bagaimana hal itu terjadi? Harya Wisaka berada di dalam tahanan di lingkungan istana. Dijaga kuat oleh sekelompok prajurit yang langsung berada di bawah perintah Kangjeng Sultan”

“Pelayan dalam yang bertugas telah terbunuh, Ki Gede. Bahkan bukan hanya mereka, tetapi beberapa orang yang lain yang telah berkhianat”

Wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang. Kepada seorang pengawalnya Ki Gede berkata, “Siapkan kudaku”

Sementara pengawal itu mempersiapkan kudanya, maka Ki Gede pun telah berganti pakaian.

Sejenak kemudian, Ki Gede dan beberapa orang pengawalnya telah berpacu ke istana bersama ketiga orang utusan dari istana itu.

Demikian Ki Gede memasuki paseban dalam, maka beberapa orang pemimpin Pajang telah menghadap.

“Duduklah, Kakang” suara Kangjeng Sultan berat menekan.

Ki Gede itu pun segera duduk di antara para pemimpin yang telah menghadap itu.

“Jika saja kau tidak menghambat keputusanku, aku sudah menghukum mati Harya Wisaka” berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. “Sekarang ternyata Harya Wisaka itu melarikan diri”

“Hamba mohon ampun, Paduka”

“Sekarang, apa katamu?”

“Kangjeng Sultan” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “bagaimana hal itu dapat terjadi. Harya Wisaka berada di sebuah ruangan yang sangat kuat. Dijaga oleh sekelompok prajurit yang langsung berada di bawah perintah paduka”

“Kau akan membebankan tanggung jawab hilangnya Harya Wisaka kepadaku?”

“Tidak, bukan Sinuhun. Hamba hanya ingin tahu bagaimana hal itu dapat terjadi”

“Tumenggung Reksapati, kau yang telah berbicara langsung dengan seorang pelayan dalam yang terluka parah itu, ceriterakan kepada Kakang Pemanahan, apa yang telah terjadi”

Tumenggung Reksapati pun beringsut sejengkal. Setelah menyembah, maka ia pun berkata, “Atas ijin paduka”

“Katakan”

“Ki Gede” berkata Ki Tumenggung Reksapati, “Putri Sekarsari”

“Sekarsari?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Memang di luar dugaan. Putri Sekarsari telah memperalat seorang lurah pelayan dalam”

“Siapa?”

“Ki Lurah Citrasemu”

“Citrasemu” ulang Ki Gede. “Seorang lurah muda yang tampan”

“Apa maksudmu?”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Sementara Kangjeng Sultan pun berkata, “Ceriterakan apa yang terjadi. Untuk apa kau katakan lurah muda itu tampan?”

“Hamba, Paduka” sahut Ki Tumenggung sambil menyembah.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lurah muda dan tampan itu tentu lurah pelayan dalam yang pernah dilaporkan kepadanya. Ceritera Tumenggung itu pun tidak meleset dari dugaan Ki Gede Pemanahan. Lurah pelayan dalam yang muda dan tampan itu telah dimanfaatkan habis-habisan oleh Sekarsari. Kemudaannya, ketampanannya, gairahnya, tetapi juga tenaga dan kekuasaannya. Bahkan yang terakhir adalah nyawanya.

Sekarsari berhasil membujuk lurah muda itu untuk membawa beberapa orang bawahannya menyerang para petugas yang menjaga Harya Wisaka di bilik tahanannya.

“Betapa bodohnya lurah itu” desis Ki Gede. “Jika ia membantu membebaskan Harya Wisaka berarti peranannya sudah habis. Sekarsari akan kembali kepada Harya Wisaka”

“Menurut seorang prajuritnya yang masih hidup meskipun terluka parah, Sekarsari berjanji untuk tetap setia kepada lurah muda itu, karena setelah dibebaskan Harya Wisaka akan melarikan diri keluar Pajang seorang diri. Hubungannya dengan Harya Wisaka telah menjadi sangat renggang. Harya Wisaka sudah tidak menghendaki Sekarsari lagi karena Harya Wisaka tahu bahwa Sekarsari tidak setia lagi kepadanya”

“Ya” sambung Kangjeng Sultan, “agaknya Sekarsari sudah tidak setia lagi kepada Harya Wisaka, karena ia telah berhubungan dengan lurah itu”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa Ki Tumenggung tidak menyebut bahwa selain dengan lurah muda itu, Sekarsari telah mendapat kebebasan keluar masuk istana.

Ternyata bahwa Sekarsari adalah seorang perempuan yang sangat cerdik. Ia dapat memainkan peranannya dengan sempurna. Sekarsari telah mengelabuhi banyak orang, termasuk Ki Gede Pemanahan sendiri.

Pertengkarannya dengan Harya Wisaka setiap kali ia mengunjunginya tentu bagian dari peran yang sedang dimainkan. Kebenciannya kepada Harya Wisaka nampak meyakinkan. Demikian pula sikap Harya Wisaka, yang bahkan pernah mencoba mencekik istrinya itu.

Permainan Sekarsari yang meyakinkan itulah yang membuatnya berhasil melepaskan Harya Wisaka.

“Setelah Harya Wisaka lepas dari bilik tahanannya, maka lurah muda yang tampan itu dengan orangnya yang tersisa telah dibunuh pula oleh Harya Wisaka” berkata Ki Tumenggung kemudian.

“Apakah gejolak itu tidak sempat diketahui oleh para petugas yang lain?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Tidak, Ki Gede. Tidak ada yang mengetahui bahwa Harya Wisaka telah berhasil membebaskan diri. Prajurit yang masih hidup itu melihat Harya Wisaka melarikan diri bersama Sekarsari. Sementara itu diketemukan di pintu belakang, dua orang prajurit terbunuh. Dua orang lagi di gerbang halaman belakang istana. Demikian keluar dari halaman istana, maka jejak Harya Wisaka dan Sekarsari pun telah hilang”

Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi. Dua orang prajurit yang bertugas di pintu belakang dan di gerbang halaman istana memang tidak akan mampu menahan Harya Wisaka. Apalagi Harya Wisaka sedang dalam keadaan terjepit.

“Kakang Pemanahan” berkata Kangjeng Sultan kemudian, “aku menyesal bahwa aku telah mendengar permintaan Kakang untuk menunda hukum mati itu. Bahkan sebelumnya aku sudah berniat untuk menangkap dan menganggap Sekarsari ikut bersalah, sehingga ia pun harus dihukum. Tetapi Kakang minta aku menundanya. Akibatnya, Harya Wisaka dapat melepaskan dirinya”

Ki Gede memandang Kangjeng Sultan sejenak. Tetapi kepalanya pun telah menunduk kembali.

“Karena itu Kakang, aku minta kau memimpin perburuan ini. Aku minta Harya Wisaka dapat ditangkap, hidup atau mati. Kakang dapat mempergunakan prajurit berapa pun Kakang perlukan. Kakang dapat mengangkat siapa pun untuk menjadi senapati dalam pasukan Kakang itu. Dua atau tiga orang atau bahkan tidak terbatas”

“Baik, Kangjeng Sultan. Hamba akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya. Hamba akan mempergunakan pasukan seperlunya dan mengangkat beberapa orang senapati pada saatnya nanti”

“Aku ingin tugas ini segera selesai. Karena itu, Kakang jangan bergerak terlalu lamban”

“Sejak malam ini hamba akan bergerak. Hamba akan mulai dengan beberapa orang prajurit sandi”

“Ingat, Kakang. Harya Wisaka mempunyai pengikut cukup banyak. Jika ia sempat berada di tengah-tengah pengikutnya, maka upaya untuk menangkapnya akan menjadi semakin sulit”

“Hamba, Kangjeng Sultan. Hamba akan berusaha mencari jejaknya secepatnya”

“Baiklah. Aku serahkan usaha penangkapan ini kepada Kakang Pemanahan”

“Hamba junjung perintah Paduka” sahut Ki Gede. Namun katanya kemudian kepada mereka yang ada di paseban dalam itu, “Meskipun tanggung jawab penangkapan Harya Wisaka itu diserahkan kepadaku, tetapi aku minta kalian membantuku. Terutama Ki Tumenggung Reksapati”

“Aku akan berbuat apa saja yang dapat aku lakukan untuk membantu Ki Gede”

“Nanti kita berbicara, Ki Tumenggung”

“Baik, Ki Gede”

Demikianlah Kangjeng Sultan pun menutup pertemuan yang tiba-tiba itu, karena ada persoalan yang sangat gawat telah terjadi.

Beberapa orang pemimpin telah meninggalkan paseban dalam. Hanya Ki Gede dan Ki Tumenggung Reksapati sajalah yang masih tinggal.

“Jadi Ki Gede pernah menghambat keputusan Kangjeng Sultan untuk menghukum mati Harya Wisaka?” bertanya Ki Tumenggung Reksapati.

“Ya, Ki Tumenggung. Tetapi dasar perhitunganku adalah untuk menyelamatkan nama baik Kangjeng Sultan sendiri”

“Aku sudah menduga. Bahkan Ki Gede melihat hubungan yang tidak wajar antara Kangjeng Sultan dengan Sekarsari?”

“Ya. Ternyata Sekarsari telah mengelabuhi kita semuanya. Bahkan Sekarsari telah merendahkan dirinya berhubungan dengan Ki Lurah Citrasemu”

“Ya”

“Lurah tampan yang bodoh itu harus mengorbankan nyawanya. Ia membawa bawahannya untuk menyergap para penjaga. Pertempuran itu terjadi dengan singkat. Semua petugas terbunuh. Tetapi separuh dari pengikut Ki Lurah Citrasemu juga terbunuh. Demikian Harya Wisaka bebas, maka yang separuh itu dibunuhnya tanpa banyak perlawanan. Tetapi seorang yang ternyata masih hidup itu sempat memberikan kesaksiannya”

“Kenapa pertempuran yang terjadi di sekitar bilik tahanan itu luput dari perhatian para petugas yang lain?”

Ki Tumenggung Reksapati menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Entahlah, Ki Gede. Tetapi mungkin karena pertempuran itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat di tempat yang agak terasing meskipun masih di dalam lingkungan istana”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Ki Tumenggung Reksapati. Yang dapat aku lakukan malam ini adalah memerintahkan para petugas sandi untuk mencari jejak. Tetapi kita tahu bahwa Harya Wisaka adalah orang berilmu sangat tinggi”

“Aku menunggu perintah Ki Gede”

“Kita siapkan pasukan. Menurut perhitunganku, Harya Wisaka akan segera berada di landasan kekuatannya. Jika kekuatannya bercerai-berai namun setelah Harya Wisaka berhasil meloloskan diri, maka ia akan dapat menghimpun kembali kekuatannya”

“Baik, Ki Gede. Pasukanku besok saat matahari terbit sudah siap jika diperlukan”

“Terima kasih. Kita pulang sekarang. Besok aku sendiri yang akan memimpin pencaharian ini”

“Baik, Ki Gede”

Demikianlah, keduanya segera meninggalkan istana kemudian pulang ke rumah masing-masing.....

Namun sisa malam itu bukannya waktu yang dapat dipergunakan untuk beristirahat bagi Ki Gede Pemanahan. Demikian ia sampai di rumahnya, maka ia pun telah memerintahkan pengawalnya untuk memanggil kepercayaannya, Ki Lurah Surapada.

Demikian Ki Lurah itu menghadap, maka Ki Gede pun segera memberitahukan, bahwa Harya Wisaka telah melarikan diri dari bilik tahanannya.

“Ya, Ki Gede”

“Jadi kau sudah mendengar?”

“Ya, Ki Gede. Tadi Wirasana sudah datang kemari untuk menghadap Ki Gede. Tetapi Ki Gede sudah pergi ke istana”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ada semacam kebanggaan Ki Gede terhadap kepercayaannya itu. Mereka pun ternyata melakukan perintahnya dengan baik, sehingga mereka pun dengan cepat mendengar berita tentang hilangnya Harya Wisaka.

Sementara itu Ki Lurah Surapada itu pun berkata lebih lanjut, “Kami mohon maaf, bahwa kami tidak segera dapat bertindak. Terus terang, kami yang ikut mengawasi dari jarak jauh Harya Wisaka yang berada di dalam bilik tahanan itu menjadi lengah, justru karena hubungan Sekarsari dan Harya Wisaka yang nampak menjadi semakin memburuk”

“Bukan hanya kau yang telah dikelabuhi. Aku juga sudah disesatkannya. Sekarsari dan Harya Wisaka telah berperan dengan sangat baik dalam permainan yang mengasyikkan, seolah-olah mereka sudah saling menjauhi”

“Yang terbodoh di antara para lurah prajurit dan pelayanan dalam adalah Citrasemu” desis Surapada.

“Kasihan orang itu. Ia harus mengorbankan nyawanya”

“Itu terjadi karena kedunguannya, Ki Gede”

“Ya. Tetapi kita tidak dapat terpaku pada sekedar mengasihani Citrasemu”

“Kami menunggu perintah Ki Gede”

“Perintahkan anak buahmu untuk mengawasi semua orang yang diduga mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka”

“Baik, Ki Gede”

“Jangan menunggu besok”

“Baik, Ki Gede”

Namun pembicaraan mereka pun terputus. Lumintu telah datang menghadap Ki Gede untuk memberitahukan bahwa Ki Tumenggung Reksapati dan dua tiga orang pengawalnya datang untuk menghadap Ki Gede.

“Persilahkan mereka naik ke pendapa”

Demikian Lumintu keluar, maka Ki Gede pun berkata, “Aku baru saja meninggalkan paseban dalam bersama-sama Ki Tumenggung Reksapati. Dan sekarang Ki Tumenggung telah sampai disini”

“Mungkin ada keterangan yang penting yang harus segera disampaikan kepada Ki Gede”

Ki Gede pun kemudian telah mengajak Ki Lurah Surapada untuk menerima Ki Tumenggung Reksapati.

Ketika Ki Gede menemui Ki Tumenggung di pringgitan, maka ia pun telah terkejut. Ia melihat Ki Reksapati itu terluka. Namun luka itu nampaknya sama sekali tidak mengganggu Ki Tumenggung Reksapati.

“Apa yang terjadi, Ki Tumenggung?”

Ki Tumenggung Reksapati tersenyum. Dirabanya lukanya yang sudah pampat itu sambil berdesis, “Harya Wisaka, Ki Gede”

“Harya Wisaka?”

“Ya, Ki Gede. Aku menghadap untuk menyampaikan peringatan bagi Ki Gede, bahwa Harya Wisaka agaknya sedang mencari Ki Gede. Nampaknya ia sangat mendendam”

Ki Gede mengangguk-angguk.

“Ketika aku pulang dari paseban, aku memang singgah menemui pelayan dalam yang bertugas untuk mendapatkan beberapa keterangan. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat membantu. Ketika aku kemudian pulang, maka tiba-tiba aku telah dihentikan oleh Harya Wisaka yang tiba-tiba saja sudah berdiri di tengah jalan”

Ki Gede masih mengangguk-angguk.

“Yang pertama-tama ditanyakan adalah Ki Gede. Ia mengira bahwa yang lewat adalah Ki Gede”

“Apa katanya?”

“Harya Wisaka benar-benar ingin membunuh Ki Gede. Karena itu, aku datang kemari untuk memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa Harya Wisaka masih berkeliaran”

“Kenapa Ki Tumenggung terluka”

“Harya Wisaka ingin melepaskan kekecewaannya dengan membunuhku. Tetapi aku tidak sendiri. Aku bersama beberapa orang prajurit. Karena itu, aku berhasil menyelamatkan diri. Entah, apa yang terjadi jika aku kebetulan seorang diri”

“Ki Tumenggung mampu melindungi dirinya sendiri”

“Tetapi aku tahu tingkat kemampuan Harya Wisaka”

Ki Gede tersenyum, sementara Ki Tumenggung pun berkata, “Dua orang pengawalku terbunuh. Seorang terluka parah. Aku pun terluka, tetapi aku selamat. Ketika beberapa orang prajurit berkuda yang sedang meronda lewat, Harya Wisaka telah melarikan diri”

Ki Gede menggeram. Katanya, “Harya Wisaka ingin menantang aku berperang tanding. Jika aku yakin bahwa Harya Wisaka akan berbuat jujur, aku tidak berkeberatan. Tetapi Harya Wisaka adalah seorang yang sangat licik”

“Kita semuanya harus berhati-hati. Kangjeng Sultan juga harus berhati-hati. Ilmunya tentu jauh lebih tinggi dari kedua orang utusan Harya Penangsang yang ditugaskan untuk membunuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Jika kedua orang utusan itu saja datang memasuki bilik Kangjeng Sultan tanpa diketahui oleh para prajurit dan pelayan dalam yang bertugas, apalagi Harya Wisaka jika pengamanan Kangjeng Sultan tidak ditingkatkan”

“Kau benar, Ki Tumenggung. Besok aku akan menyampaikan kepada para petugas di istana. Tetapi pengkhianatan Ki Lurah Citrasemu telah membuat kepercayaan Kangjeng Sultan kepada pengawalnya agak menurun”

“Itu juga perlu segera diatasi, Ki Gede. Justru dalam keadaan yang gawat ini”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Lurah Surapada, jalankan perintahku. Kau tidak usah menunggu besok. Gerakkan semua orang yang berada di bawah perintahmu untuk mengamati seluruh kota serta rumah-rumah orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka”

“Baik, Ki Gede. Aku mohon diri” Kemudian kepada Ki Tumenggung Ki Lurah itu berkata, “Silahkan, Ki Tumenggung. Aku mohon diri”

“Silahkan, Ki Lurah. Aku juga akan segera mohon diri. Aku harus segera mempersiapkan pasukanku. Aku harus berpacu dengan Harya Wisaka”

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Surapada itu pun telah berpacu meninggalkan rumah Ki Gede bersama seorang prajurit yang menyertainya. Mereka sadar, bahwa jalan-jalan di Pajang menjadi sangat berbahaya bagi orang-orang yang dimusuhi oleh Harya Wisaka. Tetapi betapa tinggi ilmu Harya Wisaka, ia masih belum sempat mengumpulkan orang-orangnya, sehingga Harya Wisaka itu masih sendiri. Karena itu yang dapat dilakukannya pun sangat terbatas.

Sepeninggal Ki Lurah Surapada, maka Ki Tumenggung Reksapati pun telah minta diri. Sekali lagi ia berpesan, agar Ki Gede berhati-hati, karena Harya Wisaka itu masih berkeliaran di dalam kota. Sedangkan dendamnya yang terbesar justru tertuju kepada Ki Gede Pemanahan.

“Aku mohon diri, Ki Gede. Aku harap Ki Gede juga memperingatkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Mereka memang berilmu tinggi. Tetapi mereka, terlebih-lebih Pangeran Benawa, masih terlalu menuruti perasaannya saja, sehingga agaknya keduanya kurang berhati-hati”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Aku akan memperingatkan mereka berdua”

Demikian Ki Tumenggung Reksapati meninggalkan rumah Ki Gede, maka ki Gede pun segera mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Alas Jabung.

“Sekarang, Ki Gede?” bertanya Lumintu.

“Menjelang fajar” jawab Ki Gede.

“Sebaiknya Ki Gede beristirahat, meskipun hanya sekejap” Ki Gede tersenyum. Katanya, “Ya. Aku akan beristirahat sebentar”

Tetapi Ki Gede tidak pergi ke pembaringan. Ki Gede itu hanya duduk saja di ruang dalam bersandar tiang.

Menjelang matahari terbit, Ki Gede bersama tiga orang pengawalnya memacu kudanya ke Alas Jabung. Ia harus segera memberi peringatan kepada seisi padepokan, terutama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Namun sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung Reksapati, Ki Gede Pemanahan tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Dendam Harya Wisaka agaknya akan ditumpahkannya kepada Ki Gede Pemanahan.

Kedatangan Ki Gede Pemanahan di padepokan sementara Ki Panengah sangat mengejutkan. Hari masih terhitung pagi. Jarak dari Pajang ke Hutan Jabung memang tidak terlalu jauh.

Demikianlah, Ki Panengah dan Ki Waskita telah menerima Ki Gede Pemanahan di pendapa bangunan induk padepokan sementara itu.

“Kedatangan Ki Gede membuat jantungku berdebaran” berkata Ki Panengah.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Hanya sikap hati-hati orang-orang tua”

“Apa yang telah terjadi, Ki Gede?” bertanya Ki Waskita.

Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya kemudian dengan nada rendah, “Harya Wisaka berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya”

“Harya Wisaka melarikan diri?” bertanya Ki Waskita dan Ki Panengah hampir bersamaan.

“Ya. Setelah berusaha dengan sangat cerdik dibantu oleh isterinya, Sekarsari, maka Harya Wisaka berhasil”

“Bukankah Harya Wisaka dijaga dengan ketat oleh prajurit pilihan?” bertanya Ki Panengah.

Ki Gede pun kemudian telah menceriterakan apa yang telah terjadi. Kebebasan Sekarsari masuk keluar istana telah dimanfaatkannya dengan baik. Demikian pula kecantikan wajahnya, kehangatan sikapnya dan senyumnya yang menawan. Bahkan seorang lurah prajuritnya telah dijeratnya dan dipakainya sebagai alasan kebebasan suaminya. Lurah prajurit muda itu telah mati dibunuh oleh Harya Wisaka demikian ia berhasil keluar dari bilik tahanannya.

“Hatinya terbalut oleh bulu-bulu serigala” desis Ki Panengah.

“Ki Panengah dan Ki Waskita” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “aku ingin bertemu dan berbicara dengan Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Aku ingin memberitahukan bahwa Harya Wisaka berhasil melarikan diri. Tetapi aku tidak perlu berceritera hubungan Kangjeng Sultan dengan Sekarsari. Pangeran Benawa yang sudah sering mengalami kekecewaan, akan menjadi semakin kecewa jika ia mengetahuinya”

“Justru hatinya telah beku, Ki Gede”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita tidak berbicara tentang Sekarsari”

Beberapa saat kemudian, maka Ki Panengah pun telah memanggil Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Mungkin Paksi akan terlibat juga jika Harya Wisaka mengambil langkah terhadap padepokan itu.

Sejenak kemudian, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi telah menghadap. Dengan nada tinggi Raden Sutawijaya berkata, “Masih sepagi ini Ayah telah sampai di Hutan Jabung. Apakah ada sesuatu yang sangat penting Ayah, sehingga Ayah sendiri harus datang kemari?”

Ki Gede mengangguk. Katanya, “Ya, Sutawijaya. Memang ada yang penting yang harus kalian dengar. Aku sudah menyampaikan kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, bahwa Harya Wisaka telah melarikan diri dari bilik tahanannya”

“Melarikan diri?”

“Ya”

“Bagaimana hal itu dapat terjadi, Paman?” bertanya Pangeran Benawa.

“Itulah yang harus diselidiki” jawab Ki Gede. “Namun yang penting, padepokan ini harus berhati-hati”

“Ya, Paman” Pangeran Benawa mengangguk-angguk.

“Kangjeng Sultan menganggap aku telah bersalah, karena aku mohon agar Kangjeng Sultan menunda keputusan hukuman mati atas Harya Wisaka. Tetapi ternyata Harya Wisaka telah melarikan diri”

“Ayah telah dihukum?”

“Tidak. Tetapi Kangjeng Sultan memerintahkan aku mengembalikan Harya Wisaka hidup atau mati ke istana”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapa saja yang mendapat tugas bersama Ayahanda memburu Harya Wisaka?”

“Aku diperkenankan mempergunakan pasukan seberapa saja aku butuhkan. Sementara itu, yang pagi ini telah menyiapkan pasukannya adalah Ki Tumenggung Reksapati”

“Apakah Ayah akan langsung mempergunakan pasukan segelar sepapan?”

“Tentu tidak, Sutawijaya. Aku harus menemukan Harya Wisaka lebih dahulu. Jika ia berada di antara para pengikutnya dalam kekuatan yang besar, maka aku baru akan menggerakkan pasukan”

“Apa rencana Ayah dalam waktu dekat?”

“Sekarang aku baru memerintahkan para petugas sandi untuk mengawasi lingkungan dalam kita. Mudah-mudahan Harya Wisaka masih belum pergi. Agaknya Harya Wisaka masih ingin bertemu dengan aku”

“Dengan Ayah?”

“Ia sangat mendendamku. Ia pernah menantang aku berperang tanding ketika ia masih berada di dalam tahanan. Tentu saja aku tidak melayaninya. Sekarang, setelah ia bebas, mungkin sekali ia mencari kesempatan untuk bertemu dengan aku”

Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mendengarkan keterangan Ki Gede itu dengan saksama. Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun sekali-sekali nampak dahi mereka berkerut.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita itu pun berkata, “Ada satu hal yang ingin aku bicarakan dengan Paksi sehubungan dengan persoalan Harya Wisaka”

Paksi mengangkat wajahnya dan memandang Ki Waskita sekilas. Namun ia pun kembali menundukkan kepalanya.

“Paksi” berkata Ki Waskita kemudian, “apakah kau bersedia untuk pulang?”

“Pulang?” bertanya Paksi dengan nada tinggi.

“Ya. Sekedar menengok keluargamu. Ayah, ibu dan adik-adikmu di rumah”

“Belum lama aku pulang, Guru. Yang justru telah menimbulkan persoalan dengan perguruan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Tetapi apakah kau bersedia untuk pulang lagi dalam waktu dekat ini? Mungkin hari ini?”

Paksi termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat menduga bahwa gurunya ingin agar ia tidak berada di padepokan karena sesuatu sebab yang agaknya ada hubungannya dengan lepasnya Harya Wisaka.

Namun akhirnya Ki Waskita itu menjelaskan, “Paksi, maaf jika ada kesan mencurigai ayahmu. Tetapi aku mempunyai dugaan bahwa ayahmu mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Jika Harya Wisaka masih berada di dalam kota, maka ia tentu akan berpindah-pindah tempat. Meskipun para petugas sandi agaknya telah mengawasi seluruh kota dan bahkan semua jalan keluar, tetapi Harya Wisaka adalah seorang yang sangat cerdik dan berilmu sangat tinggi”

“Aku mengerti, Guru” sahut Paksi kemudian. “Mungkin pada suatu saat Harya Wisaka bersembunyi di rumahku”

“Ya”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak menjadi ketakutan karena tugas itu. Tetapi jika hal itu benar, maka mungkin ia harus bertengkar dengan ayahnya. Mungkin karena ayahnya membantu Harya Wisaka. Tetapi mungkin karena dengan demikian ayahnya justru harus ditangkap.

Agaknya Ki Waskita mengetahui kesulitan yang akan dihadapi oleh Paksi. Karena itu, maka katanya, “Paksi, kau hanya akan bertindak jika Harya Wisaka ada di rumahmu. Usahakan untuk menangkapnya. Meskipun Harya Wisaka itu berilmu sangat tinggi, tetapi semoga kau mampu mengimbangi ilmunya setelah kau berada di puncak kemampuanmu”

Paksi tidak segera menjawab. Sebuah pertanyaan masih bergetar di dalam dadanya, “Apa yang harus aku lakukan jika ayah berusaha mencegahnya?”

Namun Pangeran Benawa yang agaknya juga menangkap kegelisahan itu tiba-tiba saja berkata, “Aku ikut bersamamu, Paksi. Kita berdua akan melihat, apakah Harya Wisaka ada di rumahmu atau tidak”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Panengah berkata, “Mungkin ada baiknya juga, Pangeran. Tetapi adalah aneh, jika Paksi menginap di rumahnya barang satu malam dan Pangeran juga menginap di rumahnya”

“Kenapa aneh?”

“Rumah tumenggung itu tidak terlalu jauh dari istana. Seharusnya Pangeran berada di istana. Karena keadaan sebaliknya akan dapat terjadi. Justru karena Harya Wisaka mengetahui Pangeran ada di rumah Paksi, maka Harya Wisaka lah yang menyergap Pangeran dengan membawa pengikut-pengikutnya yang sempat dikumpulkannya. Harya Wisaka tentu tidak melupakan cincin yang ada pada Pangeran itu”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, “Kecuali jika keberadaan Pangeran Benawa di rumah Paksi diimbangi dengan kegiatan beberapa petugas sandi yang akan mengamati rumah itu”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dapat melakukannya”

“Nah, apa lagi” desis Pangeran Benawa.

“Agaknya memang boleh dicoba, Ayah” berkata Raden Sutawijaya. “Jika saja kebetulan Paman Harya Wisaka ada di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi jika Harya Wisaka belum ada disana, meskipun ia selalu berpindah-pindah tempat, ia tidak akan datang ke rumah Ki Tumenggung. Demikian Adimas Pangeran Benawa dan Paksi datang ke rumah itu, kaki tangan Harya Wisaka tentu sudah menyampaikannya kepadanya”

Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku mengerti. Tetapi ada baiknya malam nanti Paksi pulang. Sementara aku menyiapkan dua tiga orang petugas sandi untuk mengawasi rumah itu secara khusus malam nanti”

Akhirnya diketemukan satu kesepakatan bahwa malam nanti Paksi akan pulang. Tentu akan mengejutkan. Tetapi kepulangan Paksi itu adalah salah satu usaha untuk melihat apakah Harya Wisaka berada di rumah itu tanpa menimbulkan gejolak keluar. Akibatnya akan berbeda jika sekelompok prajurit mengepung rumah itu dan dengan paksa mencari seseorang di dalamnya.

Namun sebenarnyalah Paksi merasa sedih. Meskipun demikian ia tidak dapat mengelak, bahwa ayahnya memang pantas dicurigai mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Bahkan Paksi sendiri hampir memastikan bahwa ayahnya memang salah seorang dari para pengikut Harya Wisaka. Jika saja Harya Wisaka tidak melarikan diri dan sempat diperiksa, maka salah seorang yang akan disebut namanya adalah ayahnya.

Tetapi agaknya hati Harya Wisaka benar-benar sekeras batu, sehingga mungkin tidak sebuah nama pun yang akan disebutnya.

Ki Gede Pemanahan tidak terlalu lama berada di padepokan. Setelah memberikan beberapa pesan serta memantapkan kesepakatan mereka, maka Ki Gede itu pun minta diri.

“Sutawijaya” berkata Ki Gede sebelum meninggalkan padepokan, “mungkin kau juga akan menerima tugas khusus nanti jika Harya Wisaka tidak segera tertangkap”

“Baik, Ayah. Aku siap melakukan apa saja”

“Bahkan seisi padepokan ini” berkata Ki Panengah kemudian.

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Padepokan ini masih menghadapi tugas besarnya. Karena itu, Ki Panengah dan Ki Waskita tidak dapat meninggalkan padepokan ini. Orang-orang yang tidak senang akan kehadiran padepokan ini akan dapat mengganggunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Tetapi dalam keadaan yang khusus, segala sesuatunya akan dapat ditata sebaik-baiknya”

“Terima kasih, Ki Panengah. Mungkin pada suatu saat kami memang memerlukan bantuan Ki Panengah dan Ki Waskita”

“Kami akan melakukan apa yang dapat kami lakukan” jawab Ki Waskita.

Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahan pun telah meninggalkan padepokan di tepi Hutan Jabung itu. Bersama beberapa orang pengawalnya, Ki Gede memacu kudanya menuju ke pintu gerbang kota Pajang.

Perjalanan Ki Gede tidak mengalami hambatan apa-apa. Ketika Ki Gede singgah untuk menemui Ki Tumenggung Reksapati di barak pasukannya, Ki Tumenggung sudah berada di barak itu.

“Pasukanku sudah siap untuk bergerak. Siang atau malam. Kapan pun juga. Bahkan seandainya sekarang”

“Terima kasih, Ki Tumenggung” sahut Ki Gede Pemanahan.

“Aku juga sudah menghubungi prajurit dari pasukan berkuda. Mereka pun akan siap kapan saja mereka mendapat perintah”

“Aku harus menemukan persembunyian Harya Wisaka lebih dahulu” sahut Ki Gede Pemanahan. “Tetapi aku sangat berterima kasih atas kesigapan pasukan Ki Tumenggung Reksapati”

“Kami menunggu perintah Ki Gede. Sementara itu, pasukan berkuda akan meningkatkan perondaan di dalam kota”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Kami akan selalu berhubungan”

Ki Gede pun kemudian meninggalkan Ki Tumenggung Reksapati dengan kesiagaannya.

Ketika Ki Gede sampai di rumahnya, Ki Lurah Surapada sudah menunggunya. Namun Ki Lurah itu masih belum membawa berita yang memberikan petunjuk jejak Harya Wisaka.

“Para petugas sandi telah berada di segala sudut kota, Ki Gede. Tetapi tidak seorang pun yang melihat Harya Wisaka. Beberapa orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka telah diawasi dengan ketat. Tetapi bayangan Harya Wisaka itu tidak dapat dilihat oleh para petugas sandi. Sementara itu, semua jalan keluar, semua pintu gerbang dan regol-regol butulan dinding kota juga sudah diawasi”

“Kita tidak tergesa-gesa, Ki Lurah. Mungkin Harya Wisaka bersembunyi di rumah seseorang, sehingga dengan demikian jejaknya seakan-akan telah hilang. Tetapi tentu saja kita tidak dapat memasuki setiap rumah yang kita curigai untuk memburu Harya Wisaka. Beberapa orang akan merasa terganggu, sementara tidak ada bukti apa pun yang dapat membuat orang itu dituduh mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka. Baiklah, Ki Lurah. Tetapi jangan berhenti berusaha. Kangjeng Sultan telah memerintahkan untuk menangkap Harya Wisaka hidup atau mati”

“Kami mohon restu, Ki Gede. Tetapi sebenarnyalah dalam kota ini masih ada beberapa orang yang sebenarnya adalah pendukung kuat Harya Wisaka, yang bersedia memberikan perlindungan kepadanya”

“Itulah yang menyulitkan”

“Berita tentang larinya Harya Wisaka tentu tidak akan dapat disembunyikan lagi. Berita itu tentu sudah tersebar sekarang ini. Karena itu, tidak ada salahnya jika hilangnya Harya Wisaka justru kita beritahukan kepada penghuni kota ini, tetapi disertai dengan ancaman, siapa yang menyembunyikan dan melindungi Harya Wisaka akan mendapat hukuman yang sangat berat. Bahkan mungkin hukuman mati”

“Berhati-hatilah” pesan Ki Gede selanjutnya. Sementara itu, Kepada Ki Lurah Surapada, Ki Gede juga memberitahukan kesepakatan yang telah dibuat di padepokan di pinggir Hutan Jabung itu.

“Kau harus mengawasi bukan saja rumah itu. Tetapi kemungkinan Harya Wisaka menggerakkan orang-orangnya yang sempat dihubungi untuk menangkap Pangeran Benawa”

Ki Lurah Surapada mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Gede. Kami akan melakukan tugas kami sebaik-baiknya”

Hari itu memang terasa tegang bagi Ki Gede Pemanahan dan beberapa orang pemimpin Pajang. Kangjeng Sultan sendiri lebih banyak dicengkam oleh perasaan kecewanya karena Sekarsari meninggalkannya justru pada saat jantung Kangjeng Sultan sedang dibakar oleh gairah yang menyala-nyala.

Sementara itu, pengamanan di istana pun telah ditingkatkan. Mungkin saja Harya Wisaka berusaha memasuki istana dan membunuh Kangjeng Sultan selagi Kangjeng Sultan sedang tidur. Tetapi jika Harya Wisaka itu datang ke bilik Kangjeng Sultan yang sedang terjaga, maka Harya Wisaka tidak akan berhasil membunuhnya, karena Kangjeng Sultan memiliki ilmu yang sangat tinggi, yang hampir tidak ada bandingnya.

Ketika matahari menjadi semakin rendah di belahan langit sebelah barat, maka Ki Gede pun menjadi semakin berdebar-debar. Malam itu, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran Benawa. Tentu akan terasa aneh oleh keluarga Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi mungkin Ki Tumenggung pun sudah tahu maksud kedatangan Paksi. Dan bahkan Ki Tumenggung pun mungkin tahu pula, bahwa itu bukan rencana Paksi sendiri untuk pulang menengok keluarganya.

Dalam pada itu, ketika matahari pun tenggelam, maka Paksi dan Pangeran Benawa telah bersiap-siap untuk meninggalkan padepokannya di pinggir Hutan Jabung. Memenuhi kesepakatan yang telah dibuat, Paksi akan pulang disertai oleh Pangeran Benawa.

“Berhati-hatilah di jalan” pesan Ki Waskita. “Ya, Guru” jawab Paksi dan Pangeran Benawa serentak. “Kalian tahu, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi”

“Ya, Guru” sahut Paksi.

Keduanya pun kemudian telah minta diri pula kepada Raden Sutawijaya, kepada Ki Kriyadama dan kepada para cantrik lainnya serta pemimpin prajurit Pajang yang ada di Hutan Jabung untuk membantu membangun padepokan itu.

“Apakah tidak memerlukan pengawal?” bertanya pemimpin prajurit yang bertugas di Hutan Jabung itu.

Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, “Kami akan berpacu kencang sekali, sehingga kami hanya memerlukan waktu yang pendek untuk sampai ke pintu gerbang kota Pajang”

Namun Ki Waskita pun berkata, “Demikian Pangeran memasuki pintu gerbang kota, maka Pangeran harus menjadi lebih berhati-hati”

Pangeran Benawa mengerutkan dahinya, sementara Ki Waskita pun berkata selanjutnya, “Kemungkinan terbesar, Harya Wisaka masih berada di dalam kota”

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun segera berpacu meninggalkan Hutan Jabung. Gelapnya malam tidak banyak mengganggu perjalanan mereka. Ketajaman penglihatan mereka mampu menembus kegelapan memperhatikan jalan yang akan mereka lalui.

Mereka memang tidak mengalami hambatan di perjalanan yang tidak terlalu lama itu. Namun seperti pesan Ki Waskita, demikian mereka memasuki kota yang sudah menjadi sepi, mereka menjadi semakin berhati-hati.

Keduanya sudah tidak memacu kuda mereka lagi. Berlari-lari kecil kedua ekor kuda itu membawa penunggangnya ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

“Guru memang menghendaki kita sampai di rumahmu malam hari” berkata Pangeran Benawa.

“Ya. Jika Harya Wisaka memang bersembunyi disana, ia tentu sudah tidur atau berbincang dengan ayah atau bersembunyi di dalam bilik. Sehingga kesempatan untuk lari menjadi sempit”

“Mudah-mudahan kita menemukannya”

“Tetapi hamba akan mengalami kesulitan berhadapan dengan ayah. Hamba justru berharap agar Harya Wisaka tidak berada di rumahku”

“Aku mengerti, Paksi”

Keduanya pun kemudian terdiam. Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara.

Malam menjadi semakin dalam. Di langit, bintang terhampar sampai ke cakrawala. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang cahayanya terang berkilat-kilat, ada yang buram tanpa berkedip.

Ketika keduanya sampai di regol halaman, maka keduanya pun segera meloncat turun. Keduanya menuntun kuda mereka memasuki regol halaman.

Keduanya berdiri termangu-mangu beberapa saat di belakang pintu regol yang telah ditutup kembali. Nyala lampu minyak di pendapa nampak redup seperti biasanya. Semuanya nampak wajar. Tidak ada sesuatu yang berubah. Tidak pula terasa adanya kelainan apa-apa.

Paksi menarik nafas panjang. Ia memang berharap, bahwa Harya Wisaka itu tidak berada di rumahnya.

Beberapa saat kemudian, keduanya telah menuntun kudanya dan mengikatnya di patok di samping pendapa.

Paksi memandang Pangeran Benawa sekilas. Namun kemudian Paksi pun melangkah ke pintu seketeng. Tetapi pintu seketeng itu nampaknya diselarak dari dalam, sehingga Paksi tidak dapat membukanya dari luar.

“Hamba akan mengetuk pintu pringgitan” berkata Paksi.

“Bagaimana dengan pintu seketeng yang lain?” bertanya Pangeran Benawa.

“Pintu seketeng ini memang selalu diselarak kedua-duanya, Pangeran”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian telah melangkah naik ke pendapa sambil berdesis, “Marilah, Pangeran”

Paksi dan Pangeran Benawa berdiri dengan ragu-ragu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian Paksi pun telah mengetuk pintu itu perlahan-lahan.

Tetapi rumah itu terasa sangat sepi. Tidak ada yang menyahut ketukan pintu Paksi, sehingga Paksi pun mengetuk pintu semakin keras.

Baru kemudian terdengar suara di ruang dalam. Berbisik-bisik.

Namun kemudian terdengar seseorang bertanya, “Siapa di luar?”

Paksi mengenal suara itu. Suara ayahnya.

Dengan agak ragu Paksi pun menyahut, “Aku Paksi, Ayah”

“Paksi?” terdengar suara perempuan.

Paksi pun mengenalnya dengan baik. Agaknya ibunya pun telah terbangun oleh ketukan pintu itu. “Ya, Ibu”

Namun terdengar suara ayahnya pula, “Jangan dibuka. Malam telah larut”

“Tetapi itu suara Paksi”

“Untuk apa ia pulang malam-malam begini?”

“Bukankah kita dapat bertanya kepadanya?”

“Aku tidak dapat menerima kedatangannya malam-malam begini”

“Tetapi ia pulang ke rumahnya sendiri”

“Aku tidak peduli. Ia harus pergi”

“Kakang”

“Jangan cengeng. Anak ini sudah tidak mengenal lagi unggah-ungguh. Hampir tengah malam enak saja ia datang”

“Ia datang ke rumahnya sendiri, Kakang. Apakah salahnya?”

“Tidak” lalu terdengar suara ayah Paksi mengeras, “Pergilah. Datanglah esok sesudah matahari terbit. Atau tunggulah di pendapa. Aku tidak akan membuka pintu”

“Aku Paksi, Ayah. Kenapa aku tidak pantas untuk pulang malam ini?”

Terdengar suara ayah Paksi di dalam, “Jangan buka pintu”

“Aku akan membuka pintu”

“Tidak”

Ketika Paksi memasuki regol halaman rumah itu, ia masih berharap bahwa Harya Wisaka tidak berada di rumahnya. Tetapi sikap ayahnya itu sangat mencurigakan baginya. Ia bahkan menduga bahwa Harya Wisaka benar-benar berada di rumahnya sehingga ayahnya tidak dapat menerimanya.

Paksi adalah seorang anak yang patuh sejak kanak-kanak. Perintah ayahnya selalu dilakukannya. Tetapi sejak ayahnya mencoba memaksanya untuk berguru kepada sebuah perguruan yang diwakili oleh Ki Semburwangi, Paksi bergejolak. Sikap ayahnya memang sangat menyakitkan. Kenapa ia tidak boleh masuk ke dalam rumahnya sendiri hanya karena ia datang terlalu malam. Padahal ayahnya tahu, bahwa ia berada di sebuah padepokan di pinggir Hutan Jabung.

Dalam ketegangan itu, Pangeran Benawa telah memberi isyarat kepada Paksi untuk mengiakan saja perintah ayahnya, sementara Pangeran Benawa akan pergi ke belakang rumah. Jika Harya Wisaka ada di rumah itu, ia tentu akan pergi lewat pintu belakang.

Agaknya Paksi tanggap akan isyarat Pangeran Benawa. Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Baiklah, Ayah. Jika aku harus menunggu sampai esok, biarlah aku menunggu di pendapa”

“Kasihan anak itu” terdengar suara ibunya.

“Anak itu sudah tidak mau mendengarkan kata-kataku lagi. Aku membencinya”

“Ia patuh kepadamu. Ia melakukan semua perintahmu. Bahkan pergi mencari sesuatu yang ia tidak tahu. Bahkan ia dapat berhasil. Ia pulang dengan membawa benda yang kau inginkan”

“Tetapi anak itu membawa sial”

“Tidak. Ia anak baik”

“Sudahlah, Ibu” berkata Paksi dari luar pintu, “aku akan tidur disini. Di pringgitan terdapat sehelai tikar pandan yang tebal. Di padepokan aku pun tidur di sembarang tempat”

Paksi mendengar isak tangis di ruang dalam. Ia tahu ibunya tentu menangis. Tetapi Paksi itu pun kemudian duduk di atas tikar pandan di pringgitan.

Sementara itu Pangeran Benawa telah pergi ke halaman belakang. Ia tidak meloncati seketeng dan masuk ke longkangan. Tetapi gandok kanan.

Sejenak kemudian, suasana pun menjadi tenang. Tidak terdengar suara apa-apa lagi. Namun dengan sabar Pangeran Benawa berjongkok di antara pepohonan perdu di halaman belakang.

Dalam pada itu, Paksi terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara ayahnya bertanya dari dalam, “Paksi, apakah kau masih berada di pringgitan?”

Paksi memang curiga terhadap pertanyaan itu. Namun ia pun menyahut, “Masih, Ayah. Aku masih berada di pringgitan”

Ayahnya pun terdiam. Paksi tidak mendengar pertanyaan apa-apa lagi. Tangis ibunya pun tidak didengarnya lagi. Namun Paksi sempat bertanya di dalam hatinya, apakah adik-adiknya tidak terbangun oleh suara-suara gaduh di ruang dalam itu.

Pertanyaan ayahnya itu agaknya sekedar untuk mengetahui, apakah Paksi masih berada di pringgitan atau tidak. Pertanyaan itu tentu bukannya tanpa maksud. Tetapi Paksi justru tidak beringsut dari tempatnya. Ia masih saja duduk bersandar dinding papan yang memisahkan pringgitan dan ruang dalam. Telinga Paksi yang tajam telah mendengar desir langkah kaki di belakang dinding. Ia tahu seseorang berdiri di belakang dinding itu. Karena itu, Paksi justru sengaja memperdengarkan tarikan nafasnya panjang-panjang seperti orang kelelahan.

“Mudah-mudahan kuda-kuda itu tidak gaduh, sehingga orang yang berada di dalam tidak tahu, bahwa ada dua ekor kuda di halaman”

Sejenak kemudian, Paksi pun mendengar langkah menjauh di belakang dinding. Paksi pun tahu bahwa orang yang meyakinkan kehadirannya di pendapa itu telah beranjak pergi.

Namun dengan demikian, Paksi pun justru bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kecurigaannya justru menjadi semakin besar, bahwa ada seseorang yang bersembunyi di rumahnya, yang tidak boleh diketahuinya.

Kemungkinan terbesar, orang itu adalah Harya Wisaka.

Beberapa saat Paksi menunggu sebagaimana Pangeran Benawa juga menunggu. Hampir saja Pangeran Benawa kehabisan kesabaran. Namun tiba-tiba saja ia melihat pintu dapur yang menghadap ke halaman belakang terbuka. Seorang laki-laki dengan hati-hati melangkah keluar pintu.

Laki-laki itu menebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia tidak melihat sesuatu.

“Aku minta diri” desis laki-laki itu kepada seseorang yang masih berdiri di dapur.

“Berhati-hatilah. Aku akan mengurus kelinci-kelinci itu. Ia tidak akan pernah keluar lagi dari rumah ini”

“Besok biarlah dua orangku menjemputnya” berkata laki-laki itu.

Pangeran Benawa segera mengenal laki-laki itu. Orang itulah Harya Wisaka yang bersembunyi di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Karena itu, maka Pangeran Benawa pun segera mempersiapkan diri. Ia tidak membawa senjata yang paling sesuai dengan tangannya, tombak pendeknya. Tetapi ia membawa sepasang pisau belati yang dibawanya mengembara. Jika diperlukan, maka senjata itu akan dapat membantunya.

Beberapa saat Pangeran Benawa menunggu. Jika Harya Wisaka meninggalkan pintu dapur itu, maka Pangeran Benawa akan segera menyergapnya. Meskipun Harya Wisaka memiliki ilmu yang sangat tinggi, namun tingkat ilmu Pangeran Benawa pun seakan-akan tidak terbatas.

Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa pun menjadi berdebar-debar. Ternyata firasat Harya Wisaka pun sangat tajam. Kehadiran Pangeran Benawa di halaman belakang itu seolah-olah dapat diketahuinya.

Karena itu, maka Harya Wisaka menjadi agak ragu. Katanya, “Ada seseorang di halaman belakang ini?”

“Paksi masih berada di pendapa”

“Apakah hanya Paksi yang datang kemari? Memang hanya suaranya yang kita dengar, tetapi agaknya ia datang bersama orang lain”

Orang yang berada di dapur itu termangu-mangu sejenak. Namun Harya Wisaka itu pun kemudian berkata, “Tangkap anak itu. Aku akan mencari orang yang bersembunyi di halaman ini. Keduanya tidak boleh terlepas jika kau tidak ingin ditangkap karena menyembunyikan aku”

Orang yang berada di dapur itu segera berlari ke ruang dalam. Namun langkahnya tertegun. Ki Tumenggung Sarpa Biwada pernah melihat, bagaimana Paksi mampu mengalahkan Ki Semburwangi. Jika ia ingin menangkapnya, apakah ia dapat melakukannya apabila Paksi melawan?

Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada adalah seorang prajurit. Ia pernah menjadi senapati yang disegani. Ia pun mempunyai ilmu yang tinggi.

“Aku akan menangkapnya” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya, “bahkan aku akan membunuhnya”

Ki Tumenggung itu pun segera berlari ke pintu pringgitan. Disambarnya tombak pendek yang berada di plonconnya.

“Ki Tumenggung” desis Nyi Tumenggung, “ada apa?”

Ki Tumenggung tidak berhenti. Tetapi ia sempat menjawab sambil berlari ke pintu, “Pengkhianat itu ada di pringgitan”

“Siapa?”

Ki Tumenggung tidak menjawab. Dengan serta-merta ia pun telah membuka selarak dan mendorong daun pintu pringgitan itu.

Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung pun meloncat keluar dengan ujung tombak yang merunduk.

Sekilas Ki Tumenggung melihat dua ekor kuda terikat di halaman. Dengan lantang ia pun berkata, “Jadi kau memang tidak sendiri, Paksi?”

Paksi terkejut. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Ki Tumenggung itu sudah menyerangnya.

Paksi yang belum sempat bangkit itu justru berguling sehingga ujung tombak Ki Tumenggung tidak menghunjam ke jantungnya. Dengan cepat Paksi pun meloncat bangkit. Sementara itu ujung tombak Ki Tumenggung telah mematuk tubuhnya lagi.

Paksi menangkis serangan itu dengan tongkat kayunya. Kemudian sambil berloncatan mundur, Paksi berdesis, “Ayah, Ayah”

“Anak durhaka. Berapa kali kau telah menghancurkan nama baikku. Sekarang kau telah mengkhianati aku lagi. Karena itu, maka tidak ada hukuman yang paling pantas bagimu selain membunuhmu”

“Ayah, aku Paksi, Ayah. Kenapa Ayah akan membunuhku?”

“Kau datang dengan siapa, Paksi? Kenapa kau telah mengkhianati-ku?”

“Apa yang aku lakukan?”

Ki Tumenggung tidak segera menjawab. Tetapi ujung tombaknya menyambar ke arah lambung. Hampir saja lambung Paksi terkoyak, namun untunglah bahwa Paksi dengan tangkas meloncat ke samping. Ketika ujung tombak itu berputar mendatar menyambar ke arah perutnya, Paksi menangkisnya dengan tongkatnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar