Golok Bintang Tujuh Bab 10 : Penghuni Muda Pulau Angin Pujuh Jang Disegani (Tamat)

KEDATANGANNJA Kim Lo Han biarpun tidak diketahui oleh Pui Siauw Beng jang sedang melamun, tapi tidak lepas dari persiapannja sipemuda mulut ketjil jang memasang mata, ia mengeluarkan suara dingin 'Hm' dan memperhatikan apalagi jang akan terdjadi.

Kim Lo Han tidak tahu sedang diintjar orang, ia duduk dengan lagak sombong, dihadapinja Tjoa Tay Kiong dan berkata:

“Saudara Tjoa, maksudku mengundang kemari ialah ingin meminta belati hitam jang ketinggalan itu. Apa kau telah membawanja sekalian?”

Tjoa Tay Kiong heran, ia menjangka belati hitam telah ditjuri oleh hweshio ini, tidak tahunja orang masih meminta lagi, maka ia kesal dan berkata:

“Kau djangan bergurau!”

“Siapa jang kesudian bergurau dengaa dirimu?” Berkata Kim Lo Han. “Pada 6 tahun jang lalu, karena sedang mengintjar obat 'Tjian lian-soat som' dan kitab 'Kun lun- sin-sie', aku telah melupakan belati hitamnja Kun lun-pay. Kini teringat kembali, tentu sadja aku meminta lagi. Lekaslah kau keluarkan untuk diserahkan.”

Tjoa Tay Kiong harus membongkar dugaannja semula, kini ia tahu bukan Kim Lo Han jang mentjuri belati hitam, maka ia memberikan pendjelasan berkata:

“Sajang kedatanganmu sudah telat. Belati hitam telah ditjuri orang pada 3 hari berselang.”

Kim Lo Han mana pertjaja? Alisnja bergerak bangun, ia marah dan membentak:

“Tjoa Tay Kiong, bukalah matamu dahulu. Siapa jang kini sedang kau hadapi? Berani kau menjimpan barang jang telah kuintjar?”

Dan untuk menambah kegarangannja, Kim Lo Han mengangkat telapak tangan lebarnja jang siap menggebrak medja.

Pui Siauw Beng mengkerutkun kening, ia tidak ingin Tjoa Tay Kiong mendapat malu, sedianja ia siap turun tangan atau tiba2 sadja dilihatnja si pemuda bermulut ketjil menggerakkan tangan dan satu titik hitam meluntjur kearah medja Tjoa Tay Kiong sekalian dan tepat sekali berhenti dimana tempat jang mau digebrak oleh Kim Lo Han tadi.

Kim Lo Han tidak menjangka ada orang jang berani mengusik-usik dirinja jang mendapat djulukan salah satu dari 4 Manusia Imperialis Muda. Apa lagi datangnja benda hitam ini luar biasa tjepatnja, tidak bersuara dan tidak ada pertandaannja, gerakan Kim Lo Han djuga sebat dan tjepat, maka begitu benda hitam djatuh disana, tangannjapun bergebrak dan 'Aduh!' Kim Lo Han membal dan berteriak- teriak:

Ternjata benda hitam itu adalah bibit bentjata jang dilontarkan oleh sipemuda mulut ketjil!

Tjoa Tay Kiong jang melihat Kim Lo Han mendjadi marah, sudah siap, tidak disangka sebelum ia bergebrak sudah terdjadi kedjadian jang seperti ini. Kim Lo Han lompat berdjingkrak-djingkrak dan mulut berteriak-teriak. Ternjata sipemuda mulut ketjil sudah menalangi memberikan gandjarannja.

Kim Lo Han jang menderita kekalahan tidak kepuguhan mana mau mengerti? Mulutnja tidak berhenti memaki 'Tjetjunguk' 'Bedebah' 'Kunjuk' 'Babi' dan mnkian2 jang bermatjam-matjam lagi. Dilihatjya pemuda Pui Siauw Beng jang paling dekat dengannja, maka semua kemarahan sudah didjatuhkan keatas dirinja sipemuda, maka dengan keras membentak:

“Binatang ketjil, masih enak2 sadja kau memakan nasi?”

Tangannja diajun dan memukul.

Tjoa Tay Kiong mempunjai pedoman hidup dengan asas2 tudjuan dan mementingkan amanat penderitaan rakjat, maka melihat ada orang jang mau dihina mentah2, tjepat ia berteriak:

“Hei, kau djangan sembarang menimpa kesalahan kepada sembarang orang. Hadapilah aku siorang she Tjoa terlebih dahulu.”

Tapi gerakannja Pui Siauw Beng ada lebih tjepat dari perkataan jang diutjapkan orang, dengan enak ditjomotnja daging dimangkuk jang segera didjedjalkan kemulut Kim Lo Han a jang berteriak peratjat perotjot, kemudian badannja bergerak meninggalkan kursi duduk di medjanja.

'Bum' dan 'Braak', pukulan Kim Lo Han dengan tepat telah menghantjurkan kursi dan medja jang sipemuda duduki maka berantakanlah piring mangkuk serta sajur majur diatas medja.

Pui Siauw Beng tidak puas dengan sikapnja Kim Lo Han jang sombong dan angkuh, apa lagi setelah mengetahui bahwa Kim Lo Han adalah salah satu dari 4 Manusia Imperialis Muda, seperti umum memahami, manusia imperialis itulah jang paling djahat di dalam dunia, mereVk selalu membuat kekatjauan dan kebobrokan dunia, tidak perduli ia manusia imperialis tua atau manusia imperialis muda, mereka tetap harus diganjang djuga. Tidak menunggu sampai Kim Lo Han sempat mengeluarkan daging jang disumpalkan kedalam mulutnja, Pui Siauw Beng sudah memberikan persen barunja dan mendorong pergi.

'Buk', Kim Lo Han terdorong djatuh. Berbareng ia memuntahkan daging sumpalan dimulut dan berteriak kalang kabut.

“Binatang tjetjunguk, berani kau mempermainkan tuan besarmu? Kau belum tahu akan lihaynja tjara manusia imperialis bekerdja, he? Awaslah dengan batok kepala ketjilmu itu.”

Pui Siauw Beng tertawa Puas. “Ha, ha, ha.” Memang sangat lutju melihat kelakuannja Kim Lo Han jang telah dibuat permainan olehnja.

Tidak demikian dengan sipemuda mulut ketjil, ia mengeluarkan suara dari hidung 'Hm' dan tetap duduk ditempatnja.

Tjepat Kim Lo Han merangkak bangun, dengan menuding-nudingkan djari tangan kearah Pui Siauw Beng, ia membentak:

“Binatang ketjil, kau orang dari golongan mana? Dan apa kau punja nama?”

Wah! Pertanjaan jeng sangat menjulitkan sipemuda. Nama 'Pui Siauw Beng' tidak boleh sembarang disebut, nama ini akan mengakibatkan kegemparan dunia, maka setelah berpikir sebentar, karena mengingat golok bintang tudjuhnja jang aneh, ia membusungkan dada berkata:

“Aku bernama Khong Tjit To.”

Arti dari 'Khong Tjit To' jalah 'Golok dengan tudjuh lubang' atau boleh djuga diartikan dengan 'Golok bintang tudjuh'.

Pui Siauw Beng masih belum puas dengen menjebut namanja mendjadi 'Khong Tjit To', ia takut orang buta hurup atau buta bahasa, karenanja mungkin tidak mengarti dengan arti dari 'Khong Tjit To' itu. Serentak dikeluarkan djuga golok pusaka pulau Angin Pujuhnja jang terdapat tudjuh bintang itu, dan 'Sret' ia mengeluarkannja dan berkata:

“Tentang golongan, inilah jang mendjadi pertandaan dari golonganku!”

Muntjulnja golok bintang tudjuh membuat Kim Lo Han mendjadi putjat, manusia imperialis muda tentu sadja harus tunduk kepada manusia imperialis tua, ia tjukup tahu siapa jang mendjadi pemilik golok bintang tudjuh, maka dengan badan gemetaran, tidak berani ia banjak lagak pula.

Muntjulnja golok bintang tudjuh bukan sadja telah menggegerkan Kim Lo Han seorang diri, banjak tamu di dalam rumah makan segera bangun berdiri, mereka membajar rekening makanan dengan segera dan berdjalan pergi. Satu persatu meninggalkan ruangan rumah makan jang sebentar sadja sudah mendjadi sepi.

Kini disana tinggal 5 orang lagi, mereka adalah Pui Siauw Beng, Kim Lo Han, Tjoa Tay Kiong, Tjoa Tay Hiong dan sipemuda mulut ketjil jang mempunjai njali tidak ketjil.

Golok bintang tudjuh bagaikan satu pertandaan maut sadja sehingga dapat menakutkan semua orang, kedjadian ini sungguh berada diluar dugaan Pui Siauw Beng jang belum tahu siapa adanja sinenek tua jang berwadjah welas asih. Maka dilihatnja Kim lo Han masih gemetaran, maka tjepat sekali ia membentak lagi:

“Hei, hweshio galak, kau mengapa? Apa kau belum kenal dengan golok ini?”

Kim Lo Han memanggutkan kepala gundulnja, tjepat sekali ia berkata:

“Kenal.”

Pui Siauw Beng tertawa, maka ia memberi perintah:

“Bila kau kenal. Maka mulai dari ini hari kau tidak boleh mengganggu Tjoa Tayhiap lagi, mengarti?”

“Mengarti.”

“Bila kau sudah mengarti. Pergilah segera!”

Bagaikan ajam djago jang kalah bertanding, ngelojorlah hwesjop berjubah kuning ini.

Pemuda bermulut ketjil memperhatikan dari tempatnja, tidak henti2 ia mengeluarkan suara dari hidung 'Hm' 'Hm', ia seperti tidak memandang mata atas kelakuan siapapun djuga.

Pui Siauw Beng tidak memperdulikan Kim Lo Han jang berdjalan pergi, dia djuga tidak mau ambil pusing dengan suara dari hidungnja si pemuda bermulut ketjil, ia hanja tidak mengarti mengapa semua orang menakuti golok bintang tudjuhnja seperti menghadapi sesuatu jang seram.

Jah! Soal ini dikernakan ia tidak tahu siapa adanja si nenek tua penghuni pulau Angin Pujuh jang pandai menjembunjikan muka aslinja. Maka ia bingung dan terdjadilah drama di belakang ini tjerita.

Tjoa Tay Kiong djuga merasa keheraan bila disuruh berhuhungan dengan satu anak muridnja manusia2 imperialis, betul ia berhutang budi karena ditolong olehnja, tapi tidak mau ia di Tjap orang, tjepat sekali ia mengadjak adiknja mau meninggalkan rumah makan.

Pui Siauw Beng sungguh mati tidak mengarti, sinenek tua di pulau Angin Pujuh jang baik hati itu mengapa dapat ditakuti orang seperti ini? Maka melihat Tjoa Tay Kiong mau lari, tjepat ia mentjegah dan memanggil:

“Tjoa Tayhiap!”

Tjoa Tay Kiong membalikan kepala, dengan wadjah jang muram menanja: “Khong siao-to-tju ada perintah apa?”

'Khong siao-to-tju berarti Tuan muda she Khong' atau 'Penghuni muda dari sesuatu pulau jang dikuasainja'. Tjoa Tay Kiong memanggil orang dengan sebutan seperti ini karena agak takut terhadap keangkerannja golok bintang tudjuh jang dipegang oleh sipemuda.

Didalam hati Pui Siauw Beng mengeluh, “Aaaa, tentunja ia sudah melupakan diriku!”. Maka iapun memberikan hormatnja dan berkata:

“Tjoa Tayhiap, aku ingin pergi keperkampungan Sam-kiong San-tjhung menjambangi makam ibuku.”

Tjoa Tay Kiong bingung dan heran, tapi sebentar sadja ia sudah mengarti siapa pemuda dihadapannja, maka tjepat sekali ia berkata:

“Aaaa… Ternjata kau anak jang dahulu itu? Kiranjakau she Khong? Bernama Tjit To?”

Pui Siauw Beng tidak ambil pusing dengan nama panggilan palsu belaka, ia hanja girang karena orang masih kenal dan tidak melupakan dirinja. Dergan memanggutkan kepala iapun berkata:

“Tjoa Tayhiap, ternjata kau belum melupakan diriku!.”

Sampai disini, pemuda bermulut ketjil sudah dapat menduga siapa adanja sipenghuni muda dari pulau Angin Pujuh ini, sekali lagi ia mengeluarkan suara dari hidung 'Hm' dan berdjalan pergi.

Pui Siauw Beng menoleh kearah sipemuda tjakap bermulut ketjil, seperti wanita jang hanja pandai meogeluarkan suara dari hidung itu dan menanja kepada Tjoa Tay Kiong jang disangka kenal dengannja:

“Tjoa Tayhiap, pemuda itu kawanmu barangkali?”

Tjoa Tay Kiong menggeleng-gelengkan kepala, dengan tidak bersemangat ia berkata:

“Baru pertama kali ini aku melihatnja. Agaknja ia djuga dapat mengenali asal usul golok bintang tudjuhmu itu, aku pertjaja ia muridnja seorang tokoh pandai djuga.”

Baru pertama kali ini Tjoa Tay Kiong bitjara dengan ogah2an, biasanja ia berani menantang segala kedjahatan, maka biarpun terhadap manusia jang sematjam Kim Lo Han djuga berani manantang. Tidak demikian terhadap Pui Siauw Beng jang dahulu mau diambil mendjadi anak pungutnja, kini orang sudah berubah mendjadi penghuni muda dari pulau Angin Pujuh, kedjadian inilah jang paling disajangkan olehnja.

Pui Siauw Beng djuga dapat melihat perubahannja djago Sam kiong San-tjhung ini, maka dengan tulus ia berkata:

“Tjoa Tayhiap, pada 6 tahun jang lalu, dengan sekuat tenaga kau telah membela diriku. Bahkan telah tolong menguburkan djenazah ibuku, maka budimu tidak nanti dapat kulupakan, aku akan memandangmu sebagai seorang paman jang budiman.”

Tjoa Tay Kiong hanja memanggutkan kepala tidak membantah dan djuga tidak berani menentang.

“Tjoa Tayhiap,” Pui Siauw Beng memanggil lagi. “Mengapa kau seperti mereka djuga? Anggaplah aku sebagai kemenakanmu dan katakanlah dengan terus terang,a apkah jang mendjadi sebab dari kesegananmu?”

Mendengar lagu suara orang jang sedemikian rendahnja, hatinja Tjoa Tay Kiong sampai turut terharu djuga, ia paling tidak bisa menjembunjikan sesuatu di dalam hati, maka dengan terus terang berkata:

“Khong lote, dengan bakatmu jang sebagus ini, tidak seharusnja kau mengabdi kepada sinenek djahat dari pulau Angin Pujuh.”

'Khong lote' berarti 'Saudara Khong jang terhormat', satu sebutan jang lazaim digunakan bagi seorang jang tua memanggil kaum muda jang didjundjung tinggi. Tjoa Tay Kiong menggunakan istilah ini karena masih segan terhadap nama penghuni pulau Angin Pujuh jang dimalui.

Pui Siauw Beng membelalakan matanja, bukan sekali dua kali ia merasa satu keanehan rahasia sinenek tua penghuni pulau Angin Pujuh jang baik hati kepadanja, maka untuk mengetahui apa jang terselip disini ia menanja:

“Tjoa Tayhiap, siapakah jang kau artikan dengan nenek djahat itu?”

Tjoa Tay Kiong dan Tjoa Tay Hiong saling pandang sedjenak, mereka tidak mengarti atas sikapnja sipemuda. Maka tidak berani mereka lantjang bitjara.

“Toako.” Tjoa Tay Hiong memetjah kesunjian. “Buat apa kau melajaninja? Mari kita segera pulang sadja!”

Tapi» Tjoa Tay Kiong menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak”* Katanja tegas. “Segala akibat dan tanggung djawab akan kupikul sendiri, Utjapan jang berada didalam hatiku tidak mungkin dapat tidak dikeluarkan untuknja.”

Mendengar utjapan jang setegang seperti tadi, Pui Siauw Beng bertambah tidak mengarti, 'Akibat' apakah jang dapat ditimbulkannja? 'Tanggung djawab' apakah jang ada karena mengutjapkan beberapa patah kata sadja? Sungguh keliwatan sekali djika dirinja dianggap seperti satu manusia terdjahat jang dapat membunuh setiap manusia lain jang mengutjapkan kata2 salah atau kata2 jang tidak mentjotjokinja.

Tentu sadja Pui Siauw Beng tidak tahu bahwa manusia jang ditakuti jalah Mo-mu Oen-hun, simanusia imperialis pertama, dan bukan dirinja. Dan karena inilah jang menjebabkan kematiannja Tjoa Tay Kiong jang memegang teguh amanat penderitaan rakjat.

“Khong lote,” terdengar Tjoa Tay Kiong bitjara untuk penghabisan kalinja. “Aku mengatakan bahwa dengan bakatmu jang sebagus itu tidak seharusnja mengabdi kepada Mo-mu “

Sedari tadi, Tjoa Tay Hiong jang takut nanti sudah mengulap-ulapkan tangan mentjegah toakonja bitjara terus, tapi Tjoa Tay Kiong tidak memperdulikan dan bitjara dengan tjepat, sampai disini mendadak sadja Tjoa Tay Kiong seperti menemukan sesuatu apa jang menjeramkan, ia tidak dapat meneruskan pembitjaraannja dan terputusan dengan segera.

Tjoa Tay Hiong memperhatikan kedjadikan apa jang akan menimpa toakonja jang berani menjebut dan membongkar rahasia si manusia imperialis nomor satu, kini tiba2 dilihat sang toako tidak bitjara, ia mendjadi heran dan memanggil:

“Toako…“

Tapi Tjoa Tay Kion tidak dapat memberikan sahutan, ia masih berdiri tegak bagaikan patung hidup jang belum lama disulap.

“Toako…“ Sekali lagi Tjoa Tay Hiong memanggil.

Tetap tidak ada djawaban. Maka Tjoa Tay Hiong mendorong tubuh saudara tua dan keadjaibanlah segera terdjadi disana, tubuhnja Tjoa Tay Kiong sudah kaku dan tidak dapat bergerak, maka karena dorongan sang adik tadi, tubuh kaku ini segera djatuh telentang dan menggeletak dilantai rumah makan.

Tjoa Tay Hiong mendjerit, dan manusia pengetut ini segera lari ngiprit dengan tidak memperdulikan majat saudara tuanja lagi.

Pui Siauw Beng djuga mendjadi kaget, tjepat ia membalikkan kepala memandang apa jang menjebabkan keseraman, hanja terdengar geseran angin lewat dan apapun tidak terlihat olehnja. Sewaktu sipemuda membalikkan kepala lagi, majat Tjoa Tay Kiong sudah menggeletak dan Tjoa Tay Hiong sudah melarikan diri lenjap. Diperiksa djalan pernapasan dan nadinja Tjoa Tay Kiong, betul2 sadja djago ini sudah tidak bernjawa!

Oh, keijadian jang mengenaskan bagi Tjoa Tay Kiong jang gagah berani! Ia harus terbinasa hanja gara2 mau menjebutkan beberapa patah kata sadja.

Terpaksa Pui Siauw Beng mengangkat majatnja Tjoa Tay Kiong, dipandangnja seluruh raangan rumah makan, dan kini sepi sunji mengarungi suasana. Tidak ada sebutir manusia lagi disana.

Diperiksa sekali lagi, apa jang menjebabkan kematian Tjoa Tay Kiong, dan kini dilihat diatas atap rumah makan ini terdapat lubang ketjil, lubang itulah jang diduga mendjadi lubang kematian.

Budi Tjoa Tay Kiong pada 6 tahun jang lalu tentu tidak mudah terlupakan, djago inilah jang dianggap paling menjajang dirinja, tidak disangka ia harus menerima kebinasaan dihadapannja.

Orang jang paling menjajang dirinja mungkin ajah atau ibu kandung sendiri, sajang Pui Siauw Beng tidak mengetahui asal usul ajahnja, dan ibunjapun telah terbinasa. Maka rahasia tentang ajahnja tidak dapat diketahui sehingga kini.

Soal rahasia ajahnja, mungkin wanita djelek Yap Yang Hong jang mendjadi murid si Kilat Hidup Ang-tjiang Tjouw-su dapat mengetahtahui, tapi entah dimana kini?

Setelah ajah dan ibunja serta Tjoa Tay Kiong, orang jang paling menjajang dirinja harus terhitung itu nenek tua dipulau Angin Pujuh… Tapi berpikir sampai disini, hatinja sipemuda harus bertanja kepada diri sendiri:

“Betulkah nenek welas asih itu orang jang baik budi?”

“Tentu sadja!” Djeritan kalbu Pui Siauw Beng mendapat pikirannja.

“Tapi, mengapa Tjoa Tay Kiong dan sekalian orang takut padanja?” Demikian tanja suara diri sendiri.

“Mungkin siwanita Raksasa Tan Khiong jang disalah artikan!” Pui Siauw Beng masih mencoba mendebat lagi.

Maka putusan hakim urat sjaraf memutuskan: Manusia jang ditakuti jalah si Raksaksa Wanita Tan Khiong dan bukan sinenek tua jang berwadjah welas asih.

Memikir sampai disini, hatinja Pui Siauw Beng baru mendjadi lega, tjepat ia membawa majatnja Tjoa Tay Kiong dan menudju ke perkampungan Sam-kiong San-tjhung.

Waktu mendjelang sore, saldju berpetjahan karena sinar matahari jang memanas, awan merah dan biru silang menjilang membuat pemandangan jang indah. Di saat jang seperti inilah Pui Siauw Beng harus menggendong majat penolong besarnja pada 6 tahun jang telah silam.

Djajak dari kota Peng kaug-tin dan perkampungan Sam kiong San-tjhung sedjauh 3 lie maka sewaktu sipemuda tiba disana, haripun sudah mendjadi gelap. Masih untung ada sinar bulan jang menggantikan matahari, maka tidak terlalu gelap bagi siapa jang sedang bersedih.

Pintu gerbang perkampungan tertampak bajangan jang menggendong, itulah bajangan Pui Siauw Beng dan Tjoa Tay Kiong. Pintu diketuknja beberapa kali untuk mendapat penjambutan, tidak disangka pintu gerbang telah ditutup rapat dari dalam.

Pui Siauw Beng penasaren dan berteriak:

“Buka pintu! Aku mengantarkan majat tjhungtju kalian pulang!”

Tapi para penghuni dari perkampungan Sam kiong San tjhung tidak berani membuka pintu, mereka telah mendapat laporan dari Tjoa Tay Hiong jang mengatakan sang tjhungtju atau kepala kampung telah terbinasa oleh satu pemuda djahat. Tidak perduli Pui Siauw Beng telah berteriak-teriak beberapa kali, tetap pintu gerbang ditutup menentang tetamu masuk…..

********************

Didalam perkampungan Sam kiong San-tjhung…..

Disana terlihat Tjoa Tay Hong dan Tjoa Tay Hiong dua saudara sedang merundingkan tjara untuk menghadapi sipemuda jang baru datang dari pulau Angin Pujuh.

“Dji-ko, ia telah mendjadi orang pulau Angin Pujuh, apakah jang dapat kita lakukan?” Terdengar suara simanusia pengetjut Tjoa Tay Hiong.

Tjoa Tay Hong memandang wadjah sang adik, wadjah ini putjat bagaikan majat, dperhatikannja gerak gerik orang, napasnja segal2 seperti kuda tidak dapat terbang.

“Dji-ko,” Terdengar Tjoa Tay Hiong bitjara lagi. “Toako hanja salah bitjara sadja, maka ia telah menurunkan tangan djahat dan melupakan budi kita. Maka bila kau menjuruh orang membuka pintu, ribuan orang didalam kampung Sam-kiong San- tjhung akan segera terbinasa.”

Tjoa Tay Hong menggeleng-gelengkan kepala berkata:

“Sam-te, kulihat pemuda itu tidak sedjahat seperti apa jang kau duga. Pikirlah, djika betul ia jang menganiaja toako, buat apa ia membawa majatnja pula?” “Hm,” Tjoa Tay Hiong mengeluarkan suara dari hidung. “Ia ingin menggunakan majat toako sebagai pantjingan agar kita dapat membuka pintu gerbang.”

“Djika menurut apa jang telah kau tjeritakan. Kim Lo Han kalah olehnja. Maka dengan ilmu kepandaiannja jang setinggi itu kukira tidak sukar untuknja masuk kedalam kampung dengan lompat naik dari pintu gerbang jang ditutup. Ada lebih baik kubuka mengundangnja sadja.”

“Djangan.” Tjoa Tay Hiong membantah. “Dji-ko, kau sudah tidak mementingkan djiwamu. Tapi aku masih sajang kepada djiwa andjingku.”

“Memang! Manusia jang seperti Tjoa Tay Hiong ini paling tepat dikatakan sebagai djiwa andjing, sungguh utjapan jang paling tepat sekali!

Diluar, Pui Siauw Beng sudah mendjadi tidak sabaran. Dipandangnja pintu gerbang penghadang djalan, dan dengan sekali lontjatan sadja ia sudah berhasil mentjapai puntjak tertingginja, dari sana ia masuk kedalam membuka tiang gandjalan, baru ia keluar lagi membopong majatnja Tjoa Tay Kiong jang segera dibawa masuk keruangan dalam.

Langsung dihadapi rumah tiga saudara Tjoa dan berteriak: “Lekas suruh Tjoa Tay Hong Keluar rumah!”

Tjoa Tay Hiong terpaksa harus menongolkan kepalanja dan menjapa: “Khong siao-to-tju kah jang datang?”

Sebutan 'Penghbni muda she Khong' lagi jang dipakai. Pui Siauw Beng jang pernah mendengar Tjoa Tay Kiong memanggilnja dengan panggilan ini tidak mendjadi heran, maka ia memanggutkan kepala berkata:

“Betul, disini aku mengantarkan majat Tjoa Tayhiap jang telah terbinasa.”

Di ini waktu, dari arah belakang sipemuda tiba melajang satu tmnbak jang melajang tjepat, serangan ini sungguh hebat!

Tapi Pui Siauw Beng jang telah dilatih lama oelh satu tokoh terkuat didalam dunia segera dapat mengetahui akan datangnja bokongan ini, maka tangannja dibalikan menangkis datangnja serangan tombak bokongan. Dihadapinja Tjoa Tay Hong dan membentak:

“Tjoa Tay Hong, berani kau membokong diriku?” Mukanja Tjoa Tay Hong berubah, tjepat ia membantah:

“Khong siao-to-tju, kau kira aku manusia apa? Dapat melakukan pekerdjaan jang serendah ini”“

Pui Siauw Beng memandang ke arah datangnja serangan bokongan, dan dari sana sudah terlihat kepala tikusnja seseorang jang takut mati, maka tjepat ia membentak: “Siapa jang berani memnbokong tadi? Mengapa kau masih tidak mau mengeluarkan diri?”

Dari sana muntjul Tjoa Tay Hiong, dengan keras ia berkata kepada saudaranja:

“Dji-ko, biarpun kau tidak takut mati, tapi aku masih mau hidup beberapa tahun lagi.”

Pui Siauw Beng paling bentji terhadap manusia jang seperti Tjoa Tay Hiong ini, maka tombak ditangan segera diajukan dan 'Hul' melajang ke arah Tjoa Tay Hiong jang berteriak-teriak tadi.

Tjoa Tay Hong kaget, tjepat ia berteriak:

“Khong siao-to-tju, kau “

Tapi, djalan tombak sungguh tjepat, sebentar sadja sudah 'Memantek' Tjoa Tay Hiong didindiag seberang sana, bagaikan badju berisikan manusia tergantung ditombak jang didjadikan sangkutan badjunja.

Kekagetannja Tjoa Tay Hiong sulit terlukiskan, djiwanja dirasakan melajang dan terbang, sebentar kemudian iapun merasakan badannja tergantung, maka gelagap gelugup ia berkata:

“Khong Khong… Khong…“

Tidak dapat ia mereruskan kata2nja, didalan kenjataan ia masih hidup didunia dan dipetkampungan Sam-kiong San-tjhungnja, ia hanja terpantek pada udjung tombak dan menantjap.

Pui Siauw Beng tertawa melengking, ia puas dapat memberi hadjaran kepada Tjoa Tay Hiong jang setimpal, tidak lama ia menghadapi orang dan berkata:

“Tjoa Tay Hiong, mengingat budi engkomu. Kuberi ampun kepadamu.”

Lalu membalikkan badan menghadapi Tjoa Tay Hong dan berkata:

“Tjoa djihiap, atas kelakuanku tadi, harap dapat diberi maaf.”

Tjoa Tay Hong harus menghadapi Pui Siauw Beng dengan hati berdebar-debar, kini melihat sipemuda berlaku hormat, baru ia dapat menenangkan hatinja, tidak lama setelah tenang betul, iapun berkata dan menanja:

“Khong siao to-tju, siapakah jang membunuh toakoku? Sebenarnja kau tahukah soal itu?”

Pui Siauw Beng menggeleng-gelengkan kepala berkata:

“Tjoadjihiap, didalam soal ini, sungguh aku tidak tahu siapa jang telah menurunkan tangan djahat terhadap Tjoa Tayhiap. Tapi aku berdjandji akan membongkar rahasia pembunuhan ini dan mentjari pembunuh djahat.”

“Mendapat djanji Khong siao-to-tju ini, maka legalah hati kita semua.” Tjoa Tay Hong berkata singkat.

Sampai ini waktu selesailah kesalahpahaman, maka Pui Siauw Beng segera menjerahkan majatnja Tjoa Tay Kiong dan berkata:

“Aku mau menjambangi makam ibuku sebentar, maka selamat tinggal!”

Dengan sekali endjot, badannja sipemuda melesat tinggi, kemudian dengan beberapa kali tukikan, ia telah lenjap dari pandangan Tjoa Tay Hong dan Tjoa Tay Hiong jang harus terlongong-longong…..

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar