Golok Bintang Tujuh Bab 05 : Dari Dasar Lembah Patah Tulang ke Pulau Angin Pujuh

PADA hari kedua…..

Dengan mendapat bantuan dari orang2nja jang menggunakan tali mengerek turun kebawah dasar lembah Patah Tulang, sambil membawa obor penerangan, dengan melalui batu aneh disepandjang tebing tjuram, achirnja Tjoa Tay-kiong sudah tiba di dasar lembah.

Lembah Patah Tulang ini ditakuti orang bukan tidak ada sebab2nja, ternjata dasar lembah ini memang tjukup dalam, Tjoa Tay-kiong mentjoba melongok keatas dan mulut lembah hanja terlihat sebesar mangkuk makan sadja.

Tjoa Tay-kiong jang sedang memperhatikan dasar lembah Patah Tulang tiba2 mendjadi kaget karena ditepi dinding tebing terlihat satu sinar terang jang keluar dari goa batu, dan dari sana, samar2 masih terlihat satu bajangan ketjil berkelebat dan lenjap.

Dengan hanja melihat dengan sekelebatan mata, Tjoa Tay-kiong sudah dapat memastikan, bajangan ketjil itu ialah si anak jang belum lama kematian ibunja. Anak itu seperti melihat kedatangannja, maka melarikan diri dan masuk kegoa rahasia dibawah dasar lembah Patah Tulang ini.

Orang jang terdjatuh dari tebing tjuram tidak mendjadi aneh, jang lebih aneh didasar lembah jang sedalam ini masih terdapat goa rahasia, inilah kedjadian jang seperti tidak mungkin sadja.

Ternjata goa jang dilihat oleh Tjoa Tay-kiong adalah goa rahasia jang menudju kedjalan lama, djalan ini kini sudah hampir tertutup dan tidak digunakan lagi, disini Tjoa Tay-kiong melihat banjak patahan tombak dan tulang2 kuda serta manusia, dahulu di waktu djaman Kim dan Liauw, tempat ini pernah didjadikan medan pertempuran, maka terdapat sisa2-nja jang seperti itu.

Tjoa Tay-kiong berdjalan disitu sekian lama dan terlihat bajangan ketjil itu berklebat dan menumpat dibalik batu besar. Maka dengan tertawa ia berteriak:

“Hei, aku sudah dapat melihatmu. Buat apa mengumpat lagi?”

Betul sadja, dari balik batu muntjul keluar satu kepala dengan rambut jang kusut, itulah si anak jang belum lama ditinggal ibunja. Tjoa Tay-kiong jang melihat si anak masih takut dan ragu2 kepadanja sudah menggapekan tangannja berkata:

“Anak, apa kau sudah tidak mengenali diriku?”

Baru kini si anak perlahan-lahan berdjalan madju dan berkata perlahan:

“Tjoa Tayhiap.”

Tjoa Tay-kiong menghampiri dan menggendongnja si anak jang merasakan kemesraan dunia sudah berkata lagi:

“Tjoa Tayhiap, kedatanganmu ini sangat kebetulan sekali. Simuka hitam itu masih ada disini, ia terluka dan tidur tidak bisa bangun, tapi ia pernah berkata bahwa djika aku tidak menurut perintahnja, ia tetap bisa bergerak untuk membinasakan diriku.”

Tjoa Tay-kiong jang mendengar sampaikan Hek Thian-tong jang terluka masih belum binasa terlebih kaget lagi, maka dengan heran ia menanja:

“Kini kau tidak usah takut padanja. Tjeritakanlah dahulu bagaimana kalian bisa menjelelamatkan diri?”

Sianak memutarkan bidji mata hitamnja berkata:

“Aku djuga tidak begitu tahu djelas. Hanja teringat muka hitam itu menotok djalan darahku sehingga tidak bisa bitjara dan tidak ingat orang lagi, sewaktu aku tersadarpun sudah berada di dalam goa rahasia ini dengan ia terbaring di sebelahku. Itu waktu ia mengantjam agar aku tidak meninggalkan dirinja, bila meninggalkan dirinja, ia masih punja daja mentjari aku untuk dibawahnja.”

Tjoa Tay-kiong jang melihat si anak tidak menakuti dirinja lagi mendjadi senang dan berkata:

“Dimanakah Hek Thian-tong itu sekarang?”

“Didalam satu ruangan jang tidak djauh dari sini.” Sianak memberi djawaban.

Tjoa Tay-kiong mengikuti arah jang ditundjuk olehnja menudju keruangan jang didiami oleh Hek Thian-tong. Tapi disana ia tidak mendapatkan orang jang ditjari dan hanja bekas rumput2 sadja jang masih hangat bekas ditiduri orang.

Sianak mengkerutkan keningnja berkata keras:

“Tjoa Tayhiap, aku tidak menipumu. Memang betul tadi ia berada disini, tapi entah kemana ia kini.”

Tjoa Tay-kiong hanja mengelus-elus rambutnu si anak dan berkata:

“Siapakah sebetulnja namamu? Dan dari mana pula kalian ibu dan anak?”

Mendadak si anak membalikkan badan dan lari, ia tidak memberikan djawabannja didalam soal jang ada menjangkut dirinja sendiri ini.

Sebetulnja, dengan ilmu kepandaian jang Tjoa Tay-kiong miliki, mudah sadja untuk mengedjarnja dan menangkap kembali. Tapi tjhungtju dari perkampungan Sam- kiong San-tjhung ini telah djatuh hati kepada si anak dan ada mempunjai niatan untuk memungutnja mendjadi anak angkat, maka dibiarkannja sadja si ketjil pergi agar tidak terlalu mengganggu kebebasannja.

Dilihatnja si anak ketjil lenjap di balik tikungan dan mengharapkan ia dapat kembali lagi, tapi setelah ditunggu-tunggu sekian lama tidak melihat bajangan2-nja, baru Tjoa Tay-kiong mendjadi sibuk dan menjusul.

Dibalik tikungan tadi, apapun sudah tidak terlihat olehnja, ditjarinja ubek2-an sekian lama dan setelah tetap tidak ada hasil, dengan lesu terpaksa Tjoa Tay-kiong balik ketempat tadi ia turun dan naik lagi balik ke perkampungan Sam-kiong San- tjhung.

Kemanakah larinja si anak ketjil itu...?

Ternjata si anak jang paling tidak suka ditanjai tentang asal usulnja melihat Tjoa Tay-kiong melanggar pantangannja sudah melarikan diri. Bukan ia melupakan budi Tjoa Tay-kiong jang baik hati, bukan ia membenci Tjoa Tay-kiong dan tidak mau memberi tahu tentang nama dan asal usulnja, inilah karena menjangkut pesan ibunja jang melarang ia menjebut namanja kepada siapapun djuga. Bukan sekali dua kali karena menjebut namanja sehingga menimbulkan huru hara, sampaipun kematian ibunjapun masih mempunjai sangkut paut dengan asal usulnja ini. Maka mendengar pertanjaan Tjoa Tay-kiong tadi, ia melarikan diri menghindari djawaban.

Ia belari tidak lama, tiba2 kupingnja sudah dapat mendengar satu suara jang memanggil perlahan:

“Siauw beng…“

Hatinja si anak terkedjut. “Siapakah jang dapat mengetahui namaku?” Pikirnja.

Tapi ia tidak usah berpikir lama, karena setjara tiba2 sadja lehernia sudah berada didalam tjekekan orang dan terdengar orang ini berkata pula:

“Ternjata namamu Siauw-beng...? Ha... Ha... Ha... Ha... Kini aku telah dapat mengetahui asal usulmu. Masih beranikah kau memanggil orang untuk membunuh diriku lagi?”

Kagetnja Siauw-beng, demikian memang nama dari anak itu, tidak kepalang, ia segera mengenali akan suaranja si Muka Hitam Hek Thian tong.

Ternjata sewaktu Siauw-beng mengadjak Tjoa Tay-kiong mendatangi tempat istirahatnja, Hek Thian-tong jang masih terluka naik keatas lubang goa dan mengumpatkan diri disana, menunggu sampai dua orang sudah keluar, baru ia berani turun kembali. Waktunja itu dengan tidak sadar Siauw-beng meninggalkan badju luarnja disana dan dibadju luar inilah terselip segala matiam tjatatan tentang nama dan asal usulnja Siauw-beng jang mengenaskan, maka dengan sekali sebut sadja ia dapat memanggil namanja Siauw-beng.

Hek Thian-tong jang takut Tjoa Tay-kiong kembali lagi sudah memutar untuk melarikan diri, tidak disangka disini ia menemukan Siauw-beng jang sedang melarikan diri dari pertanjaannja Tioa Tay-kiong maka dengan sekali tjekal ia berhasil mentjekik batang lehernja.

Dari sini, Hek Thian-tong jang dapat bekerdja sebat sudah menotok djalan darah korbannja dan dibawa lari balik lagi. Maka sewaktu Tjoa Tay-kiong menudju kesana, apapun sudah tidak terlihat lagi.

Menunggu sampai Tjoa Tay-kiong meninggalkan goa rahasia untuk balik keperkampungan Sam-kiong San-tjhungnja, baru Hek Thian-tong membuka djalan darahnja Siauw-beng dan berkata puas:

“Aku mau lihat, masih dapatkah kau memanggil orang lainnja lagi?”

Siauw-beng jang melihat orang terluka dan kini mendjaga dimulut goa sudah siap mengadu djiwa, ia tahu, tidak melawanpun akan mati tersiksa, maka dengan sekuat tenaga ia menubruk kearah orang untuk meloloskan diri.

Hek Thian-tong jang mendjaga di depan pintu mendorong dengan kedua tangannja untuk membalikkan tenaga orang.

'Duk' dua tangannja Hek Thian-tong telah mengenai pundaknja si anak sehingga termundur kembali. Tapi tangannja Siauw-beng djuga tepat telah mengenai dada orang dan 'Buk' si Muka Hitam dibuat terpental djuga.

Hek Thian-tong merasa heran, mengapa anak ketjil ini mempunjai tenaga besar? Tjepat ia bangun kembali dan berkata keras:

“Binatang, djawablah segala pertanjaanku atau kau akan kusiksa sehingga mati. Di tempat jang sesunji ini, tidak mungkin ada orang kedua jang menolongmu lagi.”

Siauw-beng jang pernah dipesan oleh ibunja agar tidak mengutjapkan sepatah kata tentang asal usulnja memandang orang dengan heran, tentu sadja ia tidak tahu bahwa Hek Thian-tong telah mengetahui dari tjatatan di badju luarnja, maka mendengar orang mengantjam, ia sudah siap mengadu djiwa pula dan mengerahkan semua tenaga jang ada.

“Aku menanjaimu,” Hek Thian-tong bitjara pula. “'Kun-lun Sin-sie' dan 'Tjian-lian Soat-som' berada dimana?”

Sauw-beng jang mendengar orang menanjakan dua pusaka ini mundur setindak saking kagetnja.

“Djawab tidak?” Gertak Hek Thian-tong jang madju mendekati.

Siauw-beng mundur mendjauhi orang di depannja jang seperti setan mau menelannja sadja.

Tapi Hek Thian-tong madju lagi dan tetap mendesaknja.

Tidak lama kemudian, Siauw-beng sudah mundur sehingga dipodjok goa dan tidak ada tempat untuk mundur lagi.

Dan di ini waktulah terdengar satu suara halus jang berkata:

“Hek Thian-tong, kau disini menghina seorang anak kecil? Apa kau tidak takut membikin malu dan merusak nama suhumu?”

Hek Thian-tong tjepat membalikkan kepala dan di mulut goa dilihatnja seorang nenek jang berambut ubanan, dengan mukanja jang keriputan dan keputih- putihan, matanja jang welas asih memandangnja dengan pandangan tadjam.

Bagaikan menemukan iblis djahat, kakinja Hek Thian-tong mendjadi gemetaran, ia berlutut dan berkata perlahan:

“Tjianpwe… Tjianpwe… Suhu jang pernah…“

Si nenek tua terlihat memandang kearah Siauw-beng dan berkata:

“Anak, orang inikah jang menghinamu?”

Melihat wadjah mukanja si nenek tua jang welas asih, lagu suaranja jang lemah lembut, hati Siauw-beng mendjadi tertarik. Tentu sadja Siauw-beng akan tertarik, djika ia tidak tahu belakangnja si nenek dan hanja melihat wadjah dan kata2nja sadja, siapapun akan mendjadi suka dan tertarik. Apalagi Siauw-beng jang masih belum ada pengalaman sama sekali. Rasa sukanja terhadap nenek tua ubanan ini ada terlebih besar dari kepada Tjoa Tay-kiong jang pernah menanjakan asal usul dan namanja. Maka dengan memanggutkan kepala ia berkata:

“Betul. Orang ini djahat sekali.”

Si nenek tua memanggutkan kepala. “Kata2mu betul.” Ia berkata.

Waktu itu Hek Thian-tong sudah bertambah gemetaran, terputus-putus masih terdengar ia berkata:

“Tjianpwe… Tjianpwe… Suhu pernah… mengadakan perdjandjian…”

Si nenek tua hanja tertawa, tidak terlihat ia menggunakan tjara apa, tahu2 Hek Thian-tong sudah rubuh keledjetan dan mati di itu saat djuga.

Siauw-beng jang melihat Hek Thian-+ong ketakutan dan mati sudah dapat memastikan bahwa nenek tua ini mempunjai ilmu kepandaian jang sangat tinggi sehingga membuat orang takut seperti ini, dipandangnja terus dan terdengar si nenek berkata:

“Anak, orang ini telah mati terkena tubrukanmu tadi.”

Siauw-beng bengong. Mana mungkin tubrukannja tadi jang mematikan? Tapi kenjataan memang demikian, maka iapun terdiam.

Si nenek tua sudah mengulurkan tangannja menarik Siauw-beng kedalam pelukannja dan berkata:

“Anak, suhu dari si Muka Hitam ini adalah Pek-kut Sin-kun jang ternama, kepandaiannjapun tinggi luar biasa, djika ia tahu kau telah membunuh mati muridnja, sudah pasti ia akan marah dan mentjarimu kemana-mana. Marilah kita lari dengan segera.”

Tentang ilmu kepandaiannja si Muka Hitam Hek Thian-tong, Siauw-beng telah dapat menjaksikan dengan mata sendiri, maka mendengar orang masih mempunjai seorang guru jang sudah dapat dipastkan mempunjai ilmu lebih tinggi, hatinja Siauw-beng bertambah kalut dan takut, maka ia membiarkan tangannja dituntun oleh si nenek tua dan berdjalan meninggalkan goa.

Karena sangat terburu-buru, maka Siauw=beng sampai melupakan badju luarnja jang mendjadi peninggalan ibunja dan dibadju luar inilah tertjatat tentang asal usulnja jang sangat mengenaskan.

Kini ia sedang mengikuti si nenek tua berliku-liku mengitari beberapa goa rahasia dan achirnja tiba di satu djalan lorong jang buntu.

Disini terlihat si nenek tua mentjaibut satu pohon tua dan terdengar suara 'Krek' 'Krek'nja alat rahasia, di depan mereka kini timbul satu djalanan baru.

Siauw-beng menundjukan rasa herannja, maka dengan tertawa si nenek tua berkata:

“Anak, djanganlah kau mendjadi heran, masih banjak kedjadian2 lagi jang terlebih dari ini. Di djaman dahulu, lembah ini adalah tempat jang sering didjadikan medan pertempuran dan rahasia2 goa di ini tempat adalah bikinan2 tentara Mongol. Turun temurun sehingga kini, ketjuali kau dan aku, mungkin sudah tidak ada orang tahu lagi. Kau lihat, pohon itu apa pohon betul, jang hidup disitu?”

Siauw-beng menggojang-gojangkan pohon jang ditundjuk dan terdengar suara krentjeng krentjeng jang njaring, ternjata pohon itu hanja berupa pohon besi bikinan manusia.

Maka dengan adanja si nenek tua jang mengetahui seluk beluknja djalan keluar ini, dengan tidak melalui mulut lembah Patah Tulaug jang masih didjaga oleh orang2nja Tjoa Tay-kiong, mereka meninggalkan tempat itu.

Apa mau sekeluarnja dari dasar lembah, Siauw-beng merasakan hawa dingin jang menjerang badan, dengan tidak terasa ia menggigil kedinginan.

Sinenek tua memandang kearahnja, terkilas satu senjuman dan berkata:

“Anak, aku mempunjai satu tjara untuk membuat kau tidak merasakan hawa dingin. Maukah kau mendengar kata2ku?”

Si anak jang sudah dibuat djinak memanggutkan kepala:

“Ng, sebutkanlah.”

Sinenek tua mengadjaknja kesalah satu batu besar dan menjuruh ia duduk bersila, kemudian mengulurkan tangannja jang ditempelkan dibebokong orang berkata:

“Sebentar, bila kau merasakan ada satu aliran jang ingin menerobos keluar badan, djanganlah kau menggunakan tenaga untuk menekannja, biarkan hawa aliran ini berkumpul didjalan darah Tan-thian mu.”

Tidak lupa ia memberikan beberapa patah teori jang diingat oleh Siauw-beng dengan tjepat.

Betul, tidak lama kemudian, Siauw-beng sudah merasakan ada satu tenaga besar jang mau mendjebol badannja lari keluar, maka diikutinja tjara2 jang telah diberikan, maka tenaga besar ini sudah dapat dituntun ke arah Tan-thian, tidak lama terasa otaknja mendjadi djernih, kini apapun sudah tidak terdengar dan tidak terlihat lagi olehnja, bagaikan seorang jang bersemedhi, terasa satu kesenangan jang terhingga.

Sampai disini, mungkin ada beberapa pembatja jang tidak mengerti. Maka untuk djelasnja, perlulah sekedar mentjeritakan tentang Siauw-beng ini.

Ternjata, ibu dari anak ini telah memberi makan kepadanja 'Tjian-lian Soat-som' jang mendjadi salah satu pusaka Kun-lun-pay, maka setjara otomatis, latihan tenaga dalamnja Siauw-beng telah bertambah mendjadi 10 tahun lebih, inilah sebab2nja mengapa Muka Hitam Hek Thian-tong tidak dapat melukainja.

Tentang asal usulnja nenek tua djuga bukan asal usul biasa, sebetulnja, sewaktu Tui Kie sekalian mengatjau di Sam-kiong San-tjhung, ia telah berada disana djuga, disaksikan bagaimana pertarungan kalut diantara mereka, tapi karena disana ada sipengemis tua jang diseganinja, maka ia tidak berani muntjul dengan setjara terang.

Disaksikannja bagaimana Hek Thian-tong membawa lari anak ketjil ini dan bagaimana achirnja djatuh ke dalam lembah Patah Tulang. Diam2 ia dari matanja si pengemis tua dengan gadis ketjilnja, ia memutari beberapa gunung dan achirnja dapat masuk kedasar lembah Patah Tulang melalui djalan2 rahasia.

Tidak sukar diduga bahwa maksud tudjuannja nenek tua inipun menjangkut kitab pusaka 'Kun-lun-sin-sie' djuga, tapi ia menggunakan tjara lain dari pada jang lain dan achirnja berhasil membawa Siauw-beng keluar lembah. Ia menggunakan wadjahnja jang pandai membuat sikap welas asih dan dengan sikap setjara halus sedang berusaha mengorek keterangan tentang tempat penjimpannja 'Kun-lun Sin-sie'.

Orang jang mempunjai latihan ilmu silat memang lebih mudah menahan hawa dingin atau panas, maka dua djam kemudian, Siauw-beng merasakan badannja mendjadi hangat dan tidak merasakan dingin udara lagi, dengan membuka sepasang matanja ia berkata:

“Lo-popo, aku sudah tidak merasakan hawa dingin lagi.”

'Lo-popo' berarti 'Nenek tua' jang mendjadi panggilan Siauw-beng kepada penolongnja, membuat si nenek tertawa puas, sambil tertawa terdengar ia berkata:

“Apa artinja baru merasakan tidak dingin lagi? Diperkampungan Sam-kiong San- tjhung kau pernah melihat beberapa orang, bukan? Diantara mereka itu, tidak ada satu jang tidak berkepandaian tinggi…“

Dipandangnja si anak sebentar, melihat reaksi balikannnja, maka setelah melihat Siauw Beng memanggut-manggutkan kepala, baru ia berkata lagi:

“Djika kau mau ikut pulang kerumahku, didalam waktu 5 tahun sadja, aku dapat membuat kau terlebih pandai dari mereka.”

Hatinja si anak ketjil mendjadi senang, dengan berdjingkrak ia berkata:

“Betul? Aku mau. Lo-popo, kau sangat baik sekali, siapakah namamu?”

Si nenek tua jang pernah melihat bagaimana anak ketjil ini melarikan diri dari pelukannja Tjoa Tay-kiong gara2 ditanjai nama dan asal usulnja sadja, sudah tahu akan pantangan orang, maka ia jang pandai mengambil hati sudah berkata sambi menepuk pundaknja Siauw Beng:

“Anak, kau tidak usah menanjakan namaku, aku-pun tidak usah menanjakan namamu. Kau memanggil aku Lo-popo, aku memanggilmu anak. Apa kau setudiu?”

Kata2 jang sematjam inilah jang dimaui dan ditjotjoki oleh Siauw Beng, maka dengan hati lega ia berkata:

“Baik. Tentu sadja aku setudju.”

Didalam hatinja si nenek tua tertawa, maka berdua mereka mengambil arah Utara melandjutkan perdjalanannja…..

********************

Satu bulan kemudian…..

Didepan mereka sudah terbentang satu telaga jang luas, samar2 ditengah telaga ini terlihat bajangannja satu pulau. Dengan menundjuk kearah sana si nenek tua berkata:

“Rumahku terletak di pulau itu, ketjuali seorang pelajan wanita jang gagu sudah tidak ada orang lain lagi jang ada disana. Kau kalau melatih ilmu silat disana, 5 tahun kemudian, sudah dapat dipastikan dapat menggemparkan dunia.”

Siauw-beng selama sebulan ini sudah menganggap si nenek tua sebagai neneknja sendiri, maka ia hanja menganggukkan kepala, menuruti kemauannja.

Terlihat si nenek tua menarik keluar satu perahu jang diselipkan di-alang2 dan mulai menudju kearah pulaunja.

Lama sekali baru dapat terlihat dengan djelas tentang keadaan pulau ini, ternjata pulau jang sedang ditudju adalah pulau tandus jang botak dari segala matjam tumbuh2an, semakin mendekati pulau tandus ini, terasa angin pujuh jang semakin kenjang lagi. Siauw Beng memandang ke arah si nenek tua jang mengajuh perahunja dengan berat dan menggunakan tenaga, rambut putihnja terlihat tertiup berkibar-kibar menandakan angin pujuh jang hebat.

Siauw Beng mengetahui usianja nenek ini sudah tjukup tua, tapi iapun tahu ilmu kepandainnja ada lebih tinggi dari pada si Muka Hitam Hek Thian-tong dan Tjoa Tay-kiong sekalian, melihat ia bekerdia seberat ini, timbullah rasa kasihannja, seraja madju mendekati ia berkata: “Lo-popo, biar aku jang membantumu.”

Tapi si nenek menggeleng-gelengkan kepala berkata:

“Dangan kau mentjoba untuk bergerak dari tempat dudukmu, hati2lah dengan angin pujuh jang tidak pernah berhenti ini. Berkat bantuan angin pujuh inilah, sehingga tidak ada orang jang dapat mendatangi pulau kita.”

Sampai disini, Siauw Beng baru mengetahui bahwa pulau ini bernama pulau Angin Pujuh.

Sinenek tua mengajuh sekian lama dan tiba2 memekik keras. Biarpun berada diantara angin pujuh, suara pekikan ini masih terdengar njaring sekali, menandakan ilmu tenaga dalamnja jang maha tinggi.

Suara pekikan si nenek mengandung arti, di atas pulau terlihat bajangan berkelebat dan menjambuti rantai jang dilemparkan oleh si nenek tua. Dengan bantuan bajangan diatas pulau inilah, achirnja perahu dapat tiba ditepiannja.

Kini Siauw Beng dapat melihat dengan djelas, orang jang berada diatas pulau berupa nenek tua djuga, bahkan melebihi tuanja si nenek jang pertama. Badannja tinggi dan besar, wadjahnja bengis dan galak, inilah perbedaan jang menjolok mata dengan si nenek pertama jang berwadjah welas asih.

Agaknja si nenek galak tidak dapat bitjara, melihat kedatangannja Siauw-beng sudah 'Ak' 'Ak' 'Uk' se-olah2 menanjakan asal usulnja.

“Dia adalah orang jang akan kudjadikan murid,” berkata nenek jang membawa Siauw-beng kemari kepada si nenek galak. “Lekas sediakan kamar batu untuk dirinja.”

Sinenek gagu berdjalan pergi, agaknja ia takut sekali kepada nenek tua pembawa Siauw Beng.

Menunggu sampai sigagu pergi, baru nenek ini berkata perlahan kepada botjah ketjilnja:

“Anak, sigagu itu adalah seorang tokoh djahat didalam rimba persilatan jang dapat kutaklukan dan dibawa kemari untuk melajani segala kebutuhanku. Sifatnja galak dan berangasan, adatnja djelek dan djahat, tenaganja besar dan kuat, hati2lah terhadap dirinja, djangan kau mentjoba untuk mendekati.”

Siauw Beng memanggutkan kepala tanda mengarti, maka si nenekpun sudah meninggalkan ia seorang diri.

Siauw Beng merasa kesepian, dilongoknja arah lenjapnja sigagu tadi, tidak lama sigagu jang berbadan tinggi besar itu sudah kembali lagi dengan golok berukuran luar biasa besarnja, dengan golok besar ini si gagu membelah-belah batu dan membuat bangunan untuk Siauw Beng menetap.

Siauw Bong mendjadi heran, golok jang berukuran tidak normal itu dapat digunakan oleh si gagu? Mungkinkah golok palsu? Untuk mendapatkan kepastiannja, ia telah menggunakan ketika sigagu meletakannja golok besarnja untuk istirahat, Siauw Beng sudah menghampiri untuk ditjoba keberatannja.

Siauw Beng tiba di depannja golok besar pemetjah batu, tangannja diulurkan untuk mengangkatnja.

Berat! Tentu sadja Siauw Beng tidak dapat mengangkat golok pemetjah batunja sigagu. Sedang ia berkutetan disana, sigagu sudah balik kembali, dilihatnja gerakan Siauw Beng jang seperti mau mengambil golok pemetjah batunja, dengan berteriak kalap ia menerkam ke arah Siauw Beng.

Tentu sadja Siauw Beng mendjadi kaget, hampir sadja ia mendjadi korban si gagu jang ganas. Masih untung si nenek segera dapat melihat, maka bagaikan burung alap2, disambernja Siauw Beng dan dibawa menjingkir dari bahaja.

“Anak,” katanja. “Sudah kukatakan djangan kau mentjoba untuk mendekatinja. Mengapa kau tidak mendengar kata?”

Siauw Beng terdiam, dipandangnja sigagu jang mulai memetjah batu lagi, ia kagum atas tenaga orang jang besar dan ketadjamannja golok pemetjah batu jang besar luar biasa.

Sinenek tertawa, dipandangnja Siauw Beng jang seperti suka dengan permainan golok pusaka, maka sambil mengelus-eJus rambut orang ia berkata:

“Anak, golok jang seberat ini tidak mudah untuk digunai. Ketjuali sigagu, tidak ada orang kedua jang dapat memakainja.”

Diadjaknja Siauw Beng kekamar batunja, dimana ia mengeluarkan sebilah golok berukuran biasa, hanja di tengah-tengah dari golok ini terdapat 7 bintang ketjil, diserahkannja golok ini kepada Siauw Beng dan berkata:

“Anak, bila kau ingin golok, Golok Bintang Tudjuh-ku ini sadjalah kau boleh gunai. Biar mulai esok hari kuberikan kepadamu peladjaran ilmu golok Bintang Tudjuh. Setelah selesa kau mempaladjarinja, biarpun golok sigagu berat dan besar, dengan mudah kau dapat mengalahkannja.”

Sambil membawa golok Bintang Tudjuh, Siauw Beng keluar lagi. Tapi sigagu jang melihat sudah berteriak 'Ak' 'ak' 'Uk' 'Uk', seraja mengajun-ajunkan golok pemetjah batunja, ia seperti menantang orang untuk bertanding.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar