Jejak Dibalik Kabut Jilid 05

Demikianlah, maka Paksi mulai menjalani puncak lakunya. Bersama Ki Marta Brewok ia berada di dalam goa yang gelap pekat. Namun Paksi sama sekali tidak merasa terganggu pernafasannya. Ia yakin bahwa ada lubang-lubang udara yang membuat ruangan-ruangan di dalam goa itu tetap mendapat udara yang segar meskipun ruangan itu tetap saja terasa pengap.

Ternyata laku yang dijalani Paksi memang berat. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus dan bahkan kemudian pemusatan nalar budi yang harus dilatihnya tataran demi tataran.

Dengan tekun dan bersungguh-sungguh pula orang yang menyebut dirinya Ki Marta Brewok itu memberikan tuntunan setapak demi setapak. Sekali-sekali ia bersikap lembut seperti kepada kanak-kanak yang baru belajar berjalan, namun kadang-kadang ia bersikap keras. Bentakan-bentakan kasar telah menyengat telinga Paksi yang sedang memusatkan nalar dan budinya itu.

Namun dengan dengan perlahan-lahan Paksi telah memasuki sikap samadi. Laku yang dijalani tidak lagi bersifat semata-mata wadag. Paksi yang duduk di atas batu karang di hadapan Ki Marta Brewok itu mulai membayangkan gerakan-gerakan perlahan-lahan sebagaimana diungkapkan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali, namun kemudian Paksi harus dapat menuntun penglihatan batinnya sendiri. Diucapkannya apa yang telah diucapkan oleh Ki Marta Brewok tentang makna dari unsur-unsur gerak itu serta watak dan sifat-sifatnya. Kekuatan dan kelemahannya serta beberapa perbandingan unsur-unsur gerak yang sejajar.

Dengan demikian, maka beberapa unsur gerak yang paling rumit telah dilakukan tanpa kesertaan wadagnya. Namun unsur-unsur itu bagaikan telah terpahat di dinding jantungnya, sehingga tidak akan pernah dilupakannya.

Demikianlah terjadi untuk waktu yang terasa panjang. Panjang sekali. Begitu banyak unsur-unsur yang harus dikuasainya. Bukan sekedar kemampuan untuk melakukannya, tetapi juga penguasaan sampai ke kedalamannya.

Waktu yang tiga hari tiga malam itu terasa betapa panjang. Tetapi yang panjang itu rasa-rasanya masih belum cukup untuk menampung segala-galanya.

Di hari pertama dan kedua, Paksi masih mendapat kesempatan untuk beristirahat di tengah malam untuk makan sebuah pisang dan minum beberapa teguk air yang menetes dari ujung-ujung batu karang yang mencuat. Namun kemudian pada hari yang ketiga, Paksi harus memasuki puncak dari segala laku yang telah dijalaninya.

Demikian ia duduk di tempatnya, maka Ki Marta Brewok telah menuntunnya untuk memasuki alam halusnya.

Paksi yang duduk di atas sebongkah batu padas dengan mata terpejam itu seakan-akan telah melihat dirinya sendiri bangkit berdiri. Kemudian dengan mendengarkan perintah-perintah Ki Marta Brewok, Paksi Pamekas melihat dirinya sendiri menjalani sikap dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali dan satu unsur gerak ke unsur gerak yang lain. Sekali dua kali ia melihat dirinya sendiri mengulangi dan mengulangi. Kemudian melakukan tingkat selanjutnya dan selanjutnya.

Tingkat demi tingkat pun telah dijalani. Menurut penglihatan batin Paksi yang wadagnya masih tetap duduk di atas batu karang itu, ia melihat dirinya melakukan latihan yang semakin berat. Setiap gerak mengandung tenaga yang semakin lama menjadi semakin besar dan semakin kuat, sehingga di ujung dari puncak laku yang dijalaninya itu, Paksi melihat dirinya sendiri mampu mengungkapkan inti kekuatan yang terangkum di dalam diri dan kemudian mengangkat ke permukaan.

Demikian puncak laku itu dijalani, maka terasa betapa seluruh tubuh Paksi itu bergetar. Ia melihat dirinya sendiri bergetar, namun ia mulai merasakan wadagnya pun bergetar.

Perlahan-lahan mata batin Paksi melihat dirinya sendiri itu bergerak perlahan-lahan seakan-akan melayang tanpa batasan bobot dan ruang. Batu-batu yang tajam bergayutan serta yang mencuat dari permukaan, sama sekali tidak menyentuhnya.

Perlahan-lahan ia masih sempat melihat dirinya itu semakin dekat pada wadagnya yang semula bagaikan terlupakan adanya. Namun tiba-tiba terjadi benturan yang sangat dahsyat. Dirinya sendiri yang nampak di mata hatinya itu seakan-akan lebur dan luluh di dalam ujud kewadagannya.

Tubuh Paksi benar-benar telah bergetar. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi ujud wadagnya. Namun terasa betapa kesadaran dirinya menjadi baur.

Paksi masih mendengar suara Ki Marta Brewok, “Paksi, jangan tenggelam ke dalam kesamaran dirimu. Kau harus segera bangun dari samadimu. Kau harus segera kembali kepada kesadaran unsur wadagmu sebelum wadagmu kehilangan arti sama sekali dan tenggelam ke dalam kebekuan.”

Paksi merasakan goncangan yang keras pada wadagnya, sehingga dengan serta-merta Paksi pun telah terbangun dan serasa telah terhempas kembali dari dunia pemusatan nalar budinya yang terdalam.

Tiba-tiba saja Paksi akan bangkit berdiri. Tetapi Ki Marta Brewok dengan cepat menahannya sambil berdesis, “Duduklah.”

Paksi merasakan tubuhnya yang gemetar. Paksi merasakan tubuhnya menjadi sangat lemah. Seandainya Ki Marta Brewok tidak mencegahnya, maka demikian ia berdiri, maka ia akan terjatuh terhempas pada batu-batu padas yang tajam di bawah kakinya.

Kepala Paksi terasa pening.

“Kau masih mempunyai sebuah pisang Paksi,” berkata Ki Marta Brewok.

Setelah minum beberapa teguk, maka Paksi pun makan sisa pisang yang dibawanya. Tetapi pisang itu tidak cukup untuk membuat tubuhnya yang lemah itu pulih kembali.

Namun Ki Marta Brewok kemudian berkata, “Kau telah berhasil mengatasi semua hambatan di dalam dirimu. Laku yang kau jalani sudah selesai. Kau sudah memiliki ilmu yang pada dasarnya sudah sampai ke puncak. Tetapi belum berarti bahwa dengan ilmumu ini kau adalah orang yang tidak terkalahkan. Banyak orang yang mampu mencapai puncak kemampuan sebagaimana kau capai sekarang. Tetapi sedikit orang yang mampu mengembangkannya dengan baik, sehingga kemampuan itu kemudian benar-benar mencapai tataran yang sulit dijangkau oleh orang lain. Dengan kata lain, orang itu akan memiliki kelebihan. Dengan demikian, maka untuk selanjutnya terserah kepadamu. Kau sudah mempunyai landasan dan bahan yang cukup. Namun pengalaman yang akan mematangkan ilmumu itu.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Tubuhnya masih lemah.


Terasa urat-uratnya masih tegang. Namun terasa inderanya menjadi semakin jernih. Penglihatannya, pendengarannya, peraba dan panggraitanya serta penciumannya.

“Nah, Paksi. Kau dapat beristirahat sampai esok pagi. Kau dapat melihat ruang yang luas di sebelah. Besok, jika langit jernih dan matahari bersinar, kau akan dapat melihat ruangan yang cukup luas itu. Ada lubang di atasnya, sehingga serba sedikit cahaya dapat masuk ke dalam ruang itu.”

Dalam pada itu, Paksi yang telah minum beberapa teguk air dan makan sebuah pisang, berusaha untuk bangkit. Ki Marta Brewok melangkah mendekat dan mengamatinya.

Namun Paksi Pamekas itu pun berjalan sendiri sambil berpegangan pada batu-batu karang yang mencuat.

Di sebelahnya memang terdapat sebuah ruang. Beberapa saat Paksi sempat mengamati ruang itu. Namun karena malam masih kelam, maka tidak ada cahaya seleret pun yang masuk dan menerangi ruang itu. Namun menurut Ki Marta Brewok, di siang hari, ada sinar matahari yang sempat menyusup dari celah-celah batu padas di atasnya.

Beberapa saat Paksi berdiri termangu-mangu. Namun kemudian terdengar Ki Marta Brewok berkata, “Marilah, kita keluar dari tempat ini. Besok kau dapat datang kemari lagi.”

Paksi tidak menjawab. Dengan tubuh yang lemah, maka ia pun melangkah di atas batu-batu padas perlahan-lahan menuju ke pintu goa di bawah sebuah air terjun.

Ki Marta Brewok masih harus membimbing Paksi yang lemah itu. Apalagi ketika kemudian mereka keluar dari mulut goa dan menyusup di bawah air terjun itu.

Meskipun dengan agak sulit, namun akhirnya Paksi sampai di rumahnya. Demikian ia melangkah masuk, maka ia pun segera menjatuhkan dirinya duduk di atas ketepe belarak yang dipakainya alas tidur.

“Nah, sekarang tolong dirimu sendiri. Kau dapat berbuat sesuatu agar kau tidak menjadi kelaparan, bahkan aku sudah membayangkan untuk ikut makan bersamamu. Sebenarnyalah aku juga lapar. Meskipun aku tidak harus memeras tenaga, nalar, dan budi sebagaimana kau lakukan, tetapi aku ikut serta pati-geni bersamamu meskipun sebenarnya itu tidak harus aku akukan. Tetapi karena aku tidak memerlukan tenaga sebagaimana kau perlukan, maka aku tidak mengalami keletihan sebagaimana kau. Aku pun dapat minum sebanyak aku inginkan selama berada di dalam goa itu. Apalagi sebelumnya aku memang menyembunyikan beberapa potong gula kelapa di dalam kantong bajuku.”

Paksi mengerutkan keningnya sambil memandangi Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Kau tidak boleh iri. Kau sedang menjalani laku. Sedang aku tidak.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

“Nah,” berkata Marta Brewok kemudian, “sekarang kau harus berganti pakaian, kemudian membuat perapian. Bukankah kau masih mempunyai persediaan beras?”

Paksi mengangguk-angguk. Pakaiannya memang basah kuyup ketika ia menyusup di bawah air terjun. Namun ia pun juga bertanya, “Bagaimana dengan Ki Marta? Bukankah pakaian Ki Marta juga basah?”

“Nanti aku juga akan mengambil ganti pakaian. Sekarang, buat saja api. Aku akan beristirahat di luar.”

Paksi mengangguk-angguk.

Ketika Ki Marta Brewok sudah berada di luar gubuknya, maka Paksi pun segera berganti pakaian. Tubuhnya masih terasa sangat lemah, sehingga rasa-rasanya ia ingin segera membaringkan dirinya. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia memang merasa lapar.

Dalam kegelapan Paksi mencari batu titikan dan emput gelugut aren. Untunglah bahwa batu titikan dan emput gelugut aren itu tidak dibawanya ke dalam goa sehingga tidak ikut menjadi basah.

Beberapa saat kemudian, Paksi sudah membuat perapian. Ki Marta Brewok yang beristirahat di luar membiarkannya bekerja sendiri dalam keadaan letih.

Ketika api sudah menyala, maka Paksi masih harus mencuci berasnya. Tertatih-tatih ia pergi ke sebuah belik kecil tempat ia terbiasa mengambil air.

Malam itu Paksi tidak menanak nasi seperti biasanya. Ia tahu bahwa perutnya sudah cukup lama kosong, sehingga ia harus mulai mengisinya dengan makanan yang lunak. Karena itu, maka Paksi telah membuat bubur beras yang agak cair. Ki Marta tentu juga lebih baik makan makanan yang lunak seperti dirinya.

Ketika Paksi kembali dari belik kecil, maka dilihatnya Ki Marta Brewok sudah duduk di depan api untuk memanaskan tubuh dan pakaiannya yang basah.

Sambil menunggu bubur berasnya masak, Ki Marta Brewok sempat memberikan beberapa pesan kepada Paksi. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Paksi justru bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Sumbernya.

“Paksi, arti dari ilmu yang kau kuasai kemudian tergantung kepadamu. Apakah ilmumu itu akan berarti bagi sesama atau justru menjadi racun, itu tergantung kepadamu. Jika kau selalu menyadari, bahwa kau terhitung satu di antara mereka yang mendapat kurnia kelebihan dari orang kebanyakan, maka sebagai ungkapan terima kasihmu, maka kau harus mempergunakan ilmu itu di jalan-Nya.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya pesan Ki Marta Brewok yang bukan untuk pertama kalinya dikatakannya. Tetapi seperti Ki Marta Brewok yang tidak jemu-jemunya menyampaikan pesan itu, maka Paksi pun tidak jemu-jemunya pula mendengarkannya dan menekankan ke dalam jantungnya.

Ketika kemudian bubur beras itu masak, maka keduanya pun telah makan bersama-sama. Meskipun mereka hanya makan bubur hangat yang diberi sedikit garam, namun mereka merasa betapa nikmatnya.

Paksi dan Ki Marta Brewok tidak makan terlalu banyak. Tetapi yang sedikit itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar.

“Beristirahatlah,” berkata Ki Marta Brewok.”Kau tentu letih sekali lahir dan batinmu.”

Paksi mengangguk. Namun ia masih bertanya, “Bagaimana dengan Ki Marta?”

“Aku akan beristirahat di luar gubukmu.”

Paksi tidak menjawab. Setelah memadamkan api, maka Paksi memang berbaring di dalam gubuknya.

Tetapi karena anak muda itu merasa sangat letih, di luar sadarnya, Paksi telah tertidur di ujung malam itu.

Ternyata Paksi terlambat bangun. Tidak biasanya ia bangun setelah cahaya matahari nampak merah di langit. Tetapi saat itu Paksi yang merasa sangat letih itu ternyata terlambat bangun.

Ketika ia keluar dari gubuknya, maka dilihatnya cahaya matahari telah menebar di langit meskipun mataharinya masih berada di balik bukit. Angin pagi telah mulai mengalir menyentuh dedaunan yang basah oleh embun. Suara burung-burung liar di hutan lereng gunung terdengar bersahutan menyanyikan kidung pagi menyambut matahari yang mulai memanjat naik.

Di ujung rerumputan, embun yang menggantung seperti butir-butir mutiara yang berkilau memantulkan cahaya matahari pagi.

Namun Paksi sudah tidak melihat Ki Marta Brewok lagi. Seperti biasanya, Ki Marta Brewok telah hilang bersamaan dengan datangnya dini hari.

Paksi yang sudah merasa terlambat bangun itu duduk di atas sebuah batu di sebelah gubuknya. Sejenak ia sempat mengingat, apa yang telah dilakukannya selama ampat puluh hari ampat puluh malam dan kemudian tiga hari tiga malam menjalani puncak laku di dalam goa di balik air terjun itu.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun di dalam hatinya ia mengucap sukur, bahwa ia termasuk salah satu di antara mereka yang mendapatkan kurnia kelebihan dari yang Maha Agung sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok.

Baru beberapa saat kemudian, Paksi bangkit dan melangkah pergi ke sungai setelah menutup pintu gubuknya.

Demikian Paksi selesai mandi dan mencuci pakaiannya yang semalam basah kuyup, terasa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi ketika kemudian sesudah ia makan bubur berasnya yang masih tersisa, terasa tenaganya perlahan-lahan telah tumbuh kembali.

Hari ini Paksi sengaja tidak melakukan latihan apa pun. Ia benar-benar beristirahat.

Meskipun demikian, jika Paksi duduk termenung, maka bayangan-bayangan yang lewat di dalam benaknya adalah bayangan-bayangan laku yang ditempuhnya di dalam goa. Setiap kali serasa ia masih saja melihat dirinya sendiri bergerak dengan cepat, memeragakan unsur-unsur yang rumit.


Meskipun kemudian geraknya menjadi semakin lama semakin lamban, namun terasa pada setiap geraknya, memancar tenaga yang semakin besar, sehingga akhirnya Paksi itu mampu mengungkapkan inti kekuatan yang sebelumnya seakan-akan tersembunyi di dalam dirinya.

Satu kurnia yang sangat besar baginya.

Paksi Pamekas itu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah turun ke jalan sempit yang jarang sekali dilalui orang. Bahkan orang mencari kayu sekali pun.

Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menuruni kaki gunung itu.

Sambil berjalan, Paksi membenahi pakaiannya. Kemudian melihat apakah ia sudah membawa uang beberapa keping. Ternyata Paksi kemudian hampir di luar sadarnya telah turun sampai ke pasar. Karena matahari sudah menjadi semakin tinggi, maka keramaian pasar itu mulai menyusut. Meskipun demikian, penjual dawet di dekat pintu gerbang pasar itu masih duduk di belakang dagangannya.

Penjual dawet itu tersenyum melihat Paksi yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Dengan ramah ia bertanya, “He, sudah beberapa hari kau tidak nampak, anak muda?”

“Aku sedang sibuk, Paman,” jawab Paksi sambil duduk di sebelahnya.

“Sibuk apa? Bukankah sekarang tidak sedang musim tanam?” bertanya penjual dawet itu.

“Aku sedang sibuk memagari pategalan pamanku yang sudah rusak sekaligus membuat lanjaran kacang panjang,” jawab Paksi.

“Dan karena itu, kau tidak membeli cendol dawetku?”

“Aku sekarang akan membeli dawet saja, Paman. Bukan hanya cendolnya.”

“Nampaknya kau sudah jemu meramu dawet sendiri.”

Paksi tertawa pula. Sementara penjual dawet itu menuang santan ke dalam mangkuk. Kemudian cendol dan legen kelapa. Ketika Paksi meneguk dawet itu, terasa alangkah segarnya setelah beberapa hari ia menempa dirinya dengan mengekang jenis bahan makan yang masuk ke dalam mulutnya dan yang pada ujungnya, Paksi harus menjalani pati-geni.

Sementara Paksi minum dawet, ia melihat Kinong lewat sambil menjinjing keranjangnya. Maka dipanggilnya anak itu dan ditawarinya untuk minum dawet pula.

“Terima kasih, Kang,” jawab Kinong sambil duduk di sebelah Paksi.”Kalau dua hari yang lalu Kakang datang ke pasar ini, maka Kakang akan melihat keributan lagi.”

“Keributan apa lagi?” bertanya Paksi.”Orang-orang yang itu juga?”

“Bukan hanya orang-orang itu. Tetapi ada yang lain,” penjual dawet itulah yang menjawab.

“Apalagi yang mereka ributkan?” bertanya Paksi pula.

“Aku tidak tahu. Tetapi mereka nampaknya sedang mencari sesuatu.”

“Mencari apa?” desak Paksi.

“Mereka mengatakan bahwa semalam sebelumnya mereka telah melihat ndaru meluncur dari langit dan jatuh di sekitar tempat ini.”

“Tetapi kenapa mereka jadi bertengkar?”

“Itulah yang terjadi. Perempuan aneh itu datang lagi. Kemudian datang pula dua orang yang garang. Tidak seorang pun yang tahu apa sebabnya mereka telah berselisih. Tetapi seorang perempuan yang dahulu berpakaian lurik coklat itu datang lagi dan membawa perempuan yang berpakaian asing itu pergi sebelum terjadi perselisihan yang semakin memburuk.”

“Mereka bertengkar memperebutkan ndaru itu,” berkata Kinong.

Paksi tertawa. Katanya, “Siapa yang dapat memperebutkan ndaru? Kenapa mereka tidak berebut dahulu menemukannya, seandainya ndaru itu berujud. Katakanlah sebuah bintang yang meluncur dan jatuh di bumi.”

Kinong menggeleng. Katanya, “Entahlah.”

Sementara penjual dawet itu berkata, “Kami orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini, tidak ada yang melihat sesuatu jatuh dari langit. Malam itu aku juga berada di sawah menunggui air yang mengalir ke kotak sawahku. Tetapi aku tidak melihat apa-apa. Sementara orang-orang asing itu ribut mempersoalkannya.”

Paksi mengangguk-angguk. Ia juga pernah melihat ndaru yang meluncur dan seakan-akan jatuh di sekitar tempat ini. Tetapi menurut Ki Marta Brewok ndaru itu bukan benda mawujud. Berbeda dengan gumpalan bintang yang meluncur jatuh dari langit yang memang pernah terjadi.

Tetapi Paksi tidak mengatakan apa-apa.

Namun yang kemudian diingat oleh Paksi bahwa dua hari yang lalu, ia sedang berada di dalam goa di belakang air terjun itu.

Namun dalam pada itu, Kinong pun berkata, “Aku mendengar setelah perempuan asing itu pergi, orang-orang yang nampak garang seperti ayah itu menyebut-nyebut cincin bermata tiga butir batu akik.”

“O,” Paksi menjadi tertarik mendengar ceritera Kinong. Tetapi ia menahan diri agar Kinong tidak justru segan untuk melanjutkan ceriteranya.

“Orang-orang itu mengatakan bahwa yang meluncur dan disebut ndaru itu mungkin sebuah cincin yang bertuah.”

“Cincin meluncur dari langit?” Paksi tertawa.

Tetapi wajah Kinong menjadi gelap. Katanya, “Aku hanya menirukan orang-orang itu.”

“O, ya,” Paksi mengangguk angguk lagi.

“Sudahlah,” berkata Kinong, “aku akan mencari embokku.”

“Tunggu. Kau belum selesai dengan ceriteramu,” berkata Paksi.”Aku mau membelikan kau dawet lagi.”

“Sudah. Ceriteraku sudah habis.”

Kinong pun segera bangkit dan berlari-lari meninggalkan Paksi. Anak itu melihat ibunya menggendong beban yang cukup berat dari seseorang yang sudah terbiasa mengupahnya.

“Aku bantu, Mbok,” berkata Kinong.

Ibunya berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, “Tidak usah Kinong. Tidak terlalu berat.”

Tetapi orang yang mengupahnya itu tersenyum pula kepada anak itu sambil berkata, “Nah, kau bawa saja kreneng ini.”

Kinong mengangguk. Dimasukkannya kreneng itu di dalam keranjangnya dan kemudian diusungnya di atas kepalanya.

Paksi memandanginya dari kejauhan. Namun mereka pun kemudian hilang di antara banyak orang.

Penjual dawet itulah yang kemudian masih berceritera serba sedikit tentang orang-orang yang berselisih dan bahkan hampir saja terjadi perkelahian lagi.

“Laki-laki itu memang berwajah garang,” berkata penjual dawet itu.”Tetapi perempuan-perempuan yang wajahnya nampak cantik dan mengenakan pakaian yang asing itu ternyata tidak kalah garangnya.”

“Menurut pendengaranku waktu itu, mereka datang dari sebuah perguruan yang disebut Perguruan Goa Lampin. Sedangkan laki-laki itu datang dari Perguruan Sad.”

“Ya. Perempuan asing itu memang datang dari Goa Lampin. Tetapi laki-laki yang berwajah garang itu bukan orang-orang dari Perguruan Sad sebagaimana yang terdahulu.”

“Mereka datang dari mana?” bertanya Paksi.


Penjual dawet itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak mendengar dengan jelas. Tetapi mereka memang menyebut sebuah perguruan.”

Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mendesak lagi. Jika ia tidak dapat mengekang diri maka penjual dawet itu dapat mencurigainya. Karena itu, maka Paksi pun tidak bertanya lagi.

Ketika hari menjadi semakin siang, maka Paksi pun meninggalkan pasar itu setelah ia membeli beberapa beruk beras dan kebutuhan-kebutuhannya yang lain.

Di rumah kecilnya, Paksi mulai melihat-lihat tanah yang terbentang di sekitarnya yang sudah digarapnya menjadi kebun yang menghasilkan jagung dan bahkan padi gaga. Pada pagar yang mengelilingi kebunnya, Paksi menanam kacang panjang yang batangnya merambat.

Namun Paksi mulai menjadi khawatir, bahwa orang-orang yang berkeliaran di lingkungan itu untuk mencari ndaru, akan sampai ke rumah kecilnya.

Tetapi Paksi pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Biar saja mereka datang. Justru akulah yang akan pergi. Aku tidak akan dapat tinggal di sini untuk seterusnya.”

Meskipun demikian, Paksi pun kemudian menyadari ketergantungannya kepada Ki Marta Brewok.

Tetapi Paksi tidak menyesal. Ki Marta Brewok telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya dan bagi masa depannya.

Hari itu Paksi mulai lagi memanjat pohon-pohon kelapanya untuk mengambil legennya. Sudah beberapa hari ia tidak melakukannya, sehingga seakan-akan ia harus memulainya lagi.

Di hari berikutnya Paksi sudah mulai dengan kehidupannya sehari-hari sebagaimana sebelum ia menjalani laku. Tetapi masih ada satu lagi kegiatan yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, bahwa di dalam goa di belakang air terjun itu terdapat sebuah ruangan yang agak luas, yang mendapat sinar dari lubang-lubang batu padas di atasnya.

Ketika Ki Marta Brewok datang ke gubuknya di malam hari, maka Paksi pun menyatakan keinginannya, bahwa esok ia akan memasuki goa itu lagi.

“Lakukanlah,” jawab Ki Marta Brewok.”Mungkin ada manfaatnya bagimu. Tetapi ingat, jangan ada orang lain yang sempat melihat kau memasuki goa itu.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah tempat ini jarang sekali atau bahkan tidak pernah dikunjungi orang?”

“Tetapi akhir-akhir ini ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar tempat ini,” berkata Ki Marta Brewok.”Mereka menyangka bahwa di daerah ini telah jatuh dari langit ujud yang mereka kenal dengan ndaru sebagaimana pernah kau lihat sebelumnya. Mereka menganggap bahwa ada hubungan antara ndaru itu dengan sebuah cincin bermata tiga butir batu akik sebagaimana pernah aku katakan kepadamu.”

“Apakah itu benar, Ki Marta Brewok?”

Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Cincin itu sebuah benda yang kecil. Sementara itu yang mereka lihat adalah benda langit yang meluncur.”

“Tetapi apakah ndaru itu termasuk benda langit yang jatuh? Bukankah Ki Marta juga membedakan antara benda langit yang jatuh dan sebuah ndaru yang bersinar kehijau-hijauan atau kebiru-biruan?”

Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, “Sudahlah. Yang penting berhati-hatilah. Aku kira kau juga tidak pernah menemukan cincin di sini. Padahal sebelum mereka datang, kau sudah ada di sini. Bahkan kau pernah melihat setahun yang lalu, ndaru yang meluncur dari langit dengan sinarnya yang menyilaukan itu, seakan-akan juga jatuh di sini.”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Marta Brewok itu berkata, “Meskipun demikian, apakah kau merasa menemukan sesuatu yang lain kecuali sebuah cincin atau tidak?”

Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Ki Marta Brewok itu berkata, “Kau tidak usah sibuk memikirkannya sekarang. Yang penting, apakah nasimu sudah masak?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun telah bangkit dan melihat periuk yang masih berada di atas api yang sudah dikecilkannya.

Malam itu, Ki Marta Brewok tidak membawa Paksi untuk melakukan latihan. Tetapi ia lebih banyak berceritera tentang sebuah perjalanan yang pernah ditempuhnya. Ki Marta Brewok menyebut beberapa tempat yang pernah dikunjungi. Ia berceritera tentang arah dan jalan yang dilaluinya serta kebiasaan serta adat orang-orang yang tinggal di daerah yang pernah dilewatinya itu.

Paksi mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia sadar, bahwa Ki Marta Brewok sedang memberikan beberapa petunjuk kepadanya tentang sebuah pengembaraan. Karena itu, maka Paksi berusaha untuk mengingat-ingat semuanya itu dengan baik. Paksi memang memerlukan bekal bagi satu pengembaraan.

Ketika ia meninggalkan rumahnya, sama sekali tidak terbayang apa yang harus dilakukannya dan apa yang bakal terjadi pada sebuah pengembaraan yang panjang dan bahkan seakan-akan tidak diketahui batas akhirnya.

Namun tiba-tiba Ki Marta Brewok itu berkata, “Sudahlah. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang memerlukan kehadiranku.”

Sebelum Paksi menjawab, Ki Marta Brewok itu sudah bangkit dan melangkah meninggalkan Paksi memasuki kegelapan.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian telah berbaring pula di dalam gubuk kecilnya di atas selembar ketepe yang dianyamnya dari lembaran-lembaran belarak kelapa.

Di hari berikutnya, maka seperti yang sudah dikatakan kepada Ki Marta Brewok, Paksi pun telah pergi ke goa di belakang air terjun itu. Mengingat pesan Ki Marta Brewok, maka Paksi memasuki goa itu sebelum matahari terbit, sehingga ia yakin, bahwa tidak seorang pun yang melihatnya.

Tetapi Paksi harus menunggu sampai matahari memanjat tinggi di langit. Baru kemudian ia benar-benar melihat berkas-berkas cahaya matahari yang menyusup masuk ke dalam ruangan yang memang agak luas itu.

Dengan demikian, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Sehingga dengan demikian, maka Paksi pun dapat melihat lekuk-lekuk dinding ruangan yang luas itu.

Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bagian dinding goa yang datar Paksi tidak mengerti, apakah dinding itu memang datar secara alami, atau dibuat oleh tangan seseorang. Tetapi pada dinding yang datar itu Paksi melihat lekuk-lekuk yang sangat menarik perhatiannya.

Hampir di luar sadarnya Paksi menyentuh dinding itu. Namun debu yang tebal pun telah runtuh.

Yang sangat menarik bagi Paksi kemudian bukannya debu yang runtuh itu. Tetapi di balik debu itu ia melihat goresan-goresan yang cukup dalam. Goresan-goresan yang nampaknya bukannya tanpa arti.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah mencoba menghapus debu yang melekat pada dinding itu pada permukaan yang agak luas.

Yang nampak kemudian ternyata sangat mengejutkannya. Ia melihat beberapa lukisan pada dinding goa itu. Lukisan yang menggambarkan sekelompok orang yang sedang berburu lembu liar. Namun ketika Paksi membersihkan permukaan yang lebih luas lagi, maka ia melihat lukisan beberapa orang yang sedang berkelahi.

Paksi menjadi semakin berdebar-debar ketika kemudian ia melihat lukisan itu. Ia melihat unsur-unsur gerak yang dikenalnya. Lukisan orang yang berkelahi itu meskipun nampaknya sekedar coretan-coretan, namun jelas bagi Paksi. Ia melihat bagaimana unsur-unsur gerak itu ditrapkan dalam benturan ilmu.

Paksi menjadi semakin sibuk membersihkan debu itu. Bahkan kemudian ia telah melepas bajunya yang basah. Dengan bajunya itu Paksi membersihkan permukaan dinding itu semakin luas. Bahkan kemudian seluruh wajah dinding yang datar itu telah dibersihkannya, sehingga ia dapat melihat lukisan-lukisan yang terpahat di dinding itu semakin jelas.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan melihat dan mengamati dengan sungguh-sungguh lukisan itu, maka seakan-akan Paksi melihat bagaimana unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya itu ditrapkan dalam benturan ilmu yang sebenarnya.

Sementara itu, matahari yang bergerak perlahan di langit telah mencapai puncaknya. Cahaya yang tegak meluncur langsung menggapai lantai ruangan yang agak luas itu.

Untuk beberapa saat lamanya Paksi masih dapat melihat lukisan-lukisan di dinding itu dengan jelas. Dengan daya angannya yang sangat kuat, Paksi yang memperhatikan lukisan di dinding itu dengan seksama, seakan-akan telah melihat pertempuran yang sebenarnya terjadi. Seorang yang memiliki ilmu sebagaimana telah dikuasainya, bertempur melawan seorang yang juga berilmu tinggi. Paksi kemudian tidak lagi melihat lukisan yang patah-patah dari satu adegan ke adegan yang lain. Tetapi Paksi serasa melihat lukisan-lukisan itu menjadi hidup dan bergerak sebagaimana dirinya sendiri.

Paksi pun kemudian tenggelam ke dalam ketajaman daya angannya. Yang dilihatnya itu seakan-akan telah terjadi pada dirinya.

Paksi tidak tahu sudah berapa lama ia berada di ruang itu. Namun kemudian ia menyadari keadaannya ketika sinar matahari perlahan-lahan menjadi pudar.

Namun Paksi memang sudah menjadi letih. Meskipun ia tidak bergerak dengan wadagnya, tetapi yang dilakukan oleh daya angannya itulah yang membuatnya letih.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah menghentikan pengamatannya atas lukisan-lukisan itu. Namun ia sudah mendapat bekal yang akan dapat dipergunakan untuk melengkapi latihan-latihannya malam nanti.

“Aku harus membicarakannya dengan Ki Marta Brewok,” berkata Paksi kepada diri sendiri.

Beberapa saat kemudian, maka Paksi pun telah meninggalkan ruang yang sudah menjadi suram itu. Tetapi ketika ia berada di belakang air terjun, ia menjadi ragu.

“Apakah tidak ada orang yang berada di sekitar tempat ini?” bertanya Paksi kepada diri sendiri.

Namun Paksi memang yakin, bahwa ia tidak pernah melihat seseorang berada di sekitar tempat itu.

Sebenarnyalah, ketika kemudian Paksi menembus air terjun itu, maka ia memang tidak melihat seorang pun berada di sekitar tempat itu. Juga panggraitanya tidak menyentuh getar seseorang.

Di malam hari, ketika Ki Marta Brewok itu datang kepadanya, maka Paksi pun segera menceriterakan apa yang dilihatnya di dalam goa itu.

“Inilah salah satu ujud keberuntunganmu setelah kau melihat ndaru itu,” berkata Ki Marta Brewok sambil tertawa.

Paksi mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apakah Ki Marta Brewok itu bersungguh-sungguh atau sekedar bergurau. Tetapi Paksi sendiri merasa bahwa ia memang menemukan keberuntungan di tempat itu. Justru karena ia bertemu dengan Ki Marta Brewok.

Namun Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan berlatih malam ini. Mudah-mudahan kau dapat mencerna apa yang telah kau saksikan di dalam goa itu.”

Ketika kemudian Paksi melakukan latihan bersama Ki Marta Brewok, maka Paksi merasakan perkembangan dari ilmu yang telah dipelajarinya. Tenaga yang dapat diungkapkannya pun menjadi jauh lebih besar. Sementara ketahanan tubuhnya pun rasa-rasanya menjadi berlipat.


Ketika keduanya kemudian selesai berlatih, maka Ki Marta Brewok pun berkata, “Aku bangga dengan kemajuan yang sudah kau capai, Paksi. Tetapi aku masih berharap kau berada di goa itu untuk beberapa hari lagi.”

“Baik, Ki Marta,” jawab Paksi.

“Bagus. Nah, sekarang, mana nasimu?”

Demikianlah, maka hari-hari berikutnya Paksi selalu berada di dalam goa itu. Dengan demikian, maka untuk beberapa hari ia tidak turun ke padukuhan dan tidak pula pergi ke pasar. Namun kerjanya sehari-hari tidak dilewatkannya. Setiap pagi dan sore ia masih saja memanjat pohon kelapanya untuk mengambil legen, meskipun kadang-kadang ia hanya sempat melakukannya sekali dalam sehari. Namun jika Paksi tidak mengambil legennya dengan teratur pagi dan sore, maka hasilnya akan menyusut.

Dari hari ke hari, penguasaan Paksi atas ilmunya benar-benar menjadi semakin matang. Di siang hari ia memperhatikan lukisan-lukisan yang ada di dinding, sementara di malam hari ia melakukan latihan yang lebih berat dengan Ki Marta Brewok.

Di dalam goa Paksi melihat lukisan seorang yang harus bertempur melawan dua atau tiga orang. Bahkan lebih banyak lagi. Sedangkan di bagian lain, Paksi melihat lukisan dari orang-orang yang sedang berburu yang kadang-kadang ada yang terpaksa berkelahi melawan binatang-binatang buas buruannya.

Namun semuanya itu ternyata mampu memperluas wawasan Paksi tentang olah kanuragan, khususnya tentang ilmu yang disadapnya.

Ketika Paksi merasa bahwa ia sudah melihat dan mempelajari lukisan-lukisan yang ada di dinding goa itu seluruhnya, maka hal itu telah disampaikannya pula kepada Ki Marta Brewok.

“Bagus, Paksi. Waktunya memang hampir tiba. Kau dapat melanjutkan usahamu untuk menemukan cincin itu. Tetapi sebaiknya kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini.

Justru orang lain berdatangan kemari.”

Paksi mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah, Ki Marta. Aku akan menunggu perkembangan keadaan di sini sebelum aku meninggalkan tempat ini.”

“Bagus,” berkata Ki Marta Brewok. Namun katanya kemudian, “Tetapi selanjutnya aku tidak merasa perlu untuk datang setiap malam. Mungkin dua malam atau tiga malam sekali, jika aku ingin makan nasimu atau ketela pohonmu yang kau rebus dengan legen.”

Paksi mengangguk-angguk pula meskipun ia menjawab, “Tetapi bukankah Ki Marta Brewok tidak akan meninggalkan aku begitu saja?”

Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Kita masih terikat oleh sebuah perjanjian. Kau harus menemukan cincin itu dan kelak menyerahkan kepadaku di alun-alun Pajang. Bukankah dengan demikian aku tidak akan meninggalkanmu sebelum hutangmu itu lunas? Selama ini aku sudah memberimu bekal. Karena itu, kau tidak dapat begitu saja pergi tanpa imbalan apa pun.”

Paksi tersenyum. Tetapi ia mengangguk sambil menjawab, “Baiklah, Ki Marta.”

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, maka sejak malam itu, ia tidak lagi datang setiap malam. Tetapi dua atau tiga malam sekali. Sedangkan Paksi sudah mulai lagi turun ke padukuhan dan ke pasar.

Meskipun demikian, dua hari atau tiga hari sekali, Paksi masih juga masuk ke dalam goa untuk lebih memahami lukisan-lukisan yang terdapat di dalam dinding goa itu, sehingga tidak ada sebuah garis pun yang luput dari pengamatannya.

Dalam pada itu, ternyata sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok, semakin banyak orang asing yang sering nampak berkeliaran di pasar itu. Paksi sendiri yang sudah sering berada di pasar itu, sudah tidak dianggap orang asing lagi. Ia mengenal semakin banyak orang yang terbiasa berada di pasar itu.

Sedangkan Kinong menjadi semakin terbiasa pula berhubungan dengan Paksi. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, Kinong pernah minta Paksi membelikan nasi tumpang, karena Kinong tidak dapat menahan lapar.

“Aku tidak berani mengambil uang di dalam tabunganku,” berkata Kinong.”Aku takut ayah melihatnya dan merampasnya, sehingga aku tidak akan dapat menyisakan sama sekali. Uang Embok benar-benar sudah habis.”

“Bagaimana dengan kakak perempuanmu?” bertanya Paksi.

“Embok masih menyisakan sebuah ketela pohon yang akan dapat direbusnya setelah ayah pergi.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Makanlah. Bagaimana dengan embokmu?”

“Embok sedang mengikat dan membawa barang-barang belanjaan. Mudah-mudahan embok mendapat uang yang dapat dibelikannya nasi atau apa pun bagi embok sendiri.”

Paksi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Paksi mempunyai kepuasan tersendiri melihat Kinong makan, namun Paksi menyadari, bahwa masih banyak anak-anak yang mengalami kesulitan sebagaimana dialami Kinong, meskipun sebabnya tidak selalu sama.

Kinong yang sedang makan nasi tumpang itu terkejut ketika ia mendengar suara ibunya memanggilnya.

“Kau sedang apa, Kinong?”

“Makan nasi tumpang, Mbok. Kakang Paksi membelikan nasi tumpang buatku.”

Ibu Kinong memandang Paksi dengan kerut di dahinya. Namun kemudian ia pun berdesis, “Terima kasih, Ngger.”

“Apakah Bibi tidak makan sama sekali?” Paksi menawarkan.

Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Aku sedang mencari Kinong. Ia belum makan sama sekali sejak kemarin sore. Aku membawa uang jajan buatnya. Tetapi ternyata kau sudah berbaik hati, membelikan nasi buat Kinong.”

“Sudahlah,” berkata Paksi.”Uang itu dapat Bibi belikan apa saja buat Bibi sendiri atau buat kakak perempuan Kinong.”

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tetapi ia tersenyum. Katanya, “Kau baik sekali, Ngger.”

“Ah sudahlah. Lupakan saja, Bibi,” sahut Paksi.

“Tetapi Angger tidak hanya sekali ini membelikan makanan dan jajan bagi Kinong.”

Paksi tersenyum. Katanya, “Kebetulan saja, Bibi.”

Kinong yang telah selesai makan itu pun kemudian membuang pincuk daun kelapanya sambil berkata, “Terima kasih, Kakang. Aku sekarang sudah kenyang. Aku sudah dapat membantu Simbok.”

Paksi mengusap kepala anak itu sambil berdesis, “Bagus. Bantu embokmu.”

Kinong pun kemudian melangkah pergi bersama ibunya setelah berulang kali mengucapkan terima kasih.

Namun di pasar itu, Paksi juga mendengar ceritera tentang orang-orang yang berkeliaran di pasar itu. Orang-orang asing yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Penjual nasi tumpang itu menyatakan kecemasannya, bahwa kehadiran orang-orang itu akan dapat menimbulkan persoalan.

“Mereka meributkan ndaru yang jatuh di sekitar tempat ini,” berkata penjual nasi tumpang itu. Seperti penjual dawet, maka penjual nasi itu pun mengatakan.”Sementara itu, tidak seorang pun di antara kita di sini yang melihat ndaru itu jatuh. Apalagi menemukannya.”

Paksi hanya mengangguk-angguk saja

Sementara itu, selama Paksi duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu, ia sudah melihat dua orang yang memang menarik perhatian lewat. Penjual nasi itu mengamatinya sambil berbisik, “Nah, kau lihat orang itu? Bukankah kita belum pernah melihat sebelumnya?”

Paksi mengangguk-angguk. Kedua orang itu memang nampak garang dengan senjata di lambung.

Namun Paksi pun sempat bertanya, “Kenapa mereka berkeliaran di pasar ini? Apa mereka mengira bahwa ndaru itu jatuh di tengah-tengah pasar ini?”

“Tentu tidak,” jawab penjual nasi tumpang itu.”Tetapi itu pertanda bahwa mereka berkeliaran di sekitar tempat ini. Jika mereka pergi ke pasar itu karena mereka harus membeli makan atau makanan. Tetapi kami menjadi cemas, bahwa mereka akan berbuat sewenang-wenang. Sudah ada di antara mereka yang membayar tidak sewajarnya.”

“Maksudmu?” bertanya Paksi.

“Ada di antara mereka yang hanya membayar separo dari harga yang seharusnya ketika mereka membeli minum dan makan di kedai itu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran orang-orang yang dianggap orang orang asing itu ternyata tidak memberikan penghasilan tambahan bagi orang-orang di sekitar tempat itu, tetapi justru merugikan mereka. Sementara itu mereka tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang dianggap asing, tetapi yang pada umumnya orang-orang garang itu.

Tetapi Paksi masih belum ingin melibatkan diri. Ia masih saja bersikap seperti biasanya.

Meskipun demikian, di gubuk kecilnya Paksi masih saja merenungi orang-orang yang mencari ndaru di sekitar tempat itu. Bahkan mereka menghubungkannya dengan hilangnya cincin dari istana Pajang itu.....

Ketika kemudian malam turun, maka Paksi pun telah membuat perapian seperti biasanya. Ia mulai menjerang air dan menanak nasi. Paksi masih mempunyai pepes ikan bader yang ditangkapnya kemarin di sungai. Nampaknya Paksi baru mujur, karena ia mendapat ikan lebih banyak dari biasanya.

Namun ketika Paksi baru asik menunggui perapiannya, tiba-tiba saja ia terkejut. Telinganya yang tajam, yang sudah diasahnya dengan baik, telah mendengar desir langkah seseorang di belakang dinding gubuknya.

Paksi pun segera menduga bahwa seseorang telah datang mendekati gubuknya itu dan orang itu tentu bukan Ki Marta Brewok, karena Ki Marta Brewok tidak pernah berbuat demikian.

Sebenarnyalah, sekali lagi Paksi terkejut. Tiba-tiba saja pintu rumahnya itu telah terbuka. Seseorang telah menghentakkannya dari luar.

Ketika Paksi kemudian bangkit berdiri, maka dalam kegelapan di luar gubuknya yang tidak dapat digapai oleh sinar dlupaknya, seseorang berdiri bertolak pinggang.

Ketajaman mata Paksi mampu melihat orang itu seutuhnya. Tetapi Paksi tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas.

“Siapa kau?” bertanya Paksi.

Orang yang berdiri di luar pintu itu tertawa, “Jadi ada juga orang yang tinggal di sini. Agaknya bukan baru kemarin kau berada di sini, anak muda. Aku sudah melihat tanaman jagungmu, kacang panjangmu dan ketela pohon yang di pinggir hutan itu.”

“Ya,” jawab Paksi.”Aku memang tinggal disini sejak lama.”

“Bagus. Jika demikian, kau tentu tahu, di mana ndaru itu jatuh.”

“Ndaru apa?” bertanya Paksi.”Aku sama sekali tidak melihat ndaru.”

“Jangan bohong. Ndaru itu meluncur dari langit dan jatuh di sekitar tempat ini.”

Paksi memandang orang itu dengan tajam. Dengan nada berat Paksi berkata, “Aku tidak melihat ndaru itu, Ki Sanak. Aku selalu berada di dalam gubukku ini. Seandainya ada ndaru turun di sekitar tempat ini, maka aku tentu tidak melihatnya.”

“Apakah kau sudah memungut ndaru itu? Aku tahu bahwa yang jatuh sebagai ndaru itu tentu cincin kerajaan yang hilang. Siapa yang memakai cincin itu akan dapat menurunkan seorang yang akan menguasai tanah ini. Apakah ia laki-laki atau perempuan.”

“Aku juga tidak tahu apa-apa tentang cincin kerajaan yang kau katakan itu. Selama aku tinggal di sini, aku hanya bergumul dengan lingkungan kecil ini.”

“Sudahlah. Jangan banyak bicara. Sekarang, serahkan cincin itu kepadaku.”

“Kenapa kau mengigau seperti itu?”

“Ndaru itu adalah wahyu. Karena itu, dengan cara apa pun juga ndaru itu harus aku miliki.”

“Ki Sanak. Aku tidak akan memperebutkan wahyu. Aku tidak percaya bahwa wahyu itu dapat diperebutkan seperti orang memperebutkan benda-benda mawujud.”

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?”

“Wahyu itu berhubungan erat dengan sikap, tingkah laku dan laku yang dijalaninya. Tetapi terakhir, kuasa Yang Maha Agung.”

“Tetapi itu tidak akan dapat datang dengan sendirinya. Seseorang harus berjuang untuk mendapatkannya.”

“Bukan dengan cara yang kau tempuh, Ki Sanak. Seolah-olah dalam sehari kau akan mendapatkannya. Bahkan mungkin merebut dari orang lain. Wahyu akan datang kepadamu bukan berdasarkan kerja sehari apa pun yang kau kerjakan. Tetapi atas penilaian yang panjang dari sikap, tingkah laku dan laku yang dijalaninya.”

“Jadi aku harus bertapa di goa-goa atau bersamadi di lereng gunung seperti yang kau lakukan ini?”


Paksi menggeleng. Katanya, “Tidak, Ki Sanak. Menurut guruku, bukan laku seperti itu. Tetapi laku yang kita jalani akan nampak pada sikap dan tingkah laku. Apa yang kita yakini dan apa yang kita lakukan sesuai dengan hubungan kita dengan Yang Maha Agung bagi sesama.”

“Jadi kenapa kau berada di sini? Kau tentu sedang bertapa pada saat-saat tertentu di goa goa yang ada di sekitar tempat ini. Kau tentu juga menjalani laku, menyiksa diri di sini. Dengan demikian kau mengharap bahwa ndaru itu akan jatuh kepadamu. Cincin itu akan kau ketemukan dan kau pakai sehingga kau akan dapat menurunkan penguasa di atas tanah ini.”

“Jika aku menjalani laku di sini, itu adalah laku yang sangat sempit dibanding dengan lingkup kehidupan. Menurut guruku, apa yang aku dapatkan dengan laku yang aku jalani ini tidak lebih dari sekedar bekal untuk menjalani laku yang lebih luas dalam garangnya arus kehidupan.”

“Jadi kau bermaksud mengatakan bahwa laku yang kau jalani di sini sekedar untuk mendapatkan ilmu yang kemudian harus kau amalkan?”

“Ya,” jawab Paksi.

Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau telah berbicara tentang hal-hal yang tidak kau ketahui sendiri. Sekarang, berikan cincin itu kepadaku. Kau akan selamat.”

“Jangan berpandangan picik tentang wahyu.”

“Tetapi aku tahu pasti apa yang aku lakukan. Sedangkan kau tidak. Apa yang kau katakan itu tidak lebih dari tangkapanmu yang dangkal terhadap ajaran-ajaran orang yang kau sebut gurumu itu. Kau masih harus mendalami maknanya, bukan sekedar permukaannya saja.”

Paksi mengerutkan dahinya. Orang itu tentu orang yang aneh. Jika ia menganggap bahwa tangkapannya atas ajaran gurunya terlalu dangkal, bagaimana mungkin ia sendiri berusaha untuk mencari wahyu dengan caranya. Mencari sebuah cincin yang dipercaya akan memberikan arti yang sangat tinggi kepada pemakainya. Bahkan orang yang memakainya akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini.

“Kenapa kau menjadi bingung?” orang itu tiba-tiba bertanya. ”Sekarang berikan cincin itu. Seandainya cincin itu bukan ujud dari wahyu tertinggi, maka setidak-tidaknya aku akan mendapatkan sesuatu yang berarti bagi hidupku. Pada dasarnya ndaru itu akan memberikan keberuntungan padaku. Itu saja. Karena itu berikan cincin itu.”

“Sudahlah, Ki Sanak,” berkata Paksi yang menjadi curiga terhadap sikap orang itu.”Apa maumu sebenarnya? Aku yakin bahwa kau tidak sedang sekedar mencari ndaru itu.”

“Jadi kau kira aku sedang mencari apa?” bertanya orang itu.

“Justru itulah yang ingin aku tanyakan kepadamu.”

“Jangan banyak bicara lagi. Berikan cincin itu atau aku akan menghancurkan tatanan kehidupanmu di sini dan bahkan jika kau tetap berkeras kepala, aku akan membunuhmu. Nilai cincin itu jauh lebih berharga dari nyawamu.”

“Kau kira aku akan membiarkanmu melakukannya?” bertanya Paksi.

“Setan kau,” geram orang itu.”Jadi kau benar-benar tidak mau memberikannya?”

“Tidak ada yang dapat aku berikan kepadamu.”

Tiba-tiba saja orang itu menggapai sepasang uger-uger pintu gubuk Paksi. Sambil mengguncang gubuk kecil itu ia berkata, “Kau tahu bahwa aku akan dapat merobohkan gubukmu ini dalam sekejap.”

Tetapi Paksi tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia lelah meloncat menyerang orang itu. Ia tidak ingin gubuknya roboh dan terbakar karena perapiannya.

Orang itu terkejut. Dengan cepat ia meloncat surut, sementara Paksi pun telah meloncat keluar gubuknya.

Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Paksi yang marah itu telah menyerang dengan garangnya, sehingga orang itu berloncatan menghindar.

Namun kemudian, orang itu menjadi mapan, sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah bertempur dengan sengitnya.

Dengan keras orang itu membalas serangan Paksi dengan serangan pula. Beberapa kali orang itu sengaja tidak menghindar dari serangan-serangan Paksi. Tetapi dengan sengaja orang itu justru telah membentur serangan dengan serangan pula.

Dengan demikian, baik orang itu maupun Paksi dapat menjajagi kekuatan lawan di samping menjajagi pula tingkat ilmu mereka.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka berloncatan di atas lereng-lereng berbatu karang di kaki gunung itu. Semakin lama semakin cepat. Benturan-benturan pun menjadi semakin sering terjadi, sehingga jika benturan itu terjadi, maka keduanya beberapa kali terdorong surut.

Paksi yang baru saja selesai menjalani laku, telah menunjukkan kemapanan ilmunya yang tinggi. Ternyata menghadapi orang yang mencari ndaru itu, Paksi mampu mengimbanginya. Meskipun orang itu meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Bahkan keduanya pun kemudian telah mengungkap tenaga dalam mereka masing-masing, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit.

“Demit kecil,” geram orang itu.”Darimana kau mendapatkan ilmu itu he?”

Paksi tidak menjawab. Tetapi anak muda itu justru bertempur semakin sengit.

Dalam pertempuran itu, Paksi justru seakan-akan mendapat kesempatan untuk mencoba kemampuannya. Apa yang telah diwarisinya dari gurunya yang terdahulu, kemudian yang dituangkan oleh Ki Marta Brewok, yang kemudian seakan-akan diuraikan dengan terperinci oleh lukisan-lukisan di dinding goa itu, telah dicoba untuk diuapkan dalam keadaan yang sesungguhnya.

Ternyata bahwa Paksi tidak mengecewakan. Ia mampu mengimbangi lawannya yang berilmu tinggi, yang kadang-kadang bergerak cepat seakan-akan tidak berjejak di atas tanah, namun kemudian sepasang kakinya seakan-akan menghunjam dan berakar di dalam bumi. Namun di setiap geraknya, telah menggetarkan udara di seputarnya. Orang itu seakan-akan tidak lagi bergerak berputar, meloncat atau melenting dengan cepat. Tetapi berdiri tegak dan hanya sekedar beringsut setapak-setapak.

Namun apa pun yang dilakukan oleh orang itu, Paksi masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika orang itu meningkatkan ilmunya, Paksi masih belum dapat dikuasainya.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berganti-ganti keduanya saling menyerang. Benturan-benturan kekuatan terjadi semakin sering, sehingga keduanya saling mendesak dan saling bertahan.

Semakin lama mereka bertempur, Paksi menjadi semakin curiga terhadap lawannya. Meskipun kadang-kadang keduanya berdiri berhadapan, namun Paksi masih belum berhasil melihat wajah lawannya dengan jelas.

Bahkan kemudian Paksi sempat menduga bahwa orang itu adalah Ki Marta Brewok sendiri yang ingin mengujinya.

Tetapi Paksi tidak mau salah duga. Jika ia keliru dan mengira bahwa orang itu tidak bersungguh-sungguh, maka ia akan dapat terjerat dalam kesulitan.

Karena itu, maka pertempuran itu menjadi semakin keras. Serangan-serangan mereka mulai menembus pertahanan lawan. Sehingga sekali-sekali seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ketika serangan Paksi tepat mengenai dada lawannya, maka orang itu pun terhuyung-huyung sesaat. Namun paksi telah mengulangi serangannya dengan ayunan kaki mendatar sambil berputar. Kaki Paksi tepat mengenai lambung orang itu, sehingga orang itu benar kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling di tanah.

Tetapi ketika paksi memburunya, maka dengan cepat orang itu meloncat bangkit. Demikian Paksi mengayunkan tangannya ke arah kening, maka orang itu sempat merendahkan diri. Kakinya justru terjulur menyamping menghantam bahu Paksi.

Tubuh Paksi bagaikan diputar. Tetapi demikian lawannya mengulangi serangannya, Paksi justru menjatuhkan dirinya dan bergulir menjauh.

Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan sigapnya ia meloncat memburu. Namun Paksi justru meluncur dengan cepat. Kakinya memutar tubuhnya, maka lawannya itu pun jatuh terbanting di tanah.

Tetapi sekejap kemudian, keduanya telah meloncat melenting berdiri. Keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun ternyata orang yang datang untuk mencari ndaru itu sudah kehilangan kesabaran. Dengan geram ia berkata, “Anak yang tidak tahu diri. Jika kau tetap keras kepala dan tidak mau menyerahkan ndaru itu kepadaku, maka kau akan menyesali nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan terkubur di sini tanpa ditunggui oleh orang tuamu.”

Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Dipersiapkannya dirinya untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berat.

Sebenarnyalah bahwa tidak terhenti sampai sekian. Mata Paksi yang menjadi setajam mata burung hantu di malam hari melihat lawannya itu mempersiapkan serangan dengan tataran ilmu yang semakin tinggi.

Paksi telah mendapat tuntunan yang lengkap dari Ki Marta Brewok. Ia telah melihat dirinya sendiri pada puncak lakunya, mengetrapkan ilmu yang lebih tinggi dari sekedar kekuatan dan kemampuan kewadagan. Paksi pun telah melihat, bagaimana ilmu seperti itu ditrapkan dalam pertempuran yang sebenarnya.

Karena itu, ketika ia melihat lawannya mengatupkan telapak tangannya, maka Paksi pun segera memusatkan nalar budinya, memasuki puncak kemampuannya sebagaimana pernah dilakukannya dalam samadinya.

Paksi belum pernah mengetrapkan ilmunya dalam pertempuran yang sebenarnya. Tetapi ia tidak mau begitu saja dihancurkan oleh lawannya dalam benturan ilmu. Karena itu, apa pun yang terjadi, Paksi berusaha untuk melindungi diri sebaik-baiknya.

Paksi pun kemudian melihat kedua telapak tangan lawannya itu bagaikan membara. Dalam gelap malam, nampak asap putih yang tipis mengepul dari antara kedua telapak tangan itu.

Namun dalam pada itu, Paksi pun segera menyilangkan kedua tangan di dadanya. Namun di saat terakhir, Paksi mengangkat kaki kirinya dan mengayunkannya sambil meloncat menyongsong serangan lawannya.


Satu benturan ilmu dahsyat telah terjadi. Paksi terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah berbatu padas. Dadanya menjadi sesak seakan tertindih oleh batu hitam sebesar gubuknya itu. Sementara itu, kulitnya yang terluka oleh tajamnya batu-batu padas, terasa menjadi sangat pedih.

Tetapi paksi masih memaksa dirinya untuk bangkit. Ia masih melihat lawannya yang juga terpental jatuh. Namun seperti Paksi orang itu pun berusaha untuk bangkit dengan susah payah.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berdiri berhadapan pula. Tetapi keduanya seakan-akan sudah tidak mampu lagi berdiri tegak. Tenaga dan kekuatan mereka telah terkuras habis. Benturan yang terjadi seakan-akan membakar isi dada mereka, memusnahkan tenaga yang tersimpan di dalam diri mereka.

“Kau anak iblis,” geram orang itu.”Ternyata kali ini kau mampu mengimbangi ilmuku. Tetapi jangan tertawa lebih dahulu. Pada suatu saat aku akan datang untuk membunuhmu jika kau tidak mau memberikan ndaru itu kepadaku.”

Paksi tidak menjawab, nafasnya terengah-engah. Bahkan hampir saja ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri.

Tetapi Paksi tidak mau jatuh di hadapan lawannya. Ia harus tetap bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya.

Orang yang datang kepadanya, agar Paksi memberikan ndaru yang dianggapnya telah dimilikinya itu melangkah surut. Ternyata orang itu pun nampaknya menjadi sangat lemah. Meskipun demikian, ia masih berkata lantang, “Tunggu. Dalam waktu dekat aku akan kembali.”

Namun kedua orang yang sudah hampir kehabisan tenaga itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara orang tertawa. Tidak terlalu keras. Namun cukup menggetarkan udara malam di lereng gunung itu.

Ketika keduanya berpaling, maka mereka melihat Ki Marta Brewok bergerak selangkah demi selangkah mendekati Paksi. Namun kemudian ia pun berhenti sambil berkata kepada orang yang baru saja bertempur melawan Paksi, “Jadi kau ganggu anakku, he?”

“Kau siapa?” bertanya orang itu.

“Aku yang telah memelihara anak ini. Itulah agaknya hatiku selalu merasa berdebar-debar. Sebenarnya malam ini aku tidak berniat datang kemari. Tetapi ternyata kau di sini sekarang. Nah, jika kau memang seorang yang berilmu tinggi, kau jangan hanya berani mengganggu anak-anak. Sekarang, biarlah yang tua berhadapan dengan yang tua.”

Orang yang datang mencari ndaru itu mengumpat. Katanya, “Kau akan memanfaatkan saat aku kelelahan. Baiklah. Aku terima tantanganmu. Tetapi tidak sekarang.”

“Bagus. Tetapi jangan datang seperti seorang pencuri justru saat aku tidak ada di sini.”

“Bagaimana aku tahu bahwa kau ada di sini?”

“Bertanyalah kepada anakku. Jika aku tidak ada, jangan mengganggu anak-anak. Biarlah ia bermain sesuai dengan caranya. Kita yang tua akan berhadapan dengan cara orang-orang tua.”

“Jangan menyesal jika aku datang pada kesempatan lain. Persoalan kita akan kita selesaikan dengan cara orang tua.”

“Sekarang pergilah sebelum aku menjadi semakin muak melihatmu. Jika tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk membunuhmu, maka kau benar-benar akan mati.”

“Persetan kau,” geram orang itu.

Tetapi tertatih-tatih orang itu melangkah meninggalkan tempat itu.

Demikian orang itu lenyap dalam kegelapan, maka Ki Marta Brewok pun telah mengajak Paksi masuk ke dalam biliknya. Paksi yang pernafasannya masih terasa sesak itu kemudian terduduk di atas ketepenya. Tenaganya pun bagaikan terkuras habis.

“Atasi kesulitan di dalam dirimu, Paksi,” berkata Ki Marta Brewok.

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian duduk tegak dengan menyilangkan kaki dan tangannya. Paksi pun kemudian telah mengatur pernafasannya.

Ki Marta Brewok membiarkan Paksi mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sementara itu Ki Marta Brewok justru menyurukkan kayu bakar pada perapian Paksi yang hampir padam untuk merebus air dan menanak nasi.

Meskipun Paksi kemudian berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya, namun ketahanan tubuhnya yang tinggi masih belum mampu mengatasi perasaan sakit dan nyeri di bagian-bagian tubuhnya. Bahkan di beberapa tempat nampak kulitnya memar kebiru-biruan. Keningnya terasa lebam dan tulang punggungnya terasa sakit. Selain nyeri-nyeri pada tulang dan dagingnya, maka luka-lukanya pun terasa pedih. Ketika ia terbanting jatuh, maka batu-batu padas telah menggores kulitnya yang tidak menjadi kebal.

Menjelang fajar, Paksi pun mengakhiri usahanya mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Ketika ia kemudian bangkit, ia tidak melihat Ki Marta Brewok. Yang ada hanyalah sebuah mangkuk yang telah dipakainya untuk makan. Daun pembungkus pepesan ikan bader dan periuk nasi yang sudah diturunkan dari atas perapian. Api pun telah padam dan air yang sudah mendidih itu masih hangat.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menggeliat, terasa tulang-tulangnya masih nyeri.

Perlahan-lahan Paksi melangkah keluar gubuknya. Pintunya masih terbuka lebar sehingga angin malam yang berhembus di lereng gunung itu menyusup masuk

Dlupak minyak kelapa di atas ajug-ajugnya masih menyala. Sinarnya seperti terayun dibuai angin.

Paksi tertegun. Ternyata Ki Marta Brewok tidak pergi. Ia justru berbaring di atas batu di luar gubuknya.

Ketika Ki Marta Brewok itu melihat Paksi melangkah keluar, maka ia pun segera bangkit. Dengan nada dalam ia bertanya,

“Bagaimana keadaanmu, Paksi?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudah menjadi semakin baik Ki Marta.”

“Bagus. Sebenarnya aku mempunyai keperluan lain malam ini. Tetapi aku harus menunggu, apakah kau berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirimu.”

“Tetapi tulang-tulangku masih terasa nyeri, Ki Marta.”

Ki Marta Brewok itu pun kemudian mengambil sebutir obat yang dibungkus dengan selembar kelaras daun pisang. ”Setelah kau makan nasi, maka makanlah obat ini. Mudah-mudahan keadaanmu bertambah baik.”

“Terima kasih,” desis Paksi sambil menerima obat itu.

“Nah, sekarang aku akan pergi. Selanjutnya kau akan dapat mengatasi keadaanmu dengan baik. Orang itu tidak akan kembali dalam waktu dekat, karena ia juga mengalami kesulitan di dalam dirinya sebagaimana kau alami. Seandainya ia ingin datang lagi, maka ia akan datang setelah keadaanmu pulih kembali.”

Paksi mengangguk.

Sementara itu Ki Marta Brewok berkata lebih lanjut, “Paksi, jika orang itu datang lagi, aku kira kau akan dapat mengatasinya. Jika kau mampu mengungkit lebih dalam tenaga yang tersimpan di dalam dirimu, maka kekuatan ilmumu akan menjadi semakin besar. Kau harus lebih memahami kekuatanmu yang berlandaskan pada pijakan bumi. Api yang mengalir dan menghangatkan darahmu. Udara yang berhembus di dalam dadamu dan air yang menggairahkan dan menyegarkan tubuh serta otakmu. Tetapi ingat, bahwa api, udara dan air bahkan bumi akan dapat melambungkan kemampuanmu, tetapi tanpa memahami wataknya dengan baik, maka dalam keseimbangan yang goyah, justru akan dapat menimbulkan malapetaka pada dirimu. Karena itu, setelah kau selesai menjalani laku, bukan berarti bahwa segala-galanya telah selesai. Masih banyak sekali yang harus kau kerjakan.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Baiklah, Ki Marta. Aku akan mencobanya.”

Ki Marta Brewok itu pun kemudian menengadahkan wajahnya.

Cahaya merah menjadi semakin menyala di langit. Karena itu, maka katanya, “Sudahlah. Aku tidak ingin terlambat. Makanlah obat yang aku berikan itu setelah kau makan nasi. Tetapi aku masih ingin memperingatkanmu, kau tidak boleh lupa menelan obat penawar racun itu. Di sini ular berkeliaran tanpa mengenal waktu.”

Paksi tidak sempat menjawab. Ki Marta Brewok itu pun kemudian bangkit dan melangkah meninggalkan Paksi yang berdiri termangu-mangu di tempatnya. Ia hanya dapat memandangi Ki Marta Brewok yang berjalan dengan cepat meninggalkannya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia menduga, bahwa orang yang datang dan minta kepadanya agar ia memberikan ndaru yang disangkanya ada padanya itu adalah Ki Marta Brewok yang ingin menjajagi peningkatan ilmunya. Ternyata orang itu adalah orang lain.

Meskipun demikian, Paksi masih saja dibayangi oleh perasaan aneh terhadap orang-orang yang tiba-tiba saja datang menyerangnya. Seakan-akan yang terjadi itu telah tersusun dalam satu perencanaan yang mapan.

“Aku tidak boleh terjebak pada perasaan seperti itu,” berkata Paksi kepada diri sendiri.”Jika aku kemudian terbuai dalam mimpi yang demikian, maka pada suatu saat aku akan benar-benar dihancurkan lawan sebelum aku sampai pada puncak perlawanan.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia kembali masuk ke dalam gubuknya. Dibenahinya mangkuk, periuk dan tenong kecilnya. Namun Paksi sendiri kemudian menyempatkan diri untuk makan serba sedikit, agar ia dapat menelan obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok.

Baru kemudian, setelah ia minum obat, maka Paksi melakukan kewajibannya sehari-hari menjelang fajar.

Ketika kemudian matahari terbit, Paksi sudah berada di sungai untuk mandi dan mencuci pakaiannya. Seonggok daun dilam telah disiapkannya untuk menyedapkan pakaiannya setelah dicuci bersih.

Setelah minum obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok, tubuh Paksi terasa menjadi semakin segar. Perasaan nyeri pada tulang-tulangnya telah jauh menyusut.

Tetapi Paksi masih harus mengobati luka-luka pada kulitnya yang tergores batu-batu padas.

Setelah mandi, maka tubuh Paksi terasa menjadi segar. Sambil beristirahat, Paksi menunggui pakaiannya yang dijemurnya di belakang gubuk kecilnya.

Namun Paksi pun kemudian telah bangkit. Tiba-tiba saja ia telah teringat sesuatu. Diambilnya tongkat kayunya yang diberikan oleh pengemis ketika ia harus bertempur melawan orang-orang yang garang di sebuah kedai nasi.

Sejenak Paksi merenungi tongkatnya itu. Namun kemudian, Paksi pun mulai menimang-nimang tongkatnya.

“Aku akan pergi ke goa itu,” berkata Paksi tiba-tiba saja kepada diri sendiri.

Sambil membawa tongkatnya Paksi pun telah menuruni lereng, meloncati bebatuan dan batu-batu padas, menuju ke mulut goa yang tersembunyi di balik air terjun.

Ketika Paksi berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam goa itu, maka matahari telah memanjat semakin tinggi. Sinarnya mulai menusuk lubang-lubang batu padas di atas goa itu, sehingga ruang yang cukup luas di dalam goa itu menjadi semakin terang.

Seperti hari-hari yang telah lewat, paksi memperhatikan lukisan-lukisan yang terdapat di dinding itu dengan seksama, ia melihat beberapa macam senjata yang dipergunakan oleh orang-orang yang nampak dalam lukisan itu, di antaranya adalah tongkat.

Paksi semakin memperhatikan, bagaimana orang-orang itu memegang tongkat. Arah gerak tongkat dan bagaimana mereka menyerang dan menangkis dengan tongkat itu.

Paksi memperhatikan lukisan itu dengan seksama. Di dalam lukisan itu, ia akan mendapat kesempatan untuk mempelajari penggunaan berbagai macam senjata. Meskipun yang paling menarik bagi Paksi di antara senjata-senjata itu adalah tongkat, namun Paksi juga tertarik untuk mempelajari penggunaan senjata yang lain.

Dengan demikian, maka beberapa hari mendatang, Paksi masih akan datang lagi ke tempat itu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok, bahwa meskipun ia sudah selesai menjalani laku, tetapi masih banyak yang harus dikerjakannya.

Tetapi di hari-hari mendatang, Paksi tidak berada di goa itu setiap hari. Paksi lebih banyak berlatih di sekitar gubuknya. Sehari ia mengamati lukisan-lukisan itu, dua tiga hari ia berlatih mempergunakannya. Meskipun Paksi tidak mempunyai lawan, namun ia mampu mewujudkannya di dalam ketajaman angan-angannya. Bahkan di malam hari, jika Ki Marta Brewok kebetulan datang ke gubuknya, ia tidak berkeberatan untuk membantu Paksi mematangkan latihan-latihan penggunaan senjata.

“Kau harus mematangkan bersama-sama, Paksi,” berkata Ki Marta Brewok. ”Menggunakan senjata dan mengungkapkan ilmumu yang akan mempunyai kemampuan yang tidak kalah dahsyatnya dengan senjata di tanganmu. Tetapi pada suatu saat, kedua-duanya akan dapat luluh menyatu, sehingga senjata di tanganmu akan mampu memuat kekuatan ilmumu itu pula.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Ternyata memang masih sangat banyak yang harus dipelajarinya.

Namun dalam pada itu, di sela-sela hari-hari latihan yang bahkan sekali-sekali dilakukan di dalam ruangan yang cukup luas di goa itu, Paksi masih sempat pergi ke pasar. Ia masih sempat berbincang dengan Kinong, dengan penjual dawet, penjual nasi tumpang dan beberapa orang yang kemudian dikenalnya dengan baik, Paksi pun telah melihat pula beberapa orang yang dianggapnya asing selain orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dan dari Perguruan Sad.

Paksi pun kadang-kadang juga melihat orang-orang itu berbuat sesuatu yang menyinggung perasaan dan bahkan merugikan beberapa orang yang berjualan di pasar itu. Tetapi Paksi masih menahan diri. Ia tidak mau segera terlibat karena hal itu akan menyibak keberadaannya di kaki gunung itu.

Namun setiap kali ia berada di pasar itu, ia selalu teringat bagaimana perempuan berbaju coklat yang disebutnya sebagai pemimpin Perguruan Goa Lampin itu mampu mempengaruhi orang lain dengan pandangan matanya. Namun setiap kali ia juga teringat pesan Ki Marta Brewok, jangan pandangi matanya jika tidak ingin jatuh di bawah pengaruh sihirnya.

Namun untuk beberapa lama, Paksi tidak melihat perempuan itu lagi.

Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Ki Mana Brewok, maka Ki Marta Brewok telah berkata, “Kau sudah menjalani laku. Kau sudah menempa dirimu sendiri lahir dan batin. Karena itu, selama kau teguh akan sikap dan keyakinanmu, maka sihir itu tidak akan mempengaruhimu meskipun kau tatap mata perempuan itu. Tetapi kau tidak perlu memamerkannya dan bahkan dengan sengaja mencarinya untuk menunjukkan bahwa sihirnya tidak mampu menundukkan ketahanan kesadaranmu atas pribadimu.”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Duduklah. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”

Paksi pun kemudian duduk berhadapan dengan Ki Marta Brewok di dalam gubuk kecilnya. Ia melihat kesungguhan di wajah Ki Marta Brewok. Tetapi ia tidak pernah dapat memandang wajah itu dengan jelas. Sengaja atau tidak sengaja, wajah itu tentu terlindung di bawah bayang-bayang apa pun. Bahkan Ki Marta Brewok lebih banyak duduk membelakangi lampu minyak yang cahayanya samar-samar. Tetapi satu hal yang dapat ditangkap oleh penglihatan Paksi, wajah orang yang wajahnya tertutup oleh brewok yang tebal itu adalah wajah yang cacat.

Agaknya karena itulah, maka Ki Marta Brewok membiarkan jambang, kumis dan janggutnya tumbuh melingkari mulutnya serta menutup keningnya. Sementara itu, ikat kepalanya pun dipakainya terlalu rendah melekat di atas kupingnya.

Dalam pada itu, maka Ki Marta Brewok itu pun kemudian berkata, “Paksi. Kau sudah cukup lama berada di tempat ini. Menurut ingatanmu, apakah kau sudah genap setahun berada di sini?”

Paksi mengangguk sambil menjawab, “Sudah Ki Marta. Bahkan sudah lebih dari setahun.”

“Jadi, berapakah umurmu sekarang?” bertanya Ki Marta Brewok itu pula.

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ketika aku meninggalkan rumahku setahun yang lalu, umurku menginjak tujuh belas.”

“Jika demikian, umurmu sekarang sudah delapan belas.”

Paksi mengangguk. Katanya, “Ya. Umurku sudah delapan belas sekarang.”

“Kau sudah menjadi semakin dewasa, Paksi. Meskipun kau belum dewasa penuh, namun kau sudah harus dapat mendudukkan dirimu pada tiga landasan. Kau harus sudah benar-benar menyadari bahkan kau sudah waktunya untuk mandiri. Kemudian kau harus sudah dengan jernih dapat membedakan antara buruk dan baik. Selanjutnya, kau sudah harus mempertanggung-jawabkan sikap dan tingkah lakumu. Baik kepada dirimu sendiri, kepada sesamamu dan kepada Yang Maha Agung.”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Marta Brewok itu pun berkata selanjutnya, “Paksi. Sudah tentu aku tidak akan selalu bersamamu, sebagaimana kau tidak akan dapat selamanya bergantung kepadaku. Aku merasa bahwa bekal yang aku berikan kepadamu sudah cukup. Selanjutnya segala sesuatunya tergantung kepada dirimu sendiri. Karena itu, untuk selanjutnya aku akan menjadi semakin jarang datang ke gubuk ini. Bahkan aku tidak dapat mengatakan, apakah aku masih sempat atau tidak. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu. Apakah kau masih merasa perlu untuk tinggal lebih lama lagi atau tidak. Mungkin sebulan dua bulan. Tetapi mungkin kau memandang perlu untuk tinggal lebih lama lagi. Segalanya terserah kepadamu. Kalau kau masih terikat oleh goa itu, lakukanlah. Mungkin masih ada yang dapat kau sadap pada dinding goa itu. Tetapi jika kau merasa perlu untuk meninggalkan tempat ini dan mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu, lakukanlah.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Marta. Namun perkenankan aku mohon. Sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan permohonan ini.”

“Apa yang akan kau minta?”

“Apakah aku diperkenankan menyebut Ki Marta sebagai guruku. Aku pernah berguru kepada seseorang. Tetapi karena aku harus pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku, maka hubunganku dengan guruku telah terputus. Tetapi aku masih tetap menganggapnya sebagai guruku. Jika Ki Marta berkenan, maka aku akan merasa mempunyai dua orang guru.”

Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Itu terserah saja kepadamu. Tetapi rasa-rasanya jantungku seperti digelitik jika seseorang memanggilku guru. Karena itu, aku tidak berkeberatan jika kau menganggap aku sebagai gurumu. Tetapi panggil aku Ki Marta begitu saja.”

Paksi memandang Ki Marta Brewok sekilas. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi aku merasa lebih mantap jika aku diperkenankan memanggil guru.”

“Terserah saja kepadamu,” berkata Ki Marta Brewok kemudian.”Tetapi jika kita tidak bertemu lagi, maka kau tidak akan mempunyai kesempatan menyebutku guru.”

“Bukankah aku harus datang ke alun-alun Pajang jika aku sudah menemukan cincin itu?”

Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, “Terserah saja kepadamu, aku tidak berkeberatan.”

“Terima kasih, Guru,” berkata Paksi kemudian.”Tetapi jika aku boleh bertanya, ke mana guru akan pergi selanjutnya?”

“Aku tidak dapat mengatakan kepadamu, Paksi. Tetapi aku masih mengemban berbagai tugas yang penting. Meskipun demikian, jika ada kesempatan aku masih akan berusaha menemuimu meskipun aku tidak tahu, kau pergi ke mana jika kau pada suatu saat meninggalkan tempat ini.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang masih akan mengembara. Mungkin untuk waktu yang masih panjang.”

“Hati-hatilah. Jangan sampai tersesat ke mulut Batara Kala yang selalu menganga menunggu mangsa. Padahal apa pun akan ditelannya, terutama mereka yang memang sudah termasuk dalam kumpulan orang-orang yang mempunyai ciri tertentu.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah mendengar dongeng itu.”

“Kau harus menerjemahkan dengan benar.” Paksi mengangguk-angguk.

“Nah, aku kira pekerjaan di sini sebagian besar sudah selesai. Karena itu, aku akan minta diri karena mungkin aku tidak akan kembali lagi kemari.”

“Kenapa sebagian besar, Guru.”

“Memang belum tuntas. Kau sendirilah yang akan menuntaskannya,” jawab Ki Marta Brewok.

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih. Semoga Yang Maha Agung selalu menyertai Guru.”

Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Kita akan selalu berdoa. Jika kita bersungguh-sungguh, maka doa kita akan didengar-Nya.”

Paksi mengangguk-angguk. Tetapi bagaimanapun juga, terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Kepergian Ki Marta Brewok tentu akan membekas di dalam hatinya, meskipun di hari-hari terakhir Ki Marta Brewok sudah jarang-jarang mengunjunginya.

Demikianlah Ki Marta Brewok pun telah minta diri sekali lagi. Ia benar-benar akan meninggalkan Paksi di gubuk kecilnya, jauh dari rumahnya, jauh dari sanak-kadangnya.

Ketika Ki Marta Brewok menepuk bahu anak muda itu, terasa mata Paksi menjadi panas.

Demikianlah, maka malam itu Ki Marta Brewok telah meninggalkan Paksi seorang diri. Paksi yang melepaskan kepergian Ki Marta Brewok itu di depan gubuknya, memandanginya sampai orang itu hilang dalam kegelapan.

Sudah puluhan kali, bahkan ratusan kali ia memandangi punggung Ki Marta Brewok. Namun malam itu rasa-rasanya ia telah kehilangan orang yang dianggap sebagai gurunya.

Dua kali Paksi terpisah dari guru yang membimbingnya.

Tetapi sejenak kemudian, Paksi teringat pesan Ki Marta Brewok. Karena umurnya sudah delapan belas, maka ia harus sudah mendudukkan dirinya pada tiga alas. Di antaranya adalah kemandirian.

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

Ketika kemudian Ki Marta Brewok hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam kegelapan, maka Paksi pun masuk kembali ke dalam gubuk kecilnya. Paksi bahkan telah memadamkan lampu minyaknya. Kemudian berbaring di atas ketepenya di dalam gelap.

Tetapi ternyata sampai dini hari Paksi tidak dapat tidur sama sekali. Ia sempat mengenang pertemuannya dengan orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu. Waktu itu, lebih dari setahun yang lalu, seleret sinar seakan-akan jatuh dari langit. Dan Ki Marta Brewok itu menggiringnya untuk datang ke tempat terpencil itu.

Di dini hari Paksi sudah bangun. Ia masih mempunyai sedikit waktu untuk menyalakan perapian. Sementara itu, Paksi pun segera berbenah diri seperti kebiasaannya setiap hari.

Ketika fajar menyingsing, Paksi telah memadamkan apinya. Air yang dijerangnya sudah mendidih.

Sebelum pergi ke sungai, Paksi sempat meneguk minuman hangatnya. Nasinya masih utuh. Biasanya Ki Marta Brewok ikut makan bersamanya. Tetapi malam itu, Ki Marta Brewok datang hanya untuk minta diri.

Hari yang kemudian terbentang di hadapannya terasa menjadi sepi. Meskipun sebelumnya, selama lebih dari setahun ia berada di tempat itu, Ki Marta Brewok belum pernah datang mengunjunginya di siang hari, namun Paksi masih berpengharapan, bahwa di malam hari, orang itu akan datang.

Tetapi Paksi pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak dapat tenggelam dalam perasaan sepinya. Hari-hari yang bakal datang masih banyak yang harus dilakukannya.

Karena itu, maka Paksi tidak ingin merenung terus-menerus. Ia harus menerima kepergian Ki Marta Brewok sebagai satu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya.

Karena itu, maka Paksi pun segera mengambil bumbung legennya. Ia harus memanjat beberapa batang pohon kelapa.

Ketika kemudian pekerjaannya di gubuk kecilnya sudah selesai, maka untuk mengisi waktunya Paksi telah turun ke dalam goa. Hari itu Paksi merasa malas untuk pergi ke pasar. Apalagi ia masih mempunyai garam cukup, sehingga ia masih belum memerlukannya.

Ketika ia berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam goa itu, maka ia telah merenungi lagi lukisan-lukisan yang ada di dinding goa yang datar itu. Tetapi semua garis telah dilihat dan dipelajarinya dengan saksama. Karena itu, maka Paksi pun memiliki berbagai macam kemampuan mempergunakan beberapa jenis senjata dengan baik. Di rumahnya Paksi mempunyai sebilah parang yang dibelinya pada seorang pande besi. Parang yang biasanya dipergunakan untuk membelah kayu. Namun di tangan Paksi, parang itu telah dipergunakannya untuk mematangkan ilmu pedangnya. Dengan tongkat kayunya, Paksi juga berusaha untuk berlatih mempergunakan tombak pendek. Sementara itu, ia telah mempelajari pula mempergunakan berbagai macam senjata yang lain. Di antaranya Paksi juga memiliki ketrampilan mempergunakan cambuk dan cemeti.

Untuk beberapa saat lamanya, Paksi berlatih seorang diri di dalam ruangan itu. Namun ketika keringatnya telah terperas dari tubuhnya, maka Paksi pun menghentikan latihannya itu, sementara pakaiannya yang telah basah ketika ia menerobos air terjun, telah menjadi semakin basah pula oleh keringat.

Di luar sadarnya, Paksi pun telah duduk di tempat ia menjalani laku. Dicobanya mengingat lagi, apakah yang pernah terjadi pada dirinya.

Ketika ketajaman angan-angannya membayangkan kembali apa yang dilakukannya, maka serasa ia mendapatkan sandaran baru pada inderanya. Ada kekuatan yang belum pernah diungkapkannya. Kekuatan yang khusus bekerja pada inderanya itu.

Ketika Paksi pun kemudian membuka matanya dan keluar dari dunia angan-angannya, maka dengan penuh kesadaran akan kemampuannya, maka Paksi pun telah mengungkapkan kekuatan yang membuat inderanya menjadi semakin tajam.

Dengan demikian, maka penglihatan Paksi pun menjadi semakin tajam pula di dalam gelap di goa itu. Paksi seakan-akan melihat segalanya semakin jelas. Jauh lebih jelas dari sekedar ketajaman penglihatannya.

Demikian pula Paksi mampu mendengar lebih jelas. Gemuruh air terjun. Namun juga siul burung-burung di luar goa itu. Gemerisik daun yang bergoyang disentuh angin pegunungan yang semilir lembut.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu sadar, bahwa ia telah mampu membangun Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Pangrungu. Dengan demikian, maka Paksi pun sadar pula, bahwa ia juga akan dapat membangunkan ilmunya untuk mempertajam inderanya yang lain jika diperlukannya.

Setiap kali Paksi menyadari kelebihan yang ada di dalam dirinya, maka Paksi selalu merasa betapa ia berhutang budi kepada Ki Marta Brewok. Tetapi sejalan dengan itu, ia pun selalu ingat akan pesan-pesannya, bahwa setiap yang dimiliki itu adalah kurnia. Apalagi kelebihan dari sesamanya. Karena itu maka ia pun harus menempatkan dirinya di jalan yang dikehendakiNya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di dalam kegelapan ia menengadahkan wajahnya. di dalam hati Paksi memohon agar nalar budinya tidak terlepas dari kendali kesadaran diri akan keberadaannya, kelebihannya serta sangkan paraning dumadi, sehingga dapat tercermin pada sikap dan tingkah lakunya.

Tiba-tiba saja terngiang di telinganya kata-kata orang yang datang untuk mencari ndaru itu, hubungan antara ilmu dan amal.

Sejenak Paksi merenung. Namun kemudian Paksi itu pun melangkah ke mulut goa.

Sejenak kemudian Paksi sudah berada di gubuk kecilnya. Ia sudah berganti pakaian Pakaiannya yang basah sudah dicucinya.

Ternyata hari-harinya kemudian terasa menjadi semakin sepi sejak Ki Marta Brewok menyatakan bahwa dirinya tidak akan datang lagi ke tempat itu. Bahkan Paksi pun kemudian merasa, bahwa keberadaannya di tempat itu tidak lagi mengikatnya.

Tetapi Paksi masih menunggu jagungnya menjadi tua. Rasa-rasanya ia akan mendapatkan kepuasan tersendiri untuk memetiknya, sementara padi gaga yang ditanamnya juga sudah mulai berbunga, sehingga ia merasa masih ada keterikatan dengan tempat itu.....

Di hari-hari mendatang, Paksi mengisi hari-harinya yang sepi dengan berkeliaran di pasar. Bercanda dengan Kinong, bergurau dengan penjual dawet dan sekali-sekali berbicara bersungguh-sungguh dengan pande besi yang sedang membuat parang.

Tetapi kegelisahan masih saja membayang di pasar itu. Ketika Paksi datang ke pasar agak siang, ia berpapasan dengan orang-orang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan pasar.

“Ada apa?” bertanya Paksi ketika ia bertemu dengan seorang yang sudah dikenalnya.

“Keributan telah terjadi,” jawab orang itu. ”Pulang sajalah anak muda.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Paksi tidak segera berbalik arah. Ia masih saja melangkah ke arah pasar.

Paksi itu pun berhenti ketika ia bertemu Kinong dan ibunya berjalan tergesa-gesa pula. Bahkan Kinong yang digandeng ibunya itu berlari-lari kecil sambil menjinjing keranjang kecilnya.

“Kinong, ada apa?” bertanya Paksi.

Kinong memang berhenti. Ibunya juga berhenti.

“Jangan pergi ke pasar, Ngger. Agaknya akan terjadi keributan lagi.”

Paksi mengerutkan dahinya, sementara Kinong pun berkata selanjutnya, “Ada dua orang berkuda yang datang ke pasar itu. Tetapi selain mereka telah ada pula dua orang yang sudah berada di sekitar tempat ini beberapa hari yang lalu. Orang yang sering makan tetapi tidak membayar penuh itu.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah aku ingin melihat apa yang akan terjadi.”

“Jangan, Ngger,” cegah ibu Kinong. ”Nanti kau akan terjerat dalam peristiwa yang tidak kau ketahui ujung pangkalnya. Bahkan mungkin kau akan cidera karenanya, sementara kau tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku akan melihat dari kejauhan. Aku tentu tidak akan berani mendekat.”

“Tetapi kau harus berhati-hati, Ngger. Sebenarnya kau tidak menuruti keinginantahumu itu. Yang terjadi nampaknya bukan sekedar main-main.”

“Terima kasih,” desis Paksi.”Aku akan berhati-hati.”

Kinong dan ibunya pun kemudian meninggalkan Paksi yang termangu-mangu, mengikuti arus orang-orang yang menyingkir menjauhi pasar.

Dengan hati-hati Paksi melangkah mendekati pasar yang sudah menjadi sepi. Bahkan para pande besi pun telah meninggalkan perapian mereka. Meskipun beberapa orang laki-laki yang memiliki sedikit keberanian masih berada di pasar, tetapi mereka sudah membenahi dagangan mereka.

Namun demikian, pada jarak yang agak jauh, beberapa orang juga masih menunggu. Mereka ingin melihat apa yang akan terjadi.

Paksi mendekati seorang laki-laki yang berjongkok di belakang sebatang pohon, beberapa puluh langkah dari pintu gerbang pasar.

Ketika Paksi kemudian berjongkok di sebelahnya, orang itu terkejut bukan buatan, sehingga terlonjak dan bergeser setapak.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam setelah ia melihat seorang anak muda berjongkok di sebelahnya.

“Kau mengejutkan aku anak muda.”

“Maaf, Paman. Aku tidak berniat mengejutkan Paman. Tetapi aku ingin bertanya, apa yang terjadi?”

“Lihat,” desis orang itu.

Paksi melihat bukan hanya dua orang berkuda, tetapi ampat orang berkuda mendekati regol pasar. Ampat orang yang berwajah garang. Menilik sikap dan pakaiannya, maka mereka adalah orang-orang yang mengembara di dunia olah kanuragan.

“Siapakah mereka itu?” bertanya Paksi.

“Aku tidak tahu. Tetapi seorang di pasar ini telah mendengar bahwa sekelompok orang akan datang mencari musuhnya yang berada di pasar ini.”

“Bagaimana ia dapat mendengarnya?”

“Orang itu hanya mendengar seorang berkata kepada kawannya agar kawannya itu memanggil kawan-kawannya yang lain. Ketika hal ini tersebar, maka orang-orang seisi pasar pun telah meninggalkan pasar.”

“Paman tidak pergi?” bertanya Paksi.

“Aku ingin membuktikan apa yang terjadi. Apakah ceritera itu benar atau orang yang sekedar ingin melihat kekisruhan terjadi di pasar ini.”

“Ternyata orang-orang itu benar-benar datang.”

“Ya. Orang-orang itu benar-benar datang. Tetapi yang dicarinya tentu sudah pergi.”

Baru saja mulut orang itu terdiam, tiba-tiba saja mereka mendengar suara seorang perempuan tertawa. Suaranya melengking tinggi. Sementara itu, dua orang perempuan yang berpakaian asing itu telah keluar dari sebuah kedai yang terletak tidak jauh dari pintu gerbang pasar itu.

“Siapa yang kalian cari?” bertanya salah seorang dari kedua orang perempuan itu.

Keempat orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka pun meloncat turun sambil menjawab,

“Kalian perempuan-perempuan Goa Lampin?”

“Ya,” jawab salah seorang perempuan itu.

“Siapakah di antara kalian yang telah melukai adikku?”

“Bukan kami. Tetapi saudara kami. Bukankah kalian datang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga?”

“Ya.”

“Saudara kami telah melukainya karena adik seperguruanmu itu tidak mau mendengarkannya. Seharusnya adikmu tidak berkeliaran di tempat ini. Daerah ini tertutup bagi orang asing, karena daerah ini menjadi daerah perburuan kami. Meskipun demikian, kami tidak akan mengelakkan tanggung jawab. Meskipun yang melukai saudaramu itu bukan kami, tetapi kami akan mempertanggungjawabkannya.”

“Bagus,” berkata orang yang telah turun dari kudanya.”Kami ingin orang yang melukai adik seperguruanku itu menyerahkan diri. Kami akan membawanya ke hutan Tegal Arang di pinggir Kali Praga.”

Kedua orang perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kau kira kami gila? Kau kira kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika salah seorang di antara kami berada di lingkunganmu?”

“Bukankah kau katakan bahwa kalian akan bertanggung jawab?”

“Maksudku, kami akan bertanggung jawab jika kalian menuntut. Seharusnya kalian berterima kasih karena saudaraku itu tidak membunuh adikmu. Seandainya wajah adikmu tidak terlalu kotor, mungkin adikmu akan mendapat kehormatan menjadi penghuni Goa Lampin bersama beberapa orang laki-laki tampan yang lain.”

Orang yang sudah turun dari kudanya itu tersinggung. Katanya, “Kami adalah laki-laki yang mempunyai harga diri. Kami sudah tahu apa yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Goa Lampin. Sebenarnya kami lebih senang menjauhi kalian, bahkan lebih baik bahwa seumur hidup kami tidak bertemu dengan perempuan Goa Lampin. Namun kali ini kami ingin membalas sakit hati adikku itu.”

“Jangan sesali. Jika adikmu mau mendengar peringatan kami, maka tidak akan terjadi bencana itu.”

“Kalian tidak berhak mengusir adikku dari tempat ini. Apa hakmu menyebut daerah ini sebagai daerah perburuan. Aku tahu, yang kalian maksud tentu perburuan atas ndaru yang jatuh di tempat ini, yang mungkin sekali adalah cincin yang hilang itu, karena sinar ndaru itu memang agak berbeda dari ndaru yang lain. Ada tiga pancaran sinar yang nampak, sehingga orang menduga bahwa tiga sinar itu mengisyaratkan tiga butir mata batu akik.”

“Ya. Kami adalah orang yang pertama datang ke tempat ini.”

“Omong kosong. Kau kira daerah ini sama sekali tidak berpenghuni atau kau kira bahwa tidak ada orang lain yang sedang melakukan samadi di sekitar tempat ini termasuk adikku itu?”

Tetapi perempuan itu tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Berterima kasihlah bahwa adikmu hanya menjadi cacat. Tidak mati. Itu sudah cukup.”

Sementara itu seorang lagi dari orang-orang berkuda itu meloncat turun. Dengan geram orang itu berkata, “Kita tidak perlu terlalu banyak bicara. Kita minta yang melukai saudara kita itu untuk menyerah. Jika tidak maka mereka berdua akan kita bawa.”

Kedua perempuan itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kalian berempat. Karena itu, jangan hanya membawa dua orang. Aku masih mempunyai dua orang kawan lagi, sehingga kita masing-masing berempat.”

Laki-laki yang turun kemudian dari kudanya itu menggeram.

Katanya, “Cukup. Panggil semua kawan-kawanmu. Semakin banyak semakin baik. Kalian akan berguna di perguruan kami.”

Salah seorang dari kedua orang perempuan itu meletakkan jari-jarinya di mulutnya. Kemudian terdengar suitan nyaring.

Getarannya merambat sampai ke telinga dua orang kawannya yang berada di sebuah kedai yang lain.

Beberapa saat kemudian, maka kedua orang perempuan dengan ciri-ciri pakaian yang serupa, ikat kepala hitam dengan pertanda merah, telah keluar dari kedai itu dan melangkah mendekati kedua kawannya yang telah lebih dahulu berhadapan dengan orang-orang berkuda itu.

Demikian kedua orang perempuan itu mendekat, maka dua orang penunggang kuda yang lain pun telah meloncat turun pula.

Mereka kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon waru yang tumbuh di seberang jalan.

“Mereka juga berempat,” desis salah seorang dari orang-orang berkuda itu.

“Kita hanya membutuhkan orang yang melukai saudara kita,” geram orang yang tertua di antara mereka.

Tetapi perempuan-perempuan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan seorang di antara mereka yang baru saja keluar dari kedai itu berkata, “Inikah mereka yang sedang mencari saudara kita?”

“Ya,” jawab kawannya.

Perempuan itu meredupkan matanya. Kemudian katanya, “Urungkan saja niatmu. Jika kalian tidak meninggalkan tempat ini dengan segera, maka kalian pun akan menjadi cacat seumur hidup atau bahkan mati di sini.”

Paksi yang menyaksikan pembicaraan itu menarik nafas panjang. Ternyata perempuan-perempuan dari Goa Lampin itu benar-benar perempuan yang garang.

“Berapa orang kekuatan perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu?” bertanya Paksi di dalam dirinya.

Laki-laki tertua di antara keempat orang berkuda itu berkata, “Sebenarnya kami tidak ingin bermusuhan dengan Perguruan Goa Lampin. Tetapi kami pun tidak dapat membiarkan saudara kami mengalami nasib buruk tanpa menuntut balas.”

Perempuan-perempuan itu tertawa. Suaranya melengking-lengking tinggi.

Tiba-tiba saja tengkuk Paksi terasa meremang. Suara tertawa perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu terdengar seperti ringkik hantu perempuan yang bangkit dari balik kubur.

Namun kedua belah pihak pun telah bersiap. Mereka mulai memencar. Seorang akan bertempur melawan seorang.

Sejenak kemudian, maka kedua belah pihak telah mulai bergeser. Nampaknya kedua belah tidak ingin kehilangan kesempatan. Karena itu, maka orang-orang yang terlibat dalam pertempuran itu telah menggenggam senjata mereka masing-masing.

Keempat orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu telah memegang pedang mereka masing-masing. Sementara itu, dua di antara orang-orang berkuda itu bersenjata golok yang besar dan panjang, seorang bersenjata kapak dan seorang lagi bersenjata bindi yang bergerigi seperti buah blimbing lingir.

Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu sama sekali tidak bergetar melihat jenis-jenis senjata yang khusus itu. Seorang perempuan yang bertubuh tinggi tegap sengaja menghadapi orang yang bersenjata kapak itu sambil berkata, “Senjatamu bagus, Ki Sanak. Mungkin kau memang seorang blandong kayu yang setiap hari bergaul dengan kapak.”

“Ya,” jawab orang yang bersenjata kapak itu, “aku memang seorang blandong kayu. Tetapi aku sanggup untuk membelah bukan saja balok-balok kayu. Tetapi tubuh orang-orang yang telah menghina aku atau perguruanku.”

Perempuan yang bertubuh tinggi tegap itu tertawa. Katanya, “Sudahlah, jangan membual. Bersiaplah. Kalian akan mengalami nasib yang sama seperti saudaramu itu. Bahkan siapa pun yang berani mengganggu tugas kami di sini mencari cincin pusaka yang hilang itu, akan kami singkirkan.”

“Tidak seorang pun yang pantas mendapat hak seperti itu. Jika kau sedang mencarinya, lakukanlah. Tetapi biarlah orang lain juga melakukan.”

“Tidak. Aku peringatkan sekali lagi. Tidak ada orang lain yang dapat melakukannya di sini.”

Laki-laki yang lain ternyata tidak sabar lagi. Dengan geram seorang berkata, “Kita akan menyelesaikan mereka secepatnya.”

Perempuan-perempuan itu tertawa. Namun suara tertawa mereka pun segera terputus ketika seorang di antara laki-laki berkuda itu mulai memutar senjata dan bergeser maju. Bahkan seorang yang lain telah menjulurkan senjatanya pula menggapai tubuh perempuan yang sangat menjengkelkannya itu.

Tetapi perempuan-perempuan dari Goa Lampin itu pun dengan cepat mengelak. Bahkan mereka pun segera bergeser saling menjauh.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi antara orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dan orang-orang yang datang dari Alas Tegal Arang.

Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang agak jauh menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang dari berbagai perguruan telah terlibat dalam usaha pencarian cincin yang bermata tiga butir batu akik itu.

“Semakin lama tentu akan menjadi semakin banyak,” berkata Paksi di dalam hatinya.

Namun Paksi justru yakin, bahwa cincin itu tidak akan jatuh dari langit. Seandainya cincin itu ada di sekitar tempat itu, keberadaannya tentu bukan bersamaan dengan jatuhnya ndaru yang dilihat oleh beberapa orang itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ndaru itu bercahaya dalam tiga warna.

Namun benturan-benturan itu telah benar-benar terjadi.

Orang yang berjongkok di samping Paksi menyaksikan pertempuran itu dengan tubuh gemetar. Bahkan kemudian ia pun beringsut sambil berkata perlahan, “Aku akan pergi saja. Aku takut.”

Paksi tidak dapat menghalanginya jika orang itu memang takut melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit. Senjata pun mulai beradu. Bunga api pun telah memercik di setiap benturan senjata yang terjadi.

Namun ternyata masih juga ada beberapa orang yang bertahan untuk menyaksikan pertempuran itu.

Paksi pun kemudian memperhatikan orang-orang yang bertempur itu dengan saksama. Namun ternyata Paksi yang mampu menilai ilmu dari orang-orang yang bertempur itu masih dapat menengadahkan dadanya. Paksi masih meyakini, bahwa ilmu dan kemampuannya masih jauh lebih tinggi dari orang-orang Goa Lampin maupun dari Alas Tegal Arang.

Namun Paksi pun menyadari, bahwa ia tidak boleh menyombongkan dirinya. Karena betapa pun tinggi ilmu seseorang, tetapi orang itu tentu masih mempunyai kelemahan.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

Namun beberapa saat kemudian, maka Paksi pun melihat bahwa orang-orang dari Alas Tegal Arang itu memiliki kekuatan yang pada dasarnya lebih besar dari orang-orang Goa Lampin. Karena itu, maka perlahan-lahan orang-orang Goa Lampin pun mulai terdesak. Meskipun mereka mampu bergerak cepat, namun ternyata sulit bagi mereka untuk mengatasi kemampuan orang-orang dari Alas Tegal Arang.

Orang dari Alas Tegal Arang di pinggir Kali Praga yang bersenjata kapak itu pun telah mendesak lawannya pula. Sulit bagi lawannya untuk menahan ayunan kapak yang besar itu. Jika perempuan dari Goa Lampin itu mencoba membentur ayunan kapak lawannya, maka ia harus mengerahkan tenaganya untuk menahan agar senjatanya tidak terlepas.

Kawan-kawannya yang lain pun harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka untuk menahan arus serangan lawannya.

Paksi yang menyaksikan pertempuran itu mengerutkan dahinya. Orang-orang dari Alas Tegal Arang itu semakin mendesak lawannya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu menjerit. Namun kemudian perempuan itu berteriak marah, “Aku bunuh kau.”

Ternyata senjata lawannya mampu menggapai kulitnya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya.

Namun justru karena darah telah mulai menitik dari lukanya, maka lawannya berusaha untuk semakin menekannya.

Ternyata orang-orang Goa Lampin itu semakin mengalami kesulitan. Sementara itu, Paksi yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan menduga, bahwa dalam keadaan yang rumit, perempuan yang pernah dilihatnya dengan mengenakan baju coklat itu akan datang lagi menolong murid-muridnya.

Tetapi Paksi salah duga. Dalam keadaan yang sulit, salah seorang perempuan dari Goa Lampin itu telah membunyikan isyarat. Suitan nyaring telah terdengar lagi dengan irama yang berbeda.

Namun dalam pada itu, seorang lagi dari antara mereka telah berteriak kesakitan. Namun kemudian mengumpat kasar meskipun ia seorang perempuan. Ternyata ujung senjata lawannya telah menyentuh pundaknya.

Tetapi lawannya tidak membiarkannya mengambil jarak. Ketika perempuan itu meloncat menjauh, lawannya telah memburunya. Sekali lagi senjatanya terjulur lurus menggapai lambung.

Perempuan itu terdorong surut. Darah mengalir dengan derasnya dari luka di lambungnya. Sementara itu, lawannya menjadi semakin garang. Sambil menggeram ia siap untuk meloncat dengan senjata terayun.

Namun orang itulah yang kemudian berteriak. Sebuah pisau belati tiba-tiba saja telah menancap di punggungnya.

Orang itu masih sempat berpaling. Dilihatnya seorang perempuan berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Orang yang di punggungnya tertancap pisau belati itu masih sempat mengumpat, “Pengecut kau. Kenapa kau serang aku dari belakang? Apakah kau tidak berani bertempur berhadapan?”

Tetapi perempuan yang melempar pisau belati itu tertawa. Ia masih menggenggam sebilah pisau lagi di tangan kirinya.

Namun pisau itu tidak dilemparkannya. Laki-laki dari Alas Tegal Arang yang sudah terluka itu tidak lagi dapat berbicara lagi. Lawannya, perempuan yang sudah dilukainya, justru dengan dendam yang membara telah mengayunkan senjatanya dengan sisa tenaganya menebas lambung.

Laki-laki yang sudah terluka itu berteriak. Kemarahan dan dendam meledak di dadanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Tubuhnya pun kemudian terhuyung-huyung sejenak.

Perempuan yang melemparkan pisau belati itu tertawa semakin keras. Ia menyaksikan orang Alas Tegal Arang itu jatuh tersungkur dan sama sekali tidak bergerak lagi.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan menyaksikan pertempuran itu ia dapat mengenali watak perempuan-perempuan dari Goa Lampin lebih banyak lagi. Ternyata mereka sangat licik di medan.

Dalam pada itu, beberapa orang perempuan dari Goa Lampin telah muncul. Ternyata mereka tidak hanya berempat. Tetapi agaknya mereka ingin menjajagi kemampuan orang-orang Alas Tegal Arang, sehingga mereka telah turun ke medan, seorang melawan seorang. Tetapi dalam keadaan yang terdesak, maka hadirlah cara-cara yang terbiasa mereka lakukan.

Tiga orang dari Alas Tegal Arang harus melihat kenyataan itu. Karena itu, maka seorang di antaranya telah memberikan isyarat, sehingga ketiga orang itu berusaha untuk meninggalkan arena. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa lawan mereka yang menjadi terlalu banyak itu tidak dapat mereka imbangi lagi.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang dari Alas Tegal Arang itu berusaha untuk melarikan diri dari pertempuran.

Orang-orang dari Goa Lampin itu memang berusaha untuk mengejar mereka. Tetapi ketiga orang itu berlari demikian cepatnya meninggalkan arena. Dengan tangkasnya mereka meloncat ke punggung kuda mereka yang tertambat pada pohon waru. Namun dengan satu hentakkan, maka tambang yang memang tidak terlalu kuat itu telah terlepas.

Sejenak kemudian maka tiga orang penunggang kuda itu memacu kudanya meninggalkan pasar itu. Tetapi seorang perempuan dari Goa Lampin yang sudah hampir berhasil memburu seorang di antara ketiga orang itu tidak melepaskannya begitu saja. Demikian kuda itu berlari, perempuan dari Goa Lampin itu telah melemparkan pisaunya.

Pisau itu tidak menancap di punggung orang berkuda itu. Tetapi pisau itu sempat menggores pundaknya.

Laki-laki di punggung kuda itu mengumpat. Namun ia tidak berhenti. Dipacunya kudanya semakin cepat.

Sejenak kemudian, pertempuran pun sudah selesai. Perempuan-perempuan dari Goa Lampin yang jumlahnya ternyata tujuh orang itu telah berkumpul. Tiga orang di antara mereka terluka. Seorang mengalami luka yang agak parah.

“Kita tidak akan tinggal diam,” berkata salah seorang dari mereka. ”Guru akan menentukan, apa yang harus kita lakukan kemudian menghadapi orang-orang dari Alas Tegal Arang.” “Marilah kita kembali ke penginapan,” desis yang lain. Beberapa di antara mereka sempat berpaling memandang tubuh orang Alas Tegal Arang yang terkapar di tanah. Namun seorang dari mereka berkata, “Jangan hiraukan tubuh itu. Biarlah orang-orang pasar itu mengurusnya.”

Sejenak kemudian, maka perempuan-perempuan itu pun telah meninggalkan pasar itu.

Beberapa saat kemudian, pasar itu benar-benar menjadi sepi.

Beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan masih tetap bersembunyi di tempatnya. Belum seorang pun yang berani keluar dari persembunyiannya.

Paksi pun masih berada di belakang pohon. Sebenarnya Paksi ingin segera mendekati bekas arena pertempuran itu. Tetapi ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang.

Baru kemudian, ketika sudah ada satu dua orang yang keluar dari persembunyian mereka, Paksi pun telah keluar pula dan melangkah mendekat.

Beberapa orang mengerumuni tubuh yang terbujur diam.

Darah mengalir membasah tanah di seputarnya.

Ketika seorang akan menyentuhnya, seorang yang lain berkata, “Nanti kawan-kawannya menyangka, kita yang melakukannya.”

“Tentu tidak,” jawab yang lain. ”Kawan-kawannya mengetahui dengan pasti, siapakah yang telah membunuhnya. Kita akan menguburkannya meskipun kita tidak mengenal orang ini sebelumnya.”

“Ya,” sahut yang lain lagi. ”Kita tidak dapat membiarkannya terbujur di situ.”

Beberapa orang pun kemudian telah menghubungi orang-orang yang tinggal di sekitar pasar itu. Mereka pun kemudian sepakat membawa tubuh itu akan dikubur di sebuah kuburan yang terletak di ujung padukuhan.

“Kita akan menyelenggarakan dengan sewajarnya,” berkata seorang bebahu padukuhan itu.

Namun dalam pada itu, paksi sendiri diam-diam sibuk mencari sesuatu yang dapat memberikan arti padanya. Ketika ia menemukan sebuah pisau belati yang menggores salah seorang dari orang-orang berkuda itu, maka dengan diam-diam pisau itu disembunyikannya di bawah bajunya.

Beberapa saat kemudian, maka tubuh salah seorang korban dari pertempuran itu pun telah diusung dibawa ke banjar sebelum dikuburkan secara wajar.

Ketika Paksi kemudian beringsut meninggalkan pasar itu, maka ia masih melihat dua orang yang dikenalnya dari Perguruan Sad. Mereka mengenakan ciri-ciri mereka sebagaimana pernah dilihat oleh Paksi sebelumnya.

Tetapi kedua orang itu tidak berbuat sesuatu. Bahkan ketika keduanya lewat di sebelah Paksi yang berdiri termangu-mangu, Paksi mendengar salah seorang dari mereka berdesis, “Perempuan-perempuan dari Perguruan Goa Lampin itu memang keterlaluan. Mereka merasa terlalu kuat, sehingga mereka berbuat sesuka hati mereka tanpa menghormati perguruan-perguruan yang lain.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya orang-orang dari Perguruan Sad juga menganggap orang-orang dari Perguruan Goa Lampin itu berbuat tanpa menghiraukan dan apalagi menghormati kehadiran perguruan yang lain. Bahkan sejak semula sudah menunjukkan sikap bermusuhan.

Tetapi Paksi tidak menunggui perkembangan keadaan di pasar itu lebih jauh. Menurut pendapatnya tidak ada lagi yang penting yang bakal terjadi. Sehingga karena itu, maka Paksi itu pun segera meninggalkan pasar itu dan kembali ke gubuk kecilnya.

Di gubuknya Paksi sempat merenungi pisau belati yang dibawanya itu. Pada daun pisau itu masih nampak membekas darah yang sudah mengering.

Ternyata pada senjata orang-orang dari Goa Lampin pun tidak terdapat ciri-ciri perguruan itu. Tidak ada lingkaran yang dibelah dengan garis tegak berwarna merah.

Tetapi Paksi memakluminya. Jika sesuatu terjadi sehingga senjata itu diketemukan oleh orang lain, maka mereka tidak segera menghubungkannya dengan Perguruan Goa Lampin.

“Tetapi mereka berbangga dengan ciri-ciri perguruan mereka,” berkata Paksi di dalam hatinya.”Sehingga karena itu, maka ciri-ciri perguruan mereka itu selalu melekat pada setiap orang dari Perguruan Goa Lampin itu.”

Selagi Paksi merenungi senjata itu, maka sebuah pertanyaan telah terbersit di dalam hatinya, “Untuk apa sebenarnya orang-orang Goa Lampin itu mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu? Apakah salah seorang di antara mereka akan memakainya dan berharap untuk dapat menurunkan penguasa di atas bumi ini?”

Namun Paksi pun kemudian berdesis, “Semakin banyak orang yang mencarinya, maka harganya pun tentu menjadi semakin mahal. Mungkin seseorang, sekelompok orang atau sebuah perguruan mencari cincin itu untuk dapat dijualnya dengan harga mahal. Atau seseorang telah mengupah mereka untuk mendapatkan cincin itu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya adalah salah seorang yang ingin mendapatkan cincin itu. Bahkan ayahnya juga telah memerintahkan beberapa orang mencarinya selain Paksi itu sendiri.

Tetapi apa yang dapat dilakukan Paksi setahun yang lalu. Sementara orang-orang berilmu tinggi, bahkan sekelompok orang dan perguruan-perguruan menurunkan orang-orangnya untuk melakukannya pula.

Seandainya Paksi tidak bertemu dengan Ki Marta Brewok, maka Paksi tidak akan lebih beruntung dari seekor serangga yang menyurukkan diri ke dalam api.

“Kenapa ayah telah memerintahkan aku untuk mencarinya?” bertanya Paksi di dalam hatinya sebagaimana pertanyaan yang sudah muncul setahun yang lalu di kepalanya. Bahkan ibunya pun pernah berkata, mungkin di luar sadarnya, bahwa ayahnya sengaja mengusirnya dari rumah.

“Kenapa ayah berbuat seperti itu?”

Tetapi Paksi mencoba menenteramkan hatinya sendiri, “Mungkin waktu itu ayah benar-benar kebingungan. Ayah ingin segera mendapatkan cincin itu mendahului yang lain.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Diselipkannya pisau itu di dinding gubuk kecilnya. Kemudian Paksi pun melangkah keluar untuk melihat tanaman jagungnya.

Hari itu Paksi lebih banyak merenungi ciri-ciri dari beberapa perguruan yang telah dikenalnya. Bukan saja ciri-ciri ujudnya. Tetapi juga ciri-ciri sifat dan wataknya. Paksi juga mencoba untuk mengenali unsur-unsur gerak yang khusus nampak pada setiap perguruan itu. Perguruan Goa Lampin, Perguruan Sad dan perguruan di Alas Tegal Arang.

Namun yang pernah dikenalnya hanyalah murid-murid dari perguruan itu. Ia belum pernah melihat kemampuan para pemimpin dari perguruan perguruan itu. Apalagi pemimpin tertinggi mereka. Jika perempuan berbaju lurik coklat itu adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Goa Lampin, maka ia baru melihat orangnya. Belum kemampuannya.

Namun dengan demikian, maka Paksi pun telah terdorong untuk lebih mematangkan ilmunya. Ia harus meyakinkan dirinya, bahwa ia pantas untuk turun ke gelanggang perburuan cincin bermata tiga butir batu akik itu.

Ketika malam turun, Paksi duduk di atas sebuah batu yang besar memandang ke arah yang jauh. Langit bersih dan bintang-bintang pun menghambur sampai ke ujung cakrawala.

Di sejuknya semilirnya angin, maka Paksi telah mengambil satu keputusan untuk menempuh satu perjalanan pendek di kaki Gunung Merapi itu. Ia dapat menempuh perjalanan dua atau tiga hari untuk melihat-lihat keadaan yang lebih luas dari sekedar menyusuri jalan singkat dari gubuknya ke pasar dan sebaliknya.

Namun Paksi pun menyadari, bahwa di sekitar tempat itu sudah bertebaran orang-orang yang sedang mencari cincin bermata tiga butir batu akik. Mereka merasa dituntun oleh cahaya ndaru yang turun dari langit di sekitar tempat itu.

Malam itu paksi telah mempersiapkan dirinya. Ia sudah membenahi gubuk kecilnya yang akan ditinggalkannya untuk beberapa hari. Paksi sudah mencuci alat-alat dapurnya dan menumpuknya di sudut. Selebihnya, rumah itu tidak berisi apa-apa lagi.

Malam itu Paksi tidak membuat perapian. Ia tidak menyiapkan makannya buat esok, karena esok ia tidak akan berada di gubuknya.

Ketika malam beredar sampai menjelang fajar, maka Paksi pun telah bangun. Berbenah diri dan bersiap untuk menempuh perjalanan untuk dua atau tiga hari.

Ketika Paksi sudah siap untuk berangkat, maka rasa-rasanya sesuatu telah bergayut di hatinya. Ia sudah lama tinggal di gubuk itu. Ketika ia akan meninggalkannya, meskipun hanya untuk dua tiga hari, hatinya menjadi berat. Gubuk itu tentu akan menjadi kesepian. Tidak akan terdengar derit pintu. Tidak ada asap mengepul di malam hari. Tidak akan ada lampu dlupak kecil menyala di dalamnya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian kakinya telah melangkah meninggalkan gubuknya itu. Tangannya menjinjing tongkat yang diberikan oleh pengemis tua itu kepadanya.

Paksi menyentuh kampil berisi bekal uang yang dibawanya dari rumahnya. Masih cukup banyak. Selama tinggal di gubuknya, Paksi seakan-akan telah mencukupi kebutuhannya. Hanya bahan-bahan pokoknya sajalah yang dibelinya di pasar. Ketika jagung, ketika pohon dan tanaman-tanamannya mulai berbuah, maka Paksi dapat lebih banyak menghemat. Apalagi Paksi dapat berburu binatang di hutan atau mencari ikan di kedung atau dengan kemampuan bidiknya mencari burung-burung liar yang berterbangan di antara pepohonan.

Agar kampil itu tidak banyak dilihat orang, maka Paksi telah mengikat kampil di bawah bajunya. Ia hanya menyiapkan uang secukupnya di kantong ikat pinggangnya.

Pagi-pagi sekali Paksi sudah berada di pasar. Penjual nasi tumpang yang juga sudah berada di pasar itu pun bertanya, “Kau datang lebih awal dari kebiasaanmu, anak muda?”

Paksi tertawa. Dengan berbisik ia berkata, “Aku lapar sekali semalam. Karena itu, pagi-pagi aku sudah berangkat ke pasar.”

Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, “Jadi kau akan membeli nasi tumpang sekarang?”

Paksi mengangguk sambil tersenyum.

Sambil duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu Paksi makan sepincuk nasi tumpang yang masih hangat. Namun Paksi sempat juga bertanya, “Apakah Kinong belum nampak?”

“Belum,” jawab penjual nasi tumpang itu.”Sebentar lagi.”

Paksi mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ketika ia sudah selesai dan membayar harga nasi yang dimakannya, Paksi berkata, “Biarlah aku titip kembalinya. Jika Kinong datang, berikan saja kepadanya.”

“Semuanya?” bertanya penjual nasi itu.

“Tidak sekaligus. Mungkin untuk dua atau tiga hari.”

Penjual nasi itu mengerutkan dahinya. Sementara Paksi pun bangkit sambil berkata, “Sudahlah. Aku sudah kenyang.”

“Kau akan pergi ke mana?”

“Aku akan pergi ke rumah paman.”

“O, jadi bukan sekedar kelaparan?”

Paksi tertawa. Katanya, “Aku akan berada di rumah paman dua atau tiga hari.”

Paksi pun kemudian meninggalkan penjual nasi tumpang itu. Ketika di depan regol pasar ia berpapasan dengan penjual dawet yang baru datang, maka penjual dawet itu pun menyapanya, “He, masih sepagi ini kau sudah berada di sini. Bukankah biasanya kau datang setelah matahari sepenggalah?”

Paksi tersenyum. Katanya, “Aku hanya singgah. Aku akan pergi ke rumah paman.”

“Kau tidak minum dawet?”

“Masih terlalu pagi,” jawab Paksi sambil tertawa.

Beberapa orang yang sudah dikenalnya di pasar itu telah menyapanya pula. Dan Paksi pun menjawab sebagaimana dikatakan sebelumnya, “Aku pergi ke rumah paman.”

Demikianlah, Paksi sudah mulai menempuh sebuah perjalanan untuk melihat keadaan di sekitar tempat tinggalnya. Sebelum ia benar-benar melanjutkan usahanya untuk mencari cincin yang hilang dalam sebuah pengembaraan yang panjang dan keras.

Paksi memilih jalan ke arah selatan, melingkari kaki Gunung Merapi. Paksi tidak saja berjalan melalui jalan yang sudah banyak dilalui orang. Tetapi sesekali Paksi berjalan menyusuri jalan di pinggir hutan, menuruni lembah dan melintasi padang perdu yang berbatu-batu padas.

Lewat tengah hari Paksi memasuki sebuah padukuhan yang tidak terlalu besar. Padukuhan yang agak terpencil di kaki gunung.

Ketika Paksi lewat di jalan induk padukuhan itu, maka orang-orang yang kebetulan berpapasan atau sedang berada di halaman, memandanginya seperti memandang sesuatu yang sangat asing bagi mereka.

Tetapi Paksi berjalan saja terus. Agaknya jarang sekali padukuhan itu dilewati oleh orang lain, sehingga jika seseorang yang tidak mereka kenal lewat, maka orang itu akan sangat menarik perhatian.

Dari padukuhan yang terpencil itu Paksi berjalan terus. Jalan masih saja terasa menurun. Namun hamparan-hamparan sawah menjadi semakin luas. Meskipun demikian, di wajah cakrawala masih nampak hijaunya hutan yang menyelimuti kaki Gunung Merapi.

Ketika matahari mulai turun, Paksi melewati sebuah padukuhan yang agak besar. Di ujung padukuhan terdapat sebuah pasar sudah sepi. Pasar itu memang tidak terlalu besar yang agaknya hanya menjadi ramai di setiap hari pasaran.

Di sekitar pasar itu tidak terdapat sebuah kedai pun. Sedangkan pagarnya yang terbuat dari bambu sudah rusak di sana-sini.

Paksi berhenti di dekat regol pasar. Agaknya memang sudah tidak ada orang lagi di pasar itu kecuali satu dua orang yang agaknya bertugas membersihkan sampah yang tertinggal. Namun

Paksi masih melihat sebuah pedati berhenti di depan pasar itu. Dua orang masih sibuk memuat kelapa ke atas pedati. Nampaknya mereka adalah pedagang kelapa yang membeli kelapa di pasar itu dan membawanya ke pasar yang lain atau kepada orang-orang yang membuat minyak kelapa.

Tetapi selain mereka, ternyata Paksi masih melihat seorang perempuan yang duduk di atas sebuah batu tidak jauh dari pedati itu. Seorang perempuan yang menundukkan kepalanya sambil sekali-sekali mengusap matanya.

Perempuan itu ternyata telah menarik perhatian Paksi. Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, Paksi telah melangkah mendekati perempuan itu.

Perempuan yang sudah separo baya itu menengadahkan wajahnya. Ketika ia melihat Paksi, tiba-tiba saja wajahnya memancarkan harapan. Dengan serta-merta perempuan itu bangkit mendekati Paksi sambil berkata, “Anak muda. Kau tentu memerlukan selembar kain lurik. Aku menjual sehelai kain lurik. Bukan kain yang baru. Tetapi jenisnya termasuk kain yang baik.”

Paksi mengerutkan dahinya. Sebelum ia menjawab, perempuan itu berkata pula dengan nada meminta, “Tolong aku, anak muda. Pedagang kelapa itu tidak mau membelinya. Orang-orang yang lain juga tidak mau. Sedangkan aku sangat membutuhkan uang.”

Paksi tidak dapat menolak ketika perempuan itu menyorongkan sehelai kain lurik kepadanya.

“Belilah, Ngger.”

Paksi masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu wajah perempuan yang semula memancarkan harapan itu pun kembali menjadi suram.

“Bagaimana, Ngger?” bertanya perempuan itu.

Sementara itu, kedua orang yang menaikkan kelapa ke dalam pedatinya itu pun sudah selesai. Terdengar cambuk meledak. Dan pedati itu pun mulai bergerak.

“Kenapa Bibi menjual kain ini?” bertanya Paksi.

“Kami memerlukan uang, Ngger.”

“Untuk apa?” bertanya Paksi.

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Kemudian dengan nada berat ia pun menjawab, “Bukankah kami memerlukan makan.”

“Selama ini, apakah yang Bibi makan bersama keluarga? Hasil sawah atau apa?”

Perempuan itu memandang Paksi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Paksi menjadi heran melihat sikap perempuan itu. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin tertarik. Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Duduklah, Bibi. Mungkin kita akan berbincang agak panjang.”

Perempuan itu pun kemudian duduk kembali di atas batu, sementara Paksi pun duduk pula di sebelahnya.

“Keadaan Bibi menimbulkan beberapa pertanyaan di hatiku.”

Perempuan itu menunduk dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mulai terisak.

“Apa yang terjadi, Bibi?” bertanya Paksi.

Perempuan itu mencoba untuk menahan perasaannya. Sambil mengusap matanya ia berkata, “Kami telah terjerumus ke dalam kesulitan yang besar, Ngger.”

“Maksud Bibi?” bertanya Paksi.

Perempuan itu memandang berkeliling, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Sikap perempuan itu tidak luput dari pengamatan Paksi pula.

“Ngger,” berkata perempuan itu, “aku belum mengenal Angger sebelumnya. Tetapi entahlah, tiba-tiba saja timbul kepercayaanku kepadamu.”

Paksi menarik nafas panjang. Sambil mengusap matanya perempuan itu berkata, “Kami telah tersesat, Ngger. Sebenarnya kami akan pergi ke Kembang Arum. Tetapi kami tidak tahu, di mana kami sekarang berada.”

“O, jadi Bibi telah tersesat. Siapa sajakah yang Bibi maksud dengan kami? Bibi dan siapa lagi?”

“Aku dan kemenakanku, Ngger. Seorang gadis. Setelah ayah dan ibunya hilang beberapa saat yang lalu, maka anak itu berniat mencari pamannya, kakak kandung ayahnya yang tinggal di Kembang Arum. Tetapi sampai di sini kami tidak tahu, ke mana kami harus pergi.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya dengan suara lembut, “Bibi. Jika hanya karena itu, maka Bibi tidak terjerumus ke dalam kesulitan yang besar. Aku akan bersedia mengantar Bibi mencari padukuhan yang bernama Kembang Arum.”

“Menurut keterangan, Kembang Arum terletak di sisi selatan kaki Gunung Merapi, Ngger.”

“Jika demikian, kita sudah tidak terlalu jauh lagi dari tujuan.”

“Tetapi persoalannya tidak hanya sampai di situ, Ngger.”

“Maksud Bibi?”

“Ketika kami berdua kebingungan dan kehilangan jalan, kami telah bertanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat. Laki-laki itu dengan manis menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Namun menurut laki-laki itu, Kembang Arum masih sangat jauh. Karena itu, dengan ramah laki-laki itu mempersilahkan kami singgah dan beristirahat di rumahnya. Laki-laki itu bahkan bersedia untuk mengantar kami di keesokan harinya ke Kembang Arum.”

“Ada soal apa lagi yang timbul, Bibi?”

“Ternyata laki-laki itu bukan seorang yang berhati manis sebagaimana wajahnya. Ia telah menahan kami di rumahnya. Bahkan orang itu memaksa kemenakanku untuk bersedia menjadi isterinya meskipun kemenakanku itu masih terlalu muda untuk menikah.”

“Bukankah kemenakan Bibi itu dapat menolak?”

“Ya. Kemenakanku memang menolak. Tetapi ia sudah berada di tangan laki-laki yang ternyata adalah laki-laki yang garang. Bahkan isterinya juga seorang perempuan yang keras dan kasar. Isterinya juga ikut memaksa agar kemenakanku itu bersedia menjadi isteri suaminya yang garang itu.”

“Bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya paksi.

“Kemenakanku tetap menolaknya. Tetapi laki-laki itu bersama isterinya tetap berkeras. Mereka memberi waktu sebulan. Sementara itu selama kami berada di rumahnya, kami harus menyediakan makan dan minum kami sendiri. Karena itu, maka aku harus menjual apa saja yang ada pada kami.”

“Kenapa kalian tidak pergi saja?” bertanya Paksi.

“Kami tidak dapat meninggalkan rumah itu, Ngger. Kami disekap di dalam rumah itu dengan berbagai macam ancaman. Mereka berharap jika kami sudah tidak dapat makan dan minum, maka agar kami tidak menjadi kelaparan, kemenakanku itu akan bersedia menjadi isteri laki-laki yang garang itu. Bahkan mungkin menurut sifat dan wataknya, jika ia tidak lagi dapat menahan nafsunya, sesuatu yang sangat buruk akan dapat terjadi dengan kemenakanku itu.”

“Bibi pernah minta bantuan kepada seseorang?” bertanya Paksi.

“Tidak seorang pun berani menolong kami. Bahkan seorang yang kami harap bersedia menolong kami telah memberitahukan kepada orang itu.”

“Siapakah laki-laki yang telah menyekap kemenakan Bibi di rumahnya itu?”

“Ternyata ia seorang pemimpin sebuah gerombolan penjahat. Namanya Bahu Langlang. Seorang yang sangat ditakuti. Kami memang sudah tidak mempunyai harapan untuk terlepas dari tangannya,” suara perempuan itu bergetar. Matanya menjadi semakin basah. Bahkan isaknya mengeras. Katanya pula, “Aku bertanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba saja ia bangkit dan mendekati salah seorang yang sedang membersihkan pasar itu sambil bertanya, “Apakah Ki Sanak tahu, dimanakah letak Padukuhan Kembang Arum itu?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ambil jalan ke selatan ini, anak muda. Kau akan sampai pada sebuah gumuk kecil. Kemudian kau berbelok ke kanan. Jika kau berani menempuh jalan pinggir hutan, maka Kembang Arum tidak lagi terlalu jauh. Tetapi jika mengambil jalan melingkar, maka sekitar tengah malam kau baru akan sampai.”

“Jadi, Kembang Arum sudah tidak terlalu jauh, Ki Sanak?” bertanya Paksi lagi.

“Tidak terlalu jauh. Tadi, pedagang kelapa yang membawa pedati itu adalah orang Kembang Arum.”

Perempuan separo baya yang mendengar keterangan itu pun tiba-tiba bangkit pula. Namun ia menjadi lemas kembali. Bagaimanapun juga, kemenakannya telah terkurung dan tidak dapat meninggalkan rumah Bahu Langlang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar