Bakti Pendekar Binal Jilid 38

Sebegitu jauh tanya jawab antara nyonya rumah dan tamunya dilakukan dengan sopan santun, cuma sayang nyonya rumah belum memperlihatkan wajahnya, di samping tamu mendekam pula seekor harimau yang besar dan setiap saat siap menerkam mangsanya. Kalau tidak, siapa pun pasti akan mengira antara Hoa Bu-koat dan Pek-hujin adalah sahabat karib yang telah ada hubungan turun-temurun.

Sesungguhnya itu pun sifat Hoa Bu-koat yang sukar berubah, asalkan orang lain bersikap sopan padanya, biar pun diketahuinya orang ingin membunuhnya juga dia akan membalasnya dengan sopan dan hormat.

Terdengar Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, “Kongcu datang dari jauh, tapi aku tak dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai nyonya rumah, harap Kongcu sudi memberi maaf.”

“Dapat bicara dengan Hujin dari balik tirai, betapa pun Cayhe merasa beruntung,” jawab Bu-koat.

Tiba-tiba Pek-hujin bergelak tertawa, katanya, “Sikapku sudah terhitung sangat ramah tamah, tak tersangka engkau ternyata lebih ramah pula. Bila mana kita terus ramah tamah begini aku menjadi tidak enak untuk bicara urusan kita, engkau juga tidak leluasa untuk bertanya. Maka lebih baik kita tidak perlu main sungkan-sungkan lagi.”

“Bersopan santun dahulu baru kemudian perang tanding, ini adalah cara paling terhormat dalam perselisihan kaum ksatria sejati. Maka menurut pendapatku, adalah lebih baik bila bersikap sungkan saja.”

“Engkau ini sungguh orang yang menarik,” ujar Pek-hujin dengan tertawa.

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Kita tiada permusuhan dan dendam apa pun, bahkan wajahku saja belum pernah kau lihat, dari mana kau tahu aku menghendaki sopan dahulu padamu baru kemudian perang tanding? Aku kan tiada maksud ‘perang’ denganmu?!”

“Bila mana tidak perlu main senjata melainkan beramah tamah saja, tentu saja itulah yang kuharapkan,” ucap Bu-koat.

“Berdasarkan apa kau kira aku hendak main senjata denganmu?” tanya Pek-hujin dengan tertawa.

“Orang asing berkunjung kemari di tengah malam buta, andaikan Hujin menghadapinya dengan senjata juga pantas,” jawab Bu-koat.

Pek-hujin tertawa genit, katanya, “Meski aku tidak tahu maksud kedatanganmu, tapi melihat sikapmu yang sopan dan perawakanmu yang gagah serta terpelajar pula, betapa pun engkau tidak mirip seorang jahat. Apa lagi kau datang dengan sikapmu tadi, walau pun aku takkan membikin susah, tapi ada orang lain yang tak dapat melepaskanmu.”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Terima kasih atas perhatian Hujin, cuma sayang kedatanganku justru disebabkan oleh orang tadi.”

“Ai, memangnya kau ini sahabat si setan hitam yang suka main sembunyi-sembunyi itu?” tanya Pek-hujin.

“Betul,” jawab Bu-koat.

“Jadi kedatanganmu ini hendak mencari dia?”

“Bila Hujin sudi memberitahukan jejaknya padaku, sungguh Cayhe akan sangat berterima kasih.”

“Umpama kukatakan di mana jejaknya, apakah kau mampu menolongnya keluar?”

“Apakah Hujin melihat Cayhe ini mirip orang yang gegabah tanpa memikirkan mati dan hidup?”

“Dari nadamu ini, agaknya kepandaianmu tidaklah rendah bukan?”

“Di hadapan Hujin sesungguhnya Cayhe tidak berani merendahkan diri sendiri.”

“Bagus, kau memang anak muda yang suka berterus terang,” ujar Pek-hujin dengan tertawa. “Jika begitu, boleh kau coba dulu memperlihatkan sejurus dua padaku, ingin kutahu apakah kau memang mempunyai kemampuan untuk menolong dia?”

Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Kalau demikian kehendak Hujin, terpaksa Cayhe pamer sedikit.”

Dia duduk tanpa bergerak, tapi mendadak orangnya berikut kursinya meloncat ke atas, kursi buatan dari kayu cendana yang kuat dan berat itu seolah-olah lengket di pantat Hoa Bu-koat.

“Hebat, sungguh luar biasa?” sorak Pek-hujin. “Padahal usiamu masih muda belia, memangnya sejak lahir kau sudah mulai belajar silat.”

Dengan perlahan Bu-koat melayang turun, jawabnya dengan tertawa, “Sungguh memalukan jika kukatakan, setelah dilahirkan Cayhe hidup sia-sia selama tiga-empat bulan, setelah seratus hari barulah mulai belajar silat?”

“Bagus, dengan kepandaianmu ini pantas kau berani menyatakan tidak mau merendahkan diri sendiri. Cuma....”

“Cuma apa?” tanya Bu-koat.

“Kan sudah kukatakan tadi, setan hitam itu pun tiada permusuhan atau dendam apa-apa denganku, malahan selamanya belum pernah kenal, meski bentuknya rada menjemukan dan tindak tanduknya suka sembunyi-sembunyi, tapi aku pun tidak membikin susah dia.”

Dengan menahan perasaan Bu-koat tidak menanggapi, ia tahu cerita orang pasti bersambung.

Benar juga, segera Pek-hujin melanjutkan, “Tapi di tempat kami ini ada dua orang tamu, mereka justru merasa risi, entah mengapa, bicara punya bicara, akhirnya mereka baku hantam dengan serunya. Ai, meski temanmu itu bentuknya kelihatan galak, tapi ia justru bukan tandingan kedua kawanku itu.”

“Jangan-jangan dia telah terbunuh?” seru Bu-koat.

Pek-hujin tertawa ngikik, ucapnya, “Agaknya kau terlalu meremehkan aku. Di tempatku ini memangnya siapa yang berani sembarangan membunuh orang?”

“Habis kawanku....”

“Kawanmu seperti telah di bawa pergi oleh kawanku, dibawa ke mana, aku sendiri pun tidak tahu.”

Bu-koat melenggong, seketika ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia pun tidak dapat meraba asal-usul Pek-hujin ini, lebih-lebih tak tahu apakah uraian itu betul atau palsu, apa lagi, sekali pun cerita orang itu cuma bualan saja, tentunya ia pun tidak dapat berbuat apa-apa.

Bila mana Bu-koat diharuskan menerjang ke balik tirai dan membekuk Pek-hujin untuk dipaksa memberi keterangan sejujurnya, tindakan ini betapa pun takkan dilakukannya sekali pun diancam akan membunuhnya.

Karena itulah ia menjadi serba salah, tinggal pergi rasanya keliru, tinggal di situ juga tidak betul.

Selagi dia tercengang, tiba-tiba Pek-hujin tertawa dan berkata pula, “Tapi kau pun tidak perlu sedih, jika benar-benar kau ingin mencari dia, aku akan membawamu ke sana.”

Bu-koat bergirang dan mengucap terima kasih.

Tapi Pek-hujin lantas menghela napas dan berkata pula, “Cuma aku sendiri disekap di sini, bergerak saja tidak bisa, cara bagaimana pula dapat kubawa kau pergi mencarinya?”

Baru sekarang Bu-koat terkejut, cepat ia bertanya, “Masa Hujin disekap orang di sini?”

“Siapa bilang bukan?” kata Pek-hujin menyesal. “Bila mana kau ingin kubawa mencari temanmu, maka lebih dulu harus kau tolong diriku.”

“Masa Hujin bukan nyonya rumah di sini?”

“Siapa bilang aku bukan nyonya rumah di sini?” jawab Pek-hujin.

Bu-koat memandang harimau yang besar dan jinak seperti kucing dibelai oleh tangan yang putih halus itu, katanya dengan ragu-ragu, “Jika nyonya adalah majikan di sini, harimau ini pun piaraan nyonya, lantas siapakah yang mengurung nyonya di sini, sungguh Cayhe tidak habis pikir?”

Pek-hujin menghela napas, ucapnya, “Kisah ini terlalu panjang untuk diceritakan, boleh kau singkap dulu tirai ini, nanti akan kuceritakan.”

“Jangan-jangan ini sebuah perangkap?” ujar Bu-koat dengan ragu-ragu.

“Kau mengaku berkepandaian tinggi, tapi menyingkap tirai ini saja tidak berani?”

Seketika keberanian Bu-koat berbangkit, sekali raih tirai tersingkap. Serentak ia melongo kaget setelah melihat apa yang terdapat di balik tirai.

Ternyata antara belahan ruangan bagian depan dan bagian belakang yang tertutup tirai ini bedanya seperti langit dan bumi.

Bagian depan yang dijaga harimau ini terpajang mewah, sedangkan bagian belakang yang dialingi tirai itu ternyata tiada sesuatu alat perabot apa pun, malahan jerami memenuhi lantai, dipojok sana ada sebuah tong air yang biasa dibuat tempat makan minum hewan. Pada hakikatnya tempat ini bukan tempat tinggal manusia, tapi lebih mirip kandang babi atau istal kuda.

Sungguh mimpi pun Bu-koat tidak menduga bahwa di balik ruangan yang mentereng ini adalah sebuah tempat sekotor ini, malahan di sinilah duduk seorang perempuan setengah tua dengan dandanan istimewa, rambutnya penuh hiasan mutiara goyang dan ratna mutu manikam, wajah tidak ketinggalan pupur dan gincu. Meski sudah setengah baya, namun masih jelas kelihatan bekas-bekas kecantikannya di masa muda.

Ini pun belum mengejutkan, yang paling luar biasa adalah leher wanita cantik berdandan mewah ini justru terbelenggu oleh seutas rantai, ujung rantai terpaku kuat di dinding sana.

Seketika Bu-koat juga seperti terpaku di tempatnya dan tidak dapat bergerak lagi.

Pek-hujin memandang sekejap, katanya dengan tersenyum pedih, “Nah, sekarang tentunya kau tahu apa sebabnya aku tak dapat membawamu pergi mencari temanmu.”

Diam-diam Bu-koat menghela napas, ucapnya, “Per... perbuatan siapakah ini? Siapa... siapa yang....”

“Suamiku!” jawab Pek-hujin sambil menunduk.

“Suamimu?” Bu-koat menegas, hampir saja ia melonjak kaget.

“Betul,” kata Pek-hujin dengan sedih. “Suamiku adalah lelaki yang paling cemburu dan paling tidak aturan di dunia ini. Dia sangka bila aku ditinggalkan pergi, pasti aku akan main gila dengan lelaki lain.”

“Sebab itu dia... dia memb....”

“Ya, begitu dia pergi, segera aku dirantai olehnya, pada hakikatnya dia tidak... tidak menganggap diriku sebagai manusia, malahan memandang diriku ini lebih rendah dari pada hewan.”

Termangu-mangu Bu-koat memandangi nyonya yang malang ini sehingga tidak sanggup bicara lagi.

“Tapi bila kau lihat dandananku yang baik ini, tentunya kau pun merasa heran bukan?” tanya Pek-hujin.

“Ini... ini....”

“Ini pun kehendaknya,” tutur Pek-hujin dengan gegetun. “Meski dia memperlakukan diriku dengan macam-macam siksaan, tapi dia juga menyuruh aku berdandan dan bersolek secantiknya, tujuannya melulu untuk dipertontonkan kepadanya saja.”

Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung pula, “Ya, hanya untuk ditonton dia sendiri, bila orang lain memandangku sekejap saja maka orang itu pasti akan dibunuh olehnya. Sekarang kau telah memandang diriku pula, seumpama kamu tak mau menolongku keluar juga dia akan mencari dan membikin perhitungan denganmu.”

“Selama hidupku paling benci pada manusia yang suka menghina dan menganiaya wanita,” ucap Bu-koat dengan tersenyum pahit. “Jangankan Cayhe memang mengharapkan bantuan, sekali pun tiada urusan ini juga Cayhe akan berusaha menolong nyonya keluar dari sini.”

“Engkau benar-benar orang yang baik hati” ucap Pek-hujin dengan suara lembut dan memandangnya dengan rawan. “Ya, sejak mula aku pun sudah tahu engkau pasti orang baik. Tapi bila mana engkau hendak menolongku, maka lekaslah kerjakan, kalau tidak, bila suamiku pulang, walau pun tinggi ilmu silatmu juga sukar menandingi dia.”

********************

Di luar sana Thi Sim-lan sudah menunggu sekian lama dalam kegelapan.

Sekonyong-konyong ia dengar auman harimau yang menggetar bumi, kemudian suasana kembali sunyi senyap dan tiada sesuatu gerak gerik lagi, tapi justru suasana tiada sesuatu gerak-gerik ini semakin membuat cemasnya.

Dia menunggu lagi sejenak, makin lama makin gelisah, sampai akhirnya ia benar-benar tidak tahan lagi, tanpa pikir ia melompat keluar dari tempat sembunyinya. Apa pun juga ia ingin melihat apa yang terjadi sesungguhnya.

Kelenteng yang terbenam dalam kegelapan itu tampaknya tiada sesuatu tanda yang membahayakan. Segera Thi Sim-lan melompat ke atas pagar tembok.

Baru saja ia bertengger di atas tembok, mendadak sinar lampu berkelebat, itulah cahaya sebuah Khong-beng-teng (lampu ciptaan Khong Beng di jaman Sam-kok) yang khas, sinarnya berkelebat di mukanya seperti sinar kilat. Menyusul di ruangan pendopo seorang lantas berucap dengan tertawa, “O, kukira siapa, rupanya nona Thi Sim-lan adanya.”

Keruan Sim-lan terkejut, hampir saja ia terjatuh di atas tembok, serunya dengan suara serak, “Sia... siapa kau?”

“Silakan nona masuk saja, sebentar tentu kau akan mengenali aku,” kata orang itu.

Kejut dan sangsi pula Thi Sim-lan, mana dia berani menyerempet bahaya memasuki ruangan pendopo yang gelap gulita itu.

Orang itu tertawa seram, katanya pula, “Jika nona sudah datang ke sini, silakan masuk saja kemari untuk melihat sendiri, kalau tidak, kedua teman nona itu saja tidak dapat lolos, apa lagi nona Thi sendiri, dengan kepandaianmu apakah engkau mampu kabur?”

Sekujur badan Thi Sim-lan serasa gemetar, masa Hoa Bu-koat juga telah jatuh ke dalam perangkap orang dan mengalami sesuatu?

Akhirnya ia menjadi nekat, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke bawah.

Dalam kegelapan orang itu berkata pula dengan tertawa, “Di samping pilar dekat undak-undakan sana ada sebuah lampu dan ada pula geretan, paling baik nona menyalakan lampu dulu barulah masuk kemari. Kebanyakan orang bilang aku ini lelaki yang sangat cakap bila dipandang di bawah cahaya lampu yang terang.”

“Tapi adakah tipu apa lagi?” kembali Thi Sim-lan curiga.

Apa pun juga, sinar lampu biasanya memang bisa menambah keberanian orang, dalam kegelapan risikonya juga lebih besar. Maka ia lantas mendekati tempat yang ditunjuk tadi, ia menemukan lampu dan menyalakannya.

Di tempat yang luas dan gelap itu, cahaya lampu ini jauh lebih terang dari pada biasanya dan juga menghangatkan, Thi Sim-lan pegang erat-erat lampu itu dan melangkah ke ruangan pendopo itu. Ia lihat keadaan kosong melompong, mana ada bayangan orang? Yang ada cuma Hiolo (tempat abu) yang besar, tirai kuning meja pemujaan yang rada luntur warnanya serta wajah beringas patung yang dipuja.

Tiba-tiba cahaya lampu seolah-olah rada guram.

Tanpa terasa Thi-Sim-lan merinding, serunya, “Sesungguhnya siapa kau? Mengapa main sembunyi?”

Tapi tiada jawaban orang dan juga tidak nampak bayangan seorang pun.

Ia menjadi ragu, jangan-jangan patung kayu itu yang sedang menggoda seorang gadis biasa.

Thi Sim-lan tidak berani menengadah, tapi tanpa terasa mendongak, maka tertampaklah malaikat gunung raksasa bertengger di punggung harimau seakan-akan sedang menyeringai padanya.

Angin tiba-tiba meniup, sumbu lampu bergoyang-goyang, pakaian patung malaikat gunung juga bergerak-gerak laksana hidup dan seakan-akan hendak melangkah turun dari meja sembahyang.

Hampir saja Thi Sim-lan tidak tahan dan akan membuang lampu itu terus melarikan diri. Lampu yang hangat itu rasanya berubah menjadi dingin, tangannya mulai gemetar pula.

Tiba-tiba dari balik tirai meja pemujaan sana berkumandang suara orang bergelak tertawa.

“Hahahaha, Thi Sim-lan, nyalimu ternyata tidak kecil!” seru orang itu. Suaranya seperti timbul dari patung malaikat ukiran kayu itu.

Namun Thi Sim-lan malahan dapat tenangkan hatimya, segera ia pun menjengek, “Jika kau berani mengundang aku masuk ke sini, mengapa kau sembunyi di belakang patung dan tidak berani muncul menemui aku?”

Orang itu tertawa, katanya, “Nyali perempuan terkadang memang lebih besar dari pada lelaki, mestinya hendak kubikin kaget padamu, siapa tahu tempat sembunyiku dapat kau bongkar.”

Menyusul suara tertawa itu, seorang perlahan-lahan muncul dari balik patung sana, cahaya lampu yang bergoyang-goyang menyinari wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang tajam.

Memang betul, dia memang lelaki yang sangat cakap.

Tapi demi nampak lelaki ini, kejut Thi Sim-lan melebihi lihat setan iblis. Tanpa terasa ia berseru, “Hah, Kang Giok-long!”

“Betul, memang aku,” jawab Kang Giok-long dengan tertawa. “Tadi aku bergurau denganmu, apa kau terkejut?”

Dengan senyuman yang ramah selangkah demi selangkah ia mendekati Thi Sim-lan. Tapi si nona mundur selangkah demi selangkah.

“Kau... kau mau apa? tanya Sim-lan.

“Kita kan sahabat lama, mengapa kau takut padaku?” ucap Giok-long dengan tersenyum.

Sampai jari kaki Sim-lan pun terasa dingin, tapi dia sengaja menampilkan senyum mengejek, katanya, “Siapa bilang aku takut? Aku justru sangat gembira.”

Sambil bicara, kakinya masih terus melangkah mundur. Sudah tentu dia tahu lelaki yang sangat cakap dan manis bicaranya ini jauh lebih menakutkan dari pada ular yang paling berbisa.

Mendadak ia melemparkan lampu yang dipegangnya ke muka Kang Giok-long, habis itu ia terus lari keluar secepat terbang.

Dalam keadaan demikian, rasanya segala apa sudah terlupakan olehnya, yang dipikirkan hanya meninggalkan Kang Giok-long.

Tapi mendadak ia menubruk ke dalam pelukan seseorang.

Tanpa memandang juga Thi Sim-lan tahu siapa orang ini. Pakaian orang ini terasa halus dan licin, begitu licin sehingga melebihi licinnya ular berbisa.

Tangan orang ini pun lemas dan licin, dengan perlahan dia rangkul Thi Sim-lan dan berucap dengan suara lembut, “Kenapa lari? Masa kau takut padaku.”

Sekujur badan Thi Sim-lan terasa lemas lunglai dan menggigil. Sama sekali ia tiada tenaga lagi untuk mendorong.

Dengan perlahan Giok-long meraba pundak Thi Sim-lan, katanya dengan perlahan, “Katakan, sesungguhnya apa yang kau takutkan?”

Sebisanya Thi Sim-lan menenangkan hatinya yang berdebar. Diam-diam ia memperingatkan dirinya sendiri agar bersabar, jika Kang Giok-long pura-pura bersikap ramah tamah, maka jangan sekali-kali boroknya dibongkar, kalau tidak, dari malu ia bisa menjadi marah dan itu berarti berbahaya baginya.

Maka ia pura-pura membanting-banting kaki dan mengomel, “Aku tak peduli, tadi kau telah menakuti aku setengah mati, untuk apa kupedulikan kau.”

Ia menyadari bukan tandingan Kang Giok-long, ia tahu dalam keadaan demikian senjata satu-satunya yang baik ialah omelan manja anak gadis.

Benar juga, Kang Giok-long lantas tertawa, katanya, “Kau memang gadis yang menyenangkan, pantas Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tergila-gila padamu.”

“Dan kau?” tanya Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.

“Aku pun lelaki, melihat gadis menarik seperti kau masakah tidak terpikat? Cuma sayang, mereka berdua sudah....”

“Kukira kau sendiri tak dapat membandingi mereka?”

“Menurut kau, bagaimana aku dibandingkan mereka?” tanya Giok-long sambil memicingkan mata.

“Mereka masih anak-anak, sedangkan kau... kau sudah dewasa.”

“Hah, pandanganmu ternyata tajam, sayang tidak kau katakan sejak dulu-dulu.”

Berbareng ia rangkul si nona terlebih erat sehingga Thi Sim-lan merasa mual. Namun ia berlagak tertawa genit dan menjawab, “Memangnya kau ini orang tolol sehingga perlu menunggu keterangan dariku?”

“Haha, betul, ucapanmu memang tepat,” seru Giok-long sambil bergelak. “Bila lelaki ingin menunggu pengungkapan isi hati si perempuan, maka dia benar-benar teramat bodoh.”

Di tengah embusan angin malam yang semilir, di tengah kegelapan yang sunyi, dalam pelukannya terdapat nona selembut dan secantik ini... betapa pun lihainya Kang Giok-long tentu juga lunak hatinya.

Maka suara Thi Sim-lan jadi semakin halus, katanya perlahan, “Sekarang, biarlah kukatakan padamu, sesungguhnya sudah lama aku....”

Sudah sekian lama ia bersiap-siap, kedua tangannya sudah penuh tenaga, sekuatnya ia terus memukul ke pinggang Kang Giok-long.

Akan tetapi baru tangannya bergerak, tahu-tahu Kong-cing-hiat di atas pundak kanan kiri telah kena dicengkeram oleh Kang Giok-long sehingga tenaga tak dapat dikerahkan sama sekali. Tangan Thi Sim-lan menjadi lemas, hati pun dingin.

Kang Giok-long, setan iblis ini, ternyata sudah sejak tadi mengetahui jalan pikiran si nona.

Dia merasa tangan Kang Giok-long terus merosot ke bawah melalui punggungnya dan sekaligus menutuk pula beberapa Hiat-to penting di bagian situ. Seketika satu jari pun Thi Sim-lan tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu tangan Kang Giok-long masih terus bekerja, tiada hentinya tangannya “main” kian kemari di bagian tubuh Thi Sim-lan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ucapnya, “Kutahu sudah lama kau suka padaku, maka malam ini betapa pun takkan kukecewakan keinginanmu.”

“Kau... kau setan iblis, kau berani....” teriak Thi Sim-lan dengan suara parau.

Giok-long tertawa ngikik, katanya, “Apakah kau menyesal sekarang? Cuma sayang, andaikan menyesal juga sudah terlambat.”

Thi Sim-lan menggigit bibir kencang dan tidak bersuara, ia tahu dalam keadaan demikian, berteriak atau meronta juga tiada gunanya, bahkan akan lebih merangsang nafsu binatang Kang Giok-long.

Sejak kecil Thi Sim-lan hidup merana, sudah terlalu banyak mengalami penderitaan lahir dan batin, ia paham bila mana seorang dalam keadaan tak berdaya dan tak dapat melawan, maka terpaksa harus terima nasib. Dan sekarang ia pun siap menerima yang akan menimpanya.

Ia memejamkan mata, air mata bercucuran dengan derasnya. Bibirnya sudah berdarah, hatinya sedang menjerit, “O, Siau-hi-ji... Hoa Bu-koat, maafkanlah aku!”

Tak terduga, pada saat berbahaya itulah, tiba-tiba tangan Kang Giok-long tidak bergerak lagi.

Belum lagi Thi Sim-lan mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Kang Giok-long mendorongnya pergi. Karena tak terduga-duga, Sim-lan jatuh terpelosot ke lantai.

Tapi segera ia lihat seorang perempuan.

Perempuan ini berbaju putih mulus, bermuka pucat, dengan mata tanpa berkedip sedang melototi Kang Giok-long. Sorot matanya yang dingin itu tiada tanda-tanda marah dan juga tiada tanda-tanda duka. Tapi siapa pun juga bila mana dipandang sekejap oleh sorot matanya ini, mungkin selama hidup takkan lupa.

Kang Giok-long bertepuk tangan, katanya dengan menyengir, “Budak ini menganggap aku orang tolol dan hendak menipu aku, tentu saja harus kuhajar adat padanya.”

Perempuan itu masih melototi dia dan tidak bersuara.

“Kau cemburu?” dengan cengar-cengir Giok-long berkata pula sambil mendekati perempuan itu dan mencolek pipinya, katanya pula, “Kau tidak perlu marah dan juga tidak perlu cemburu, kau tahu yang benar-benar kusukai dan kudambakan hanya dikau seorang.”

Perempuan itu tidak bergerak sama sekali dan membiarkan pipinya diraba Kang Giok-long, ia berdiri seperti patung.

“Kau masih marah dan tidak percaya ucapanku?” tanya Giok-long pula.

Akhirnya perempuan itu membuka suara, katanya sambil melotot, “Aku tidak peduli kau dusta padaku atau tidak, pokoknya, sejak kini bila mana kulihat kau menyentuh satu jari saja anak perempuan lain, maka seketika kau kubunuh, habis itu aku pun akan mati di sampingmu.”

Adalah jamak kata-kata demikian diucapkan kaum perempuan yang sedang marah, tapi sekarang perempuan yang mengucapkan kata-kata pedas ini ternyata tetap hambar dan dingin-dingin saja sikapnya.

Tidak perlu diterangkan lagi, perempuan ini tentu saja Thi Peng-koh adanya.

Kang Giok-long melelet lidah, katanya dengan tertawa. “Wah kau ini terlalu banyak berpikir. Punya istri secantik kau masa aku mau mengincar perempuan lain lagi?” Sembari bicara ia terus merangkul Peng-koh serta mencium pipinya beberapa kali.

Sorot mata Thi Peng-koh yang dingin itu akhirnya cair juga. Dia menghela napas, katanya, “Asalkan kau senantiasa baik padaku, tak peduli perbuatan jahat apa yang kau lakukan aku pun tak peduli, yang penting dalam urusan kita ini kau tidak dusta padaku, maka urusan lain biar pun kau bohong padaku juga tidak menjadi soal bagiku.” Dia menunduk, matanya sudah rada basah, dengan perlahan dia menyambung pula, “Kau tahu, bukan saja engkau ini lelaki pertama selama hidupku ini, bahkan kaulah orang pertama yang begini mesra padaku. Aku tidak peduli apakah tingkahmu ini setulus hati atau pura-pura belaka. Yang penting asalkan kau selalu begini padaku, maka puaslah hatiku, biar pun kau berbuat kejahatan lain juga aku... aku....” dia menggigit bibir dan tidak dapat bersuara pula.

Thi Sim-lan memandangi dia dan mengikuti apa yang diucapkan Thi Peng-koh, diam-diam ia merasa gegetun, pikirnya, “Sungguh perempuan yang harus dikasihani, ia pasti perempuan yang sangat kesepian, sampai-sampai dia sudah tahu bahwa Kang Giok-long cuma pura-pura mencintai dia, tapi ia rela menerimanya. Apakah selama hidupnya ini sudah dilewatkan dengan hampa dan sunyi sehingga dia sangat takut ditinggal pergi, tidak berani lagi hidup terpencil....”

Hati Thi Sim-lan ikut pedih dan juga solider. Ia merasa anak perempuan ini juga lebih malang dari pada dirinya.

Bila mana seorang perempuan melihat perempuan lain yang lebih susah dari pada dirinya, maka sering-sering dia akan melupakan keadaan dan penderitaannya sendiri. Hal ini tak mungkin terjadi pada kaum lelaki.

Yang bisa terjadi pada kaum lelaki adalah bila mana waktu berjudi dilihatnya orang lain mengalami kekalahan lebih mengenaskan dari padanya, maka hatinya akan merasa senang.....

********************

Di bawah patung pemujaan di rumah pendopo itu ada sebuah jalan rahasia. Jalan rahasia ini dapat menembus ke beberapa kamar di bawah tanah. Namun kamar di bawah tanah ini tidak lembap dan gelap seperti tempat lain, hakikatnya kamar ini malahan jauh lebih indah dan mewah dari pada tempat tinggal kebanyakan orang.

Dan Thi Sim-lan lantas diantar Thi Peng-koh ke suatu kamar di bawah tanah yang bagus itu.

Segera ia mendapatkan bahwa “si baju hitam” yang dicarinya itu sudah berada lebih dulu di rumah itu. Tubuhnya meringkuk di suatu kursi, agaknya Hiat-tonya telah ditutuk orang. Tapi ini belum membuat Sim-lan terkejut, malahan hal ini boleh dikatakan sudah dalam dugaannya, yang membuatnya terkesiap adalah gadis jelita yang duduk di depan si baju hitam.

Gadis ini mempunyai mata besar dan jeli, cuma sayang sorot mata yang seharusnya sangat bening ini kini penuh diliputi sinar buram seperti orang linglung.

Dengan termangu-mangu ia memandangi si baju hitam, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Sebaliknya si baju hitam juga sedang memandangnya dengan terkesima.

Buyung Kiu. Ya, gadis linglung ini memang Buyung Kiu adanya. Mengapa ia pun berada di sini?

Tanpa terasa Thi Sim-lan berseru kaget.

Kang Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, “Di sini juga ada seorang sahabatmu bukan?”

Sim-lan menggigit bibir sekencangnya, syukur makian tidak sampai tercetus pula dari mulutnya.

Dengan tertawa Giok-long berkata pula, “Cuma sayang dia tidak kenal kau lagi. Seumpama kau hendak menegurnya juga dia takkan menggubris padamu. Tentunya kau pun tahu akibat perbuatan siapa sehingga dia berubah jadi begini.” la mendekati si baju hitam alias Oh-ti-tu, serunya sambil tertawa, “He, saudara Ti-tu, kembali seorang kawan datang menjengukmu, kenapa kau tidak menggubris orang?”

Baru sekarang Oh-ti-tu seperti terjaga dari impiannya, ia terkejut melihat Thi Sim-lan, “He, kau? Meng... mengapa kau pun datang ke sini?”

Sim-lan tersenyum pahit, jawabnya, “Sebenarnya kami... kami ingin memberi bantuan padamu.”

“Haha, bagus, bagus!” Kang Giok-long bergelak tertawa. “Kiranya kedatanganmu ini ingin menolong Oh-ti-tu, sedangkan Oh-ti-tu datang buat menolong Buyung Kiu, sekarang orang yang hendak menolong orang justru perlu menunggu pertolongan orang.” Dia menengadah dan tertawa latah, lalu menyambung pula, “Cuma sayang di seluruh dunia ini mungkin tiada seorang pun yang mampu menolongmu.”

Dengan geregetan Thi Sim-lan mendamprat, “Tapi jangan lupa, kan masih ada Hoa-kongcu....”

“Maksudmu Hoa Bu-koat?” Kang Giok-long menegas dengan tertawa terpingkal-pingkal. “Padahal saat ini Hoa Bu-koat sendiri juga sedang menunggu pertolongan orang.”

“Hm, kau ingin menipu aku?” jengek Sim-lan.

“Menipu kau? Memangnya kau sangka di dunia ini tiada orang yang sanggup mengatasi Hoa Bu-koat?”

“Paling sedikit kau sendiri belum mampu.”

“Aku tidak mampu, memangnya tiada lagi orang lain?” jawab Giok-long dengan tenang-tenang saja.

Meski lahirnya Thi-Sim-lan cukup yakin akan kemampuan Hoa Bu-koat, tapi diam-diam ia pun tegang, tanyanya, “Siapa?”

“Kau tidak perlu tahu namanya, cukup kuberitahukan padamu, apabila Hoa Bu-koat ketemu dia maka dapat diumpamakan Kau-ce-thian (si kera sakti) kebentur Ji-lay-hud (sang Budha), betapa pun dia takkan mampu lolos dari telapak tangannya,” tutur Giok-long sambil memicingkan mata.....

********************

Di tempat lain, akhirnya Hoa Bu-koat telah melepaskan belenggu yang merantai leher Pek-hujin itu.

Sebenarnya sudah sejak tadi-tadi belenggu itu dapat dibukanya, tapi dari badan Pek-hujin teruar bau harum yang khas membuat jantung Hoa Bu-koat berdebar keras sehingga tangan menjadi rada lemas. Ditambah lagi leher Pek-hujin terasa hangat, halus dan licin, begitu tangan Bu-koat menyentuhnya, seketika Pek-hujin mengkirik-kirik sambil nyekikik.

“Hihihi, jangan mengkilik-kilik badanku, aku aku tidak tahan... aku geli,” demikian keluh Pek-hujin sambil tertawa genit.

Sudah tentu Bu-koat bermaksud membela diri dengan menyatakan dia tidak pernah menggelitik nyonya itu, tapi mukanya menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar