Golok Bintang Tujuh Bab 03 : Si Anak Jatim Djatuh Kedalam Djurang

NONGOLNJA satu kepala ketjil itu djuga dapat dilihat oleh si Muka Hitam Hek Thian-tong jang kebetulan menghadapinja, maka tjepat ia meninggalkan Tjo Put-djin jang mendjadi lawannja dan mengulurkan tangan menjambret si kepala ketjil ini.

Kesempatan ini digunakan baik oleh Tjo Put-djin jang segera mengirimkan serangan telapak tangan kirinja. 'Bek' sekali, belakang gegernja Hek Thian-tong telah terkena satu pukulan jang hebat.

Biarpun Hek Thian-tong telah terluka, sebagai anak muridnja Pek-kut Sin-kun jang ternama manusia hitam ini tetap dapat bekerdja sebat dan mentjekal tangannja si anak jatim.

Si anak jatim tidak mau dibawa orang dengan tidak ada perlawanan, terlihat tangan lainnna mengeluarkan Belati Hitam jang segera mentjoba nusuk kearah lawannja.

“Berani kau melawan?” Bentak Hek Thian-tong sambil mementil pergi belati orang. Si anak jang tahu bahaja mengantjam berteriak: “Tjoa Tay-hiap...”

Sajang Tjoa Tay-kiong tidak dapat mendengarkannja, sebaliknja si Pintjang Tui Kie dan Kim Lo-han jang dekatlah jang didatangkan.

Tjepat Hek Thian-tong menotok djalan darah lemesnja si anak jang segera dibawa lari dan disusul oleh Tui Kie dan Kim Lo-han.

Tjo Pui-djin didalam soal ini masih ketinggalan, maka ia hanja dapat membikin pengedjaran dibelakangnja Kim Lo-han sadja.

Matania Pu-yong Ni-kouw jang menempur Tjoa Tay-kiong ternjata tjukup lihay, maka ditinggalkan sang lawan dan turut dibelakang Tjo Put djin. Sewaktu nikouw ini lewat dipintu, dilihatnja belati hitam, tapi bukan dipungut, malah disepak pergi, takut ketinggalan oleh kawan2 lainnja.

Hanja Tjoa Tay-kiong seorang jang tidak tahu sesuatu apa. “Mungkinkah Pek-kut Sin-kun telah tiba, sehingga mereka lari semua?” Pikirnja.

Tapi begitu matanja tertumbuk dengan belati hitam jang ketinggalan dipintu, keheranannja Tjoa Tay-kiong tidak terhingga. Sudah terang kedatangan 5 orang tadi disebabkan oleh belati hitam ini, mengapa dapat ditinggalkan begitu sadja? Mungkinkah didalam tubuhnja si anak ketjil masih ada sesuatu pusaka lainnja lagi jang dapat lebih menarik perhatian mereka?

Maka dipungutnja belati hitam itu dan menjusul keluar, disana, ketjuali saldju jang masih memutih, sudah tidak terlihat bajangan2nja 5 orang lagi.

Terhadap anak ketjil itu, Tjoa Tay-kiong mempunjai sematjam perasahaan suka, maka sudah tentu ia tidak membiarkannja terdjatuh kedalam tangan orang djahat, dengan mengikut arah telapak kaki ia mulai membikin pengedjaran djuga.

Tidak lama djauh didepannja sudah terlihat bajangan2nja 5 orang jang dikedjar, tapi kekagetannja tjhungtju Sam-kiong San-tjhung ini tidak terkira, ternjata Hek Thian-tong sudah menudju kearah lembah Patah Tulang jang terkenal berbahaja.

Demi keselamatannja si anak ketjil dan demi keselamatannja semua orang djuga, terpaksa Tjoa Tay-kiong berteriak disertai dengan tenaga dalamnja:

“Tjuwie sekalian harap dapat menahan diri dahulu, didepan adalah daerah lembah Patah Tulang.”

Nama dari lembah Patah Tulang sudah terkenal oleh mereka, tapi bukan tidak mungkin orang menggunakan tipu agar mereka dapat menghentikan lari sehingga mudah untuk dikedjar. Demikian pikiran mereka semua, maka dengan tidak menghiraukan teriakannja Tjoa Tay-kiong, Hek Thian-tong berlima sudah meneruskan djuga larinja.

Hek Thian-tong jang lari paling depan tiba2 merasakan kakinja sudah tidak menjentuh tanah lagi, matanja berkunang-kunang karena luka jang diderita dan dengan masih membawa si anak ketjil, ia sudah terdjatuh kedalam lembah Patah Tulang.

Maka sewaktu Tjoa Tay-kong tiba disana, hanja terlihat Kim Lo-han, Tjo Put-djin, Tui Kie dan Puyong ni-kouw jang bengong ter-longong2 memandang kearah dimana djatuhnja Hek Thian-tong tadi.

“Tjoa tayhiap.” tiba2 si Pintjang Tui Kie menanja. “Djika terdjatuh dari sini, mungkinkah masih ada harapan hidup lagi?”

Tjoa Tay-kiong jang masih marah mengeluarkan suara dari hidung:

“Hm! Aku sendiri belum pernah djatuh, siapa jang tahu hidup atau tidak hidupnja?”

Tapi Kim Lo-han jang tidak setolol orang sudah mentjabut salah satu pohon besar jang segera dilemparkan kearah djurang tadi. Mereka harus menunggu lama baru terdengar suara 'Kruluk' 'Kruluk' tanda dari pohon tadi menjentuh tebing djurang.

“Oh, lembah Patah Tulang dalam!” Pu-yong Ni-kouw seperti mengeluarkan pudjiannja.

“Maka, sudah dapat dipastikan botjah itupun tidak dapat hidup lagi.” Sambung Tjo Put-djin.

Tjoa Tay-kiong mengeluarkan suara dinginnja menanja: “Djadi maksud kalian hanja anak itu?”

“Betul!” Si Pintjang Tui Kie berkata.

Tjoa Tay-kiong masih mentjoba menahan kemarahannja dan menanja lagi:

“Apakah dendam anak itu dengan kalian semua? Apa kalian menghendaki Belati Hitamnja?”

Tui Kie tertawa dingin. “Biarpun Belati Hitam m endjadi pusaka dunia, aku Tui Kie tetap daoat meradjarela dengan tidak menggunakannja.” Ia berkata.

Dari kata2nja ini, Tjoa Tay-kiong dapat memastikan ditubuhnja si anak masih ada sesuatu jang lebih berharga dari pada Belati Hitam, maka dengan heran ia menanja:

“Apakah jang kalian ingini didalam tubuhnja anak itu?”

Tui Kie tidak mendjawab, tapi balik menanja: “Tjoa tayhiap, sudah berapa lamakah kau tidak mengundjungi daerah Tionggoan?”

“Kira2 hampir setahun.”

Inilah sebabnja,” Tui Kie berkata dingin.

“Djadi kau masih belum tahu bahwa Leng-siauw-tju jang mendjadi toako dari Kun-lun-tjit-tju (7 tokoh Kun-lun) telah bunuh diri pada dua bulan jang lalu?”

Tjoa Tay-kiong kaget tidak terhingga. Menurut apa jang diketahui, Kun-lun-pay, biarpun ilmu kepandaian mereka tidak merata, Leng-siauw-tju jang mendjadi toako inilah jang paling istimewa, maka mana mungkin dapat membunuh diri setjara begitu sadja? Ia terpekur sebentar dan menanja:

“Apa kau tidak salah dengar?”

Tui Kie mempelototkan mata berkata:

“Sudah tentu kedjadian betul. Setelah Leng-siauw-tju membunuh diri, maka partay Kun-lun-pay pun runtuh, 6 tokoh lainnja pun lenjap entah pergi kemana. Ada kedjadian2 ini kau tidak mengetahui sama sekali?”

Tjoa Tay-kiong menggeleng-gelengkan kepala, ia tidak menjangka Kun-lun-pay dapat termusna. Tapi tentang sebab2nja dari kemusnaan ini, ia sendiri memang belum pernah mengetahui sama sekali. “Apa mempunjai hubungannja dengan wanita badju merah dan anak ketjil itu?” Pikirnja.

Maka dengan hati2 didekatinja pinggir djurang dan melongok kebawah untuk melihat-lihat si anak jang terdjatuh bersama-sama dengan Hek Thian-tong.

Karena inilah, tiba2 dilihatnja satu kedjadian aneh, djauh di seberang tebing terlihat dua bajangan jang berdjalan tjepat, itulah sipengemis tua dan gadis tjiliknja.

“Heran,” pikir Tjoa Tay-kiong didalam hati. “Mengapa tiba2 mereka dapat berada disana?”

Maka dengan pikiran kusut ia kembali lagi ke rumahnja, langsung ia menghadapi orang2nja dan menanja:

“Ong Sin, pada sebelum kedjadian ini, apa kau pernah melihat pengemis tua tadi?”

Ong Sin adalah sipelajan jang membawa sipengemis tua dan gadis pengemis berdua masuk kedalam ruangan, maka Tjoa Tay-kiong segera menanja kepadanja.

Ong Sin kaget mendapat pertanjaan ini, dengan gugup ia berkata:

“Hah, mungkinkah mereka telah mentjuri sesuatu?”

Sebagai seorang rendah, pikirannja Ong Sin sudah ketempat jang bukan2, Tjoa Tay- kiong tertawa didalam hati berkata:

“Aku hanja menanjakan dirimu, pernahkah kau melihatnja sebelum terdjadinja kedjadian ini?”

Ong Sin menggeleng-gelengkan kepala mendjawab:

“Belum pernah sama sekali.”

Tjoa Tay-kiong mengibaskan tangannja dan berkata:

“Kau pergilah. Dan sekalian tjari djiya dan sam-ya, panggil mereka pulang sadja.”

Tidak lama kemudian, Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong sudah berdjalan masuk, melihat toakonja tidak menderita sesuatu apa, Tjoa Tay-hiong sudah menanja:

“Toako, bereskah urusan semua?”

Tjoa Tay-kiong memanggutkan kepala terdiam.

“Toako,” Tjoa Tay-hong djuga turut bitjara. “Kita orang diluar mendapat kabar tentang rimba persilatan.”

“Apa bunuh dirinja Leng-siauw-tju dan runtuhnja Kun-lun-pay?” Potong sang toako.

“Djadi toako djuga sudah tahu?” Tanja Tjoa Tay-hong.

“Aku djuga tidak tahu djelas, tjoba kau tuturkan semua kedjadian.” Kata jang ditanja.

“Ditengah djalan kita bertemu dengan dua muridnya Pek potju,” Kata Tjoa Tay- hong jang mulai dengan tjeritanja. “Menurut nenuturan mereka, jang baru kembali dari daerah Tiong-goan, partay Kun- lun-pay sudah djatuh berantakan, Leng- siauw-tju jang mendjadi pemimpin sudah bunuh diri, sisa dari Kun-lun Tjit-tju lenjap tidak ketahuan, Kun-lun Tjap sie-hiap djuga menjembunjikan diri tidak keluar Kang-ouw lagi.”

“Tentang sebab2nja?”

“Tentang sebab2nja, menurut apa jang mereka tahu ada hubungannya dengan seorang wanita badju merah dan anak ketjilnja. Dan menurut dugaan, 6 dari Kun- lun Tjit-tju dan 14 orang Kun-lun Tjap-sie-hiap sedang membikin pengedjaran terhadap ibu dan anak ini.”

Tjoa Tay-kiong termenung memikirkan anak jang dikatakan oleh adiknya tadi, mungkinkah 6 Kun-lun tjit-tju membikin pengedjaran terhadap wanita dan anak jang tidak berdaja? Djika melihat dari sifat2 dan kelakuan2 Kun-lun-pay, kedjadian ini sungguh mustahil sama sekali.

Tjoa Tay-hong sudah melandjutkan penuturannja:

“Toako, apa kau tahu maksud dari pengedjaran mereka itu? Ternjata Belati Hitam, 'Kun-lun Sin-sie' dan 'Tjian-lian-Soat-som' jang mendjadi tiga pusaka Kun-lun-pay telah terdjatuh kedalam tangan ibu dan anak ini.”

Tjoa Tay-kiong mendjadi kaget. “Apa ibu dan anak jang kemarin itu?” tanjanja.

Tjoa Tay-hiong tertawa. “Toako, kau tidak menjangka, bukan?” Tanjanja. “Dimanakah kini binatang ketjil itu?”

Dari paras mukanja sang adik, Tjoa Tay-kiong sudah dapat melihat kerakusan dan ketamakan jang mendjemukan, dengan hati tidak senang ia berkata:

“Anak itu telah dibawa lari oleh Hek Thian-tong dan terdjatuh kedalam djurang lembah Patah Tulang.”

Tjoa Tay-hiong seperti ketjewa dan menanja:

“Ada sesuatukah jang ditinggalkannja?”

“Belati Hitamnja masih berada disini.” Sambl mengeluarkan belati jang ketinggalan, Tjoa Tay-kiong berkata.

Tjoa Tay-hiong membanting-banting kaki. “Aaaa, hanja barang jang paling tidak beharga dari tiga pusaka tadi.” Ia mengeluh.

Ia terdiam sebentar dan kemudian mendekati kuping toakonja berkata perlahan:

“Toako, barang jang paling berharga tentu tidak berada didalam tangannja sibotjah, majat wanita badju merah itu baru kita pendam kemarin, bagaimana djika kita gali dan mentjari dua pusaka lainnja disana?”

Biarpun Tjoa Tay-kiong tahu bahwa 'Kun-lun Sin-sie' (Kitab pusaka Kun-lun) dan Tjian-lian Soat-som' (Sematiam obat jang dapat menjembuhkan ribuan penjakit) ada lebih berharga 10 kali dari pada Belati Hitam, tapi toako ini tidak mempunjai hati serakah sama sekali, maka ia tidak setudju dengan segala keserakahan sang adik dan tjepat membentak:

“Lo-sam, apa jang kau mau kerdjakan? Pekerdjaan rendah ini bukanlah pekerdiaan jang kita harus lakukan.”

Tjoa Tay-hong dan Tjoa Tay-hiong jang melihat toako mereka sudah mendjadi semarah ini mendjadi takut sendiri, maka melihat dua adiknja jang harus dikasihani mendjadi setakut ini, hatinja Tjoa Tay-kiong tidak tega, terdengar ia berkata perlahan:

“Hilangkanlah kelemahaan kalian itu. Djangan melakukan pekerdjaan jang menimbulkan kemarahan orang.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar