Golok Bintang Tujuh Bab 07 : Telapak Tangan Berdarah

SANGAT kebetulan, Siauw Beng dengan gerakan 'It-ouw-put-thong' telah mengenai djalan darah 'Hong-bun' dan 'Hun-hu' berbareng, disitulah letak menghidupkannja djalan darah gagu jang dahulu ditotok sehingga mengakibatkan tidak dapat bitjaranja Tan Khiong. Maka sewaktu Tan Khiong lompat mundur dan memaki 'Binatang', perkataan ini segera terutjapkan.

Siauw Beng jang melihat sigagu dapat btjara djuga merasa bingung, diperhatikan perubahan wadjahnja Tan Khiong jang masih tidak mengarti atas apa jang telah terdjadi, maka hatinja sipemuda tergerak, tjepat ia berteriak:

“Hei, biarpun aku telah melukai dirimu, tapi luka itu telah memberi kebebasan kepadamu jang dapat berbitjara lagi. Masih berani kau membandel berkepala batu?”

Tan Khiong mempelototan mata kearah lawan mudanja dan membentak:

“Apa jang diartikan dengan 'Membandel berkepala batu'?”

Siauw Beng tidak mendjawab pertanjaannja Tan Khiong, sebaliknja ia menimang- nimang berat golok raksasanja Tan Khiong jang dapat direbut dan berkata:

“Baik, aku segera akan melemparkan golok ini kedasar laut, kemudian membiarkan kau tidak dapat bitjara untuk seumur hidup.”

Untuk menotok djalan darah gagunja Tan Khiong sehingga seumur hidup tidak dapat bitjara masih tidak mengapa, tapi untuk melemparkan golok kesajangannja jang mendjadi djiwa kedua, tentu sadja Tan Khiong mendjadi kaget, tjepat sekali ia berteriak:

“Djangan dibuang, apa jang kini kau mau?”

Siauw Beng berpikir: tudjuan menempur raksasa galak ini jalah dimaksud untuk mendjauhi gangguannja pada si nenek tua jang kini terluka, setiap hari kerdjanja Tan Khiong hanja mengatjau mereka sadja, maka merupakan satu gangguan bagi mereka jang memerlukan ketenangan, maka mendengar pertanjaan Tan Khiong, Siauw Beng berkata: “Aku menginginkan kau segera meninggalkan pulau Angin Pujuh dengan segera! Dan pergilah sedjauh mungkin, djanganlah kau mendekatinja lagi.”

Tan Khiong jang mendengar Siauw Beng mengusir dirinja mendjadi gembira, inilah berarti ia sudah dibebaskan dari tugasnja jang mendjadi pendjaga pulau Angin Pujuh jang tidak ada tumbuh2-an sama sekali.

Ternjata Tan Khiong dibawa kemari bukan atas kerelaan hati sendiri, ia telah ditotok djalan gagunja dan didjadikan budak atau pendjaga pulau Angin Pujuh oleh si nenek tua.

Didalam soal ini, sudah tentu sadja Tan Khiong tidak puas, tapi apa daja? Ilmu kepandaiannja djauh berada dibawah lawannya, maka bukan sekali dua kali ia mentjoba menandingi si nenek tua, tapi selalu ia terkalahkan sadja.

Sebetulnja, si nenek tua bukan selalu menetap di pulau tandus jang berangin keras ini, sering kali si nenek keluar dan pergi, seperti itu hari, berapa lama ia mengikuti Siauw Beng sehingga dapat membawa kemari. Djika kesempatan ini dapat digunakan baik oleh Tan Khiong, dengan mudah ia dapat melarikan diri.

Tapi Tan Khiong hanja besar badan, sebetulnya mempunjai otak jang ketjil dan butek, ia tidak ada pikiran untuk berdaja upaja untuk melarikan diri. Selalu teringatlah akan pesan si nenek tua penghuni pulau Angin pujuh sebelum meninggalkan pulau:

“Tan Khiong, baik2lah kau melatih diri seorang diri disini, bahwa suatu hari, pasti kau akan berhasil dan dapat mengalahkan diriku. Maka itu waktu, kau dapat meninggalkan pulau Angin Pujuh dengan kemenangan jang gilang gemilang, meninggalkan pulau Angin Pujuh setjara terhormat.”

Demikian, Tan Khiong melatih diri dan melatih lagi sehingga si nenek tua kembali. Ditantangnja si nenek, dengan kesudahan Tan Khiong dikalahkan lagi.

Demikian seterusnja sehingga saat ini.

Dasar Tan Khiong pandainja mengganas dan berlaku galak sadja, tapi tidak dapat memutar otak sama sekali. Seumpama Siauw Beng tidak mengusir dirinja, dapat dipastikan untuk seumur hidup Tan Khiong mendiadi budak dipulau Angin Pujuh dan akan mendjadi kuburannja disini.

Tan Khiong bergirang sebentar dan katanja:

“Untuk menjuruh aku meninggalkan pulau Angin Pujuh tidak terlalu sukar, tapi pulangkanlah golok besarku itu dahulu.”

Siauw Beng mendjadi ragu2, untuk dapat mengalahkan orang jang seperti Tan Khiong, bukanlah soal jang mudah, apa lagi diharuskan merebut golok pemetjah batunja, bagaimana djika Tan Khiong mengganas lagi? Maka lama sekali pemuda ini tidak dapat bitjara.

Tan Khiong mengetahui akan ketjurigaan orang, maka ia tertawa serta katanja: “Legakanlah hatimu. Setelah golok besar kau kembalikan kepadaku, biarpun diberi upah jang sebesar gunung, tidak mungkin aku mau menetap di pulau Angin Pujuh ini lagi.”

Ketjuali bervivere pericoloso, tidak ada djalan kedua lagi terpaksa Siauw Beng melemparkan golok besarnja Tan Khiong serta berkata:

“Baik Lekaslah kau meninggalkan pulau ini.”

Tan Khiong memanggutkan kepala, dipungutnja golok raksasanja, dengan tidak membalikkan kepala lagi, ia menggunakan golok besarnja memapas putus rantai pengikat perahu dan menggunakan golok ini djuga ia mulai mengajuh untuk meninggalkan pulau Angin Pujuh.

Menunggu sampai Tan Khiong tidak terlihat, baru Siauw Beng berani kembali lagi, langsung ia masuk kedalam bangunan batu jang menajadi rumah si nenek tua di pulau Angin Pujuh untuk melihat keadaan orang jang ditjintainja.

Sinenek tua masih terbaring bagaikan terluka, Siauw Beng sudah berteriak girang:

“Popo, Tan Khiong telah dapat kuusir pergi dari sini.”

Si nenek tua tidak mendjadi gembira, sebaliknja menekuk muka, wadjahnja jang dibuat seperti sakit bertambah putjat, lenjaplah wadjah welas asihnja, lenjap pula ramah tamahnja, ia merapetkan kedua kelopak matanja jang sudah banjak keriput.

Siauw Beng telah menetap dipulau Angin Pujuh selama 6 tahun, belum pernah melihat wadjahnja si nenek tua seperti ini, wadjah si nenek tua selalu tersungging senjuman bikinan, welas asih gadungan, sikap ramah tamah paksaan, maka ia sudah menjangka kepada sesuatu apa dan menanja:

“Popo, apakah jang menjebabkan kemarahanmu?”

Sinenek tua malah memalingkan muka tidak melihatnja, kedjadian ini membuat Siauw Beng bertambah ibuk.

“Popo,” panggilnja lagi. “Akukah jang menjebabkan kemarahanmu ini? Pukullah dengan sekehendakmu, makilah dengan sesukamu, Siauw Beng tidak akan menjalahkan kepadamu.”

Baru sekarang si nenek tua mau menolehkan kepala, matanjapun dibuka pula, dengan membawakan sikapnya jang agung berkata:

“Anak, aku telah menyuruhmu untuk segera melarikan diri, mengapa kau tidak mendengar perintah ini?”

Siauw Beng merasa bingung, ternyata gara2 inilah jang dibuat marah oleh sipopo jang tertjinta? Ia tidak mengarti sebentar dan achirnja berkata:

“Popo, selalu kau mengatakan kepadaku untuk mendjadi seorang anak jang baik, mungkinkah aku dapat meninggalkan kau seorang diri didalam keadaan jang terluka dan terantjam bahaya jang seperti tadi? Mungkinkah aku dapat berhati tenteram melarikan diri seorang diri?”

Sinenek tua menghela napas berkata:

“Apa jang kau lakukan tidak dapat dikatakan salah. Tapi, bagaimanakah bila sampai terdjadi kau terbinasa di bawah tangan ganasnya Tan Khiong? Mungkinkah aku dapat hidup seorang diri lagi?”

Sudah terang ilmu kepandaannja Siauw Beng ada lebih tinggi dari Tan Khiong, dan ternyata terang2an ia telah berhasil menghalau siraksasa tua hingga meninggalkan pulau Angin Pujuh, tapi si nenek tua masih mengutjapkan kata2 jang sematjam tadi, sebetulnia kata2 ini terang tidak masuk di akal. Apa mau dikata Siauw Beng masuk kedalam perangkapnya, manusia jang terbaik akan dikatakan djelmaannja sang popo tua, maka apapun dapat dipertjajanya sadja.

“Popo…“ panggil Siauw Beng dengan hati terharu.

Si nenek tua memanggutkan kepala, didalam hati tertawa geli, tapi dimulut ia berkata:

“Anak, umurmu masih muda, sungguh disajangkan djika terbinasa. Tidak demikian dengan diriku, biarpun setengah tahun lagi aku akan mati, mati tuapun sudah tjukup bagiku.”

Siauw Beng kaget mendengar si nenek tua mengatakan dirinja akan mati setengah tahun lagi, bagaikan mendengar geledek disiang hari, ia berteriak:

“Popo…“

Sinenek tua memainkan peranannja dan tertawa getir. “Anak, ada apa?” Tanjanja.

Siauw Beng mengepalkan tangan ketjilnja dan berkata:

“Popo, siapa jang mengatakan kau hanja hidup setengah tahun lagi? Tidak. Aku akan membuat kau hidup 30 tahun… 40 tahun.... lagi.”

Nenek tua menggeleng-gelengkan kepala, katanja:

“Tentu sadja aku ingin dapat hidup sehingga 40 tahun lagi, ingin sekali aku dapat melihat kau bagaimana meningkat sehingga dewasa, bagaimana kau berumah

tangga Tapi… semalam, setelah aku salah melatih diri, ilmu kepandaianku

telah lenjap sebagian banjak. Masa hidupku hanja terbatas diantara setengah tahunan. Bahkan akan menderita segala matjam penderitaan jang terhebat.”

Kepalan tangannja Siauw Beng memukul-mukul tempat tidur batu dihadapannja, dengan tjemas ia berkata:

“Tida… Popo… Kepandaianmu begitu tinggi, kau tentu memiliki daja untuk mengatasi.”

Sandiwara sudah waktunja untuk diachiri, maka dengan menghela napas tiga kali, si nenek tua baru berkata: “Daja untuk mengatasi hanja…“

Siauw Beng mendjadi gembira, maka akan tertolonglah djiwanja si nenek tua, sang popo tidak akan menderieta segala matjam penderitaan jang terhebat di dalam dunia, dengan pandangan mata bersinar penuh harapan, Siauw Beng menantikan kata2 landjutannja si nenek tua penghuni pulau Angin Pujuh ini.

Tidak disangka, si nenek menghentikan kata2nja sampai disini. Untuk mengachiri tjerita terlalu tjepat memang tidak terlalu masuk diakal sama sekali, terdengar lagi helaan napasnja si nenek tua dan inilah sambungan kata2nja:

“Ah…, Pertjuma untuk dikatakan… Mengatasi kematian dengan djalan ini tidak mungkin sama sekali… aku memang sudah ditakdirkan untuk mati.”

Siauw Beng ibuk, tangan sang popo ditarik, tjepat ia berteriak:

“Popo, tapi kau mengatakan dapat mengatasi, mengapa dapat terdjadi seperti ini?”

Sinenek tertawa getir, katanja:

“Nak, ilmu kepandaianku jang telah kulatih puluhan tahun mungkin hanja satu atau dua orang sadja jang dapat menjaingi. Maka bila dapat mengumpulkan tenaga jang sebagian besar sudah lenjap ini, aku masih dapat hidup di antara 30 atau 40 tahunan.”

“Popo,” teriak Siauw Beng. “Dajakanlah agar kau dapat mengumpulkan kembali tenaga2 jang lenjap itu.”

Sinenek mengulurkan tangannja jang keriputan dielus-elusnja kepala Siauw Beng, bagaikan seorang ibu jang menjajang kepada anaknja ia berkata:

“Aku, kau masih terlalu ketjil untuk mengerti kesempatan ini. Mengumpulkan tenaga jang sudah terbuang bagaikan gampang sekali, tapi sebetulnja tidak mudah untuk dilaksanakan. Ilmu ini hanja tertjatat didalam sebuah kitab pusaka. Dan kitab ini tidak ada, bagaimana dapat mengumpulkannja?”

Lalu terlihat si nenek tua terbatuk-batuk bagaikan orang jang sudah mau mampus, tjepat Siauw Beng merebahkannja pula dan berkata:

“Popo, dalam kitab jang bagaimanakah ada tertjatat peladjaran jang sematjam itu? Biar kuusahakan untuk mendapatkannja agar kau dapat hidup terus.”

Sinenek tertawa getir, katanja:

“Anak, aku tahu maksudmu jang luhur tapi kitab ini sudah lenjap lama sekali dan tidak mungkin tertjari, sudahlah, aku terima nasib.”

Semakin kurang djelas, semakin besar pula hasratnja Siauw Beng untuk mengetahui, maka tjepat ia menanja lagi:

“Popo, katakanlah apa nama dari kitab pusaka itu.”

Sinenek menggeleng-gelengkan kepala, katanja:

“Tidak mau aku mengatakannja. Sudah dapat dipastikan kau akan segera meninggalkan aku di pulau Angin Pujuh ini, dan inilah kedjadian jang paling mengenaskan karena sewaktu aku meninggal dunia kau sudah tidak berada disebelah sisiku lagi.”

Siauw Beng semakin bersedih, tiba2 ia bangun berdiri dan berkata tegas:

“Popo, biarpun kau tidak mengatakannya, tetap aku akan meninggalkan pulau Angin Pujuh djuga. Akan kudjeladjahi keseluruh pelosok mentjari kitab pusaka ini untuk diserahkan kepadamu agar dapat mengembalikan semua tenagamu yang sebagian besar telah lenyap itu.”

Sinenek marah dan membentak:

“Djadi kau tega membiarkan aku mati seorang diri disini?”

“Popo,” bantah Siauw Beng. “Asal aku dapat menemukan kitab pusaka yang kau maksudkan itu, kau tidak akan djadi mati, bukan? Sebutkanlah nama dari kitab tersebut agar aku terlebih tjepat pula untuk mendapatkannya.”

Sinenek menghela napas, tidak lama kemudian iapun berkata:

“Ah, kau masih seperti anak ketjil sadja, tetap kukuh dan berkepala batu.”

Siauw Beng teringat semasa kanak2nja, dimana ia telah djatuh kedalam lembah Patah Tulang dan hampir mendjadi korban mangsanja si Muka Hitam Hek Thian- tong jang kedjam. Djika bukannya nenek berwadjah welas asih ini jang datang menolong, sudah dapat dipastikan ia tidak mendjadi dewasa, maka mengingat budi orang, biar bagaimana ia harus membalas dan berdaja untuk mendapatkan itu kitab pusaka djuga.

Tjepat Siauw Beng berdiri, golok Bintaug Tudjuh disoren dipinggang dan dengan tjambuk perak di tangan, ia siap membikin perdjalanan.

Si nenek seperti ibuk, dengan susah berkata:

“Anak… Kau… kau mau pergi djuga?”

Siauw Beng memanggutkan kepala berkata:

“Popo aku akan segera berangkat sekarang djuga. Setengah tahun kemudian, dapat, aku akan tetap balik kemari. Maka agar aku dapat balik dengan terlebih cepat lagi, katakanlah nama dari kitab pusaka itu.”

Bagaikan orang jang tidak berdaja, si nenek berkata:

“Anak, kitab itu telah lenyap pada 10 tahun jang lalu. Kitab pusaka jang mendjadi hak milik partay Kun lun-pay telah lenjap pada 10 tahun jang lalu....”

'Dek' sadja, hatinja Siauw Beng hampir mentjelat keluar mendengar akan kata2nja si nenek tadi.

“Kun-lun Sin-sie!” Pikiran ini segera berkelebat didalam otaknja sipemuda.”

Maka ditariknia tangan si nenek, dengan tjepat Siauw Beng memotong pembitjaraan:

“Popo… Popo.... Aku tahu… Nama dari kitab pusaka itu ialah 'Kun-lun Sin-sie'.”

Tentu sadja si nenek kegirangan, namun, ia tidak mengutarakan perubahan wadjabnja. Djerih pajah selama 6 tahun belakangan ini ternjata tidak pertjuma, kata2 'Kun-lun Sin-sie' telah d keluarkan dari mulutnja sibotjah.

Sebagai seorang achli didalam bidang kesandiwaraan, tentu sadja si nenek tidak mengutarakan rasa girangnja, malah dengan wadjah jang seperti kaget ia berkata:

“Eh, mengapa kau dapat tahu nama kitab pusaka ini?”

“Popo lain kali sjadalah kutjeritakan tentang kesemua ini.” Siauw Beng berkata. “Waktu sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi, aku akan segera meninggalkan pulau Angin Pujuh, didalam djangka waktu 4 bulan, aku akan segera balik kemari.”

Sinenek menggeleng-gelengkan kepala, katanja:

“Anak, kulihat kau sudah tjukup dewasa, hatimu masih tetap djudjur dan patuh kepada kepertjajaan. Djanganlah sampai terdjadi sesuatu dikarenakan lukaku.”

“Popo,” panggil Siauw Beng. “Kau pertjalah, didalam 4 bulan, aku akan membawa kitab 'Kun-lun Sin-sie' itu kemari. Aku tahu dimana letak 'Kun-lun Sin-sie' karena kitab pusaka itu masih mempunjai hubungan jang rapet sekali denganku. Menurut perhitunganku, djarak dari sini ketempat pengambilan kitab bulak balik hanja memakan waktu 4 bulan sadja, maka didalam djangka waktu ini, baik2lah kau mendjaga diri.”

Sinenek bagaikan orang jang tidak berdaja, maka ia terpaksa meluluskan penmintaannja sipemuda jang mau mentjarikan itu kitab 'Kun-lun Sin-sie' jang dikatakan dapat memberi petundjuk menjembuhkan luka2 jang diderita disebabkan salah melatih diri didalam ilmu persilatan.

“Baiklah.” Demikian si nenek berkata “Aku dapat merawat diriku sendiri, baik2lah kau diperdjalanan jang masih terlalu asing bagimu.”

Siauw Beng berat untuk meninggalkan sinenek berwadjah welas asih jang telah dianggap mendjadi orangnja jang terdekat, maka dengan perasaan jang sukar terlukiskan, seraja membawa golok Bintang Tudjuh serta tjambuk perak, ia mulai meninggalkan pulau Angin Pujuh.

Sajang ibu dari pemuda ini terlalu tjepat meninggalkan anaknja jang hidup merana. Djika ia masih ada di dunia dan mengetahui Siauw Beng didatangi oleh seorang nenek tua berwadjah welas asih dengan mulut tertawa-tawa, tidak mungkin ia dapat mengidjinkan sang anak mengikutinja. Apa lagi setelah tahu bahwa nenek tua ini adalah mendjadi pemilik golok Bintang Tudjuh, penghuni pulau Angin Pujuh, sampai turut kesana. Apa lagi mau menjerahkan itu kitab 'Kun-lun Sin-sie' jang mendjadi rebutan dunia, suatu kedjadian jang tidak mungkin sama sekali.

Sajang ibu Siauw Beng telah meninggal dunia, maka kedjadian sampai mendjadi seperti ini, demikianlah terlihat sipemuda sudah mulai meninggalkan pulau Angin Pujuh, untuk mentjari kitab 'Kun-lun Sin-sie'.

Beberapa djam kemudian…..

Siauw Beng sudah djauh meninggalkan pulau Angin Pujuh, angin keras menderu- deru menulikan kuping sudah tidak terdengar lagi. Pulau ketjil jang semakin lama semakin djauh achirnja mendjadi satu titik ketjil, kemudian lenjap ditelan permukaan air laut.

Siauw Beng meninggalkan pulau Angin Pujuh dan membikin perdjalanan untuk mengambil itu kitab 'Kun-lun Sin-sie'…..

********************

Beberapa hari kemudian…..

Perkampungan San-kiong San-tjhung akan dilewati, Siauw Beng yang pernah menerima budi kebaikan dari Tjoa Tay-kiong sukar untuk melupakannja, maka ia bersedia menengoknya.

Siauw Beng mengarahkan tudjuan keperkampungan Sam-kiong San-tjhung. Sipemuda dapat terpikir dan bekerdja tjepat, tidak ada sangsi2-nja lagi.

Beberapa djam telah dilewatkan…..

Daerah Sak-pe memang terlebih tjepat turun saldju, terpaksa Siauw Beng harus menggunakan ilmu mengentengi badannya meluntjur, melandjutkan perdjalanan.

Karena inilah, ditambah tidak apal djalanan, Siauw Beng sudah mulai kesasar.

“Tjelaka!” Keluhnja sipemuda. “Bilakah aku dapat tiba diperkampungan Sam-kiong San-tjhung?”

Tapi, ia tidak mengendorkan larinya, dengan mengambil kesatu arah ia meluntjur dengan pesat…..

********************

3 hari kemudian…..

Dari djauh sudah terdengar suara kereta berdjalan, Siauw Beng menambah ketjepatan dan djauh didepannja terlihat 7 atau 8 kereta piauw yang ditarik oleh belasan ekor mendjangan jang tahan terhadap hawa dingin meluntjur diatas saldju.

Siauw Beng gembira, maka disusulnya dengan segera, kini djelas bahwa diatas dari kereta2 ini terpantjang bendera ketjil yang berkibar-kibar, gambar dari bendera itu ialah satu telapak tangan jang berdarah merah, entah siapa punya pertandaan?

Siauw Beng tidak diberi banjak kesempatan untuk memikirkan segala matjam ini, dari kereta jang berdjalan dipaling belakang ia menjusul ke depan, kini keanehan mulai terlihat, di setiap kereta terdapat satu peti besar jang mendjadi barang angkutannia, sebagai kusir atau pengawal ada seorang tinggi besar. Tapi orang2 ini sudah tidak bernjawa dan menggeletak disisi peti2 besar tadi jang mendjadi barang2 antaran mereka.

Kematian mereka memang sangat aneh, semua kereta berdjumlah 8 buah, ketjuali 7 jang berdjalin di belakang terdapat 7 buah peti besar dengan 7 majat pengawalnja, satu jang berdjalan dipaling depan, terlihat seorang kakek dan seorang pemuda jang masih tidak tahu kematian orang2nja, mereka memetjut mendjangan2 dengan keras seperti ingin berdjalan lekas2.

Siauw Beng menjusul lagi, dengan tjepat ia menarik peihatianja siorang tua dan pemudanja.

Agaknja, dua orang jang berdjjlan dipaling depan ini mendjadi kepala dari rombongan kereta piauw jang ditarik dengan mendjangan dan berdialan disaldju putih, mereka memandang kearah Siauw Beng sebentar dan kini baru tahu bahwa 7 orang mereka telah terbinasa. Mereka menundjukkan wadjah jang gusar, dipandangnja Siauw Beng dengan pandangan marah.

Maksud Siauw Beng menjusul rombongan ini ialah untuk menanjakan dimana letaknja perikampungan Sam-kiong San-tjhung, ia akan menghaturkan terima kasihnja kepada Tjoa Tay-kiong sekalian jang pernah memberikan pertolongannya, kemudian tjepat mengambil kitab 'Kun-lun sin-sie' untuk dipersembahkan kepada poponja, jang dikatakan dapat membikin sembuh luka dalam jang dideritanja.

Tapi si piauwsu tua jang melihat 7 orangnja terbinasa sudah menjangka kepada perbuatannja Siauw Beng, diperiksanja apa jang menjebabkan kematian dari orang2nja, dan tepat diatas djidat dari 7 orang tadi, semua kedapatan satu telapak tangan berdarah jang bewarna merah, itulah satu pertandaan dari perbuatannja si Telapak Tangan Berdarah Ang-tjiang Tjou-su.

Tapi, didalam pandangannja piauwsu tua ini, Siauw Benglah jang melakukan pekerdjaan tadi, ia tertawa berkakakan bagai orang jang setengah gila, kemudian berkata:

“Tidak disangka Telapak Tangan Berdarah Ang-tjiang Tjou-su jang sudah dimasukkan mendjadisalah satu dari 4 'Manusia Imperialis' masih mengingini benda2 bawaanku jang tidak berharga.!!! Ha, ha, ha, ha… Kau telah salah mata.”

Siauw Beng heran dan tidak mengerti, dilihatnia sekeliling mereka. Tidak ada orang lain ketjuali dirinja. Maka siapakah jang diartikan dengan si Telapak Tangan Berdarah Ang-tjiang Tjou-su jang mendjadi salah satu dari 4 'Manusia Imperialis' itu?”

Sewaktu ia menetap di pulau Angin Pujuh, sinenek tua jang banjak pengalamannja sering bertjerita tentang nama2 dari para tokoh terkemuka. Ketjuali ini 4 'Manusia Imperialis' jang tidak disebutkannja. Maka siapakah jang mendjadi 4 'Manusia Imperialis'? Tidak pernah Siauw Beng memikirkan sampai disitu.

Bagi Siauw Beng, untuk sementara memang tidak ambil pusing siapa2 jang mendjadi 4 'Manusia Imperialis' jang paling tamak dengan harta kepunjaan lain orang, tapi bagi kita jang akan mengikuti djalan tjerita, ada terlebih baik djika dapat mengetahui terlebih dahulu siapa2 manusia2 jang terdjahat didalam tjerita.

Siapakah gerangannja keempat manusia imperialis itu?

Ternjata orang2 jang mendapat gelaran 4 'manusia imperialis' ialah orang2 jang berkepandaian paling tinggi didalam golongan sesat, mereka adalah Mo-mu Oen- hun, Hun-in Lo-koay, Ang-tjiang Tjou-su dan Pek- kut Sin-kun.

Orang pertama dari ini 4 'Manusia Imperialis' ialah orang jang mendjadi kepala dari tiga orang lainnja, Mo-mu Oen-hun inilah jang berkepandaian paing tinggi, ia mempunjai wadjah jang welas asih, menetap di pulau Angin Pujuh jang sukar didatangi orang biasa, memiliki golok Bintang Tudjuh dan tjambuk perak jang mendjadi sendjata2 terampuh didalam rimba persilatan, Mo-mu Oen-hun, satu nama jang tjukup seram telah diberikan kepada ini manusia terdjahat nomor satu didalam dunia.

Orang kedua dari 4 'Manusia Imnerialis' ialah Hun-in Lo-koay jang hanja kalah setingkat dari Mo-mu Oen-hun, orang ini menetap digunung Khong-tong dan djarang keluar dunia. Golok besar pemetjah batu jang digunakan oleh Tan Khiong dipulau Angin Pujuh itu jalah benda jang berasal dari gunungnja dahulu.

Menjusul dari Moimu Oen-hun dan Hun-in Lo-koay jalah Ang-tjiang Tjou-su jang belum lama disebut oleh sipiauwsu tua tadi dan Pek-kut Sin-kun, itu orang jang pernah memaksa Tjoa Tay-kiong membongkar kuburan ibunja Siauw Beng didalam perkampungan Sam-kiong San-tjhung dahulu dan Pek-kut Sin-kun inilah jang menjadi guru dari si Muka Hitam Hek Thian-tong jang telah terbinasa didasar lembah Patah Tulang.

Seperti apa jang disebut, dengan 'Manusia Imperialis', Mo-mu Oen-hun, Hun-in Lo- koay, Ang-tjiang Tjou-su dan Pek-kut Sin-kun, tidak ada satu jang tidak berkelakuan ganas dan telangas, djahat dan biadab tepat dengan djulukan jang mereka dapatkan — Manusia Imperialis — Orang2 inilah jang selalu mengatjau dunia, membikin kegaduhan dimana-mana.

Demikian, mendengar kata2 tuduhan si piauwsu tua tadi jang menjebut si 'Telanak Berdarah Ang-tjiang Tjou-su', Siauw Beng sudah tahu akan kesalahpahaman diantaranja, maka tjepat ia berkata:

“Lotiang djangan sembarang mendakwa orang!”

Inilah utjapan pertama dari Siauw Beng sedjak meninggalkan pulau Angin Pujuh, suara ini keras dan memekakkan telinga, sampaipun Siauw Beng sendiri mendjadi kaget luar biasa.

Dua orang dihadapannja Siauw Beng terlebih kaget, wadjahnja si piauwsu tua berubah putjat, si piauwsu muda sampai tergojang-gojang hampir djatuh karena daja tahannja tidak terlalu kuat.

Diatas pulau Angin Pujuh, Siauw Beng harus membuka suara keras2 agar dapat menandingi menderu-derunja angin keras. Tapi tidak demikian dengan di sini, angin keras tidak ada sama sekali, maka suaranja jang diutjapkan tadi bagaikan guntur memekakkan telinga dua orang jang mendengarnja.

Si piauwsu tua tertawa terpaksa kemudian berkata: “Biar bagaimana anak muridnja Ang-tjiang Tjou-su jang ternama, maka lagu suaranja djuga istimewa. Lohu jang rendah biarpun tahu tidak dapat memberikan perlawanan jang setimpal, tetapi lohu ingin mentjoba-tjobania djuga.”

Diliriknja sipiauwsu muda dan Sret, Sret, dua kali, dua orang itu sudah mengeluarkan sendjata mereka jang berupa pedang2 pusaka.

Kini Siauw Beng telah berada ditengah-tengah mereka, si piauwsu tua didepan dan si piauwsu muda di belakang, serentak mereka menusukkan pedangnja dengan tjepat kearah Siauw Beng jang didjadikan mangsanja.

Dari gerakan orang jang sebat luar biasa, Siauw Beng sudah dapat memastikan piauwsu tua jang berada didepannja tentu ada seorang jang ternama djuga. Namun, tetap ia tidak gentar, jang harus disesalkan jalah dirinja telah ditjap sebagai murid dari si Telapak Berdarah Ang-tjiang Tjou-su jang mendjadi satu dari itu 4 'Manusia Imperialis' jang selalu mengatjau dunia. Maka mengingat kedjadian ini, ia masih tidak mengingini menempur orang. Tjepat sekali ia melompat tinggi menghindari serangan depan dan belakang.

Saldju turun dengan lebat dan gerakannja mereka sebat dan tjepat, maka ketika bajangannja Siauw Beng lenjap dengan mendadak, pedang piauwsu tua dengan tepat telah mengenai dada sipiauwsu muda.

“Ajah!” Si piauwsu muda mengeluarkan djeritannja dan djatuh mati terkena tusukan pedang ajahnja sendiri.

Piauwsu tua mendjadi kaget, ditubruknja wajat sang anak dan mengutjurkan air mata kesedihan.

Tapi ia tidak lama menangis, tjepat sekali lompat bangun kembali dan menusukan pedangnja ke arah Siauw Beng sehingga beberapa kali.

Sedianja Siauw Beng ingin menghindari serangan orang lagi, tapi gerakan pedang jang dimainkan oleh si piauwsu tua memang tjukup hebat, maka terpaksa golok Bintang Tudjuh dikeluarkan, dengan tipu 'Khong-hiat-lay-hong' membikin pendjagaan jang kuat sekali.

Saldju masih turun dengan lebat, Golok Bintang Tudjuh diputarkan maka mengaunglah satu suara jang menderu-deru bagaikan mau menelan sesuatu apa jang berada didepannja.

Piauwsu tua jang mendengar suara mengaungnja lubang2 dari golok Bintang Tudjuh romannja putjat tidak berdarah, tjepat ia membatalkan serangan pedang dan menanja dengan suara jang gemetaran:

“Hei, sendjata apakah jang kau gunakan?”

Siauw Beng memang tidak ada niatan untuk bertempur dengan tidak beralasan, melihat orang menarik serangan, iapun menghentikan permainan goloknja dan berkata:

“Golok Bintang Tudjuh!”

Mukanja si piauwsu tua semakin putjat.

“Djadi, tuan bukan orang dari Telapak Berdarah Ang-tjiang Tjou-su?” Tanjanja kaget.

Baru kini Siauw Beng diberi kesempatan untuk membikin pendjelasan, maka dengan tertawa getir ia berkata:

“Aku memang bukan orang dari Ang-tjiang Tjou-su, aku mengedjar kalian ingin menanjakan djalan jang menudju ketempat perkampungan Sam-kiong San-tjhung. Dan kematiannja 7 orangmu itu djuga bukan disebabkan olehku, mereka telah mati terlebih dahulu.”

Siorang tua agak tidak pertjaja, dengan menundjuk kepandji-pandji Telapak Tangan Berdarah ia menanja:

“Djadi, pandji2 itu bukan hasil perbuatanmu?”

“Aku mana mempunjai pandji2 jang sematjaim itu?” Kata Siauw Beng. Piauwsu tua menganggukan kepala.

“Betul.” Katanja. “Kau adalah orangnja pulau Angin Pujuh, mana mungkin mempunjai pandji2 jang seperti itu.”

Hatinja Siauw Beng tergerak, piauwsu tua ini mungkin dapat mengetahui hal ichwal tentang pulau Angin Pujuh, dan si nenek tua jang mempunjai ilmu kepandaian tinggi, maka sudah dapat dipastikan ia mengetahui siapa adanja. Ingin sekali Siauw Beng mengetahui si popo, maka ia bersedia untuk menanja.

“Sangat kebetulan saudara ingin menudju keperkampungan Sam-kiong San-tjhung jang terletak disebelah Barat dari kota Ping-kang-tin. Maka dari sini terus ke Utara, hanja beberapa saat sadja sudah akan segera tiba disana.”

Siauw Beng jang berdjiwa patriot berhati luhur bertudjuan miringankan penderitaan rakjat, mengingat kedjahatannja si Telapak Tangan Berdarah Ang- tjiang Tjou-su jang melondjak-londjak, apa lagi tidak terlalu djauh dengan maksud tudjuannja, sudah memanggutkan kepala menjanggupi:

“Bila Siong piauwsu pertjaja kepada aku jang rendah, tidak halangan aku mengantarnja.”

Siong Lim menganggukkan kepala puas, tetapi tidak lama pandangan matanja mendjadi suram, lantas semakin suram karena ia telah membunuh diri dengan memutuskan djalan pernapasannja.

Siauw Bang mendjadi kaget, ia berusaha memberikan pertolongan. Tapi niatan bunuh diri Siong Lim sudah bulat, ia membunuh diri setjara ini sehingga tidak mungkin orang dapat memberikan pertolongan lagi.

Ternjata Siang Lim menjesal dan penasaran karena anak kandungnja sendiri telah binasa di bawah pedangnja jang njasar, ditambah kelihayannja si Telapak Tangan Berdarah Ang tjiang Tjou su sudah terkenal, tidak mungkin ia dapat menghindari diri dari kedjaran maut jang akan segera menanti maka ia membunuh diri disana dan menjerahkan semua tugasnja kepada Siauw Beng jang mempunjai gelok bintang tudjuh dan ilmu silat jang terampuh.

Langkah dan kelakuan jang direntjanakan oleh siong Lim memang hebat, siapa sadja jang melihatnja tidak mungkin dapat membiarkan usahanja gagal dan tidak meneruskan mengantarkan kereta piauw jang kini sudah tidak ada jang mengantar lagi. Apa lagi Siauw Beng jang pernah melulusi, terpaksa harus mendjalankan tugasnja djuga.

Hanja satu jang sukar dimengerti oleh si pemuda, dirinja dan Siong Lim belum pernah berhubungan atau berkenalan, mereka baru bertemu muka disaat jang belum lama, sampaipun namanja sendiri djuga tidak diketahui oleh si piauwsu tua ijang telah bunuh diri, mengapa orang dapat memastikan ia dapat menggagalkan usaha Ang-tjiang Tjou-su jang telah menaruh pandji2t telapak tangan berdarahnja diatas kereta piauw jang berarti ingin merebut itu 7 peti barang jang tidak diketahui.....?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar